GLADI HARDIYANTO
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Gladi Hardiyanto
RINGKASAN
Kawasan hutan Sesaot telah menjadi ruang yang dihuni bersama diantara
para pihak. Terdapat kelembagaan HKm, baik yang sudah mendapat ijin
pemanfaatan maupun belum. Dalam ruang yang sama, terdapat kelembagaan
Taman hutan raya (Tahura) yang juga melakukan pengelolaan sebagian kawasan
hutan Sesaot. Dari sisi status kawasan hutannya, telah terjadi perubahan selama
beberapa kali, mulai dari status hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan
kemudian sebagian kawasannya menjadi kawasan konservasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kelembagaan para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot, (2)
mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian konflik atas
sumberdaya hutan Sesaot, (3) menganalisis implikasi konflik terhadap kawasan
hutan Sesaot dan kelembagaan para pihak yang memanfaatkan hutan Sesaot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Hasil evaluasi terhadap
kelembagaan masyarakat (kelompok HKm dan Forum Kawasan) dan UPTD
Tahura diketahui bahwa lembaga-lembaga tersebut masih belum mampu untuk
mewujudkan pengelolaan hutan lestari, (2) Pengembangan kelembagaan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot tidak dapat menegasikan peran salah
satu pihak, khususnya masyarakat, (3) Terjadi inkonsistensi kebijakan berkaitan
dengan alih fungsi dan status kawasan hutan Sesaot serta kebijakan bentuk
pengelolaan dan pemanfaatannya yang memberikan implikasi terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten dan
perubahan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Lebih lanjut hal ini
memicu terjadinya konflik atas sumberdaya hutan, (4) konflik yang terjadi bersifat
struktural, dikarenakan implementasi kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan yang tidak konsisten, konflik tidak lagi bersifat laten tetapi sudah mencuat
dan menjadi terbuka, (5) Areal hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat lebih
tepat ditetapkan menjadi areal kerja HKm, lokasi Tahura dipindah bergeser pada
kawasan hutan yang belum dimanfaatkan, (6) Upaya penyelesaian konflik telah
menghasilkan dokumen “Piagam Kesepakatan” yang ditandatangani para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan Sesaot.
Sesaot forest area has been inhabited space shared between the parties.
There are institutional HKm, either already use or not licensed. In the same space,
there is a forest botanical garden institutions (Taman hutan raya/Tahura) who also
did most of the management of Sesaot forests. Of the status of forest areas, there
have been changes over several times, ranging from the status of a limited
production forest to protected forest and later some areas became of conservation
forest.
This study aims to (1) analyze institutional of stakeholders involved in the
management and / or utilization of Sesaot forest area, (2) determine the policy
options and strategies for the resolution of conflicts over Sesaot forest resources,
(3) analyze the implications of the conflict on Sesaot forests and institutional
stakeholders who utilize Sesaot forest.
The results showed that (1) the results of an evaluation of the institutional
community (“Kelompok HKm” and “Forum Kawasan”) and UPTD Tahura
known that these institutions are still not able to achieve sustainable forest
management, (2) institutional development of Sesaot forest management and
utilization can not be negated the role of one of the parties, in particular the
community, (3) deals with policy inconsistencies occurred over the function and
status of forest Sesaot and shape policy and utilization management that implies a
change in forest management authority between provincial and local governments
and changes in people's access to forest resources. This triggers further conflict
over forest resources, (4) the conflict is structural, because the implementation of
forest management and utilization policies which are inconsistent, the conflict is
no longer latent but already sticking out and being open, (5) Forest areas that have
been utilized by communities more appropriately be defined for community forest
work area, moved to shift the location Tahura untapped forests, (6) conflict
resolution efforts have produced the document "Piagam Kesepakatan" signed by
the parties who are involved in the management and / or utilization of Sesaot
forest.
GLADI HARDIYANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayat dan kemudahan-Nya sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat“
ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan para
pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan
Sesaot, serta Mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian
konflik atas sumberdaya hutan Sesaot.
Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan
yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang
sebagian dapat kami sebutkan, yaitu:
1. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSC.For dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku
komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari
Beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud.
2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan.
3. Dr. Ir. Yanuar J Purwanto, selaku penguji dari program studi PSL yang
telah memberikan arahan dan perbaikan pada ujian tesis.
4. Seluruh staf pengajar PS PSL IPB yang sedari awal memberikan curahan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi
manusia yang lebih baik.
5. Teman-teman di Lembaga Ekolabel Indonésia yang telah memberikan
inspirasi ide, pengetahuan dan berkontribusi dengan memfasilitasi sarana
dan sebagian pendanaan dalam penyelesaian studi.
6. Teman-teman PS PSL IPB Kelas Khusus angkatan 2010/2011: Ajat
Rohmat, Nurul Hidayati, Waluyo Yogo, Isma Naberisa, Iman Suyudono,
Anna Nandya, Suratman, Muning Ekowati dan Ari Prabawa. Semoga
persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita
berkarya.
7. Seluruh staf akademik dan administrasi PS PSL (Mbak Ririn, Mbak Suli,
Mbak Herlin dan Mas Subur) yang telah banyak membantu dalam
kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis.
8. Kepada keluarga besar di Purwokerto dan Yogyakarta yang selalu
mendoakan kami agar dapat menyelesaikan studi ini.
Tulisan ini kupersembahkan tulisan ini kepada istriku, Ekawati Rini
Hartiwi, dan anakku, Fathi dan Zaki, yang selalu sabar meski banyak waktu dan
kesempatan mereka bersama penulis yang terambil dalam rangka penyelesaian
studi ini.
Akhirnya Penulis menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan
dalam tesis ini, sehingga sangat diharapkan masukan, kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga Allah SWT menjadikan
karya ini sebagai tambahan ibadah bagi penulis dan tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkannya.
Gladi Hardiyanto
RIWAYAT HIDUP
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Kerangka pemikiran 5
Perumusan Masalah 8
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 9
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian 35
Rancangan penelitian 37
Metode pengambilan data 39
Penentuan sampel 39
Definisi operasional 40
Metode snalisis data 42
i
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah pengelolaan kawasan hutan Sesaot 65
Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan Sesaot 71
Kebijakan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot 72
Kebijakan hutan kemasyarakatan 80
Kebijakan Taman hutan raya 82
Identifikasi arena aksi 90
Situasi aksi 90
Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan 100
Konflik dan upaya penyelesaiannya 109
Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot 123
Situasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini 123
LAMPIRAN 141
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
iii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
iv
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang
berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek
sosial. Ketiga aspek tersebut seharusnya dapat berjalan sinergi, berhubungan dan
saling mempengaruhi. Lebih diprioritaskannya salah satu aspek dengan
meninggalkan aspek lainnya dapat menjadi penyebab tidak tercapainya
pengelolaan hutan lestari.
Areal hutan disebut sebagai kawasan hutan jika sudah dilakukan proses
pengukuhan kawasan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41/1999 tentang
Kehutanan, proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui: (a) penunjukan
kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan,
dan (d) penetapan kawasan hutan. Semua proses tersebut disahkan melalui
keputusan menteri. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi bahwa suatu areal
hutan akan disebut kawasan hutan jika sudah dilakukan penetapan kawasan hutan,
yang sebelumnya dilakukan melalui proses penunjukan kawasan, penataan batas,
dan pemetaan kawasan hutan.
Hermofilia dan Fay (2006) mencatat bahwa sampai awal tahun 2005 proses
penataan batas hutan baru berhasil mencapai luas kurang lebih 12 juta hektar, dari
keseluruhan luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi kawasan hutan negara.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa jumlah luasan hutan yang
telah dilakukan penataan batas temu gelang baru seluas ± 14,238 juta hektar atau
sekitar 11,83 % dari total luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi hutan
negara, yaitu kurang lebih seluas 136 juta hektar (Ditjen Planologi 2010). Artinya
hanya sekitar 11 % kawasan hutan yang statusnya dapat dipastikan, selebihnya
mempunyai status yang belum pasti menyangkut hak-hak yang melekat
didalamnya.
Kementerian kehutanan mentargetkan bahwa pada tahun 2014 penataan
batas dapat dapat diselesaikan sebanyak 70% dari keseluruhan luas hutan yang
harus di tata batas. Target ini akan sulit tercapai jika berbagai permasalahan
kepastian kawasan hutan belum dapat diselesaikan. Sampai saat ini masih terjadi
perubahan penggunaan penggunaan kawasan hutan baik untuk pinjam pakai,
pelepasan kawasan, dan penundaan perijinan. Masih ada rencana tata ruang
wilayah provinsi dan kabupaten yang belum selesai, dan masih terus berlangsung
pemekaran wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang mempengaruhi luasan
kawasan hutan.
Ketidakpastian status dan fungsi kawasan hutan tersebut menjadi salah satu
penyebab terjadinya kerusakan dan degradasi hutan, yang diawali dengan
munculnya konflik atas sumberdaya hutan. Di beberapa daerah ketidakpastian
status dan fungsi kawasan hutan telah memunculkan perbedaan persepsi dan
kepentingan dari para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan, khususnya antara masyarakat yang berada di dalam dan di
2
sekitar hutan dengan pemerintah atau pihak swasta yang diberi hak untuk
memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Beberapa kejadian konflik sumberdaya
hutan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan antara lain seperti yang
terjadi di Tahura Wan Abdurrahman, Lampung (Fajri 2006), Cagar Alam
Pegunungan Cyclop, Papua (Maintindom 2005), Tahura Nuraksa Sesaot dan
HKm Sesaot (Sahwan 2002; Dipokusuma 2011), dan Taman Nasional Lore Lindu
(Mehring et al. 2011).
Kajian dan paparan konflik sumberdaya hutan masih lebih banyak
menggunakan analisis konflik struktural, dimana memposisikan Negara (pihak
yang kuat) sebagai sumber masalah, dan masyarakat (pihak yang lemah) sebagai
pihak yang tidak bersalah. Padahal menurut Maring (2010) yang melakukan
penelitian di Nusa Tenggara Timur, sumber masalah tidak hanya berasal dari
Negara, tetapi juga dapat berasal dari pihak lain, termasuk dari masyarakat.
Menurut Moore (1996) konflik tidak hanya berkaitan dengan masalah struktural,
tetapi juga mengenai tata nilai, tata hubungan, data dan informasi, dan konflik
kepentingan. Jadi konflik pengelolaan hutan yang terjadi di sebuah wilayah bisa
tidak hanya terkait dengan struktural, tetapi gabungan dari tipologi konflik,
bergantung dari kepentingan aktor-aktornya.
Menurut Pasya dan Sirait (2011) upaya penyelesaian atas konflik
sumberdaya alam ditentukan bagaimana gaya bersengketa (conflict style) pihak-
pihak yang terlibat konflik. Gaya bersengketa dapat dibedakan menjadi saling
menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi (Isenhart dan
Spangle 2000 dalam Pasya dan Sirait 2011). Hasil penelitian Pasya dan Sirait
(2011) yang mengkaji konflik sumberdaya alam di Jambi, Lampung, dan
Sumatera Barat menemukan bahwa conflict style di masing-masing lokasi ternyata
berbeda, sehingga upaya penyelesaian sengketanya pun mesti dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda.
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan, khususnya dari kawasan hutan
lindung menjadi kawasan konservasi, atau sebaliknya, juga membawa perubahan
kewenangan pengelolaan, khususnya antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten. Perubahan ini merupakan wujud dari politik
otonomi daerah yang berwujud pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan
daerah. Perubahan kewenangan ini seringkali menimbulkan perbedaan persepsi
diantara para pihak yang kemudian berkembang menjadi konflik atas sumberdaya
hutan.
Pada kawasan Hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha di Provinsi Nusa Tenggara
Barat telah terjadi perubahan status dan fungsi kawasan. Di mulai dari kebijakan
tata guna hutan kesepakatan pada tahun 1982 yang mengubah status dan fungsi
kawasan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian pada
tahun 1999 dan 2009 sebagian kawasan Hutan Sesaot juga diubah fungsinya
menjadi kawasan konservasi. Kebijakan tersebut tidak diikuti dengan proses-
proses penetapan kawasan hutan, seperti penataan batas, sehingga menimbulkan
perbedaan persepsi terhadap status dan fungsi kawasannya serta menimbulkan
konflik sumberdaya hutan. Perubahan kebijakan tersebut menimbulkan
konsekuensi perubahan kelembagaan pengelolaan dan/atau pemanfaatan, mulai
dari bentuk pengelolaan, aktor-aktor yang terlibat, serta aturan mainnya.
3
Kerangka Pemikiran
Dari paparan di atas, penelitian ini mengkaji proses dan implikasi dari
implementasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan
Sesaot, termasuk terjadinya konflik atas sumberdaya hutan yang telah terjadi dan
upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk
mengetahui sejauhmana kelembagaan masyarakat dan para pihak akan mampu
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan digunakan kerangka analisis
kelembagaan (institutional analysis development) yang dikembangkan oleh
Ostrom (1999; 2004). Kerangka penelitian seperti pada Gambar 1.
5
Gambar 1 Kerangka kerja analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot (modifikasi dari Ostrom 2004)
6
Perumusan Masalah
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan menimbulkan implikasi perubahan,
baik pada aspek produksi, ekologi, maupun sosial kawasan hutan serta
kelembagaan pengelolanya. Perubahan status dan alih fungsi kawasan hutan dari
hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan kemudian menjadi kawasan
konservasi, seperti yang terjadi di kawasan hutan Sesaot, dari sisi sosial
mengakibatkan terjadinya perubahan hak dan akses masyarakat tempatan terhadap
sumberdaya. Kelembagaan dan kewenangan pihak-pihak pun menjadi berubah,
yang jika tidak dijalankan dengan baik akan memunculkan permasalahan
tersendiri yang berujung pada terjadinya konflik atas sumberdaya hutan.
Hasil penelitian Wulan dkk (2004) menyebutkan bahwa kebijakan alih
fungsi atau perubahan status kawasan hutan menjadi salah satu penyebab konflik
di sektor kehutanan, disamping faktor yang lain, yaitu perambahan hutan,
pencurian kayu dan perusakan lingkungan. Konflik (antara pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat) yang disebabkan alih fungsi kawasan hutan mencapai
3% dari 359 konflik sektor kehutanan dari tahun 1997 – 2003.
Menurut Ardi (2010) yang mengutip Schmid (1987), pada tingkat
kelompok, kinerja kelembagaan dapat dilihat pada tingkat kehidupan, kualitas
lingkungan dan kualitas kehidupan secara umum. Parameter lain yang dapat
dilihat adalah distribusi sumberdaya, pilihan untuk bertransaksi secara bebas,
optimalisasi nilai produksi dan efisiensi. Dari gambaran tersebut dirangkum
kondisi kelembagaan yang baik atau tidak baik akan dilihat dari kepastian atau
ketidakpastian hak kepemilikan, kapasitas kelembagaan, implementasi instrumen
ekonomi atau pasar. Menurut Agrawal (2001), faktor-faktor yang menentukan
berhasil atau tidaknya tata kelola sumberdaya milik bersama berkaitan dengan 1)
karakteristik sistem sumberdaya, 2) karakteriktik kelompok, 3) Hubungan antara
karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok, dan 4) tatanan
kelembagaan.
Penelitian ini untuk mengetahui implikasi dari implementasi kebijakan alih
fungsi kawasan hutan serta kebijakan lainnya terhadap kondisi hutan Sesaot.yang
menimbulkan konflik atas hutan Sesaot. Disamping itu dikaji juga kelembagaan
pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot, dalam hal
ini kelembagaan Tahura dan kelompok HKm serta dinamika hubungan antar
pihak yang kemudian memunculkan konflik atas sumberdaya hutan.
Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi konflik atas hutan Sesaot ? Bagaimana pola konflik dan
siapa para pihak yg berkonflik?
2. Bagaimana upaya-upaya yang mendorong kolaborasi atau konsensus,
siapa para pihak yang berpartisipasi?
3. Bagaimana implikasinya terhadap sumberdaya hutan Sesaot dan
kelembagaan pihak-pihak yang memanfaatkan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kelembagaan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/
atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot.
7
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan informasi tentang mengenai isi dan implementasi berbagai
kebijakan yang berlaku pada kawasan hutan Sesaot, sebagai pembelajaran dan
acuan bagi para pengambil kebijakan dalam melakukan alih fungsi kawasan
hutan kedepan.
2. Memberikan informasi mengenai kelembagaan pihak-pihak yang mengelola
dan memanfaatkan kawasan Hutan Sesaot.
3. Memberikan informasi mengenai upaya dan strategi penyelesaian konflik
sumberdaya hutan di kawasan hutan Sesaot.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Kelembagaan
(bagi CPRs yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar).
Berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan Sesaot, kerangka kerja ini
dapat untuk menganalisis kelembagaan para pihak, baik kelembagaan masyarakat,
pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi serta pihak-pihak lain, seperti NGO
dan lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kompleksitas permasalahan, baik di
tingkat kebijakan (mulai dari pemerintah pusat sampai daerah), sampai dengan
arena aksi dikaji menggunakan framework tersebut. Kelembagaan yang telah
berjalan dapat dianalisis dengan seperangkat prinsip diatas untuk mengetahui
apakah sumberdaya hutan Sesaot tersebut dapat dikelola secara baik dan lestai
atau tidak.
Analisis Kebijakan
Kebijakan merupakan suatu ketetapan yang didalamnya terdapat prinsip-
prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini merangkum dari definisi
kebijakan yang dibuat oleh Ealau dan Prewit (1973) dan Titmuss (1974). Menurut
Ealau dan Prewitt kebijakan adalah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh
perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari pembuat kebijakan maupun yang
terkena kebijakan, sedangkan menurut Titmuss, kebijakan adalah prinsip-prinsip
yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan
senantiasa beriorientasi kepada masalah dan tindakan (Suharto 2008).
Kebijakan juga diartikan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak. Menurut Pador dan Sembiring (2009), kebijakan berbeda
dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang
perilaku, maka kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin
memperoleh hasil yang diinginkan.
Pembuatan kebijakan ditujukan untuk menjadi pedoman bagi pengaturan
suatu urusan agar hasil-hasil yang diinginkan tercapai. Kebijakan yang mengatur
urusan-urusan publik sering disebut dengan kebijakan publik, yang dapat diartikan
sebagai keputusan-keputusan yang mengikat banyak orang pada tataran strategis
yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Idealnya pembuatan kebijakan adalah
berdasarkan kebutuhan dan realitas apa yang akan diatur. Pembuatan dan
implementasi kebijakan yang tidak tepat disamping dapat mengakibatkan tujuan
yang tidak tercapai juga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan jika hal ini
berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, akan dapat
menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan konflik atas sumberdaya alam.
Penelitian kebijakan telah berkembang yang dilakukan antara lain untuk
menganalisis mekanisme proses pembuatan sampai pada dampak
implementasinya. Menurut Danim (2005) penelitian kebijakan termasuk dalam
kelompok penelitian terapan atau dalam lingkup penelitian sosial yang dalam
aplikasinya mengikuti prosedur umum penelitian yang berlaku. Penelitian
kebijakan adalah penelitian yang mendukung kebijakan. Ann Majchrzak (1984)
dalam Danim (2005) menjelaskan bahwa penelitian kebijakan adalah proses
penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap
11
Analisis Stakeholder
penyelesaian konflik atas sumberdaya alam dan implementasi atas rencana dan
program kerja sebuah organisasi yang sedang melakukan pengelolaan sumberdaya
alam. Proses tersebut termasuk dalam kegiatan analisis stakeholder.
Menurut Grimble dan Chan (dalam Suporaharjo 2005), definisi umum dari
analisis stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai
pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi aktor-aktor kunci di dalam
sistem, dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang peran dan
kepentingan para pihak serta untuk merancang proyek dan kebijakan yang lebih
baik bagi pengelolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan. Selanjutnya
disebutkan bahwa berkaitan dengan upaya peningkatan proyek dan perbaikan
kebijakan, analisis stakeholder ditujukan untuk :
a. Meningkatkan efektifitas kebijakan dan proyek di lapangan dengan cara
mempertimbangkan secara eksplisit kepentingan dan tantangan stakeholder,
mengidentifikasi dan menangani konflik atas sumberdaya alam antar
kelompok stakeholder, dan memberikan pertimbangan awal bagi cara-cara
membangun kebersamaan dan sifat saling melengkapi kepentingan dan
peluang-peluang kerjasama dan kompromi.
b. Menanggapi secara lebih baik dampak sosial dari implementasi kebijakan dan
proyek.
Menurut GTZ (2007) terdapat 10 building bloks untuk melakukan analisis
stakeholder yaitu identifikasi stakeholder kunci, pemetaan stakeholder, pilihan-
pilihan profil stakeholder dan pilihan-pilihan strategi, kekuasaan dan sumber
kekuasaan, kepentingan dan lingkup aksi stakeholder, pengaruh dan keterlibatan
stakeholder, analisis kekuatan stakeholder, membangun kepercayaan, eksklusi dan
pemberdayaan, dan gender (merupakan cross cutting building block dalam
keadilan gender dalam pembangunan). Masing-masing building blok mempunyai
teknik dan metode penilaian sendiri-sendiri yang dapat dipakai atau di adaptasi
secara fleksibel tergantung dari situasi, kebutuhan, harapan, dan ide-ide dari
stakeholder yang terlibat.
Metode analisis stakeholder yang lain adalah yang dikembangkan oleh
Meyers dan IIED yaitu analisis 4R (Right, Responsibility, Revenues and
Relationship) (Suporaharjo 2005). Alat ini berguna untuk meninjau kembali,
menegosiasikan, dan membangun kembali peran para stakeholder sesuai dengan
tuntutan kebutuhan. Secara umum metode ini adalah untuk proses internalisasi
dan penguatan peran stakeholder dengan cara mengeksplorasi perannya atas
komponen right (hak stakeholder), responsibility (tanggung jawab stakeholder),
revenues (keuntungan yang diperoleh stakeholder), dan relationship (relasi
stakeholder).
Konflik
Konflik adalah bagian hidup manusia. Tanpa konflik, kemajuan akan sulit
dicapai. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menghadapi, mengatasi dan
mengelola konflik (Hautojarvi 1997 dalam Suporaharjo 2005). Susan (2008)
bahkan menyebut bahwa konflik merupakan unsur terpenting dalam kehidupan
14
1
Susan (2008) mengutip pendapat para penulis mengapa konflik penting bagi kehidupan
manusia karena konflik memiliki fungsi positif (George Simmel 1918; Lewis Coser 1917),
konflik menjadi dinamika sejarah manusia ( Karl Marx 1880; Ibnu Khaldun), konflik
menjadi entitas hubungan sosial (Max Weber; Ralf Dahrenhord 1959), dan konflik adalah
bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow 1954;Max Neef 1987;
John Burton 1990; Marshal Rosenberg 2003).
15
kawasan hutan berdasarkan kepemilikannya menjadi hutan negara, hutan adat, dan
hutan hak.
Sampai saat ini masih terjadi diskursus terkait dengan definisi hutan adat,
dimana masyarakat adat menganggap bahwa hutan adat adalah milik masyarakat
adat, yang secara turun temurun, bahkan sebelum ada negara, telah dikelola dan
dimanfaatkan masyarakat. Akibatnya muncul banyak konflik dan sengketa atas
sumberdaya hutan, terutama antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah
dan perusahaan-perusahaan kehutanan yang diberi hak dan akses untuk
memanfaatkan hutan, sementara hutan tersebut diklaim sebagai hutan adat yang
merupakan hak ulayat masyarakat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang
Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya yang mengatur hutan adat. Pada
tanggal 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusannya
akhirnya mengabulkan sebagian permohonan judicial review dari AMAN,
diantaranya adalah pada Pasal 1 ayat 6, dimana pengertian hutan adat adalah hutan
yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Jadi hutan adat tidak lagi
termasuk dalam kawasan hutan Negara.
Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk
mendapatkan manfaat dari sesuatu termasuk dari sumberdaya alam, lembaga, dan
simbol-simbol berupa penghargaan dan/atau predikat. Terkait dengan kegiatan
pemanfaatan hutan, sebelum diundangkannya tahun 1999, akses masyarakat
sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari hutan sangat dibatasi. Pada
dasarnya masyarakat tidak boleh masuk ke dalam kawasan hutan, baik dalam
kawasan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi. Hutan dikelola oleh
negara dengan menggandeng perusahaan swasta dan BUMN. Masyarakat yang
memanfaatkan hutan dianggap sebagai melakukan kegiatan illegal.
Ketidakpastian hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
merupakan salah satu sumber permasalahan terjadinya konflik atas hutan. Sebagai
contoh konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur
disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung,
sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan laut
(Moeliono dan Fisher 2003 dalam Yasmi et al.2004). Sejak diterbitkan undang-
undang kehutanan tahun 1999 akses masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan
diwadahi dalam bentuk pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), dan pola kemitraan. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan. Skema HKm dan HD hanya boleh dilakukan pada
kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sedangkan pada kawasan konservasi
akses masyarakat untuk memanfaatkan hutan sangat terbatas. Menurut Sembiring
(1998) akses atas pemanfaatan hasil hutan sama sekali tertutup, berdasarkan
ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan, dimana siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang dan membelah pohon dan setiap orang dilarang mengambil/memungut
hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang.
Pada pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya hanya menyebutkan bahwa di dalam
kawasan konservasi (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
18
Sejak tahun 1978, pada saat kongres kehutanan dunia ke VIII berlangsung
di Indonesia dengan tema besar ”Forest for People”, wacana pengelolaan hutan
berbasis masyarakat semakin bergulir. Kongres tersebut tidak secara jelas
menyebutkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti apa yang
19
Januari 2012 telah masuk usulan untuk mendapat ijin usaha pemanfaatan HKm
(IUPHKm) seluas 700 ribu ha. Dari luasan tersebut yang sudah diverifikasi oleh
pemerintah seluas ± 571.000 ha, dan yang telah ditetapkan menjadi areal kerja
HKm baru seluas 177.484 ha. Dari keseluruhan luasan tersebut baru 46.435 ha
areal HKm yang telah mendapatkan IUPHKm dari Bupati atau Walikota setempat.
Dari hasil kinerja selama 2 (dua) tahun ini kemungkinan besar target
pembangunan 2 juta ha areal HKm tidak akan tercapai. Masih kecilnya areal kerja
HKm yang ditetapkan dan mendapat IUPHKm menunjukkan bahwa meskipun
dari sisi prosedur pengajuan perijinan sudah dipermudah, tetapi masih ada
persoalan lain yang menghambat, misalnya berkaitan dengan hubungan
pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan para pihak terhadap percepatan
proses mendapatkan IUPHKm.
Implementasi HKm di Nusa Tenggara Barat telah berjalan sejak tahun 1995,
dimulai dengan pelaksanaan uji coba pembangunan HKm di beberapa wilayah,
seperti di Sesaot, Santong, Salut, Munder, Sekaroh, Sekotong, dan Sumbawa.
Program ini sebagai respon terhadap keluarnya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 622/1995 yang kemudian disempurnakan melalui Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 677/Kpts – II/1998 tentang Hutan
Kemasyarakatan.
Sampai bulan Ferbuari 2012 areal hutan di Provinsi NTB yang sudah
ditetapkan menjadi areal HKm seluas 14.837 ha, yang terletak di Kabupaten
Bima, Kota Bima, Dompu, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, dan
Lombok Timur. Sementara itu areal HKm yang telah mendapat ijin usaha
pemanfaatan HKm (IUPHKm) seluas 3.399 ha meliputi 7 ijin, masing-masing 4
ijin di Kabupaten Lombok Tengah, 1 IUPHHKm di Kabupaten Lombok Timur, 1
IUPHHKm di Kabupaten Lombok Barat, dan 1 IUPHHKm di Kabupaten Lombok
Utara. Masih terdapat beberapa lokasi lain yang sedang mengikuti proses
penetapan areal HKm, dan diharapkan jumlah dan luasan areal HKm di Provinsi
NTB akan terus bertambah.
2
Definisi ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati an Ekosistemnya, yang kemudian dicantumkan juga pada
kebijakan-kebijakan turunannya.
23
Pengelolaan Taman Hutan Raya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dalam PP Nomor 28/2011 [pasal 9] disebutkan bahwa kriteria suatu
wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya
meliputi: a) memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam, 2) mempunyai luas
wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau
satwa, dan c) merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada
wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah
berubah. Penyelenggaraan tahura dilakukan oleh pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten/kota. Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 tahun 2007, dimana berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi,
khususnya tahura, pemerintah pusat mempunyai wewenang:
1. Menyelenggarakan penataan batas, pemetaan, pengukuhan dan penetapan
kawasan hutan termasuk kawasan pelestarian alam
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria (antara lain pemanfaatan
Tahura, penataan blok dan rehabilitasi)
3. Pengesahan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang dan Menengah
Pemerintah provinsi dan kabupaten memiliki kewenangan :
a. Pemerintah Provinsi
1. Pengelolaan Tahura
2. Penyusunan rencana pengelolaan
3. Pengesahan rencana pengelolaanjangka pendek serta penataan Blok
4. Pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di Tahura skala
provinsi
b. Pemerintah Kabupaten
a. Pengelolaan Tahura
b. Penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek dan penataan blok
c. Pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan
d. Rehabilitasi di Tahura kkala kabupaten/Kota
Sampai saat ini jumlah Tahura di Indonesia yang telah ditunjuk dan/atau
ditetapkan adalah sebanyak 22 lokasi dengan luas total mencapai 351.593 ha.
Tidak ada ketentuan berapa persyaratan sebuah areal dapat dijadikan Tahura. Dari
ke 22 Tahura yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan tersebut luasan bervariasi,
mulai dari yang hanya seluas 6 ha (Tahura Pancoran Mas Depok), 35 ha (Tahura
Palasari Sumedang), ratusan hektar (Tahura Ir. Djuanda Bandung, Tahura
Ngargoyoso, Karanganyar), puluhan ribu hektar (Tahura Bukit Barisan Sumatera
Utara 51.600 ha, Tahura Bukit Soeharto 61.850 ha) dan lebih dari seratus ribu
hektar (Tahura Sultan Adam, Kalimantan Selatan seluas 112.000 ha). Banyak di
antara tahura tersebut yang mengalami permasalahan yang hampir sama, yaitu
terjadinya konflik atas lahan karena terbukanya akses, sehingga sebagian wilayah
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan sebagai tahura tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat. Permasalahan lain biasanya menyangkut kewenangan pengelolaan
Tahura oleh pemerintah, khususnya antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota.
3 METODE PENELITIAN
Lokasi penelitianGambar
Rancangan Penelitian
Teknik
No Stakeholder Variabel penelitian Pengumpulan
Data
- KPH Rinjani Barat pengelolaan hutan Sesaot.
4. Kebijakan model Taman Hutan
Raya
5. Kebijakan Hutan Kemasyakatan
6. Kebutuhan dan persepsi
pengelolaan terhadap hutan
Sesaot
7. Persepsi dan harapan terhadap
kondisi hutan dan masyarakat
yang memanfaatkan kawasan
hutan Sesaot
8. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan
3. Pemda Kabupaten Lombok 1. Kebijakan yang telah, sedang dan - Wawancara
Barat , meliputi : akan dibuat (termasuk - Penelusura
1. Bappeda Kabupaten implementasinya) terhadap n dokumen
Lombok Barat pengelolaan kawasan Hutan
2. Dinas Kehutanan Sesaot.
dan Perkebunan 2. Atribut komunitas di desa-desa
Kabupaten Lombok sekitar hutan Sesaot
Barat 3. Kebutuhan Pemda atas Kawasan
3. Pemerintah desa Hutan Sesaot
4. Sikap pemda Kabupaten terhadap
bentuk pengelolaan hutan Sesaot
5. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan
4. Masyarakat, meliputi 1. Sejarah pemanfaatan kawasan - Wawancara
pengurus dan anggota Hutan Sesaot - Penelusuran
kelompok HKm, Forum 2. Karakteristik masyarakat dokumen
Kawasan, dan tokoh 3. Kelembagaan masyarakat - FGD
masyarakat lainnya 4. Tenurial justice pada kelompok-
kelompok masyarakat
5. Sikap masyarakat terhadap
implementasi kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
6. Persepsi dan harapan masyarakat
terhadap pengelolaan hutan
Sesaot
7. Pilihan bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan hutan Sesaot
kedepan
6. NGO dan Perguruan Tinggi 1. Tanggapan dan sikap terhadap - Wawancara
kebijakan pengelolaan Hutan - Penelusuran
Sesaot saat ini dokumen
2. Persepsi terhadap hutan dan - FGD
masyarakat yang memanfaatkan
hutan Sesaot.
3. Peran, fungsi dan tindakan yang
dapat dilakukan untuk membantu
28
Teknik
No Stakeholder Variabel penelitian Pengumpulan
Data
mewujudkan pengelolaan Hutan
Sesaot yang lestari
4. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan
Penentuan Sampel
Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode analisis data yang relevan
dengan tujuan penelitian. Untuk menganalisis secara sistematis pengaruh
kebijakan (positif dan negatif) yang sedang berjalan maupun yang akan diusulkan,
khususnya terkait dengan kebijakan perubahan fungsi dan status kawasan hutan
Sesaot, digunakan metode analisis isi dan proses kebijakan (IDS 2006) terhadap
30
Kondisi biofisik
3
Pada berbagai literatur dan hasil penelitian disebutkan bahwa jumlah desa yang berada di
sekitar kawasan hutan Sesaot adalah 4 desa (Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedahu, dan
Batu Mekar). Sejak bulan November 2011 telah terjadi pemekaran desa, yaitu Desa Sesaot
dimekarkan menjadi 2 desa (Desa Sesaot dan Buwun Sejati) dan Desa Lebah Sempage juga
dimekarkan menjadi 2 desa (Desa Lebah Sempage dan Desa Pakuan).
32
4
Definisi kawasan hutan lindung pada Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
33
5
Dalam Keppres No. 32/1990 ketentuan ini diubah menjadi kawasan hutan yang mempunyai
lereng lapangan 40% atau lebih.
34
1400
1318 1223
1200
1000 980
CH (mm/th)
846 923
800 787 783 748 794 734
785
674 662
600 588
530
400
200
0
95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
19
19
19
19
19
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Tahun
Sumber : Data stasiun penangkar juru pengairan daerah irigasi Sesaot, Kecamatan
Narmada.
Secara umum kawasan hutan Sesaot terdiri dari hutan alam yang belum
ada kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat seluas ± 2.700 ha, dengan jenis-jenis
35
Kependudukan
Saat ini terdapat 6 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan
lindung Sesaot, yaitu Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Pakuan, Buwun Sejati
(kelimanya termasuk dalam wilayah Kecamatan Narmada), dan Desa Batu Mekar
(Kecamatan Lingsar). Desa Lebah Sempage merupakan hasil pemekaran dari
Desa Sedau pada tahun 1998, Desa Batu Mekar merupakan hasil dari pemekaran
Desa Batu Kumbung pada tahun 2000, Desa Pakuan merupakan desa hasil
pemekaran dari Desa Lebah Sempage ( November 2011), dan Desa Buwun Sejati
juga merupakan desa hasil pemekaran Desa Sesaot (November 2011). Jadi
wilayah Desa Sesaot telah dimekarkan menjadi 3 desa baru. Jumlah penduduk
masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
36
9000
8000
7000 Sesaot
6000
5000 Lebah Sempage
4000 Sedau
3000
2000 Pakuan
1000 Batu Mekar
0
Buwun Sejati
Jml Laki-laki Perempuan Jml KK
Penduduk
6
Data ini merupakan dataKecamatan Narmada dalam Angka tahun 2010
37
Mata pencaharian
7
Data Desa Buwun Sejati dan Desa Pakuan masih tergabung dalam Desa Sesaot dan Desa
Lebah Sempage
38
Gambar 7 pencari kayu bakar dan tumpukan kayu bakar yang siap dijual
Di desa-desa sekitar hutan juga terdapat beberapa industri pengolahan kayu
(sawmill). Bahan baku kayunya disebutkan berasal dari kayu-kayu dari hutan
rakyat dan/atau kayu dari daerah lain. Akan tetapi beberapa pihak yang
diwawancarai juga menengarai bahwa keberadaan sawmill tersebut menjadi salah
satu pendorong masih adanya kasus-kasus penebangan liar dimana hasil
penebangan ditampung dan diolah menjadi kayu olahan pada sawmill yang berada
di sekitar desa.
39
4000
3500
3000
Tidak/Belum Sekolah
2500
SD
2000
1500 SLTP
1000 SLTA
500 PT
0
Sesaot Lebah Sedau Batu
Sempage Mekar
Islam, sebagian lain beragama Hindu, dan Kristen. Sebagai contoh di Desa Sesaot
kurang lebih 89 % beragama Islam dan 11% beragama Hindu. Di desa lainnya
lebih dari 95% penduduknya beragama Islam. Sarana ibadah masjid dan/atau
musholla terdapat pada setiap desa dan dusun. Di Sesaot terdapat sebuah pura
yang cukup besar, yang di areal pura tersebut terdapat mata air Ranget yang
dimanfaatkan penduduk dan juga diambil airnya oleh PDAM untuk kebutuhan air
minum masyarakat kota Mataram.
Kelembagaan masyarakat yang ada di desa, disamping lembaga formal
seperti pemerintahan desa, badan perwakilan desa, kepala dusun, RT, dan RW,
terdapat juga lembaga sosial kemasyarakatan, baik yang sifatnya lembaga
keagamaan, seperti pondok pesantren, kelompok pengajian dan wiridan, maupun
yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan, seperti Banjar Hidup dan
Banjar Mati. 8 Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,
khususnya hutan dan air telah berjalan beberapa bentuk institusi, seperti Forum
Kawasan Hutan Lindung Sesaot (Forum Kawasan), Forum Ranget, dan
kelompok-kelompok perempuan yang melakukan kegiatan usaha produktif
berbasis hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan. Setidaknya terdapat 3 (tiga)
kelompok perempuan yang aktif, yaitu kelompok perempuan MELATI Desa
Lebah Sempage, kelompok MELATI Desa Sesaot, dan kelompok DAHLIA Desa
Suranadi. Kegiatan yang dilakukan antara lain pengolahan pasca panen hasil hutan
bukan kayu, pembibitan dan pembuatan kerajinan.
Forum Kawasan merupakan forum yang beranggotakan kelompok-
kelompok tani masyarakat yang memanfaatkan hutan dengan skema HKm pada
lintas desa, seperti KMPH Sesaot, Kelompok tani Wana Abadi, Wana Lestari, dan
Wana Darma. Kelembagaan forum disamping terdiri dari para pengurus seperti
ketua dan sekretaris, juga terdapat Lokaq Awig-Awig dan Lang-Lang. 9 Forum
Ranget merupakan forum yang beranggotakan para pihak yang memanfaatkan
mata air Ranget di Desa Sesaot.
8
Banjar Hidup adalah kelompok arisan untuk kepentingan perkawinan, sedangkan Banjar
Mati adalah kelompok arisan untuk kematian.
9
Lokaq awig-awig merupakan organ Forum Kawasan yang berperan sebagai pemegang
keputusan akhir dalam penegakan sanksi dari setiap kasus pelanggaran, sedangkan
Lang-lang berperan sebagai penegak awig-awig atau aturan local yang dibangun
bersama. Fungsinya bersifat pilisional, mulai dari penyidikan, penangkapan, dan
penindakan para pelanggar awig-awig.
42
2000
1500
1000
500
0
KMPH Wana Dharma Wana Abadi Wana Lestari
Luas 255,66 1065 1628 928
Jumlah Blok 32 22 14 24
Jumlah Anggota 991 1010 1158 1030
0,9 0,26
1,054
KMPH
1,4 Wana Dharma
Wana Abadi
Wana Lestari
Gambar 11 Rata-rata luas lahan per penggarap anggota kelompok HKm di Sesaot
Hasil wawancara dengan pengurus Forum Kawasan dan kelompok HKm
didapatkan keterangan bahwa terdapat anggota kelompok yang mempunyai lahan
garapan dengan luasan lebih dari 2 ha, hal ini dikarenakan ketika mereka mulai
memanfaatkan kawasan hutan tidak ada yang membatasi dan sesuai
kemampuannya. Sebaliknya terdapat banyak anggota yang mempunyai lahan
garapan hanya kurang lebih 0,25 ha. Luasan lahan garapan yang lebih luas karena
mendapatkan pemindahtanganan melalui proses nebus dari anggota yang mundur
dari keanggotaan atau pindah domisili, serta dari lahan yang ditelantarkan
penggarapnya. Proses pemindahtanganan ini disertai dengan biaya ganti rugi dan
harus sepengetahuan kelompok serta terdata dalam administrasi kelompok. Jika
tanpa sepengetahuan kelompok dan ditemukan oleh lang-lang atau lokaq awiq-
awiq maka akan dilakukan persidangan di tingkat kelompok atau forum kawasan
dengan kemungkinan dikenai denda yang besarnya ditentukan dalam persidangan
lokaq awiq-awiq.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tanaman reboisasi seperti
sengon sudah tumbuh besar dengan diameter tanaman lebih dari 40 cm. Di
beberapa tempat, seperti di Dusun Kumbi, Lebah Sempage tegakan kemiri juga
tumbuh besar dan telah menghasilkan buah kemiri yang dimanfaatkan
masyarakat. Pada kawasan yang dimanfaatkan masyarakat dengan model HKm,
dalam 1 (satu) kelompok areal dibagi dalam blok-blok pemanfaatan (gontoran)
yang dikoordinir oleh ketua blok. Blok terdiri dari sejumlah aguman (andil) yang
dimanfaatkan masing-masing anggota kelompok. Luas gontoran bervariasi antara
0,25 ha sampai dengan 1 ha, meskipun terdapat anggota yang menggarap luasan
lebih dari 1 ha.
Pengelolaan hutan dilakukan oleh masing-masing penggarap pada lokasi
garapan (aguman) dengan pola penanaman yang telah disepakati bersama. Areal
hutan dibagi dalam blok-blok yang pembagiannya berdasarkan Rukun Tetangga
dalam wilayah dusun yang bersangkutan atau berdasarkan kemampuan ketua
45
10
Ketika survai dan orientasi ke dalam kawasan hutan ditemukan langsung sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, yang sedang memikul kayu gergajian dari dalam
kawasan hutan (seperti gambar 14). Para penyemes, istilah setempat untuk pemikul kayu
curian, ini dibayar murah oleh para pemodal yang menyuruh mengambil kayu di dalam
kawasan hutan. Masih terjadinya pencurian kayu di kawasan hutan Sesaot antara lain
disebabkan karena terdapat beberapa sawmill di desa-desa sekitar hutan Sesaot yang
diindikasikan menampung kayu-kayu curian tersebut. Informasi dari narasumber, kasus-
kasus pencurian dan keberadaan para penadahnya sebetulnya telah diketahui, baik oleh
pengurus Forum Kawasan maupun petugas Dinas kehutanan, tetapi masih belum banyak
47
yang belum. Beberapa kegiatan Forum Kawasan yang terkait dengan pengawasan
dan pengamanan kawasan hutan terdapat pada Lampiran 3.
Gambar 14 Beberapa orang sedang mengangkut kayu dari dalam kawasan hutan
Sesaot melewati areal HKm
11
Sebagian besar tanaman semusim yang ditanam adalah padi gogo, sehingga kegiatan
tumpang sari di kawasan hutan lebih dikenal dengan istilah ngerau.
49
NTB dan arealnya diperluas menjadi 211 ha. Masyarakat membentuk Kelompok
Mitra Pelestari Hutan (KMPH) Sesaot, sebagai lembaga pengelola HKm. Proses
untuk mendapatkan ijin definitif pemanfaatan HKm sudah dilakukan oleh
masyarakat dan pendamping sejak tahun 1999. Pada tahun 1998 Bappeda Provinsi
NTB mengirimkan surat rekomendasi kepada Menteri Kehutanan agar sebagian
kawasan hutan Sesaot dijadikan Taman Hutan Raya (Tahura). Inisiatif menjadikan
Tahura didasari karena hutan Sesaot memiliki sumberdaya flora dan fauna yang
unik, memiliki potensi obyek wisata alam yang cukup banyak, serta karena letak
kawasannya yang merupakan daerah tangkapan air. Pada tahun 1999 Menteri
Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 menunjuk sebagian kawasan hutan
Sesaot seluas ± 3.155 ha sebagai areal konservasi dalam bentuk Tahura, yang
dinamakan Tahura Nuraksa Sesaot.
Seiring dimulainya implementasi politik otonomi daerah pada tahun 1999,
pengelolaan kawasan hutan Sesaot dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten. Pemerintah provinsi kemudian mengeluarkan Surat Keputusan
Gubernur NTB Nomor 522/629/EKO/2000 mengenai pemanfaatan kayu bekas
perambahan dan pencurian di kawasan hutan Monggal dan hutan Sesaot, dengan
tujuan antara lain untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Implementasi
kebijakan ini justru menjadi pemicu terjadinya kerusakan hutan karena bukan
hanya kayu limbah yang diambil tetapi pohon-pohon yang masih berdiri juga ikut
ditebang. Masyarakat sekitar hutan Sesaot yang melihat banyak orang luar Sesaot
mengeksploitasi hutan kemudian ikut masuk dan memanfaatkan kawasan hutan.
Pemerintah kabupaten Lombok Barat kemudian juga mengeluarkan kebijakan
pemanfaatan kayu limbah, yang kemudian dicabut kembali karena melihat
dampak kerusakan hutan yang terjadi, dan kemudian menggantinya dengan
kebijakan tentang pengendalian kayu limbah dari hutan Sesaot 14.
Tahun 2001 pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor SK.579/DJ-V/KK/2001 tanggal 11 Juni 2001,
menyerahkan pelimpahan pengelolaan Tahura Nuraksa dari pemerintah provinsi
kepada pemerintah kabupaten. Kebijakan ini memicu konflik kewenangan antara
pemerintah provinsi dan kabupaten, karena pemerintah provinsi menganggap
bahwa pengelolaan Tahura masih tetap menjadi kewenangan provinsi. Di sisi lain
masyarakat yang masuk dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot semakin
banyak. Pemerintah daerah kabupaten kemudian menginisiasi model HKm non
program untuk masyarakat yang menggarap hutan di luar HKm yang
dimanfaatkan oleh KMPH Sesaot. Untuk melakukan pengamanan kawasan hutan
kemudian dibentuk lang-lang wana yang terdiri dari masyarakat sekitar hutan,
14
Menurut penuturan narasumber dari Forum Kawasan dan KMPH Sesaot, kebijakan
pemanfaatan kayu limbah justru semakin membuat kerusakan hutan yang massif,
dikarenakan yang ditunjuk untuk memanfaatkan kayu limbah tersebut bukan dari
masyarakat Sesaot, tetapi perusahaan yang ditunjuk dinas kehutanan. Dalam prakteknya
masyarakat juga mengetahui mereka tidak hanya memungut kayu yang rebah tetapi juga
menebang pohon yang masih tegak. Hal ini yang kemudian memicu masyarakat beramai-
ramai masuk ke dalam hutan dan turut menebang pohon-pohon yang masih berdiri,
terutama kayu Mahoni.
51
Pada tahun 2006 terbentuk Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai wadah
kelembagaan bagi kelompok-kelompok HKm yang memanfaatkan hutan Sesaot di
5 (lima) desa, yaitu Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Batu Mekar, dan
Suranadi. Forum ini diharapkan berperan lebih luas dalam hal pengamanan hutan
52
dan lahan garapan masyarakat dari tindakan pencurian, illegal loging, dan
kerusakan hutan lainya. Aktivitas forum kawasan lainnya yang cukup strategis
adalah bersama-sama dengan LSM pendamping mulai mengurus kembali legalitas
dan ijin pemanfaatan HKm Sesaot.
Upaya masyarakat untuk mendapatkan legalitas pemanfaatan hutan baru
tercapai pada tahun 2009 ketika menteri kehutanan menetapkan areal hutan yang
dimanfaatkan KMPH Sesaot menjadi areal HKm, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati Lombok
Barat melalui SK Bupati Lombok Barat Nomor: 2130/65/Dishut/2009. Di sisi lain
kementerian kehutanan pada tahun 2009 menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 598/Menhut-II/2009 yang menetapkan penunjukkan kawasan
hutan dan konservasi perairan NTB. Pada keputusan ini sebagian kawasan hutan
RTK 1 Gunung Rinjani, termasuk sebagian kawasan hutan Sesaot, ditunjuk
menjadi kawasan pelestarian alam, meskipun tidak disebutkan berbentuk Tahura.
Dari dua kebijakan yang tidak konsisten tersebut diatas menyebabkan
eskalasi konflik antara pengelola Tahura dan masyarakat penggarap HKm
kembali naik dari yang tadinya bersifat laten dan mencuat menjadi manifest
(konflik terbuka).
Pada kawasan hutan Sesaot telah terjadi perubahan fungsi dan status
kawasan hutan, dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian
53
sebagian areal ditunjuk menjadi taman hutan raya dan penunjukan sebagai
menjadi kawasan pelestarian alam (tanpa penyebutan Tahura). Sebagaimana
dijelaskan pada bagian kondisi biofisik, bahwa perubahan status dan fungsi
menjadi hutan lindung karena fungsi kawasannya yang sangat penting sebagai
daerah tangkapan air. Sementara itu penunjukkan sebagai Tahura disamping
berkaitan dengan sumberdaya air juga dikarenakan kawasan hutan Sesaot
memiliki flora dan fauna yang unik dan potensi wisata alam yang cukup banyak
dan beragam.
Pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas kawasan hutan. Pasal 1(3) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai
hutan tetap. Pada pasal 14(2) disebutkan bahwa untuk memberikan kepastian
hukum terhadap kawasan hutan maka dilakukan kegiatan pengukuhan hutan.
Proses pengukuhan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pembuatan
perencanaan hutan, yang didahului dengan inventarisasi hutan. Pengukuhan
kawasan hutan meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan
kawasan hutan. Proses pengukuhan juga harus memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. Hasil pengukuhan hutan digunakan untuk menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan, yang meliputi penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan. Semua tahapan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
kementerian kehutanan.
Terjadi penafsiran yang berbeda terhadap kedua pasal tersebut diatas
berkaitan dengan kepastian hukum kawasan hutan. Penafsiran pertama
menyebutkan bahwa kawasan hutan yang baru ditunjuk sudah mempunyai
kepastian hukum, sementara penafsiran lainnya sebuah areal baru bisa disebut
kawasan hutan jika sudah melalui proses pengukuhan hutan, yang meliputi
keempat proses tersebut diatas.
Implementasi politik otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten menjadi salah satu penyebab terjadinya diskursus status dan fungsi
kawasan hutan Sesaot, berkaitan dengan siapa pihak yang berhak memiliki
kewenangan pengelolaan. Hal ini berlangsung sejak dikeluarkannya kebijakan
penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Taman Hutan
Raya (Tahura), melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999. Pada tanggal 15 Juni 1999 terbit
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Barat, dimana seluruh kawasan hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha disebutkan masih
berstatus sebagai Hutan Lindung.
Dilihat dari waktu keluarnya maka keputusan penunjukan kawasan hutan di
wilayah provinsi NTB lebih kuat dibanding keputusan penunjukan sebagian
kawasan menjadi Tahura. Akan tetapi pada Permenhutbun Nomor 244/1999
tersebut terdapat klausul bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk atau
ditetapkan yang secara teknis tidak dapat dipetakan dalam lampiran keputusan ini
dinyatakan masih tetap berlaku. Klausul tersebut dipandang sebagai dasar bahwa
54
penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Tahura masih
berlaku, meskipun secara teknis sebetulnya mudah untuk memetakan kawasan
hutan Sesaot tersebut.
Setelah penunjukan menjadi Tahura, pemerintah tidak menindaklanjuti
dengan proses pengukuhan kawasan, yaitu pemetaan dan penetapan kawasan
hutan sehingga menimbulkan perbedaan pandangan di antara para pihak yang
berkepentingan. Tabel 10 menggambarkan kebijakan yang berkaitan dengan
perubahan status kawasan hutan Sesaot.
lain, seperti kandang rusa, yang akhirnya menjadi tidak terawat dan tidak
digunakan sesuai dengan fungsinya.
hutan atau izin pemanfaatan hutan, namun dalam penunjukan kawasan hutan (dan
perairan) provinsi berdasarkan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP ditunjuk
sebagai kawasan hutan dengan fungsi yang berbeda dengan hasil perubahan
fungsi parsial, maka fungsi kawasan hutan tersebut adalah sesuai dengan hasil
perubahan fungsi parsial.
Tabel 12 Analisis persepsi para pihak terhadap status dan fungsi hutan Sesaot
No. Pihak Persepsi Argumentasi
terhadap status
dan fungsi hutan
1. Pemerintah Sebagian kawasan - Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Provinsi hutan Sesaot sudah Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang
NTB menjadi kawasan penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi
konservasi Tahura
- Perda Provinsi NTB No. 23/2008 yang menyebutkan
bahwa kawasan hutan Sesaot dikelola oleh UPTD Tahura.
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009
mengenai penunjukan kawasan hutan dan perairan
Provinsi NTB yang menyebutkan sebagian kawasan hutan
Sesaot sebagai kawasan pelestarian alam.
- Perda Provinsi NTB No. 20/2010 mengenai RTRW
Provinsi NTB tahun 2009 - 2029 yang mencantumkan
sebagian kawasan hutan Sesaot sebagai kawasan
pelestarian
2. Pemerintah - Pada awalnya - Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten mengakui Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang
Lombok bahwa sebagian penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi
Barat kawasan hutan Tahura.
Sesaot telah - SK Dirjen Nomor 579/DJ-V/KK/2001 tanggal 11 Juni
menjadi 2001 mengenai penyerahan kewenangan pengelolaan
Tahura. Tahura Sesaot dari pemerintah Provinsi kepada
- Merasa Kabupaten.
berwenang - Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
melakukan 418/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
pengelolaan wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat,
Tahura karena yang tidak menyebutkan perubahan status dan fungsi
mendapat kawasan hutan Sesaot .
pelimpahan - Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut-
wewenang. II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 mengenai penetapan areal
- Berpandangan kerja Hutan Kemasyarakatan yang dikelola oleh KMPH
seluruh Sesaot. Areal kerja yang ditetapkan, yang kemudian
kawasan hutan diberikan IUPHHKm oleh Bupati Lombok Barat terletak
Sesaot berstatus di dalam areal yang ditunjuk sebagai Tahura, sehingga
sebagai Hutan memperkuat argumentasi bahwa seluruh areal hutan
HL . Sesaot masih berstatus Hutan Lindung.
sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi kawasan pelestarian alam baru dilakukan
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009 mengenai kawasan
hutan dan perairan Provinsi NTB. Kebijakan ini yang menjadi landasan untuk
kembali mengaktifkan keberadaan Tahura Nuraksa Sesaot. Pada peta lampiran
surat keputusan tersebut sebagian kawasan hutan Sesaot ditunjuk menjadi
kawasan pelestarian alam, tetapi tidak disebutkan secara jelas berapaluasannya.
Hasil wawancara dengan staf Dinas Kehutanan Lombok Barat dan Kepala Tahura
Nuraksa menyebutkan bahwa Tahura akan diperluas sampai mencapai luasan ±
5.000 ha, yang terletak di wilayak Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Peraturan ini hanya menyebutkan luasan dan pembagian fungsi kawasan
hutan, tanpa menyebutkan bahwa kawasan hutan Sesaot tersebut ditunjuk dalam
bentuk Tahura, sebagaimana penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi
Tahura melalui SK Menhutbun Nomor 244/Kpts-II/1999. Secara hukum,
eksistensi model pengelolaan seperti Tahura memerlukan sebuah penunjukan
secara khusus, yang dalam hal ini belum dilakukan.
Terdapat kesalahan pada peta lampiran SK Menhut No. 598/Menhut-
II/2009, yaitu berkaitan dengan batas wilayah kabupaten. Pada saat kebijakan ini
diterbitkan telah terjadi pemekaran wilayah kabupaten Lombok Barat, menjadi
Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, akan tetapi pada peta tersebut
belum tercantum Kabupaten Lombok Utara, sehingga batas-batas kabupaten pun
masih mengacu pada batas kabupaten yang lama. Untuk menjadi acuan peta ini
sebaiknya di revisi dengan memperhatikan batas wilayah administratif yang baru.
Pada sebagian areal yang ditunjuk sebagai Tahura juga telah terjadi
perubahan parsial dengan ditetapkan sebagai areal kerja HKm oleh Menteri dan
telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm oleh Bupati, sehingga status dan
fungsi kawasan hutan adalah sesuai dengan hasil perubahan fungsi parsial, dimana
HKm sampai saat ini baru dapat diberikan kepada kelompok masyarakat yang
memanfaatkan areal hutan produksi dan hutan lindung. 15
Pada bulan Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
melalui keputusan nomor 45/PUU-IX/2011, mengabulkan permohonan uji materi
terhadap pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan, yang
diajukan 5 (lima) bupati (Bupati Kapuas, Gunung Mas, Katingan, Barito Timur,
dan Sukarama) dan seorang pengusaha di Kalimantan Tengah. Mahkamah
konstitusi memandang bahwa penunjukan kawasan hutan yang dilakukan sepihak
oleh Menteri Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum dan melanggar
undang-undang dasar, karena semestinya sebelum dilakukan penunjukan
dikonsultasikan dahulu dengan pihak lain yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan yang ditunjuk. Sebuah kawasan hutan akan mempunyai kekuatan
hukum tetap setelah dilakukan proses-proses penetapan kawasan hutan,
sebagaimana pada pasal 14 UU No. 41/1999. Penunjukan kawasan hutan yang
15
Hasil wawancara dengan Kasubdit HKm Ditjen BPDAS PS Kementerian Kehutanan, Kepala
KPH Rinjani Barat, dan staf Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, mengenai kenapa Menteri
menyetujui penetapan areal kerja yang dikelola KPMH Sesaot, padahal berada di dalam areal
yang ditunjuk sebagai Tahura, alasannya adalah seperti keterangan diatas, dimana proses
penetapan kawasan hutan belum selesai (belum dilakukan tata batas,dll) dan mengacu juga
ketentuan Permenhut P.50/2009.
58
16
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/2007
59
17
Pada penunjukan Tahura melalui SK Menhut No. 244/1999 kawasan Tahura seluas 3.155
ha secara administratif berada di Kabupaten Lombok Barat, sedangkan berdasarkan SK
Menhut nomor 598/2009 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan NTB, kawasan
pelestarian alam (tidak menyebut Tahura) mencakup wilayah Kabupaten Lombok Barat
dan Lombok Tengah.
61
Gambar 16 Kondisi kantor Tahura di Sesaot yang rusak karena tidak ditempati
18
Wawancara dengan staf Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Lombok Barat,
Agustus dan Desember 2011
63
19
Wawancara dengan Ir Basuki, Kepala Tahura Nuraksa, Desember 2011.
64
20
Wawancara dengan Ir Basuki, Kepala Tahura Nuraksa, Februari 2012
65
Situasi aksi
Situasi aksi yang terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot
adalah berkaitan dengan terjadinya konflik kewenangan pengelolaan hutan
dikarenakan ketidakpastian status kawasan hutan. Situasi tersebut diturunkan pada
tingkat kelembagaan dimana terjadi perebutan akses atas sumberdaya hutan antara
masyarakat yang memanfaatkan dalam bentuk hutan kemasyarakatan dan
pemerintah provinsi/UPTD Tahura yang melakukan pengelolaan Tahura.
Dinas kehutanan Provinsi menganggap bahwa sebagian kawasan hutan
Sesaot telah menjadi kawasan konservasi dalam bentuk Tahura, sedangkan
pemerintah kabupaten Lombok Barat pada awalnya beranggapan bahwa kawasan
hutan Sesaot sebagian telah dialihfungsikan menjadi Tahura akan tetapi kemudian
berpendapat bahwa seluruh kawasan hutan masih bestatus sebagai Hutan Lindung.
Pada tahun 2001 Departemen Kehutanan melimpahkan kewenangan
pengelolaan Tahura Nuraksa Sesaot kepada pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
Akan tetapi menurut narasumber staf Dinas Kabupaten Lombok Barat, upaya
pengelolaan Tahura oleh kabupaten tidak dapat berjalan karena keterbatasan
sumberdaya dan secara administrasi naskah surat keputusan penyerahan
pengelolaan tersebut tidak ditemukan lagi, sehingga legitimasinya menjadi kurang
kuat.
Kewenangan pengelolaan Tahura masih berada pada pemerintah provinsi.
Hal ini dipertegas pada tahun 2008 terbit Peraturan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat nomor 23/2008 dimana dalam peraturan tersebut disebutkan
bahwa kawasan hutan Sesaot dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai
Taman Hutan Raya Sesaot, dibawah Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Kebijakan
tersebut kemudian dipertegas dalam Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 20
tahun 2010 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) Provinsi
NTB tahun 2009 – 2029, dimana dalam dokumen tersebut tercantum Tahura
Nuraksa sebagai salah satu kawasan konservasi di Provinsi NTB.
Terbitnya Peraturan Gubernur NTB nomor 23/2008 dan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 598/2009 menjadi dasar bagi Dinas Kehutanan
Provinsi untuk mengaktifkan kembali eksistensi Tahura. Pemerintah provinsi
melakukan reorganisasi Tahura Nuraksa dengan menetapkan UPTD Tahura
Nuraksa sebagai pengelola Tahura, membentuk struktur organisasi dan
mengangkat pejabat dan staf UPTD.
Sementara itu keberadaan masyarakat yang memanfaatkan areal hutan
dalam bentuk HKm juga semakin menguat setelah Menteri Kehutanan
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut-II/2009
tanggal 4 Agustus 2009 mengenai penetapan areal kerja Hutan Kemasyarakatan
yang dikelola oleh KMPH Sesaot. Areal HKm yang ditetapkan tersebut berada di
dalam kawasan hutan yang sejak tahun 1999 ditunjuk menjadi Tahura. Jika
mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan pasal 92
menyebutkan bahwa HKm dapat diberikan pada kawasan konservasi, kecuali
66
cagar alam dan zona inti taman nasional, melalui peraturan pemerintah tersendiri.
Sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang mengatur perijinan HKm pada
kawasan konservasi belum ada, sehingga penetapan areal kerja HKm pada
kawasan yang sebelumnya ditunjuk sebagai Tahura dianggap membuktikan
bahwa kawasan hutan Sesaot masih berstatus dan berfungsi sebagai hutan
lindung.
Hasil overlay peta usulan penetapan areal kerja HKm di kawasan hutan
Sesaot dan peta Tahura Nuraksa Sesaot, menunjukkan bahwa seluas kurang lebih
3.200 ha areal yang diusulkan menjadi areal kerja HKm dan 185 ha areal HKm
yang dikelola KMPH Sesaot yang sudah mendapat IUPHKm dari Bupati Lombok
Barat, tumpang tindih dengan areal kerja Tahura, sebagaimana terlihat pada
Gambar 17, 18 dan 19.
Dari Gambar 18 terlihat bahwa areal yang dimanfaatkan 4 (empat)
kelompok HKm sebagian besar berada di dalam kawasan yang ditunjuk menjadi
Tahura. Areal tersebut telah dibagi ke dalam blok-blok (gontoran) yang
didalamnya dimanfaatkan oleh masing-masing penggarap yang menjadi anggota
kelompok. Zonasi kawasan konservasi akan sulit diterapkan karena pemanfaatan
oleh masyarakat telah menyebar pada sebagian besar kawasan hutan Sesaot. Dari
sisi biofisik dan sosial, kawasan hutan Sesaot sudah tidak cocok sebagai kawasan
konservasi dalam bentuk kawasan pelestarian alam.
67
Gambar 19 Peta hasil analisis tumpang tindih areal pemanfaatan HKm dan Tahura Nuraksa di kawasan hutan Sesaot
70
21
Direktorat Jenderal Planologi, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, DIrektorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan
Sosial, adalah direktorat yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan Sesaot.
71
-5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 5
Kepentingan
Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Gambar 20 Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak
Keterangan:
P1 = Ditjen BPDAS PS; P2= Ditjen PHKA; P3= Dinas Kehutanan Provinsi ; P4= KPH
Rinjani Barat; P5= Dinas Kehutanan Kabupaten; P6= UPTD Tahura ; P7= Forum
Kawasan Hutan Sesaot; P8= Kelompok HKm; P9=Pemerintah desa.
S1= DPRD kabupaten; S2= Konsepsi;S3=WWF Nusra; S4=Transform; S5= Mitra Samya;
S6=Universitas Mataram; S7=Samanta; S8=Lembaga nasional; S9= Ford Foundation;
S10= SCBWFM; S11= Flora Fauna Indonesia; S12 = ICRAF
74
Kondisi Biofisik 75
- Pemanfaatan kawasan hutan
Situasi Aksi : Interaksi:
yang tidak mengganggu - Pengelolaan kawasan - Pemanfaatan
fungsinya sebagai kawasan hutan Sesaot:
HKm yang
lindung dan daerah tangkapan - Hutan Lindung:
Pemanfaatan HKm lestari dan
air meningkatkan
oleh masyarakat
- Optimalisasi manfaat hasil pendapatan
hutan (HHBK dan jasa dan Pemda
lingkungan) untuk peningkatan Kabupaten masyarakat
pendapatan masyarakat - KPA: Tahura oleh - Pengelolaan
UPTD Tahura dan Tahura yang Kriteria
Pemda Provinsi baik Evaluasi&
- Fasilitasi penyelesaian
- Interaksi Rekomenda
konflik atas sumberdaya si
Atribut Komunitas: positif antar
hutan Kejelasan status
- Modal sosial terjaga stakeholder
- Kolaborasi pengelolaan
dan/atau meningkat
dan pemanfaatan hutan
dan fungsi
- Karakter masyarakat: kawasan
antara kelompok HKm dan
egaliter, gotong royong, masih hutan;
Tahura
menghormat norma adat mekanisme
-
- Kondisi sosekbud masyarakat
penyelesaia
- Kondisi pemanfaatan hutan
oleh masyarakat (HKm) Aktor -aktor: n konflik;
berjalan baik - Pemerintah pusat
- Pemerintah provinsi
- Pemerintah kabupaten Outcome
Pengelolaan
Aturan Main - Pemerintah desa
hutan
- Kebijakan kepastian status dan - Forum kawasan dan
Sesaot
fungsi kawasan hutan. Kelompok HKm
yang
- Kebijakan pemanfaatan HKm - Pedagang dan pengusaha
lestari,
dan pengelolaan Tahura hasil hutan bukan kayu,
tidak
- Pelaksanaan awiq-awiq di air, dan ekowisata
menegasik
tingkat kelompok dan - LSM, PT dan Lembaga
an salah
masyarakat Donor
satu pihak
-
76
Sar an
DAFTAR PUSTAKA
AWIQ – AWIQ
FORUM KAWASAN HUTAN LINDUNG SESAOT
Menyadari pentingnya keberadaan dan fungsi kawasan hutan Sesaot bagi keberlangsungan
kehidupan, maka kelompok-kelompok pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di
kawasan hutan Sesaot telah membangun kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan Sesaot ditingkat kawasan dalam bentuk
awiq-awiq pengelolaan hutan oleh masyarakat di kawasan hutan Sesaot. Awiq-awiq yang
disepakati ini merupakan aturan-aturan ditingkat kelompok yang disepakati untuk
kemudian diangkat menjadi kesepakatan bersama ditingkat kawasan, yaitu sebagai berikut :
1. Lahan kelola kelompok adalah hutan Negara yang tidak boleh dijadikan Hak milik. dan
tidak boleh diperjualbelikan maupun digantirugikan / gantirugi lahan garapannya.
2. Penggarap bersama kelompok dan Forum kawasan wajib menjaga dan memelihara
lahan kelola kelompok dari tindakan-tindakan yang Merusak Kelestarian Hutan seperti
mengupas kulit pohon, mengambil akar, menebang, membakar, dll. dan melakukan
Perlindungan Kawasan serta mengamankan Kawasan huta.
3. Penggarap adalah warga masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan sesaot yang
dikuatkan dengan Keterangan dari desa yang bersangkutan (Desa Sesaot, Lebah
Sempage, Sedau, Suranadi, Selat, Batu Mekar dan Batu Kumbung).
4. Bagi penggarap yang berada pada batas garis limit wilayah kelola, berkewajiban
menjaga batas tersebut dengan menanam pohon-pohon pinang,pada jarak tertentu guna
menghindari perambahan baru dan memelihara tanaman tersebut dengan melibatkan
semua penggarap dan ketua-ketua blok.
5. Batas antar lahan garapan harus jelas, dengan tanda yang disepakati bersama disetiap
kelompok dan tidak boleh dipindah-pindah.
6. Komposisi tanaman dilahan garapan dalam blok pengelolaan adalah 70% MPTs dan
30% kayu-kayuan dengan jenis yang disepakati oleh kelompok dan setiap penggarap
dalam blok tersebut berkewajiban menjaga dan mengamankan semua tanaman tersebut
dan semua tanaman dijaga bersama
7. Jarak tanam adalah 6 x 6 meter untuk tanaman MPTs dan jarak tanam kayu-kayuan 20 x
10 meter minimal 265 pohon/Ha atau 64 pohon/25 are dengan sebaran yang merata
dengan komposisi MPTs dan Kayu sesuai dengan kondisi lapangan.
8. Penggarap tidak boleh menelantarkan lahannya dengan tidak menanam MPTs dan
kayu-kayuan sesuai aturan yang disepakati atau tidak memelihara tanamannya sama
sekali.
9. Dilarang mengganggu, merusak, mencuri tanaman dan hasil-hasilnya yang berada
dilahan kelola kelompok yang akan mengakibatkan kerusakan kawasan atau merugikan
penggarap
10. Dilarang memindahkan lahan kelola kepada pihak lain tanpa melalui mekanisme
kelompok dan Pemindahan hak kelola lahan dari orang tua kepada anaknya harus
dilakukan melalui kesepakatan dan mekanisme kelompok.
86
11. Tidak boleh tinggal menetap didalam kawasan hutan dan membuat pondok permanen
dalam kawasan hutan.
12. Dilarang beternak didalam kawasan hutan.
13. Untuk Penggarap yang lokasinya dekat mata air, daerah tebing, terjal, maka
berkewajiban menanam tanaman pelindung mata air dan pelindung tebing untuk
melindungi mata air dan menghindari longsor dengan tanaman yang telah disepakati
14. Dilarang melakukan galian C dalam kawasan hutan.
15. Bagi masyarakat yang menyaksikan pelanggaran di dalam kawasan, berkewajiban
melaporkan hal tersebut pada kelompok dan pelapor diberikan perlindungan dan
identitasnya dirahasiakan.
16. Seluruh penggarap bersedia mematuhi awiq-awiq yang telah disepakati bersama dalam
kelompok.
c. Jika dalam jangka waktu 1 bulan peringatan kedua tidak diindahkan maka akan
dilakukan pencabutan hak kelola lahan melalui mekanisme sidang Lokaq dan
selanjutnya lahan kelola lahan tersebut diserahkan kepada anggota yang berhak
menerimanya melalui mekanisme kelompok.
4. Barang siapa mengganggu, merusak, mencuri tanaman dan hasilnya yang berada
dilahan kelola kelompok yang akan mengakibatkan kerusakan kawasan atau merugikan
penggarap, maka :
a. Bagi yang punya lahan kelola maka lahannya akan dicabut atau membayar ganti
rugi atas lahan yang rusak sesuai kesepakatan kelompok.
b. Bagi yang tidak punya lahan kelola akan dilanjutkan proses penegakan awiq-awiq
berupa :
Diproses secara hukum
Membayar ganti rugi atas lahan yang rusak sesuai kesepakatan kelompok dan
besarannya akan diputuskan melalui mekanisme musyawarah kelompok
5. Bagi penggarap yang lalai memenuhi kewajibannya dalam bagi hasil / retribusi maka :
a. Membayar tunggakannya dan ditambah denda 50 % ,
b. Jika kelalaian dilakukan 3 kali berturut-turut maka dikeluarkan hak
pengelolaannya dari kelompok dan selanjutnya akan dicabut hak kelolanya.
Lampiran 3 Aktivitas Forum Kawasan terkait dengan pengawasan dan pengamanan kawasan
hutan Sesaot
No. Waktu Aktivitas Hasil
1. Agustus 2007 Penyelesaian kasus penebangan Pelaku dibuatkan surat perjanjian
illegal dan penelantaran lahan tidak akan mengulangi
garapan. perbuatannya dan di denda untuk
menanam tanaman kayu-kayuan
sebanyak 50 batang.
2. November 2007 Penyelesaian kasus pencurian hasil Pelaku dikeluarkan dari desa dan
tanaman masyarakat. tidak diperkenankan
memanfaatkan kawasan hutan.
Hasil curian dikembalikan
kepada pemiliknya.
3. Februari 2008 Bekerjasama dengan RDKP Narmada Pelaku diamankan, alat-alat
melakukan penangkapan terhadap seperti kapak, timpas, dan kayu
pelaku penebangan kayu di kawasan yang ditebang disita sebagai
hutan Sesaot. barang bukti.
4. April 2008 Patroli bersama aparat desa dan aparat Berhasil melakukan
kehutanan penangkapan terhadap pelaku
penebangan illegal, selanjutnya
diproses melalui mekanisme
sidang lokaq awiq-awiq.
5. September 2009 Penyelesaian kasus penebangan Dip roses melalui sidang lokaq
illegal yang dilakukan beberapa orang awiq-awiq.
6. Oktober 2009 Penyelesaian konflik antara petani Melalui sidang lokaq awiq-awiq
hutan
7. November 2009 Penyelesaian kasus perambahan Pelaku dihukum untuk
kawasan hutan yang dilakukan oleh melakukan penanaman di lokasi
11 orang pelaku yang sudah dirambah dengan
tanaman kayu sebanyak 1000
bibit, penanaman diawasi oleh
aparat desa.
8. Maret 2011 Penyelesaian pelanggaran awiq-awiq Diberi sangsi dengan dicabut
HKm keanggotaannya dalam
kelompok dan lahan
dikembalikan kepada kelompok
9. November 2011 Penyelesaian kasus pencurian Pelaku dihukum dengan
tanaman masyarakat membayar ganti rugi sejumlah
uang
10. Maret 2012 Membantu penyelesaian kasus Kasusnya terjadi pada bulan
penebangan illegal yang melibatkan Februari 2011 dan baru
masyarakat dan petugas Dinas memasuki tahap persidangan di
Kehutanan Provinsi NTB pengadilan pada bulan Maret
2012.
Sumber: data primer (2012), wawancara dengan pengurus Forum Kawasan
89
Lampiran 4 Permasalahan yang masih terjadi di areal hutan yang dimanfaatkan masyarakat
90
91
Lampiran 5 Ringkasan dari rights, responsibilities dan revenues stakeholder di hutan Sesaot