Menurut Imam al-Ghazali hasad memiliki dua tingkatan: pertama, Anda tidak suka orang lain
mendapatkan nikmat dan Anda ingin menghilangkannya; kedua, keinginan memperoleh nikmat
serupa yang dimiliki orang lain, tanpa bermaksud atau berharap hilangnya nikmat itu pada orang
lain, ini yang biasa disebut dengan istilah ghibhah.
Orang hasad adalah orang yang –tanpa alasan yang rasional—tidak senang kepada segala
kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain, baik kelebihan itu berupa harta benda,
kekayaan, kedudukan, kehormatan, dan lain-lain. Bisa jadi, orang hasad akan membenci orang
lain yang sebetulnya tidak memiliki nikmat atau kelebihan apa-apa, tetapi oleh yang hasad
diduga memilikinya. Dan bisa jadi pula orang hasad akan merasa senang kalau orang lain terus-
menerus dalam kesusahan dan kekurangan, meskipun ia tahu bahwa yang bersangkutan sudah
tidak memiliki kelebihan apa-apa. Jadi, hasad itu kecenderungan untuk membenci semua orang
tanpa alasan yang jelas, rasional dan dibenarkan oleh ajaran agama.
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-
Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan peniup-peniup
pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (Q, s. al-Falaq / 113:1-5)
Islam sangat mencela perbuatan hasad, karena hasad merupakan pangkal permusuhan.
Dalam ajaran Islam, hasad hanya dibolehkan dalam dua hal: terhadap yang orang dianugerahi
harta oleh Allah kemudian ia menafkahkannya dengan benar, dan terhadap orang yang
dianugerahi ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah
S.a.w bersabda:
َ َّسل
ُطه َ َ َر ُج ٍل آتاهُ هللاُ ماالً ف:سدَ ِإالَّ فِي اثْنَتَي ِْن
َ ي صلى هللا عليه وسلم يقول «الَ َح ِِّ سمعتُ النب:رضي هللاُ عنه قال
َ ابن مسعو ٍد
ِ عن
ِّ
قضي بِ َها ويُع ِلمها َ ً ْ
ِ ور ُج ٍل آتاهُ هللاُ ِحك َمة ف ُه َو َي َ ،ق ِّ َ
ِ لى َهلكت ِه في ال َح
َ » َع
Dari Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah S.a.w bersabda: Tidak dibenarkan hasad kecuali dalam dua
hal; terhadap seseorang yang diberi anugerah oleh Allah berupa harta lalu dia menafkahkannya
di jalan yang benar, dan terhadap seseorang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah lalu dia
mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Nabi memberi arah kepada kita bahwa yang boleh diirikan oleh kita dari orang
lain adalah amal shalehnya, bukan kebendaannya. Kita boleh iri kepada orang kaya, tetapi bukan
kekayaannya melainkan perbuatannya menafkahkan kekayaannya itu di jalan yang benar.
Demikian pula dengan ilmu, kita diperbolehkan iri kepada orang yang berilmu, bukan karena
ilmunya, melainkan karena perbuatannya dalam mengamalkan dan mengajarkan ilmunya itu.
Tugas Makalah Agama Islam
Kelas : XI MIPA 2