Anda di halaman 1dari 108

ANALISIS KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN SESAOT


PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

GLADI HARDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJ ANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Gladi Hardiyanto
RINGKASAN

GLADI HARDIYANTO. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan


Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dibawah bimbingan Iin Ichwandi dan
Didik Suharjito.

Kawasan hutan Sesaot telah menjadi ruang yang dihuni bersama diantara
para pihak. Terdapat kelembagaan HKm, baik yang sudah mendapat ijin
pemanfaatan maupun belum. Dalam ruang yang sama, terdapat kelembagaan
Taman hutan raya (Tahura) yang juga melakukan pengelolaan sebagian kawasan
hutan Sesaot. Dari sisi status kawasan hutannya, telah terjadi perubahan selama
beberapa kali, mulai dari status hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan
kemudian sebagian kawasannya menjadi kawasan konservasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kelembagaan para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot, (2)
mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian konflik atas
sumberdaya hutan Sesaot, (3) menganalisis implikasi konflik terhadap kawasan
hutan Sesaot dan kelembagaan para pihak yang memanfaatkan hutan Sesaot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Hasil evaluasi terhadap
kelembagaan masyarakat (kelompok HKm dan Forum Kawasan) dan UPTD
Tahura diketahui bahwa lembaga-lembaga tersebut masih belum mampu untuk
mewujudkan pengelolaan hutan lestari, (2) Pengembangan kelembagaan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot tidak dapat menegasikan peran salah
satu pihak, khususnya masyarakat, (3) Terjadi inkonsistensi kebijakan berkaitan
dengan alih fungsi dan status kawasan hutan Sesaot serta kebijakan bentuk
pengelolaan dan pemanfaatannya yang memberikan implikasi terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten dan
perubahan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Lebih lanjut hal ini
memicu terjadinya konflik atas sumberdaya hutan, (4) konflik yang terjadi bersifat
struktural, dikarenakan implementasi kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan yang tidak konsisten, konflik tidak lagi bersifat laten tetapi sudah mencuat
dan menjadi terbuka, (5) Areal hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat lebih
tepat ditetapkan menjadi areal kerja HKm, lokasi Tahura dipindah bergeser pada
kawasan hutan yang belum dimanfaatkan, (6) Upaya penyelesaian konflik telah
menghasilkan dokumen “Piagam Kesepakatan” yang ditandatangani para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan Sesaot.

Kata kunci: kelembagaan, kebijakan, hutan kemasyarakatan, taman hutan raya


SUMMARY

Gladi Har diyanto. Institutional Analysis of Sesaot Forest Area Management


West Nusa Tenggara Province. Supervised by Iin Ichwandi and Didik Suharjito.

Sesaot forest area has been inhabited space shared between the parties.
There are institutional HKm, either already use or not licensed. In the same space,
there is a forest botanical garden institutions (Taman hutan raya/Tahura) who also
did most of the management of Sesaot forests. Of the status of forest areas, there
have been changes over several times, ranging from the status of a limited
production forest to protected forest and later some areas became of conservation
forest.
This study aims to (1) analyze institutional of stakeholders involved in the
management and / or utilization of Sesaot forest area, (2) determine the policy
options and strategies for the resolution of conflicts over Sesaot forest resources,
(3) analyze the implications of the conflict on Sesaot forests and institutional
stakeholders who utilize Sesaot forest.
The results showed that (1) the results of an evaluation of the institutional
community (“Kelompok HKm” and “Forum Kawasan”) and UPTD Tahura
known that these institutions are still not able to achieve sustainable forest
management, (2) institutional development of Sesaot forest management and
utilization can not be negated the role of one of the parties, in particular the
community, (3) deals with policy inconsistencies occurred over the function and
status of forest Sesaot and shape policy and utilization management that implies a
change in forest management authority between provincial and local governments
and changes in people's access to forest resources. This triggers further conflict
over forest resources, (4) the conflict is structural, because the implementation of
forest management and utilization policies which are inconsistent, the conflict is
no longer latent but already sticking out and being open, (5) Forest areas that have
been utilized by communities more appropriately be defined for community forest
work area, moved to shift the location Tahura untapped forests, (6) conflict
resolution efforts have produced the document "Piagam Kesepakatan" signed by
the parties who are involved in the management and / or utilization of Sesaot
forest.

Keywords: institutional, policy, community forestry, forest botanical garden


© Hak cipta IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN SESAOT
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

GLADI HARDIYANTO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJ ANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF
Judul tesis : Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Nama : Gladi Hardiyanto
NRP : P052094034

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Iin Ichwandi, MSC.For Dr.Ir.Didik Suharjito, MS


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian: 23 Maret


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayat dan kemudahan-Nya sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat“
ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan para
pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan
Sesaot, serta Mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian
konflik atas sumberdaya hutan Sesaot.
Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan
yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang
sebagian dapat kami sebutkan, yaitu:
1. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSC.For dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku
komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari
Beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud.
2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan.
3. Dr. Ir. Yanuar J Purwanto, selaku penguji dari program studi PSL yang
telah memberikan arahan dan perbaikan pada ujian tesis.
4. Seluruh staf pengajar PS PSL IPB yang sedari awal memberikan curahan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi
manusia yang lebih baik.
5. Teman-teman di Lembaga Ekolabel Indonésia yang telah memberikan
inspirasi ide, pengetahuan dan berkontribusi dengan memfasilitasi sarana
dan sebagian pendanaan dalam penyelesaian studi.
6. Teman-teman PS PSL IPB Kelas Khusus angkatan 2010/2011: Ajat
Rohmat, Nurul Hidayati, Waluyo Yogo, Isma Naberisa, Iman Suyudono,
Anna Nandya, Suratman, Muning Ekowati dan Ari Prabawa. Semoga
persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita
berkarya.
7. Seluruh staf akademik dan administrasi PS PSL (Mbak Ririn, Mbak Suli,
Mbak Herlin dan Mas Subur) yang telah banyak membantu dalam
kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis.
8. Kepada keluarga besar di Purwokerto dan Yogyakarta yang selalu
mendoakan kami agar dapat menyelesaikan studi ini.
Tulisan ini kupersembahkan tulisan ini kepada istriku, Ekawati Rini
Hartiwi, dan anakku, Fathi dan Zaki, yang selalu sabar meski banyak waktu dan
kesempatan mereka bersama penulis yang terambil dalam rangka penyelesaian
studi ini.
Akhirnya Penulis menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan
dalam tesis ini, sehingga sangat diharapkan masukan, kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga Allah SWT menjadikan
karya ini sebagai tambahan ibadah bagi penulis dan tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2013

Gladi Hardiyanto
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Abepura, Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal


4 Januari 1975 sebagai anak sulung dari pasangan Soedijono dan Sri Hastuti.
Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Grendeng II Purwokerto, pendidikan
lanjutan pertama diselesaikan di SMPN II Purwokerto dan pendidikan menengah
atas diselesaikan di SMAN I Purwokerto pada tahun 1993. Pendidikan sarjana
penulis selesaikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada tahun
1999. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis telah menikah dengan Ekawati Rini Hartiwi, SP pada
tanggal 11 Maret 2001 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putra, Muhammad Fathi
Dhiyaulhaq (11 tahun) dan Ahmad Zaki Aydin Rafif (7 tahun).
Sejak bulan Mei 2013 penulis bekerja di Partnership (Kemitraan bagi
Pembaharuan Tata Pemerintahan) sebagai Project Officer Supporting to Ministry
of Forestry. Sebelumya dari tahun 2004 – April 2013 penulis bekerja di Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI) dengan spesifikasi pekerjaan pengembangan sistem
sertifikasi ekolabel, pengembangan kapasitas dan pengembangan masyarakat.
Penulis juga pernah bekerja di Yayasan Damar Yogyakarta dari tahun 1999 –
2004.
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Kerangka pemikiran 5
Perumusan Masalah 8
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 9

2 TINJ AUAN PUSTAKA


Analisis kelembagaan 10
Analisis kebijakan 14
Analisis para pihak 17
Konflik 19
Hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan 23
Kebijakan pemanfaatan hutan kemasyarakatan 26
Kebijakan pengelolaan Taman hutan raya 31

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian 35
Rancangan penelitian 37
Metode pengambilan data 39
Penentuan sampel 39
Definisi operasional 40
Metode snalisis data 42

4 KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN


Kondisi biofisik 44
Tanah dan topografi 47
Iklim dan curah hujan 47
Flora dan fauna 48
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat 49
Kependudukan 49
Mata pencaharian 50
Pendidikan dan kesehatan 53
Pranata sosial dan kelembagaan masyarakat 55
Pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Sesaot 56

i
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah pengelolaan kawasan hutan Sesaot 65
Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan Sesaot 71
Kebijakan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot 72
Kebijakan hutan kemasyarakatan 80
Kebijakan Taman hutan raya 82
Identifikasi arena aksi 90
Situasi aksi 90
Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan 100
Konflik dan upaya penyelesaiannya 109
Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot 123
Situasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini 123

6 KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 132
Saran 134
DAFTAR PUSTAKA 136

LAMPIRAN 141

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik proses penyelesaian konflik 22


2. Pedoman pengumpulan data utama 37
3. Jenis, metode pengumpulan dan analisis data 43
4. Kemampuan tanah di kawasan hutan Sesaot 47
5. Kondisi kependudukan desa sekitar kawasan hutan Sesaot 50
6. Kondisi mata pencaharian masyarakat sekitar hutan Sesaot 52
7. Jumlah penduduk di desa sekitar hutan menurut tingkat pendidikan 53
8. Kondisi pemanfaatan hutan kemasyarakatan di hutan Sesaot 58
9. Sejarah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot 71
10. Kebijakan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot 75
11. Perbedaan karakteristik pengelolaan berdasarkan status dan fungsi 76
12. Analisis persepsi para pihak terhadap status dan fungsi kawasan 78
13. Kebijakan HKm yang dikeluarkan Kabupaten Lombok Barat 82
14. Tingkatan stakeholder di kawasan hutan Sesaot 101
15. Kategori stakeholder pada pengelolaan kawasan hutan Sesaot 104
16. Hasil analisis kondisi kelembagaan pemanfaatan HKm di Sesaot 125
17. Pemenuhan prinsip desain model pengelolaan hutan Sesaot 126
18. Rekomendasi kebijakan dan kelembagaan.. 128

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran riset analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot 7


2. Kerangka kerja analisis kelembagaan dan pembangunan 11
3. Diagram untuk memahami proses kebijakan 17
4. Lokasi penelitian 37
5. Grafik curah hujan rata-rata bulanan di Sesaot 48
6. Kondisi kependudukan di sekitar hutan Sesaot 50
7. Foto pencari kayu bakar dan tumpukan kayu yang siap dijual 53
8. Industri rumah tangga pembuatan dulang dan industri sawmill 54
9. Grafik tingkat pendidikan masyarakat di desa sekitar hutan Sesaot 55
10. Jumlah kelompok masyarakat yang memanfaatkan hutan Sesaot 59
11. Rata-rata luas lahan per penggarap anggota kelompok HKm 60
12. Lorong diantara blok HKm 62
13. Batas antara lahan garapan 62
14. Pengangkut kayu dari dalam kawasan hutan Sesaot 64
15. Peta lokasi Taman hutan raya 85
16. Kondisi kantor Tahura di Sesaot yang telah rusak 87
17. Peta usulan pencadangan areal kerja HKm Sesaot 98

iii
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

18. Peta kelas lereng kawasan Tahura Nuraksa 99


19. Peta hasil analisis tumpang tindih areal pemanfaatan HKm dan Tahura 100
20. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak 105
21. Pemasangan gapura Tahura secara sepihak oleh dinas kehutanan provinsi 108
22. Piagam Kesepakatan para pihak 130
23. Model pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot yang lestari 131

iv
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang
berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek
sosial. Ketiga aspek tersebut seharusnya dapat berjalan sinergi, berhubungan dan
saling mempengaruhi. Lebih diprioritaskannya salah satu aspek dengan
meninggalkan aspek lainnya dapat menjadi penyebab tidak tercapainya
pengelolaan hutan lestari.
Areal hutan disebut sebagai kawasan hutan jika sudah dilakukan proses
pengukuhan kawasan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41/1999 tentang
Kehutanan, proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui: (a) penunjukan
kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan,
dan (d) penetapan kawasan hutan. Semua proses tersebut disahkan melalui
keputusan menteri. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi bahwa suatu areal
hutan akan disebut kawasan hutan jika sudah dilakukan penetapan kawasan hutan,
yang sebelumnya dilakukan melalui proses penunjukan kawasan, penataan batas,
dan pemetaan kawasan hutan.
Hermofilia dan Fay (2006) mencatat bahwa sampai awal tahun 2005 proses
penataan batas hutan baru berhasil mencapai luas kurang lebih 12 juta hektar, dari
keseluruhan luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi kawasan hutan negara.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa jumlah luasan hutan yang
telah dilakukan penataan batas temu gelang baru seluas ± 14,238 juta hektar atau
sekitar 11,83 % dari total luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi hutan
negara, yaitu kurang lebih seluas 136 juta hektar (Ditjen Planologi 2010). Artinya
hanya sekitar 11 % kawasan hutan yang statusnya dapat dipastikan, selebihnya
mempunyai status yang belum pasti menyangkut hak-hak yang melekat
didalamnya.
Kementerian kehutanan mentargetkan bahwa pada tahun 2014 penataan
batas dapat dapat diselesaikan sebanyak 70% dari keseluruhan luas hutan yang
harus di tata batas. Target ini akan sulit tercapai jika berbagai permasalahan
kepastian kawasan hutan belum dapat diselesaikan. Sampai saat ini masih terjadi
perubahan penggunaan penggunaan kawasan hutan baik untuk pinjam pakai,
pelepasan kawasan, dan penundaan perijinan. Masih ada rencana tata ruang
wilayah provinsi dan kabupaten yang belum selesai, dan masih terus berlangsung
pemekaran wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang mempengaruhi luasan
kawasan hutan.
Ketidakpastian status dan fungsi kawasan hutan tersebut menjadi salah satu
penyebab terjadinya kerusakan dan degradasi hutan, yang diawali dengan
munculnya konflik atas sumberdaya hutan. Di beberapa daerah ketidakpastian
status dan fungsi kawasan hutan telah memunculkan perbedaan persepsi dan
kepentingan dari para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan, khususnya antara masyarakat yang berada di dalam dan di
2

sekitar hutan dengan pemerintah atau pihak swasta yang diberi hak untuk
memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Beberapa kejadian konflik sumberdaya
hutan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan antara lain seperti yang
terjadi di Tahura Wan Abdurrahman, Lampung (Fajri 2006), Cagar Alam
Pegunungan Cyclop, Papua (Maintindom 2005), Tahura Nuraksa Sesaot dan
HKm Sesaot (Sahwan 2002; Dipokusuma 2011), dan Taman Nasional Lore Lindu
(Mehring et al. 2011).
Kajian dan paparan konflik sumberdaya hutan masih lebih banyak
menggunakan analisis konflik struktural, dimana memposisikan Negara (pihak
yang kuat) sebagai sumber masalah, dan masyarakat (pihak yang lemah) sebagai
pihak yang tidak bersalah. Padahal menurut Maring (2010) yang melakukan
penelitian di Nusa Tenggara Timur, sumber masalah tidak hanya berasal dari
Negara, tetapi juga dapat berasal dari pihak lain, termasuk dari masyarakat.
Menurut Moore (1996) konflik tidak hanya berkaitan dengan masalah struktural,
tetapi juga mengenai tata nilai, tata hubungan, data dan informasi, dan konflik
kepentingan. Jadi konflik pengelolaan hutan yang terjadi di sebuah wilayah bisa
tidak hanya terkait dengan struktural, tetapi gabungan dari tipologi konflik,
bergantung dari kepentingan aktor-aktornya.
Menurut Pasya dan Sirait (2011) upaya penyelesaian atas konflik
sumberdaya alam ditentukan bagaimana gaya bersengketa (conflict style) pihak-
pihak yang terlibat konflik. Gaya bersengketa dapat dibedakan menjadi saling
menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi (Isenhart dan
Spangle 2000 dalam Pasya dan Sirait 2011). Hasil penelitian Pasya dan Sirait
(2011) yang mengkaji konflik sumberdaya alam di Jambi, Lampung, dan
Sumatera Barat menemukan bahwa conflict style di masing-masing lokasi ternyata
berbeda, sehingga upaya penyelesaian sengketanya pun mesti dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda.
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan, khususnya dari kawasan hutan
lindung menjadi kawasan konservasi, atau sebaliknya, juga membawa perubahan
kewenangan pengelolaan, khususnya antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten. Perubahan ini merupakan wujud dari politik
otonomi daerah yang berwujud pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan
daerah. Perubahan kewenangan ini seringkali menimbulkan perbedaan persepsi
diantara para pihak yang kemudian berkembang menjadi konflik atas sumberdaya
hutan.
Pada kawasan Hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha di Provinsi Nusa Tenggara
Barat telah terjadi perubahan status dan fungsi kawasan. Di mulai dari kebijakan
tata guna hutan kesepakatan pada tahun 1982 yang mengubah status dan fungsi
kawasan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian pada
tahun 1999 dan 2009 sebagian kawasan Hutan Sesaot juga diubah fungsinya
menjadi kawasan konservasi. Kebijakan tersebut tidak diikuti dengan proses-
proses penetapan kawasan hutan, seperti penataan batas, sehingga menimbulkan
perbedaan persepsi terhadap status dan fungsi kawasannya serta menimbulkan
konflik sumberdaya hutan. Perubahan kebijakan tersebut menimbulkan
konsekuensi perubahan kelembagaan pengelolaan dan/atau pemanfaatan, mulai
dari bentuk pengelolaan, aktor-aktor yang terlibat, serta aturan mainnya.
3

Perubahan juga terjadi pada tingkat pengambil kebijakan berkaitan dengan


kewenangan pengelolaan atau pemanfaatan hutan pada masing-masing fungsi.
Terkait dengan hak dan akses terhadap sumberdaya hutan, pada hutan
produksi dan hutan lindung masyarakat masih dapat memanfaatkan kawasan
hutan tersebut melalui model pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) dengan legalitas perijinan dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan HKm
(IUPHKM), Ijin Usaha Pemanfaatan HTR dan Hak Pengelolaan Hutan Desa
(HPHD). Perbedaannya pada jenis komoditas yang boleh dimanfaatkan, pada
hutan produksi pemegang ijin dapat melakukan pemungutan dan pemanfaatan
hasil hutan kayu dan non kayu, sedangkan pada hutan lindung hanya boleh
memungut dan/atau memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa
lingkungan.
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan tidak berjalan tuntas, terutama
kebijakan penunjukan sebagian kawasan hutan menjadi Tahura dan kebijakan
pemberian IUPHKm kepada KMPH Sesaot yang diikuti dengan pengajuan ijin
HKm oleh beberapa kelompok yang lain. Perubahan fungsi dari hutan lindung
menjadi kawasan konservasi membawa implikasi perubahan kewenangan
pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Padahal di
lapangan, masyarakat telah masuk ke dalam kawasan hutan, baik pada areal yang
ditunjuk sebagai Tahura maupun hutan lindung. Hal ini menjadi permasalahan
tersendiri, dimana ketika berada di dalam kawasan konservasi hak dan akses
masyarakat sekitar hutan menjadi semakin terbatas.
Masyarakat hanya dapat memanfaatkan kawasan konservasi pada zona
pemanfaatan atau zona pemanfaatan tradisional dengan sepengetahuan pengelola
kawasan. Sementara itu di dalam kawasan hutan lindung, masyarakat masih
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan areal tersebut dalam bentuk Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa serta mendapatkan hak pengelolaan dan
pemanfaatan dalam bentuk IUPHKm dan HPHD.
Hubungan antar pihak yang timbul bersifat dinamis, baik pada tingkat
pengambil kebijakan, terkait kewenangan pengelolaan antara pemerintah provinsi
dan kabupaten, maupun di lapangan, berkaitan dengan hak dan akses masyarakat
terhadap kawasan Hutan Sesaot. Dari sisi kelembagaan masing-masing pihak
telah membentuk organisasi sebagai wadah untuk melakukan pemanfaatan
kawasan hutan. Kelembagaan Tahura diwujudkan melalui Unit Pengelolaan
Teknis Daerah (UPTD) Tahura Nuraksa dibawah Dinas Kehutanan Provinsi.
Sementara kelembagaan di tingkat masyarakat telah terbentuk kelompok-
kelompok HKm dan Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai tempat berhimpun
lembaga-lembaga masyarakat tersebut.

Kerangka Pemikiran

Sumberdaya hutan, meskipun pada dasarnya adalah sumberdaya milik


bersama (common pool resources), tetapi pengurusan dan pengaturannya
dilakukan oleh Negara, melalui hak menguasai negara. Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan memerlukan adanya kebijakan dan kelembagaan
4

pengelolanya. Menurut Djogo et al. (2003) kebijakan dan kelembagaan sulit


dipisahkan. Kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan, kelembagaan
dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Analisis
keterkaitan dan dampak kelembagaan pada kebijakan publik (kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah) dianggap tidak lengkap tanpa memperhatikan antara
analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan.

Kelembagaan memberi batasan yang jelas berkaitan dengan hak kepemilikan


dan aturan pemilikan bagi setiap orang yang terlibat. Hak kepemilikan adalah hak
dan tanggng jawab setiap stakeholder yang terlibat, sedangkan aturan pemilikan
adalah aturan yang mengatur bagaimana stakeholder terebut dapat memperoleh
dengan baik atas haknya dan sepenuhnya melaksanakan kewajibannya untuk
mencapai tujuan bersama yang telah disepakati (Bromley 1992 dalam Ardi 2011).

Pada kawasan Hutan Sesaot telah diimplementasi sejumlah kebijakan, baik


mengenai perubahan status dan fungsi kawasan hutan dan kebijakan pemanfaatan
kawasan dalam bentuk Taman Hutan Raya dan Hutan Kemasyarakatan.
Perubahan fungsi kawasan telah terjadi mulai dari Hutan Produksi Terbatas
(HPT), berubah menjadi Hutan Lindung (HL), dan kemudian menjadi kawasan
konservasi. Implementasi berbagai kebijakan yang diikuti dengan pembentukan
kelembagaan pengelolanya diindikasikan menimbulkan implikasi perubahan pada
kondisi biofisik kawasan dan munculnya konflik atas sumberdaya hutan diantara
stakeholder yang memanfaatkan kawasan hutan. Sahwan (2002) menyebutkan
bahwa telah terjadi konflik kewenangan pengelolaan Tahura Nuraksa Sesaot
antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Dipokusumo (2011) menyebutkan
bahwa konflik yang terjadi areal HKm Sesaot merupakan konflik struktural, yang
bersumber pada kebijakan pemerintah. Dari hasil studi pendahuluan, didapatkan
informasi hasil bahwa konflik masih terjadi, khususnya antara masyarakat yang
memanfaatkan kawasan hutan dengan Tahura. Sifatnya tidak hanya structural
tetapi sudah mulai mengarah pada konflik horizontal.

Dari paparan di atas, penelitian ini mengkaji proses dan implikasi dari
implementasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan
Sesaot, termasuk terjadinya konflik atas sumberdaya hutan yang telah terjadi dan
upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk
mengetahui sejauhmana kelembagaan masyarakat dan para pihak akan mampu
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan digunakan kerangka analisis
kelembagaan (institutional analysis development) yang dikembangkan oleh
Ostrom (1999; 2004). Kerangka penelitian seperti pada Gambar 1.
5

Kerangka kerja penelitian digambarkan sebagai berikut :


Exogenous variables Action arena
B Kondisi Biofisik Situasi Aksi :
- Luas hutan - Konflik
- Kemiringan lereng kewenangan
- Kondisi tutupan pengelolaan hutan
lahan - Dualisme kebijakan
- Potensi sumberdaya Interaksi:
pengelolaan dan
hutan pemanfaatan hutan - Relasi antar
- Manfaat - Eksistensi Tahura stakeholder
sumberdaya hutan vis a vis Hutan -Hubungan
kemasyarakatan konfliktual
Atribut antara aktor-
Komunitas: Aktor -aktor: aktor pendukung
- Stakeholder kunci HKm dan Kriteria Evaluasi&
- Kondisi masyarakat Rekomendasi
sekitar hutan dan pendukung Tahura
- Modal sosial hutan Kejelasan status dan
- Kondisi kemasyarakatan fungsi kawasan hutan
pemanfaatan hutan - Stakeholder kunci mekanisme
oleh masyarakat dan pendukung penyelesaian konflik;
Tahura rekomendasi pilihan
bentuk pemanfaatan
Aturan Main dan revisi kebijakan
- Kebijakan alih fungsi Situasi terkini
dan status kawasan hutan pengelolaan hutan
- Kebijakan hutan Sesaot, termasuk
kemasyarakatan eksistensi Tahura
- Kebijakan Tahura dan HKm
- Aturan main di tingkat
lokal masyarakat.

Gambar 1 Kerangka kerja analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot (modifikasi dari Ostrom 2004)
6

Perumusan Masalah
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan menimbulkan implikasi perubahan,
baik pada aspek produksi, ekologi, maupun sosial kawasan hutan serta
kelembagaan pengelolanya. Perubahan status dan alih fungsi kawasan hutan dari
hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan kemudian menjadi kawasan
konservasi, seperti yang terjadi di kawasan hutan Sesaot, dari sisi sosial
mengakibatkan terjadinya perubahan hak dan akses masyarakat tempatan terhadap
sumberdaya. Kelembagaan dan kewenangan pihak-pihak pun menjadi berubah,
yang jika tidak dijalankan dengan baik akan memunculkan permasalahan
tersendiri yang berujung pada terjadinya konflik atas sumberdaya hutan.
Hasil penelitian Wulan dkk (2004) menyebutkan bahwa kebijakan alih
fungsi atau perubahan status kawasan hutan menjadi salah satu penyebab konflik
di sektor kehutanan, disamping faktor yang lain, yaitu perambahan hutan,
pencurian kayu dan perusakan lingkungan. Konflik (antara pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat) yang disebabkan alih fungsi kawasan hutan mencapai
3% dari 359 konflik sektor kehutanan dari tahun 1997 – 2003.
Menurut Ardi (2010) yang mengutip Schmid (1987), pada tingkat
kelompok, kinerja kelembagaan dapat dilihat pada tingkat kehidupan, kualitas
lingkungan dan kualitas kehidupan secara umum. Parameter lain yang dapat
dilihat adalah distribusi sumberdaya, pilihan untuk bertransaksi secara bebas,
optimalisasi nilai produksi dan efisiensi. Dari gambaran tersebut dirangkum
kondisi kelembagaan yang baik atau tidak baik akan dilihat dari kepastian atau
ketidakpastian hak kepemilikan, kapasitas kelembagaan, implementasi instrumen
ekonomi atau pasar. Menurut Agrawal (2001), faktor-faktor yang menentukan
berhasil atau tidaknya tata kelola sumberdaya milik bersama berkaitan dengan 1)
karakteristik sistem sumberdaya, 2) karakteriktik kelompok, 3) Hubungan antara
karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok, dan 4) tatanan
kelembagaan.
Penelitian ini untuk mengetahui implikasi dari implementasi kebijakan alih
fungsi kawasan hutan serta kebijakan lainnya terhadap kondisi hutan Sesaot.yang
menimbulkan konflik atas hutan Sesaot. Disamping itu dikaji juga kelembagaan
pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot, dalam hal
ini kelembagaan Tahura dan kelompok HKm serta dinamika hubungan antar
pihak yang kemudian memunculkan konflik atas sumberdaya hutan.
Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi konflik atas hutan Sesaot ? Bagaimana pola konflik dan
siapa para pihak yg berkonflik?
2. Bagaimana upaya-upaya yang mendorong kolaborasi atau konsensus,
siapa para pihak yang berpartisipasi?
3. Bagaimana implikasinya terhadap sumberdaya hutan Sesaot dan
kelembagaan pihak-pihak yang memanfaatkan?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kelembagaan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/
atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot.
7

2. Mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian konflik atas


sumberdaya hutan Sesaot.
3. Menganalisis implikasi konflik terhadap kawasan hutan Sesaot dan
kelembagaan para pihak yang memanfaatkan hutan Sesaot.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan informasi tentang mengenai isi dan implementasi berbagai
kebijakan yang berlaku pada kawasan hutan Sesaot, sebagai pembelajaran dan
acuan bagi para pengambil kebijakan dalam melakukan alih fungsi kawasan
hutan kedepan.
2. Memberikan informasi mengenai kelembagaan pihak-pihak yang mengelola
dan memanfaatkan kawasan Hutan Sesaot.
3. Memberikan informasi mengenai upaya dan strategi penyelesaian konflik
sumberdaya hutan di kawasan hutan Sesaot.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Kelembagaan

Kelembagaan menurut Ostrom (2005) adalah wahana yang digunakan


manusia untuk mengatur segala bentuk interaksi yang terstruktur dan berulang-
ulang termasuk didalamnya keluarga, persaudaraan, pasar, firma, liga olahraga,
gereja, asosiasi swasta, dan pemerintahan pada semua tingkat. Kelembagaan
adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau
organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar
manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta
insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. (2003).
Dari kedua definisi diatas diketahui bahwa unsur-unsur penting
kelembagaan antara lain kelembagaan merupakan landasan untuk membangun
tingkah laku sosial masyarakat; peraturan dan penegakan hukum; kode etik;
kontrak; pasar; hak milik (property right atau tenureship); organisasi; dan insentif
utuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan (Djogo et al. 2003).
Kelembagaan bisa berkembang baik jika ada infrastruktur, penataan, dan
mekanisme kelembagaan yang juga baik.
Analisis kelembagaan didefinisikan sebagai studi dari bentuk dan kinerja
kelembagaan, dimana kelembagaan terbangun dari aturan main, norma-norma dan
strategi (Clement 2008, Djogo et al.2003). Analisis kelembagaan setidaknya dapat
didekati dari dua sudut utama yaitu lembaga sebagai organisasi dan lembaga
sebagai aturan main (Djogo et al. 2003). Untuk melakukan analisis kelembagaan,
terutama pada tingkatan yang berbeda dapat dilakukan dengan Institutional
8

Analysis and Development framework yang dikembangkan oleh Ostrom ( 2005),


sebagaimana gambar di bawah ini.

Variabel Eksogen Arena Aksi

B Kondisi Biofisik Arena Aksi


Bentuk
Interaksi
t Atribut komunitas Situasi aksi
riteria
Evaluasi
Aturan Main Aktor
Outcome

Gambar 2 Kerangka kerja analisis kelembagaan dan pembangunan (Ostrom 2005)

Karakteristik dari framework ini adalah pada pengaturan banyak tingkat,


yang dibentuk dari tingkat operasional, ketika secara keseharian keputusan
berpengaruh langsung pada sumberdaya alam, sampai pada tingkat pilihan
kolektif, ketika keputusan mempengaruhi aturan-aturan pada tingkat operasional.
Pilihan kolektif ini terhubung langsung pada tingkat konstitusional, dimana
keputusan mempengaruhi aturan-aturan yang mengatur bagaimana keputusan
diambil pada tingkat pilihan kolektif (Clement 2008).
Kerangka kerja analisis pengembangan kelembagaan cocok digunakan untuk
menganalisis beragam jenis sumberdaya milik bersama (common pool resources).
Sebagai contoh dalam menganalisis rusak atau baiknya sebuah kawasan hutan,
kerangka kerja ini tidak hanya melihat kondisi biofisik hutan saja, tetapi juga
mengkaji dan memahami atribut komunitas pemanfaat, beragam model
kepemilikan serta penggunaan aturan yang bertingkat (Ostrom 2005). Berdasarkan
gambar kerangka kerja pengembangan kelembagaan diatas, langkah-langkah
analisisnya meliputi :
1. Pemahaman variabel eksogen (exogenous variables).
Variabel eksogen terdiri dari variabel karakteristik atau kondisi biofisik,
atribut komunitas, dan aturan-aturan yang digunakan. Atribut fisik
berperan penting dalam membentuk komunitas, aturan, dan kebijakan.
Karakteristik ini diantaranya meliputi ukuran, lokasi, batas, kapasitas dan
kelimpahan sumberdaya (Hess dan Ostrom 2007). Kondisi fisik
sumberdaya alam diketahui berguna untuk membedakan antara sistem
sumberdaya dengan unit sumberdaya, misalnya pada air tanah, lembah
yang mengandung air tanah adalah sistem sumberdaya sedangkan jumlah
air tanah adalah unit sumberdaya (Blomquist 1992 dalam Ardi 2010).
Karakteristik biofisik dapat meliputi tingkat pertumbuhan,
keanekaragaman spesies, iklim, cuaca, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ekosistem hutan dan manusia yang berinteraksi
dengan hutan.
9

Atribut-atribut komunitas penting yang mempengaruhi arena aksi adalah


nilai-nilai perilaku yang dapat diterima secara umum, tingkat pemahaman
umum dari partisipan potensial, tingkat homogenitas dalam preferensi,
ukuran dan komposisi dari komunitas, dan tingkat ketidaksamaan dalam
asset dasar (Ostrom 2007). Sedangkan aturan adalah norma yang
menjelaskan bagaimana partisipan boleh, tidak boleh atau mungkin dapat
melakukan sesuatu pada sebuah situasi dan didukung oleh kemampuan
pemberian sanksi pada pihak yang tidak patuh terhadap aturan tersebut
(Crawford dan Ostrom 2005). Aturan ini dapat di analisis pada tiga
tingkatan, yaitu tingkat operasional, tingkatan pilihan bersama, dan tingkat
konstitusi (Hess dan Ostrom 2007).
2. Pemahaman arena aksi
Arena aksi terdiri dari aktor-aktor pembuat keputusan di dalam sebuah
situasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik, atribut komunitas dan
karakter institusi yang menghasilkan beragam pola interaksi dan keluaran
(Ostrom 2005). Untuk melakukan analisis arena aksi diperlukan
identifikasi partisipan yang terlibat dan aturan-aturan yang digunakan
dalam sebuah situasi. Analisis arena aksi akan mengkaji aksi apa yang
telah diambil, dapat diambil atau akan diambil dan bagaimana aksi ini
berpengaruh terhadap keluaran atau outcome (Ardi 2010).
3. Pemahaman pola interaksi
Pola interaksi tergantung dari variabel eksogen, insentif, dan aktor-aktor
yang terlibat. Pengelolaan sumber daya milik bersama sangat dipengaruhi
dari bagaimana para aktor saling berinteraksi. Pola interaksi ini terhubung
dengan situasi aksi, dimana kemungkinan terjadinya konflik dikarenakan
para aktor yang terlibat tidak memiliki atau memperoleh informasi yang
cukup mengenai struktur situasi, sehingga timbul ketidaksalingpercayaan
diantara para aktor. Menurut Hess dan Ostrom (2007) dengan memiliki
informasi yang cukup maka para aktor akan dapat meningkatkan
kepercayaan diantara mereka sehingga dapat tercipta situasi yang
menghasilkan keluaran yang produktif.
4. Pemahaman keluaran
Penelitian pada common pool resources proses analisisnya seringkali
dimulai dengan melihat keluaran, terutama keluaran yang negatif, seperti
rusaknya sumberdaya hutan. Analisis juga dapat dilakukan dengan
membandingkan satu lokasi dengan lokasi lainnya, misalnya satu lokasi
keluarannya positif, di lokasi lain negatif.
5. Penentuan kriteria evaluasi
Kriteria evaluatif digunakan untuk menilai tindakan serta hasil sehubungan
dengan penerapannya untuk menggunakan sumber daya yang
berkelanjutan (Mehring et al. 2011).
Agar sumberdaya milik bersama dapat dikelola secara lestari, menurut
Ostrom (1990) diperlukan prinsip-prinsip desain kelembagaannya yaitu 1) batas-
batas terdefinisi dengan jelas, 2) Kongruen atau sebangun, 3) pengaturan pilihan
kolektif, 4) monitoring, 5) penetapan sanksi, 6) mekanisme resolusi konflik, 7)
pengakuan minimal dari hak-hak yang diatur, dan 8) kelompok pengguna inti
10

(bagi CPRs yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar).
Berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan Sesaot, kerangka kerja ini
dapat untuk menganalisis kelembagaan para pihak, baik kelembagaan masyarakat,
pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi serta pihak-pihak lain, seperti NGO
dan lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kompleksitas permasalahan, baik di
tingkat kebijakan (mulai dari pemerintah pusat sampai daerah), sampai dengan
arena aksi dikaji menggunakan framework tersebut. Kelembagaan yang telah
berjalan dapat dianalisis dengan seperangkat prinsip diatas untuk mengetahui
apakah sumberdaya hutan Sesaot tersebut dapat dikelola secara baik dan lestai
atau tidak.

Analisis Kebijakan
Kebijakan merupakan suatu ketetapan yang didalamnya terdapat prinsip-
prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini merangkum dari definisi
kebijakan yang dibuat oleh Ealau dan Prewit (1973) dan Titmuss (1974). Menurut
Ealau dan Prewitt kebijakan adalah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh
perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari pembuat kebijakan maupun yang
terkena kebijakan, sedangkan menurut Titmuss, kebijakan adalah prinsip-prinsip
yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan
senantiasa beriorientasi kepada masalah dan tindakan (Suharto 2008).
Kebijakan juga diartikan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak. Menurut Pador dan Sembiring (2009), kebijakan berbeda
dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang
perilaku, maka kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin
memperoleh hasil yang diinginkan.
Pembuatan kebijakan ditujukan untuk menjadi pedoman bagi pengaturan
suatu urusan agar hasil-hasil yang diinginkan tercapai. Kebijakan yang mengatur
urusan-urusan publik sering disebut dengan kebijakan publik, yang dapat diartikan
sebagai keputusan-keputusan yang mengikat banyak orang pada tataran strategis
yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Idealnya pembuatan kebijakan adalah
berdasarkan kebutuhan dan realitas apa yang akan diatur. Pembuatan dan
implementasi kebijakan yang tidak tepat disamping dapat mengakibatkan tujuan
yang tidak tercapai juga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan jika hal ini
berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, akan dapat
menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan konflik atas sumberdaya alam.
Penelitian kebijakan telah berkembang yang dilakukan antara lain untuk
menganalisis mekanisme proses pembuatan sampai pada dampak
implementasinya. Menurut Danim (2005) penelitian kebijakan termasuk dalam
kelompok penelitian terapan atau dalam lingkup penelitian sosial yang dalam
aplikasinya mengikuti prosedur umum penelitian yang berlaku. Penelitian
kebijakan adalah penelitian yang mendukung kebijakan. Ann Majchrzak (1984)
dalam Danim (2005) menjelaskan bahwa penelitian kebijakan adalah proses
penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap
11

masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu


pengambil kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan
rekomendasi yang berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatis.
Istilah lain yang berkaitan dengan penelitian kebijakan adalah analisis
kebijakan. Analisis kebijakan merupakan penelitian yang ditujukan untuk
mengkaji proses pembuatan kebijakan (Danim 2005). Dunn (2003)
mendefinisikan analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan
tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pador dan Sembiring (2009) yang
mengutip Quade, menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah serangkaian
tindakan untuk menghasilkan, mengumpulkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupa untuk membantu pada pembuat kebijakan dalam pengambilan
keputusan.
Menurut Suharto (2005) analisis kebijakan merupakan bagian dari
penelitian kebijakan, dimana penelitian kebijakan setara dengan penggabungan
antara penelitian sosial dasar dengan analisis kebijakan, sebagai penelitian yang
memusatkan diri pada masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental.
Terdapat 3 (tiga) elemen dalam kebijakan yang menjadi target analisis, yaitu
faktor determinan utama, isi kebijakan, dan dampak kebijakan, baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan (Widodo 2008).
Metodologi analisis kebijakan memadukan berbagai disiplin ilmu, seperti
ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan filsafat. Sifatnya sebagian bersifat
deskriptif dan normatif, yaitu menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim
pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini,
dan masa depan (Dunn 2003). Secara umum analisis kebijakan publik bertujuan
untuk:
1. Memahami latar belakang dan tujuan lahirnya sebuah kebijakan
2. Memetakan interaksi kepentingan para pihak dalam proses lahirnya
kebijakan.
3. Memahami apa saja prinsip-prinsip penting yang dikembangkan dalam
sebuah kebijakan.
4. Memahami bagaimana kelembagaan kebijakan dibangun.
5. Memahami permasalahan implementasi kebijakan.
6. Merumuskan pemecahan masalah kebijakan, perbaikan atau alternatif
kebijakan baru (Pandor dan Sembiring 2009).
Menurut Suharto (2005) langkah-langkah melakukan analisis kebijakan
bukan merupakan proses yang kaku, tetapi dinamis dan cair. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah hakekat masalah, tujuan analisis, strategi yang akan
diterapkan, dan ketersediaan sumberdaya. Tahapan analisis kebijakan secara
umum meliputi : 1) mendefinisikan masalah kebijakan (masalah sosial); 2)
mengumpulkan bukti tentang masalah; 3) mengkaji penyebab masalah; 4)
mengevaluasi kebijakan yang ada; 5) mengembangkan alternatif kebijakan, dan
6) menyeleksi alternatif kebijakan yang terbaik. Model pembuatan kebijakan
konvensional digambarkan sebagai proses linear dimana keputusan-keputusan
rasional diambil oleh mereka yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab pada
sebuah area kebijakan tertentu (IDS 2006). Padahal proses kebijakan merupakan
12

proses yang komplek terkait dengan bagaimana kebijakan di mengerti, di bangun,


diimplementasikan, dan di jangkau oleh aktor-aktor yang terlibat.
Tinjauan lebih jauh dari proses-proses kebijakan menghasil 3 (tiga)
pendekatan untuk memahami pembuatan kebijakan, yaitu pertama menekankan
pada politik ekonomi dan interaksi antara Negara dan masyarakat, serta kelompok
kepentingan yang berbeda. Kedua sejarah dan praktek-praktek yang terhubung
untuk mengubah diskursus, dan bagaimana hal itu membentuk dan memandu
masalah-masalah kebijakan dan tindakan aksi. Sedangkan ketiga terkait dengan
aturan-aturan dan perantaan (atau kapasitas untuk membuat perbedaan) dari aktor-
aktor individu (IDS 2006). Dari kompleksitas proses tersebut maka kemudian
berkembang bahwa pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal yang saling
berhubungan dan mempengaruhi, yaitu pengetahuan dan diskursus/narasi
kebijakan, aktor-aktor dan jaringannya dankepentingan politik, seperti
digambarkan berikut ini.

Gambar 3 Diagram untuk memahami proses kebijakan

Analisis Stakeholder

Stakeholder atau sering diterjemahkan menjadi pemangku kepentingan


adalah “orang-orang” yang mempunyai hak dan kepentingan di dalam sistem
(Meyers 2001 dalam Suporaharjo 2005). Para pihak dapat berupa perorangan,
komunitas, kelompok sosial, organisasi dan atau instansi baik swasta maupun
pemerintah. Selanjutnya Meyers menyebutkan bahwa secara kategoris, para pihak
dapat dikelompokkan menjadi kelompok primer atau sekunder, yang dilakukan
menurut penilaian apakah stakeholder terpengaruh langsung oleh sistem atau
sebaliknya berpengaruh langsung terhadap sistem. Cara lain adalah penggolongan
stakeholder dalam organisasi, yaitu kelompok internal, kelompok interface, dan
kelompok eksternal.
Proses menemukenali para pihak yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya alam baik peran, kepentingan, kekuatan, sampai dengan jaringan
yang dimiliki sangat penting untuk menerapkan tujuan-tujuan tertentu, seperti
13

penyelesaian konflik atas sumberdaya alam dan implementasi atas rencana dan
program kerja sebuah organisasi yang sedang melakukan pengelolaan sumberdaya
alam. Proses tersebut termasuk dalam kegiatan analisis stakeholder.
Menurut Grimble dan Chan (dalam Suporaharjo 2005), definisi umum dari
analisis stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai
pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi aktor-aktor kunci di dalam
sistem, dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang peran dan
kepentingan para pihak serta untuk merancang proyek dan kebijakan yang lebih
baik bagi pengelolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan. Selanjutnya
disebutkan bahwa berkaitan dengan upaya peningkatan proyek dan perbaikan
kebijakan, analisis stakeholder ditujukan untuk :
a. Meningkatkan efektifitas kebijakan dan proyek di lapangan dengan cara
mempertimbangkan secara eksplisit kepentingan dan tantangan stakeholder,
mengidentifikasi dan menangani konflik atas sumberdaya alam antar
kelompok stakeholder, dan memberikan pertimbangan awal bagi cara-cara
membangun kebersamaan dan sifat saling melengkapi kepentingan dan
peluang-peluang kerjasama dan kompromi.
b. Menanggapi secara lebih baik dampak sosial dari implementasi kebijakan dan
proyek.
Menurut GTZ (2007) terdapat 10 building bloks untuk melakukan analisis
stakeholder yaitu identifikasi stakeholder kunci, pemetaan stakeholder, pilihan-
pilihan profil stakeholder dan pilihan-pilihan strategi, kekuasaan dan sumber
kekuasaan, kepentingan dan lingkup aksi stakeholder, pengaruh dan keterlibatan
stakeholder, analisis kekuatan stakeholder, membangun kepercayaan, eksklusi dan
pemberdayaan, dan gender (merupakan cross cutting building block dalam
keadilan gender dalam pembangunan). Masing-masing building blok mempunyai
teknik dan metode penilaian sendiri-sendiri yang dapat dipakai atau di adaptasi
secara fleksibel tergantung dari situasi, kebutuhan, harapan, dan ide-ide dari
stakeholder yang terlibat.
Metode analisis stakeholder yang lain adalah yang dikembangkan oleh
Meyers dan IIED yaitu analisis 4R (Right, Responsibility, Revenues and
Relationship) (Suporaharjo 2005). Alat ini berguna untuk meninjau kembali,
menegosiasikan, dan membangun kembali peran para stakeholder sesuai dengan
tuntutan kebutuhan. Secara umum metode ini adalah untuk proses internalisasi
dan penguatan peran stakeholder dengan cara mengeksplorasi perannya atas
komponen right (hak stakeholder), responsibility (tanggung jawab stakeholder),
revenues (keuntungan yang diperoleh stakeholder), dan relationship (relasi
stakeholder).

Konflik

Konflik adalah bagian hidup manusia. Tanpa konflik, kemajuan akan sulit
dicapai. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menghadapi, mengatasi dan
mengelola konflik (Hautojarvi 1997 dalam Suporaharjo 2005). Susan (2008)
bahkan menyebut bahwa konflik merupakan unsur terpenting dalam kehidupan
14

manusia 1, karena manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus) yang


selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik secara sukarela
maupun terpaksa. Secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai
oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.
Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara
simultan (Pruit dan Rubin 2004 dalam Susan 2008). Dari definisi diatas maka
unsur-unsur yang terdapat dalam konflik adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang
terlibat didalamnya. Menurut Malik et al. (2003) konflik merupakan situasi
pertentangan yang dipengaruhi oleh emosi, kepribadian dan juga budaya. Emosi
berbentuk reaksi-reaksi psikologis seperti melamun, diam, acuh, atau melawan.
Karena itu untuk memahami konflik, analisis harus dilakukan secara utuh,
mencakup apa, dimana, siapa, kapan, dan mengapa terjadi konflik.
Skala konflik bisa terjadi antar orang, antar kelompok, antara kelompok
dengan negara, bahkan antar negara (Susan 2008). Meskipun konflik selalu ada
dalam kehidupan manusia, tetapi konflik tidak selalu bersifat negatif. Konflik
yang dapat dikelola justru dapat menciptakan perubahan. Konflik juga dapat
mengubah pemahaman seseorang terhadap sesamanya dan mendorong manusia
melakukan mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru (Malik et al.
2003).
Berkaitan dengan konflik atas sumberdaya alam, karakteristiknya tidak
berbeda dengan konflik secara umum yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut Malik (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik atas sumberdaya
alam adalah: 1) masalah hubungan antarmanusia; 2) masalah kepentingan; 3)
masalah perbedaan data; 4) masalah perbedaan nilai; dan 5) masalah struktural.
Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya
persaingan kepentingan yang dirasakan tidak bersesuaian. Konflik data adalah
konflik yang terjadi karena kesalahan data dan/atau informasi yang dibutuhkan.
Konflik struktural adalah konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya. Posisi para pihak dalam konflik ini dipicu oleh
pihak penguasa, sebab penguasa memiliki wewenang formal untuk menetapkan
kebijakan yang sekaligus dapat melakukan kontrol dan menekan akses pihak lain
terhadap sumberdaya alam. Sebagai contoh hasil penelitian Doni (2005) yang
mengamati kasus konflik tanah di kawasan hutan Kabupaten Ciamis
menyimpulkan bahwa konflik tanah kawasan hutan tersebut merupakan refleksi
perbedaan politik dan ekonomi dari para pihak yang terlibat didalamnya.
Konflik dapat berwujud sebagai konflik tertutup (laten), mencuat
(emerging), dan konflik terbuka (manifest). Konflik laten dicirikan adanya
tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan tidak
terangkat ke permukaan. Pada konflik mencuat para pihak yang berkonflik dapat

1
Susan (2008) mengutip pendapat para penulis mengapa konflik penting bagi kehidupan
manusia karena konflik memiliki fungsi positif (George Simmel 1918; Lewis Coser 1917),
konflik menjadi dinamika sejarah manusia ( Karl Marx 1880; Ibnu Khaldun), konflik
menjadi entitas hubungan sosial (Max Weber; Ralf Dahrenhord 1959), dan konflik adalah
bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow 1954;Max Neef 1987;
John Burton 1990; Marshal Rosenberg 2003).
15

teridentifikasi, dan mereka mengakui jika diantara mereka terdapat konflik.


Masalah yang memicu konflik cukup jelas, tetapi proses penyelesaian konflik
belum berkembang (Malik et al. 2003). Sedangkan pada konflik terbuka para
pihak yang berkonflik sudah menyatakan secara terbuka melalui tindakan-
tindakan yang menjurus pada kekerasan, seperti demonstrasi dan bentrok bahkan
perang fisik. Upaya penyelesaian konflik biasanya sudah dicoba dilakukan
meskipun belum sepenuhnya disepakati oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Konflik atas sumberdaya alam biasanya sudah mencuat bahkan menjadi
konflik manifest. Kasus-kasus konflik di sekitar areal hutan dan pertambangan
yang seringkali disebabkan oleh tumpang tindih klaim atas sumber daya alam dan
terbatasnya akses masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, sudah banyak
yang menjadi konflik terbuka. Selain diakibatkan tumpang tindih klaim atas
sumberdaya alam, biasanya yang terjadi pada konflik atas SDA adalah konflik
kepentingan dan konflik struktural dikarenakan peniadaan hak dan akses
masyarakat terhadap SDA oleh negara melalui peraturan perundangan yang
dibuat.
Dalam menjelaskan konflik terdapat beberapa pendekatan yang dapat
digunakan. Salah satu teori konflik yang dapat menjelaskan konflik kepentingan
dan struktural adalah teori Dahrendorf. Pendekatan Dahrendorf menggunakan
asumsi bahwa semua sistem sosial dikoordinasi secara imperatif atau asosiasi
yang dikoordinasi secara imperatif dengan hubungan kekuasaan atau otoritas
(Doni 2005; Susan 2008). Dahrendorf menyebut teorinya sebagai sosiologi
konflik dialektis yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan
wewenang diantara kelompok-kelompok terkoordinasi. Resolusi dalam kelompok
adalah redistribusi kekuasaan atau wewenang, kemudian menjadikan konflik
tersebut sumber perubahan sistem sosial (Dahrendorf 1959 dalam Susan 2008).
Metode penyelesaian konflik secara umum terdiri dari proses konfrontasi
dan proses kolaboratif. Dewasa ini sedang berkembang trend untuk
menyelesaikan konflik secara kolaboratif, tidak sekedar win-win solution tetapi
juga memberi jalan keluar yang memuaskan seluruh pihak dan mempromosikan
kepercayaan dan hubungan positif. Perbedaan karakteristik proses-proses
konfrontasi dan kolaboratif dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 Karakteristik proses penyelesaian konflik secara konfrontasi dan


kolaboratif

No. Penyelesaian Konfrontasi Penyelesaian Kolaboratif


1. Posisi para pihak sebagai musuh Para pihak memposisikan sebagai
penyelesai masalah
2. Pihak ketiga mengintervensi sebelum Isu-isu dapat diidentifikasi sebelum
isu-isu berkembang lebih jauh. posisi mengkristal.
3. Dicirikan oleh tawar menawar posisi Tawar menawar berbasis kepentingan
4. Fakta-fakta digunakan untuk Penyelidikan bersama digunakan untuk
mendukung posisi menentukan fakta-fakta
5. Polarisasi para pihak dan isu-isu Penyelidikan untuk pokok-pokok yang
16

No. Penyelesaian Konfrontasi Penyelesaian Kolaboratif


mendasari kepentingan
6. Kontak tatap muka dibatasi diantara Diskusi tatap muka didukung diantara
para pihak yang berkompetisi seluruh pihak
7. Mengusahakan argumentasi Mengusahakan pilihan-pilihan yang
kemenangan dapat dilaksanakan
8. Hasil-hasi seluruh atau tidak ada Hasil-hasil penyelesaian melalui
penyelesaian atas isu-isu integrasi kepentingan
9. Mempersempit pilihan secara cepat Memperluas bidang pilihan
10 Kewenangan untuk keputusan Kewenangan untuk keputusan
diserahkan kepada hakim diserahkan kepada para pihak
11. Dicirikan oleh kecurigaan dan emosi Dicirikan oleh rasa hormat dan
yang tinggi pengetrapan alasan
12. Para pihak sering tidak dipuaskan Jalan keluar harus memuaskan seluruh
dengan jalan keluar pihak
13. Sering meningkatkan kesengsaraan dan Mempromosikan kepercayaan dan
ketidakpercayaan dalam jangka hubungan positif
panjang
Sumber : Gray 1989 dalam Suporaharjo 2005
Seperti dijelaskan di bagian pendahuluan, perubahan fungsi kawasan hutan
Sesaot kemudian menimbulkan perbedaan kepentingan dan kewenangan
pengelolaan sehingga menimbulkan konflik, baik di tingkat birokrasi pemerintah
maupun di tingkat masyarakat. Konflik yang terjadi setidaknya sudah dalam tahap
mencuat, bahkan pernah menjadi konflik terbuka, berupa penolakan dan
demonstrasi masyarakat kepada pemerintah daerah. Beberapa pendekatan konflik
yang sudah diuraikan diatas akan dicoba untuk melihat sejauh mana sejarah dan
latar belakang konflik sampai pada upaya-upaya penyelesaiannya.
Konflik kehutanan di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh kegiatan
hak pengusahaan hutan (HPH), aktivitas penebangan liar, penetapan kawasan
lindung dan penetapan kawasan taman nasional, pembangunan HTI dan
perkebunan kelapa sawit. Konflik ini terjadi karena perbedaan pandangan
mengenai hak atas lahan, pelanggaran perjanjian oleh pihak yang terkait dan
ketidakjelasan batas kawasan ( FWI dan GWI 2001 dalam Yasmi et al.2004).

Hak dan Akses Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

Diskursus mengenai hak dan akses masyarakat dalam pemanfaatan dan


pengelolaan hutan masih saja terjadi. Negara menguasai sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya hutan, yang diwujudkan dalam peraturan perundangan,
pada kenyataan berbenturan dengan realitas di lapangan, dimana terdapat hak-hak
ulayat atau adat dari masyarakat yang tinggal disekitarnya. Pada sektor kehutanan,
Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur pembagian
17

kawasan hutan berdasarkan kepemilikannya menjadi hutan negara, hutan adat, dan
hutan hak.
Sampai saat ini masih terjadi diskursus terkait dengan definisi hutan adat,
dimana masyarakat adat menganggap bahwa hutan adat adalah milik masyarakat
adat, yang secara turun temurun, bahkan sebelum ada negara, telah dikelola dan
dimanfaatkan masyarakat. Akibatnya muncul banyak konflik dan sengketa atas
sumberdaya hutan, terutama antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah
dan perusahaan-perusahaan kehutanan yang diberi hak dan akses untuk
memanfaatkan hutan, sementara hutan tersebut diklaim sebagai hutan adat yang
merupakan hak ulayat masyarakat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang
Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya yang mengatur hutan adat. Pada
tanggal 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusannya
akhirnya mengabulkan sebagian permohonan judicial review dari AMAN,
diantaranya adalah pada Pasal 1 ayat 6, dimana pengertian hutan adat adalah hutan
yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Jadi hutan adat tidak lagi
termasuk dalam kawasan hutan Negara.
Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk
mendapatkan manfaat dari sesuatu termasuk dari sumberdaya alam, lembaga, dan
simbol-simbol berupa penghargaan dan/atau predikat. Terkait dengan kegiatan
pemanfaatan hutan, sebelum diundangkannya tahun 1999, akses masyarakat
sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari hutan sangat dibatasi. Pada
dasarnya masyarakat tidak boleh masuk ke dalam kawasan hutan, baik dalam
kawasan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi. Hutan dikelola oleh
negara dengan menggandeng perusahaan swasta dan BUMN. Masyarakat yang
memanfaatkan hutan dianggap sebagai melakukan kegiatan illegal.
Ketidakpastian hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
merupakan salah satu sumber permasalahan terjadinya konflik atas hutan. Sebagai
contoh konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur
disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung,
sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan laut
(Moeliono dan Fisher 2003 dalam Yasmi et al.2004). Sejak diterbitkan undang-
undang kehutanan tahun 1999 akses masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan
diwadahi dalam bentuk pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), dan pola kemitraan. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan. Skema HKm dan HD hanya boleh dilakukan pada
kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sedangkan pada kawasan konservasi
akses masyarakat untuk memanfaatkan hutan sangat terbatas. Menurut Sembiring
(1998) akses atas pemanfaatan hasil hutan sama sekali tertutup, berdasarkan
ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan, dimana siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang dan membelah pohon dan setiap orang dilarang mengambil/memungut
hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang.
Pada pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya hanya menyebutkan bahwa di dalam
kawasan konservasi (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
18

dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,


pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam tanpa mengurangi
fungsi pokok masing-masing kawasan. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 6
tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan, yang merupakan turunan dari undang-undang kehutanan
sedikit banyak telah mengatur akses masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Pada
hutan produksi masyarakat dapat memanfaatkan hutan dalam bentuk Hutan
Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Desa. Pada
hutan lindung masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan dalam bentuk
HKm dan HD, sedangkan pada kawasan konservasi tidak diatur secara jelas,
hanya disebutkan bahwa HKm dapat dilakukan pada kawasan konservasi tetapi
harus diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pada kawasan hutan Sesaot mengalami permasalahan yang hampir sama.
Perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan lindung menjadi kawasan konservasi
menjadi salah satu penyebab permasalahan konflik atas sumberdaya hutan. Hal ini
sangat berkaitan dengan akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Pada hutan
lindung, masyarakat Sesaot masih dapat memanfaatkan kawasan tersebut dengan
tanaman tumpang sari. Berbagai pihak juga mendorong sebagian kawasan tersebut
menjadi HKm, bahkan sebagian areal seluas 185 hektar sudah mendapat Ijin
Usaha Pemanfaatan HKm dari Bupati Lombok Barat. Sementara disisi lain juga
terdapat penunjukkan kawasan tersebut menjadi Taman Hutan Raya (Tahura),
yang belum mengatur secara tegas partisipati dan akses masyarakat ke dalam
kawasan hutan. Kepastian apakah kawasan hutan Sesaot seluruhnya masih
berfungsi dan berstatus hutan lindung, sehingga masyarakat dapat
memanfaatkannya melalui skema HKm atau sebagian sudah menjadi Tahura,
dimana tidak diperbolehkan masyarakat memanfaatkan kawasan tersebut menjadi
HKm, menjadi pertanyaan yang akan dijawab pada penelitian ini.
Hasil penelitian Sahwan (2002) yang melakukan analisis kebijakan
pengelolaan Tahura Sesaot menyimpulkan bahwa alternatif pengelolaan yang
optimal adalah gabungan antara Hutan Kemasyarakatan dengan pariwisata. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sejak awal di dalam kawasan hutan Sesaot
telah masuk masyarakat untuk memanfaatkan hutan, sehingga model pengelolaan
yang lebih tepat adalah dengan pelibatan masyarakat. Hanya saja setelah
ditetapkannya kebijakan baru bahwa HKm dapat dilakukan pada kawasan
konservasi, tetapi harus menggunakan peraturan pemerintah tersendiri, sementara
sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut, maka
peluang masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan kawasan hutan semakin
kecil.

Kebijakan Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan

Sejak tahun 1978, pada saat kongres kehutanan dunia ke VIII berlangsung
di Indonesia dengan tema besar ”Forest for People”, wacana pengelolaan hutan
berbasis masyarakat semakin bergulir. Kongres tersebut tidak secara jelas
menyebutkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti apa yang
19

ideal dilakukan, tetapi setidaknya pemahaman bahwa sumberdaya hutan harus


bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan masyarakat sekitar hutan dapat
berpartisipasi dalam pengelolaan hutan mulai mengemuka. Pasca kongres, praktek
pengelolaan hutan di Indonesia tidak banyak berubah.
Pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dan atau bermanfaat bagi
masyarakat sekitar diwujudkan dalam bentuk aktifitas tumpang sari dan proyek
perhutanan sosial pada Perum Perhutani dan kegiatan pembinaan masyarakat
sekitar hutan (PMDH) pada perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Sementara itu di luar kawasan hutan, pada daerah-daerah yang kritis, sejak tahun
1970-an telah digalakkan program penghijauan dan reboisasi, baik melalui proyek
pemerintah maupun swadaya masyarakat.
Istilah Hutan Kemasyarakatan (HKm) digunakan Kementerian Kehutanan
untuk menamai program dan kegiatan pemanfaatan hutan yang melibatkan
masyarakat. Program HKm sudah mulai dirintis sejak tahun 1983, tetapi
kebijakan khusus tentang HKm baru ada pada tahun 1995 dengan dikeluarkannya
surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman
Hutan Kemasyarakatan. Pada periode tahun 1983 – 1994, HKm dipahami sebagai
hutan yang dikelola dengan tujuan mendukung kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya.
Pada awal Pelita IV telah disusun Pola Umum Pengembangan kegiatan
HKm dan Pola Pengembangan HKm untuk provinsi Sumatera Selatan, Lampung,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Timur, dan Maluku. Kegiatannya dititikberatkan pada pembangunan
infrastruktur fisik untuk meningkatkan daya dukung lahan melalui pemanfaatan
ruang tumbuh yang ada. Pola tanam dengan sistem agroforestri menjadi model
pengelolaannya. Pada periode ini HKm memang masih dilaksanakan dalam
kerangka pilot project. Pada tahun 1986 juga dilaksanakan pilot project HKm di
Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Dalam keputusan Menteri Kehutanan nomor 622/ Kpts-II/1995 yang
dimaksud HKm adalah sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan
mengikutsertakan masyarakat. HKm dilaksanakan dalam rangka rehabilitasi lahan
kritis di hutan lindung dan hutan produksi. Kegiatan HKm dilakukan oleh
masyarakat atau anggota masyarakat yang berada di sekitar hutan, yang ditunjuk
oleh kepala dinas kehutanan berdasarkan usulan kepala desa atau ketua kelompok
tani dengan luasan 4 hektar per kepala keluarga. Peserta HKm hanya berhak untuk
memungut dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di dalam areal kerjanya.
Masyarakat yang terlibat dalam HKm sebagaimana diatur dalam surat keputusan
tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk merehabilitasi lahan
kritis, tetapi tidak diberi hak pemanfaatan hasil hutan kayu.
Pada tahun 1998 terbit surat keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts-
II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Surat keputusan ini memperbaiki
kebijakan sebelumnya berdasarkan masukan kritis para pihak dari implementasi
HKm berdasarkan SK Menhut No. 622/1995. Dalam keputusan tersebut
disebutkan bahwa HKm adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan
20

oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan


pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan
pada kepentingan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam peraturan ini diatur
prinsip-prinsip pengelolaan HKm, yaitu :
1. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengambilan manfaat.
2. Masyarakat sebagai pengambil keputusan dan menentukan sistem
pengusahaan.
3. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatan.
4. Adanya kepastian hak dan kewajiban semua pihak.
5. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat.
6. Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan budaya.
Pengelolaan HKm dapat diberikan kepada koperasi masyarakat, dengan
jangka waktu 35 tahun. Proses pengajuan untuk mendapatkan ijin tidak berbeda
dengan proses untuk mendapatkan ijin Hak Pengusahaan Hutan Alam. Terdapat
kewajiban untuk membentuk kelembagaan koperasi yang kemudian menimbulkan
dampak negatif, antara lain karena munculnya kelompok-kelompok masyarakat
yang sekedar mencari ijin tetapi tidak mampu melakukan pengelolaan hutan
sehingga hanya mengharapkan bagi hasil kerjasama dengan para pengusaha kayu.
Baru satu tahun implementasi, SK 677/1998 diganti dengan SK Menhut
nomor 865/Kpts-II/1999, tentang Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan. Dalam
keputusan ini HKm diartikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau
ditetapkan oleh Menteri untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan
kewenangan untuk menyelenggarakan pengaturan operasional mandiri dalam
mengelola hutan secara lestari. Berbeda dengan SK 677/1998 yang mensyaratkan
kelembagaan pengelola HKm adalah koperasi, dalam SK 865/1999 kelembagaan
pengelola tidak harus koperasi dalam mengajukan permohonan untuk
mendapatkan hak kelola HKm. Dalam keputusan ini juga istilah pengusahaan
diganti hanya menjadi pemanfaatan.
Masa reformasi membawa konsekuensi perubahan yang cukup mendasar
pada berbagai kebijakan dan politik di negeri ini. Pada tahun 1999 telah
diterbitkan beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang Nomor 22
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan. Diundangkannya regulasi baru tersebut mewarnai
babak baru bagi perpolitikan Indonesia. Era otonomi daerah pun dimulai.
Mengacu pada kedua kebijakan di atas, maka pada tahun 2001, Menteri
Kehutanan kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 31/Kpts-II/2001
tentang Penyelenggaraan HKm, sebagai penyempurnaan atas kebijakan
sebelumnya. Pengertian HKm dalam regulasi ini sesuai dengan pengertian dalam
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yaitu hutan negara dengan sistem
pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat
tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Beberapa hal yang disempurnakan dalam
regulasi ini adalah :
a. Memberi peran lebih aktif kepada masyarakat setempat.
21

b. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota, terutama


dalam proses perijinan (ijin sementara).
c. Tahapan penyelenggaraan HKm adalah: 1) Penetapan wilayah
pengelolaan HKm oleh Menteri Kehutanan, melalui inventarisasi dan
identifikasi ; 2) Penyiapan masyarakat; 3) Pemberian ijin, yaitu ijin
sementara (berlaku selama 5 tahun sampai terbentuk kelembagaan
masyarakat yang mandiri), dan ijin definitif untuk jangka waktu 25
tahun yang dapat diperpanjang tergantung hasil evaluasi.
d. Pengelolaan HKm, meliputi penataan areal kerja, penyusunan rencana
pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan.
e. Pengendalian, baik oleh kelompok, pemerintah dan masyarakat luas.
Mulai tahun 2002 – 2004, HKm mengalami masa dormansi, karena pada
masa itu Departemen Kehutanan mendorong kebijakan Social Forestry (SF)
sebagai konsep pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, serta dijadikan
payung prioritas kebijakannya. Konsep SF tidak terlalu jelas dan terkesan hanya
berorientasi proyek. Ketidaktersediaan aturan hukum di atasnya menjadikan
implementasi SF tidak optimal.
Pada tahun 2004, kembali terjadi pergantian kepemimpinan di Indonesia
yang diikuti dengan pergantian menteri kehutanan. Beberapa peraturan
pemerintah, termasuk PP No. 34/2002 diusulkan untuk direvisi. Hasil revisi baru
selesai pada tahun 2007 dengan keluarnya PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang
kemudian direvisi menjadi PP No. 3/2008 . Pada regulasi ini semakin jelas posisi
peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan serta pemberdayaan masyarakat
melalui model pemanfaatan HKm dan pengelolaan Hutan Desa. Merujuk PP No
6/2007 kemudian menteri mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut No.
P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Permenhut P.37/2007 kemudian
diperbaharui melalui Permenhut P.18/Menhut-II/2009 tentang Perubahan atas
Permenhut P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Semangat aturan yang baru adalah penyederhanaan birokrasi, khususnya
dalam pengurusan ijin pemanfaatan HKm. Jika pada peraturan sebelumnya proses
perijinan dibagi menjadi ijin sementara dan ijin definitif, maka pada peraturan
yang baru ini tidak lagi mengenal skema ijin sementara. Setelah areal kerja HKm
dicadangkan oleh Menteri dan kemudian ada fasilitasi pemerintah daerah dalam
penyiapan kelembagaan masyarakat, dan kegiatan lainnya, maka Bupati dapat
memberikan ijin usaha pemanfaatan HKm (IUPHKm) kepada kelompok
masyarakat. Jika unit manajemen tersebut akan melakukan pemanenan tanaman
kayunya maka diwajibkan mengajukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada areal HKm kepada Menteri Kehutanan.
Kementerian kehutanan, berdasarkan Permenhut nomor P.6/2011 tentang
penetapan indikator kinerja utama, telah mentargetkan pembangunan HKm seluas
2 juta ha dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Sampai dengan bulan
22

Januari 2012 telah masuk usulan untuk mendapat ijin usaha pemanfaatan HKm
(IUPHKm) seluas 700 ribu ha. Dari luasan tersebut yang sudah diverifikasi oleh
pemerintah seluas ± 571.000 ha, dan yang telah ditetapkan menjadi areal kerja
HKm baru seluas 177.484 ha. Dari keseluruhan luasan tersebut baru 46.435 ha
areal HKm yang telah mendapatkan IUPHKm dari Bupati atau Walikota setempat.
Dari hasil kinerja selama 2 (dua) tahun ini kemungkinan besar target
pembangunan 2 juta ha areal HKm tidak akan tercapai. Masih kecilnya areal kerja
HKm yang ditetapkan dan mendapat IUPHKm menunjukkan bahwa meskipun
dari sisi prosedur pengajuan perijinan sudah dipermudah, tetapi masih ada
persoalan lain yang menghambat, misalnya berkaitan dengan hubungan
pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan para pihak terhadap percepatan
proses mendapatkan IUPHKm.
Implementasi HKm di Nusa Tenggara Barat telah berjalan sejak tahun 1995,
dimulai dengan pelaksanaan uji coba pembangunan HKm di beberapa wilayah,
seperti di Sesaot, Santong, Salut, Munder, Sekaroh, Sekotong, dan Sumbawa.
Program ini sebagai respon terhadap keluarnya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 622/1995 yang kemudian disempurnakan melalui Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 677/Kpts – II/1998 tentang Hutan
Kemasyarakatan.
Sampai bulan Ferbuari 2012 areal hutan di Provinsi NTB yang sudah
ditetapkan menjadi areal HKm seluas 14.837 ha, yang terletak di Kabupaten
Bima, Kota Bima, Dompu, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, dan
Lombok Timur. Sementara itu areal HKm yang telah mendapat ijin usaha
pemanfaatan HKm (IUPHKm) seluas 3.399 ha meliputi 7 ijin, masing-masing 4
ijin di Kabupaten Lombok Tengah, 1 IUPHHKm di Kabupaten Lombok Timur, 1
IUPHHKm di Kabupaten Lombok Barat, dan 1 IUPHHKm di Kabupaten Lombok
Utara. Masih terdapat beberapa lokasi lain yang sedang mengikuti proses
penetapan areal HKm, dan diharapkan jumlah dan luasan areal HKm di Provinsi
NTB akan terus bertambah.

Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA)


untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis
asli dan/atau bukan jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi. 2Tahura selain diatur dalam UU No. 5/1990 antara
lain juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan,
Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
Permenhut P.10/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana

2
Definisi ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati an Ekosistemnya, yang kemudian dicantumkan juga pada
kebijakan-kebijakan turunannya.
23

Pengelolaan Taman Hutan Raya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dalam PP Nomor 28/2011 [pasal 9] disebutkan bahwa kriteria suatu
wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya
meliputi: a) memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam, 2) mempunyai luas
wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau
satwa, dan c) merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada
wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah
berubah. Penyelenggaraan tahura dilakukan oleh pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten/kota. Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 tahun 2007, dimana berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi,
khususnya tahura, pemerintah pusat mempunyai wewenang:
1. Menyelenggarakan penataan batas, pemetaan, pengukuhan dan penetapan
kawasan hutan termasuk kawasan pelestarian alam
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria (antara lain pemanfaatan
Tahura, penataan blok dan rehabilitasi)
3. Pengesahan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang dan Menengah
Pemerintah provinsi dan kabupaten memiliki kewenangan :
a. Pemerintah Provinsi
1. Pengelolaan Tahura
2. Penyusunan rencana pengelolaan
3. Pengesahan rencana pengelolaanjangka pendek serta penataan Blok
4. Pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di Tahura skala
provinsi
b. Pemerintah Kabupaten
a. Pengelolaan Tahura
b. Penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek dan penataan blok
c. Pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan
d. Rehabilitasi di Tahura kkala kabupaten/Kota

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 pasal 36 disebutkan


bahwa taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan :
1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi.
3. Koleksi kekayaan keanekaragaman hayati.
4. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi
air, panas, dan angin serta wisata alam.
5. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budidaya
alam untuk penyediaan plasma nutfah.
6. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
7. Pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka
pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan
dalam lingkungan yang semi alami.
24

Dalam peraturan tersebut juga diatur mengenai pemberdayaan dan peran


serta masyarakat di kawasan konservasi. Pada dasarnya keharusan
memberdayakan masyarakat berada di tangan pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kapasitas
masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan Tahura. Pemberdayaan dapat
dilakukan melalui: 1) pengembangan desa konservasi dan 2) pemberian izin untuk
memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin
pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam. Izin tersebut
diterbitkan oleh kepala unit pengelola sesuai dengan rencana pengelolaan.

Sampai saat ini jumlah Tahura di Indonesia yang telah ditunjuk dan/atau
ditetapkan adalah sebanyak 22 lokasi dengan luas total mencapai 351.593 ha.
Tidak ada ketentuan berapa persyaratan sebuah areal dapat dijadikan Tahura. Dari
ke 22 Tahura yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan tersebut luasan bervariasi,
mulai dari yang hanya seluas 6 ha (Tahura Pancoran Mas Depok), 35 ha (Tahura
Palasari Sumedang), ratusan hektar (Tahura Ir. Djuanda Bandung, Tahura
Ngargoyoso, Karanganyar), puluhan ribu hektar (Tahura Bukit Barisan Sumatera
Utara 51.600 ha, Tahura Bukit Soeharto 61.850 ha) dan lebih dari seratus ribu
hektar (Tahura Sultan Adam, Kalimantan Selatan seluas 112.000 ha). Banyak di
antara tahura tersebut yang mengalami permasalahan yang hampir sama, yaitu
terjadinya konflik atas lahan karena terbukanya akses, sehingga sebagian wilayah
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan sebagai tahura tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat. Permasalahan lain biasanya menyangkut kewenangan pengelolaan
Tahura oleh pemerintah, khususnya antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Sesaot, yang secara administratif


berada di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pengambilan data responden masyarakat dilakukan pada masyarakat yang
memanfaatkan hutan Sesaot yang dilakukan oleh 4 (empat) kelompok hutan
kemasyarakatan (HKm). Pengambilan data juga dilakukan di Jakarta, Mataram,
dan Gerung untuk responden dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, LSM,dll.
Penelitian dimulai bulan Mei 2011, meliputi survei pendahuluan,
pengambilan data di lapangan, dan pengolahan data serta penulisan tesis.
Pengambilan data dilakukan beberapa kali diantara rentang waktu pada bulan Juli
2011 – April 2012. Untuk melihat perkembangan terkini dilakukan pengambilan
data dan informasi yang dilakukan pada bulan Maret 2013.
25

Lokasi penelitianGambar

4 Lokasi penelitian di kawasan hutan SesaoT


26

Rancangan Penelitian

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data utama dilakukan melalui wawancara, pengamatan


lapangan, Focus Group Discussion (FGD) dan penelusuran dokumen. Alat survai
dan wawancara digunakan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan kunci.
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi dari kelompok
sasaran yang telah ditetapkan. Pengamatan di lapangan disamping untuk melihat
kondisi biofisik sumberdaya hutan, juga untuk mengetahui dan melihat langsung
perilaku stakeholder, serta ketersediaan infrastruktur pendukungnya. Penelusuran
dokumen dilakukan terhadap berbagai dokumen laporan, hasil-hasil penelitian,
informasi kelembagaan serta kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan
hutan Sesaot. Diskusi kelompok digunakan untuk menggali gagasan dan
rekomendasi berkaitan dengan pilihan penyelesaian konflik, kebijakan dan bentuk
pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan yang diinginkan.
Data pendukung diperoleh dari studi pustaka atau literatur, dokumen dan
informasi spasial kawasan hutan Sesaot, kondisi biofisik, kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat, dan lain-lain. Sumber data adalah dari laporan dan hasil-
hasil penelitian yang relevan dengan topik penelitian, yang didapatkan dari
Kementerian Kehutanan, Pemda Provinsi NTB, Pemda Kabupaten Lombok Barat,
Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, BPDAS Dodokan Moyosari Mataram,
NGO, Universitas Mataram, Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumber lain yang
terkait. Pedoman pengambilan data primer dan sekunder seperti pada Tabel 2

Tabel 2 Pedoman pengumpulan data utama


Teknik
No Stakeholder Variabel penelitian Pengumpulan
Data
1. Pemerintah 1. Sejarah kawasan Hutan Sesaot - Wawancara
Pusat/Kementerian (berkaitan dengan perubahan - Penelusuran
Kehutanan status dan fungsi kawasan) dokumen
2. Kebijakan alih fungsi kawasan
hutan
3. Penilaian status dan fungsi
kawasan Hutan Sesaot (apakah
masih berstatus Hutan Lindung
atau sebagian sudah menjadi
Kawasan Konservasi)
4. Pilihan bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan hutan Sesaot
kedepan
5. Kebijakan HKm di hutan lindung
dan kawasan konservasi.
2. Pemerintah Provinsi, 1. Sejarah kawasan hutan Sesaot - Wawancara
meliputi : 2. Karakteristik sumberdaya hutan - Penelusuran
- Dinas Kehutanan Sesaot dokumen
Provinsi NTB 3. Berbagai kebijakan pemda
- Bappeda NTB provinsi berkaitan dengan
27

Teknik
No Stakeholder Variabel penelitian Pengumpulan
Data
- KPH Rinjani Barat pengelolaan hutan Sesaot.
4. Kebijakan model Taman Hutan
Raya
5. Kebijakan Hutan Kemasyakatan
6. Kebutuhan dan persepsi
pengelolaan terhadap hutan
Sesaot
7. Persepsi dan harapan terhadap
kondisi hutan dan masyarakat
yang memanfaatkan kawasan
hutan Sesaot
8. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan
3. Pemda Kabupaten Lombok 1. Kebijakan yang telah, sedang dan - Wawancara
Barat , meliputi : akan dibuat (termasuk - Penelusura
1. Bappeda Kabupaten implementasinya) terhadap n dokumen
Lombok Barat pengelolaan kawasan Hutan
2. Dinas Kehutanan Sesaot.
dan Perkebunan 2. Atribut komunitas di desa-desa
Kabupaten Lombok sekitar hutan Sesaot
Barat 3. Kebutuhan Pemda atas Kawasan
3. Pemerintah desa Hutan Sesaot
4. Sikap pemda Kabupaten terhadap
bentuk pengelolaan hutan Sesaot
5. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan
4. Masyarakat, meliputi 1. Sejarah pemanfaatan kawasan - Wawancara
pengurus dan anggota Hutan Sesaot - Penelusuran
kelompok HKm, Forum 2. Karakteristik masyarakat dokumen
Kawasan, dan tokoh 3. Kelembagaan masyarakat - FGD
masyarakat lainnya 4. Tenurial justice pada kelompok-
kelompok masyarakat
5. Sikap masyarakat terhadap
implementasi kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
6. Persepsi dan harapan masyarakat
terhadap pengelolaan hutan
Sesaot
7. Pilihan bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan hutan Sesaot
kedepan
6. NGO dan Perguruan Tinggi 1. Tanggapan dan sikap terhadap - Wawancara
kebijakan pengelolaan Hutan - Penelusuran
Sesaot saat ini dokumen
2. Persepsi terhadap hutan dan - FGD
masyarakat yang memanfaatkan
hutan Sesaot.
3. Peran, fungsi dan tindakan yang
dapat dilakukan untuk membantu
28

Teknik
No Stakeholder Variabel penelitian Pengumpulan
Data
mewujudkan pengelolaan Hutan
Sesaot yang lestari
4. Pilihan bentuk dan kebijakan
pengelolaan hutan Sesaot
kedepan

Penentuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan secara sengaja atau bertujuan (purposive


sampling). Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang
digunakan oleh peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan
tertentu di dalam pengambilan sampelnya. Beberapa pertimbangan yang biasa
digunakan peneliti dalam pengambilan sampel dengan teknik ini diantara adalah
jumlah dan asal sampel dan lokasi tempat subyek dan responden penelitian berada
(Suharsimi 2000). Dalam penelitian ini pertimbangan tertentu yang digunakan
adalah pilihan responden dari kelompok masyarakat, pemerintah daerah, dan LSM
pendamping yang terlibat langsung dalam dinamika pengelolaan dan
pemanfaaatan kawasan hutan Sesaot.
Informan atau responden dipilih berdasarkan keterwakilan permasalahan
bukan populasi, dimana informan yang dipilih adalah yang terlibat secara
langsung dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot.
Untuk informan masyarakat dipilih perwakilan dari pengurus dan anggota
kelompok HKm, pengurus Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot, aparat desa,
dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan Sesaot. Informan dari luar
kelompok masyarakat dipilih dari Kementerian kehutanan (Ditjen BPDAS PS dan
Ditjen Planologi), Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Lombok Barat, Konsepsi, KPH Rinjani Barat, Bappeda
Kabupaten Lombok Barat, UPTD Tahura Nuraksa, dan lain-lain. Secara rinci
daftar dan jumlah informan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.

Definisi Operasional

Dalam penelitian ini beberapa definisi operasional adalah sebagai berikut:


1. Kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tatanan dan
pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling
mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar
organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan
oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik, aturan
formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif
untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
2. Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu ketetapan yang
didalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu.
29

Kebijakan yang dikaji dalam penelitian meliputi kebijakan yang dikeluarkan


oleh pemerintah pusat (peraturan pemerintah, peraturan menteri dan surat
keputusan menteri), pemerintah provinsi (peraturan daerah provinsi, surat
keputusan gubernur dan surat keputusan gubernur), pemerintah kabupaten
(peraturan daerah kabupaten, peraturan dan surat keputusan bupati),
pemerintah kecamatan dan pemerintah desa.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
5. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
6. Kawasan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
7. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
8. Taman Hutan Raya (Tahura) adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis
asli dan/atau bukan jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.
9. Konflik atas sumberdaya hutan dalam penelitian ini adalah perbedaan
kepentingan antara dua pihak atau lebih berkaitan dengan kebijakan dan/atau
implementasi pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan. Konflik dapat berupa
konflik kepentingan, yaitu konflik yang terjadi karena adanya persaingan
kepentingan yang dirasakan tidak bersesuaian; konflik data yaitu konflik yang
terjadi karena kesalahan data dan/atau informasi yang dibutuhkan dan konflik
struktural adalah konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya.
10. Yang dimaksud kepentingan dalam penelitian ini adalah interes dan/atau
tujuan dari para pihak dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya. Untuk mengetahui kepentingan dari masing-masing pihak
dilakukan dengan wawancara terstruktur.

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode analisis data yang relevan
dengan tujuan penelitian. Untuk menganalisis secara sistematis pengaruh
kebijakan (positif dan negatif) yang sedang berjalan maupun yang akan diusulkan,
khususnya terkait dengan kebijakan perubahan fungsi dan status kawasan hutan
Sesaot, digunakan metode analisis isi dan proses kebijakan (IDS 2006) terhadap
30

semua peraturan perundangan yang terkait langsung dengan obyek penelitian.


Menurut IDS (2006) proses penyusunan dan implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh narasi kebijakan, aktor-aktor atau jaringan, dan politik/kepentingan.
Untuk mengetahui siapa dan apa saja peran para pihak yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan Hutan
Sesaot digunakan analisis stakeholder dengan menggunakan metode analisis
empat R (Rights, Responsibilities, Revenues, Relationships) yang dikembangkan
oleh Meyer (2001). Untuk menganalisis kelembagaan yang terlibat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot digunakan Institutional
Analysis and Development(IAD) framework (Ostrom 1999; 2005).
Dalam kerangka kerja IAD dianalisis kondisi biofisik kawasan hutan
Sesaot yang setidaknya meliputi fungsi kawasan hutan, kondisi hidrologis, kondisi
tutupan lahan, dan kelerengan. Selain itu dianalisis juga atribut komunitas yang
berkaitan dengan kependudukan, tingkat kemiskinan, pendidikan, dan rerata
kepemilikan lahan, serta sosial dan budaya masyarakat, termasuk keberadaan
lembaga-lembaga di tingkat masyarakat. Selain itu dianalisis juga aturan main
baik di tingkat komunitas ataupun analisis kebijakan terkait dengan status
kawasan hutan (hutan lindung atau kawasan konservasi) dan tumbang tindih
kebijakan antara kebijakan HKm dan Tahura. Kondisi biofisik kawasan hutan
dapat menggambarkan permasalahan fungsi dan/atau manfaat hutan. Atribut
komunitas dan aturan main dapat menggambarkan permasalahan hak dan akses
masyarakat terhadap pemanfaatan hutan dan kontelasi kebijakan atau aturan main
yang berlaku.
Tujuan penelitian, jenis dan sumber daya, teknik pengumpulan dan analisis
data di rangkum pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis, metode pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan


penelitian
Tujuan Penelitian Jenis & Teknik Analisis Data Output
Sumber Data Pengumpulan
Data
4. Menganalisis Data primer Penelusuran Analisis isi Kejelasan status
kelembagaan dan sekunder dokumen ; kebijakan; dan fungsi kawasan
para pihak dari Instansi wawancara Analisis hutan ; pilihan
yang terlibat Pemerintah stakeholder; bentuk pengelolaan
pusat dan Analisis dan pemanfaatan
dalam
daerah ; kelembagaan hutan; fungsi, peran
pengelolaan masyarakat; dan kepentingan
dan atau NGO, dan PT para pihak
pemanfaatan
kawasan
hutan Sesaot.

5. Mengetahui Data primer Wawancara ; Analisis Profil konflik atas


pilihan dan sekunder kuisioner ; kelembagaan; hutan Sesaot;
strategi dan dari Instansi FGD Analisis isi perkembangan
kebijakan Pemerintah kebijakan; terkini upaya
pusat dan Analisis penyelesaian
31

Tujuan Penelitian Jenis & Teknik Analisis Data Output


Sumber Data Pengumpulan
Data
terhadap daerah , stakeholder; konflik
penyelesaian masyarakat, analisis
konflik atas NGO, Pihak deskriptif
sumberdaya Swasta, dan
perguruan
hutan Sesaot.
tinggi
6. Menganalisis Data primer Penelusuran Analisis Implikasi konflik
implikasi dan sekunder dokumen ; deskriptif; atas hutan terhadap
konflik dari Instansi wawancara; Analisis isi sumberdaya hutan
terhadap Pemerintah , FGD kebijakan; Sesaot
masyarakat, Analisis
kawasan
NGO dan PT stakeholder;
hutan Sesaot.

4 KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN

Kondisi biofisik

Kawasan Hutan Sesaot merupakan bagian dari kelompok hutan Gunung


Rinjani (RTK 1) yang secara geografis terletak diantara″ 815′ - 8″ 35′ Lintang
Selatan dan 116 ″ 03′ - 116″ 44′ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 300 – 600
m dpl. Secara administratif kehutanan kawasan ini termasuk wilayah Sub Seksi
Pemangkuan Hutan (SSPH) Sesaot, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Lombok Barat. Dari sisi administratif pemerintahan, kawasan hutan Sesaot berada
di Kecamatan Narmada dan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Terdapat 6
(enam) desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yaitu Desa Sesaot,
Lebah Sempage, Sedau, Pakuan, Buwun Sejati (Kecamatan Narmada) dan Desa
Batu Mekar (Kecamatan Lingsar). 3
Sejak tahun 1982 kawasan Hutan Sesaot ditetapkan menjadi kawasan
hutan lindung. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat
khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun
areal di bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta

3
Pada berbagai literatur dan hasil penelitian disebutkan bahwa jumlah desa yang berada di
sekitar kawasan hutan Sesaot adalah 4 desa (Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedahu, dan
Batu Mekar). Sejak bulan November 2011 telah terjadi pemekaran desa, yaitu Desa Sesaot
dimekarkan menjadi 2 desa (Desa Sesaot dan Buwun Sejati) dan Desa Lebah Sempage juga
dimekarkan menjadi 2 desa (Desa Lebah Sempage dan Desa Pakuan).
32

memelihara kesuburan tanah. 4 Topografi bervariasi dari datar hingga curam.


Ketinggian lokasi antara 300 – 600 m dpl dengan kelerengan yang dominan antara
15 – 40% atau agak curam - curam. Berdasarkan Peta Tanah Indonesia (1968)
skala 1: 2.500.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor, jenis tanah di kawasan
hutan Sesaot adalah regosol. Tanah regosol masuk dalam klasifikasi tanah yang
sangat peka terhadap erosi.
Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmit dan Ferguson kawasan hutan
Sesaot termasuk dalam tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata antara 7.000 –
15.000 mm/tahun. Hasil pengukuran data curah hujan selama 10 tahun, antara
tahun 1999 – 2009 di stasiun penangkar juru pengairan wilayah di Sesaot,
menunjukkan bahwa jumlah curah hujan berkisar antara 7.055 mm/th atau 588
mm/bln atau 26,73 mm/hari. Jumlah hari hujan berkisar antara 109 – 255 hari
hujan/tahun atau rata-rata setiap bulannya antara 9 – 22 hari hujan.
Kawasan Hutan Sesaot seluas ± 5.950,18 hektar merupakan kawasan hutan
yang memiliki nilai strategis, baik dari sisi ekologi, ekonomi, maupun sosial.
Kawasan ini merupakan wilayah hulu dari Sub DAS Jangkok, memiliki fungsi
hidrologi yang sangat penting. Sub DAS Jangkok memenuhi kebutuhan air untuk
2 kecamatan dan 11 desa (Kabupaten Lombok Barat) dan 3 kecamatan dan 10
kelurahan (Kota Mataram) dengan luas keseluruhan mencapai 22.526 km2.
Terdapat lebih dari 44 mata air di kawasan hutan Sesaot yang mengalir ke sungai-
sungai dibawahnya, seperti Kali Jangkok, Kali Sesaot, Kali Timbesar, dan Kali
Bensua. Beberapa mata air yang besar adalah mata air Ranget, Pengkukun, Sesaot,
Aik Nyet, Pengkoak, dan Orong Petung (Konsepsi 2010).
Mata air Ranget disamping dimanfaatkan masyarakat sekitarnya juga telah
diambil oleh PDAM untuk kebutuhan air bersih di Kota Mataram. Mata air Aik
Nyet menjadi tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi wisatawan, khususnya
pada hari libur. Di kecamatan Narmada juga telah beroperasi perusahaan air
minum dalam kemasan, yang memanfaatkan mata air yang bersumber dari
kawasan hutan Sesaot.Tutupan lahan di hutan Sesaot terdiri dari hutan alam yang
belum dimanfaatkan oleh masyarakat seluas ± 2.073 ha dan tanaman hasil
reboisasi, hasil program kopi penyangga dan pemanfaatan HKm seluas ± 3.876,7
ha.
Keberadaan mata air sering dihubungkan dengan kondisi vegetasi hutan.
Beberapa hasil studi menyebutkan bahwa telah terjadi degradasi lahan di sub DAS
Jangkok yang ditandai dengan penurunan debit rata-rata di Sungai Jangkok
sebesar 5,6 % setiap tahunnya (WWF Nusra 2008 dalam Galudra,dkk 2010).
Akan tetapi hasil kajian Setiawan, dkk (2010) menyebutkan kondisi debit air pada
stasiun bendungan Jangkok masih tergolong baik, yaitu tingkat ketahanan debit
pada saat bulan basah dan kering masih baik, dengan nilai flow persistence yang
cenderung naik. Hal ini mengindikasikan kondisi tutupan lahan hutan Sesaot
cenderung semakin baik.

4
Definisi kawasan hutan lindung pada Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
33

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor


837/Kpts/Um/11/1980 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung,
dimana faktor-faktor yang diperhatikan dan diperhitungkan di dalam penetapan
perlunya hutan lindung di dalam kawasan adalah lereng lapangan, jenis tanah
menurut kepekaannya terhadap erosi dan intensitas hujan di wilayah yang
bersangkutan. Hasil penghitungan nilai yang lebih besar dari 175 menunjukkan
bahwa kawasan tersebut memenuhi Kriteria sebagai hutan lindung. Disamping itu
dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa suatu wilayah perlu dibina dan
pertahankan sebagai hutan lindung apabila memenuhi salah satu atau beberapa
syarat: 1) mempunyai lereng lapangan lebih besar dari 45% 5; 2) tanah sangat peka
terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol, organosol dan renzina dengan
lereng lapangan 15%; 3) merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air; 3)
merupakan pelindung mata air; 4) mempunyai ketinggian 2000 meter diatas
permukaan laut atau lebih.
Berdasarkan kriteria khusus tersebut maka kawasan hutan Sesaot
memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, terutama berkaitan dengan jenis tanah
dan kelerengannya serta fungsinya sebagai daerah tangkapan air. Hasil
perhitungan dengan membandingkan kelerengan, jenis tanah dan curah hujan juga
menunjukkan skor 185, sehingga kawasan hutan Sesaot memang perlu dijadikan,
dibina dan dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung.

Tanah dan topografi

Berdasarkan Peta Tanah Indonesia (1968) skala 1: 2.500.000 dari


Lembaga Penelitian Tanah Bogor, jenis tanah di kawasan Hutan Sesaot adalah
regosol dengan kemampuan tanah seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kemampuan tanah di kawasan hutan Sesaot
Kemampuan Kelerengan Kedalaman Tekstur Drainase Erosi Faktor
tanah (%) (cm) tanah pembatas
A2bT 15 -40 60 -90 sedang Tidak Tidak Berbatu-
Bt pernah ada batu
tergenang erosi
B2bE 2 - 15 60 -90 sedang Tidak Ada Berbatu-
Bt pernah erosi batu
tergenang
C2bT 15 -40 30 -60 sedang Tidak Tidak Berbatu-
Bt pernah ada batu
tergenang erosi
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi NTB 2009

5
Dalam Keppres No. 32/1990 ketentuan ini diubah menjadi kawasan hutan yang mempunyai
lereng lapangan 40% atau lebih.
34

Tanah di bawah tegakan hutan dan di daerah deposit alluvial mengandung


material organik yang cukup banyak dengan kandungan tekstur lempung yang
tinggi ( Syarifudin 1999). Topografi kawasan bervariasi dari datar, landai, agak
curam, sampai curam, dengan kelerengan antara 15 – 40%.

Iklim dan curah hujan

Menurut Borsa (1997) dalam Syarifudin (1999), Pulau Lombok secara


keseluruhan beriklim tropis dengan temperatur rata-rata antara 30º - 35º C. Pola
hujan mengikuti pola angin muson barat daya dengan musim hujan tunggal terjadi
pada bulan Oktober hingga Mei. Persebaran hujan lokal sebagian besar
dipengaruhi oleh keberadaan Gunung Rinjani.
Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmit dan Ferguson kawasan hutan
Sesaot termasuk dalam tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata antara 7.000 –
15.000 mm/tahun. Hasil pengukuran data curah hujan selama 10 tahun, antara
tahun 1999 – 2009 di stasiun penangkar juru pengairan wilayah di Sesaot,
menunjukkan bahwa jumlah curah hujan berkisar antara 7.055 mm/th atau 588
mm/bln (pada tahun 2008) dan 15.819 mm/th atau 1.318 mm/bln (pada tahun
2004). Jumlah hari hujan berkisar antara 109 – 255 hari hujan/tahun atau rata-rata
setiap bulannya antara 9 – 22 hari hujan. Hampir sepanjang tahun terdapat hujan,
dengan intensitas hujan yang tinggi terjadi pada bulan Oktober – April.
Gambar 5 Grafik curah hujan rata-rata bulanan di Sesaot

1400
1318 1223
1200
1000 980
CH (mm/th)

846 923
800 787 783 748 794 734
785
674 662
600 588
530
400
200
0
95

96

97

98

99

00

01

02

03

04

05

06

07

08

09
19

19

19

19

19

20

20

20

20

20

20

20

20

20

20

Tahun

Sumber : Data stasiun penangkar juru pengairan daerah irigasi Sesaot, Kecamatan
Narmada.

Flora dan fauna

Secara umum kawasan hutan Sesaot terdiri dari hutan alam yang belum
ada kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat seluas ± 2.700 ha, dengan jenis-jenis
35

tanaman seperti Bajur (Pteospermum javanicum), Garu (Disoxylum sp), Dau


(Dracontomelom mangiferum), Laban (Vitex pubescen vhal), Terep (Arthocarpus
elasticus), Sono (Dalbelgia sp), Tandan Sesaot (Mallotus philipinensis), Ketimis
(Protium javanicum burn), Rajumas (Duabanga moluccana), Jowet (Eugenis
cumini), Goak (Ficus spp), Sentul (Algalaia spp), dan lain-lain. Kawasan lain
merupakan hutan tanaman hasil reboisasi dan program kopi penyangga seluas ±
3.200 ha. Jenis tanaman yang dominan adalah mahoni (Swietenia mahagony),
sengon (Parasariantes falcataria), kemiri (Aleurites moluccuna) dan tanaman
multi guna lainnya seperti durian, nangka, rambutan, kopi, dan coklat.
Jenis-jenis satwa yang masih kerap ditemui di kawasan hutan Sesaot adalah
Kera (Macaca fascularis), Babi hutan (Sus vitatus), Biawak (Varanus salvator)
Landak, Ular, Lutung (Presbitis aristota), Kijang (Rusa timorensis), dan jenis-
jenis burung, seperti Ayam hutan, burung kerata, kepunek, kenyeling, dan dawa.
(Konsepsi 2010; Sahwan 2002, Dinas Kehutanan Provinsi NTB 2009).

Sebagian besar kawasan hutan Sesaot sudah dimanfaatkan oleh masyarakat


dalam bentuk tanaman tumpang sari dengan pola agroforestry, yang
menggabungkan tanaman kayu-kayuan, tanaman MPTS (multi purpose tree
species), tanaman perkebunan, dan tanaman semusim. Pemanfaatan kawasan
menggunakan model pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dimulai
sejak tahun 1993. Sampai penelitian ini dilakukan terdapat 4 (empat) kelompok
HKm yang bergabung dalam wadah koordinasi Forum Kawasan Hutan Lindung
Sesaot. Keempat kelompok tersebut memanfaatkan areal seluas lebih kurang
3.800 ha.

Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar hutan

Kependudukan
Saat ini terdapat 6 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan
lindung Sesaot, yaitu Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Pakuan, Buwun Sejati
(kelimanya termasuk dalam wilayah Kecamatan Narmada), dan Desa Batu Mekar
(Kecamatan Lingsar). Desa Lebah Sempage merupakan hasil pemekaran dari
Desa Sedau pada tahun 1998, Desa Batu Mekar merupakan hasil dari pemekaran
Desa Batu Kumbung pada tahun 2000, Desa Pakuan merupakan desa hasil
pemekaran dari Desa Lebah Sempage ( November 2011), dan Desa Buwun Sejati
juga merupakan desa hasil pemekaran Desa Sesaot (November 2011). Jadi
wilayah Desa Sesaot telah dimekarkan menjadi 3 desa baru. Jumlah penduduk
masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
36

Tabel 5 Kondisi kependudukan desa-desa sekitar kawasan hutan Sesaot


No Desa Luas Jumlah Laki- Perempuan Jumlah Kepadatan
wilayah Penduduk laki KK
(Km2)
1 Sesaot 41,96 8.886 4.399 4.487 1.844 212
2 Lebah 5,56 3.716 1.811 1.905 826 149
Sempage
3 Sedau 8,44 4.335 2.129 2.206 2.820 514
4 Pakuan 4,3 2.902 1.454 1.448 925 215
5 Batu 11,91 7.811 3.937 3.874 2.199 656
Mekar
6 Buwun 14,14 3.629 1.872 1.820 1.221 256
Sejati
Sumber : Kecamatan Narmada dalam Angka 2010; Monografi Desa Batu Mekar 2010;
Monografi Desa Sesaot 2010; Monografi Desa Lebah Sempage; RPJMDes Buwun Sejati
2011, hasil wawancara responden.

9000
8000
7000 Sesaot
6000
5000 Lebah Sempage
4000 Sedau
3000
2000 Pakuan
1000 Batu Mekar
0
Buwun Sejati
Jml Laki-laki Perempuan Jml KK
Penduduk

Gambar 6 Kondisi kependudukan di sekitar hutan Sesaot

Dari data diatas maka rata-rata kepadatan penduduk di desa-desa sekitar


hutan Sesaot sudah cukup tinggi. Kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di
Desa Batu Mekar, mencapai 656 jiwa/km2. Jumlah tanggungan setiap keluarga
pada masing-masing desa mencapai 5 orang (Desa Sesaot), 4 orang (Desa Lebah
Sempage), 2 orang (Desa Sedau), dan 4 orang (Desa Batu Mekar). Sementara itu
jumlah penduduk usia produktif (usia 15 -64 tahun) di Desa Sedau mencapai
2.810 orang ( 1.339 laki-laki dan 1.471 perempuan), Desa Lebah Sempage 4.290
orang ( 2.044 laki-laki dan 2.246 perempuan), Desa Sesaot 5.760 (2.745 laki-laki
dan 3.015 perempuan). 6 Kepadatan penduduk yang cukup besar, jumlah
tanggungan keluarga yang cukup banyak, terbatasnya kepemilikan lahan serta
besarnya jumlah penduduk usia produktif seperti data-data diatas menjadi salah
satu penyebab banyaknya masyarakat yang masuk ke dalam kawasan hutan dan
memanfaatkan areal tersebut untuk sumber penghidupannya.

6
Data ini merupakan dataKecamatan Narmada dalam Angka tahun 2010
37

Mata pencaharian

Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan hutan Sesaot bekerja di sektor


pertanian. Pada tahun 2008, di Desa Sesaot lebih dari 54 % penduduknya bekerja
di sektor pertanian. Sektor lain yang banyak menyerap tenaga kerja adalah
industri dan perdagangan (BPS 2009). Rata-rata kepemilikan lahan di desa-desa
sekitar hutan relatif kecil (± 0,3 ha/kk), sehingga meskipun bekerja di sektor
pertanian tetapi pada umumnya menjadi petani penggarap yang memanfaatkan
lahan hutan untuk menunjang kehidupannya.
Pendapatan daerah regional bruto per kapita di Kecamatan Narmada pada
tahun 2009 mencapai Rp 4.446.910 atau sekitar Rp 12.352 per harinya (BPS
2010). Data ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian ICRAF (2010) yang
menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita per hati petani HKm yang
sudah mendapatkan ijin sebesar Rp 12.654, pendapatan per kapita per hari petani
HKm non ijin sebesar Rp 11.679, dan pendapatan per kapita per hari petani non
HKm mencapai Rp 14.748. Sementara itu hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif
yang dilakukan Konsepsi (2010) terhadap 280 kepala keluarga petani HKm
menunjukan bahwa 70% responden memiliki penghasilan kurang dari Rp 500,000
atau rata-rata pendapatan per hari kurang lebih Rp 16.667. Jika dibandingkan
dengan standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh World Bank tahun 2008
yaitu sebesar US $ 1.25 per kapita per hari, maka dapat dikatakan para petani
penggarap HKm sebagian besar berada di sekitar garis kemiskinan.
Tabel 6 Kondisi mata pencaharian masyarakat di desa-desa sekitar hutan Sesaot 7
No Jenis Mata Desa Desa Desa Desa Batu
Pencaharian Sesaot Lebah Sedau Mekar
(orang) Sempage
1 Pertanian 1.214 838 363 2.287
2 Pertambangan dan 68 121 58 0
penggalian
3 Industri 232 69 31 30
4 Listrik, gas, dan air 0 0 0 0
minum
5 Konstruksi 79 30 26 31
6 Perdagangan 242 323 610 133
7 Angkutan 31 145 54 34
8 Lembaga keuangan 0 6 0 0
9 Jasa-jasa 367 398 201 323
Sumber : BPS 2008
Kepemilikan lahan yang kecil menjadi salah satu pendorong masyarakat
memanfaatkan kawasan hutan, terutama menggarap areal hutan dengan menanami
tanaman MPTS, buah-buahan dan tanaman semusim. Pengamatan di lapangan,
setiap hari berbagai hasil tanaman buah-buahan dan tanaman bawah tegakan

7
Data Desa Buwun Sejati dan Desa Pakuan masih tergabung dalam Desa Sesaot dan Desa
Lebah Sempage
38

lainnya, seperti pisang, nangka, rambutan, dan kopi diperjualbelikan di kawasan


hutan Sesaot.
Hasil penelitian WWF Nusa Tenggara dan KMPH Sesaot (2006)
menunjukkan nilai transaksi perdagangan komoditas 31 jenis hasil hutan bukan
kayu (kopi, coklat, kemiri, dan buah-buahan lainnya) di tiga desa (Sesaot, Lebah
Sempage, dan Sedau) yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Sesaot
mencapai nilai lebih dari Rp 900 juta pada saat musim panen dan lebih dari Rp
280 juta pada saat bukan musim panen, setiap minggunya. Potensi ini cukup
besar, hanya saja karena masyarakat masih menjual hasil tanaman sebagai bahan
mentah dan masih sedikit sekali yang sudah diolah menjadi bahan olahan jadi atau
setengah jadi, maka keuntungan yang didapatkan petani relatif paling kecil
dibanding keuntungan yang didapatkan pedagang, terutama pedagang antara.
Kondisi lain yang banyak ditemukan di desa-desa sekitar hutan Sesaot
adalah banyaknya kayu bakar yang beredar dan diperjualbelikan masyarakat.
Kayu bakar ini sebagai tambahan pendapatan keluarga. Sumber kayu bakar
disebutkan sebagai rencek dari ranting-ranting pohon, pohon-pohon kopi yang
sudah tua, pohon-pohon di lahan milik, serta pohon yang berada di hutan, yang
ditebang dan dijadikan kayu bakar. Pada saat pengambilan data, harga kayu bakar
1 pikul mencapai Rp 15.000 di pinggir jalan. Biasanya pembeli mengambil sendiri
dengan menggunakan kendaraan untuk di bawa ke Mataram dan/atau kota-kota
lain disekitarnya. Penggunaan kayu bakar disamping untuk keperluan rumah
tangga juga sebagai bahan bakar pembakaran tembakau.

Gambar 7 pencari kayu bakar dan tumpukan kayu bakar yang siap dijual
Di desa-desa sekitar hutan juga terdapat beberapa industri pengolahan kayu
(sawmill). Bahan baku kayunya disebutkan berasal dari kayu-kayu dari hutan
rakyat dan/atau kayu dari daerah lain. Akan tetapi beberapa pihak yang
diwawancarai juga menengarai bahwa keberadaan sawmill tersebut menjadi salah
satu pendorong masih adanya kasus-kasus penebangan liar dimana hasil
penebangan ditampung dan diolah menjadi kayu olahan pada sawmill yang berada
di sekitar desa.
39

Sementara itu di Desa Sesaot terdapat industri pengolahan kerajinan kayu,


yang sebagian besar memproduksi dulang atau mangkuk kayu, yang biasanya
untuk keperluan upacara keagamaan di Bali. Di desa ini dibuat bahan setengah
jadi dan kemudian dibawa ke Bali untuk dilakukan proses finishing. Informasi
dari perajin, meskipun dibuat di Lombok akan tetapi setelah sampai di Bali
kemudian disebut sebagai kerajinan made in Bali. Kerajinan tersebut sebagian
besar dibuat dari kayu kemiri, yang dikatakan oleh pengrajinnya berasal dari areal
hutan rakyat atau kebun masyarakat serta sebagian dibeli dari daerah lain.

Gambar 8 Industri rumah tangga pembuatan dulang dan industri sawmill di


sekitar hutan Sesaot.
Di sekitar kawasan hutan Sesaot terdapat potensi untuk wisata alam yang
cukup banyak, seperti air terjun, gua, bendungan, dan sungai-sungai yang dapat
dijadikan obyek untuk wisata arung jeram. Jika dikelola dengan baik akan dapat
meningkatkan lapangan kerja masyarakat. Sampai sekarang baru sedikit obyek
wisata yang telah dikelola, seperti Aik Nyet dan mata air Ranget.

Pendidikan dan kesehatan

Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan hutan Sesaot berpendidikan


sampai tamat sekolah dasar. Di Desa Sesaot tercatat 1.322 orang penduduknya
yang tamat SD, 1.332 orang tamat SMP, 661 orang tamat SMA, 18 orang tamat
akademi setara Diploma 1 - 3, dan 34 orang yang tamat perguruan tinggi.
Sementara itu di Desa Batu Mekar tercatat 804 orang yang menyelesaikan
pendidikan SD, 244 orang tamat SMP, 109 orang menyelesaikan pendidikan
SMA, dan 24 orang lulus pendidikan akademi (D1 – D3), dan 65 orang
menyelesaikan pendidikan sarjana di perguruan tinggi.
Sarana pendidikan di desa-desa hanya ada sekolah dasar. Gedung SMP
terdapat di Desa Sesaot dan Batu Mekar. Untuk melanjutkan pendidikan tingkat
SLTA dan perguruan tinggi dilakukan di kota Mataram yang jaraknya paling jauh
sekitar 1 – 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
40

Tabel 7 Jumlah penduduk di desa sekitar hutan menurut tingkat pendidikan


No Desa Tidak/belum SD SLTP SLTA Akademi
pernah dan
sekolah Perguruan
Tinggi
1 Sesaot 3.962 1.322 1.322 661 52
2 Lebah 3.526 1.507 292 150 13
Sempage
3 Sedau 2.391 1.782 354 214 19
4 Batu Mekar 1.129 804 244 109 89
Sumber : BPS 2008, Monografi Desa Sesaot 2009, Monografi Desa Batu Mekar
2009

4000
3500
3000
Tidak/Belum Sekolah
2500
SD
2000
1500 SLTP
1000 SLTA
500 PT
0
Sesaot Lebah Sedau Batu
Sempage Mekar

Gambar 9 Grafik tingkat pendidikan masyarakat di desa sekitar hutan Sesaot

Di setiap desa di sekitar kawasan hutan Sesaot sudah terdapat sarana


kesehatan berupa puskesmas di Desa Sedau dan puskesmas pembantu di Desa
Sesaot dan Batu Mekar. Pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga mantri
kesehatan dan dokter. Hampir di setiap dusun sudah terdapat posyandu, yang
melayani fasilitas kesehatan ibu dan anak. Fasilitas kesehatan yang lebih maju
terdapat di ibu kota Kecamatan Narmada, yang telah terdapat puskesmas yang
dikategorikan sebagai rumah sakit kelas B, sehingga bisa melayani pasien rawat
inap. Jika tidak dapat ditangani di tingkat desa atau kecamatan, maka akan di
rujuk kepada rumah sakit di Kota Mataram, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
desa, dengan akses jalan yang baik.

Pranata sosial dan kelembagaan masyarakat

Sebagian besar masyarakat desa di sekitar kawasan hutan Sesaot merupakan


masyarakat asli Pulau Lombok (Suku Sasak) yang merupakan pendatang dari
daerah-daerah lain di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, seperti
Selat, Nyiur, dan Lingsar. Sebagian lain merupakan pendatang dari luar pulau
Lombok, seperti dari Bali, Sumbawa, dan Jawa. Mayoritas penduduk beragama
41

Islam, sebagian lain beragama Hindu, dan Kristen. Sebagai contoh di Desa Sesaot
kurang lebih 89 % beragama Islam dan 11% beragama Hindu. Di desa lainnya
lebih dari 95% penduduknya beragama Islam. Sarana ibadah masjid dan/atau
musholla terdapat pada setiap desa dan dusun. Di Sesaot terdapat sebuah pura
yang cukup besar, yang di areal pura tersebut terdapat mata air Ranget yang
dimanfaatkan penduduk dan juga diambil airnya oleh PDAM untuk kebutuhan air
minum masyarakat kota Mataram.
Kelembagaan masyarakat yang ada di desa, disamping lembaga formal
seperti pemerintahan desa, badan perwakilan desa, kepala dusun, RT, dan RW,
terdapat juga lembaga sosial kemasyarakatan, baik yang sifatnya lembaga
keagamaan, seperti pondok pesantren, kelompok pengajian dan wiridan, maupun
yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan, seperti Banjar Hidup dan
Banjar Mati. 8 Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,
khususnya hutan dan air telah berjalan beberapa bentuk institusi, seperti Forum
Kawasan Hutan Lindung Sesaot (Forum Kawasan), Forum Ranget, dan
kelompok-kelompok perempuan yang melakukan kegiatan usaha produktif
berbasis hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan. Setidaknya terdapat 3 (tiga)
kelompok perempuan yang aktif, yaitu kelompok perempuan MELATI Desa
Lebah Sempage, kelompok MELATI Desa Sesaot, dan kelompok DAHLIA Desa
Suranadi. Kegiatan yang dilakukan antara lain pengolahan pasca panen hasil hutan
bukan kayu, pembibitan dan pembuatan kerajinan.
Forum Kawasan merupakan forum yang beranggotakan kelompok-
kelompok tani masyarakat yang memanfaatkan hutan dengan skema HKm pada
lintas desa, seperti KMPH Sesaot, Kelompok tani Wana Abadi, Wana Lestari, dan
Wana Darma. Kelembagaan forum disamping terdiri dari para pengurus seperti
ketua dan sekretaris, juga terdapat Lokaq Awig-Awig dan Lang-Lang. 9 Forum
Ranget merupakan forum yang beranggotakan para pihak yang memanfaatkan
mata air Ranget di Desa Sesaot.

Pemanfaatan HKm di kawasan hutan Sesaot

Sejak tahun 1984 di kawasan hutan Sesaot telah dikembangkan pola


pembangunan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan, antara lain melalui pembangunan hutan kopi penyangga dan hutan
serbaguna. Pelaksanaan kegiatan HKm di hutan Sesaot sudah dimulai sejak tahun
1995, dalam bentuk uji coba HKm seluas 25 ha di Dusun Tembiras. Pola
penanaman dengan proporsi tanaman kayu sebanyak 40% dan tanaman MPTS
60%, dengan jarak tanam awal 3 x 4 meter. Pada bulan April 1995 didirikan

8
Banjar Hidup adalah kelompok arisan untuk kepentingan perkawinan, sedangkan Banjar
Mati adalah kelompok arisan untuk kematian.
9
Lokaq awig-awig merupakan organ Forum Kawasan yang berperan sebagai pemegang
keputusan akhir dalam penegakan sanksi dari setiap kasus pelanggaran, sedangkan
Lang-lang berperan sebagai penegak awig-awig atau aturan local yang dibangun
bersama. Fungsinya bersifat pilisional, mulai dari penyidikan, penangkapan, dan
penindakan para pelanggar awig-awig.
42

organisasi Kelompok Mitra Pelestari Hutan (KMPH) Mitra Sesaot sebagai


lembaga yang mengelola areal HKm. Masyarakat yang berhak mengikuti program
HKm secara umum adalah masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan milik.
Pada tahun 1998, setelah dilakukan evaluasi atas hasil uji coba HKm
sebelumnya yang dipandang berhasil kemudian dilakukan perluasan areal menjadi
211 ha. Pola tanam juga berubah karena memperhatikan aspirasi masyarakat yang
merasa dengan pola sebelumnya kurang mampu meningkatkan pendapatan.
Perubahan proporsi tanaman kayu berbanding tanaman MPTS adalah dari 40% :
60% menjadi 30% : 70% dan jarak tanam berubah dari 3 x 4 meter menjadi 6 x 6
meter. Dengan pola ini ruang untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan
tanaman semusim dan MPTS semakin besar, akan tetapi disisi lain jumlah
tanaman kehutanan yang ditanam semakin sedikit.
Sejak tahun 1998/1999 seiring dengan krisis ekonomi yang melanda dunia
serta kondisi perpolitikan Negara yang tidak stabil (masa reformasi), masyarakat
yang memanfaatkan kawasan hutan semakin banyak, tidak hanya yang tergabung
dalam KMPH Mitra Sesaot, tetapi membentuk kelompok-kelompok baru, yang
kemudian oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat disebut kelompok
HKm non program. Kondisi ini terutama terjadi ketika pemerintah daerah
mengeluarkan kebijakan pemanfaatan kayu limbah bekas tebangan ilegal, yang
kemudian justru berujung terjadinya kerusakan hutan yang lebih massif akibat
penebangan yang tidak terkendali. Hasil wawancara dengan pengurus kelompok
HKm, Forum Kawasan dan Konsepsi, dikatakan bahwa masyarakat telah
membuat kesepakatan diantara semua anggota bahwa tidak akan memperluas
areal hutan yang dimanfaatkan. Areal hutan yang sudah dimanfaatkan kelompok
sudah dilakukan kegiatan pemetaan partisipatif yang didampingi oleh dinas
kehutanan kabupaten dan pendamping, menghasilkan peta areal kerja
pemanfaatan HKm yang disepakati oleh keempat kelompok tersebut.
Tabel 8 Kondisi pemanfaatan hutan kemasyarakatan di hutan Sesaot
No Kelompok Luas Jumlah Jumlah Rerata luas
Areal Blok Anggota pemanfaatan Proporsi tanaman
(ha) (ha/kk)
1. KMPH 255.66 32 991 0,26 MPTS 51%,
Sesaot Perkebunan
(kopi,coklat) 28%,
semusim 15%,
tanaman
tahunan/kayu-kayuan
6%
2. Wana 1.065 22 1.010 1,054 MPTS 38 %,
Dharma perkebunan 48 %, 14
3. Wana 1.628 14 1.158 1,4 % kayu-kayuan dan
Abadi semusim
4. Wana 928 24 1.030 0,9
Lestari
Jumlah 3.876,66 92 4.189
Sumber: Data primer, Konsepsi (2010), Forum Kawasan (2010)
43

2000

1500

1000

500

0
KMPH Wana Dharma Wana Abadi Wana Lestari
Luas 255,66 1065 1628 928
Jumlah Blok 32 22 14 24
Jumlah Anggota 991 1010 1158 1030

Gambar 10 Jumlah kelompok masyarakat memanfaatkan hutan Sesaot dengan


skema HKm
Anggota kelompok Wana Abadi memanfaatkan kawasan hutan paling luas,
sedangkan yang paling kecil adalah KMPH Sesaot. Jumlah keseluruhan yang telah
memanfaatkan kawasan hutan kurang lebih 4.189 orang, dengan keseluruhan
luasan areal mencapai 3.876,66 ha. Luasan paling sedikit yang dimanfaatkan
anggota KMPH adalah 0,11 ha. Variasi luasan hampir seragam pada setiap
anggota karena proses pembagiannya diatur oleh kelompok. Sementara itu pada
ketiga kelompok yang lain minimal luas yang dimanfaatkan 0,25 ha, dengan
variasi luasan masing-masing penggarap berbeda-beda, tergantung dari
kemampuan penggarap ketika pertama kali memanfaatkan hutan.
44

0,9 0,26
1,054
KMPH
1,4 Wana Dharma
Wana Abadi
Wana Lestari

Gambar 11 Rata-rata luas lahan per penggarap anggota kelompok HKm di Sesaot
Hasil wawancara dengan pengurus Forum Kawasan dan kelompok HKm
didapatkan keterangan bahwa terdapat anggota kelompok yang mempunyai lahan
garapan dengan luasan lebih dari 2 ha, hal ini dikarenakan ketika mereka mulai
memanfaatkan kawasan hutan tidak ada yang membatasi dan sesuai
kemampuannya. Sebaliknya terdapat banyak anggota yang mempunyai lahan
garapan hanya kurang lebih 0,25 ha. Luasan lahan garapan yang lebih luas karena
mendapatkan pemindahtanganan melalui proses nebus dari anggota yang mundur
dari keanggotaan atau pindah domisili, serta dari lahan yang ditelantarkan
penggarapnya. Proses pemindahtanganan ini disertai dengan biaya ganti rugi dan
harus sepengetahuan kelompok serta terdata dalam administrasi kelompok. Jika
tanpa sepengetahuan kelompok dan ditemukan oleh lang-lang atau lokaq awiq-
awiq maka akan dilakukan persidangan di tingkat kelompok atau forum kawasan
dengan kemungkinan dikenai denda yang besarnya ditentukan dalam persidangan
lokaq awiq-awiq.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tanaman reboisasi seperti
sengon sudah tumbuh besar dengan diameter tanaman lebih dari 40 cm. Di
beberapa tempat, seperti di Dusun Kumbi, Lebah Sempage tegakan kemiri juga
tumbuh besar dan telah menghasilkan buah kemiri yang dimanfaatkan
masyarakat. Pada kawasan yang dimanfaatkan masyarakat dengan model HKm,
dalam 1 (satu) kelompok areal dibagi dalam blok-blok pemanfaatan (gontoran)
yang dikoordinir oleh ketua blok. Blok terdiri dari sejumlah aguman (andil) yang
dimanfaatkan masing-masing anggota kelompok. Luas gontoran bervariasi antara
0,25 ha sampai dengan 1 ha, meskipun terdapat anggota yang menggarap luasan
lebih dari 1 ha.
Pengelolaan hutan dilakukan oleh masing-masing penggarap pada lokasi
garapan (aguman) dengan pola penanaman yang telah disepakati bersama. Areal
hutan dibagi dalam blok-blok yang pembagiannya berdasarkan Rukun Tetangga
dalam wilayah dusun yang bersangkutan atau berdasarkan kemampuan ketua
45

gontoran dalam mengawasi anggotanya. Jika berdasarkan kemampuan ketua


gontoran dalam mengawasi anggotanya, maka masing-masing gontoran terdiri
dari 30 - 50 anggota dengan luasan 15 – 25 ha. Batas antar gontoran dibuat
lorong, sedangkan batas antar aguman biasanya dibuat pagar hidup dari tanaman,
sebagaimana terlihat pada Gambar 12 dan 13.
Proporsi tanaman didominasi tanaman MPTS, tanaman perkebunan dan
tanaman semusim. Tanaman keras prosentasenya paling kecil. Hasil penelitian
Khususiyah, Buana dan Suyanto (2010) menunjukan bahwa proporsi tanaman di
areal HKm yang telah mendapatkan ijin, tanaman MPTS mencapai 51 %, tanaman
perkebunan (Kopi dan Coklat) mencapai 28 %, tanaman semusim 15%, dan
tanaman keras 6 %. Pada areal yang belum mendapat ijin HKm komposisi
tanaman perkebunan 48%, MPTS 38%, selebihnya tanaman keras dan tanaman
semusim. Menurut responden dari Forum Kawasan dan Konsepsi, kondisi ini
disebabkan karena fungsi kawasan hutan yang merupakan hutan lindung sehingga
masyarakat membatasi untuk menanam tanaman keras karena tidak dapat
memetik hasil hutan kayunya.

Gambar 12 Lorong diantara blok HKm


46

Gambar 13 Batas antara aguman (lahan garapan)


Pada tahun 2006 dibentuk Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot (Forum
Kawasan). Fungsi Forum Kawasan disamping terkait dengan pengamanan
kawasan hutan, juga membantu pengurusan legalitas pemanfaatan HKm. Usulan
penetapan areal kerja HKm dan IUPHKm untuk 3 kelompok HKm selain KMPH
dilakukan oleh Forum Kawasan. Kepengurusan Forum terdiri dari Pembina,
Ketua Forum, Sekretaris, Bendahara, Lokaq Awiq-Awiq, Lang-Lang, divisi-divisi
(pemberdayaan, advokasi, usaha, kepemudaan, humas). Pembina Forum adalah
Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Lombok Barat, dan para kepala desa di wilayah kerja Forum.
Di dalam Forum telah disepakati aturan internal yang disebut awiq-awiq.
Aturan ini mangadopsi awiq-awiq yang biasa terdapat pada setiap dusun dan/atau
kelompok masyarakat di sekitar kawasan hutan Sesaot. Awiq- awiq Forum
Kawasan Hutan Lindung Sesaot terdapat pada Lampiran 2.
Hasil wawancara dengan pengurus Forum Kawasan dan Konsepsi,
keberadaan Forum telah mengurangi terjadinya kasus perambahan kawasan hutan
dan pencurian kayu 10, baik pada lahan yang telah digarap masyarakat maupun

10
Ketika survai dan orientasi ke dalam kawasan hutan ditemukan langsung sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, yang sedang memikul kayu gergajian dari dalam
kawasan hutan (seperti gambar 14). Para penyemes, istilah setempat untuk pemikul kayu
curian, ini dibayar murah oleh para pemodal yang menyuruh mengambil kayu di dalam
kawasan hutan. Masih terjadinya pencurian kayu di kawasan hutan Sesaot antara lain
disebabkan karena terdapat beberapa sawmill di desa-desa sekitar hutan Sesaot yang
diindikasikan menampung kayu-kayu curian tersebut. Informasi dari narasumber, kasus-
kasus pencurian dan keberadaan para penadahnya sebetulnya telah diketahui, baik oleh
pengurus Forum Kawasan maupun petugas Dinas kehutanan, tetapi masih belum banyak
47

yang belum. Beberapa kegiatan Forum Kawasan yang terkait dengan pengawasan
dan pengamanan kawasan hutan terdapat pada Lampiran 3.

Gambar 14 Beberapa orang sedang mengangkut kayu dari dalam kawasan hutan
Sesaot melewati areal HKm

Dari beberapa kegiatan yang dilakukan Forum Kawasan menunjukkan


bahwa kelembagaan internal forum telah berjalan cukup baik. Akan tetapi sampai
penelitian ini dilakukan, menurut informasi dari informan Forum Kawasan, masih
terjadi kasus pencurian kayu yang belum sepenuhnya dapat ditangani oleh Forum
Kawasan, karena koordinasi yang harus dilakukan dengan aparat dinas kehutanan
dan kepolisian. Pengamanan hutan yang dilakukan Forum lebih banyak dilakukan
pada areal hutan kemasyarakat yang dimanfaatkan anggotanya. Berkaitan dengan
implementasi HKm, dari hasil diskusi dan wawancara dengan informan, masih
ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kondisi fisik kawasan
maupun kelembagaannya, sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 4.
Upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut telah
dilakukan oleh kelompok dengan fasilitasi dari LSM pendamping dan pemerintah
daerah. Beberapa program dan kegiatan untuk peningkatan kapasitas kelompok,
seperti pengembangan koperasi sebagai unit usaha kelompok HKm sudah
dilakukan. Keberadaan Koperasi yang sudah berbadan hukum dan diterima oleh
anggota masyarakat yang memanfaatkan HKm sebetulnya menjadi peluang untuk
mengembangkan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu dari areal HKm. Fasilitasi
dan peningkatan kapasitas bagi pengurusnya masih terus diperlukan untuk
menjalankan aktivitas koperasi.

dilakukan penindakan. Lang-lang yang dibentuk Forum Kawasan lebih banyak


menangani kasus-kasus pencurian kayu yang masih berada dalam kawasan yang
dimanfaatkan kelompok-kelompok HKm. Di luar wilayah tersebut, yang semestinya
menjadi tanggung jawab petugas Dinas Kehutanan karena keterbatasan sumberdaya
masih belum banyak dilakukan penindakan.
48

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejar ah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot

Penunjukan Kelompok Hutan Gunung Rinjani (RTK 1) Pulau Lombok


sebagai hutan tutupan telah dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
melalui Surat Keputusan Nomor: 1-Sub I tanggal 9 September 1929. Kawasan
hutan mulai di ukur dan di tata batas definitif pada tahun 1937 dan selesai tahun
1939, kemudian dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas yang disahkan tanggal
4 Juli 1941 seluas 118.950 ha. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda GB. No: 15 STBL No: 77 tanggal 17 Maret 1941,
sebagian kawasan hutan Gunung Rinjani (RTK1) seluas 41.330 Ha ditetapkan
sebagai Hutan Suaka Margasatwa, sedangkan sisanya masih sebagai hutan
tutupan/negara (Dinas Kehutanan Provinsi NTB 2009).
Pada tahun 1954, pemerintah daerah Lombok menerbitkan Surat
Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Lombok Nomor 433/AGR-I/6/497 tanggal
12 November 1954 yang menyerahkan tanah milik Pemerintah Daerah (Tanah
Government Ground/GG) kepada Jawatan Kehutanan yang terletak di Resort
Kedistrikan Bajan (Kawasan Monggal-Rempek) yang telah diukur definitif pada
tahun 1957 dengan luas 6.250 Ha. Dengan penambahan luas kawasan hutan
tersebut, maka luas kawasan Kawasan Hutan Gunung Rinjani (RTK.1) menjadi
seluas 125.200 ha. Alasan penyerahan ini adalah kekhawatiran pemerintah desa
karena sikap masyarakat yang menelantarkan dan/atau menjual sawah dan
ladangnya karena melakukan perladangan di lahan Negara. Kawasan Hutan
Sesaot merupakan bagian dari Kawasan Hutan Gunung Rinjani (RTK 1) yang
telah ditetapkan tersebut.
Antara tahun 1960 – 1979 kewenangan pengelolaan kawasan hutan Sesaot
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan perusahaan swasta untuk
melakukan ekploitasi kayu. Menurut penuturan narasumber dari Forum Kawasan,
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pemanfaatan hutan tersebut disebut
anemer. Pada saat itu masyarakat diposisikan sebagai tenaga kerja/ buruh dalam
penebangan dan pengangkutan kayu. Pada kegiatan rehabilitasi hutan, pemerintah
menetapkan kebijakan pola tumpang sari, dimana masyarakat diberi kesempatan
selama 3 tahun untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman pokok
kehutanan, dengan kompensasi diperbolehkan melakukan penanaman tanaman
semusim, seperti tanaman padi gogo (rau), jagung, kacang-kacangan dan sayur-
mayur. Setelah selesai kemudian masyarakat diminta keluar dari hutan atau
melaksanakan tumpangsari di lokasi yang lain. 11

11
Sebagian besar tanaman semusim yang ditanam adalah padi gogo, sehingga kegiatan
tumpang sari di kawasan hutan lebih dikenal dengan istilah ngerau.
49

Pada tahun 1982 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian


Nomor 756/Kpts/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 mengenai Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) yang membagi kawasan hutan berdasarkan status dan
fungsinya. Berdasarkan kebijakan tersebut Kawasan Hutan Gunung Rinjani (RTK
1) dengan luas 125.200 ha diperuntukan sebagai Hutan Lindung seluas 51.500 ha,
Hutan Produksi Terbatas seluas 9.395 ha, Hutan Produksi Tetap seluas 22.975 ha
dan Suaka Margasatwa seluas 41.330 ha 12, dengan panjang batas luar sepanjang
390 Km. Kawasan Hutan Sesaot termasuk dalam areal hutan yang ditetapkan
sebagai Hutan Lindung. Keputusan menjadikan kawasan hutan Sesaot sebagai
hutan lindung didasari pertimbangan bahwa hutan Sesaot merupakan daerah
tangkapan air dan resapan air yang sangat penting dalam menunjang kebutuhan
irigasi dan air minum di Kabupaten Lombok Barat. 13 Implementasi kebijakan ini
mengakibatkan masyarakat semakin terbatas untuk masuk ke dalam kawasan
hutan. Kegiatan ekonomi masyarakat dari hasil tumpang sari pun terputus.
Akibatnya kemudian banyak masyarakat yang justru melakukan penebangan
illegal untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sebagai upaya untuk menekan illegal logging dan untuk mengganti pola
tumpang sari, maka masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan penanaman
kopi di kawasan hutan, yang kemudian disebut kawasan penyangga seluas ± 200
ha. Pada tahun 1984/1985 masyarakat semakin banyak masuk ke dalam kawasan
hutan dan melakukan penanaman kopi, sehingga areal yang tadinya hanya 200 ha
kemudian meluas. Pemerintah Daerah Provinsi NTB kemudian mengeluarkan
Surat Keputusan Gubernur NTB Nomor 140 tahun 1986 mengenai pemanfaatan
kopi di dalam kawasan hutan lindung, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
Surat Kepala Dinas Kehutanan NTB Nomor 522.21/5358 tanggal 14 Maret 1986
mengenai pemanfaatan kopi di dalam kawasan hutan seluas ± 1.632 ha. Secara
umum isi kebijakan tersebut adalah diperbolehkan menanam dan memelihara
tanaman kopi dan tanaman MPTS, dimana untuk tanaman kopi dikenakan bagi
hasil kopi 1 : 1. Kebijakan tersebut juga menekankan tidak diperbolehkan
menanam tanaman pangan dan menebang pohon, tidak diperbolehkan
membangun pemukiman dan tidak diijinkan membeli, menjual, dan menyewakan
lahan garapan.
Pada tahun 1995 dilakukan uji coba proyek Hutan Kemasyarakatan (HKm)
di blok Tembiras seluas ± 25 ha. Uji coba ini difasilitasi oleh LP3ES yang
kemudian dilanjutkan oleh Konsepsi Mataram yang mendapat dukungan
pendanaan dari lembaga donor, seperti Ford Foundation. Pada tahun 1997, setelah
dilakukan evaluasi hasil uji coba dimana menunjukkan perkembangan yang baik
kemudian program ini dilanjutkan dengan dukungan Dinas Kehutanan Provinsi
12
Kawasan suaka margasatwa ini kemudian diubah statusnya menjadi Taman Nasional
Gunung Rinjani melalui penunjukan oleh Menteri Kehutanan (SK Menhut No. 280/Kpts-
IV/1997) dengan luas 41.330.
13
Menurut penuturan narasumber masyarakat dan pendamping, sebelum ditetapkan menjadi
hutan lindung ada koordinasi dan sosialisasi dari aparat kehutanan (pada waktu itu
masih Kanwil Kehutanan Provinsi NTB) dengan aparat desa, dimana salah satunya
tentang larangan bagi masyarakat untuk melakukan penebangan kayu. Penetapan
menjadi hutan lindung juga ditandai dengan dibukanya Bendungan Jangkok di Desa
Sesaot.
50

NTB dan arealnya diperluas menjadi 211 ha. Masyarakat membentuk Kelompok
Mitra Pelestari Hutan (KMPH) Sesaot, sebagai lembaga pengelola HKm. Proses
untuk mendapatkan ijin definitif pemanfaatan HKm sudah dilakukan oleh
masyarakat dan pendamping sejak tahun 1999. Pada tahun 1998 Bappeda Provinsi
NTB mengirimkan surat rekomendasi kepada Menteri Kehutanan agar sebagian
kawasan hutan Sesaot dijadikan Taman Hutan Raya (Tahura). Inisiatif menjadikan
Tahura didasari karena hutan Sesaot memiliki sumberdaya flora dan fauna yang
unik, memiliki potensi obyek wisata alam yang cukup banyak, serta karena letak
kawasannya yang merupakan daerah tangkapan air. Pada tahun 1999 Menteri
Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 menunjuk sebagian kawasan hutan
Sesaot seluas ± 3.155 ha sebagai areal konservasi dalam bentuk Tahura, yang
dinamakan Tahura Nuraksa Sesaot.
Seiring dimulainya implementasi politik otonomi daerah pada tahun 1999,
pengelolaan kawasan hutan Sesaot dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten. Pemerintah provinsi kemudian mengeluarkan Surat Keputusan
Gubernur NTB Nomor 522/629/EKO/2000 mengenai pemanfaatan kayu bekas
perambahan dan pencurian di kawasan hutan Monggal dan hutan Sesaot, dengan
tujuan antara lain untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Implementasi
kebijakan ini justru menjadi pemicu terjadinya kerusakan hutan karena bukan
hanya kayu limbah yang diambil tetapi pohon-pohon yang masih berdiri juga ikut
ditebang. Masyarakat sekitar hutan Sesaot yang melihat banyak orang luar Sesaot
mengeksploitasi hutan kemudian ikut masuk dan memanfaatkan kawasan hutan.
Pemerintah kabupaten Lombok Barat kemudian juga mengeluarkan kebijakan
pemanfaatan kayu limbah, yang kemudian dicabut kembali karena melihat
dampak kerusakan hutan yang terjadi, dan kemudian menggantinya dengan
kebijakan tentang pengendalian kayu limbah dari hutan Sesaot 14.
Tahun 2001 pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor SK.579/DJ-V/KK/2001 tanggal 11 Juni 2001,
menyerahkan pelimpahan pengelolaan Tahura Nuraksa dari pemerintah provinsi
kepada pemerintah kabupaten. Kebijakan ini memicu konflik kewenangan antara
pemerintah provinsi dan kabupaten, karena pemerintah provinsi menganggap
bahwa pengelolaan Tahura masih tetap menjadi kewenangan provinsi. Di sisi lain
masyarakat yang masuk dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot semakin
banyak. Pemerintah daerah kabupaten kemudian menginisiasi model HKm non
program untuk masyarakat yang menggarap hutan di luar HKm yang
dimanfaatkan oleh KMPH Sesaot. Untuk melakukan pengamanan kawasan hutan
kemudian dibentuk lang-lang wana yang terdiri dari masyarakat sekitar hutan,

14
Menurut penuturan narasumber dari Forum Kawasan dan KMPH Sesaot, kebijakan
pemanfaatan kayu limbah justru semakin membuat kerusakan hutan yang massif,
dikarenakan yang ditunjuk untuk memanfaatkan kayu limbah tersebut bukan dari
masyarakat Sesaot, tetapi perusahaan yang ditunjuk dinas kehutanan. Dalam prakteknya
masyarakat juga mengetahui mereka tidak hanya memungut kayu yang rebah tetapi juga
menebang pohon yang masih tegak. Hal ini yang kemudian memicu masyarakat beramai-
ramai masuk ke dalam hutan dan turut menebang pohon-pohon yang masih berdiri,
terutama kayu Mahoni.
51

yang bersama-sama petugas jaga wana kehutanan melakukan patroli pengamanan


hutan.
Pada tahun 2003 terbit Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lombok Barat. Peraturan ini
memberikan ruang gerak kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan
Sesaot dengan pola HKm. Masyarakat bersedia memberikan bagi hasil hutan
bukan kayu sebagai bentuk retribusi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
daerah. Dari tahun 2003 sampai 2006 masyarakat bekerja memanfaatkan hasil
hutan dengan menanami tanaman kayu, MPTS, dan tanaman semusim, dengan
pola yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah. Pengurusan legalitas
pemanfaatan tidak berjalan lancar. Pengelolaan kawasan oleh Tahura juga kurang
dapat berjalan karena masyarakat tetap melakukan penolakan atas keberadaan
Tahura.

Tabel 9 Sejarah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot


No Waktu Fungsi & Status Kewenangan Kondisi hak dan akses
pengelolaan masyarakat
1. Sebelum 1945 Hutan tutupan Pemerintah Hindia Tidak dapat memanfaatkan
Belanda hutan
2. 1945 – 1982 Hutan produksi Pemerintah pusat Terbatas, hanya menjadi
terbatas buruh perusahaan
perkayuan; partisipasi pada
kegiatan rehabilitasi
dengan pola tumpang sari.
3. 1982 - 1998 Hutan lindung Pemerintah provinsi Semakin terbatas,
Penanaman kopi
penyangga
4. 1994 – 1997 Hutan lindung Pemerintah provinsi Uji coba HKm di
dan kabupaten Tembiras;Perluasan uji
coba HKm; Pembentukan
KMPH
5. 1998 – 1999 Hutan lindung Pemerintah provinsi Masa reformasi; krisis
dan kabupaten ekonomi; banyak terjadi
okupasi lahan hutan dan
penebangan illegal.
Masyarakat sebagai
pelaksana saja.
6. 1999 – 2002 Hutan lindung dan Pemerintah kabupaten Semakin banyak
penunjukan Tahura dan Provinsi masyarakat yang
memanfaatkan hutan
7. 2003 – 2008 Hutan lindung dan Provinsi dan Setelah terbit Perda No.
Tahura kabupaten 10/2003 masyarakat merasa
lebih pasti dalam
memanfaatkan hutan
6. 2009 – sekarang Hutan lindung ; Hutan lindung oleh Usulan agar areal hutan
penunjukan kawasan pemerintah yang sudah dimanfaatkan
pelestarian alam kabupaten; KPA oleh masyarakat menjadi HKm;
pemerintah provinsi Tahura dipindah

Pada tahun 2006 terbentuk Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai wadah
kelembagaan bagi kelompok-kelompok HKm yang memanfaatkan hutan Sesaot di
5 (lima) desa, yaitu Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Batu Mekar, dan
Suranadi. Forum ini diharapkan berperan lebih luas dalam hal pengamanan hutan
52

dan lahan garapan masyarakat dari tindakan pencurian, illegal loging, dan
kerusakan hutan lainya. Aktivitas forum kawasan lainnya yang cukup strategis
adalah bersama-sama dengan LSM pendamping mulai mengurus kembali legalitas
dan ijin pemanfaatan HKm Sesaot.
Upaya masyarakat untuk mendapatkan legalitas pemanfaatan hutan baru
tercapai pada tahun 2009 ketika menteri kehutanan menetapkan areal hutan yang
dimanfaatkan KMPH Sesaot menjadi areal HKm, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati Lombok
Barat melalui SK Bupati Lombok Barat Nomor: 2130/65/Dishut/2009. Di sisi lain
kementerian kehutanan pada tahun 2009 menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 598/Menhut-II/2009 yang menetapkan penunjukkan kawasan
hutan dan konservasi perairan NTB. Pada keputusan ini sebagian kawasan hutan
RTK 1 Gunung Rinjani, termasuk sebagian kawasan hutan Sesaot, ditunjuk
menjadi kawasan pelestarian alam, meskipun tidak disebutkan berbentuk Tahura.
Dari dua kebijakan yang tidak konsisten tersebut diatas menyebabkan
eskalasi konflik antara pengelola Tahura dan masyarakat penggarap HKm
kembali naik dari yang tadinya bersifat laten dan mencuat menjadi manifest
(konflik terbuka).

Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan Sesaot

Dari paparan diatas menunjukkan bahwa keberadaan kawasan hutan


Sesaot sangat bergantung dari kebijakan peruntukan kawasan hutannya. Kebijakan
kehutanan dipengaruhi oleh faktor perubahan politik nasional dan implementasi
kebijakan otonomi daerah. Terjadi inkonsistensi kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan hutan Sesaot, yang dimulai dari Kebijakan alih fungsi kawasan
hutan, terutama pada saat terbit kebijakan perubahan status sebagian kawasan
hutan Sesaot dari hutan lindung menjadi Tahura melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999.
Kebijakan tersebut tidak segera diikuti dengan proses penataan batas dan
penetapannya, sehingga kemudian menimbulkan konflik antara pemerintah
provinsi dan kabupaten berkaitan dengan kewenangan pengelolaannya. Menurut
IDS (2006) pembuatan dan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal
yang saling berhubungan dan mempengaruhi, yaitu 1) pengetahuan dan
diskursus/narasi kebijakan, 2) aktor-aktor dan jaringannya, dan 3) kepentingan
politik. Berbagai kebijakan dan peraturan, mengenai status dan fungsi kawasan
hutan yang berujung pada kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
hutan telah diimplementasikan pada kawasan hutan Sesaot. Dalam penelitian ini
dianalisis 3 (tiga) tema kebijakan yang mempengaruhi eksistensi kawasan hutan
Sesaot, yaitu kebijakan alih fungsi kawasan hutan, kebijakan hutan
kemasyarakatan, dan kebijakan pengelolaan taman hutan raya.

Kebijakan Status dan fungsi kawasan hutan Sesaot

Pada kawasan hutan Sesaot telah terjadi perubahan fungsi dan status
kawasan hutan, dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian
53

sebagian areal ditunjuk menjadi taman hutan raya dan penunjukan sebagai
menjadi kawasan pelestarian alam (tanpa penyebutan Tahura). Sebagaimana
dijelaskan pada bagian kondisi biofisik, bahwa perubahan status dan fungsi
menjadi hutan lindung karena fungsi kawasannya yang sangat penting sebagai
daerah tangkapan air. Sementara itu penunjukkan sebagai Tahura disamping
berkaitan dengan sumberdaya air juga dikarenakan kawasan hutan Sesaot
memiliki flora dan fauna yang unik dan potensi wisata alam yang cukup banyak
dan beragam.
Pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas kawasan hutan. Pasal 1(3) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai
hutan tetap. Pada pasal 14(2) disebutkan bahwa untuk memberikan kepastian
hukum terhadap kawasan hutan maka dilakukan kegiatan pengukuhan hutan.
Proses pengukuhan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pembuatan
perencanaan hutan, yang didahului dengan inventarisasi hutan. Pengukuhan
kawasan hutan meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan
kawasan hutan. Proses pengukuhan juga harus memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. Hasil pengukuhan hutan digunakan untuk menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan, yang meliputi penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan. Semua tahapan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
kementerian kehutanan.
Terjadi penafsiran yang berbeda terhadap kedua pasal tersebut diatas
berkaitan dengan kepastian hukum kawasan hutan. Penafsiran pertama
menyebutkan bahwa kawasan hutan yang baru ditunjuk sudah mempunyai
kepastian hukum, sementara penafsiran lainnya sebuah areal baru bisa disebut
kawasan hutan jika sudah melalui proses pengukuhan hutan, yang meliputi
keempat proses tersebut diatas.
Implementasi politik otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten menjadi salah satu penyebab terjadinya diskursus status dan fungsi
kawasan hutan Sesaot, berkaitan dengan siapa pihak yang berhak memiliki
kewenangan pengelolaan. Hal ini berlangsung sejak dikeluarkannya kebijakan
penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Taman Hutan
Raya (Tahura), melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999. Pada tanggal 15 Juni 1999 terbit
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Barat, dimana seluruh kawasan hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha disebutkan masih
berstatus sebagai Hutan Lindung.
Dilihat dari waktu keluarnya maka keputusan penunjukan kawasan hutan di
wilayah provinsi NTB lebih kuat dibanding keputusan penunjukan sebagian
kawasan menjadi Tahura. Akan tetapi pada Permenhutbun Nomor 244/1999
tersebut terdapat klausul bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk atau
ditetapkan yang secara teknis tidak dapat dipetakan dalam lampiran keputusan ini
dinyatakan masih tetap berlaku. Klausul tersebut dipandang sebagai dasar bahwa
54

penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot seluas 3.155 ha menjadi Tahura masih
berlaku, meskipun secara teknis sebetulnya mudah untuk memetakan kawasan
hutan Sesaot tersebut.
Setelah penunjukan menjadi Tahura, pemerintah tidak menindaklanjuti
dengan proses pengukuhan kawasan, yaitu pemetaan dan penetapan kawasan
hutan sehingga menimbulkan perbedaan pandangan di antara para pihak yang
berkepentingan. Tabel 10 menggambarkan kebijakan yang berkaitan dengan
perubahan status kawasan hutan Sesaot.

Tabel 10 Kebijakan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot


No Kebijakan Isi kebijakan Lembaga Bentuk
yang kewenangan
berwenang
1. Surat Keputusan Terjadi perubahan fungsi Pemerintah Pengelolaan kawasan
Menteri Pertanian kawasan hutan dari Hutan pusat dan hutan didelegasikan
No.756/Kpts/Um/1982 Produksi Terbatas (HPT) pemerintah kepada instansi
Tanggal 12 Oktober menjadi Hutan Lindung daerah (Provinsi kehutanan di daerah.
1982 (HL) dan Kabupaten)
2. Surat Keputusan Perubahan sebagian Pemerintah Pengelolaan kawasan
Menhutbun Nomor kawasan hutan lindung pusat; yang ditunjuk
224/Kpts-II/1999 Sesaot menjadi Tahura pemerintah menjadi Tahura
tanggal 27 April 1999 seluas 3.155 ha. provinsi
3. Surat Keputusan Penunjukan kawasan Pemerintah Pengelolaan dan
Menteri Kehutanan hutan di wilayah Provinsi pusat dan pemanfaatan kawasan
dan Perkebunan NTB seluas 1.021.566 Pemerintah hutan lindung Sesaot
Nomor 418/Kpts- hektar , dimana kawasan daerah (provinsi
II/1999, tanggal 15 hutan Sesaot termasuk dan kabupaten)
Juni 1999 kawasan hutan lindung.
4. SK Menteri Penunjukan kawasan Pemerintah Pengelolaan kawasan
Kehutanan No hutan dan konservasi pusat, hutan Sesaot (Tahura)
598/2009, tanggal 2 perairan di wilayah Pemerintah
Oktober 2009 Provinsi NTB. provinsi

Permasalahannya kemudian terjadi perbedaan pandangan mengenai status


kawasan hutan apakah keseluruhan kawasan masih berstatus sebagai hutan
lindung atau sebagian sudah menjadi kawasan pelestarian alam dalam bentuk
Tahura. Aktor-aktor yang berkepentingan dalam hal ini adalah pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, dan masyarakat. Pemerintah provinsi dan
kabupaten berkepentingan untuk dapat mengelola kawasan hutan Sesaot yang
diharapkan sebagai sumber pendapatan asli daerah.
Sementara itu hak dan akses masyarakat terhadap kawasan hutan semakin
terbatas dengan ditunjuknya sebagian kawasan hutan menjadi Tahura, karena pada
kawasan konservasi tidak dimungkinkan kegiatan pemanfaatan hutan yang dapat
mengubah tutupan lahan. Masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan
kemudian menjadi resah dan menolak keberadaan Tahura. Penolakan telah
dilakukan sejak awal tahun 2000-an yang menyebabkan institusi Tahura tidak
dapat melakukan kegiatannya dengan baik. Bangunan kantor di Sesaot kemudian
ditinggalkan dan kemudian terbengkalai dan rusak. Demikian juga beberapa aset
55

lain, seperti kandang rusa, yang akhirnya menjadi tidak terawat dan tidak
digunakan sesuai dengan fungsinya.

Tabel 11 Perbedaan karakteristik pengelolaan berdasarkan status dan fungsi hutan


No Status dan Fungsi Kewenangan Pemanfaatan Model
pengelolaan hasil hutan pemanfaatan oleh
masyarakat
1. Hutan Produksi Pemerintah pusat; Hasil hutan kayu, Hutan
pemerintah daerah hasil hutan bukan Kemasyarakatan;
(Provinsi dan kayu, dan jasa Hutan Desa; Hutan
Kabupaten) lingkungan Tanaman Rakyat; Pola
Kemitraan
2. Hutan Produksi Pemerintah pusat; Hasil hutan kayu, Hutan
Terbatas pemerintah daerah hasil hutan bukan Kemasyarakatan;
(Provinsi dan kayu, jasa Hutan Desa; Hutan
Kabupaten) lingkungan Tanaman Rakyat; Pola
kemitraan
3. Hutan lindung Pemerintah pusat; Hasil hutan bukan Hutan
pemerintah kayu dan jasa Kemasyarakatan;
Kabupaten lingkungan Hutan Desa
4. Kawasan konservasi Pemerintah pusat; Hasil hutan bukan Kemitraan dengan
(Kawasan pelestarian pemerintah daerah kayu pengelola kawasan
alam) (Provinsi) konservasi

Dari Tabel 11 menunjukkan bahwa status hutan lindung dikelola oleh


pemerintah kabupaten, sedangkan kawasan konservasi dikelola oleh pemerintah
provinsi. Kawasan hutan Sesaot diperebutkan oleh pemerintah kabupaten dan
provinsi NTB.
Dari hasil wawancara dengan informan dari dinas kehutanan kabupaten
Lombok Barat diketahui bahwa pemerintah kabupaten menganggap bahwa status
hutan Sesaot secara keseluruhan masih sebagai hutan lindung karena setelah
ditunjuk sebagai Tahura belum pernah ditindaklanjuti dengan kegiatan penataan
batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan, sebagai bagian dari kegiatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana disebutkan UU nomor 41/1999 tentang
Kehutanan. Sebaliknya pemerintah provinsi menganggap bahwa penunjukkan
Tahura sudah sesuai dengan ketentuan sehingga sebagian kawasan hutan Sesaot
menjadi kawasan konservasi. Persepsi kedua pihak dapat dilihat pada Tabel 12.
Kementerian kehutanan telah mengeluarkan kebijakan mengenai penegasan
status dan fungsi kawasan hutan, terutama untuk mengantisipasi dan
menyelesaikan konflik sumberdaya hutan akibat perbedaan implementasi
kebijakan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-
II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, pada pasal 2
disebutkan bahwa kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila a)
telah ditunjuk dengan keputusan menteri; atau b) telah di tata batas oleh Panita
Tata Batas; atau c) Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan oleh
Menteri; atau d) Kawasan hutan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Sebagai acuan kawasan hutan adalah status yang terakhir. Pada pasal 11
disebutkan bahwa kawasan hutan berdasarkan TGHK secara parsial telah diubah
fungsi dengan keputusan Menteri dan telah dibebani izin penggunaan kawasan
56

hutan atau izin pemanfaatan hutan, namun dalam penunjukan kawasan hutan (dan
perairan) provinsi berdasarkan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP ditunjuk
sebagai kawasan hutan dengan fungsi yang berbeda dengan hasil perubahan
fungsi parsial, maka fungsi kawasan hutan tersebut adalah sesuai dengan hasil
perubahan fungsi parsial.

Tabel 12 Analisis persepsi para pihak terhadap status dan fungsi hutan Sesaot
No. Pihak Persepsi Argumentasi
terhadap status
dan fungsi hutan
1. Pemerintah Sebagian kawasan - Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Provinsi hutan Sesaot sudah Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang
NTB menjadi kawasan penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi
konservasi Tahura
- Perda Provinsi NTB No. 23/2008 yang menyebutkan
bahwa kawasan hutan Sesaot dikelola oleh UPTD Tahura.
- Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009
mengenai penunjukan kawasan hutan dan perairan
Provinsi NTB yang menyebutkan sebagian kawasan hutan
Sesaot sebagai kawasan pelestarian alam.
- Perda Provinsi NTB No. 20/2010 mengenai RTRW
Provinsi NTB tahun 2009 - 2029 yang mencantumkan
sebagian kawasan hutan Sesaot sebagai kawasan
pelestarian
2. Pemerintah - Pada awalnya - Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten mengakui Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang
Lombok bahwa sebagian penunjukan seluas 3.155 ha kawasan hutan Sesaot menjadi
Barat kawasan hutan Tahura.
Sesaot telah - SK Dirjen Nomor 579/DJ-V/KK/2001 tanggal 11 Juni
menjadi 2001 mengenai penyerahan kewenangan pengelolaan
Tahura. Tahura Sesaot dari pemerintah Provinsi kepada
- Merasa Kabupaten.
berwenang - Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
melakukan 418/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
pengelolaan wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat,
Tahura karena yang tidak menyebutkan perubahan status dan fungsi
mendapat kawasan hutan Sesaot .
pelimpahan - Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut-
wewenang. II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 mengenai penetapan areal
- Berpandangan kerja Hutan Kemasyarakatan yang dikelola oleh KMPH
seluruh Sesaot. Areal kerja yang ditetapkan, yang kemudian
kawasan hutan diberikan IUPHHKm oleh Bupati Lombok Barat terletak
Sesaot berstatus di dalam areal yang ditunjuk sebagai Tahura, sehingga
sebagai Hutan memperkuat argumentasi bahwa seluruh areal hutan
HL . Sesaot masih berstatus Hutan Lindung.

Berdasarkan kebijakan seperti pada Tabel 12 penunjukan sebagian


kawasan hutan Sesaot menjadi Tahura dipertanyakan karena pasca penunjukan
tersebut terbit Kepmenhut Nomor 418/1999 tentang kawasan hutan dan perariran
provinsi NTB yang tidak menyebutkan keberadaan Tahura di dalam kawasan
hutan Sesaot. Klausul ini menjadi argumentasi bagi pihak yang berpandangan
bahwa seluruh kawasan hutan Sesaot masih berstatus hutan lindung. Penunjukan
57

sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi kawasan pelestarian alam baru dilakukan
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 598/2009 mengenai kawasan
hutan dan perairan Provinsi NTB. Kebijakan ini yang menjadi landasan untuk
kembali mengaktifkan keberadaan Tahura Nuraksa Sesaot. Pada peta lampiran
surat keputusan tersebut sebagian kawasan hutan Sesaot ditunjuk menjadi
kawasan pelestarian alam, tetapi tidak disebutkan secara jelas berapaluasannya.
Hasil wawancara dengan staf Dinas Kehutanan Lombok Barat dan Kepala Tahura
Nuraksa menyebutkan bahwa Tahura akan diperluas sampai mencapai luasan ±
5.000 ha, yang terletak di wilayak Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Peraturan ini hanya menyebutkan luasan dan pembagian fungsi kawasan
hutan, tanpa menyebutkan bahwa kawasan hutan Sesaot tersebut ditunjuk dalam
bentuk Tahura, sebagaimana penunjukan sebagian kawasan hutan Sesaot menjadi
Tahura melalui SK Menhutbun Nomor 244/Kpts-II/1999. Secara hukum,
eksistensi model pengelolaan seperti Tahura memerlukan sebuah penunjukan
secara khusus, yang dalam hal ini belum dilakukan.
Terdapat kesalahan pada peta lampiran SK Menhut No. 598/Menhut-
II/2009, yaitu berkaitan dengan batas wilayah kabupaten. Pada saat kebijakan ini
diterbitkan telah terjadi pemekaran wilayah kabupaten Lombok Barat, menjadi
Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, akan tetapi pada peta tersebut
belum tercantum Kabupaten Lombok Utara, sehingga batas-batas kabupaten pun
masih mengacu pada batas kabupaten yang lama. Untuk menjadi acuan peta ini
sebaiknya di revisi dengan memperhatikan batas wilayah administratif yang baru.
Pada sebagian areal yang ditunjuk sebagai Tahura juga telah terjadi
perubahan parsial dengan ditetapkan sebagai areal kerja HKm oleh Menteri dan
telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm oleh Bupati, sehingga status dan
fungsi kawasan hutan adalah sesuai dengan hasil perubahan fungsi parsial, dimana
HKm sampai saat ini baru dapat diberikan kepada kelompok masyarakat yang
memanfaatkan areal hutan produksi dan hutan lindung. 15
Pada bulan Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
melalui keputusan nomor 45/PUU-IX/2011, mengabulkan permohonan uji materi
terhadap pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan, yang
diajukan 5 (lima) bupati (Bupati Kapuas, Gunung Mas, Katingan, Barito Timur,
dan Sukarama) dan seorang pengusaha di Kalimantan Tengah. Mahkamah
konstitusi memandang bahwa penunjukan kawasan hutan yang dilakukan sepihak
oleh Menteri Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum dan melanggar
undang-undang dasar, karena semestinya sebelum dilakukan penunjukan
dikonsultasikan dahulu dengan pihak lain yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan yang ditunjuk. Sebuah kawasan hutan akan mempunyai kekuatan
hukum tetap setelah dilakukan proses-proses penetapan kawasan hutan,
sebagaimana pada pasal 14 UU No. 41/1999. Penunjukan kawasan hutan yang

15
Hasil wawancara dengan Kasubdit HKm Ditjen BPDAS PS Kementerian Kehutanan, Kepala
KPH Rinjani Barat, dan staf Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, mengenai kenapa Menteri
menyetujui penetapan areal kerja yang dikelola KPMH Sesaot, padahal berada di dalam areal
yang ditunjuk sebagai Tahura, alasannya adalah seperti keterangan diatas, dimana proses
penetapan kawasan hutan belum selesai (belum dilakukan tata batas,dll) dan mengacu juga
ketentuan Permenhut P.50/2009.
58

dilakukan sebelum tanggal 30 September 1999 (tanggal diberlakukannya undang-


undang kehutanan) masih tetap berlaku atau mempunyai kekuatan hukum.
Keputusan mahkamah konstitusi tersebut memperkuat argumentasi bahwa
kawasan hutan Sesaot seluruhnya masih sebagai hutan lindung. Meskipun terdapat
klausul bahwa penunjukan kawasan hutan sebelum tanggal 30 September 1999
masih tetap berlaku, akan tetapi pada kasus penunjukan Tahura tahun 1999
kemudian diikuti dengan terbitnya keputusan penunjukan kawasan hutan provinsi
NTB yang tidak menyebutkan keberadaan Tahura.
Dari uraian diatas dengan mengacu pada IDS (2006) dapat disimpulkan
bahwa narasi kebijakan alih fungsi dan status kawasan hutan Sesaot dipengaruhi
oleh kondisi eksternal, terutama implementasi politik otonomi daerah yang
berujung pada berubahnya kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten
terhadap sumberdaya hutan yang ada didaerahnya. Aktor utama yang terlibat
adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
masyarakat, yang tergabung dalam kelompok-kelompok HKm dan Forum
Kawasan. Kepentingan masyarakat lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
sedangkan kepentingan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) untuk
mendapat kewenangan pengelolaan hutan yang nantinya juga mengarah pada
kepentingan ekonomi untuk menghasilkan pendapatan asli daerah dan
kepentingan mendapatkan dana program atau proyek, seperti dana alokasi khusus.

Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di kawasan hutan Sesaot


Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan
utamanya untuk memberdayakan masyarakat setempat. 16 Tujuan HKm telah
berkembang dari mulai pelibatan masyarakat untuk kegiatan rehabilitasi hutan,
pemberian akses berupa ijin usaha pemanfaatan HKm, yang kesemuanya dalam
rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan tetap menjaga fungsi hutan dan lingkungan. Diharapkan penyelenggaraan
HKm mampu mengembangkan kapasitas dan pemberian akses terhadap
masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari untuk menjamin
ketersediaan lapangan pekerjaan dan memecahkan permasalahan ekonomi dan
social yang terjadi di masyarakat (Galudra,dkk 2010).
Seperti disebutkan sebelumnya, implementasi HKm di kawasan hutan
Sesaot telah dimulai sejak tahun 1995, melalui uji coba pelaksanaan HKm di
beberapa lokasi, yang kemudian menjadi areal kerja yang dimanfaatkan oleh
KMPH Mitra Sesaot dan setelah 14 tahun baru mendapatkan IUPHKm dari
Bupati Lombok Barat. Inisiatif HKm dilandasi bahwa kondisi masyarakat sekitar
hutan Sesaot yang miskin dengan kepemilikan lahan yang kecil, dan disisi yang
lain akses untuk memanfaatkan kawasan hutan semakin terbatas, ketika hutan
Sesaot menjadi hutan lindung. Untuk itulah pemerintah daerah pada waktu itu
dengan dukungan dari LP3ES Mataram menyetujui usulan dari masyarakat untuk
melakukan kegiatan uji coba HKm.
Pemerintah Provinsi NTB dan kabupaten Lombok Barat telah menerbikan
beberapa kebijakan terkait dengan implementasi HKm, sebagaimana Tabel 13.

16
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/2007
59

Tabel 13 Kebijakan HKm yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten


Lombok Barat
No. Kebijakan Isi Kebijakan
1. Peraturan Daerah Kabupaten Isi peraturan ini hampir sama dengan Keputusan Menteri
Lombok Barat Nomor 10 Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang
tahun 2003 tentang penyelenggaraan HKm. Perbedaannya pada pengaturan
Penyelenggaraan Hutan hasil hutan kayu dan non kayunya. Dalam perda ini diatur
Kemasyarakatan Kabupaten bahwa penerimaan dari hasil hutan kayu di luar provisi
Lombok Barat sumberdaya hutan dan dana reboisasi dibagi antara
pemerintah kabupaten (60%), pemerintah desa ( 20%),
dan pemegang izin (20%). HHBK disesuaikan
berdasarkan jenis komodinya, yaitu hasil tumpang sari 20
% untuk pemerintah daerah dan 80 % untuk kelompok
masyarakat, hasil panen tanaman MPTs (buah-buahan) 40
% untuk pemerintah daerah dan 60 % untuk kelompok
masyarakat, dan HHBK 60 % untuk pemerintah daerah
dan 40 % untuk masyarakat.
2 Peraturan Daerah Provinsi Terdapat beberapa hal yang berbeda dengan peraturan
Nusa Tenggara Barat Nomor menteri tentang HKm, yaitu pada pasal 4 mengenai
6 tahun 2004 tentang kriteria kelayakan wilayah pengelolaan HKm antara lain
Pedoman Penyelenggaraan berstatus kawasan hutan negara dengan fungsi hutan
Hutan Kemasyarakatan di produksi, hutan lindung, atau TAHURA, padahal HKm
Provinsi Nusa Tenggara hanya diberikan pada areal hutan produksi dan hutan
Barat lindung.
Pada pasal 22 dan 23 yang mengatur pungutan dan
pembagian hasil dimana diatur bahwa semua hasil bersih
kegiatan HKm yang meliputi produksi kayu, bukan kayu,
pengambilan/pemanfaatan air, pengusahaan wisata alam,
penangkaran flora dan fauna yang tidak dilindungi serta
hasil tanaman tumpang sari dibagi untuk pemerintah
provinsi, kabupaten/kota, desa dan pemegang izin.
Pembagian hasil didasarkan kesepakatan antara pemegang
izin dengan pemberi izin yang dituangkan dalam Surat
Perjanjian Kerja. Bagian pemerintah selanjutnya dibagi
menjadi pemerintah provinsi 20 %, pemerintah
kabupaten/kota 45 %, dan pemerintah desa 35 %. Pola
bagi hasil bertentangan dengan kebijakan HKm karena
penerima IUPHKm hanya diwajibkan membayar DR dan
PSDH.
3. Peraturan Bupati Lombok Pedoman Pelaksanaan Verifikasi Penetapan Areal Kerja
Barat Nomor 5 tahun 2008 HKm Kabupaten Lombok Barat. Peraturan ini
merupakan turunan dari Perda Kabupaten Lombok Barat
No. 10/2003, disesuaikan dengan Permenhut
P.37/Menhut-II/2007.

Pemerintah kabupaten dan provinsi berperan sebagai aktor utama.


Kepentingannya disamping menjamin kepastian akses masyarakat dalam
memanfaatkan hutan juga untuk mendapatkan bagi hasil HKm untuk menambah
pendapatan asli daerah. Ketentuan ini tidak sesuai dengan peraturan HKm yang
dikeluarkan kementerian kehutanan, karena kewajiban pemegang IUPHKm hanya
membayar biaya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), tidak ada kewajiban untuk
mengeluarkan bagi hasil hutan, baik kepada pemerintah pusat maupun daerah.
60

Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 4 tahun 2004 bahkan menyebutkan


kriteria kelayakan HKm adalah pada Tahura, padahal HKm hanya bisa diberikan
pada areal hutan produksi dan hutan lindung. Penyebutan Tahura dilandasi bahwa
sebagian kawasan hutan Sesaot telah ditunjuk menjadi Tahura yang
kewenangannya di bawah provinsi sehingga HKm yang berada di dalam kawasan
Tahura dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam bentuk bagi hasil
HKm.

Kebijakan Taman Hutan Raya

Definisi Taman Hutan Raya (Tahura) menurut Peraturan Pemerintah


Nomor 68 tahun 1998 adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau yang
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Pada tahun 1990-an
pemerintah membuat kebijakan bahwa setiap provinsi diharapkan dapat
mengembangkan satu Tahura. Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah provinsi
NTB mengusulkan beberapa calon lokasi untuk diusulkan menjadi Tahura.
Setelah melalui proses evaluasi maka dipilih lokasi usulan Tahura di kawasan
hutan Sesaot, dengan pertimbangan dan argumentasi bahwa kawasan hutan
tersebut adalah sebagai kawasan penangkap air, memiliki flora dan fauna yang
unik dan memiliki potensi wisata alam. Pemerintah provinsi kemudian
mengirimkan surat rekomendasi nomor 660/305/Bapedalda/1998 kepada menteri
kehutanan agar kawasan hutan Sesaot dapat ditunjuk sebagai Tahura.
Menteri Kehutanan kemudian menunjuk sebagian kawasan hutan Sesaot
seluas 3.155 ha menjadi Tahura melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 244/Menhut-II/1999 tanggal 27 April 1999. Proses penunjukan Tahura ini
tidak ditindaklanjuti dengan penataan batas, dan penetapan areal. Sejak awal
penunjukan lokasi Tahura telah menimbulkan pandangan yang pro dan kontra,
baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten terkait dengan kewenangan
pengelolaannya, serta antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Sebagian
besar masyarakat menolak keberadaan tahura karena dipandang akan
menghilangkan akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan.
Secara administrasi pemerintahan, kawasan Tahura Nuraksa terletak di
wilayah Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah 17.
Berdasarkan letak geografis Tahura Nuraksa adalah salah satu fungsi hutan dari
Kelompok Hutan (KH) Gunung. Rinjani (RTK.1) terletak diantara˚ 815’ – 8˚
35’ Lintang Selatan dan antara 116 ˚ 03’ – 116˚ 44’ Bujur Timur, sedangkan
lokasi Tahura terletak diantara 8̊ 15’ – 8˚ 35’ Lintang Selatan dan antara 116˚
03’ – 116˚ 44’ Bujur Timur.

17
Pada penunjukan Tahura melalui SK Menhut No. 244/1999 kawasan Tahura seluas 3.155
ha secara administratif berada di Kabupaten Lombok Barat, sedangkan berdasarkan SK
Menhut nomor 598/2009 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan NTB, kawasan
pelestarian alam (tidak menyebut Tahura) mencakup wilayah Kabupaten Lombok Barat
dan Lombok Tengah.
61

Gambar 15 Peta Lokasi Taman Hutan Raya

Vegetasi di areal Tahura meliputi vegetasi hutan tanaman (mahoni, sengon,


kemiri,dll) dan tanaman MPTS (durian, kopi, kakao, rambutan,dll) serta vegetasi
hutan alam seperti jenis Buak Oda, Dau, Klokos Udang, Laban, dan Bajur.
Sementara itu potensi satwa yang terdapat di Kelompok Hutan G. Rinjani
(RTK.1) khususnya di lokasi Tahura Nuraksa adalah Biawak (Varanus salvator),
Ayam hutan (Gallus specdiv), Kera (Macaca Sp), Babi Hutan (Sus vittatus),
Lutung (Presbitis cristota), Rusa (Rusa timorencis) dan berbagai jenis burung
dan berbagai jenis ular. Disamping potensi flora dan fauna, juga terdapat potensi
wisata alam antara lain Air Terjun Segenter, Aik Nyet, dan wisata susur gua yang
ditemukan di dalam kawasan Tahura.
Sejak diterbitkan Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2008 pengelolaan
Tahura dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Taman Hutan
Raya Nuraksa, dibawah Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Sebelumnya, terjadi
tarik menarik kewenangan pengelolaan antara pemerintah kabupaten Lombok
Barat dan provinsi NTB, dikarenakan pada tahun 2001 terbit Surat Keputusan
Dirjen PHKA nomor SK 579/DJ-V/KK/2001 mengenai pelimpahan kewenangan
pengelolaan tahura dari pemerintah provinsi NTB kepada Kabupaten Lombok
Barat. Terbitnya surat keputusan tersebut menimbulkan konflik antar kedua
instansi karena pemerintah Provinsi tetap menganggap bahwa pengelolaan Tahura
berada di bawah kewenangannya. Dari tahun 2002 – 2008 kegiatan pengelolaan
Tahura tidak berjalan efektif, disamping karena penolakan masyarakat, konflik
kepentingan kabupaten – provinsi, juga keterbatasan sumberdaya (sumberdana
dan sumberdaya manusia). Antara tahun tersebut kegiatan yang telah dilaksanakan
Tahura hanya pembuatan demplot tanaman seluas 50 ha di Bunut Ngengkang,
62

penangkaran rusa, dan penanaman tanaman unggulan lokal. 18 Sampai penelitian


ini dilakukan kandang rusa masih ada tetapi tidak terawat dan tidak digunakan.
Penanaman tanaman unggulan lokal akhirnya dicabuti kembali oleh para
penggarap lahan karena jenis tanamannya semua jenis kayu-kayuan.
Pada tanggal 2 Oktober 2009 terbit Keputusan Menteri Kehutanan No.
598/Menhut-II/2009 mengenai penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Dalam keputusan ini sebagian kawasan hutan sesaot
kembali ditunjuk menjadi kawasan pelestarian alam. Peraturan Daerah No. 3/2010
tentang rencana tata ruang wilayah provinsi NTB menyebutkan keberadaan
Tahura Nuraksa yang berada di kawasan hutan Sesaot. Berdasarkan 2 (dua)
kebijakan diatas Dinas Kehutanan Provinsi NTB kemudian mengaktifkan UPTD
Tahura Nuraksa dengan melakukan reorganisasi dan mengangkat pejabat kepala
Tahura Nuraksa beserta struktur organisasi pendukungnya.

Gambar 16 Kondisi kantor Tahura di Sesaot yang rusak karena tidak ditempati

UPTD Tahura mempunyai tugas membantu Kepala Dinas Kehutanan


Provinsi NTB dalam melaksanakan pengelolaan Tahura Nuraksa sebagai areal
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara alamiah maupun
secara buatan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, UPTD Tahura menjalankan
fungsi: 1) penyusunan rencana dan program konservasi sumberdaya alam dan
pemanfaatan jasa lingkungan, 2) melaksanakan konservasi sumberdaya alam, 3)
melaksanakan pemanfaatan jasa lingkungan, dan 4) penyelenggaraan administrasi
umum dan keuangan. Susunan organisasi UPTD Tahura terdiri dari Kepala

18
Wawancara dengan staf Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Lombok Barat,
Agustus dan Desember 2011
63

UPTD, Subbagian tata usaha, seksi konservasi sumberdaya alam, seksi


pemanfaatan jasa lingkungan, dan kelompok jabatan fungsional. 19
Tahura telah membuat rencana pengelolaan Tahura Nuraksa tahun 2011 –
2030 yang antara lain menggambarkan deskripsi kawasan, kebijakan, visi dan
misi Tahura, rencana kegiatan, analisa dan proyeksi, pembinaan dan pengawasan
serta monitoring dan evaluasi. Dalam dokumen rencana pengelolaan Tahura,
penataan kawasan Tahura dibagi dalam blok-blok/bloksi, meliputi:
1. Blok Perlindungan
 Di dalam blok perlindungan hanya dapat dilakukan kegiatan
monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
 Di dalam blok perlindungan dapat dibangun sarana dan prasarana
untukkegiatan monitoring seperti seperti pengamanan dan
perlindungan;
 Di dalam blok perlindungan tidak dapat dilakukan kegiatan yang
bersifatmerubah bentang alam.
 Di dalam blok perlindungan tertutup bagi pengunjung dan dapat
dimasuki melalui perijinan khusus bagi kepentingan ilmiah dan
terbatas.
2. Blok koleksi tumbuhan
 Blok pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis untuk menunjang
kegiatan penelitian,ilmu pengetahuan, pendidikan, dan restocking.
 Di dalam blok koleksi tumbuhan dapat dilakukan kegiatan
penelitian, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan-kegiatan lain
yang menunjang budidaya.
 Di dalam blok koleksi tumbuhan dapat dibangun sarana dan
prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan
wisata terbatas.
 Blok koleksi tumbuhan tidak dapat digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.
 Di dalam blok koleksi tumbuhan tidak diperkenankan adanya
pemanfaatan yang bersifat tradisional.
3. Blok pemanfaatan
 Di dalam blok pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan
pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan
penelitian,pendidikan dan wisata alam.
 Kegiatan pengusahaan pariwisata alam dapat diberikan kepada
pihak ketiga, baik koperasi, BUMN,BUMD, BUMS maupun
perorangan.
 Di dalam blok pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana
pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam yang dalam
pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur
daerahsetempat.

19
Wawancara dengan Ir Basuki, Kepala Tahura Nuraksa, Desember 2011.
64

 Blok pemanfaatan tidak dapat digunakan sebagai tempat


berlangsungnya kegiatan yang merubah bentang alam.
4. Blok pemanfaatan tradisional
 Di dalam blok pemanfaatan tradisional dapat dilakukan
pemanfaatan oleh masyarakat untuk kegiatan yang menunjang
pariwisata alam dan atau untuk penanaman tanaman keras dalam
bentuk hutan cadangan pangan atau wana farma atau pola
wanatani.
 Di dalam blok pemanfaatan tradisional dapat dilakukan kegiatan
pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan
penelitian,pendidikan, dan wisata alam.
 Blok pemanfaatan tradisional dapat digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis untuk menunjang
kegiatan penelitian,ilmu pengetahuan, pendidikan, dan restocking.
 Di dalam blok pemanfaatan tradisional dapat dibangun sarana dan
prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam
yang dalam pembangunannya harus memperhatikan gaya
arsitektur daerah setempat dengan melibatkan secara aktif
masyarakat yang mengelola/menggarap blok ini.
 Blok pemanfaatan tradisional tidak dapat digunakan sebagai
tempat berlangsungnya kegiatan yang merubah bentang alam.
Dari rencana bloksi Tahura diatas peluang pemanfaatan oleh masyarakat
yang sudah berada di dalam kawasan yang ditunjuk menjadi Tahura hanya berada
di zona pemanfaatan tradisional. Pembagian bloksi masih sebatas pada dokumen
rencana pengelolaan, dan di lapangan belum jelas dimana lokasi bloksi tersebut.
Blok pemanfaatan tradisional adalah kawasan hutan yang saat ini sudah
dimanfaatkan masyarakat, pada areal penunjukan tahura tahun 1999 seluas 3.155
ha. Sementara blok inti adalah perluasan areal di atas areal yang dimanfaatkan
masyarakat, dimana di dalam areal tersebut belum bayak masyarakat yang masuk
memanfaatkan hutan. 20
Dari hasil wawancara dengan kepala Tahura dan staf Tahura menyebutkan
bahwa UPTD Tahura hanya mempunyai informasi kegiatan Tahura antara tahun
2009 – 2012. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah pada tahun 2011 Tahura
mendapatkan dana alokasi khusus dari kementerian kehutanan untuk
melaksanakan kegiatan rehabilitasi kawasan hutan seluas 400 ha, membangun
kebun bibit, dan penyediaan sarana prasarana. Rehabilitasi hutan dilakukan di luar
areal yang telah dimanfaatkan kelompok-kelompok HKm untuk menghindari
konflik dengan masyarakat. Kemudian pada bulan Desember 2011, Dinas
Kehutanan provinsi dan UPTD Tahura mengajak perwakilan masyarakat Sesaot
untuk melakukan studi banding pengelolaan Tahura di Tahura Wan Abdur
Rahman, Lampung. Kegiatan ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat pun
masih dimungkinkan memiliki akses dalam melakukan pemanfaatan hutan di
dalam Tahura.

20
Wawancara dengan Ir Basuki, Kepala Tahura Nuraksa, Februari 2012
65

Identifikasi arena aksi

Situasi aksi

Situasi aksi yang terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot
adalah berkaitan dengan terjadinya konflik kewenangan pengelolaan hutan
dikarenakan ketidakpastian status kawasan hutan. Situasi tersebut diturunkan pada
tingkat kelembagaan dimana terjadi perebutan akses atas sumberdaya hutan antara
masyarakat yang memanfaatkan dalam bentuk hutan kemasyarakatan dan
pemerintah provinsi/UPTD Tahura yang melakukan pengelolaan Tahura.
Dinas kehutanan Provinsi menganggap bahwa sebagian kawasan hutan
Sesaot telah menjadi kawasan konservasi dalam bentuk Tahura, sedangkan
pemerintah kabupaten Lombok Barat pada awalnya beranggapan bahwa kawasan
hutan Sesaot sebagian telah dialihfungsikan menjadi Tahura akan tetapi kemudian
berpendapat bahwa seluruh kawasan hutan masih bestatus sebagai Hutan Lindung.
Pada tahun 2001 Departemen Kehutanan melimpahkan kewenangan
pengelolaan Tahura Nuraksa Sesaot kepada pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
Akan tetapi menurut narasumber staf Dinas Kabupaten Lombok Barat, upaya
pengelolaan Tahura oleh kabupaten tidak dapat berjalan karena keterbatasan
sumberdaya dan secara administrasi naskah surat keputusan penyerahan
pengelolaan tersebut tidak ditemukan lagi, sehingga legitimasinya menjadi kurang
kuat.
Kewenangan pengelolaan Tahura masih berada pada pemerintah provinsi.
Hal ini dipertegas pada tahun 2008 terbit Peraturan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat nomor 23/2008 dimana dalam peraturan tersebut disebutkan
bahwa kawasan hutan Sesaot dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai
Taman Hutan Raya Sesaot, dibawah Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Kebijakan
tersebut kemudian dipertegas dalam Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 20
tahun 2010 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) Provinsi
NTB tahun 2009 – 2029, dimana dalam dokumen tersebut tercantum Tahura
Nuraksa sebagai salah satu kawasan konservasi di Provinsi NTB.
Terbitnya Peraturan Gubernur NTB nomor 23/2008 dan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 598/2009 menjadi dasar bagi Dinas Kehutanan
Provinsi untuk mengaktifkan kembali eksistensi Tahura. Pemerintah provinsi
melakukan reorganisasi Tahura Nuraksa dengan menetapkan UPTD Tahura
Nuraksa sebagai pengelola Tahura, membentuk struktur organisasi dan
mengangkat pejabat dan staf UPTD.
Sementara itu keberadaan masyarakat yang memanfaatkan areal hutan
dalam bentuk HKm juga semakin menguat setelah Menteri Kehutanan
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut-II/2009
tanggal 4 Agustus 2009 mengenai penetapan areal kerja Hutan Kemasyarakatan
yang dikelola oleh KMPH Sesaot. Areal HKm yang ditetapkan tersebut berada di
dalam kawasan hutan yang sejak tahun 1999 ditunjuk menjadi Tahura. Jika
mengacu kepada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan pasal 92
menyebutkan bahwa HKm dapat diberikan pada kawasan konservasi, kecuali
66

cagar alam dan zona inti taman nasional, melalui peraturan pemerintah tersendiri.
Sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang mengatur perijinan HKm pada
kawasan konservasi belum ada, sehingga penetapan areal kerja HKm pada
kawasan yang sebelumnya ditunjuk sebagai Tahura dianggap membuktikan
bahwa kawasan hutan Sesaot masih berstatus dan berfungsi sebagai hutan
lindung.
Hasil overlay peta usulan penetapan areal kerja HKm di kawasan hutan
Sesaot dan peta Tahura Nuraksa Sesaot, menunjukkan bahwa seluas kurang lebih
3.200 ha areal yang diusulkan menjadi areal kerja HKm dan 185 ha areal HKm
yang dikelola KMPH Sesaot yang sudah mendapat IUPHKm dari Bupati Lombok
Barat, tumpang tindih dengan areal kerja Tahura, sebagaimana terlihat pada
Gambar 17, 18 dan 19.
Dari Gambar 18 terlihat bahwa areal yang dimanfaatkan 4 (empat)
kelompok HKm sebagian besar berada di dalam kawasan yang ditunjuk menjadi
Tahura. Areal tersebut telah dibagi ke dalam blok-blok (gontoran) yang
didalamnya dimanfaatkan oleh masing-masing penggarap yang menjadi anggota
kelompok. Zonasi kawasan konservasi akan sulit diterapkan karena pemanfaatan
oleh masyarakat telah menyebar pada sebagian besar kawasan hutan Sesaot. Dari
sisi biofisik dan sosial, kawasan hutan Sesaot sudah tidak cocok sebagai kawasan
konservasi dalam bentuk kawasan pelestarian alam.
67

Gambar 17 Peta usulan pencadangan areal kerja HKm Sesaot


68

Gambar 18 Peta kelas lereng kawasan Tahura Nuraksa Provinsi NTB


69

Gambar 19 Peta hasil analisis tumpang tindih areal pemanfaatan HKm dan Tahura Nuraksa di kawasan hutan Sesaot
70

Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan Sesaot

Para pihak, mulai dari lembaga donor, pemerintah pusat, pemerintah


daerah, LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan
dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot, mempunyai peran dan kepentingan, yang
saling mendukung, bersinggungan, dan/atau bertentangan.

Tabel 14 Tingkatan stakeholder di kawasan hutan Sesaot


No Tingkat Stakeholder Kepentingan Peran dan
Kelembagaan Keterlibatan
1 Internasional Lembaga donor Pengelolaan hutan lestari; - Dukungan
internasional perluasan akses pendanaan kepada
masyarakat terhadap hutan LSM, lembaga
pemerintah
dan/atau
masyarakat
2 Nasional Kementerian Pengelolaan hutan lestari; - Membuat
kehutanan 21; NGO perlindungan sumberdaya kebijakan
nasional hutan dan daerah aliran pengelolaan dan
sungai; penetapan status pemanfaatan
dan fungsi kawasan hutan; hutan
pemberdayaan masyarakat; - Memfasilitasi
Peningkatan kapasitas para masyarakat, LSM
pihak; resolusi konflik
3 Provinsi Dinas Kehutanan Pengelolaan hutan lestari; - Membuat regulasi
Provinsi NTB; pendapatan asli daerah; pengelolaan dan
BPDAS Dodokan; konservasi pemanfaatan
DPRD Provinsi; keanekaragaman hayati; hutan
Bappeda; Dinas pemberdayaan masyarakat - Fasilitasi dan
Pengairan;Tahura sekitar hutan; pendampingan
Nuraksa; KPH teknis untuk
Rinjani Barat, NGO, peningkatan
Universitas kapasitas
Mataram masyarakat

4 Kabupaten Dinas Kehutanan Perlindungan sumberdaya - Membuat


dan Perkebunan dan DAS; pendapatan asli kebijakan
kabupaten; DPRD daerah; pemanfaatan pemanfaatan
kabupaten;polisi; sumberdaya air; - Pengamanan
PDAM,perusahaan pemanfaatan hasil hutan - hutan dan
swasta’ masyarakat bukan kayu; penanganan
pengguna air kasus illegal
logging

5 Site lokal Masyarakat Perlindungan sumberdaya - Pemanfaatan


penggarap hutan dan DAS; Pemanfaatan lahan hutan

21
Direktorat Jenderal Planologi, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, DIrektorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan
Sosial, adalah direktorat yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan Sesaot.
71

No Tingkat Stakeholder Kepentingan Peran dan


Kelembagaan Keterlibatan
(HKm); pencari lahan hutan untuk - Rehabilitasi hutan
kayu bakar; budidaya tanaman; hasil - Pengamanan
pemerintahan desa; hutan kayu dan bukan hutan
Kelompok tani kayu; Pengamanan hutan
HKm; Kelompok
perempuan; Forum
Kawasan Hutan
Sesaot; Pedagang
pengumpul hasil
hutan; Seksi
pemangkuan hutan;
Ranting Dinas
pengairan Sesaot;
Penggergajian
kayu; Pengrajin
kayu

Dari daftar stakeholders diatas dapat ditentukan stakeholder kunci, yaitu


para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
hutan Sesaot. Stakeholder kunci tersebut dipetakan perannya (pola perilaku,
kebiasaan, dan respons) menggunakan analisis 4 R (Rights, Responsibilities,
Revenues, Relationships) yang dikembangkan oleh Meyers (2001), seperti pada
Lampiran 5.
Berkaitan dengan situasi aksi terjadinya konflik atas sumberdaya hutan
antara pengelolaan Tahura dan pemanfaatan HKm maka aktor-aktor yang terlibat
juga terbagi antara yang mendukung Tahura dan HKm. Dari Gambar 5.10 terlihat
bahwa pihak yang mempunyai kepentingan dan pengaruh paling tinggi pada
pengelolaan Tahura adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan UPTD Tahura Nuraksa.
Pihak lain yang mendukung adalah Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, WWF
Nusa Tenggara dan Transform. Hasil wawancara dengan informan dari Konsepsi
dan masyarakat menyebutkan bahwa dukungan dari kedua LSM tersebut tidak
konsisten. Pada saat Tahura aktif kedua lembaga tersebut mendukung aktivitas
yang dilakukan Tahura, tetapi dalam kondisi seperti biasa juga melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat, seperti kegiatan
jasa lingkungan. Oleh karena itu dalam hal ini kedua lembaga mempunyai
kepentingan dan pengaruhnya relatif kecil. Pihak lain yang tidak secara tegas
mendukung Tahura atau HKm adalah KPH Rinjani Barat. Hal ini dikarenakan
KPH pada saat penelitian ini dilakukan masih menjadi bagian dari Dinas
Kehutanan Provinsi. Peran KPH melalui kepala KPH justru lebih banyak
membantu proses fasilitasi penyelesaian konflik antara kelompok HKm dan
Tahura.
Sementara itu pada pemanfaatan HKm aktor-aktor yang paling
berkepentingan dan berpengaruh adalah Dinas kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Lombok Barat, Forum Kawasan, dan kelompok HKm. Forum
Kawasan dan kelompok HKm mendapat dukungan langsung dari lembaga
pendamping (Konsepsi Mataram) yang mendapatkan program dan proyek hibah
dari beberapa lembaga donor, seperti Ford Foundation.
72

Stakeholder dikelompokkan dalam kategori stakeholder primer dan


sekunder. Stakeholder primer adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dan
mendapatkan manfaat langsung dari pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan
Sesaot. Stakeholder sekunder adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses akan
tetapi lebih bersifat mendukung dan tidak mendapatkan manfaat langsung dari
pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan Sesaot. Penentuan stakeholder primer
dan sekunder berdasarkan keterlibatan dan dalam FGD dengan para pihak. Pada
Tabel 15 disebutkan pihak-pihak yang termasuk stakeholder primer dan sekunder.

Tabel 15 Kategori stakeholder pada pengelolaan kawasan hutan Sesaot


Kecenderungan Kategori
No Partisipan dukungan stakeholder
HKm Tahura
1. Ditjen BPDAS PS Ѵ P
2. Ditjen PHKA Ѵ P
3. Dinas kehutanan provinsi Ѵ P
4. KPH Rinjani Barat Ѵ Ѵ P
5. Dinas Kehutanan kabupaten Ѵ P
6. UPTD Tahura Ѵ P
7. Forum Kawasan Ѵ P
8. Kelompok HKm Ѵ P
9. Pemerintah desa Ѵ P
10. DPRD kabupaten Ѵ Ѵ S
11. LSM pendamping/Konsepsi Ѵ S
12. WWF Nusa Tenggara Ѵ S
13. LSM Transform Ѵ S
14. LSM Mitra Samya Ѵ Ѵ S
15. Universitas Mataram Ѵ S
16. Samanta Foundation Ѵ S
17. Lembaga Nasional Ѵ S
(LEI,DKN,ICEL,Samdhana)
18. Ford Foundation Ѵ S
19. SCBWFM Ѵ Ѵ S
20. Flora Fauna Indonesia Ѵ S
21. ICRAF Ѵ S
Keterangan: P = kategori stakeholder primer, S = sekunder
73

Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, para pihak tadi dapat


dilihat pada Gambar 20.
Tahura Pengaruh HKm
P6 P3 P2 Tinggi P1 P5 P7 P8
P4 S6 S2 P9
S1 S12 S7
S3 S4 S5 S7 S10
S9 S8 S11

-5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 5
Kepentingan
Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Gambar 20 Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak

Keterangan:
P1 = Ditjen BPDAS PS; P2= Ditjen PHKA; P3= Dinas Kehutanan Provinsi ; P4= KPH
Rinjani Barat; P5= Dinas Kehutanan Kabupaten; P6= UPTD Tahura ; P7= Forum
Kawasan Hutan Sesaot; P8= Kelompok HKm; P9=Pemerintah desa.
S1= DPRD kabupaten; S2= Konsepsi;S3=WWF Nusra; S4=Transform; S5= Mitra Samya;
S6=Universitas Mataram; S7=Samanta; S8=Lembaga nasional; S9= Ford Foundation;
S10= SCBWFM; S11= Flora Fauna Indonesia; S12 = ICRAF
74
Kondisi Biofisik 75
- Pemanfaatan kawasan hutan
Situasi Aksi : Interaksi:
yang tidak mengganggu - Pengelolaan kawasan - Pemanfaatan
fungsinya sebagai kawasan hutan Sesaot:
HKm yang
lindung dan daerah tangkapan - Hutan Lindung:
Pemanfaatan HKm lestari dan
air meningkatkan
oleh masyarakat
- Optimalisasi manfaat hasil pendapatan
hutan (HHBK dan jasa dan Pemda
lingkungan) untuk peningkatan Kabupaten masyarakat
pendapatan masyarakat - KPA: Tahura oleh - Pengelolaan
UPTD Tahura dan Tahura yang Kriteria
Pemda Provinsi baik Evaluasi&
- Fasilitasi penyelesaian
- Interaksi Rekomenda
konflik atas sumberdaya si
Atribut Komunitas: positif antar
hutan Kejelasan status
- Modal sosial terjaga stakeholder
- Kolaborasi pengelolaan
dan/atau meningkat
dan pemanfaatan hutan
dan fungsi
- Karakter masyarakat: kawasan
antara kelompok HKm dan
egaliter, gotong royong, masih hutan;
Tahura
menghormat norma adat mekanisme
-
- Kondisi sosekbud masyarakat
penyelesaia
- Kondisi pemanfaatan hutan
oleh masyarakat (HKm) Aktor -aktor: n konflik;
berjalan baik - Pemerintah pusat
- Pemerintah provinsi
- Pemerintah kabupaten Outcome
Pengelolaan
Aturan Main - Pemerintah desa
hutan
- Kebijakan kepastian status dan - Forum kawasan dan
Sesaot
fungsi kawasan hutan. Kelompok HKm
yang
- Kebijakan pemanfaatan HKm - Pedagang dan pengusaha
lestari,
dan pengelolaan Tahura hasil hutan bukan kayu,
tidak
- Pelaksanaan awiq-awiq di air, dan ekowisata
menegasik
tingkat kelompok dan - LSM, PT dan Lembaga
an salah
masyarakat Donor
satu pihak
-
76

6 KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai


berikut :
1. Hasil evaluasi terhadap kelembagaan masyarakat (kelompok HKm dan
Forum Kawasan) dan UPTD Tahura diketahui bahwa lembaga-lembaga
tersebut masih belum mampu untuk mewujudkan pengelolaan hutan
lestari. Masih dibutuhkan fasilitasi peningkatan kapasitas baik
kelembagaan maupun sumberdaya manusia yang mengurusnya.
Kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan hutan sudah cukup baik,
terutama pada Forum Kawasan dan KMPH Mitra Sesaot yang sudah
mendapatkan IUPHKm. Kelompok-kelompok HKm yang lain masih
memerlukan pendampingan dan fasilitasi agar menjadi lebih baik dan
mandiri. Keterbatasan yang masih ditemukan adalah berkaitan dengan
manajemen organisasi, hubungan antara pengurus dan kelompok,
penegakan aturan/awiq-awiq dan pengembangan usaha berbasis hasil
hutan bukan kayu.
2. Pengembangan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot
tidak dapat menegasikan peran salah satu pihak, khususnya masyarakat.
Keterlibatan aktif masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan
diharapkan dapat lebih menjamin keamanan kawasan hutan.
3. Terjadi inkonsistensi kebijakan berkaitan dengan alih fungsi dan status
kawasan hutan Sesaot serta kebijakan bentuk pengelolaan dan
pemanfaatannya yang memberikan implikasi terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten
dan perubahan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Lebih lanjut
hal ini memicu terjadinya konflik atas sumberdaya hutan.
4. Konflik yang terjadi bersifat struktural. Konflik tidak lagi bersifat laten,
tetapi sudah mencuat dan kemudian menjadi terbuka. Konflik yang terjadi
berpotensi menjadi konflik horizontal antara pihak yang setuju dengan
tidak setuju terhadap keberadaan Tahura.
5. Hasil analisis kebijakan perubahan status kawasan hutan menunjukkan
bahwa dari tahun 1999 – 2008 seluruh kawasan hutan Sesaot masih
berstatus hutan lindung. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 224/Kpts-II/1999 yang menunjuk sebagian kawasan
hutan Sesaot menjadi Tahura tidak konsisten dengan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 418/Kpts-II/1999 mengenai
penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi NTB, yang menyebutkan
seluruh kawasan hutan Sesaot masih sebagai hutan lindung. Proses
penunjukan tidak dilanjutkan dengan proses pengukuhan kawasan hutan,
seperti pemetaan dan penetapan areal, serta di lapangan sejak tahun
2001/2002 sampai 2008 kegiatan Tahura tidak aktif.
6. Areal hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat lebih tepat ditetapkan
menjadi areal kerja HKm, lokasi Tahura dipindah bergeser pada kawasan
hutan yang belum dimanfaatkan. Usulan pengajuan areal HKm oleh
kelompok-kelompok HKm dapat ditindaklanjuti dan di proses untuk
77

mendapatkan perijinan pemanfaatan HKm. Implikasi dari hal ini adalah


harus ada revisi dan/atau pembuatan kebijakan yang telah diterbitkan baik
oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
7. Upaya penyelesaian konflik telah menghasilkan dokumen “Piagam
Kesepakatan” yang ditandatangani para pihak yang terlibat dalam
pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan Sesaot pada tanggal 31 Januari
2013. Berdasarkan Piagam tersebut diketahui bahwa UPTD Tahura
mengelola kawasan hutan bersebelahan dengan areal yang selama ini
diusulkan menjadi areal kerja HKm. Sebagian areal yang sebelumnya
diusulkan menjadi HKm di Desa Lebah Sempage dan Pakuan seluas lebih
kurang 500 ha disepakati menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari areal
Tahura dan menjadi zona pemanfaatan tradisional yang hak-hak sama
dengan bentuk pemanfaatan HKm. Sebagian besar areal lain (lebih kurang
3,100 ha) diteruskan untuk dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm yang
dimanfaatkan masyarakat.

Sar an

Pengelolaan hutan lestari yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat


seharusnya menjadi visi bersama para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan hutan Sesaot. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan hal tersebut diantaranya :
1. Pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat segera menindaklanjuti hasil
“Piagam Kesepakatan” dengan meneruskan proses usulan penetapan areal
kerja HKm di kawasan hutan Sesaot untuk memastikan akses masyarakat
dalam memanfaatkan kawasan hutan, serta meningkatkan keamanan hutan
dan mengurangi kerusakan hutan.
2. Para pihak, khususnya pemerintah provinsi, kabupaten, dan NGO
pendamping melakukan program fasilitasi dan kegiatan-kegiatan
peningkatan kapasitas masyarakat untuk meminimalisir dampak dari
konflik atas sumberdaya hutan, khususnya konflik horizontal yang pro dan
kontra terhadap inisiasi HKm dan Tahuran. Diharapkan dapat terjadi win-
win solution yang tidak menegasikan peran dan partisipasi salah satu pihak
terhadap upaya membangun hutan Sesaot yang lestari.
3. Para pihak, baik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten serta
kelompok masyarakat yang memanfaatkan hutan Sesaot bersama-sama
melakukan upaya penegakan hukum dan aturan internal kelompok/awiq-
awiq terkait dengan pengamanan sumberdaya hutan untuk meminimalisir
terjadinya penebangan illegal, perambahan baru, dan lain sebagainya.
4. Diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam berkaitan dengan
model pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan Sesaot yang meliputi
aspek biofisik, produksi, ekologi, dan sosialnya. Penelitian lainnya
mengenai pengembangan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan
bahan energi alternatif, mulai dari potensi, peluang, dan pengembangan
pasarnya akan berguna bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
serta pengelolaan kawasan hutan Sesaot yang lestari.
78

DAFTAR PUSTAKA

Ardi. 2010. Pengembangan institusi pengelolaan hutan tanaman rakyat pola


agroforestri (Studi kasus Laban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi
[Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. 2010. Kecamatan
Narmada dalam angka 2009/2010. Gerung.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. 2011. Lombok Barat
dalam angka tahun 2010. BPS Lombok Barat. Gerung.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2012. Nusa Tenggara
Barat dalam angka tahun 2012. Mataram.
Biro hukum Departemen Kehutanan. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tentang perubahan fungsi sebagian
kawasan hutan lindung Sesaot seluas ± 3.155 (tiga ribu seratus lima puluh
lima) hektar, yang terletak di desa Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten
Daerah Tingkat II Lombok Barat, Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Barat, menjadi Taman Hutan Raya dengan nama Taman Hutan Raya
Nuraksa.
Biro hukum Departemen Kehutanan. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 418/KPTS-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan
di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat seluas 1.021.566
hektar.
Biro hukum dan organisasi Kementerian Kehutanan. 2009. Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia nomor SK.445/Menhut-II/2009 tentang
penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan seluas ± 185 hektar di
Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta.
Clement FC. 2008. A multi-level analysis of forest policies in Northern Vietnam:
uplands, people, institutions and discources. School of Civil Engineering
and Geosciences, School of Geography, Politics and Sociology, Newcastle
University. UK.
Danim S. 2005. Pengantar studi penelitian kebijakan. Penerbit Bumi Aksara.
Jakarta
Departemen dalam negeri. 2004. Pembatalan peraturan daerah Kabupaten
Lombok Barat nomor 21 tahun 2001 tentang retribusi surat izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu dan retribusi hasil hutan bukan kayu. Jakarta.
Dinas Kehutanan Provinsi NTB. 2010. Rencana Pengelolaan Tahura Nuraksa
Tahun 2011 – 2030. Mataram.
79

Dipokusumo B. 2011. Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan


hutan berkelanjutan [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Ditjen Planologi Kehutanan. 2010. Kebijakan pengukuhan dan penatagunaan
kawasan hutan. Jakarta
Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan kebijakan
dalam pengembangan agroforestri. World Agroforestri Centre (ICRAF).
Bogor.
Doni. 2005. Konflik tanah kawasan hutan sebagai refleksi perbedaan kepentingan
politik dan ekonomi : studi kasus di Desa Bangunjaya dan Desa Cimanggu,
Kecamatan Langkap Lancar, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat [tesis].
Bogor : Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dunn NW. 2003. Pengantar analisis kebijakan publik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Forum Kawasan Sesaot. 2010. Proposal Usulan Penetapan Areal Kerja Hutan
Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Sesaot. Mataram. Tidak
diterbitkan.
Galudra G, Buana Y, Khususiyah N. 2010. Mau melangkah kemana pengelolaan
hutan Sesaot?.Brief no.09 policy analysis unit. World Agroforerstry Centre.
Bogor..
Hermofilia AC, Fay C. 2006. Memperkokoh pengelolaan hutan Indonesia, melalui
pembaharuan penguasaan tanah, permasalahan dan kerangka
tindakan.World Agroforestry Centre. Bogor.
[IDS] Institute of Development Studies. 2006. Understanding policy processes, a
review of IDS research on the environment. University of Sussex Brighton
BN 1 9RE UK.
Lahandu J. 2007. Analisis kebijakan pengelolaan akses sumberdaya alam oleh
masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah [tesis].
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kementerian Sekretariat Negara R.I. 2011. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
2011 nomor 56. Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2010. Berita acara hasil verifikasi penetapan areal kerja
hutan kemasyarakatan Desa Sedau, Desa Lebah Sempage dan Desa Sesaot
Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. Tidak diterbitkan.
Konsepsi. 2010. Laporan pemetaan partisipatif masyarakat dan perencanaan
penggunaan lahan di kawasan hutan lindung Sesaot. Mataram.
Khususiyah N, Buana Y, Suyanto. 2010. Hutan kemasyarakatan (HKm): upaya
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan petani miskin di
sekitar hutan. Brief no. 06 policy analysis unit. World Agroforerstry Centre -
ICRAF. Bogor.
80

Malik I, Wujardjo B, Fauzi N, Royo A. 2003. Buku sumber menyeimbangkan


kekuatan, pilihan strategi menyelesaikan konflik atas sumberdaya alam.
Yayasan Kemala. Jakarta.
Maring P. 2010. Bagaimana kekuasaan bekerja, di balik konflik, perlawanan, dan
kolaborasi?. Lembaga pengkajian antropologi kekuasaan Indonesia. Jakarta.
Mehring M, Elverfeldt C S, Koch S, Barkmann J, Schwarse S, Kleeman S S.
2011. Local institution: Regulation and valuation o forest use-Evidence from
Central Sulawesi, Indonesia. Journal of Land Use Policy 28 (2011) 736-747.
Pasya G, Sirait M T. 2011. Analisis gaya bersengketa. The Samdhana Institut.
Bogor.
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2004. Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat nomor 6 tahun 2004 tentang pedoman
penyelenggaraan hutan kemasyarakatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dalam Lembaran daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat nomor 15 tahun
2004. Mataram.
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2010. Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 tahun 2010 tentang rencana tata
ruang wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009 – 2029. Mataram.
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2008. Peraturan Gubernur
Nusa Tenggara Barat Nomor 23 tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja
unit pelaksana teknis dinas (UPTD) pada dinas daerah dan unit pelaksana
teknis badan (UPTB) pada inspektorat, bappeda dan lembaga teknis daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2003. Peraturan daerah Kabupaten
Lombok Barat nomor 10 tahun 2003 tentang penyelenggarakan hutan
kemasyarakatan Kabupaten Lombok Barat. Lembaran daerah Kabupaten
Lombok Barat tahun 2003 nomor 40. Gerung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2007. Peraturan daerah Kabupaten
Lombok Barat nomor 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan.
Lembaran daerah Kabupaten Lombok Barat nomor 4 tahun 2007. Gerung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2010. Dokumen rancangan
peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten
Lombok Barat tahun 2010 – 2030. Tidak diterbitkan. Gerung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2009. Keputusan Bupati Lombok
Barat Nomor 2130/65/Dishut/2009 tentang pemberian izin usaha
pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) kepada kelompok
masyarakat pelestari hutan (KMPH) Mitra Sesaot, Desa Sesaot, Lebah
Sempaga dan Sedau Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Gerung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2002. Peraturan daerah Kabupaten
Lombok Barat nomor 10 tahun 2002 tentang pengendalian dan pengurusan
kayu hutan di tanah milik/hutan rakyat. Gerung.
81

Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 2001. Peraturan daerah Kabupaten


Lombok Barat nomor 21 tahun 2001 tentang retribusi surat izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu dan retribusi hasil hutan bukan kayu.
Pemerintah Desa Buwun Sejati. 2011. Rencana pembangunan jangka menengah
desa tahun 2011-2015. Narmada.
Ostrom E, Polski M M. 1999. An institutional framework for policy analysis
design. Workshop in political theory and policy analysis. Department of
political science Indiana Uniersity.
Ostrom, E. 1990. Governing the commons: The evolution of institutions for
collective action. Cambridge university press. New York.
Ostrom E. 2005. Understanding institutional diversity. Princeton University Press.
Ostrom E. 2008.How do institutions for collective action evolve. Center for the
Study of Institutional Diversity Arizona State University.
Pador Z, Sembiring NS. 2009. Teknik analisa kebijakan dan peraturan
pengelolaan sumberdaya alam. IHSA. Jakarta.
Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Pemerintah
R.I. Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Jakarta
Ribot CJ and Peluso NL. 2003. A theory of access. Rural sociology 68 (2) pp 153
– 181. Rural sociological society.
Rudito B, Famiola M. 2008. Metode pemetaan sosial : teknik memahami suatu
masyarakat atau komuniti. Rekayasa Sains. Bandung.
Sahwan. 2002. Analisis kebijakan pengeloaan taman hutan raya (studi kasus di
Tahura Sesaot Provinsi NTB) [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarja Institut
Pertanian Bogor.
Santana KS. 2010. Menulis ilmiah metodologi penelitian kualitatif. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.Jakarta.
Safitri M et al. 2011. Menuju kepastian dan keadilan tenurial. Kelompok
masyarakat sipil untuk reformasi tenurial. Jakarta.
Sembiring S et al.1998.Kajian hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia, menuju pengembangan desentralisasi dan
peningkatan peranserta masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum
Lingkungan. Jakarta
Setiawan E, Asmawan T, Suyanto. 2010. Penilaian kondisi daerah aliran sungai
dengan metode PaLA dan model flow persistence. Brief no. 08. Policy
analysis unit World Agroforestry Centre. Bogor.
Suporaharjo. 2005. Manajemen kolaborasi, memahami pluralisme membangun
konsensus. Pustaka Latin. Bogor.
Suharto E. 2008. Analisis kebijakan publik, panduan praktis mengkaji masalah
dan kebijakan sosial. Alfabeta. Bandung.
82

Susan N. 2009. Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer.


Kencana. Jakarta.
Widodo J. 2008. Analisis kebijakan publik. Bayu media publishing. Malang.
Yasmi, Yuliana CW, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa konflik sektor
kehutanan di Indonesia 1997 – 2003.Center for International Forestry
Reasearch (CIFOR). Bogor
83

Lampiran 1 Daftar informan penelitian analisis kelembagaan pengelolaan kawasan


hutan Sesaot

No Nama Instansi Jabatan Keterangan


1. Informan 1 Forum Kawasan Hutan Ketua Wawancara dan FGD
Lindung Sesaot pada tanggal 17 Maret
2011, 13 November
2011, dan 14 Februari
2012
2. Informan 2 Forum Kawasan; Sekretaris Wawancara dan FGD
Subdinas pengairan pada tanggal 17 Maret
Kabupaten Lombok 2011, 13 November
Barat 2011, dan 14 Februari
2012
3. Informan 3 KMPH Sesaot; Kepala Ketua Wawancara dan FGD
Desa Pakuan pada tanggal 13
November 2011, dan
14 Februari 2012
4. Informan 4 KMPH Anggota Wawancara pada 13
November 2011
5 Informan 5 Kelompok HKm Ketua Wawancara dan
Wanadharma FGD pada tanggal
17 Maret 2011
6, Informan 6 Kelompok HKm Wana Ketua Wawancara dan
Abadi FGD pada tanggal
14 Maret 2011
7. Informan 7 Kelompok Wana Ketua Wawancara dan
Lestari FGD pada tanggal
17 Maret 2011
8. Informan 8 Kepala Desa Buwun Kepala desa Wawancara tanggal
Sejati 13 Februari 2012
9. Informan 9 Forum Kawasan Tokoh Wawancara dan
Masyarakat FGD pada tanggal
17 Maret 2011, 13
November 2011
10. Informan 10 Lang-lang Forum Koordinator Wawancara dan
Kawasan FGD pada tanggal
13 November 2011,
dan 14 Februari
2012
11. Informan 11 Konsepsi Direktur Wawancara dan
FGD pada tanggal
17 Maret 2011, 13
November 2011, dan
14 Februari 2012
12. Informan 12 Konsepsi Staf Wawancara dan
FGD pada tanggal
17 Maret 2011, 13
November 2011, dan
14 Februari 2012
84

13. Informan 13 Konsepsi Staf Wawancara dan


FGD pada tanggal
17 Maret 2011, 13
November 2011, dan
14 Februari 2012
14. Informan 14 Dinas Kehutanan Kepala Wawancara dan
Kabupaten Lombok Dinas FGD pada tanggal
Barat 17 Maret 2011, 13
November 2011, dan
14 Februari 2012
15. Informan 15 Dinas Kehutanan Staf Wawancara pada
Kabupaten Lombok Agustus 2011, 13
Barat November 2011, dan
14 Februari 2012
16. Informan 16 Dinas Kehutanan Staf Wawancara dan
Kabupaten Lombok diskusi tanggal 14
Barat Februari 2012
17. Informan 17 Dinas Kabupaten Staf Wawancara dan
Lombok Barat diskusi tanggal 14
Februari 2012
18. Informan 18 Dinas Kehutanan Staf Wawancara dan
Lombok Barat diskusi tanggal 14
Februari 2012
19. Informan 19 KPH Rinjani Barat Kepala Wawancara dan
diskusi tanggal 17
Maret 2011
20. Informan 20 Tahura Nuraksa Kepala Wawancara tanggal
17 Maret 2011 dan
14 Februari 2012
21. Informan 21 Tahura Nuraksa Kepala Wawancara 13
Februari 2012
22. Informan 22 Dinas Kehutanan Kepala Wawancara 15
Provinsi NTB Februari 2012
23. Informan 23 Dinas Kehutanan Kabag Wawancara 15
Provinsi NTB Februari 2015
20. Informan 24 Dinas Kehutanan Staf Wawancara pada 13
Provinsi NTB November 2011, dan
14 Februari 2012
21. Informan 25 Ditjen BPDAS PS Kasubdit Wawancara Juni
Kemenhut 2011
22. Informan 26 Badan Planologi Direktur Wawancara Agustus
Kehutanan 2011
23. Informan 27 Badan Planologi Kasie Wawancara
Kehutanan Desember 2012
85

Lampiran 2 Awiq-awiq Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot

AWIQ – AWIQ
FORUM KAWASAN HUTAN LINDUNG SESAOT
Menyadari pentingnya keberadaan dan fungsi kawasan hutan Sesaot bagi keberlangsungan
kehidupan, maka kelompok-kelompok pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di
kawasan hutan Sesaot telah membangun kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan Sesaot ditingkat kawasan dalam bentuk
awiq-awiq pengelolaan hutan oleh masyarakat di kawasan hutan Sesaot. Awiq-awiq yang
disepakati ini merupakan aturan-aturan ditingkat kelompok yang disepakati untuk
kemudian diangkat menjadi kesepakatan bersama ditingkat kawasan, yaitu sebagai berikut :
1. Lahan kelola kelompok adalah hutan Negara yang tidak boleh dijadikan Hak milik. dan
tidak boleh diperjualbelikan maupun digantirugikan / gantirugi lahan garapannya.
2. Penggarap bersama kelompok dan Forum kawasan wajib menjaga dan memelihara
lahan kelola kelompok dari tindakan-tindakan yang Merusak Kelestarian Hutan seperti
mengupas kulit pohon, mengambil akar, menebang, membakar, dll. dan melakukan
Perlindungan Kawasan serta mengamankan Kawasan huta.
3. Penggarap adalah warga masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan sesaot yang
dikuatkan dengan Keterangan dari desa yang bersangkutan (Desa Sesaot, Lebah
Sempage, Sedau, Suranadi, Selat, Batu Mekar dan Batu Kumbung).
4. Bagi penggarap yang berada pada batas garis limit wilayah kelola, berkewajiban
menjaga batas tersebut dengan menanam pohon-pohon pinang,pada jarak tertentu guna
menghindari perambahan baru dan memelihara tanaman tersebut dengan melibatkan
semua penggarap dan ketua-ketua blok.
5. Batas antar lahan garapan harus jelas, dengan tanda yang disepakati bersama disetiap
kelompok dan tidak boleh dipindah-pindah.
6. Komposisi tanaman dilahan garapan dalam blok pengelolaan adalah 70% MPTs dan
30% kayu-kayuan dengan jenis yang disepakati oleh kelompok dan setiap penggarap
dalam blok tersebut berkewajiban menjaga dan mengamankan semua tanaman tersebut
dan semua tanaman dijaga bersama
7. Jarak tanam adalah 6 x 6 meter untuk tanaman MPTs dan jarak tanam kayu-kayuan 20 x
10 meter minimal 265 pohon/Ha atau 64 pohon/25 are dengan sebaran yang merata
dengan komposisi MPTs dan Kayu sesuai dengan kondisi lapangan.
8. Penggarap tidak boleh menelantarkan lahannya dengan tidak menanam MPTs dan
kayu-kayuan sesuai aturan yang disepakati atau tidak memelihara tanamannya sama
sekali.
9. Dilarang mengganggu, merusak, mencuri tanaman dan hasil-hasilnya yang berada
dilahan kelola kelompok yang akan mengakibatkan kerusakan kawasan atau merugikan
penggarap
10. Dilarang memindahkan lahan kelola kepada pihak lain tanpa melalui mekanisme
kelompok dan Pemindahan hak kelola lahan dari orang tua kepada anaknya harus
dilakukan melalui kesepakatan dan mekanisme kelompok.
86

11. Tidak boleh tinggal menetap didalam kawasan hutan dan membuat pondok permanen
dalam kawasan hutan.
12. Dilarang beternak didalam kawasan hutan.
13. Untuk Penggarap yang lokasinya dekat mata air, daerah tebing, terjal, maka
berkewajiban menanam tanaman pelindung mata air dan pelindung tebing untuk
melindungi mata air dan menghindari longsor dengan tanaman yang telah disepakati
14. Dilarang melakukan galian C dalam kawasan hutan.
15. Bagi masyarakat yang menyaksikan pelanggaran di dalam kawasan, berkewajiban
melaporkan hal tersebut pada kelompok dan pelapor diberikan perlindungan dan
identitasnya dirahasiakan.
16. Seluruh penggarap bersedia mematuhi awiq-awiq yang telah disepakati bersama dalam
kelompok.

HAK PENGELOLA / PENGGARAP KAWASAN


1. Penggarap berhak mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan Tanaman
Dibawah Tegakan.
2. Untuk penggerap yang berada di batas garis limit, berhak memperoleh pengurangan
pembayaran bagi hasil sebesar 50 %.
3. Jika terjadi kayu tumbang yang diakibatkan oleh peristiwa alam, maka kelompok dan
anggota penggarap melakukan koordinasi dengan pihak kehutanan dengan
memanfaatkan kayu yang tumbang tersebut.
4. Jika terjadi penebangan secara legal oleh pemerintah, maka kelompok dan penggarap
berhak mendapat bagian dari penebangan tersebut
5. Kelompok berhak mendapat bagian tertentu dari bagi hasil garapan untuk dijadikan
asset kelompok guna menegakkan awiq-awiq ini.

SANKSI BAGI PENEGAKAN AWIQ-AWIQ PENGELOLAAN KAWASAN


1. Barang siapa merubah/memindahkan batas garapan maka akan diberikan sanksi sesuai
dengan musyawarah di tingkat kelompok
2. Bagi penggarap yang tidak mencapai 30 % tanaman kayu dan 70 % tanaman MPTs
akan diberikan teguran 3 kali, teguran tertulis 1 kali, dan jika penggarap tidak mampu
memenuhinya karena ketidaksanggupannya maka lahan kelolanya akan diambil oleh
kelompok dan diserahkan kepada anggota yang memerlukannya sesuai dengan
musyawarah kelompok.
3. Barang siapa yang telah menelantarkan lahannya dengan tidak menanam MPTs dan
kayu-kayuan sesuai aturan yang disepakati atau tidak memelihara tanamannya sama
sekali, maka
a. Akan diberi teguran lisan, dan jika dalam jangka waktu 1 bulan tidak diindahkan
maka akan diberikan peringatan tertulis.
b. Jika dalam jangka waktu 1 bulan juga tidak diindahkan maka akan diberikan
peringatan tertulis kedua.
87

c. Jika dalam jangka waktu 1 bulan peringatan kedua tidak diindahkan maka akan
dilakukan pencabutan hak kelola lahan melalui mekanisme sidang Lokaq dan
selanjutnya lahan kelola lahan tersebut diserahkan kepada anggota yang berhak
menerimanya melalui mekanisme kelompok.
4. Barang siapa mengganggu, merusak, mencuri tanaman dan hasilnya yang berada
dilahan kelola kelompok yang akan mengakibatkan kerusakan kawasan atau merugikan
penggarap, maka :
a. Bagi yang punya lahan kelola maka lahannya akan dicabut atau membayar ganti
rugi atas lahan yang rusak sesuai kesepakatan kelompok.
b. Bagi yang tidak punya lahan kelola akan dilanjutkan proses penegakan awiq-awiq
berupa :
 Diproses secara hukum
 Membayar ganti rugi atas lahan yang rusak sesuai kesepakatan kelompok dan
besarannya akan diputuskan melalui mekanisme musyawarah kelompok
5. Bagi penggarap yang lalai memenuhi kewajibannya dalam bagi hasil / retribusi maka :
a. Membayar tunggakannya dan ditambah denda 50 % ,
b. Jika kelalaian dilakukan 3 kali berturut-turut maka dikeluarkan hak
pengelolaannya dari kelompok dan selanjutnya akan dicabut hak kelolanya.

MEKANISME PENEGAKAN AWIQ-AWIQ


Jika terjadi pelanggaran berat atau pelanggaran ringan terhadap awiq-awiq ini maka
ditempuh mekanisme sebagai berikut :
Pelanggaran berat :
1. Teguran lisan sampai 2 kali, dengan rentang antar waktu teguran maksimal 1 bulan.
2. Jika teguran lisan tidak diindahkan maka dalam waktu paling lama 1 bulan setelah
teguran kedua akan diberikan teguran tertulis.
3. Jika teguran tertulis juga tidak diindahkan maka paling lama 1 bulan setelah teguran
lisan, pelanggar awiq-awiq ini harus dihadirkan dalam siding awiq-awiq yang
dihadiri oleh pihak dinas kehutanan, pemerintah desa, ketua-ketua kelompok,
pemangku awiq-awiq serta lang-lang.
4. jika pelanggar adalah penggarap, maka sidang dapat memutuskan sanksi, dengan
sanksi maksimal berupa pencabutan hak atas lahan garapan
Pelanggaran ringan :
1. diberikan peringatan sebanyak 3 kali dan apabila tidak diindahkan akan dilakukan
penanganan melalui mekanisme penyidangan Lokaq awiq-awiq
2. Keputusan sangsi akan diputuskan melalui mekanisme penyidangan dengan
meminta pertimbangan dari semua pihak.
Demi menjaga kelestarian hutan dan keberlangsungan pemanfaatan hasil hutan serta
kesepakatan yang telah terbangun untuk tujuan tersebut maka awiq-awiq ini harus
dilaksanakan secara tegas, konsisten dan tanpa pandang bulu.
Ditetapkan : Di Sesaot
Pada tanggal : 2 Desember 2006
88

Lampiran 3 Aktivitas Forum Kawasan terkait dengan pengawasan dan pengamanan kawasan
hutan Sesaot
No. Waktu Aktivitas Hasil
1. Agustus 2007 Penyelesaian kasus penebangan Pelaku dibuatkan surat perjanjian
illegal dan penelantaran lahan tidak akan mengulangi
garapan. perbuatannya dan di denda untuk
menanam tanaman kayu-kayuan
sebanyak 50 batang.
2. November 2007 Penyelesaian kasus pencurian hasil Pelaku dikeluarkan dari desa dan
tanaman masyarakat. tidak diperkenankan
memanfaatkan kawasan hutan.
Hasil curian dikembalikan
kepada pemiliknya.
3. Februari 2008 Bekerjasama dengan RDKP Narmada Pelaku diamankan, alat-alat
melakukan penangkapan terhadap seperti kapak, timpas, dan kayu
pelaku penebangan kayu di kawasan yang ditebang disita sebagai
hutan Sesaot. barang bukti.
4. April 2008 Patroli bersama aparat desa dan aparat Berhasil melakukan
kehutanan penangkapan terhadap pelaku
penebangan illegal, selanjutnya
diproses melalui mekanisme
sidang lokaq awiq-awiq.
5. September 2009 Penyelesaian kasus penebangan Dip roses melalui sidang lokaq
illegal yang dilakukan beberapa orang awiq-awiq.
6. Oktober 2009 Penyelesaian konflik antara petani Melalui sidang lokaq awiq-awiq
hutan
7. November 2009 Penyelesaian kasus perambahan Pelaku dihukum untuk
kawasan hutan yang dilakukan oleh melakukan penanaman di lokasi
11 orang pelaku yang sudah dirambah dengan
tanaman kayu sebanyak 1000
bibit, penanaman diawasi oleh
aparat desa.
8. Maret 2011 Penyelesaian pelanggaran awiq-awiq Diberi sangsi dengan dicabut
HKm keanggotaannya dalam
kelompok dan lahan
dikembalikan kepada kelompok
9. November 2011 Penyelesaian kasus pencurian Pelaku dihukum dengan
tanaman masyarakat membayar ganti rugi sejumlah
uang
10. Maret 2012 Membantu penyelesaian kasus Kasusnya terjadi pada bulan
penebangan illegal yang melibatkan Februari 2011 dan baru
masyarakat dan petugas Dinas memasuki tahap persidangan di
Kehutanan Provinsi NTB pengadilan pada bulan Maret
2012.
Sumber: data primer (2012), wawancara dengan pengurus Forum Kawasan
89

Lampiran 4 Permasalahan yang masih terjadi di areal hutan yang dimanfaatkan masyarakat

No Permasalahan Penyebab Dampak Solusi Kendala


I Biofisik Kawasan Hutan
1 Pencurian kayu Kebutuhan Peningkatan Pengamanan Sumberdaya
ekonomi; aliran hutan, terbatas,
kebutuhan permukaan, penegakan koordinasi
kayu yang penurunan awiq-awiq, masih belum
besar penyerapan air penanaman optimal, Masih
ke dalam tanah. pohon sedikitnya
Dalam skala pembinaan dan
besar dapat penyuluhan
menyebabkan kepada para
bencana, seperti penggarap
banjir dan
longsor
2 Perambahan baru Kebutuhan Citra negatif Penegakan Sumberdaya
ekonomi bagi kelompok awiq-awig, (dana dan SDM)
mendadak; HKm penandaan terbatas,koordin
spekulasi batas yang asi dan
lahan jelas antara komunikasi
batas masih belum
kawasan optimal
yang sudah
dimanfaatkan
masyarakat
dengan yang
belum
dimanfaatkan
3 Longsor di tebing Kurang Air sungai Penanaman Sumberdaya
sungai dan hutan; ditanami menjadi keruh tanaman (dana dan
erosi tanaman (erosi),lahan seperti SDM),
keras; pertanian, kolam albizia, kurangnya
curah hujan dan keramba bambu, dan penyuluhan dari
yang tinggi menjadi rusak aren oleh petugas
kelompok kehutanan,

4 Pembukaan lahan Dianggap Erosi; Penanggulan Sumberdaya


dengan sebagai perselisihan gan bersama (dana dan
pembakaran metode karena lahan di yang SDM),
(jumlahnya kecil) yang paling sebelah ikut melibatkan kurangnya
efisien/mur terbakar kelompok, penyuluhan dari
ah forum petugas
kawasan, kehutanan,
pemerintah koordinasi
desa, dan kelompok yang
aparat masih belum
kehutanan optimal
5 Penelantaran Lokasi jauh Menjadi sarang Diambil alih Keterbatasan
lahan dari tempat satwa liar oleh sumberdaya;
tinggal, kelompok Awiq-awiq yang
penggarap tidak dipatuhi
kurang penggarap
90

No Permasalahan Penyebab Dampak Solusi Kendala


memelihara
lahan
6 Tata kelola areal Kurangnya Erosi, bencana Sosialisasi Sumberdaya
yang tidak sesuai fasilitasi banjir dan pada semua (SDM dan dana)
dengan aturan dan longsor anggota dan
yang disepakati pembinaan, pengurus
(misalnya pengawasa
komposisi n yang
tanaman, jarak masih
tanam, dll) lemah,
khususnya
dari aparat
kehutanan
II Kelembagaan
1 Belum seluruh Tumpang Tidak ada Pendampingan Terdapat
areal HKm tindih areal kepastian di tingkat resistensi dari
mendapat dengan pemanfaatan kelompok; beberapa pihak
Legalitas penunjukan hutan. advokasi tentang
pemanfaatan Tahura Kelompok bersama para keberadaan
hutan (IUPHKm) masih ragu pihak untuk masyarakat di
untuk mendorong dalam
memanfaatkan legalitas kawasan
lahan, terutama pemanfaatan hutan;
menanami HKm keterbatasan
tanaman keras. sumberdaya
2 Organisasi Fasilitasi Posisi tawar Melakukan Keterbatasan
masyarakat masih dan kelompok kegiatan sumberdaya;
cukup lemah pendampin menjadi lemah; peningkatan keterbatasan
(manajemen gan yang kapasitas, kapasitas
organisasi, belum seperti pengurus dan
kemampuan SDM optimal pelatihan, anggota
pengurus, pendampingan kelompok
relasi dengan teknis, studi
pihak lain) banding.
3 Penegakan awiq- Masih Pemanfaatan Sosialisasi Tingkat
awiq belum kurang hutan belum secara keaktifan
optimal sosialisasi sepenuhnya berkala;Awiq- anggota yang
kepada sesuai dengan awiq relative masih
setiap kesepakatan dilegalkan rendah;
anggota dalam awiq- dalam bentuk kurangnya
yang awiq Peraturan sumberdaya;
Desa; mempercayaka
pembagian n kepada
naskah awiq- tokoh
awiq masyarakat
melengkapi
kartu anggota
4 Pemindahtangana Kebutuhan Lahan Penegakan Mekanisme
n lahan tanpa ekonomi dimanfaatkan awiq-awiq; organisasi
sepengetahuan yang orang yang tidak jika ketahuan yang masih
ketua mendesak menjadi anggota maka dicabut lemah;
blok/kelompok kelompok keanggotaan keterbatasan

90
91

No Permasalahan Penyebab Dampak Solusi Kendala


sehingga sulit kelompok dan sumberdaya
diorganisir lahan
dimanfaatkan
kelompok,
kerjasama
dengan aparat
dinas
kehutanan
5 Kelembagaan Masih Rendahnya Fasilitasi Keterbatasan
usaha (termasuk lemahnya harga jual hasil penguatan sumberdaya
permodalan) kapasitas panen karena organisasi kelompok;
kelompok masih organisasi, dijual kepada usaha masih
lemah permodalan pengepul dan masyarakat ; minimnya
, dan dijual masih fasilitasi dukungan dari
fasilitasi bahan mentah permodalan pemerintah
kelompok dan akses dan para pihak
pasar
Sumber: Data primer (2011), hasil wawancara dan diskusi dengan narasumber Forum Kawasan,
Kelompok HKm, dan Konsepsi
92

Lampiran 5 Ringkasan dari rights, responsibilities dan revenues stakeholder di hutan Sesaot

Stakeholders Rights Skor Responsibilities Skor Revenues Skor


Kelompok HKm Memanfaatkan 5 Menjaga dan 4 Pemasukan 5
kawasan hutan memelihara dari hasil
kawasan hutan hutan bukan
kayu
Forum Kawasan Pengajuan 4 Menjaga dan 4 Pemasukan 3
IUPHKm, mengamankan dari hasil
penegakan awig- kawasan hutan hutan; Fasilitas
awig Sesaot dari
pendamping
Pemerintah Desa Tidak ada 0 Menjaga 4 Penerimaan 3
ketertiban dan dari retribusi
keamanan desa hasil hutan
bukan kayu
Dinas Kehutanan Memberikan ijin 4 Pengelolaan 5 Penerimaan 4
Kabupaten pemanfaatan kawasan hutan dari retribusi
kawasan hutan lindung Sesaot hasil hutan
Sesaot bukan kayu
Dinas Kehutanan Memberi 4 Pengelolaan dan 4 Pemasukan 2
Provinsi rekomendasi pemanfaatan dari hasil
pemanfaatan hutan kawasan hutan hutan
UPTD Tahura Mengelola obyek- 4 Pengelolaan 5 Pemasukan 4
Nuraksa obyek wisata alam Tahura dari obyek
dan penelitian wisata alam
dan penelitian

DPRD Kabupaten Tidak ada 0 Implementasi 3 Mendapat 3


peraturan daerah dukungan
suara pemilih
Koordinasi
KPH Rinjani Barat 3 Pengelolaan 3 Belum ada 1
pengelolaan hutan di wilayah
kawasan KPH
LSM Pendamping/ Tidak ada 0 Memfasilitasi 4 Mendapat 4
Konsepsi masyarakat dalam pendanaan dari
pemanfaatan lembaga donor
hutan
WWF Nusa Tidak ada 0 Melaksanakan 2 Pendanaan 3
Tenggara kegiatan di Sesaot dari donor
LSM Mitra Samya Tidak ada 0 Membantu 3 Pendanaan 3
fasilitasi dari donor
penyelesaian
konflik
LSM Transform Tidak ada 0 Melaksanakan 2 Pendanaan 2
kegiatan di Sesaot dari donor
Universitas Tidak ada 0 Fasilitasi kegiatan 2 Akses dan 2
Mataram masyarakat pendanaan
untuk program
93

Stakeholders Rights Skor Responsibilities Skor Revenues Skor


kerja
penelitian
Lembaga tingkat Tidak ada 0 Fasilitasi perijinan 2 Pendanaan 2
nasional dan penyelesaian dari donor
konflik
Ford Foundation Tidak ada 0 Memberi bantuan 3 Citra positif 2
pendanaan kepada dari
LSM pendamping masyarakat
SCBWFM Tidak ada 0 Dukungan 3 Program kerja 2
pendanaan terimplementa
kegiatan si yang dapat
masyarakat dan meningkatkan
pendamping citra positif
Flora Fauna Tidak ada 0 Melaksanakan 2 Pendanaan 2
Indonesia kegiatan di Sesaot kegiatan dari
donor
ICRAF Tidak ada 0 Bersama 2 Pendanaan 2
pendamping kegiatan dari
melaksanakan donor
kegiatan di Sesaot
Kementerian Menetapkan status 4 Membuat 4 Belum ada, 2
Kehutanan (Ditjen dan fungsi kawasan peraturan potensi
BPDAS PS dan hutan; perundangan pembayaran
PHKA) pengelolaan dan provisi
pemanfaatan sumberdaya
hutan hutan
Keterangan: nilai skor antara 0 – 5, dengan nilai 0 tidak ada hak,tanggung jawab, dan manfaat sedangkan
nilai 5 adalah nilai maksimum.

Anda mungkin juga menyukai