Anda di halaman 1dari 112

PROSES PEMBERIAN TITIK (NUQTHAH) PADA

HURUF-HURUF AL-QURAN OLEH ABU AL-ASWAD AD-


DU’ALI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh:
PATIMAH BATUBARA
NIM: 1113022000060

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAB HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji syukur penulis haturkan kepada


Allah SWT yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan rahmat-Nya.
Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan pada Rasulullah saw serta
keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Amiin.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar
Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis
ilmiah dalam bentuk skripsi ini dengan judul: PROSES PEMBERIAN

TITIK (NUQTHAH) PADA HURUF-HURUF AL-QURAN


OLEH ABU AL-ASWAD AD-DU’ALI.

Jakarta, 19 Februari 2018


Penulis,

Patimah Batubara

ii
UCAPAN TERIMA KASIH

Tentunya dalam menyelesaikan skripsi ini Penulis tidak hanya berhasil


sendirian saja namun banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam selesainya
skripsi ini baik bersifat moril ataupun materil, maka dengan ini penulis
mengucapkan terima kasih serta penghargaannya atas dorongan dan kerja
samanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih dan
penghargaan yang begitu besar penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M. Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui skripsi
ini.
3. Bapak H. Nurhasan M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hudayatullah Jakarta yang telah
membantu proses kelancaran skripsi ini.
4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah M. Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Peradan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu penulis khususnya dalam urusan surat menyurat
selama ini
5. Drs. Parlindungan Siregar, M, Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses mengambil
tema skripsi ini.
6. Ibu Dr. Zakiya Darojat M.A selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah
membimbing dengan sepenuh hati sehingga skripsi ini selesai dengan tepat
waktu.
7. Bapak Dr. H. Abd Chair, M.A dan Drs. H.M Ma‟ruf Misbah selaku Dosen
Penguji skripsi yang telah memperbaiki isi skripsi penulis menjadi lebih baik.
8. Kepada seluruh Dekanat dan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis
selama menjadi mahasiswa aktif di Fakultas Adab dan Humaniora.

iii
9. Lembaga yang telah membantu memberikan sumber data kepada penulis,
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan LEMKA
Sukabumi.
10. Kedua Orang tua yaitu Emak Nur Azizah Lubis dan Ayah Lokot Batubara
tercinta yang selalu memberikan dukungan dan perhatian serta kasih sayang
tiada hentinya kepada penulis, sehingga penulis dapat termotivasi hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada Abang Muhammad Ridoan, Abang Ali Abbas, dan Kakak Nikmatul
Wardiyah selaku saudara kandung penulis yang selalu memberikan semangat
bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini.
12. Adik-adik penulis, Muhammad Arifin, Nur Jannah, Khairul Anwar, Ilham
Batubara, dan Samsuddin Batubara yang selalu memberikan semangat kepada
penulis.
13. Ayu Yulianti, Listinawati, Yulia Hilma, dan Ummy Nadhifah, selaku sahabat
terdekat penulis yang selalu memberikan dukungannya kepada penulis.
14. Kakak Jamiati KN selaku teman sekamar penulis yang senantiasa menemani
hari-hari penulis selama dua tahun terakhir.
15. Seluruh kawan-kawan di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam khususnya
angkatan 2013, Alfida Marifatullah, Putri Inggita, Sunnah Khairunni‟mah,
Winda Haryadi, Rinda Wakhidia Jaya, Sakti Maulana, Dadi Aripin,
Muhammad Faqih dan masih banyak lagi. Senior-senior dan para Junior
Sejarah dan Peradaban Islam atas segala bantuannya selama ini.
16. Kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata Desa Leumah Beureum (Banyu Resmi)
Erna Putri Lestari, Risfi, Ayu Rahmadani, Afifah Azmi Shalihati, Fadjar
Kamil, Nu‟man an-Nawawi, Badru Hawasi dan Ahmad Habibi. Terima kasih
atas pengalaman dan ilmunya selama ini dan juga dukungannya.
17. Terima kasih untuk semua teman-teman antar Fakultas dan Universitas yang
telah membantu dan mendukung penulis dalam proses pengerjaan skripsi.

iv
Penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis
berharap ada tegur sapa untuk pemyempurnaan karya ini sangat bermanfaat untuk
orang banyak sebagai bahan bacaan dan refrensi.

Jakarta, 19 Februari 2018


Penulis

Patimah Batubara

v
ABSTRAK

Al-Quran bermushaf Utsmani kurang lebih empat puluh tahun dibaca orang-orang
Muslim tanpa titik dan tanda baca atau gundul. Setelah ajaran Islam tersebar luas
dan orang-orang Muslim menaklukkan banyak negeri sehingga kawasan Islam
meliputi kawasan non-Arab. Banyak dari kalangan Ajam berbondong-bondong
masuk Islam, ketika membaca al-Quran banyak dari mereka yang salah baca atau
lahn karena minimnya pengetahuan mereka terhadap gramatika ilmu Nahwu dan
Sharaf. Melihat kondisi salah baca atau lahn tersebut muncullah seorang tokoh
ternama Abu al-Aswad ad-Du‟ali dari kalangan tabi‟in sekaligus murid dari
Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah seorang tokoh
penemu tata bahasa Arab/ilmu Nahwu dan Sharaf setelah mendapat rekomendasi
dari Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Abu al-Aswad-ad-Du‟ali juga orang yang
pertama kali merumuskan tanda baca pada al-Quran atas perintah Ziyad ibn Abihi
seorang gubernur Basrah di bawah kepemimpinan Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan.
Akhirnya Abu al-Aswad ad-Du‟ali berhasil merumuskan tanda baca (berupa titik-
titik) yang berfungsi sebagai syakal pada al-Quran dibantu dengan juru tulis yaitu
Abdi al-Qais.
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Abu al-Aswad ad-
Du‟ali sebagai peletak dasar ilmu Nahwu dan proses perumusan titik (nuqthah)
pada al-Quran.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah adanya perumusan titik
(nuqthah) pada al-Quran yang dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Duali manfaatnya
bagi orang Ajam adalah memberi kemudahan bagi mereka ketika membaca al-
Quran sehingga terhindar dari salah baca dan penyimpangan makna yang
terkandung di dalam al-Quran.
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode library research. Metode
ini dilakukan melalui empat tahap: 1) heuristik atau teknik pencarian data atau
sumber; 2) verifikasi atau kritik sumber, yaitu identifikasi keotentikan dan
kredibilitas data melalui kritik intern maupun ekstern; 3) interpretasi atau
penafsiran sejarah yaitu meguraikan segala faktor yang menyebabkan terjadinya
suatu peristiwa; 4) penulisan sejarah atau laporan hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan, dan ditambah pendekatan konsep pemikiran studi sosial tentang
tradisi tulis-menulis pra-Islam belum berkembang pada masyarakat Arab namun
setelah datangnya Islam tradisi tulis-menulis mulai digeluti dan berkembang pesat
di Arab paling spesifiknya perhatian para tokoh penguasa Muslim mulai
mengadakan tanda titik berupa tanda baca pada al-Quran.

Kata Kunci: Mushaf Utsmani, Lahn, Ilmu Nahwu, Abu al-Aswad ad-Du‟ali,
Pemberian titik.

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR ISTILAH ..................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 12
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 13
E. Tinjauan Pustaka ................................................................... 13
F. Metode Penelitian .................................................................. 15
G. Kerangka Teori ...................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ............................................................ 17
BAB II BIOGRAFI SINGKAT ABU AL-ASWAD AD-DU’ALI
A. Nama dan Nasab Abu al-Aswad ad-Du‟ali ............................ 20
B. Perkataan Ulama terhadap Abu al-Aswad ad-Du‟ali ............ 28
C. Profil Murid-murid dari Abu al-Aswad ad-Du‟al .................. 29
1. Nashr ibn Ashim al-Laitsi ................................................. 29
2. Yahya ibn Yu‟mar al-Udwan al-Laitsi ............................. 30
3. Abdurrahman ibn Hurmuz ................................................ 30
BAB III PENGUMPULAN AL-QURAN
A. Al-Quran Masa Rasulullah saw ............................................. 32
1. Al-Quran dalam konteks hafalan ...................................... 33
2. Pengumpulan al-Quran dalam konteks penulisan ............. 37
B. Pengumpulan Al-Quran pada masa Khulafaur Rasyidin ....... 40
1. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (11-13 H/632-634 M) ...... 40
2. Khalifah Umar ibn Khattab (13-23 H/634-644 M) ........... 45

vii
3. Khalifah Utsman ibn Affan (644-656 M) ......................... 46
4. Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-41 H/656-661 M) .......... 51
C. Penulisan Mushaf Al-Quran pada masa Bani Umayyah ........ 53
1. Marwan ibn al-Hakam (64-65 H/683-685 M) ................... 53
2. Abu al-Aswad ad-Du‟ali (69 H/611-688 M) ..................... 54
D. Penulisan Mushaf al-Quran pada masa Bani Abbasiyah ........ 56
1. Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi ( 170 H/786 M) ............ 56
BAB IV PERAN ABU AL-ASWAD AD-DU’ALI, PEMBERIAN
TITIK (NUQTHAH) PADA HURUF-HURUF AL-QURAN
A. Lahn dalam memberi Titik (Nuqthah) pada al-Quran ............ 66
B. Upaya yang dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali
dalam memperbaiki Lahn ....................................................... 73
C. Respons Masyarakat ............................................................... 78
D. Nashr ibn Ashim al-Laitsi (w. 707 M) dan Yahya ibn
Ya‟mur al- Udwan al-Laitsi (w. 708 M) ............................... 79
E. Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H/786 M) ............. 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 105
B. Saran ....................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 107
LAMPIRAN .................................................................................................. 114

viii
DAFTAR ISTILAH

Khulafaur Rasyidin: Orang yang ditunjuk sebagai pengganti sekaligus kepala


negara/pemimpin umat Islam sebagai penerus
kepemimpinan Rasulullah saw setelah Rasulullah saw
wafat (yaitu: Abu Bakar as-Siddiq, Umar ibn Khattab,
Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib).
Sahabat: Setiap orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dalam
keadaan ia beriman kepadanya (Rasulullah saw) dan ia
meninggal dalam keadaan Islam meskipun pernah diselingi
murtad menurut pendapat yang shahih.
Tabi‟in: Orang yang berjumpa dengan sahabat Rasulullah saw
dalam keadaan ia beriman kepada Rasulullah saw meskipun
ia tidak melihat Rasulullah saw dan ia wafat di atas
keislamannnya disebut juga sebagai murid dari sahabat
Rasulullah saw.
Tabi‟ut tabi'in: Orang Islam yang pernah bertemu atau berguru pada
Tabi‟in dan sampai wafatnya beragama Islam.
Muhajirin: Pengikut-pengikut setia/sahabat-sahabat Rasulullah saw
yang melakukan hijrah dari kota Mekah
Anshar: Penduduk asli kota Madinah yang menyambut kedatangan
kaum Muhajirin dengan suka cita.
Ummi: Tidak pandai membaca dan menulis.
Katib: Penulis atau juru catat, berasal dari kata „kataba‟ (menulis).
Qurra‟: Qurra‟ adalah jama‟ dari qari‟, yang artinya orang yang
membaca. Secara istilah yaitu seorang ulama atau imam
yang terkenal mempunyai mushaf tertentu dalam suatu
qira‟ah yang mutawatir.

ix
Munqathi‟: Setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya, baik yang
disandarkan kepada Rasulullah saw, maupun disandarkan
kepada yang lain.
Menasakh: Ayat atau nash yang menghapus kandungan hukum shar‟i
yang terdapat pada ayat yang lainnya dengan tujuan
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia dan
sekaligus menghindarkan adanya madharat bagi umat
manusia. Dengan adanya nasakh-mansukh, mengakibatkan
adanya ayat yang di nasakh sudah tidak berlaku.
Konsekuensinya. kandungan hukum yang terdapat pada
ayat tersebut tidak dapat dijadikan acuan dan pedoman
dalam penetapan hukum pada masa berikutnya.
I‟jam: Pembedaan huruf yang sama dengan jalan meletakkan titik-
titik tapi pelafalannya berbeda untuk menghilangkan
kekeliruan. Contoh antara huruf Ba, Ta, dan Tsa.
Ajam: Orang-orang non Arab.
Hujjah: Keterangan, alasan, bukti atau argumentasi.
Ma‟tsur: Bacaan sesuai dengan yang dianjurkan Rasulullah saw yang
dikenal dengan Qiraatu as- Sab‟ah.

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Qara‟a, memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira‟ah berarti
merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu
ungkapan kata yang teratur. Al-Quran sama dengan asalnya Qira‟ah, yaitu akar
kata (masdar-infinitif), dari qara‟a, qira‟atan, waqur‟anan.1 Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT:

         
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab
mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu).
Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu,
dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.”
( Al-Qiyamah: 17-18).

Menurut Abd al-Wahhab Khalaf,2 al-Quran adalah kalam Allah yang


diturunkan kepada kalbu Rasulullah saw lewat al-Ruh al-Amin dengan kata-kata
berbahasa Arab dan makna yang benar, agar menjadi argumentasi bagi Rasulullah
saw bahwasanya dia adalah utusan Allah SWT, menjadi undang-undang,
petunjuk, sarana pendekatan diri serta ibadah bagi manusia kepada Allah SWT
dengan membacanya. Al-Quran terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surah al-
Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas, disampaikan kepada Manusia dengan
mutawatir dari generasi kegenerasi secara tertulis maupun terucap yang terjaga
dari perubahan atau pergantian.
Menurut Quraish Shihab al-Quran secara harfiyah adalah bacaan yang
mencapai puncak kesempurnaan. Al-Quran al-Karim berarti bacaan yang maha
sempurna dan maha mulia,3 sedangkan menurut Prof. Dr. Harun Nasution

1
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 16.
2
Abd al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Mesir:Dar al-Qalam, 1978), Cet ke.VIII,
h. 23.
3
Muhammad Quraish Shihab, Lentera al-Quran (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994),
h. 5.

1
2

mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Islam Rasional,4 bahwa dalam


faham keyakinan sebagai umat Islam, al-Quran sebagai kitab suci, mengandung
firman Tuhan (Kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada Rasulullah
saw. Proses pewahyuan al-Quran ada tiga macam: Pertama, yang kelihatannya
adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul
dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba suatu cahaya yang menerangi jiwanya.
Kedua, wahyu berupa pengalaman dan pengelihatan dalam keadaan ru‟yat atau
kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk, yang disampaikan melalui utusan
atau malaikat, yaitu malaikat Jibril dan wahyu serupa ini disampaikan dalam
bentuk kata-kata. Wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah saw adalah wahyu
yang dalam bentuk ketiga.
Wahyu dalam bentuk kata-kata disampaikan kepada Rasulullah saw tidak
secara langsung sekaligus tetapi bertahap dalam masa kurang lebih dua puluh tiga
tahun, dengan salah satu tujuannya yaitu memudahkan Rasulullah saw untuk
menghafalkannya, sebab Rasulullah saw ummi (tidak pandai baca tulis) dan untuk
memudahkan dalam penyampaian kepada para sahabatnya.
Al-Quran pertama kali diturunkan tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40
kelahiran Rasulullah saw bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M, ketika
Rasulullah saw sedang bertahanus (beribadah) di gua Hira.5 Pada saat itu
turunlah wahyu dengan perantaraan malaikat Jibril dengan membawa beberapa
ayat al-Quran, yaitu surat al-Alaq dan ayat yang terakhir diturunkan kepada
Rasulullah saw adalah surat al-Maidah ayat ke-3 pada saat Rasulullah saw sedang
berwukuf di Arafah melakukan haji Wada pada tahun ke-10 H/ 7 Maret 622 M.
Pertama kali Rasulullah saw, mendapat wahyu, malaikat Jibril mendekap
Rasulullah saw ke dadanya lalu melepaskannya (dan melakukan itu sampai 3
kali), sambil mengatakan Iqra‟ (bacalah) pada setiap kalinya, Rasulullah saw
menjawabnya Ma ana bi qari (saya tidak bisa membaca). Pada dekapan ketiga
malaikat Jibril membacakan:

4
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: PT Pustaka Mizan,
1995), h. 17.
5
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Quran (Jakarta: Zikra Multi Service, 2009),
h. 4.
3

             

           
Artinya: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha mulia. Yang mengajar (manusia)
dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-Alaq: 1-5).

Sejarah telah mencatat bahwa pada masa awal kehadiran agama Islam,
bangsa Arab tergolong ke dalam Bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca
dan menulis kalaupun ada hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan
jari tangan. Rasulullah saw sendiri dinyatakan sebagai seorang yang ummi.
Kebutaaksaraan bangsa Arab dan ke-ummi-an Rasulullah saw tercantum dalam
ayat al-Quran di bawah ini:

          

          
Artinya: “Dia-lah Allah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan
ayat-ayatnya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan hikmah. Dan sesungguhnya
mereka sebelumya benar-benar (berada) dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Jumu‟ah: 2)

Seandainya Rasulullah saw adalah orang yang pandai baca tulis maka
sudah dipastikan bagaimana reaksi orang-orang Arab Quraisy waktu itu dalam
menentang kewahyuan al-Quran, mereka akan mengatakan bahwa al-Quran
adalah ciptaan Rasulullah saw bukan berasal dari Kalam Allah. Di sinilah terletak
hikmah mengapa Rasulullah saw yang ummi diangkat menjadi Nabi. Tercermin
dengan jelas minat para sahabat untuk mempelajari lebih jauh makna, isi, dan
tujuan al-Quran dalam menegakkan revolusi ilmu pengetahuan sebagai yang
4

tersimbolkan dalam perintah baca tulis melalui surah al-Alaq khususnya dan ayat-
ayat al-Quran yang lain umumnya.6
Bangsa Arab pada masa itu terkenal memiliki daya ingat yang sangat kuat.
Mereka terbiasa menghafal syair Arab dalam jumlah yang tidak sedikit untuk
ukuran waktu itu, keunggulan seseorang justru terletak pada mereka yang kuat
hafalannya bukan yang pandai baca tulis. Sebelum perang Badar Kubra sedikit
sekali sahabat yang bisa membaca dan menulis tulisan Arab, baik dari golongan
Muhajirin maupun Anshar. Kebangkitan minat menulis di kalangan kaum
Muslimin dimulai setelah peperangan Badar Kubra yang terjadi pada tahun ke-2
H.
Rasulullah saw telah mengambil kebijaksanaan yang sangat tepat dalam
menentukan sanksi terhadap tawanan. Para tawanan yang enggan masuk Islam
dibebaskan dengan tebusan dan bagi mereka yang tidak mampu namun pandai
baca tulis, diwajibkan masing-masing mengajari sepuluh anak muda Madinah cara
membaca dan menulis.7 Perhitungan yang sangat tepat ini merupakan gerakan
untuk membasmi buta huruf, sehingga dalam waktu yang relatif singkat
pengetahuan membaca dan menulis meluas. Rasulullah saw sendiri memberi
motivasi untuk mempelajari kedua cabang ilmu tersebut. Ajakan Rasulullah saw
berjalan dengan intensif sesudah Fathu Mekah dan berkumpulnya Muhajirin dan
Anshar.8 Semenjak itu perkembangan baca tulis di kalangan umat Islam mulai
pesat. Para katib (pencatat/ penulis) al-Quran yang sangat handal diantaranya:
Mekah ialah Abu Bakar as -Siddiq (w. 12 H/634 M), Umar ibn Khattab (w. 23
H/644 M), Utsman ibn Affan (w. 35 H/656 H), Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661
M) sedangkan dari Muhajirin, Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan (w. 59 H/680 M),
Madinah, Yazid ibn Abi Sufyan (w. 19 H/640 M), Ubay ibn Ka‟ab (w. 21 H),
Mughirah ibn Syu‟bah (w. 50 H/ 670 M), Zubeir ibn al- Awwam (w. 34 H/ 656

6
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 48.
7
Selengkapnya baca Hamka, Tafsir al-azhar, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tth), Pasal
Ghanimah, Jus X h. 44.
8
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 61.
5

M), Khalid ibn Walid (w. 21 H/ 642 M), Amr ibn „Ash (w. 43 H/ 664 M) dan Zaid
ibn Tsabit (w. 45 H/ 666 M).9
Belajar Membaca dan menghafal al- Quran merupakan dakwah Rasulullah
saw yang paling awal. Kekuatan daya hafal bangsa Arab (para sahabat) benar-
benar dimanfaatkan secara optimal oleh Rasulullah saw dengan memerintahkan
mereka supaya menghafal setiap kali ayat al-Quran yang diturunkan.10 Saat itu
Islam belum tersebar luas, para sahabat mempelajari al-Quran di al-Arqam ibn
Abi al-Arqam (w. 673/5). Di sanalah mereka duduk berkumpul mempelajari dan
memahami kandungan ayat-ayat yang telah diturunkan dengan jalan ber-
mudarasah (bertadarus). Rumah al- Arqam dikenal sebagai tempat Rasulullah saw
mengajarkan al-Quran kepada para pengikutnya pada masa awal Rasulullah saw
masih di Mekah. Zaid ibn Tsabit pernah dipanggil secara khusus oleh Rasulullah
saw untuk menghimpun ayat-ayat al-Quran yang berserakan menjadi suatu surat
dan Zaid ibn Tsabit pula yang menulis surat Rasulullah saw kepada pihak lain
termasuk kepada kepala-kepala pemerintahan non-Muslim. Menurut golongan
Syiah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk mengerjakan seperti yang
dilakukan Zaid ibn Tsabit adalah Ali ibn Abi Thalib.11 Apa yang ditulis oleh Zaid
ibn Tsabit di hadapan Rasulullah saw, Zaid ibn Tsabit menghafalnya.
Dari Abdullah ibn Amr al-Ash berkata: “Rasulullah saw
memerintahkan orang-orang yang hadir untuk menyampailkan
kepada yang tidak hadir.” Rasulullah saw kemudian bersabda,
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” (HR. Bukhari).

Para penulis al-Quran selain menulis ayat-ayat untuk Rasulullah saw, juga
menulis untuk dirinya sendiri. Sahabat yang tidak sempat hadir dan yang
mendengarkan langsung dari Rasulullah saw, sebagian dari sahabat bertanya

9
Hasani Ahmad Samsuri, Studi Ulumul Quran, h. 10. Ada yang meriwayatkan bahwa
sekretaris Rasulullah saw berjumlah sekitar 21 hingga 26 orang, tetapi ada pula yang menyebutkan
42 orang dan bahkan lebih banyak lagi dari itu, yang sudah pasti para pencatat al-Quran di zaman
Rasulullah saw jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu, pencatatan al-Quran bersifat mutawatir.
Dikutip dari bagian foot note Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, h. 49.
10
Abdul Djalal, Ulumul Quran (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), h. 10.
11
Lubaib ibn al-Said, Mushaf al-Murattal (Kairo: Dar al-Katib al- „Arabi, t.t.), h. 40.
6

kepada sahabat lain yang hadir di majelis dan menulis seperti yang sahabat tulis.
Kehadiran para sahabat di hadapan Rasulullah saw selalu bergantian, akibatnya
catatan yang dimiliki oleh sahabat berbeda-beda jumlahnya. Letak ayat dalam
surat dijelaskan sendiri oleh Rasulullah saw, namun bila suatu ayat tidak terdapat
pada catatan seorang sahabat mestilah ayat itu terdapat pada catatan sahabat yang
lain. Setiap Rasulullah saw selesai menerima wahyu ayat al-Quran, Rasulullah
saw menyampaikan wahyu itu kepada para sahabat. Rasulullah saw
membacakannya dengan tekun dan tenang, sehingga mereka dapat membacanya
dengan baik, menghafal dan mampu memahami makna al-Quran. Rasulullah saw
menjelaskan tafsiran al-Quran kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan taqrir
Rasulullah saw serta dengan akhlak-akhlak dan sifatnya. Sahabat yang paling
banyak menulis ayat al-Quran adalah Zaid ibn Tsabit dan Mu‟awiyah ibn Abi
Sufyan. Al-Quran yang ditulis para sahabat belum bisa dikatakan sebagai mushaf
kecuali lembaran-lembaran lepas yang diikat dengan tali. Rasulullah saw
diperintahkan oleh Allah SWT menjelaskan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan
firman-Nya:

             

 
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

Dengan demikian ada beberapa faktor yang menyebabkan al-Quran di


zaman Rasulullah saw dan para sahabat tidak membutuhkan pembukuan karena
Rasulullah saw pernah melarang sahabat menuliskan sesuatu selain al-Quran.
Muslim meriwayatkan dari Said al-Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda:

‫ال‬ٚ ًٕ‫ا ػ‬ٛ‫ حذ ث‬ٚ ٗ‫ ِٓ وحة ػًٕ غٍش اٌمشآْ فٍٍّح‬ٚ ًٕ‫ ا ػ‬ٛ‫ال جىحث‬
ٓ‫اٖ اٌّغٍُ ػ‬ٚ‫أ ِمؼذٖ ِٓ ا ٌٕا س (س‬ٛ‫ ِٓ وز ب ػٍى ِحؼّذا فٍٍحث‬ٚ ‫حشج‬
)‫أتً عؼٍذ اٌخذسي‬
Artinya: “Janganlah kalian tulis daripadaku selain al-Quran,
barang siapa menulis dariku yang selain al-Quran, maka hendaklah
7

dihapus. Dan ceritakanlah daripadaku, maka tidak ada larangan.Dan


barangsiapa yang berdusta kepadaku dengan sengaja, maka bersiap-
siaplah tempatnya di neraka.” ( HR. Muslim dari Abu Sa‟id al-Khudri).12

Larangan penulisan sesuatu selain al-Quran dikhawatirkan terjadinya


percampuran antara al-Quran dengan yang bukan al-Quran, selama al-Quran itu
masih turun.13
Adapun keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki orang Arab asli ialah:14
Pertama, mempunyai daya hafalan yang kuat, mempunyai otak cerdas,
mempunyai daya tangkap yang sangat tajam, mempunyai kemampuan bahasa
yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi maupun
sajak. Kedua, kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang yang ummi (tidak
pandai membaca dan menulis) tetapi cerdas. Ketiga, ketika mereka mengalami
kesulitan, langsung bertanya kepada Rasulullah saw. Keempat, belum ada alat-alat
tulis yang memadai.15 Pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat pencatatan al-
Quran ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma dan batu-
batu cadas.16
Diriwayatkan oleh Bukhari: “Malaikat Jibril datang kepada
Rasulullah saw untuk mendengar bacaan Rasulullah saw setahun
sekali, ketika Rasulullah saw sakit malaikat Jibril datang dua kali
dalam setahun untuk memeriksa hafalan Rasulullah saw tersebut.
Setelah itu Zaid ibn Tsabitpun menulis al-Quran dan
membacakannya di hadapan Rasulullah Saw.” Inilah sebabnya
mengapa Abu Bakar berpegang kepada Zaid ibn Tsabit dalam
urusan mengumpulkan al-Quran. Utsman ibn Affan juga menyuruh
Zaid ibn Tsabit menulis mushaf-mushaf yang dikirimkan

12
Dikutip Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta:
PT Raja Grapindo Persada, 2013), h. 7 dan dari buku Abdul Djalal, Ulumul Quran, h. 27.
13
Abdul Djalal, Ulumul Quran, h. 28.
14
Abdul Djalal, Ulumul Quran, h. 28.
15
Subhi ash- Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, Penj. Nur Rakhim, dkk., (Beirut: Dar al-
tlm Li al-Malayin, 1988), h. 120. Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Quran, h. 42. Abdul
Djalal, Ulumul Quran, h. 28.
16
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 59.
8

kebeberapa kota Islam ketika Utsman ibn Affan meyuruh menulis


mushaf-mushaf tersebut.”17
Ketika Rasulullah saw masih hidup ada beberapa sahabat yang menghafal
al-Quran di antaranya: Abdullah ibn Mas‟ud, Salim ibn Ma‟qil (budak Abu
Huzaifah yang telah dimerdekakan), Mu‟adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka‟ab, Zaid ibn
Tsabit dan Abu Zaid. Mereka dari golongan Anshar.18
Setelah Rasulullah saw wafat pada tahun 632 M, dan Abu Bakar menjadi
Khalifah (11-13 H/ 632-634), muncullah Musailamah ibn al-Kadzdzab mengakui
dirinya sebagai Nabi. Musailamah mengembangkan khurafatnya dan kebohongan-
kebohongannya untuk mempengaruhi Bani Hanifah dari penduduk Yamamah,
agar mereka murtad. Setelah Abu Bakar as-Siddiq mengetahui tindakan
Musailamah ibn al-Kadzdzab lalu dia menyiapkan pasukan untuk berperang yang
dipimpin oleh Khalid ibn Walid. Banyak para sahabat yang gugur syahid di
antaranya Zaid ibn Khattab, dan kurang lebih 7.000 sahabat penghafal al-Quran
yang juga gugur. Dengan izin Allah SWT kaum Muslimin memperoleh
kemenangan.
Penghimpunan al-Quran ke dalam satu mushaf, baru dilakukan pada
zaman Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (11-13 H/ 632-634 M), menurut hadits yang
diriwayatkan oleh al-Qurthubi, tepatnya setelah terjadi perang Yamamah (12
H/633 M), dan Bi‟ru Ma‟unah (bulan Safar tahun ke-4 H). Menyaksikan peristiwa
tragis yang merenggut banyak korban dari kalangan hafidz dan qurra‟ tersebut,
Umar ibn Khattab segera mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
untuk menghimpun al-Quran. Umar ibn Khattab terus-menerus mendesak dengan
alasan demi kemaslahatan umat dan pelestarian al-Quran, sehingga Abu Bakar as-
Siddiq menerima saran Umar ibn Khattab tersebut.19
Abu Bakar as-Siddiq lalu memanggil Zaid ibn Tsabit, dia
mengatakan kepada Zaid, “Sesungguhnya engkau adalah seorang

17
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran dan
Tafsir, h. 60.
18
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran dan
Tafsir, h. 60.
19
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Quran, h. 11. Muhammad Amin Suma, Ulumul
Quran, h. 50. Subhi ash- Shalih, Mabahits fi ulum Al-Quran, Penj. Nur Rakhim, dkk., h. 78-85.
9

yang masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak


meragukanmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk
Rasulullah saw, maka sekarang carilah al-Quran dan
kumpulkanlah. Zaid ibn Tsabit berkata: Maka saya mencari dan
mengumpulkan al-Quran dari pelepah kurma, permukaan batu
cadas dan dari hafalan orang-orang.”20
Abu Bakar as-Siddiq kemudian mengangkat panitia penghimpun al-Quran
yang terdiri dari empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut: Zaid
ibn Tsabit sebagai ketua, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ubay ibn
Ka‟ab sebagai anggota. Panitia penghimpun tersebut dapat menyelesaikan
tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun yakni setelah perang Yamamah (12
H/633 M) dan sebelum wafat Abu Bakar as-Siddiq (13 H/ 634M). Zaid ibn Tsabit
dan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua terakhir dari surah at-Taubah : 128-
129, semua panitia yakin bahwa kedua ayat itu adalah al-Quran. Setelah Zaid ibn
Tsabit bekerja keras dan mengumumkannya kepada khalayak ramai, maka Zaid
ibn Tsabit mendapatkan surat tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu
Khuzaimah al-Anshari.21
Adapun urutan pemegang himpunan al-Qur‟an setelah Rasulullah saw
wafat 632 M dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin yaitu: Khalifah Abu Bakar as-
Siddiq (13 H/ 632-634 M) sampai dia wafat, kemudian Umar ibn Khattab (13-23
H/634-644 M) sampai dia wafat juga, dan disimpan oleh Hafshah binti Umar
(Riwayat Bukhari) sebelum akhirnya diserahkan kepada atau di minta oleh
Khalifah Utsman ibn Affan.
Pada masa pemerintahan Ustman ibn Affan (23-35 H/ 644-656 M),
terjadilah perbedaan lahn (dialek) bacaan al-Quran dikalangan umat Islam dan
kalau hal ini dibiarkan bisa mengganggu kesatuan dan persatuan umat Islam.
Khudzaifah ibn al-Yaman menyarankan kepada Utsman ibn Affan agar segera
mengusahakan keseragaman bacaan al-Quran. Apabila terjadi perbedaan-
perbedaan bacaan, diusahakan masih dalam batas-batas yang ma‟tsur (diajarkan

20
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Quran, h. 51-52.
21
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Studi al-Qur‟an, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h. 160.
10

oleh Rasulullah saw yang dikenal dengan Qiraatu as- Sab‟ah). Utsman ibn Affan
membentuk panitia yang terdiri dari Zaid ibn Tsabit al-Anshari sebagai ketua,
Abdullah ibn Zubair ibn Awwam al-Quraisyi al-Asadi, Sa‟id ibn al-Ash ibn
Umayyah al-Qurasyi al-Umawi, Abdurrahman ibn Harits, masing-masing sebagai
anggota.22 Tugas panitia ini adalah membukukan al-Quran, yakni menyalin
mushaf-mushaf al-Quran, yang diambil dari Hafshah binti Umar menjadi satu
mushaf. Dalam melaksanakan tugas ini Khalifah Utsman ibn Affan menasehatkan
supaya mengambil keputusan dalam penulisan al-Quran berdasarkan atas bacaan
para huffaz, dan kalau terdapat perbedaan antara mereka mengenai bacaan,
haruslah dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab al-Quran diturunkan menurut
dialek Quraisy.23 Namun, ketika menyalin mushaf al-Quran tersebut Zaid ibn
Tsabit berkata:
“Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari
surat al-Ahzab ayat 23 yang pernah saya dengar dibacakan oleh
Rasulullah saw. Maka kami pergi mencarinya dan bertanya
kepada Muhajirin dan Anshar, kami pun mendapatkannya pada
Khuzaimah ibn Tsabit al-Anshari.24 Setelah tugas tersebut selesai
dikerjakan oleh panitia, mushaf-mushaf al-Quran yang dipinjam
dari Hafshah itu dikembalikan.”
Al-Quran yang telah dibukukan itu diberi nama al-Mushaf oleh para
panitia. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, dan Kufah,
dan selebihnya ditinggalkan di Madinah untuk khalifah Utsman ibn Affan sendiri
yang diberi nama Mushaf al-Imam. Pendapat lain mengatakan berjumlah tujuh
buah, yaitu empat buah di atas, dan tiga lagi dikirim ke Mekah, Yaman dan
Bahrain. Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa mushaf yang disalin
sebanyak enam buah, masing-masing dikirim ke Mekah, Basrah, Kufah dan

22
Ahmad al-Iskandary wa Musthafa Anany, al-Wasit fi al-Adab al-“araby wa Tarikhi
(Mesir: Dairat al-Ma‟arif), cet. XVIII, h.123. Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa‟, Penj. Faris
Khoirul Anam (Jakarta: Qisthi Press, 2009), h. 272.
23
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi al-Qur‟an, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni,
h. 163-164.
24
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi al-Qur‟an, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
164.
11

Syiria, satu buah berada di tangan khalifah Utsman ibn Affan.25 Sesudah itu
Khalifah Utsman ibn Affan memerintahkan mengumpulkan semua mushaf-
mushaf al-Quran yang ditulis sebelum itu untuk dibakar. Setelah itu mushaf yang
ditulis di zaman Khalifah Utsman ibn Affan ditulis pula oleh kaum Muslimin
berdasarkan mushaf al-Imam (yang di Madinah) dan mushaf-mushaf yang di
Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah. Adapun perbedaan bacaan-bacaan tersebut
tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushaf di zaman Khalifah
Utsman ibn Affan itu.26
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ali ibn Abi Thalib
memperhatikan orang-orang asing yang sengaja menodai kemurnian bahasa Arab,
sebab Ali ibn Abi Thalib sering mendengarkan sesuatu yang menimbulkan
kerusakan bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-
Du‟ali untuk membuat sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian
bahasa Arab. Abu al-Aswad ad-Du‟ali menulis pedoman-pedoman serta aturan-
aturan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah
meletakkan dasar pertama terhadap ilmu, yang sekarang dikenal dengan nama
Ilmu Nahwu atau Ilmu I‟rabil Qur‟an.27
Pada Masa Bani Umayyah tulisan al-Quran masih sangat sederhana
(gundul), kecuali setelah Abu al-Aswad ad-Du‟ali diperintahkan oleh Ziyad ibn
Abihi seorang gubernur di Basrah (55 H) pada masa kepemimpinan Mu‟awiyah
ibn Abu Sufyan (41- 60 H/661-683)28 telah memerintahkan kepada Abu al-Aswad
ad-Du‟ali untuk menciptakan syakal-syakal yang berfungsi untuk membuktikan
adanya huruf hidup kemudian disempurnakan oleh kedua muridnya, yaitu Nashr
ibn Ashim al –Laitsi (w.707 M) dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (w.
708 M) yang diperintahkan oleh al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi (694-914 M)
seorang gubernur bawahan dari Irak oleh Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H/685-

25
Muhammad Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 31.
26
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 73.
27
Abdul Djalal, Ulumul qur‟an, h. 29.
28
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 61. Abu Abdullah al-Zanjani, Wawasan Baru
Tarikh al-Quran, Penj. Kamaluddin Marzuki Anwar dan A Qurthubi Hassan (Bandung: Mizan,
1993), h. 144-147.
12

705 H). Al- Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi memerintahkan kepada Nashr ibn Ashim
al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi untuk menciptakan titik-titik
(berupa diagonal) pada huruf-huruf al-Quran sebagai pembeda antara huruf Ba,
Ta, Tsa dan seterusnya,29 kemudian disempurnakan lagi oleh al-Khalil ibn Ahmad
al-Farahidi al-Busairi (170 H/786 M) sistem yang digunakan al-Khalil ibn Ahmad
al-Farahidi al-Busairi masih berpegang teguh pada sistem penitikan Abu al-Aswad
ad-Du‟ali, Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi.
Namun, al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi menempatkan kembali titik-
titik pembeda seperti yang dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk huruf-
huruf yang bersamaan bentuknya dengan menggunakan satu jenis warna tinta.30
Dari beberapa peristiwa di atas, skripsi ini berupaya menelusuri kontribusi
peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam proses pemberian titik (nuqthah) pada
huruf-huruf al-Quran. Kajian ini mengambil kasus salah baca lahn orang-orang
Ajam dalam membaca al-Quran oleh karena itu skripsi ini diberi judul
“PROSES PEMBERIAN TITIK (NUQTHAH) PADA HURUF-HURUF AL-
QURAN OLEH ABU AL-ASWAD AD-DU’ALI.”

B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ambil, yaitu Proses Pemberian
Titik (Nuqthah) pada Huruf-Huruf Al-Quran: Abu al-Aswad ad-Du‟ali (10
Sebelum Hijriyah sampai 69 H/611-688 M), maka objek yang menjadi kajian
dalam skripsi ini ialah: Pertama, cara orang Arab membaca dan menuliskan al-
Quran pada masa Rasulullah saw. Kedua, perkembangan penulisan al-Quran pada
masa Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar as-Siddiq, Umar ibn Khattab, Ali ibn
Abi Thalib, Utsman ibn Affan dan ketika berada di tangan istri Rasulullah saw
yaitu Hafshah binti Umar ibn Khattab. Ketiga, Peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali
dalam memberikan titik (nuqthah) pada huruf-huruf al-Quran.

29
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 66.
30
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 68.
13

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Sebelum melakukan perumusan masalah, penulis terlebih dahulu
membatasi masalah penulisan karya ilmiah ini agar pembahasannya tidak
melebar. Setelah itu, penulis membatasi pembahasannya hanya pada lingkup
Proses Pemberian Titik (Nuqthah) pada Huruf-huruf Al-Quran oleh Abu al-Aswad
ad-Du‟ali (10 Sebelum Hijriyah sampai 69 H/ 611-688 M). Penulis merumuskan
masalahnya sebagai berikut, agar skiripsi ini dapat menjawab pertanyaan:
1. Siapa Abu al-Aswad ad-Du‟ali ?
2. Bagaimana proses pengumpulan al-Quran mulai dari masa Rasulullah
saw sampai Bani Abbas?
3. Apa peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam ilmu nahwu dan proses
perumusan titik (nuqthah) pada al-Quran ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dan manfaat dari penelitian karya ilmiah ini adalah:
1. Untuk mengetahui siapa Abu al-Aswad ad-Du‟ali.
2. Untuk mengetahui proses pengumpulan al-Quran mulai dari masa
Rasulullah saw sampai Bani Abbas.
3. Untuk mengetahui peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam ilmu nahwu dan
proses perumusan titik (nuqthah) pada huruf-huruf al-Quran.

E. Tinjauan Pustaka
D.Sirojuddin Ar. Seni Kaligrafi Islam,(Jakarta: Panjimas, 1987).
Buku ini menjelaskan tentang keistimewaan huruf Arab, pertumbuhan
kaligrafi Arab, perkembangan khat Kufi dan Tahrir, dan syakal dalam mushaf al-
Quran yang dirumuskan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali, nuqthah atau i‟jam yang
dilanjutkan oleh dua murid Abu al-Aswad ad-Du‟ali yaitu: Nashr ibn Ashim al-
Laitsi (707 M) dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (w 708 M), terjadi pada
masa pemerintahan Bani Umayyah yang di bawah kepemimpinan Abdul Malik
ibn Marwan (65-86 H/ 685-705 M). Sejarah Islam mencatat , bahwa masalah di
atas telah dipecahkan di tangan al- Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi, seorang gubernur
14

bawahan dari Irak oleh Abdul Malik ibn Marwan. Kekuasaannya membentang di
bagian Timur imperium Muslim (694/714 M), sekaligus yang menginstruksikan
kepada Nashr bin Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi
untuk mendokumentasikan suatu sistem baru berupa tanda-tanda yang serupa
dengan cara-cara yang pernah ditempuh oleh Abu al- Aswad ad-Du‟ali
sebelumnya. Tanda-tanda yang dirumuskan Abu al-Aswad ad-Du‟ali berfungsi
sebagai tanda huruf hidup (harakat), sedangkan yang dilakukan oleh kedua
muridnya tersebut berfungsi sebagai pembeda huruf-huruf anatara Ba, Ta, Tsa,
dan seterusnya dan disempurnakan lagi oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-
Busairi.
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskah Tuntunan Menulis
Halus Arab dengan Metode Komparatif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, t.th).
Buku ini pada dasarnya, menyajikan teknik atau metode yang mudah
dalam menulis halus huruf Arab. Hal yang bersifat uraian sejarah perkembangan
tulisan Arab dimaksud sebagai pengantar dalam memahami seni kaligrafi, sebagai
cabang kesenian yang sedang berkembang. Namun, penulis menemukan bahasan
pokok, khususnya yang berhubungan dengan judul skripsi yang penulis ambil
tersedia dalam buku ini mulai dari huruf Arab: Pertumbuhan dan perkembangan
huruf Arab, penyempurnan tulisan Arab, menciptakan syakal dan harakat oleh
Abu al-Aswad ad-Du‟ali, membedakan huruf yang sama dengan garis oleh Nashr
ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi, membalik tanda-
tanda huruf yang ada pada al-Quran oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-
Busairi dan perkembangan model tulisan Arab.
Manna‟ al-Qaththan, Penerjemah Anunur Rafiq el-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu al-Quran, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005).
Buku ini menjelaskan tentang Ulumul Quran dan sejarah perkembangan
al-Quran, dimulai dari turunnya wahyu ayat Makki dan Madani, Asbab an-Nuzul,
turunnya al-Quran, pengumpulan dan penertiban al-Quran. Intinya yang berkaitan
dengan al-Quran dibahas dalam buku ini, baik yang klasik maupun kontemporer.
Hal yang berkaitan dengan judul skripsi yang penulis ambil tercantum juga dalam
buku ini.
15

F. Metode Penelitian
Penelitian ini di tulis dengan menggunakan metode research library (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren LEMKA, Sukabumi) dan melalui akses
internet berupa jurnal dan artikel. Kemudian, data-data yang diperoleh dari satu
sumber tersebut akan dianalisa melalui beberapa tahap: Pertama penulis
menggunakan metode deskriptis analitis, yaitu menganalisis hasil yang telah
didapat dari hasil penelitian. Kedua, verifikasi, yaitu suatu kritik sejarah baik
secara intern maupun ekstern. Kritik Intern, adalah menguji dan mengungkap
keabsahan atau kebenaran sumber yang terdapat dalam penelitian, sedangkan
kritik ekstern adalah menguji otentitas atau keaslian sumber yang terdapat dalam
penelitian. Ketiga, Interpretasi yaitu memberi penafsiran terhadap fakta sejarah
pada tahap ini akan tergambar dari fakta-fakta tersebut cerminan peristiwa masa
lampau.
Keempat, atau tahapan yang terakhir adalah proses historiografi, yaitu
merekontruksi peristiwa sejarah melalui penulisan sejarah. Menarik kesimpulan
dari penelitian yang telah dilakukan. Sebagai pedoman dalam teknik penulisan
karya ilmiah ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang dituliskan oleh ceqda, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Kerangka Teori
D.Sirojuddin Ar. Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Panjimas, 1987).
Dalam membahas permasalahan di atas, sudah tentu akan menggunakan
pendekatan konsep pemikiran tertentu sebagai penguat ataupun penunjang
masalah yang diajukan. Penulis mengutip teori dari D. Sirajuddin AR
mengatakan bahwa budaya penulisan Arab atau yang disebut dengan khat/
kaligrafi sudah ada sebelum datangnya kitab suci al-Quran yang dibawa oleh
Rasulullah saw. Jauh sebelum Islam dan al-Qur‟an datang, bangsa Arab kuno
sebenarnya sudah mengenal tulisan, namun hanya segelintir orang. Bangsa Arab
kuno adalah bangsa yang memiliki budaya retorika, yaitu tradisi memberikan
16

informasi dari mulut ke mulut. Setelah kedatangan Islam bangsa Arab mulai
mengenal dan menggeluti budaya penulisan Arab (kaligrafi).
Ibnu Jazari, Muhammad ibn Ahmad, al-Nasyir fi al-Qira‟at al-Asyr, w.
833 H. ed, Ali Muhammad al-Dlabba‟ (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-
Kubra, t.th).
Nama lengkap dari Ibnu Jazari adalah Muhammad ibn Muhammad yang
ahli dalam ilmu qira‟at dan tajwid. Dia mengatakan bahwa para pejabat saat itu
dengan sengaja tidak menggunakan tanda baca dengan alasan untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam penulisan, oleh sebab itu mereka mengandalkan
pendengaran dan merasa cukup mendengar ayat-ayat al-Quran dari Rasulullah
saw, kemudian menghafalnya.
Muhammad Abd al-„Azhim al- Zarqani, al-Manahil al-Irfani fi Ulum al-
Quran, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H).
Zarqani mendukung pendapat Ibnu Jazari. Zarqani berkata, Pada saat itu
mereka menulis kalimat-kalimat al-Quran tanpa titik dan tanda supaya tidak
terjadi kesalahan. Bacaannya menggunakan tolok ukur hafalan-hafalan dan
melalui pendengaran.
C. Israr, Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan
Masagung. 1985).
Hal yang serupa juga dinyatakan juga oleh C. Israr, dia menyatakan bahwa
pada zaman Jahiliyah budaya penulisan Arab tidak begitu berkembang karena
sebahagian penduduk Hijaz dan Badui yang masih memiliki tradisi hidup
berpindah-pindah tempat (nomaden) dan masih dominan dengan kebiasan bersyair
dan berorator. Syair-syair yang bagus dapat mengangkat derajat keluarga dan
kabilah si penyair. Hal yang mendorong budaya penulisan kaligrafi Arab sebelum
Islam adalah adanya suatu tradisi tahunan berupa perlombaan pidato dan syair
yang diadakan setiap bulan Zulqaidah. Perlombaan tersebut diikuti oleh para
penyair terkenal disetiap kabilah, syair-syair yang terbaik dijadikan pemenang dan
kemudian dituliskan dengan tinta emas di atas sehelai sutera dan digantungkan
didinding Ka‟bah, yang disebut dengan Mu‟allaqat. Disamping itu, adanya tradisi
mu‟allaqat sebagai hal yang mendorong budaya penulisan dan kebiasaan orang
17

Arab yang gemar berniaga tidak lepas dari pengaruh budaya penulisan.
Kedatangan al-Quran dapat merubah budaya bangsa Arab kuno menjadikan
bangsa Arab yang gemar menulis.
Ilham Khoiri R. Al-Quran dan Kaligrafi Arab:Peran Kitab Suci dalam
Transformasi Budaya, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999).
Teori ini juga dikuatkan oleh Ilham Khoiri, dia menyatakan bahwa
sebenarnya tradisi penulisan pra-Islam sudah ada, namun tidak begitu dominan
karena pada masa itu tradisi retorika dan folklore yang sangat berkembang
dikalangan bangsa Arab kuno. Setelah datangnya peradaban baru yaitu datangnya
Islam, bangsa Arab mulai mengenal tradisi penulisan.

H. Sistematika Penulisan
Penulis membagi sistematika penulisan karya ilmiah ini dalam beberapa
bab, sebagai berikut:
Pada Bab I, Pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, kerangka teori, dan sistematika penulisan.
Bab II, Biografi Singkat Abu al-Aswad ad-Du‟ali ini memuat: Nama dan
Nasab, Parkataan Ulama terhadap Abu al-Aswad ad-Du‟ali, dan murid-murid dari
Abu al-Aswad ad-Du‟ali di antaranya: Nashr ibn Ashim al-Laitsi, Yahya ibn
Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi, Abdurrahman ibn Hurmuz.
Bab III, Pengumpulan al-Quran ini memuat bagian: Al-Quran Masa
Rasulullah saw: Pengumpulan al-Quran dalam konteks hafalan, Pengumpulan al-
Quran dalam konteks penulisan. Pengumpulan Al-Quran pada masa Khulafaur
Rasyidin: Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (11-13 H/632-634 H), Khalifah Umar
ibn Khattab (13-23 H/634-644 M), Khalifah Utsman ibn Affan (644-656 M),
Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-41 H/656-661 M). Penulisan Mushaf Al-Quran
pada masa Bani Umayyah: Marwan ibn al-Hakam (64-65 H/683-685 M), Abu al-
Aswad ad-Du‟ali (69 H/611-688 M), Penulisan al-Quran masa Bani Abbas: Al-
Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi (170 H/786 M).
18

Bab IV Peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam ilmu nahwu dan Proses
Pemberian Titik-titik (Nuqthah) pada Huruf-Huruf Al-Qur‟an: A. Lahn dalam
memberi Titik (nuqthah) pada al-Quran. B. Upaya yang dilakukan oleh Abu al-
Aswad ad-Du‟ali dalam memperbaiki Lahn. C. Respons Masyarakat D. Nashr ibn
Ashim al-Laitsi (w. 707 M) dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (w.708 M),
E. Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi (170 H/ 786 M).
Bab V Penutup ini memuat Kesimpulan dan Saran.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
BIOGRAFI SINGKAT ABU-AL-ASWAD AD-DU’ALI

A. Nama dan Nasab Abu al-Aswad ad-Du’ali


Nama lengkapnya ialah Dzalam ibn Amru ibn Sufyan ibn Jandal ibn
Yu‟mar ibn Du‟ali.31 Abu Aswad ad-Du‟ali biasa dipanggil dengan nama kuniah
(panggilan) Abu Aswad, dikenal nama Du‟ali karena dinisbatkan kepada kabilah
Dual dari Bani Kinanah.32 Abu al-Aswad ad-Du‟ali lahir pada tahun 603 M di
Basrah dan wafat di Basrah juga 69 H.33 Abu al-Aswad ad-Du‟ali dilahirkan pada
zaman Jahiliyah yakni setahun sebelum Hijrah, dia masuk Islam di akhir masa
kenabian, namun tak sempat melihat Rasulullah saw.34
Abu al-Aswad ad-Du‟ali merupakan seorang tabi‟in, murid sekaligus
sahabat Khalifah ke empat, yaitu Ali ibn Abi Thalib. Abu Aswad adalah tokoh
penemu tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharf).35 Abu al-Aswad ad-Du‟ali
dikaruniai dua anak laki-laki yaitu Atha‟ dan Harb serta dua anak perempuan.36 Di
antara lantunan syair Abu al-Aswad ad-Du‟ali yang populer ialah:37
”Janganlah melarang sesuatu padahal kamu melakukannya,
Lebih baik kamu melakukan sesuatu yang mulia.”

31
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 376.
32
Bisa dibaca Duali atau Daili, dikutip dari Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah, h. 377.
33
Dolla Sobari, Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Aliran Basrah, Program Studi Bahasa dan
Sastra Arab Fakultas Adab dan Budaya Islam UIN Raden Fatah Palembang, h. 6.TAMADDUN,
2014-jurnal.radenfatah.ac.id. http://www. Al-Arabiyyah. Com/20015/05/ Abu al- Aswad-ad-
Du‟ali, penemu-ilmu- nahwu. html. dan https.//www. Kisahislam.net/2012/05/23/kisah-tabiin-abu-
al-aswad-ad-duali/.
34
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 377.
35
Kamil al-Baba, Alih Bahasa dan Kata Pengantar D. Sirojuddin AR. Dinamika Kaligrafi
Arab (Kepustakaan Pesantren Sukabumi LEMKA, 1989), h. 43. Moch. Syarif Hidayatullah,
Cakrawala Linguistik Arab (Tangerang Selatan: al-Kitabah, 2012), h. 21.
36
Dalam buku Al-Thahthawiy, Nasy ah al-Lughah, t.t.h. 9. Bahwa nama putri Abu al-
Aswad ad-Du‟ali disebutkan hanya menggunakan lafadz bintu, suatu peristiwa ketika putrinya
salah ucap dalam menunjukkan at- ta‟ajjub atau kekagumanya kepada bintang-bintang yang
berada di langit, hal inilah yang memotivasi Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk
mempelajari/memperdalam ilmu nahwu.
37
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 377.

20
21

Abu al-Aswad ad-Du‟ali wafat pada usia delapan puluh lima tahun, ketika
terjadi wabah pes namun adapula yang mengatakan bahwa ia wafat sebelum
terjadinya wabah pes.38
Dalam buku Muhammad Sa‟id Mursi yang berjudul Abu al-Aswad ad-
Du‟ali Fil Mizan, ada tujuh belas riwayat mengenai nasab Abu al-Aswad ad-
Du‟ali, di antaranya:39
Pertama, riwayat al-Baghdadi, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Jandal ibn Ya‟mar ibn Halas ibn Nifa‟ah ibn „Adiy ibn Bakr ibn Abdul Manah ibn
Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Naha ibn Niza.
Kedua, riwayat dari Jahizh, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Ya‟mar ibn Halas ibn Nifa‟ah ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn
Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Naha ibn Niza.
Ketiga, riwayat dari as-Sirafi, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Umar ibn Halas ibn Nifa‟ah ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Kinanah.
Keempat, riwayat dari Ibnu Sa‟ad, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan
ibn Umar ibn Halas ibn Nifa‟ah ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn
Kinanah.
Kelima, riwayat dari Ibnu Katsir, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Jandal ibn Umar ibn Halas ibn Nifa‟ah ibn Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Abdi
Manah ibn Kinanah.
Keenam, riwayat dari al-Qafthi Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn Jandal
ibn Umar ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakar ibn Kinanah ibn kinanah
Ketujuh, riwayat dari Ibnu Manshur, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan
ibn Jandal ibn Umar ibn „Adiy ibn ibn Da‟il ibn Bakr ibn Kinanah.
Kedelapan, riwayat dari Yasin, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Jandal ibn Umar ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn Mudrikah.

38
Rahmap, Aliran Basrah: Sejarah Lahir, Tokoh, dan Karakteristiknya. (Dosen tetap
Jurusan PBA Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak, at-Turats, 2014), h. 7. jurnaliainpontianak.or.id.
Dolla Sobari, Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Aliran Basrah, Program Studi Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Budaya Islam UIN Raden Fatah Palembang. TAMADDUN, 2014 -
jurnal.radenfatah.ac.id
39
Muhammad Mansur, Abu al-Aswad ad- Du‟ali fil Midzan (Iran: Maktab al-I‟lam al-
Islami, Markaz Nasir, 1376), h. 67-68.
22

Kesembilan, riwayat dari Wazir al-Bakri, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn
Sufyan ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn Kinanah ibn Khuzaimah.
Kesepuluh, riwayat dari Ibnu Juzdi, yaitu, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn
Sufyan ibn kinanah.
Kesebelas, riwayat at-Thusi, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Sufyan ibn
Yu‟mar.
Keduabelas, riwayat Qufthi, yaitu Dzalam ibn Amru ibn Sufyan ibn Bakr
ibn Da‟il ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah.
Ketigabelas, riwayat dari al-Abdi, yaitu Dzhalam ibn Zhalim.
Keempatbelas, riwayat dari al-Kasy, yaitu Dzhalam ibn Sariq.
Kelimabelas, riwayat dari al-Kasy, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Halas ibn
ibn „Adiy ibn Da‟il ibn Bakr ibn Khuzaimah ibn Mudrikah
Keenambelas, riwayat dari al-Kasy, yaitu Dzhalam ibn Amru ibn Halas
Ketujuhbelas, riwayat dari al-Kasy, yaitu Sariq ibn Dzhalam.
Abu al-Aswad ad-Du‟ali pernah menjabat sebagai hakim di Basrah pada
masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (13- 23 H/634-644 M). Imam
Jahizh berkata: “Dia seorang hakim yang adil, bijaksana dan berakhlak mulia.”
Meriwayatkan hadits dari Umar, Ibnu Abbas, Abi Dzar, Lalu meriwayatkan
darinya Ibnu Buraidah, Akhnas, Saad Rabiyah, Ibnu Harmaz, Nasir bin Ashim,
Maimun Akran, Ibnu Raqisy dan lainnya.40
Abu al-Aswad ad-Du‟ali diangkat sebagai gubernur di Basrah oleh Ali ibn
Abi Thalib (35-41 H/656-661M). Abu al-Aswad ad-Du‟ali pernah ikut dalam
peperangan Jamal (Jumadil Akhir, tahun 36 H, berlangsung selama tujuh bulan,
dalam rentang waktu itu terjadi 90 kali kontak senjata, diantara korban terbunuh
dari tentara Ali ibn Abi Thalib adalah Ammar ibn Yasir r.a, seorang sahabat
terkemuka),41 perang Siffin (10 Shafar 37 H tanda-tanda kemenangan berada
dipihak Ali ibn Abi Thalib, namun pertempuran dihentikan setelah kedua kubu
sepakat melakukan genjatan senjata. Hal itu terjadi pada hari Rabu, 13 hari

40
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 377.
41
Ibrahim al-Qiraibi, Tarikh Khulafa‟/Asy Syifa Fi Tarikh al-Khulafa‟, Penj. Haris
Khairul Anam (Jakarta: Qisthi Press, 2009), h. 831.
23

sebelum bulan Shafar berakhir, tahun 37 H). Mereka sepakat mengirimkan


mediator untuk bertemu di Daumatul Jandal pada bulan Ramdhan, kedua pasukan
pun kembali ke wilayah masing-masing)42 bersama Khalifah Ali ibn Abi Thalib
dan termasuk sebagai juru runding dalam perang Jamal Sebelum Abu al-Aswad
ad-Du‟ali menggeluti ilmu nahwu, Abu al-Aswad ad-Du‟ali memang banyak
berkiprah di dunia perpolitikan.43 Abu al-Aswad ad-Du‟ali juga pernah diutus oleh
sahabat Rasulullah saw, yaitu Abdullah ibn Abbas sebagai panglima perang untuk
44
memerangi kaum Khawarij (Khawarijlah yang mendorong Ali ibn Abi Thalib
untuk menerima ajakan arbitrase (tahkim) terlebih dahulu. Ali ibn Abi Thalib
mengutus Abdullah ibn Abbas r.a sebagai mediator (hakim). Namun, Khawarij
tidak setuju dengan alasan bahwa Ibnu Abbas adalah orang terdekat Ali ibn Abi
Thalib. Khawarij pun mendesak Ali ibn Abi Thalib untuk mengutus Abu Musa
Asy‟ari untuk memutuskan sengketa berdasarkan pada Kitab Allah. Namun, yang
terjadi tidak sesuai dengan keinginan Khawarij, inilah penyebab mereka keluar
dari barisan Ali ibn Abi Thalib dan berkata: “Ali ibn Abi Thalib menyerahkan
keputusan hukum pada manusia? Tak ada hukum kecuali hukum Allah.”
Akhirnya, Khawarij bermarkas di Naharawan, yang terdiri dari beberapa
kelompok/sekte dan sepakat untuk tidak mengakui kekhalifahan Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib).45
Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah orang yang pertama mengumpulkan
mushaf dan peletak kaidah-kaidah nahwu, atas rekomendasi Ali ibn Abi Thalib.
Sasaran pertama Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah mengumpulkan mushaf-mushaf
al-Quran, karena di sinilah letak kekhawatiran salah baca, Abu al-Aswad ad-
Du‟ali jugalah orang yang pertama kali merumuskan tanda-tanda baca atau
rumus-rumus pembeda (diacritical marks), yang berupa titik-titik pada tulisan al-
Quran dengan menggunakan tinta (berwarna merah) yang berbeda dengan tulisan

42
Ibrahim al-Qiraibi, Tarikh Khulafa‟/Asy Syifa Fi Tarikh al-Khulafa,‟ Penj. Haris Khairul
Anam, h. 831.
43
http://www. al-Arabiyyah. Com/20015/05/ Abu al- Aswad-ad-Du‟ali, penemu-ilmu-
nahwu. html.
44
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 377.
45
Ibrahim al-Qiraibi, Tarikh Khulafa‟/Asy Syifa Fi Tarikh al-Khulafa‟, Penj. Haris
Khairul Anam, h. 839.
24

pokok mushaf al-Quran (umumnya berwarna hitam) yang terjadi pada permulaan
Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Mu‟awiyah ibn Abu Sufyan (40- 60 H),
Ziyad ibn Abihi, seorang gubernur Basrah (55 H) telah memerintahkan kepada
Abu al Aswad ad-Du‟ali untuk menciptakan syakal-syakal guna membuktikan
adanya huruf hidup namun syakal-syakal atau harakat tersebut masih berbentuk
titik-titik.46 Usaha yang dirintis oleh Abu al-Aswad ini akhirnya disempurnakan
oleh kedua muridnya diakhir kurun pertama Hijriyah, yaitu Nashr ibn Ashim al-
Laitsi (707 M), dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (708 M) atas perintah
47
al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi seorang gubernur bawahan dari Irak (694-714
M) terjadi pada masa Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Malik ibn Marwan
(65-86 H/685-705 M),48 penyempurnaan terakhir terjadi pada masa permulaan
Bani Abbas oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi (170 H/786 M).49
Dalam riwayat al-Zubaidi,50 “Dijelaskan bahwa Abu al-Aswad ad-Du‟ali
dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi, Abdurrahman ibn Hurmuz telah menyusun materi
nahwu dalam beberapa bab yaitu: Awamil al-Rafa, al-Nashb, al-Khafad, al-Jazm,
bab al-Fa‟il, maful bihi,at-Taajjub dan al-Mudhaf.51 Nashr ibn Ashim al-Laitsi
menambahkan penyusunan ilmu nahwu yaitu: ar-Rafa‟, an-Nashb, al-Jar at-
Tanwin, dan al-I‟rab."52
Adapun peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam ilmu nahwu yaitu ketika
Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, maka terjadilah
pernikahan orang Arab dan orang Ajam, serta terjadi perdagangan, dan
pendidikan, mejadikan bahasa Arab bercampur-baur dengan bahasa Ajam, orang
yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga
keindahan bahasa Arab menjadi hilang. Kondisi inilah yang mendorong adanya

46
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 65.
47
Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi adalah seorang gubernur bawahan Abdul Malik ibn
Marwan (694-714 M). Didin Sirajuddin AR, Diktat Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 66.
48
D.Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, h. 66.
49
D. Sirojuddin, Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: Panjimas, 1987), h. 68.
50
Al-Zubaidi, pengarang kitab Thabaqat al-Nahwiyyin wa al-Lughawiyah (Mesir, Dar al-
Ma‟arifat). Dikisahkan bahwa al-Zubaidi adalah seorang tokoh ilmu nahwu yang gigih. Diakses
dari https: //muslim .or.id>18868. Meneladani semangat para ulama dalam menuntut ilmu.
51
Syauqi Dhaif, al-Madaris an-Nahwuiya (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1968), h. 16.
52
Abdul Hadi al-Fadli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwuiyah (Urdun: Maktabah al-Manar,
1986), h. 27.
25

pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dalam mengharakati bahasa Arab,


sehingga muncullah ilmu yang pertama kalinya berfungsi untuk menyelamatkan
bahasa Arab dari kerusakan. Para ulama memikirkan perhatian terhadap al-Quran
telah mendorong mereka untuk merumuskan pengetahuan yang tekait dengan,
ilmu bacaannya (ilmu qira‟at), termasuk ilmu nahwu.
Nahwu lahir dan berkembang di Basrah, kemudian meluas di Kufah,
Baghdad, Mesir, dan Andalusia yang kemudian kota-kota ini menjadi pusat
mushaf-mushaf nahwu yang dikenal sampai saat ini. Mushaf-mushaf nahwu yang
telah disebutkan, mushaf Basrah dan Kufah yang lebih dominan dan bersaing
sehingga melahirkan teori-teori dan metodenya sendiri-sendiri.53
Ada dua faktor yang menjadi sebab utama lahir dan berkembangnya ilmu
nahwu, yaitu: Faktor sosial masyarakat dan faktor peradaban.54 Pertama, Faktor
sosial masyarakat di sini adalah adanya kesalahan berbahasa yang timbul dari
sebagian masyarakat, baik dari sisi pengucapan maupun penulisan.
Seiring dengan meluasnya wilayah Islam semakin banyak pula
percampuran orang Arab Asli dan orang Ajam, mereka menggunakan bahasa Arab
dalam percakapan mereka, dan dari sinilah mulai terlihat penyimpangan dalam
bahasa Arab. Kondisi tersebut sangat mengganggu dan menimbulkan banyak
kekhawatiran di antara para pemikir Arab, sehingga para ulama berusaha
menemukan solusi dari masalah yang jika dibiarkan akan mempengerahi
kelestarian bahasa Arab itu sendiri. Ali ibn Abi Thalib salah satu orang yang
paling bertanggung jawab pada hal tersebut, karena dia adalah seorang Khalifah
saat itu. Ali ibn Abi Thalib adalah orang yang pertama kali memikirkan cara
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Terlebih lagi dia adalah orang yang sangat
mengerti tentang Fashahah dan balaghah, akan tetapi karena dia sedang
disibukkan dengan urusan peperangan yang terjadi dalam negeri yang tak bisa
ditingggalkan, maka Khalifah Ali ibn Abi Thalib memilih salah satu dari
muridnya, yaitu Abu al-Aswad ad-Du‟ali.55 Kedua, Faktor Peradaban yaitu

53
Muhammad al-Thahthawiy, Adabiyya: Jurnal Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: Fakultas
Adab UIN Sunan Kalijaga . 2009),h. 50.
54
Muhammad Hadi al- Fadli, Marakiz ad-Dirasat an-Nahwiyah, h. 5
55
Abdul Hadi Fadli, Marakiz ad-Dirasat an-Nabwiyah, h. 7.
26

dikarenakan masa di saat agama Islam masuk dalam dunia Arab. Sejarah
perkembangan ilmu nahwu, sejak dimulai dan dirumuskannya dasar-dasar ilmu
nahwu pada pertengahan abad ke-1 H oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali, ilmu nahwu
telah banyak mengalami perkembangan dan kemajuan pada masa Bani
Abbasiyah, yaitu pertengahan pada abad ke-2 H di Basrah. Kota ini merupakan
center of knowledge and civilization bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya bagi ilmu nahwu. Nama dalam ilmu nahwu terklasifikasikan menjadi
dua arus kelompok besar yaitu, nahwu Basrah yang domotori oleh imam
Sibawaih dan nahwu Kufah yang dimotori oleh Imam Kisa‟i.
Ada beberapa pendapat mengenai sejarah penulisan ilmu nahwu,
diantaranya, yaitu:
1. Ibnu Qutaibah (276 H), ia mengatakan, “Bahwa Abu al-Aswad ad-
Du‟ali adalah orang yang pertama kali menulis kitab tentang ilmu
nahwu setelah Ali ibn Abi Thalib.”56
2. Al-Muzarbani (384 H), ia mengatakan, “Bahwa Abu al-Aswad ad-
Du‟ali berkata: Suatu hari ketika aku pergi menghadap Ali ibn Abi
Thalib, aku melihatnya sedang berpikir keras, kemudian aku
bertanya: Apa yang sedang anda pikirkan wahai Amirul mukminin?
Ali ibn Abi Thalib menjawab, aku telah mendengar begitu banyak
kesalahan bahasa dari orang-orang disekitarku, dan aku benar-
benar ingin menyusun sebuah kitab tentang kalam orang-orang
Arab. Abu al-Aswad ad-Du‟ali berkata: jika anda benar-benar
melakukan hal itu, niscaya anda telah menghidupkan sebuah kaum
dan menjadikan bahasa Arab abadi dalam diri Umat.

Setelah itu, Ali ibn Abi Thalib memberikanku sebuah lembaran yang
bertuliskan:
1. ًُ ‫ فِؼ‬َٚ ٌُ ‫ اٌَ َى ََل َُ ُوٍُُّٗ اِع‬: Perkataan itu mencakup ism, fi‟il dan hurf.

56
Abdul Hadi Fadli, Marakiz ad-Dirasat an-Nabwiyah, h. 9.
27

‫ فَا ال ِءع ُُ َِا َد َّي ػ ًََ اٌ ُّ َغ َّّى‬: Ism adalah suatu yang menunjukkan kepada yang
nomina.
َ ‫اٌِفؼ ًُ َِا َد َّي َػٍَى‬َٚ : Fi‟il adalah sesuatu yang menunjukkan
2. ‫اٌح َش َو ِة‬
perbuatan.
3. ًٍ ‫ فِؼ‬َٚ ُ‫ع‬ َ ٌَ ‫شف َِا َجا َء ٌِ َّؼَٕى‬
ٍ ‫ٍظ تِا‬ ُ ‫اٌح‬
َ َٚ : Hurf adalah sesuatu yang memiliki
arti namun bukan termasuk ism dan fi‟il.

Setelah itu, Aku (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) meminta izin kepada Khalifah
Ali ibn Abi Thalib untuk menulis sesuatu seperti apa yang Ali ibn Abi Thalib
tulis, dan Ali ibn Abi Thalib mengizinkannya. Khalifah Ali ibn Abi Thalib
memberikan banyak masukan, baik itu tambahan maupun pengurangan. Hal inilah
yang akhirnya menjadi dasar-dasar ilmu nahwu..57
Sebelum manghadap kepada Khalifah Ali ibn Abi Thalib, Abu al-Aswad
ad-Du‟ali pernah menyaksikan sendiri kesalahan-kesalahan (Lahn) dalam
pengucapan bahasa Arab, diantaranya adalah Suatu kisah yang dinukil dari Abu
al-Aswad ad-Du‟ali sendiri, bahwasanya ketika sedang berjalan-jalan dengan
putrinya pada malam hari, lalu sang anak menghadapkan wajahnya ke langit dan
menyaksikan betapa indahnya benda-benda yang dilihatnya berupa bintang-
bintang. Kemudian sang anak mengungkapkan perasaan kagumnya dengan
َّ ٌ‫( َِا أَحْ َغٓ ا‬apakah yang paling indah dilangit?) tanpa menyadari
perkataan, ‫غ َّا ِء‬
bahwa dengan meng-kasrahkan huruf Hamzah berarti menunjukkan kalimat tanya,
sehingga Abu al-Aswad ad-Du‟ali berkata kepada putrinya dengan jawaban,

‫َا ٌَا تٍٕة‬ُِٙ ُْٛ‫( ُٔج‬bintang-bintangnya, anakku). Sang anaknya menyanggah dengan
mengatakan ‫ج‬ َ ُ ‫( أَِّ َّا‬Saya hanya ingin mengungkapkan kekaguman). Abu al-
ّ ‫اس ْدجااٌحَّ َؼ‬

57
Abdul Hadi Fadli, Marakiz ad-Dirasat an-Nabwiyah, h. 12. Masih banyak lagi riwayat-
riwayat yang menceritakan tentang hal ini, seperti al-Mubrit 9285 H), as-Sujjaji (337 H), Abu
Thayyib al-Lughawi (351 H) Abu al-Barraj al-Ashbihani (356 H), as-Sirafi (378 H), az-Zubaidi
(379 H), Hayan at-Tauhidi (380 H), Ibnu nadhim (385 H), al-Raghib al-Ashfahani (502 H),al-
Khathib at-Tibrizi (502 H), Ibnu al-Anbari (577 H), al-Fakhru al-Razi (616 H), Yaqut al-Hamawi
(626 H), al-Qafathi (645 H), al-Yafi‟I (768 H), Ibnu Katsir (774 H), Ibnu Khaldun (808 H), al-
Qaqasynady (821 H), Ibnu al-Jazari (833 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), as-Suyuti (911
H),al-Baghdadi (1093 H), Abdul Hadi al-Fadli (1996: 10-16).
28

Aswad ad-Du‟ali mengatakan kepada anaknya, kalau begitu ucapkanlah َٓ‫غ‬


َ ‫َِا اح‬
‫( اٌغّا َء‬Betapa indahnya langit).58
Pada pagi hari, Abu al-Aswad ad-Du‟ali menghadap Khalifah Ali ibn Abi
Thalib (35-41/656-661 M) dan Abu al-Aswad ad-Du‟ali melaporkan kepada
Khalifah Ali ibn Abi Thalib tentang percakapannya dengan putrinya, intinya
sesuatu yang tidak dipahaminya, maka Ali ibn Abi Thalib berkata “Ini adalah
akibat bercampurnya bahasa Ajam (non-Arab) dan bahasa Arab.” Khalifah Ali
ibn Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk membuat aturan
bahasa Arab. Abu al-Aswad ad-Du‟ali lalu membeli sehelai kertas dan setelah
beberapa hari Abu al-Aswad ad-Du‟ali menulis di atasnya pembagian kalimat
yang terdiri dari tiga bagian: ism, fi‟il, dan hurf serta ditambah ta‟ajjub kemudian
tulisan itu disodorkannya kepada Ali ibn Abi Thalib, lalu Ali ibn Abi Thalib
berkata “Inha nahwa haadza (buatkan contoh seperti ini) karena itulah ilmu ini
dinamakan dengan Ilmu Nahwu.59

B. Perkataan Ulama terhadap Abu al-Aswad ad-Du’ali


Adapun perkataan para Ulama terhadap Abu al-Aswad ad-Du‟ali di
antaranya:
Abul Hasan Ahmad al-Ijli60 berkata: “Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah
orang yang tsiqah (terpercaya), dan orang yang pertama kali berbicara tentang
ilmu nahwu.”
Al-Waqidi61 berkata: “Abu al-Aswad ad-Du‟ali masuk Islam pada masa
Rasulullah saw masih hidup.”

58
Muhammad al-Thahthawiy, Nasyatu an-Nahwu wa Tarikh Asyhuria an-Nuhah (Mesir:
al-Azhar, 1969 h. 9
59
Muhammad al-Thahthawiy, Nasyatu an-nahwu wa Tarikh Asyhuria an-Nuhah, h. 9.
60
Nama lengkap dari al-Ijli ialah Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih Abu Hasan al- Ijli, lebih
dikenal dengan Ahmad al-Ijli, Karya: Tarikh ats-Tsiqah. Abdul Mu‟thi Qal‟ah li (ed,). Beirut Dar
al Kutub al- Ilmiyyah. 1405. ( Dikutip dari buku daftar putaka Ahmad Mahdi, Biografi Rasulullah
saw: Sebuah Studi Analitis berdasarkan sumber-sumber yang otentik dengan judul asli as-Sirah
an-Nabawiyyah fi Dhau‟i al-Mashadir al-Ashliyyah: Dirasah Taliliyyah. Penerjemah Yessi HM
Basyaruddin (Jakarta: Qisthi Press, 2005).
61
Nama lengkap dari al-Waqidi ialah Muhammad ibn Umar ibn al-Waqidi Abu Abdullah
al-Waqidi al-Madaini, al-Waqidi lahir di Madinah, pada tahun 130 H dan wafat di Baghdad pada
tahun 207 H/823 M. Di ambil dari sumber Ahmad Mahdi, Biografi Rasulullah saw: Sebuah Studi
29

Al-Jahizh62 berkata: “Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah pemuka dalam


tingkat sosial manusia, dia termasuk kalangan ilmu fiqh, penyair, ahli hadits,
orang mulia, ksatria berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, pendukung
Ali ibn Abi Thalib.”

C. Sekilas Tentang Profil Murid-murid Abu al-Aswad ad-Du’ali sebagai


berikut:
1. Nashr ibn Ashim al-Laitsi (707 H)
Nama lengkap dari Nashr ibn Ashim al-Laitsi ialah Nashr ibn
Ashim ibn Umar ibn Khalid ibn Hazm ibn As‟ad ibn Wadi‟ah ibn Malik
ibn Qais ibn Amir ibn Laits ibn Bakr ibn Abdi Manah ibn Ali ibn
Kinanah. Hal keturunan atau nasab Nashr ibn Ashim al-Laitsi bertemu
dengan Abu al-Aswad ad-Du‟ali dari Bakr ibn Abdi Manah. Nashr ibn
Ashim al-Laitsi adalah seorang yang faqih dan berpengetahuan di bidang
bahasa Arab, termasuk dari tabi‟in, dia juga termasuk ahli Qari yang
fasih, dalam hal al-Quran dan ilmu nahwu ia menyandarkan pada Abu al-
Aswad ad-Du‟ali. Nashr ibn Ashim al-Laitsi belajar nahwu juga dari
Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi. Nasr ibn Ashim al-Laitsi wafat
pada tahun 89 H/708 M.
Karakteristik periode ini ialah: Pertama, tergabung dalam profesi
ahli Qari dan ahli Hadits. Kedua, memiliki perhatian pada realitas Lahn
dalam kalam Arab dan al-Quran. Ketiga, ada kesepakatan dalam
memberi titik mushaf dengan titik I‟rab. Keempat, terdapat tambahan

Analitis berdasarkan sumber Riyad sumber yang otentik. dengan judul asli as-Sirah an-
Nabawiyyah fi Dhau‟I al-Mashadir al-Ashliyyah: Dirasah Ta‟liliyyah. Penj Yessi HM
Basyaruddin (Jakarta: Qisthi Press, 2005), h.33-34. Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I. h. 85-87.
62
Nama lengkap dari al-Jahizh ialah Abu Utsman Amr ibn Bahar al-Kinani Fuqaimi al-
Bashri, lahir, dibesarkan dan wafat di Basrah (164-255 H/ 780-868 M), al-Jahizh berasal dari
keluarga mawali Bani Kinanah, keturunan dari Abyssinia. (diakses dari AQL Islamic Center, al-
Jahizh (164-255 H/780-868 M) published 25 Juli 2015). Al-Jahizh seorang penulis terkenal pada
abad ke-II H tentang prosa kesusastraan, teologi, retorika, filologi dan bidang/social Critism, di
antara karyanya: Kitabul Bayan wal Tabyeen, al-Hayawan. https:www.reseach
chagate.net/profile/Muhammad Yunus Anis/publication Journal CMES Volume. I no. 2 ed Juli-
Desember2013/319553188-Humor-dan-Komedi-dalam-Sebuah-Kilas-Balik-Sejarah-Sastra-
Arab.pdf
30

atas penyusunan ilmu nahwu yaitu: ar-Rafa‟, an-Nashb, al-Jar at-


Tanwin, dan al-I‟rab. Kelima, belum terdapat peninggalan karya
tersendiri berupa tulisan.63

2. Yahya ibn Ya’mur al-Udwan al-Laitsi (708 H)


Nama lengkap dari Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi yaitu,
Abu Sulaiman ibn Yahya ibn Ya‟mur ibn Wasyqah ibn Auf ibn Bakr ibn
Yaskur ibn Udwan ibn Qais ibn Ilan ibn Mudhar. Yahya ibn Ya‟mur al-
Udwan al-Laitsi berasal dari golongan Bani Laits, dia juga belajar ilmu
nahwu dari Abu al-Aswad ad-Du‟ali tentang memberi titik mushaf pada
titik I‟rab. Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi wafat pada tahun 129
H/747 M.64

3. Abdurrahman ibn Hurmuz (117 H)


Nama lengkap dari Abdurrahman ibn Hurmuz ialah Abu Dawud
Abbdurrahman ibn Hurmuz ibn Abi Sa‟ad al-Madini al-„Araj, wafat pada
tahun 117 H/735 M, dia seorang hamba ibnu Rabi‟ah ibn al-Harits ibn
Abdul Muthalib. Ada beberapa pujian ulama hadits tentang
Abdurrahnman ibn Hurmuz yaitu: Abdullah ibn al-Hai‟ah, Abdullah ibn
Bahinah, Abu Hurairah dan Abdurrahman ibn Abdul Qari.
Karakteristik periode Abdurrahman ibn Hurmuz: Pertama,
tergabung dalam profesi Qari. Para Ulama Basrah secara menyeluruh
sebagai Qari al-Quran dan juga sebagai perawi hadits. Kedua, memberi
perhatian khusus terhadap (Lahn) dalam kalam Arab, dan dalam al-Quran
dan menentang atau menegur fenomena apabila saat itu (Bani Umayyah)
ada orang yang salah baca dalam kitab suci al-Quran, sebab itu jugalah
dia setuju mushaf-mushaf al-Quran diberi titik dengan I‟rab. Ketiga,
awal penyusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Ali ibn Abi Thalib

63
Ada beberapa literatur yang membahas tokoh-tokoh ilmu nahwu, baik aliran Basrah
maupun Kufah antara lain, baca Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar baru Van
Houve, 1994), Jilid IV, Cet. III, h. 2.
64
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar baru Van Houve, 1994), Jilid IV, Cet. III, h. 2.
31

yang diawali oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali dan diikuti oleh murid-
muridnya termasuk dirinya sendiri. Keempat, tidak terdapat peninggalan
berupa tulisan atau karya sendiri tentang generasi ini.65
Demikian biografi singkat Abu al-Aswad ad-Du‟ali dan murid-muridnya,
pada bab berikutnya akan dibahas tentang sejarah fase pengumpulan al-Quran
mulai dari zaman Rasulullah sampai pada masa Bani Abbas.

65
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar baru Van Houve, 1994), Jilid IV, Cet. III, h. 2.
BAB III
PENGUMPULAN AL-QURAN

A. Al-Quran Masa Rasulullah saw


Para Ulama mendifinisikan pengumpulan al-Quran (Jam‟ul Quran) terdiri
dari dua pengertian sebagai berikut:66
Pertama, Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati)
huffazhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkannya di
dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah SWT kepada
Rasulullah saw, dimana Rasulullah saw senantiasa menggerak-gerakkan kedua
bibir dan lidahnya untuk membaca al-Quran ketika al-Quran itu turun kepada
Rasulullah sebelum Jibril selesai membacakannya.

             

        


Artinya: “Janganlah engkau (hai Muhammad) karena hendak
cepat membaca al-Quran yang diturunkan kepadamu menggerakkan
lidahmu membacanya (sebelum selesai dibacakan kepadamu).
Sesungguhnya Kamilah yang berkuasa mengumpulkan al-Quran itu
(dalam dadamu) dan menetapkan bacaannya (pada lidahmu) oleh karena
itu, apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan
perantara malaikat Jibril) maka bacalah menurut bacaannya itu.
Kemudian, sesungguhnya kepada Kamilah terserah urusan menjelaskan
kandungannya (yang memerlukan penjelasan.” (Al-Qiyamah:16-19).

Ibnu Abbas67 meriwayatkan, “Bahwa Rasulullah saw ingin segera


menguasai al-Quran yang diturunkan. Rasulullah saw

66
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 150.
67
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib al-Qurasyi al-
Hasyimi, biasa dipanggil Abu Abbas dan digelari Habr al-Ummah (ulama umat), dan Tarjuman
al-Quran (pakar tafsir al-Quran). Ibnu Abbas lahir di Asy-Sya‟ab tahun ke-3 sebelum hijrah
bertepatan dengan pengepungaan orang-orang kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin. Rasulullah
saw pernah mendo‟akan Ibnu Abbas: Ya Allah, anugerahilah ia pemahaman yang mendalam
terhadap ajaran agama dan ajarilah ia ilmu takwil (tafsir al-Quran). Pada saat Rasulullah saw
meninggal, Ibnu Abbas masih berusia 13 tahun. Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi,

32
33

menggerakkan kedua lidah dan bibirnya karena takut ayat yang


turun itu akan terlewatkan. Setelah ayat di atas turun, Rasulullah
diam apabila Jibril datang. Redaksi yang berbeda, Rasulullah saw
mendengarkan sesudah Jibril pergi, barulah Rasulullah saw
membacanya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.
(HR. Bukhari, Muslim dan yang lain dari Ibnu Abbas).68
Kedua, Pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi (penulisan al-Quran
semuanya), baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, dan
menertibkan ayat-ayatnya dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang
terpisah, serta menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran
yang terkumpul untuk menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah
sebagian yang lain.69
1. Pengumpulan al-Quran dalam Konteks Hafalan pada Masa
Rasulullah saw
Ayat-ayat yang hanya dihafal dalam dada, orang yang mula-mula
hafal dan pandai membacanya hanyalah Rasulullah saw. Rasulullah saw
senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memahaminya. Al-Quran diturunkan selama dua puluh
tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan
terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun,
dihafal dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara
qodrati memang mempunyai daya hafal yang sangat kuat. Bangsa Arab
pada umumnya buta huruf, sehingga dalam penulisan syair-syair dan
silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.70

Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan,
h. 112-115.
68
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 151.
69
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
151.
70
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
152.
34

Dalam kitab shahih Bukhari,71 telah mengemukakan


tentang tujuh penghafal al-Quran dengan tiga riwayat
diantaranya: “Abdullah ibn Mas‟ud, Salim ibn Ma‟qil
Maula Abi Khuzaifah, Muadz ibn Jabal, Ubay ibn Ka‟ab,
Zaid ibn Tsabit, Abu Zaid ibn Sakan, dan Abu ad-
Darda‟.”72
Pertama, diriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn al-
Ash,73 ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda, “Ambillah al-Quran dari empat orang
sahabatku yaitu dari Muhajirin Abdullah ibn Mas‟ud,
Salim ibn Ma‟qil Maula Abi Khuzaifah, dari Anshar
Muadz ibn Jabal dan Ubay ibn Ka‟ab.” (HR. Bukhari).74
Kedua, diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata: “Aku
bertanya kepada Anas ibn Malik, Siapakah orang yang
mengumpulkan al-Quran di masa Rasulullah saw? Anas
ibn Malik menjawab, “Empat orang. Semuanya dari kaum
Anshar yaitu, Ubay ibn Ka‟ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn
Said dan Abu Zaid, Aku bertanya lagi, Abu Zaid itu siapa?

71
Nama lengkapnya Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim Mughirah ibn Bardizbah, biasa
dipanggil Abu Abdullah, terkenal dengan sebutan Bukhari karena dinisbatkan kepada negaranya
Bukhara, lahir pada tahun 194 H di Bukhara Kurasan wafat kurang lebih pada usia 62 tahun di
Khartank Samarkand tahun 256 H, dia orang yang pertama menyusun hadist nabawi dengan
metode yang ia pakai, mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadist dengan perawi tsiqat yang
ditulis dalam kitab Shahih Bukhari selama enam belas tahun. Kitab haditsnya paling tsiqat dari
Kutub as-Sittah. Karya-karyanya: al-Jami‟ as-Shahih, at-Tarikh Kabir, al-Adab al-Mufrad,
Khalqu af‟ali al-Abad.Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi, Penerjemah Khoirul Amru
Harahap dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, h. 351-352.
72
Manna‟al-Qaththan, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran ,
h. 152.
73
Nama lengkapnya Abdullah ibn Amr ibn Ash ibn al-Wail al-Qurasyi, lahir 7 sebelum
hijrah dan meninggal di Syam 65 H dalam usia 72 tahun. Abdullah ibn Amr meriwayatkan 700
hadist dari Rasulullah saw. Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi, Penerjemah Khoirul
Amru Harahap dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, h. 129.
74
Dikutip dari buku Manna‟al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 152.
35

Salah seorang pamanku, jawab Anas ibn Malik.” (HR.


Bukhari).75
Ketiga, diriwayatkan melalui Zaid ibn Tsabit,76 Anas ibn
Malik berkata, “Rasulullah saw wafat sedangkan al-
Quran belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu
Darda, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit dan Abu Zaid.
(HR. Bukhari).77
Penyebutan para penghafal yang berjumlah tujuh atau delapan
orang di atas tidak berarti pembatasan, maksudnya mereka itulah yang
hafal seluruh isi al-Quran di luar kepala, selalu merujukkan hafalannya di
hadapan Rasulullah saw sedangkan para penghafal al-Quran lainnya yang
berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut.78
Para sahabat berlomba menghafalkan al-Quran dan mereka
memerintahkan anak-anak dan istri mereka untuk menghafalkannya.
Mereka membacanya dalam shalat di tengah malam. Suatu kisah
Rasulullah saw sering melewati rumah-rumah orang Anshar, lalu
berhenti untuk mendengarkan suara alunan mereka yang sedang
membaca al-Quran.
Menurut Abu Musa al-Asy‟ari,79 bahwasanya Rasulullah saw
berkata kepadanya:

75
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 152.
76
Nama lengkapnya adalah Zaid ibn Tsabit ibn Dhahk al-Anshari al Khazraji, biasa
dipanggil Abu Kharijah dan digelari Jami‟ al-Quran al-Karim (penghimpun/penghafal al-Quran),
dia adalah sosok sahabat yang menjadi pemuka ulama di Madinah dalam bidang fiqh, fatwa dan
ilmu Faraidh (waris). Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 119-120.
77
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 152.
78
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni,
h. 153.
79
Nama lengkapnya Abdullah ibn Qais ibn Sulaim ibn Hadhdhar ibn Harb, dipanggil Abu
Musa, dia berasal dari keturnan Bani al-Asy‟ar dari Qhathan, lahir di Zubaid, Yaman, tahun ke-2
sebelum hijrah dan wafat di Kufah 44 H. Rasulullah saw pernah berkata: Abu Musa telah diberi
karunia suara sebagus suara keluarga Nabi Daud. Setiap kali Umar ibn Khattab melihat Abu
Musa, ia selalu memanggilnya untuk membacakan al-Quran di hadapannya dan mengatakan,
Buatlah aku rindu kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa. Abu musa meriwayatkan 355 hadits dari
36

‫جٍث ِضِا سآِ ِضا ٍِشاي‬ٚ‫أٔا أعحّغ ٌمشاءجه اٌثا سحة ٌمذ أ‬ٚ ًٕ‫سأٌح‬ٌٛ
.‫د‬ٚ ‫دا‬
Artinya: “Seandainya engkau melihatku tadi malam, diwaktu aku
mendengarkan engkau membaca al-Quran? sungguh engkau telah diberi
satu seruling dari seruling Nabi Daud.”80

Diriwayatkan Abdullah ibn Amr, ia berkata, “Aku telah


menghafal al-Quran dan aku mengkhatamkannya pada
setiap malam. Hal ini sampai kepada Rasulullah saw, maka
Rasulullah saw bersabda, Khatamkanlah dalam masa satu
bulan saja.” (HR. An-Nasa‟i dengan isnad yang shahih).”81
Abu Asyi‟ari berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara
keluarga besar Asy‟ari diwaktu malam ketika mereka
berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka
dan suara bacaan al-Qurannya diwaktu malam, sekalipun
aku belum pernah melihat mereka masuk di rumah itu
waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim).“82
Menurut Ibnu Jazari,83 “Para penghafal al-Quran di masa
Rasulullah saw sangat banyak jumlahnya yang hanya
berpegang pada hafalan.”

Rasulullah saw. Selengkapnya lihat buku Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 117-119.
80
HR. Bukhari. Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, Abu Musa Asy‟ari menjawab:
Demi Allah, wahai Rasulullah saw, seandainya aku tahu engkau mendengarkan bacaanku, tentu
akan aku alunkan lebih bagus lagi untukmu.
81
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 153.
82
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 154.
83
Nama lengkap Muhammad ibn Muhammad, terkenal dengan nama Ibnu Jazari, penulis
kitab An-Nasyir fi al-Qira‟at al-Asyr, w. 833 H. Dikutip dari Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu
Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h. 154.
37

2. Pengumpulan Al-Quran dalam Konteks Penulisannya pada Masa


Rasulullah saw
Penulisan al-Quran pada masa Rasulullah saw sudah dikenal
secara umum. Rasulullah saw mengangkat para penulis wahyu al-Quran
dari sahabat-sahabat terkemuka, antara lain: Abu Bakar as-Siddiq, Umar
ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi
Sufyan , Khalid ibn Walid, Ubay ibn Ka‟ab dan Zaid ibn Tsabit, Tsabit
ibn Qais, Amir ibn Fuhairah, Amr ibn Ash, Abu Musa Asyi‟ari dan Abu
Darda.84
Al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zaid
ibn Tsabit: “Kami biasa menyusun al-Quran dari catatan-
catatan kecil dengan disaksikan Rasulullah saw.”85
Diriwayatkan oleh ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan,
“Apabila diturunkan kepada Rasulullah saw suatu wahyu,
Rasulullah saw memanggil sekretaris untuk menuliskannya,
kemudian Rasulullah saw bersabda: Letakkanlah ayat ini
dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.86
Sebagian sahabat juga menulis al-Quran atas inisiatif sendiri pada
pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu,
pelana, dan potongan tulang belulang binatang.87 Zaid ibn Tsabit
berkata,
“Kami menyusun al-Quran di hadapan Rasulullah pada
kulit binatang.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak

84
M. Quraish Shihab, et al. Sejarah dan Ulumul Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 28.
85
Jalaluddin al- Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Muassasah al-Kutub as-
Saqafiyah Dar al-Fikr, 1979), h. 59.
86
Tirmidzi, Sunan ,Kitab al-Tafsir, bab surah 9. Dikutip dari buku Taufik Adnan Kamal,
Kata pengantar M. Quraish Shihab, Rekontruksi Sejarah al-Quran (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005), h. 179.
87
Sarana-sarana penulisan ayat al-Quran tersebut adalah „asab, likhaf, karanif, ghilaz,,
riqa‟, aqtab dan aktaf. (Penj). Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq al-Mazni h. 156.
38

dengan sanad yang memenuhi persyaratan Bukhari dan


Muslim).88
Bukhari dan Muslim89 meriwayatkan, “Bahwa malaikat
Jibril membacakan al-Quran kepada Rasulullah saw pada
malam-malam bulan Ramadhan setiap tahunnya. Abdullah
ibn Abbas berkata, “ Rasulullah saw adalah orang yang
paling pemurah, dan puncak kemurahannya pada bulan
Ramadhan, ketika Rasulullah ditemui oleh malaikat Jibril.
Rasulullah saw ditemuinya pada bulan-bulan Ramadhan.
Jibril membacakann al-Quran kepadanya, dan ketika
Rasulullah saw ditemui malaikat Jibril, Rasulullah sangat
lembut dan pemurah bagai hembusan angin.”90
Para sahabat senantiasa menyodorkan al-Quran kepada Rasulullah
saw baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.91 Tulisan-tulisan al-
Quran pada masa Rasulullah saw belum terkumpul dalam satu mushaf,
masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Biasanya
yang ada di tangan seorang sahabat, misalnya belum tentu dimiliki oleh
yang lain. Masa Rasulullah saw belum ada tuntutan kondisi untuk
membukukan al-Quran dalam satu mushaf, sebab Rasulullah saw masih
menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu, terkadang
terdapat ayat yang menasakh (menghapuskan) ayat yang turun
sebelumnya. Susunan penulisan al-Quran tidak sesuai menurut tertib
nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan
sesuai dengan intruksi Rasulullah saw, bahwa ayat itu harus diletakkan
88
Manna‟al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq al-Mazni
h. 156.
89
Namanya Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim ibn Warad al-Qusyairi an-Naisaburi, sering
dipanggil Abu Husain dilahirkan di Qusyair tahun 204 H dan menetap di Naisaburi, Khurasan dan
wafat di sana pada tahun 261 H. Mengoleksi lebih dari 300.000 hadits selama 15 tahun. Karyanya:
as-Shahih, al-Kuna wa al-Asma, Thabaqat, Aulad Shahabah. Selengkapnya lihat buku
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru
Harahap dan Achmad Faozan h. 352-353.
90
Dikutip dari buku Manna‟al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 656-157.
91
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni,
Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h. 657.
39

dalam surat tertentu. Andai kata (pada masa Rasulullah saw) al-Quran itu
seluruhnya dikumpulkan dalam satu mushaf, tentu akan membawa
perubahan setiap kali ada wahyu yang turun.92
Jadi, dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan
dari Zaid ibn Tsabit mengatakan:
“Rasulullah telah wafat, sedang al-Quran belum
dikumpulkan sama sekali. Maksudnya, ayat-ayat dan surat-
suratnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu
mushaf. Umar ibn Khattab berkata: Rasulullah saw tidak
mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf karena
Rasulullah saw itu senantiasa menunggu ayat yang
menghapus sebagian hukum-hukum atau bacaannya.
Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya
Rasulullah saw, maka Allah SWT mengilhamkan penulisan
mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin
sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat manusia
tentang jaminan pemeliharaannya.93 Hal ini terjadi pertama
kali pada masa Abu Bakar as-Siddiq atas pertimbangan
usulan Umar ibn Khattab.”94
Upaya pelestarian al-Quran pada masa Rasulullh saw yaitu setiap
kali menerima wahyu Rasulullah saw langsung mengingat dan
menghafalnya. Selanjutnya Rasulullah saw menyampaikan kepada para
sahabat lalu para sahabat menyampaikannya secara berantai kepada
sahabat lain. Sebagian sahabat langsung menghafalnya, juga
mencatatnya sesuai dengan urutan-urutannya berdasarkan petunjuk
Rasulullah saw dan para sahabat menyalinnya untuk dibawa pulang.

92
Dikutip dari buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur
Rafiq el-Mazni, h. 157.
93
Ini suatu isyarat kepada firman Allah SWT, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan al-Quran, dan Kami pula yang akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).
94
Jalaluddin al- Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Muassasah al-Kutub as-
Saqafiyah Dar al-Fikr,1979), Juz I, h. 57.
40

Catatan itu tidak dimaksudkan untuk orang lain, tetapi sebagai koleksi
pribadi.95

B. Pengumpulan Al-Quran pada Masa Khulafaur Rasyidin


1. Khalifah Abu Bakar as- Siddiq (11-13 H/ 632-634 M)
Abu Bakar as-Siddiq menjabat sebagai Khalifah pertama Islam
sesudah Rasulullah saw wafat. Abu Bakar as-Siddiq menjadi Khalifah
hanya dua tahun, dia meninggal tahun 12 H dalam usia 63 tahun,
jasadnya dimakamkan di samping makam Rasulullah saw di kamar
Aisyah r.a. Sebelum Abu Bakar meninggal ia menunjuk Umar ibn
Khattab sebagai Khalifah untuk menggantikannya. Penghimpunan al-
Quran ke dalam satu mushaf, baru dilakukan pada zaman Khalifah Abu
Bakar as-Siddiq (11-13 H/ 632-634 M), tepatnya setelah terjadi perang
Yamamah/Riddah.
Menurut al-Qurthubi,96 "Ada tujuh puluh orang qari yang
terbunuh pada perang Yamamah, sedangkan pada masa
Rasulullah saw dalam pertempuran di Bi‟ru Ma‟unah
terbunuh juga sebanyak tujuh puluh orang qari. Umar ibn
Khattab merasa khawatir melihat peristiwa tersebut, lalu ia
menghadap Abu Bakar as-Siddiq dan mengajukan usul
kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan al-Quran
karena dikhawatirkan akan musnah. Abu bakar as-Siddiq
menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.” Abu Bakar
as-Siddiq berkata tegas kepada Umar ibn Khattab,
“Bagaimana mungkin saya akan berbuat sesuatu yang

95
M. Quraish Shihab, et al. Sejarah dan Ulumul Qur‟an, h. 27.
96
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr ibn Farkh, dipanggil
dengan Abu Abdullah dikenal dengan Qurthubi karena dinisbatkan kepada negara kelahirannya di
Codova Andalusia, dia wafat pada tahun 671 H DI Mesir.Qurthubi seorang ahli tafsir, faqih,
muhaddits, wira‟i , zuhud dan ahli ibadah. Karya-karyanya ialah al-Jami‟ li al-Ahkami al-Quran,
at-Aidzkarah bi Ahwali al-Mauta wa Umuri al-Akhirah, at-Akhirah, at-Tidzkar fi Abdali al-
Adzkardll. Dikutip dari buku Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, h.348.
41

belum dilakukan oleh Rasulullah saw? Lagi pula saya takut


akan terjadi perpecahan , pertengkaran, dan bid‟ah.”97 Di
sisi lain, Umar ibn Khattab tetap membujuknya jikalau
terjadi peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh
banyak qari sehingga al-Quran akan hilang dan musnah,
sehingga Allah SWT membukakan hati Abu Bakar as-
Siddiq dan menerima ide dari Umar ibn Khattab. Abu
Bakar as-Siddiq memerintahkan Zaid ibn Tsabit agar
segera menghimpun ayat-ayat al-Quran dalam satu mushaf,
mengingat kedudukannya dalam masalah qira‟at, hafalan,
penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta
kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali masa
kenabian.”98
Pada awalnya Zaid ibn Tsabit menolak. Keduanya (Abu Bakar as-
Siddiq dan Umar ibn Khattab) lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya
Zaid ibn Tsabit dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan
al-Qur‟an itu.
Zaid ibn Tsabit dapat menerima perintah penulisan al-Quran. Zaid
ibn Tsabit memulai tugasnya dengan bersandar pada hafalan yang ada
dalam hati para qurra‟ dan catatan yang ada pada para katib.99 Zaid ibn
Tsabit bertindak dengan hati-hati. Bagi Zaid ibn Tsabit tidak cukup
hanya bergantung pada hafalan saja tanpa disertai dengan tulisan. Abu
Bakar as-Siddiq kemudian mengangkat panitia penghimpun al-Quran
yang terdiri atas empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai
berikut: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay ibn
Ka‟ab sebagai anggota. Panitia penghimpun tersebut dapat
menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun yakni

97
Moh Ali as-Shabunie, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemahan dari Attibiyanu fi
Ulumil Quran (Jakarta: Al-Ikhlas, 1983), h. 107.
98
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
159.
99
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, h Penj. Anunur Rafiq el-Mazni,
h. 160.
42

setelah perang Yamamah (12 H/633 M) dan sebelum wafat Abu Bakar
as-Siddiq (13 H/634 M).100
Zaid ibn Tsabit dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki
catatan dua terakhir dari surah at-Taubah ayat 128-129 padahal semua
panitia yakin bahwa kedua ayat itu adalah al-Quran, setelah Zaid bin
Tsabit bekerja keras dan mengumumkannya kepada khalayak ramai.
Diperolehlah catatan kedua ayat tersebut dari sahabat lainnya yaitu Abu
Khuzaimah al-Anshari, yang berbunyi:

        




       

            

  


Artinya: Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang
kamu alami (Dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-
orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari
keimanan), maka katakanlah (Muhammad): “Cukuplah Allah
bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki arasy
(singgasana) yang agung.” (QS. At-Taubah: 128-129).

Ibnu Abi Dawud meriwayatkan101 melalui jalur sanad


Yahya ibn Abdurrahman ibn Khatib, katanya, Umar ibn
Khattab datang lalu berkata: “Barang siapa menerima dari

100
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h. 53.
101
Yakni Abdullah ibn Sulaiman bin al-Asyt‟ats ibn Bisyr ibn Amru ibn Amir al-Azdi as-
Sijistani, yang sering dikenal dengan Abu Daud, dilahirkan pada tahun 202 H di Sijistani, wafat di
Basrah pada tahun 275 H pada usia ke 73 tahun. Abu Daud salah seorang tokoh penghafal hadits,
hafalannya mencapai 500.000 hadits. Ia mempunyai banyak kitab, antara lain: Al-Mashahif, Al-
Musnad, At-Tafsir, As-Sunan, Al-Qira‟ah, dan An-Nasikh wa Al-Mansukh dan al-Marasil Masa‟il,
al-Zuhd. Lihat Az-Zarkali, Al-A‟lam, Juz IV, h. 224. Dikutip dari bagian foot note buku Manna‟ al-
Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj.Mifdhol Abdurrahman, h. 160 dan Muhammad
Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan
Achmad Faozan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 354-355.
43

Rasulullah saw sesuatu dari al-Quran, hendaklah ia


menyampaikannya. Mereka menuliskan al-Quran itu pada
lembaran papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid ibn
Tsabit tidak mau menerima seseorang mengenai al-Quran
sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.102
As-Sakhawi103 menyebutkan dalam Jamal Al-Qurra‟ yang
dimaksudkan adalah kedua saksi itu menyaksikan bahwa
catatan itu ditulis di hadapan Rasulullah saw, atau dua
orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai
dengan al-Quran diturunkan. Abu Shamah berkata,
“Maksud mereka adalah agar Zaid ibn Tsabit tidak
menuliskan al-Quran kecuali diambil dari sumber asli yang
dicatat di hadapan Rasulullah saw, bukan hanya dari
hafalan.” Oleh sebab itu, Zaid ibn Tsabit berkata tentang
akhir surat at-Taubah itu, “Aku tidak mendapatkannya
pada orang lain maksudnya dalam keadaan tertulis pada
orang lain, sebab Zaid ibn Tsabit tidak menganggap cukup
hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.”104
Setelah al-Quran selesai ditulis dan dihimpun pada kertas, Abu
Bakar as-Siddiq bertanya kepada para sahabat untuk mencarikan nama
al-Quran yang ditulis itu. Sahabat yang mendegar itu memberi namanya
as-Sifr, akan tetapi Abu Bakar as-Siddiq menolak karena nama itu sering
dipakai oleh orang-orang Yahudi. Sahabat yang lain menggantikan nama
as-Sifr itu dengan nama Mushaf, di samping itu pula orang Habasyah
memberi nama yang sama pula. Akhirnya semua sepakat menamai al-

102
Manna‟ al-Qaththan, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran,
h. 161.
103
Nama lengkapnya adalah Ali ibn Muhammad ibn Abdus Shamad, terkenal dengan
nama as-Sakhawi, ia menyusun sekumpulan syair tentang qira‟at yang dikenal dengan nama as-
Sakhawiyyah, w. 643 H. Dikutip dari bagian foot note buku Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu
Studi Al-Quran, Penj. Mifdhol Abdurrahman, h. 161.
104
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran , Juz I, h. 58.
44

Quran yang sudah ditulis itu dengan nama al-Mushaf.105 Ali ibn Abi
Thalib berkata:
“Orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan
mushaf ialah Abu Bakar as-Siddiq. Semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Abu Bakarlah
yang pertama kali mengumpulkan kitab Allah.”
Terdapat beberapa keistimewaan mushaf al-Quran yang dihimpun
oleh Abu Bakar as-Siddiq diantaranya: Pertama, Penyelidikan yang
mendetail dan konfirmasi yang sempurna dari Rasulullah saw. Kedua,
tidak ditulis kecuali setelah nyata dikonfirmasikan dari Rasulullah saw,
Ketiga, semua ayat-ayat tersebut telah nyata mutawatir dan berdasarkan
pada kesepakatan. Keempat, mushafnya meliputi semua qira‟at yang
tujuh, yang dinukil secara konfirmasi dan sah langsung dari Rasulullah
saw.106
Himpunan tersebut dipegang oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
hingga akhir hayatnya. Setelah Khalifah Umar ibn Khattab wafat (13- 23
H/634-644 M), himpunan al-Quran di pegang dan dirawat oleh Hafshah
(seorang hafidzah, binti umar bin Khattab salah, seorang istri Rasulullah
saw) kemudian diminta oleh Khalifah Utsman ibn Affan (644-655M)
untuk kepentingan penggandaan di zaman Utsman bin Affan, mushaf
dari tangan Hafshah binti Umar itulah yang kemudian diambil alih.107
Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafshah, tetap
berada ditangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran tersebut
dimusnahkan.108 Dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut
diambil oleh Marwan bin al-Hakam lalu di bakar.109

105
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
Cet 4, h. 88.
106
Moh Ali as-Shabuniy, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemahan dari Attibiyanu fi
Ulumil Quran, h. 110-111.
107
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur‟an, h. 12. Muhammad Amin Suma,
Ulumul Qur‟an, h. 53.
108
Tafsir Ath-Thabari, Juz 1, h. 61.
109
Syaikh Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Studi al-Qur‟an, Penj. Mifdhol Abdurrahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 169.
45

2. Khalifah Umar ibn Khattab (13- 23 H/634-644 M)


Umar ibn Khattab memerintah selama sepuluh tahun, masa
jabatannya berakhir dengan kematian dia dibunuh oleh seorang budak
dari Persia bernama Abu Lu‟lu‟ah.110 Di zaman pemerintahan Umar ibn
Khattab terjadi gelomabang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan),
pertama terjadi di Ibu kota Syiria, Damaskus (635 M), setahun kemudian,
setelah tentara Byzantium kalah di perang Yarmuk, seluruh daerah Syiria
jatuh ke bawah kekuasaan Islam, Iskandariah, ibu kota Mesir ditaklukkan
(tahun 641 M) di bawah pimpinan Amr ibn al-Ash, al-Qadisiyah, sebuah
kota dekat Hirah di Irak ditaklukkan (tahun 637 M) di bawah pimpinan
Sa‟ad ibn Abi Waqqas, dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain
ditaklukkan pada tahun itu juga (641 M), Mosul dapat dikuasai. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar ibn Khattab, wilayah
kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria,
sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.111
Progres al-Quran masa Umar ibn Khattab tidak ada akan tetapi
Umar ibn Khattab adalah seorang pencetus ide pertama kali dalam
sejarah pengumpulan al-Quran. Suatu bukti, pada saat al-Quran sedang
dikerjakan oleh dewan panitia (Zaid ibn Tsabit sebagai ketua, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka‟ab sebagai anggota.), Umar
ibn Khttab sempat menghimbau,
“Barang siapa yang memiliki apa saja bagian dari al-
Quran yang langsung diterima dari Rasulullah saw
hendaklah ia menyerahkan kepada dewan panitia
tersebut.”
Hal tersebut menunjukkan betapa besar semangat Umar ibn
Khattab dan perhatiannya sejak mencetuskan ide sampai pada masa

110
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
h. 38.
111
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid
I, Cet ke-V., h. 58.
46

pelaksanaan penulisan atau pengumpulan al-Qur‟an.112 Pada masa Umar


ibn Khattab, dia disibukkan dalam ekspansi besar-besaran seperti yang
telah diuaraikan di atas.

3. Khalifah Utsman Ibn Affan (644-656 M)


Islam tersiar secara luas di Jazirah Arab, Hirah dan Anbar di
Mesopotamia, Yarmuk di Syiria, Bactrine dengan sungai Ayax, Mesir,
dan Armenia. Apabila dipetakan pada zaman sekarang, maka daerah-
daerah tersebut meliputi beberapa negara yaitu: Arab Saudi, Syam
(Syiria), Irak, Iran (Persia), Armenia, Azerbaijan, Afrika (Mesir dan
Libya), Palestina, Israel, Yaman, Bahrain dan Uni Emirat Arab.113
Kekhalifahan dipegang oleh Utsman ibn Affan berlangsung selama dua
belas tahun.
Pada paruh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak
puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan
Utsman ibn Affan memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar
ibn Khattab, ini mungkin karena usianya yang sudah tua (diangkat
menjadi khalifah dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut.
Akhirnya, pada tahun 35 H/ 655 M, Utsman dibunuh oleh para kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa. Salah satu
faktor yang menyebabkan rakyat banyak kecewa terhadap kepemimpinan
Utsman ibn Affan adalah kebijaksanaannnya mengangkat keluarga dalam
kedudukan tinggi atau Nepotisme, seperti Marwan ibn al-Hakam.
Marwan ibn al-Hakamlah yang menjalankan roda pemerintahan
sedangkan Utsman ibn Affan hanya menyandang gelar Khalifah.114
Penduduk Islam semakin meningkat dan kebutuhannya terhadap
kitab yang menjadi acuan atau sumber ajaran Islam bertambah, begitu

112
Rif‟at Syauki Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), Cet I, h. 127
113
Abd Kadir, Pembelajaran Membaca al-Quran Periode Klasik, Jurnal Media
Pendidikan Agama Islam, Vol.I, No. I. September 2014 - ejournal. kopertais4.or.id
114
Ahmad Amin Suma, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rusyda, 1987), Cet I,
h. 87.
47

juga para hafidhz (penghafal al-Quran) jumlahnya sudah tidak memadai


bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mayoritas adalah
muallaf. Di samping itu, para sahabat yang jauh dari pusat pemerintahan
di Madinah berselisih tentang cara membaca al-Quran (qira‟at), dan
mereka mengaku bahwa qira‟atnya yang paling benar karena mereka
mendapatkannya dari Rasulullah saw sendiri. Sebagaimana diketahui
bahwa ketika Rasulullah saw masih hidup, Rasulullah saw sangat
memberikan toleransi kepada setiap kabilah (suku) untuk membaca al-
Quran menurut lahn (dialeknya). Tolerasni demikian sebenarnya
diberikan untuk memudahkan mereka membaca dan menghafal tanpa
harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan dialek Rasulullah saw yang
mempergunakan dialek Quraisy. Toleransi itu yang dijadikan hujah bagi
mereka untuk melegimitasi qira‟atnya.
Khuzaifah ibn al-Yaman melihat banyak perbedaan dalam cara-
cara membaca al-Quran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan
ketidakfasihan, masing-masing mempertahankan dan berpegang pada
lahjahnya (dialeknya), serta menentang setiap orang yang menyalahi
bacaannya. Khudzaifah al-Yaman menghadap Khalifah Utsman ibn
Affan dengan maksud memberi tahu kepada Khalifah Utsman ibn Affan
bahwa di kalangan kaum Muslimin dibeberapa daerah terdapat
perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan al-Quran). Ibnu Khaldun
al-Atsir dalam al-Kamilnya meriwayatkan bahwa, “penduduk Syam
terbiasa membaca al-Quran menurut qira‟at Ubay bin Ka'ab, penduduk
Irak membaca al-Quran dengan qira‟at Ibn Mas‟ud; , penduduk Bashrah
memegang teguh qira‟at yang mereka terima dari Abu Musa al-Asy‟ari,
mushafnya dinamai dengan Lubab al-Qulub, mereka saling menyalahkan
dan merasa bahwa bacaan merekalah yang paling benar di antara bacaan
yang lainnya. Perselisihan-perselisihan itulah yang disampaikan kepada
Utsman ibn Affan oleh Hudzaifah al-Yaman yang menyebabkan dia
memerintahkan untuk menyalin al-Quran dan mengirim ke kota-kota
tersebut. Maka penduduk kota itu menyambut dengan baik usaha Utsman
48

ibn Affan. Adapun penduduk Kufah dan para tabi‟in yang belajar kepada
Abdullah ibn Mas‟ud enggan menerimanya. Abdullah ibn Mas‟ud
berusaha menarik minat mereka untuk menerima mushaf yang telah
dikirim oleh Utsman ibn Affan.
Mengingat bahwa al-Quran diturunkan dengan memakai tujuh
dialek bahasa Arab pada masa Rasulullah saw.115 Tujuh macam dialek
itu sering disebut dengan “sebagai tujuh macam pembacaan (qira‟at),
atau terkenal dengan Qira‟atus Sab‟ah. Tokoh-tokoh yang memang di
antara mereka yang bacaannya berlainan itu ialah:
a. Di Madinah, Imam Nafi‟ ibn Abi Na‟im, ia belajar kepada 70 orang
ahli qira‟at, bekas murid dari Abdullah ibn Abbas r.a (w. 169 H).
b. Di Mekah, Imam Abdullah ibn Katsir, dia belajar al-Quran kepada
Zaid ibn Tsabit, r.a dan lain-lainnya (w. 120 H).
c. Di Basrah, Imam Abu Amr ibn Alla, ia belajar kepada Sa‟id ibn
Jubair, dan lain-lainnya (w. 155 H).
d. Di Damsyq (Syam), Imam Abdullah ibn Amir, dia belajar kepada
Mughirah ibn Syu‟bah yang pernah belajar kepda Utsman ibn Affan
(118 H).
e. Di Kufah, Imam Abu Bakar Ashim ibn Najwad, dia belajar kepada
Abdullah as-Sulami, dan Zur ibn Hubaisy, yang mereka itu pernah
belajar kepada Utsman ibn Affan.
f. Di Kufah, Imam Hamzah ibn Hubaib, ia belajar kepada Sa‟id Ja‟par
as-Siddiq, yang sanad qiraatnya sampai kepada Ali ibn Abi Thalib
g. Masihi di Kufah, Imam Ali ibn Hamzah al-Kisai, dia belajar kepada
Imam Hamzah ibn Hubaib.
Zaid ibn Tsabit berkata: “Ketika kami menyalin mushaf,
saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang
pernah saya dengar dibacakan oleh Rasulullah saw, maka
kami mencarinya dan kami dapatkan ada pada
Khudzaimah ibn Tsabit al-Anshari.”
115
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 17.
49

Dengan bunyi:

          

         


Artinya: “Di antara orang-orang mukminin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah SWT, maka diantara mereka ada yang mati syahid
dan diantara mereka ada yang masih menanti dan mereka tidak
mengubah sesuatu (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Setelah Abu Khudzaimah ibn Tsabit al-Anshari disumpah dan


diperiksa keotentikan tulisannya, maka Zaid bin Tsabit atas kesepakatan
semua panitia, menerima catatan tersebut.116
Setelah mengecek kebenaran berita yang disampaikan oleh
Khudzaifah, Utsman bin Affan meminta shuhuf yang ada di tangan
Hafshah untuk disalin dan diperbanyak. Terdapat perbedaan pendapat
para ulama tentang jumlah mushaf yang ditulis pada masa khalifah
Utsman. Kebanyakan ulama menyatakan empat buah masing-masing
dikirim ke Kufah, Bashrah, Syiria dan satu untuk disimpan untuk
khalifah Utsman. Utsman ibn Affan juga mengirimkan utusan untuk
pengajaran al-Quran yang sudah tersalin tersebut ke berbagai wilayah,
Ibnu Abu Dawud berpendapat, bahwa jumlah mushaf Utsmani adalah
enam eksemplar,117 masing-masing telah dikirim keenam daerah penting
Islam pada saat itu, di antaranya: Pertama, Kufah (Abu Abd al-Rahman),
Kedua, Basrhah (Amir ibn abd al-Qais), Ketiga, Syria (Mughirah ibn
Syhab, Keempat, Madinah (Zaid ibn Tsabit), Kelima, Mekah (Abdullah
ibn Mas‟ud) dan satu ditinggal di Madinah untuk Khalifah Utsman ibn
Affan yang ditulis oleh tangannya sendiri (disebut dengan Umm atau
Imam). Sedangkan yang lainnya menyebutkan bahwa salinan itu
sebanyak lima eksemplar, karena kota Mekah mendapat jatah satu. Ada

116
Muhammad Amin Suma,Ulumul Qur‟an, h. 50. Teungku Muhammad Hasbi ash-
Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, h. 73.
117
M. Ma‟rifat Hadi, Sejarah Al-Quran (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 168.
50

pula yang mengatakan bahwa jumlah salinan itu sebanyak tujuh


eksemplar, karena salinan lainnya dikirim ke Yaman dan Bahrain.118
Para ahli sejarah menjelaskan bahwa antara Said ibn al-Ash dan
Zaid ibn Tsabit tidak terjadi perbedaan pendapat, kecuali mengenai satu
huruf yang terdapat dalam surat al-Baqarah, Said ibn al-Ash membaca
at-taabuuh, sedangkan Zaid bin Tsabit membaca at-tabuutu. Kemudian
dipilihlah bacaan Zaid bin Tsabit, sebab ia adalah penulis wahyu.119
Dengan usahanya itu, Khalifah Utsman bin Affan telah
meletakkan dasar pertama, yang dinamakan Ilmu Rasmil Qur‟an atau
Ilmu Rasmil Utsmani.120
Terlepas dari permasalahan mushaf Utsmani di atas, bahwa
perbedaan qira‟at al-Quran muncul setelah Rasulullah saw hijrah ke
Madinah. Sedangkan pada saat al-Qur‟an turun di Mekah belum terjadi
perbedaan qira‟at , karena di sana hanya memakai satu lahn, yaitu
Quraisy. Di Madinah, banyak perbedaan qira‟at tersebut menimbulkan
masalah besar, terlebih jika perbedaan tersebut menyebar ke bangsa yang
berada di luar Arab.
Salah satu di antara mushaf Utsman ini telah dibuat gambar
reproduksinya di perpustakaan Doha, Qatar sedangkan naskah aslinya
tersimpan di Samarkand, wilayah Asia Tengah Uni Soviet.121
Maka tampaklah kesimpulan bahwa di antara perbedaan pokok
antara pengumpulan ayat-ayat al-Quran di zaman Abu Bakar as-Siddiq
dan penyalinan atau kodifikasi al-Qur‟an di zaman Utsman bin Affan
ialah terletak pada motivasi yang melatarbelakangi masing-masing
kegiatan itu. Faktor yang memotivasi pengumpulan al-Qur‟an di zaman
Abu Bakar as-Siddiq adalah karena takut sebagian ayat-ayat al-Quran

118
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
h. 31. Abdul Kadir, “Pembelajaran membaca al-Qur‟an pada Periode Klasik, h. 61.
119
Muhammad Chirzin, Al-Qur‟an dan Ulumul Qur‟an (Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
1998), h. 24.
120
Abdul Djalal, Ulumul qur‟an, h. 29. Al-Zarqani, Muhammad. Dana Bakti Prima
Yasaad Abd al-A‟zim, Manahil al-Irfani „Ulum al-Qur‟an Jilid I.(Beirut: Dar al-Fikr, 1967), h. 30.
121
Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab, Alih Bahasa dan Pengantar D. Sirojuddin
AR, ( Kepustakaan Sukabumi LEMKA: 1989), h. 22.
51

akan hilang kalau tidak dihimpun dalam satu mushaf karena banyaknya
para Qurra‟ yang gugur dalam peperangan Yamamah (12 H/633 M) dan
Bi‟ru Ma‟unah (bulan Safar tahun ke-4 H).122 Selain itu, pada zaman
Abu bakar as-Siddiq al-Quran dihimpun tanpa memperhatikan tertib
urutan ayat dan surat sedangkan faktor yang memotivasi Utsman bin
Affan menyalin dan memperbanyak al-Quran ialah karena banyaknya
perbedaan dalam cara-cara tilawah atau membaca al-Quran yang terjadi
di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Puncaknya mereka saling
menyalahkan satu sama lain dan mulai dilakukan dengan penertiban
rangkaian surat demi surat dan ayat demi ayat dalam surat.
Adapun faedah penulisan al-Quran masa Utsman ibn Affan ialah:
Pertama, menyatukan kaum Muslimin pada satu mushaf yang seragam
ejaan tulisannya. Kedua, menyatukan bacaan, walaupun masih ada
kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan mushaf-mushaf
Utsman, sedangkan ejaan yang berlawanan dengan mushaf Utsman tidak
dibolehkan lagi. Ketiga, Menyatukan tertib susunan surah, menurut
urutan seperti yang terlihat pada mushaf-mushaf sekarang.123

4. Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-41 H/656-661 M)


Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
berlanjut selama enam tahun, dia memperhatikan orang-orang asing yang
sengaja menodai kemurnian bahasa Arab, sebab dia sering mendengarkan
sesuatu yang menimbulkan kerusakan bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib
memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk membuat sebagian
kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab. Abu al-Aswad
ad-Du‟ali menulis pedoman-pedoman serta aturan-aturan dalam bahasa
Arab. Dengan demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah meletakkan

122
Rif‟at Syauki Nawawi, dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), Cet I, h. 121.
123
Lihat Muhammad Husen al-Dzahabi, Buhuts Fi Ulum al-Tafsir wa al-Fiqhi wa al-
Da‟wah (Cairo: Dar al-Hadits, 2005), h 355.
52

dasar pertama terhadap ilmu, yang sekarang terkenal dengan nama Ilmu
Nahwu atau Ilmu I‟rabil Qur‟an.124
Ibnu al-Nadim juga menyatakan,125 “Bahwa setelah wafatnya
Rasulullah saw, Ali ibn Abi Thalib bersumpah untuk tidak meninggalkan
rumah Rasulullah saw sampai ia selesai menghimpun al-Quran. Dengan
tekad bulat Ali ibn Abi Thalib dapat menghimpun al-Quran dalam
jangka waktu tiga hari. Dapat disimpulkan juga dari pendapat Ibn al-
Nadim ini bahwa Ali ibn Abi Thalib dapat menghimpun al-Quran dalam
waktu tiga hari.126
Dalam jangka waktu tersebut tidaklah mungkin terjangkau untuk
menghimpun al-Quran karena bagaimanapun seorang ahli penulis wahyu
yang berpengalaman sekalipun tidak akan dapat menulis isi al-Quran
dalam waktu tiga hari baik dari hafalannya maupun salinan. Mungkin Ali
ibn Abi Thalib menulis ayat suci al-Quran lebih dulu pada saat
diturunkan karena perintah Rasulullah saw, atau mungkin juga Ali ibn
Abi Thalib menulis al-Quran hanya beberapa bagian. Kemudian al-Quran
yang ditulis itu disimpannya dan dijaganya, sehingga dengan demikian
tulisan itu terjaga dari kerusakan, seperti kitab-kitab suci yang
diwahyukan sebelumnya.127
Sedangkan penulisan al-Quran yang ditulis oleh Khulafaur
Rasyidin yang ke-4 ini, disimpan di Najaf, Irak, Kufah, dan di atasnya
telah tertulis Ali ibn Abi Thalib menuliskannya pada tahun 40 H.128

124
Abdul Djalal, Ukumul Quran, h. 29.
125
Ibn al-Nadim, Fhirst, t.th ed. Bayard Dogde, (New York dan London: Columbia Univ.
Press, 1970), ed. Arab, Beirut Libanon (Dar al-Kutub al-„ilmiyah, 1997)
126
Kadzim Munir Syahneci, “Manuskrip-manuskrip Kuno,” al-Hikmah, VII,
5 (November, 1992), h. 13.
127
Kadzim Munir Syahneci, “Manuskrip-manuskrip Kuno,” al-Hikmah, VII,5, h. 14.
128
Ahmad Vondeffer, Ilmu al-Quran (Jakarta: Rajawali Press, 1988) Cet. I. h. 67.
53

C. Penulisan Mushaf pada Masa Bani Umayyah


1. (Marwan ibn al-Hakam ( 64-65 H/684-685 M)
Pada tahun 41 H, Mu‟awiyah ibn Abu Sufyan menjadi Khalifah
pada bulan Rabi‟ul awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H. Tahun ini disebut
sebagai „Aam Jamaah (tahun Kesatuan) sebab pada tahun inilah umat
Islam bersatu dalam menentukan satu Khalifah. Pada tahun ini pula
Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan mengangkat Marwan ibn al-Hakam menjadi
gubernur di Madinah, selama 9 bulan 18 hari.129 Ada berbagai laporan
sejumlah riwayat diketahui bahwa mushaf yang berada di tangan Hafshah
tersebut berulang kali diminta oleh Marwan ibn al-Hakam untuk dibakar,
tetapi ditolak oleh Hafshah.130 Upaya ini baru berhasil dilakukan setelah
Hafshah wafat.131 Alasan pemusnahan mushaf yang berada di tangan
Hafshah adalah kekhawatiran Marwan ibn al-Hakam bahwa bacaan-
bacaan tidak lazim di dalamnya akan menyebabkan perselisihan di dalam
masyarakat Muslim.132 Buku Manna al-Qaththan menyatakan bahwa
Tindakan Marwan ibn al-Hakam ini terpaksa dilakukan, karena untuk
mengamankan keseragaman mushaf al-Quran yang telah diusahakan oleh
Khalifah Utsman ibn Affan dengan menyalin seluruh isi shuhuf Hafshah
kedalam mushaf Utsman juga untuk menghindarkan keraguan umat
Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf al-Quran, jika masih
terdapat dua macam naskah (shuhuf Hafshah dan mushaf Utsman).133

129
Imam as-Suyuti, Tarik Khulafa‟ (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), Penj. Samson
Rahman h. 231.
130
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
169.
131
Taufik Adnan Kamal, Rekontruksi Sejarah al-Quran, Kata Pengantar M. Quraish
Shihab, h. 174.
132
Ibn Abi Dawud, Abu Bakar Abd Allah, Kitab al-Mashahif, ed. A. Jeffery (Mesir:
Al-Mathba‟ah al-Rahmaniyah), 1936. h. 24.
133
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
169.
54

2. Abu al-Aswad ad-Du’ali (69 H/ 611-688 M)


Bani Umayyah berkuasa antara tahun 660-750 M tidaklah banyak
mengalami perkembangan penulisan mushaf al-Quran. Pertumbuhan
penulisan pada dekade ini mengalami kelambatan, terlihat dengan bentuk
tulisan atau rangkaian huruf yang terpenggal-penggal.134 Walaupun pada
masa Bani Umayyah ini perkembangan penulisan mengalami
kelambatan, bukan berarti penulisan mushaf al-Quran tidak ada sama
sekali. Penulisan mushaf pada masa Bani Umayyah ini terus berlangsung
namun, tidak sepesat masa sesudahnya yaitu masa Bani Abbas.
Pada masa Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Mu‟awiyah
ibn Abi Sufyan (40-60 H)135 maka inisiatif untuk menyempurnakan
penulisan al-Quran pertama kali dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali,
Upaya penyempurnaan penulisan (rasm) mushaf berjalan secara
bertahap. Awalnya syakal (nuqthah) dan disempurnkan lagi oleh kedua
murid Abu al-Aswad ad-Du‟ali yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (707 M)
dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (w 708 M). Terjadi pada masa
pemerintahan Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Abdul Malik ibn
Marwan (65-86 H/ 685-705 M).136 Sejarah Islam mencatat, bahwa
masalah di atas telah dipecahkan di tangan al-Hajjaj ibn Yusuf as-
Tsaqafi, seorang gubernur bawahan dari Irak (694-714 M) oleh Abdul

134
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Panjimas, 1887), h. 79. Agus Priatna,
“Penulisan Mushaf Al-Quran dan Pengaruhnya terhadap Kaligrafi Arab Pada masa Abbasiyah,” (
S1 Fakultas Adab dan Humaiora, Jurusan Peradaban Islam, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta), h.
19.
135
Nama lengkapnya adalah Mu„awiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb ibn Muhammad Abd
asy-Syams ibn Abdu Manaf ibn Qushay, biasa dipanggil Abu Abdurrahman, masyhur dengan
Mu‟awiyah ibn bu Sufyan, lahir di Mekah 20 sebelum hijrah, wafat di Damaskus tahun 60 H, salah
seorang juru tulis al-Quran dan meriwayatkan 130 hadits dari Rasulullah saw, 13 di antaranya
tercantum dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi,
Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan,
h. 92-94.
136
Nama Lengkapnya Walid ibn Abdul Malik ibn Marwan Hakam al-Umawi al-Qurasyi,
panggi;annya Abul Walid (Bapaknya Walid), lahir di Madinah 26 H, seorang ahli fiqh, rajin
beribadah, sangat menguasai ilmu agama selalu mendatangi masjid dan selalu membaca al-Quran,
termasuk golongan tabi‟in, khalifah ke-5 dari Bani Umayyah, penggunaan bahasa Romawi dan
Persia dalam pembukuan administrasi diganti dengan bahasa Arab, dialah orang yang pertama
kali menggunakan mata uang dinar dalam sejarah Islam dan menulis ayat al-Quran pada mata uang
tersebut. Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Penj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, h. 393-395.
55

Malik ibn Marwan yang kekuaasaannya membentang di bagian Timur


imperium Muslim, dan dia menginstruksikan kepada Nashr bin Ashim al-
Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi untuk
mendokumentasikan suatu sistem baru berupa tanda-tanda yang serupa
dengan cara-cara yang pernah ditempuh oleh Abu al- Aswad ad-Du‟ali
sebelumnya.
Tanda-tanda yang dirumuskan Abu al-Aswad ad-Du‟ali
berfungsi sebagai tanda huruf hidup (harakat), sedangkan yang
dilakukan oleh kedua muridnya Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn
Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi memberi tanda (berupa rumus vocal) dari
Syiria pada huruf-huruf yang sama bentuknya agar mudah dibedakan satu
sama lain. Tanda tersebut berupa garis sudut-menyudut diagonal pendek
yang ditempatkan di atas atau di bawah tulisan, terpisah satu persatu atau
dalam ikatan grouf berdua atau bertiga, seperti: “ ‫ ” ب‬dengan diagonal
pendek di bawah huruf, “ ‫ ” ت‬dengan dua diagonal pendek bergandengan
di atas huruf, dan “ ‫ ” خ‬dengan tiga diagonal pendek di atas huruf
dimana salah satunya terletak ditengah-tengah atas dua lainnya yang
berfungsi sebagai pembeda huruf-huruf anatara ‫ خ‬.‫ ت‬,‫ ب‬dan ‫ خ‬,‫ ح‬,‫ ج‬, dan
seterusnya.137
Garis- garis diagonal tersebut dibuat dengan tinta yang warnanya
sama dengan tinta untuk pokok tulisan. Dengan demikian, akan tampak
perbedaannya dengan “titik-titik” syakal yang dibuat oleh Abu al-Aswad
ad-Du‟ali dengan tinta yang lain pula warnanya. Huruf-huruf berwarna
hitam dengan garis-garis berwarna hitam, Sedangkan titik-titik syakal
berwarna merah, dua jenis warna inilah yang selalu dipakai pada waktu
itu.138

137
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 66.
138
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 66-67.
56

C. Masa Bani Abbasiyyah


1. Al-Khalil ibn Ahmad Farahidi al-Busairi 170 H/786 M)
Sebenarnya, sistem yang digunakan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-
Farahidi al-Busairi139 masih berpegang teguh pada sistem penitikan
tulisan Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi sebelumnya. Namun, al-Khalil ibn
Ahmad al-Farahidi menempatkan kembali titik pembeda seperti Abu al-
Aswad ad-Du‟ali untuk huuruf-huruf yang bersamaan bentuknya
(misalnya untuk Ba dengan satu titik di bawah, Ta dengan dua titik di
atas, dan Tsa dengan tiga titik di atasnya), bukan lagi syakal atau harakat
seperti sediakala dan tidak lagi menggunakan garis-garis diagonal pendek
yang dirumuskan oleh Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur
al-Udwan al-Laitsi dahulu. Oleh karena itu, titik-titik itu berfungsi
sebagai nuqthah atau I‟jam persis seperti yang kita gunakan sekarang.140
Pada masa Bani Abbas mushaf al-Quran sudah menggunakan kertas
141
sebagai lembarannya terjadi pada Khalifah Harun al-Rasyid Harun al-
Rasyid mendatangkan kertas-kertas ini dari China. Khalifah Harun al-
Rasyid menganjurkan agar orang-orang tidak lagi menulis kecuali di atas
kertas. Kulit atau sejenisnya akan mudah melunturkan tulisan, pada
beberapa bagian tulisan yang luntur dianggap akan menimbulkan
kerancuan dalam membaca lebih-lebih jika tulisan itu adalah ayat al-
Quran. Lain halnya dengan kertas, apabila tulisannya terhapus akan
langsung rusak, dan jika terkelupas, kupasannya akan jelas kelihatan.

139
Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi merupakan generasi keempat dalam pengembangan
ilmu nahwu. Karya-karya al-KHalil dalam tata Bahasa Arab ialah: Kitab Ma‟anil Huruf, Kitab an-
Naqtah wat-Tasyikil, Kitab al-Jamal, Kitab asy-Syawahid, Kitab al-„Ain, sedangkan dalam ilmu
Arud ialah: kitab al-Arudh dan al-Farsy wal-Mitsal. Rahmap, Aliran Basrah: Sejarah Lahir,
Tokoh, dan Karakteristiknya. (Dosen tetap Jurusan PBA Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak, at-
Turats, 2014), h. 9.jurnaliainpontianak.or.id.Dolla Sobari, Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Aliran
Basrah, Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Budaya Islam UIN Raden
Fatah Palembang.TAMADDUN, 2014 - jurnal.radenfatah.ac.id
140
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press), h. 68.
141
Imam as-Suyuti, Penj. Samson Rahman, Tarik al-Khulafa,‟ Penj. Samson Rahman, h.
343-344.
57

Demikian pendapat Khalifah Harun al-Rasyid dan sejak saat itulah seni
menulis di atas kertas menyebar.142
Demikian fase pengumpulan al-Quran mulai dari zaman
Rasulullah saw sampai pada masa Bani Abbas, pada bab berikutnya akan
dibahas tentang peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali pemberian titik (nuqthah)
pada huruf-huruf al-Quran.

142
Agus Priatna. Penulisan Mushaf al-Quran dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan
Kaligrafi Arab pada Masa Bani Abbasiya, SI, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 22
BAB IV
PERAN ABU AL-ASWAD AD-DU’ALI DALAM ILMU NAHWU DAN
PEMBERIAN TITIK-TITIK (NUQTHAH) PADA HURUF-HURUF
AL-QUR’AN

A. Lahn dalam Memberi Titik (Nuqthah ) pada al-Quran


Pada masa awal Islam, sudah umum seluruh tulisan Arab saat itu belum
ada suatu keinginan yang kuat untuk memberikan tanda-tanda baca pada al-Quran
dan mereka sudah merasa cukup atas bahasa Arab yang mereka kuasai.143
Oleh para ahli, kelambanan itu ditengarai sebagai akibat dari
kecenderungan kehidupan bangsa Arab sendiri. Pada masa sebelum Islam,
mayoritas bangsa Arab dikenal memiliki tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi
perkembangan tulisan.
Di antara tabiat-tabiat tersebut adalah: Pertama, orang Arab hidup secara
nomaden (berpindah-pindah) dari suatu daerah ke daerah lain dengan berbagai
macam motivasi seperti untuk mencari daerah yang subur atau menghindari
penyergapan musuh dari suku lain,144 belum memiliki catatan sejarah yang dapat
dipegang,145 kecuali sesudah masa Islam, meskipun ada yang hidup menetap,
yaitu etnis Quraisy yang membentuk aliansi perdagangan di Mekah,146 tetapi
kuantitasnya minim. Bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang memiliki
keagungan tersendiri seperti Bangsa Romawi, Cina atau Mesir Purba. Bangsa
Arab tidak terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa yang bersejarah, karena itu
sangat sulit mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta perjalanan
sebuah kerajaan di Jazirah Arabia. Dapat dikatakan pada zaman Jahiliyah

143
Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab, Alih Bahasa dan Kata pengantar Didin
Sirojuddin AR. (Kepustakaan Pesantren LEMKA Sukabumi, 1989), h. 36.
144
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York: The Macmillan Press, 1974) , Cet.
Ke-10 h. 23.
145
Yasin Hamid Safadi, Islamic Calligraphy (London: Thames and Hudson, 1978), h. 7.
146
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Quran, Penj. Taufik Adnan Amal (Jakarta:
PT: Rajawali Pers, 1991), h. 98, Saat itu hanya suku Quraish Arab Utara yang telah berdagang dan
berintraksi dengan penguasa-penguasa di Byzantium, Abyssinia, dan negeri-negeri perbatasan
Persia. Lihat Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari Segi Geografi, sosial,
Budaya dan Peranan Islam, Penerjemah Said Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998) Cet.
Ke-1, h. 16

66
67

bukanlah semata-mata sebagian besar masyarakatnya buta huruf, bahkan juga anti
huruf.147 Kebiasaan nomaden ini membuat Orang-orang Arab sibuk dengan
perpindahan dan mempersempit kemungkinan membangun suatu kebudayaan
yang stabil. Kedua, Orang Arab hidup bersuku-suku dengan rasa fanatisme
kesukuan (ashobiyah) yang sangat kental dan rasa toleransi antar suku yang kecil.
saling membanggakan suku dan keturunannya masing-masing sambil
merendahkan suku dan keturunan yang lain, sehingga sering terlibat peperangan
antar suku.148 Efeknya jelas sulit untuk mendirikan suatu komunitas bersama yang
bersatu dengan memiliki pusat yang terinstitusionalkan.149 Akibat lainnya adalah
tidak adanya ketentraman atau stabilitas yang memungkinkan orang Arab untuk
memapankan kebudayaan. Ketiga, Orang Arab tidak memiliki budaya tulis-
menulis, tak pernah mementingkan catatan oleh karena itu, sejarah kehidupan
mereka tidaklah tertuliskan.150 Sebagian besar mereka adalah buta huruf. Sedikit
sekali orang yang mampu menulis, hanya beberapa pemuka masyarakat yang
jumlahnya minoritas saja yang memiliki kemampuan ini, hal itupun dipandang
sebagai kekuatan supranatural.151 Meskipun demikian, beberapa di antara orang
Arab masih memerlukan tulisan, terutama untuk kebutuhan perniagaan dan guna
menulis syair-syair terbaik yang digantungkan di Ka‟bah (mu‟allaqah).
Ketidakmampuan menulis menghantarkan orang-orang Arab untuk mengandalkan
hafalan, yang pada gilirannya menjadi tolak ukur kecerdasan dan kemampuan
ilmiah seseorang.152

147
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam , h. 18.
148
Ja‟far Subhani, al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah, Penerjemah Muhammad
Hasyim dan Meth Kierana (Jakarta: Lentera, 1996), h. Cet. Ke-1, h. 12. Tentang bagaimana
mereka saling mengagungkan kesukuan dan kerukunan masing-masing, baca Abi Umar Ahmad
ibn Muhammad ibn Abd Rabbih al-Andalusi, al-„Iq al-Farid ( Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi,
1973), Juz 3, h. 313-331.
149
Bassam Tibi, Penerjemah Yudian W. Asmin, Naqiyah Mukhtar, dan Afandi Mocthar
Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), Cet ke- 3 h. 73.
150
Hasan Qasim Habash al-Bayati, Rihlah al-Mushaf al-Syarif (Bairut: Dar al-Qalam,
1414 H), h. 61, keterangan sama, bisa ditemui pada: M. Syukri al-Alusi, Bulugh al- Adab fi
Ma‟rifah ahwal al-Arab (Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, tth, Vol. 1, h. 38.
151
M. M Azami, Hadits nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Penj. Ali Musthofa Ya‟qup
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. 1, h. 75.
152
M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat,
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-1, h. 71-72.
68

Perlu dicatat, bangsa Arab memiliki beragam tabiat yang cukup positif
seperti memuliakan tamu, berpegang teguh pada janji dan amanat, berani dan
kesatria.153 Namun, secara umum tabiat-tabiat yang kurang kondusif bagi
pertumbuhan tulisan lebih dominan daripada sebaliknya, karena itu wajarlah pada
realitanya kaligrafi Arab jarang berkembang, kalau tidak boleh dikatakan
cenderung stagnan. Hal ini sungguh sangat kontras dengan perkembangannya
setelah al-Quran diwahyukan.154 Bangsa Arab memiliki suatu “kekuatan unik”
yang sangat mengagumkan. Yakni “tradisi mulut ke mulut” dalam menyimpan
informasi atau untuk menyampaikan komunikasi. Pantun dan syairlah yang
merupakan penalaran paling berharga untuk mengungkapkan makna-makna
perasaan hati dan gejolak pikiran bangsa Arab. Tidak ada yang dianggap lebih
berharga di mata orang-orang Arab, selain pantun dan syair. Alam panas, padang
pasir yang membentang luas dan ragam kehidupan yang terbebas dari segala
kebudayaan asing, membuat bangsa Arab merasa leluasa dan terlatih untuk
mengkhayalkan apa saja yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.155
Orang-orang Arab purbakala telah disifatkan sebagai bangsa penyair.
Sebuah family atau kabilah merasa lebih bangga mempunyai seorang penyair
sebagai anggota keluarga daripada seorang panglima perang. Penyair-penyair ini
sebagaimana penyair lain sangat ingin dikenang sampai ke anak-anak cucu
mereka dan untuk mencapai maksud itu setiap penyair akan memilih dua orang
pemuda yang boleh diharapkan untuk menghafal sajak-sajaknya dan pemuda-
pemuda ini kemudian menurunkannya pula kepada pemuda-pemuda lain dalam
generasi berikutnya. Bangsa Arab tidak suka sajak-sajak itu ditulis, malahan syair-
syair itu lazimnya diikuti oleh hafalan silsilah nenek moyang dan peristiwa-
peristiwa yang mereka alami semuanya “tidak dicatat” , melainkan disadap belaka
melalui ingatan setiap warga kabilah, bahkan hal-hal lain seperti transaksi dagang,
perjanjian kontrak dan semacamnya juga dianggap cukup dengan perantaraan

153
Lihat Gustav Lubun, Penerjemah kebahasa Arab „Adil Zu‟air (Kairo: isa al-Babi al-
Hilmi wa Syirkahu, tth), bab II dan III tentang bangsa Arab dan keadaannya sebelum Islam, h. 59-
100, Georje Zaidan, History of Islamic Civilitation, (New Delhi: Fine Press, 1981), h. 1-27.
154
Ilham Khoiri R, al-Quran dan Kaligrafi Arab: Peran Kitab Suci dalam Transformasi
Budaya (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu), Cet. 1, h. 62.
155
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam , h. 18-19.
69

“mulut kemulut”. Hasrat menulis bangsa Arab pada waktu itu hampir dikatakan
tidak ada, kecuali pada kalangan tertentu yang dapat dihitung dengan jari. Faktor
inilah yang menyebabkan tulisan Arab tidak mengalami pertumbuhan yang subur,
bahkan bisa dikatakan lambat sekali.156
Akan tetapi, menurut literature Arab hanya pernah ada 7 (tujuh) jenis
syair pujaan yang disebut al-Mu‟allaqat (gantungan) sebagai karya hasil seni
sastera maha indah dan paling sempurna yang punya nama terhormat karena
“ditulis” dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka‟bah. Ketika itu,
pantun dan syair yang keluar seleksi dan dinilai paling bagus, langsung
ditempelkan di dinding Ka‟bah, sebagai penghormatan luar biasa, karena itu tidak
ada berkas-berkas tertulis lebih daripada yang tujuh lembar itu. Tujuh lembar
tersebut telah lapuk ketika diadakan pembersihan terhadap Ka‟bah dan
lingkungannya dari berhala. Seluruh syair Jahiliyah yang menjadi catatan sejarah
kelak, adalah hasil dari hafalan secara turun-temurun belaka bukan dari catatan.157
Tradisi penggantungan hasil karya pantun tersebut terputus sejak
datangnya Islam, karena kaum Muslimin sudah mulai banyak yang pandai
menulis. Setelah itu keterampilan menulis beralih menjadi catatan harian yang
bisa dimiliki oleh setiap personil. Tradisi yang sudah hilang tersebut, sejak itu
diganti dengan penempelan kiswah (baju) pada seluruh tubuh Ka‟bah yang dihiasi
aneka tulisan yang sangat indah.158
Tulisan yang biasa dipergunakan pada abad ke-7 M, yakni pada masa
Rasulullah saw, hanya terdiri atas simbol dasar yang hanya melukiskan struktur
konsonan dari sebuah kata dan bahkan sering mengandung kekaburan. Pada masa
permulaan Islam, seluruh huruf biasanya dituliskan dengan cara yang amat
sederhana yaitu dalam bentuk garis lurus tanpa titik dan tanpa baris.159
Mushaf Utsmani yang telah dikirim ke berbagai daerah seperti Kufah,
Basrah, dan Madinah masih memakai tulisan yang sederhana sekali dan masih

156
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 19.
157
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 19.
158
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 20.
159
Musa‟id bin Sulaiman bin Nashir al-Thayyar, al-Muharrir Fi Ulum al-Qur‟an (Jeddah:
Markaz al-Dirasah wa al-Ma‟lumat al-Qur‟aniyah, 2008), h. 223-226, Manna al-Qaththan,
Mahabit
70

kaku belum memakai tanda-tanda titik dan harakat seperti yang kita lihat pada
penulisan al-Quran sekarang, karena minat orang-orang kepada tanda-tanda titik
dan harakat belum mendesak betul. Hampir empat puluh tahun lamanya mushaf-
mushaf yang menggunakan mushaf Utsmani yang masih gundul dibaca orang.
Mushaf tersebut ditulis persis dengan mushaf induk Utsmani, tanpa berkurang
dan bertambah sedikitpun.160
Hal tersebut bagi masyarakat Arab pada masa itu tidaklah menjadi
persoalan, Pertama, karena mereka sudah terbiasa membaca tulisan gundul.
Kedua, karena orang-orang Arab sanggup meletakkan fungsi-fungsi bacaan pada
setiap tulisan yang tidak disertai tanda-tanda bacaannya. Permainan tata bahasa
adalah hal yang lazim disertakan dalam pantun-pantun syair yang mereka gubah
sehari-hari. Al-Quran adalah bahasa mereka sendiri, yang tidak akan
menggelincirkan mereka dari pemahaman arti yang dikandungnya, seperti ِْ ‫اٌ َّشٍطَا‬
ِ ‫اٌش‬, tidaklah mungkin mereka membacanya dengan ٍُِ ‫اٌ َّشٍطَا ِْ اٌ َّش ِح‬, karena mereka
ٍُِ ‫َّج‬
mengetahuinya kecuali penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh para pendusta
atau Nabi-nabi palsu.
Setelah ajaran Islam meluas ke wilayah-wilayah pinggiran dan kaum
Muslimin menaklukkan banyak negeri sehingga kekuasaan Islam meliputi
kawasan negeri-negeri non-Arab, dimana para pemeluk Islam bukan lagi hanya
dari kalangan orang-orang Arab itu sendiri, seperti: Syam (Syiria), Irak, Iran
(Persia), Armenia, Azerbaijan, Afrika (Mesir dan Libya), Palestina, Israel,
Yaman, Bahrain dan Uni Emirat Arab), terjadilah kekhwatiran timbulnya keseleo
lidah (lahn) dalam membaca tulisan Arab terutama al-Quran yang sangat mulia.
Hal ini sering menimbulkan salah baca di kalangan Ajam (non Arab), akibatnya
sangat berbahaya pada makna-makna yang tulisannya dibaca menyimpang. Tentu
saja hal ini tidak lain disebabkan karena tidak adanya tanda-tanda baca ataupun
harakat pada tulisan al-Quran tersebut.161
Di tambah lagi faktor-faktor lain di antaranya ialah: Pertama, pengaruh
suku-suku non Arab yang semakin hari semakin banyak berdomisili di jazirah
160
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 61. Syaikh Manna‟ al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman, h. 188.
161
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 61-62.
71

Arab seiring dengan berkembangnya Islam dan menjadi salah satu sebab
terjadinya perbedaan qira‟at. Kedua, pada pertengahan kedua abad pertama,
bermunculan orang-orang asing di tengah masyarakat Islam, mereka juga asing
dalam bahasa Arab. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan simbol-simbol
untuk mengenal kalimat-kalimat al-Quran agar mereka tidak salah dalam
membaca al-Qur‟an. Ketiga, terjadi percampur-adukan antara orang-orang Arab
dan non-Arab, seperti hubungan dagang. Ketiga, terjadinya perkawinan antara
orang-orang Arab dan non Arab.
Pada masa awal Islam, bacaan al-Qur‟an hanya bergantung pada
pendengaran dan nukilan dan kemungkinan, tidak diperbolehkan membaca al-
Qur‟an hanya melalui cara pendengaran, sebagai contoh: antara kalimat Tablu,
Nablu, Natlu, Tatlu, dan Yatlu, tidak ada bedanya. Begitu pula tidak bisa
dibedakan antara kalimat Ya‟lamuhu”, Ta‟lamuhu, Na‟lamuhu dan Bi‟ilmihi.
Oleh karena itu, seringkali ayat Litakuna Liman Khalfaka Ayatan (supaya hal itu
menjadi bukti bagi orang-orang setelahmu) dibaca dengan Liman Khalaqaka (bagi
yang menciptakanmu).162
Pada puncaknya, kesalahan lidah tersebut merembet ke kalangan Arab
sendiri yang sudah intim bergaul dengan masyarakat Muslim baru non-Arab yang
mempunyai bahasa dan dialek tersendiri. Oleh karena itu, bahasa mereka tidak
lagi semurni bahasa fushha, melainkan sudah menjadi suatu bahasa dengan dialek
gado-gado yang berantakan.163
Sekedar contoh lagi, ada beberapa peristiwa salah baca yang terjadi pada
masa sebelum dirumuskannya tanda-tanda baca untuk penulisan al-Quran: Suatu
hari seorang Arab Badui (A‟rabi) mendengarkan seorang pembaca
mengkasrahkan kata ٌِِٗٛ‫ َس ُع‬pada ayat al-Quran yang seharusnya di baca ٌُُٗ ُٛ‫ َسع‬.
QS. At-Taubah ayat ke-3 hanya karena dhammah u yang dirubah menjadi kasrah i
makna ayat yang seharusnya berbunyi:” Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
terlepas dari orang-orang musyrik, berubah menjadi “ Sesungguhnya Allah
terlepas dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya.

162
M. Ma‟rifat Hadi, Sejarah Al-Qur‟an (Jakarta: al-Huda, 2007), h. 175.
163
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 63.
72

Si A‟rabi tersebut tercengang, sambil berkomentar “ Apa mungkin Allah


berlepas diri dari Rasul-Nya?” Lalu kejadian tersebut dilaporkannya (“Arabi)
kepada Khalifah Umar ibn Khattab (13-23 H/634-644 M). Umar ibn Khattab
yang terkenal dengan tegas dan keras segera mengadakan teguran membaca al-
Quran, kecuali bagi yang orang yang bahasa Arabnya bagus.164
Ada pula yang berpendapat, pada masa Abu al-Aswad ad-Du‟ali, Abu al-
Aswad ad-Du‟ali pernah mendengar seseorang membaca kalimat ُ ٌُٗ ُٛ‫ َسع‬dalam ayat
yang artinya, “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-
orang yang musyirik”, dengan kasrah ٌُِِٗٛ‫ َسع‬. Melihat kesalahan fatal ini.
Kemudian Abu al-Aswad ad-Du‟ali memberitahu masalah ini kepada Ziyad ibn
Abihi, gubernur Basrah (55 H). Sebelumnya, Ziyad bin Abihi pernah meminta
Abu al- Aswad ad-Du‟ali mencari solusi untuk masalah ini. Namun, Abu al-
Aswad al-Du‟ali tidak ingin dilibatkan secara langsung untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Setelah dia mendengar sendiri kesalahan fatal di dalam firman
Allah SWT tersebut, dia menyambut keinginan Ziyad bin Abihi165 dan berkata,
“Saya akan menjalankan apa yang Anda perintahkan”. Hanya karena fathah (a)
yang dirubah menjadi kasrah (i), maka ayat yang seharusnya berbunyi
“sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang yang
musyirik”, berubah menjadi “ Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik dan Rasul-Nya.166
Adapun ayat peristiwa salah baca Innama yakhsallahu min ibadihil
„ulama‟a, dengan men-dhammah-kan yang pertama ( ُ‫ َ ّلَا‬seharusnya dibaca َ‫) َ َّلَا‬
dan mem-fatah-kan yang kedua ‫ ٌ ُؼٍَ َّاَ~ َء‬seharusnya dibaca ‫ ٌ ُؼٍَ َّا َ~ ُء‬, padahal yang
sesungguhnya berbunyi ”Innama yakhsallaha min ibadihil „ulama‟u, makna ayat
yang seharusnya tiada lagi yang takut kepada Allah hanyalah sebagian hamba-
hamba-Nya yang ulama berubah menjadi : Tiada lagi hanya Allahlah yang takut
kepada ulama dari hamba-hamba-Nya. Perubahan fathah kepada dhammah atau
dhammah kepada fathah pada ayat tersebut dianggap membuat seseorang menjadi

164
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 63.
165
Dairah al- Ma‟arif al-Qarn al-Isyrin, jilid 3, h. 722: Manahil al- Irfan, h. 399-400:
Tarikh Al-Qur‟an, h. 68.Syaikh Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an,, h. 187.
166
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64.
73

kafir, sehingga bacaan yang salah itu dibunyikan, seorang pendengar berteriak
“Celaka! Allah tidak takut kepada siapapun! ”Si pendengar segera mengingatkan
kekeliruan tersebut dan menunjukkan kepada Si pembaca bacaan yang
sebenarnya.167
Tragedi salah baca di atas adalah karena Si pembaca (Arab Badui)168
kurang arif akan pengetahuan bahasa Arab berikut gramatika nahwu sharafnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu nahwu dan sharaf adalah kanun (undang-
undang) bahasa Arab. Umar ibn Khattab sendiri pernah memecat seseorang yang
salah baca al-Quran, sehingga Umar ibn Khattab mengingatkan: ”Pelajarilah
bahasa Arab karena ia mengokohkan pikiran dan menambah peradaban.169 Pada
masa keemasan kekuasaan Islam para sastrawan dan orang-orang A‟rabi sering
menegur secara langsung para pejabat dan pembesar negara yang keseleo lidah,
lahn, atau tersalah dalam membaca tulisan gundul.170
Keadaan seperti inilah yang memotivasi banyak kalangan dan tokoh Islam
sesudah Rasulullah saw wafat untuk menciptakan suatu cara termudah dalam
membaca tulisan al-Quran secara benar, baik bagi kalangan Arab sendiri, terlebih
lagi bagi kalangan orang-orang Islam yang bukan orang Arab.171

B. Upaya yang dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du’ali dalam


Memperbaiki “Lahn”
Menurut sumber-sumber terpercaya, Amirul Mu‟minin Ali ibn Abi
Thaliblah yang menginstruksikan kepada Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk
merumuskan tanda-tanda pada tulisan. Sasaran pengolahan pertamanya adalah
mushaf-mushaf al-Qur‟an, karena di sinilah letak kekhawatiran salah baca seperti
yang sering terjadi.172

167
D. Sirojuddin AR. Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 63-64.
168
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, 63-64. (tidak disebutkan namanya, hanya
dengan menggunakan panggilan Si yang menunjukkan Arab Badui/ dusun.
169
Abu al-Abbas ahmad ibn Ali. al-Qasqhasandy, Subh al- Asya (Kairo:jilid I Wazarah
al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumy, t.t.) h. 168.
170
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64.
171
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64.
172
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 64.
74

Ada lagi riwayat yang menyebutkan, bahwa sejarah perumusan tanda-


tanda yang dikerjakan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali tersebut terjadi pada
permulaan Bani Umayyah di masa kepemimpinan Mu‟awiyah ibn abi Sufyan (41-
60 H/661-683 M). Ziyad ibn Abihi, seorang gubernur Basrah (55 H), telah
meminta kepada Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk menciptakan syakal yang
berfungsi membuktikan adanya huruf hidup. Jika dikaitkan dengan ilmu nahwu
yang dikerjakan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali pada periode kekhalifahan Ali ibn
Abi Thalib yang hanya berlangsung pendek, yakni enam tahun, setelah
kekhalifahan berpindah ke tangan Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus, maka
besar kemungkinan bahwa apa yang dikerjakan Abu al-Aswad ad-Du‟ali pada
awal kedaulatan tidak lain merupakan tugas yang sudah dirintisnya sejak beberapa
tahun sebelumnya, yaitu masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (35-41 H/656-661 M)
yang mengendalikan tampuk kepemimpinan hingga dia wafat akibat suatu
pembunuhan fitnah oleh Abdurrahman ibnu Muljam dari Khawarij pada tahun 40
H/661 M.173
Diriwayatkan oleh Abu Abbas: “Bahwa orang yang pertama kali
memperkenalkan tanda titik (i‟jam) ke dalam naskah al-Quran adalah seorang
tabi‟in yang bernama Abu al-Aswad ad-Du‟ali, kemudian perbaikan diikuti oleh
al-Hasan al-Basri, Yahya bin Ya‟mar, dan Nasr bin Ashim al-Laitsi.”174 Hasan al-
Bashri (w. 727 M)175 yang memperlihatkan partisipasi dan andilnya yang besar
terhadap rumus-rumus yang dipublikasikan Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya
ibn Yu‟mar al-Udwan al-Laitsi.176
As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran bahwa
Abu al-Aswad ad-Duali adalah orang yang pertama melakukan usaha pemberian
titik (nuqthah) pada al-Quran atas perintah Abdul Malik ibn Marwan, bukan atas

173
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 65.
174
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 64. Manna al-Qaththan, 150, Lihat Ali
Ismail al-Sayyid Handawi, Jami‟ul al-Bayan Fi Ma‟rifati Rasmi al-Qur‟an, (Riyadh: Daar al-
Furqan, 1410 H), h. 30-32
175
Namanya Hasan ibn Yasar al-Bashri, dipanggil Abu Sa‟id, lahir di Madinah 21 H, pada
masa pemerintahan Umar ibn Khattab. Hasan al-Bashri meriwayatkan hadits dari Imran ibn
Hushain, Mughirah ibn Syu‟bah dan Nu‟man ibn Basyir. Dia wafat di Bashrah tahun 110 H dalam
usia 89 tahun. Selengkapnya lihat Muhammad Sa‟id Mursi, Penerjemah Khoirul Amru Harahap
dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, h. 176-177.
176
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 67.
75

perintah Ziyad ibn Abihi. Ketika itu orang-orang telah membaca mushaf Utsman
lebih dari empat puluh tahun hingga masa kepemimpinan Abdul Malik ibn
Marwan. Pada masa kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan inilah orang-orang
banyak yang membuat kesalahan dalam membaca al-Quran yang paling fatal di
Irak. Para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan harakat.177
Abu al-Aswad ad-Du‟ali dikenal sebagai orang pertama yang meletakkan
konstruksi ilmu nahwu, atas perintah khalifah Ali ibn Abi Thalib. Kenyataannya,
kreasi Abu al-Aswad ad-Duali ini belum cukup untuk digunakan membaca ayat-
ayat al-Quran secara baik dan benar. Ziyad ibn Abihi memerintahkan ulang
kepada Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk menciptakan sesuatu agar membaca
kalamullah secara benar.178 Sayang sekali, Abu al-Aswad ad-Du‟ali sendiri tidak
begitu serius memandang perintah ini, karena di antara dirinya dengan orang-
orang Umayyah dibatasi hubungan yang renggang (yaitu Permasalahan politik
pada perang Siffin, ditambah lagi Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah seorang murid
dari Khalifah Ali ibn Abi Thalib dan Abu al-Aswad ad-Du‟ali takut untuk
memberikan titik berupa syakal pada al-Quran, sedangkan Ziyad ibn Abihi adalah
termasuk dari golongan Bani Umayyah di bawah kepemimpin Muawiyah ibn Abi
Sufyan).
Awalnya Abu al-Aswad ad-Du‟ali tidak mau mengungkapkan apa saja
yang dia pelajari dari Ali ibn Abi Thalib sehingga Ziyad ibn Abihi mengirimkan
direktif yang meminta Abu al-Aswad ad-Du‟ali untuk mempersiapkan pekerjaan
yang akan membantu orang-orang memahami kitab Allah SWT. Abu al-Aswad
ad-Du‟ali meminta agar dibebaskan dari tugas tersebut. Ziyad ibn Abihi lalu
memberikan kehormatan itu kepada seorang pengikutnya untuk meneruskan tugas
mengikuti cara yang ditempuh oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali. Akan tetapi, ketika
seorang lelaki itu mendekatinya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) lelaki itu dengan
sengaja (suruhan dari Ziyad ibn Abihi) membuka suara dan membaca surah at-
Taubah ayat ke-3 dengan meng-kasrah-kan lam menjadi “Rasulihi” membuat Ab

177
Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Quran. Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h.
187-188.
178
Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab Kepustakaan Pesantren LEMKA Sukabumi,
1989), h. 36
76

al-Aswad ad-Du‟ali terkejut dan terus-menerus menyalahkannya sambil


berkomentar “Maha suci Allah untuk terlepas dari rasul-Nya” saat itu juga Abu
al-Aswad ad-Du‟ali bergegas menemui Ziyad ibn Abihi. Abu al-Aswad ad-Du‟ali
berkata, “Saya telah menjawab seruan yang Tuan tanyakan dan saya berpikir
untuk segera memulai membuat tanda baca al-Quran, dampingilah saya oleh
seorang sekretaris (juru tulis )“ Ziyad ibn Abihi menghadirkan 30 juru tulis,
kemudian Abu al-Aswad ad-Du‟ali memilih salah seorang dari mereka yaitu Abdi
al-Qais yang sesuku dengannya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali). Abu al-Aswad-ad-
Du‟ali memberi isyarat ke Abdi al-Qais:179 ”Ambillah al-Quran dan cairan yang
berbeda dengan warna tinta.”
1. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) buka mulutku (Fathah), buatlah
(Abdi al-Qais) satu titik di atas huruf.
2. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) pecahkan mulutku kebawah
(kasrah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di bawah huruf.
3. Apabila saya (Abu al-Aswad ad-Du‟ali) kedepankan mulutku
(dhammah), buatlah (Abdi al-Qais) satu titik di depan huruf.
4. Apabila saya ikuti ghunnah, yakni tanwin (an,in,un) dari harakat-harakat
tersebut, buatkanlah dua titik. Abu al-Aswad ad-Du‟ali membacakan al-
Quran dengan perlahan-lahan sementara Abd al-Qais menaruh titik, dan
setiap kali Abd al-Qais menamatkan satu lembar Abu al-Aswad ad-
Du‟ali kembali memeriksa sehingga mushaf terisi tanda-tanda
seluruhnya, sementara sukun ditinggalkan tanpa tanda.180 Hal itu dia
lakukan hingga ujung mushaf sedangkan sukun tidak dikasih tanda.”181
Abu al-Aswad ad-Du‟ali berhasil mewariskan sistem penempatan “titik-
titik” tinta berwarna merah berfungsi sebagai syakal yang menunjukkan pada
unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili oleh huruf-huruf. Penempatan titik-
titik seperti yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:182

179
Kamil al-Baba. Dinamka Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirajuddin AR (Kepustakaan
Pesantren LEMKA Sukabumi, 1989) h. 37.
180
Kamil al-Baba. Dinamka Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirajuddin AR (Kepustakaan
Pesantren Sukabumi, h. 39.
181
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 65.
182
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 65.
77

1. Tanda fathah dilambangkan dengan satu titik di atas huruf ( a ).


2. Tanda dhammah dengan satu titik di tengah kiri huruf ) u ).
3. Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf ( i ).
4. Tanda tanwin dengan dua atau double titik (an-in-un).183 Hal itu
dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali hingga ujung mushaf.
Rumus-rumus pembeda (diacritical Marks) yang berupa titik-titik tersebut
selalu ditulis dengan tinta berwarna merah agar terlihat berbeda dengan tulisan
pokok mushaf yang umumnya berwarna hitam. Dalam satu riwayat dikatakan,
bahwa tanda-tanda tersebut hanya dicantumkan pada huruf-huruf terakhir tiap kata
atau pada huruf-huruf tertentu saja yang dikhawatirkan bisa menimbulkan salah
baca bila tidak dibubuhi syakal, jika riwayat ini benar, maka dapat dipastikan
bahwa Abu al-Aswad ad-Du‟ali tidak membubuhi titik-titik yang dianggap syakal
(vocalization) itu pada tiap-tiap huruf al-Quran saat itu.184
Setelah itu, bukan berarti segalanya sudah sanggup memecahkan masalah,
sebab ada huruf-huruf yang sama bentuknya namun harus dibaca berlainan.
Misalnya, bagaimana menentukan bahwa huruf ini ‫ خ‬,‫ ح‬,‫ ج‬,‫ ؽ‬,‫ ع‬,‫ خ‬,‫ ت‬,‫ ب‬dan
seterusnya, tanpa dibubuhi tanda-tanda pembeda, huruf-huruf tersebut akan
menyulitkan banyak pembaca, kecuali jika di ikuti pemahaman bahasa yang di
kandumgnya.
Usaha yang di rintis Abu al-Aswad ad-Du‟ali ini akhirnya disempurnakan
oleh kedua muridnya, Nashr ibn Ashim (w 707 M) dan Yahya ibn Ya‟mur (w 708
M). Peristiwa ini terjadi masa kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan (65-86
H/685-705 M).185
Sejarah Islam mencatat, bahwa kesulitan masalah di atas telah dipecahkan
di tangan al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi (694-714 M) seorang gubernur bawahan

183
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 65. Manna‟ al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur‟an, Penj. Anunur Rafiq el-Mazni, h. 188. Anshori, ed., Ulinnuha Khusnan:
Ulumul Qur‟an: Kaidah-kaidah memahami Firman Tuhan h. 96. Ahmad „Adil Kamal, Ulumu Al-
Qur‟an, (Kairo: Al-Mukhtaru al-Islmi, 1707), h. 59. Hasan, Taman, Al-Ushul Dirasah
Ibtimulujiyah li ushulil Fikri al-Lughah al-Arabiyah (Maghrib: ad-Darul Baydhah. 1991), h. 32.
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab dengan
Metode Komparatif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 14.
184
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 65-66.
185
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 66.
78

dari Irak oleh Abdul Malik ibn Marwan, yang sayap kekuasaannya (al-Hajjaj ibn
Yusuf as-Tsaqafi) membentang di bagian Timur emperor Muslim. Kemudian al-
Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi menginstruksikan kepada Nashr ibn Ashim al-Laitsi
dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi untuk mendokumentasikan suatu
sistem baru berupa tanda-tanda yang sama persis dengan cara-cara yang pernah di
tempuh oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali sebelumnya. Namun, jika tanda-tanda yang
dirumuskan Abu al-Aswad ad-Du‟ali berfungsi sebagai tanda huruf hidup atau
(syakal), sebaliknya tanda-tanda yang dirumuskan kedua muridnya ini berfungsi
untuk membedakan bunyi-bunyi yang berlainan pada huruf-huruf yang justru
bersamaan bentuknya.186

C. Respons Masyarakat
Adapun respons positif setelah diletakkannya tanda titik oleh Abu
al Aswad ad-Du‟ali Pertama, untuk membantu orang-orang non-Arab
(Ajam) yang pada waktu itu jumlahnya terus bertambah namun mereka
harus menggunakan bahasa Arab. Sebagian dari mereka masuk jajaran
ulama dan Qurra‟, padahal bahasa asli mereka bukan bahasa Arab.
Fenomena ini menjadi respons serius dari kaum Muslim.
Apa yang dilakukan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali ini sangat
berkontribusi besar dalam pembaharuan bahasa Arab. Meskipun dalam
kenyataannya, adanya tanda dari huruf vokal di atas belum sempurna,
karena sebagaimana yang kita tahu bahwa dalam huruf hijaiyah, ada
beberapa huruf yang bentuknya serupa, seperti huruf ‫ ف‬dengan ‫ ق‬, ‫ت‬
dengan ‫ خ‬, ‫ ج‬dengan ‫ ح‬dan ‫ خ‬, dan masih banyak lagi. Hal ini juga menjadi
faktor yang membuat orang-orang non-Arab yang beragama Islam berbeda
bacaan al-Qurannya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, dikenal
dengan istilah I‟jam, yaitu pembedaan huruf-huruf yang serupa dengan
cara meletakkan titik agar tidak rancu.187

186
D. Sirojuddin AR, Kuliah Seni Kaligrafi Islam, 66.
187
Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah, (Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah ad-
Diniyah), h. 88
79

D. Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya’mur al-Udwan al-Laitsi
Usaha penyempurnaan kedua dalam kodifikasi tanda baca dapat
diselesaikan pada masa kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan di akhir kurun
pertama Hijriyah atas usaha Nashr ibn Ashim al-Laitsi (w. 707 M) dan Yahya
ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi (w. 708 M).188 Penemuan I‟jam (pembedaan
huruf-huruf yang sama bentuknya tapi pelafalannya berbeda) ini dikenal pada
zaman Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H/ 685-705 M).
Ada tiga pendapat yang berbeda tentang lahirnya Ijam ini: Pertama,
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Amir ibn Jadarah adalah orang yang
pertama kali menciptakan I‟jam. Kedua, yaitu bahwa huruf-huruf ‫ ب‬,‫ ت‬, ‫خ‬
kemudian ‫ ج‬, ‫ ح‬, ‫ خ‬, dan huruf-huruf lainnya yang berbeda pelafalannya dan sama
bentuknya, jauh sudah ada beberapa tahun sebelum Islam, sebenarnya semua
huruf tersebut sudah memiliki perbedaan antara satu sama lain. Namun, seiring
berjalannya waktu, huruf-huruf yang memiliki kesamaan bentuk tersebut
disatukan agar lebih memudahkan penulisan, lalu bentuk-bentuk huruf tersebut
dibedakan dengan meletakkan titik pada huruf tersebut.189
Para sejarawan pun telah berasumsi bahwa huruf-huruf yang memiliki
kemiripan seperti: ‫ خ‬,‫ ح‬,‫ ج‬,ْ ,‫ خ‬,‫ ت‬,‫ ب‬dan lain-lain adalah huruf-huruf yang tidak
ada dalam huruf Finix.190 Berdasarkan bukti yang ada, dikatakan bahwa dari
berbagai naskah kuno yang ditulis sebelum zaman Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan (65-86 H/ 685-705 M), ternyata sudah ada beberapa naskah yang ada
beberapa unsur I‟jam dalam beberapa huruf seperti “‫”ب‬.191 Ketiga, adanya faktor
ketidaksukaan terhadap pemberian titik pada al-Quran, banyak orang Islam yang
telah membaca Mushaf Utsmani menolak apa yang telah dilakukan Abu al-
Aswad-as-Du‟ali, atas dasar itulah Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn

188
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 66.
189
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, feb. 2017. ISSN 2548-6896,
Available at: http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php.dinamika/article/view/106. Date accsseed: 30
Oct. 2017. [PDF]unwaha.ac.id. h. 15.
190
Finix adalah jenis aksara kuno yang menjadi dasar lahirnya huruf-huruf hijaiyah dalam
bahasa Arab.
191
Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah, (Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah ad-
Diniyah), h. 88.
80

Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi melakukan penyempurnaan dengan memberikan satu


titik pada huruf yang berpasangan ataupun yang tidak berpasangan sebagai
pembeda antara huruf-huruf yang bentuknya sama, seperti huruf yang
berpasangan ‫ د‬dan ‫ ر‬yang salah satu dari keduanya mengalami proses i‟jam ( ‫) ر‬
dengan pemberian satu titik dan satu lagi tidak mengalami i‟jam ( ‫) د‬.192
Hal tersebut juga berlaku pada huruf ‫ ؽ‬,‫ ع‬,‫ ص‬,‫ س‬serta ‫ ػ‬,‫ ط‬yang
meniadakan proses I‟jam pada yang pertama dan menerapkan i‟jam dengan tiga
titik di atas huruf ‫ػ‬. Pemberian titik pada ‫ ػ‬berjumlah tiga karena menyesuaikan
dengan tiga gigi yang ada pada huruf tersebut. Selain itu akan terjadi kerancuan
jika titik pada syin hanya berjumlah satu titik, maka akan menimbulkan kerancuan
dimana titik itu di letakkan, apakah di atas gigi pertama, kedua, atau ketiga.
Adapun huruf ‫ خ‬,‫ ت‬,‫ ب‬dan ْ , serta ‫ ي‬, semuanya diperlakukan dengan pemberian
titik yang berbeda, baik jumlah ataupun tempatnya. Hal tersebut karena dilandasi
dua sebab, Pertama yaitu jika huruf ‫ خ‬,‫ ت‬,‫ ب‬dikumpulkan dalam satu kata maka
akan tidak bisa dibedakan antara ‫ ط‬dan ‫ ػ‬. Kedua yaitu bahwa huruf-huruf
tersebut bukanlah huruf yang berpasangan seperti huruf dal dan zal, oleh sebab itu
jika ada yang tidak mengalami i‟jam, maka akan terjadi kerancuan.193
Kemudian pada huruf ‫ ف‬dan ‫ ق‬, keduanya mengalami proses i‟jam yaitu
satu titik diletakkan di atas huruf ‫ ف‬, dan dua titik diatas huruf ‫ ق‬. Hal tersebut
dilakukan karena jika salah satu saja yang mengalami i‟jam, maka akan terjadi
kerancauan antara ‫ ع‬dan ‫ ؽ‬jika berada di tengah kata. Setelah semua huruf
ditentukan berdasarkan proses i‟jam, kemudian Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-
Laitsi dan Nasr ibn Ashim al-Laitsi meletakkan urutan huruf-huruf yang serupa itu
berdampingan sesuai dengan urutan abjad yang kita kenal sekarang. 194 Setelah
semuanya terkumpul, disimpulkanlah bahwa huruf-huruf yang tidak mengalami
proses i‟jam ada tiga belas, yaitu )ٚ , ٖ , َ ,‫ ي‬,‫ ن‬,‫ ع‬,‫ ط‬,‫ ص‬,‫ ط‬, ‫ س‬, ‫ ح‬,‫ د‬,‫( ا‬

192
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, feb. 2017. ISSN 2548-6896,
Available at: http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php.dinamika/article/view/106. Date accsseed: 30
Oct. 2017. [PDF]unwaha.ac.id. h. 16.
193
Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah, h. 90.
194
Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah (Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah,
h. 90-91.
81

sedangkan huruf-huruf yang mengalami i‟jam ada empat belas yaitu: , ‫ خ‬,‫ ت‬,‫( ب‬

) ْ ,‫ ق‬,‫ ف‬,‫ ؽ‬,‫ ظ‬,‫ ض‬,‫ ػ‬,‫ ص‬, ‫ ر‬, ‫ خ‬, ‫ ج‬. Kemudian ada sepuluh huruf yang
memiliki satu huruf, tiga huruf memiliki dua titik, dan dua huruf yang memiliki
195
tiga titik. Semua titik yang berada di atas, kecuali tiga huruf, yaitu: .)‫ ي‬,‫ ج‬,‫(ب‬.
Adapun tanda-tanda yang dirumuskan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali
adalah berfungsi sebagai tanda –tanda huruf hidup (harakat). Sebaliknya, tanda-
tanda yang dirumuskan oleh kedua murid Abu al-Aswad ad-Du‟ali (Yahya ibn
Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi) berfungsi untuk
membedakan bunyi-bunyi yang berlainan pada huruf-huruf yang justru bersamaan
bentuknya.196
Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi
memberi tanda (berupa rumus vocal dari Syiria) pada huruf-huruf yang sama
bentuknya agar mudah dibedakan antara huruf satu sama lain. Tanda-tanda
tersebut berupa garis sudut-menyudut diagonal pendek seperti ini ( ََ ) yang
ditempatkan di atas atau di bawah tulisan, terpisah satu persatu atau dalam ikatan
(grouf) berdua atau tiga, seperti ba, dengan diagonal pendek bergandengan di atas
huruf ta dan tsa dengan diagonal pendek di atas huruf dimana salah satunya
terletak ditengah-tengah atau dua lainnya.197
Garis-garis diagonal tersebut sengaja dibuat dengan tinta yang warnanya
sama dengan tinta untuk pokok tulisan dengan demikian akan tampak jelas
perbedaannya dengan “titik-titik” syakal oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali yang
dibuat dengan tinta yang lain pula warnanya. Huruf berwarna hitam, garis-garis
diagonal berwarna hitam, sedangkan titik syakal berwarna merah. Dua jenis warna
inilah yang sering dipakai pada waktu itu. Apabila dikaitkan dengan rumus-rumus
tanda baca sekarang, ada sesuatu yang aneh kita temukan di sini, yakni bahwa

195
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, feb. 2017. ISSN 2548-6896,
Available at: http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php.dinamika/article/view/106. Date accsseed: 30
Oct. 2017. [PDF]unwaha.ac.id. h. 17.
196
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 66.
197
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 66. Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi
Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab dengan Metode Komparatif, (Jakarta:CV
Pedoman Ilmu Jaya, tth), h. 14.
82

bentuk syakal yang berupa garis diagonal sekarang pada masa tersebut adalah
berupa titik-titik yang justru sekarang digunakan untuk membedakan bunyi-bunyi
pada tulisan yang sama, sebaliknya titik-itik yang sekarang dipakai untuk
membedakann bunyi-bunyi berlainan pada jenis huruf-huruf yang bersamaan pada
masa tersebut berfungsi sebagai tanda syakal atau harakat sedangkan gambar titik-
titik yang sekarang mengambil bentuk yang bersudut-sudut, pada masa tersebut
berbentuk bulat total. 198
Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi telah
bekerja dengan sungguh-sungguh dan berhasil mengkodifikasi cara yang
dipandang lebih mudah dan praktis pada waktu itu. Ada seorang tokoh, yakni
Hasan al-Bashri (727 M)199 pada waktu itu memperlihatkan partisipasi dan
andilnya yang besar terhadap rumus-rumus yang dipublikasikan oleh Yahya ibn
Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi, dan Hajjaj ibn Yusuf
as-Tsaqafi dalam bagian ini pula telah memaksakan wewenangnya agar sistem
baru tersebut benar-benar dipandang sangat penting dan dipakai secara sungguh-
sungguh dalam rangka melawan banyaknya sikap malas dan ogah-ogahan pada
waktu itu. Hasil rumusan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr ibn
Ashim al-Laitsi ini tetap terpakai selama pemerintahan Bani Umayyah hingga
permulaan kekuasaan Bani Abbasiyyah, bahkan di Spanyol-Islam (Andalusia)
masih dipergunakan sampai pertengahan abad ke-4 H.200
Lama-kelamaan cara yang digunakan seperti yang di atas itu dianggap
sering membingungkan dan kurang memuaskan untuk memecahkan masalah.
Penggunaan serempak titik-titik dengan garis diagonal pendek sangat
menyusahkan banyak orang dalam membaca al-Quran disebabkan terlalu
banyaknya tanda-tanda, selain itu ada lagi masalah yang suka merisaukan karena
tanda-tanda yang dirumuskan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi dan Nashr

198
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 67.
199
Hasan al-Bashri dilahirkan pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab, termasyhur
selain sebagai ulama Fiqh yang fasih dan wara‟, tulisannya yang indah, memiliki andil yang beesar
terhadap kaligrafi, sebelum kaligrafi itu sendiri menemukan bentuknya yang sempurna. Ada yang
menduga bahwa Hasan al-Bashrilah yang mengubah tulisan kufi kepada Naskhi dan Tsuluts, Lihat
Safawi, III, h. 155.
200
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 67. Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi
Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab dengan Metode Komparatif, h. 14 -15.
83

ibn Ashim al-Laitsi (berupa garis-garis diagonal pendek) semakin lama bentuknya
semakin berubah menjadi seperti titik-titik yang dibuat oleh Abu al-Aswad ad-
Du‟ali, Pertama, karena mushaf tersebut sudah lama umurnya menyebabkan titik-
titik kelihatan seperti garis diagonal pendek, atau sebaliknya garis-garis itu
berubah menjadi seperti titik-titik karena sebagian tintanya terhapus atau tersapu
air, kemungkinan Kedua, bahwa tinta yang merah itu makin lama semakin hitam
warnanya menyerupai huruf-huruf pokok tulisan (Abu al-Aswad ad-Du‟ali)
sehingga sulit lagi dibedakan antara rumus titik-titik untuk syakal/harakat dengan
garis-garis tanda pembeda untuk huruf-huruf yang sama.201
Akhirnya solusi dari masalah tersebut disempurnakan oleh al-Khalil
Ahmad al-Farahidi w 175 H atas inisiatifnya sendiri pada permulaan Bani
Abbasiyah (memiliki gagasan yang luas tentang bahasa Arab, kemudian
menggagas cara lain dalam memberikan harakat dan tanda vokal pada huruf-
huruf al-Quran).

E. Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi (w. 170 H/ 786 M)


Nama lengkap dari al-Khalil adalah Khalil ibn Ahmad ibn Amru ibn
Tamim yang biasa dipanggil dengan Abu Abdurrahman dan dikenal dengan
Farahidi yang dinisbatkan kepada kakeknya Farhud. Dilahirkan dalam keluarga
sederhana di Oman yaitu pantai teluk Paris pada tahun 100 H, dia hidup ketika
masa kepemimpinan Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719M).202 Dikatakan
bahwa setelah masa sahabat tidak ada ulama yang paling cerdas dan pengumpul
ilmu-ilmu Arab kecuali al-Khalil. Ada seorang laki-laki yang bernama Ibnu
Muqafa ditanya tentang al-Khalil, Ibnu Muqafa menjawab: Saya melihat
kecerdasannya melebihi ilmunya. Al-Khalil menjadi imam dalam ilmu-ilmu Arab

201
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 67-68. Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi
Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab dengan Metode Komparatif, h. 15.
202
Nama lengkap Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan ibn Hakam ibn Abu Ash ibn
Umayyah ibn Abdusyams ibn Abdu Manaf, Abu Hafsh al-Qurasyi al-Umawi al-Ma‟ruf Amirul
Mukminin, dilahirkan 61 H di Mesir, yakni tahun dibunuhnya Husain ibn Ali, Muhammad ibn
Sa‟ad berkata dilahirkan 63 H, ada juga yang mengatakan 65 H wallahu a‟lam, dia memegang
tampuk kepemimpinan ke-8 dari Bani Umayyah Selengkapnya baca Muhammad ibn Ahmad
kan‟an, Penj Irwan Raihan, Daulah Bani Umayyah: Fragmen Sejarah Khilafah Islamiah sejak
Era Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan hingga Marwan ibn Muhammad 41 H-661 M-132 H/749 M, h
621-656.
84

dan Nahwu. Kemampuan al-Khalil dalam menyusun bait-bait syair tidak


tertandingi oleh penyair pada zamannya dan pengarang ensiklopedi bahasa Arab.
Karya-karya dari al-Khalil ialah Mu‟jam al-Aini, al-Urudh, an-Nuqath wa Syakl,
an-Naghm dan Ma‟na al-Harf.203
Berikut ini adalah guru-guru dari al-Khalil di antaranya Abu Amru ibn
„Ala, Ayub Sahtayani, Awam ibn Hausyab, Ashim Ahwal, Utsman ibn Hadhir
dan Ghalib Qathan, sedangkan murid-murid dari al-Khalil ialah Sibawaih, Nadhar
ibn Syamil dan Asmhu‟i. Al-Kalil wafat pada tahun 170 H di Basrah.204
Setelah melalui dua tahap pemberian titik, yang pertama tahap pemberian
titik berwarna merah sebagai tanda baca, dan yang kedua yaitu pemberian titik
berbentuk diagonal untuk membedakan huruf-huruf yang serupa bentuknya. Dua
tahap di atas terjadi pada masa Bani Umayyah, sedangkan dalam
perkembangannya terjadi pada masa Bani Abbas, dimana orang-orang lebih
cenderung menggunakan warna tinta yang sama dengan warna tulisan agar lebih
mengoptimalkan waktu penulisan.205. Oleh karena itu, muncul permasalahan baru,
karena orang-orang di zaman ini tidak mengubah titik pembeda huruf, sehingga
terjadi kerancuan dalam peletakan titik. Dari sinilah mereka beranggapan perlu
adanya perombakan untuk ketiga kalinya, entah itu perubahan titik sebagai tanda
baca, atau mungkin perubahan titik yang difungsikan sebagai pembeda huruf.206
Di sela-sela rumitnya permasalahan tersebut, muncul seorang yang
bernama al-Khalil Ahmad al-Farahidi (memiliki wawasan luas tentang bahasa
Arab) yang kemudian menggagas cara lain dalam memberikan harakat atau tanda
baca vokal.207

203
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
A.mru Harahap dan Achmad Faozan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 377.
204
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj. Khoirul
A.mru Harahap dan Achmad Faozan. h. 378.
205
Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah (Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah ad-
Diniyah), h. 96.
206
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, Desember. 2016. ISSN 2548-6896,
h. 18.
207
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, Desember. 2016. ISSN 2548-6896,
h. 18.
85

Penentukan bunyi huruf atau syakal/harakat, al-Khalil Ahmad al-Farahidi


menggunakan tanda-tanda yang terambil dari huruf-huruf yang menjadi sumber
bunyi-bunyi tersebut, yaitu alif sebagai sumber dari bunyi a (fathah), ya sumber
dari bunyi i (kasrah) dan waw dari sumber bunyi u (dhammah), untuk tanwin,
huruf yang bersangkutan digunakan rangkap atau double. Huruf-hurufnya dibuat
lebih kecil daripada huruf-huruf pokok tulisan. Penyempurnaan al-Khalil Ahmad
al-Farahidi al-Busairi ini dapat dikatakan “meringkas” huruf-huruf „Illah (alif,
waw, dan ya) yang terjadi pada akhir abad ke-II H.
Pada puncaknya, tanda-tanda harakat atau syakal tersebut berkembang
menjadi delapan buah, yaitu: fathah, kasrah, dhammah, sukun, jazm, syiddah,
maddah, alamat silah dan hamzah. Bagian tiga pertama adalah hasil rumusan al-
Khalil, sedangkan sisanya tercipta beberapa generasi sesudahnya.208
Penyempurnaan al-Khalil Ahmad al-Farahidi ini menjadi dasar rumus-rumus atau
tanda baca dalam tulisan Arab yang terus berlaku sampai sekarang,
penyempurnaan yang luar biasa tersebut dapat disimpulkan berikut:209
1. Fathah, ditandai dengan alif kecil miring yang ditelentangkan dan

diletakkan di atas huruf ( َ)


2. Kasrah, ditandai dengan kepala Ya‟ kecil yang diletakkan di bawah huruf

( َ).
3. Dhammah, ditandai dengan huruf waw kecil yang diletakkan di atas

huruf ( َ ).
4. Tasydid, ditandai dengan kepala huruf sin tanpa titik yang diletakkan di

atas huruf ( َ ).

208
Lihat Abu „Amr al-Dany al-Qurthubi. al-Muhkam, tanpa disebutkan pengarang dan
halaman buku.
209
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 60. Hifni Nashif, Hayat Al-Lughah Al-
Arabiyah (Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyah), h. 96. Abdul Karim Husain, Seni
Kaligrafi Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab dengan Metode Komparatif,
h. 15-16.
86

5. Sukun, ditandai dengan kepala huruf Kha‟ tanpa titik yang diletakkan di

atas huruf ( َ ).
6. Hamzah, ditandai dengan kepala „ain di atas/ bawah huruf. (Untuk
hamzah qath‟i di letakkan di atas alif berfungsi untuk membedakan
antara alif dan hamzah).
7. Alif, Ya‟ dan waw dibelakang huruf lain dibaca mad (panjang)
8. Nuqthah atau titik dibuat identik seperti titik sekarang.210
Ciptaan Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi inilah yang kemudian
menjadi dasar untuk tanda-tanda dalam tulisan Arab sampai sekarang. Berikut ini
untuk lebih jelas dan lengkapnya penyempurnaan tanda-tanda dalam tulisan Arab
dapat diuaraikan sebagai berikut :211
1. Huruf ALIF kecil dan ditulis miring di atas huruf sebagai tanda fathah
yang berbunyi A, sekarang menjadi garis miring pendek di atas huruf.
2. Huruf YA kecil diletakkan di bawah huruf sebagai tanda kasrah yang
berbunyi I, sekarang menjadi garis miring pendek (seperti fathah) di
bawah huruf.
3. Huruf WAWU kecil diletakkan di atas huruf sebagai tanda dhammah
yang berbunyi U, sekarang hanya diambil kepala wawunya saja bulat
kemudian bagian selanjutnya berupa garis miring pendek.
4. Kepala huruf KHA dan ditulis di atas huruf sebagai tanda mati atau pepet
(sukun, berhenti). Huruf Kha berasal dari kata Khafafa yang berarti
ringan Takhfif, sekarang kepala Kha itu dibuat elastis sehingga tidak
semata-mata berupa kepala huruf Kha serta tanpa titik di atasnya.
5. Kepala huruf SYN (yang diambilkan SYIN dari kata tasydid) digunakan
sebagai tanda untuk huruf rangkap atau tanda tasydid.
6. Kepala huruf AIN (yang diambilkan huruf terakhir dari kata “qatha”.
“A” ditulis dan dikecilkan, diletakkan di atas atau di bawah Alif sebagai

210
Ahmad al-Iskandary wa Musthafa al-Anany, al-Wasith fi al-Adab al-„Araby wa
Tarikhi, cet, XVIII, (Mesir: Dairah al-Ma‟arif), h. 196.
211
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus Huruf
Arab dengan Metode Komparatif, h. 16-18.
87

tanda hamzah sehingga alif yang mendapat tanda ini (di depan kata)
disebut Hamzah Qatha.
7. Penggunaan huruf hidup. Alif, Wawu dan Ya berfungsi sebagai huruf
Madd (dibaca panjang) atau huruf hidup (vowel). Ketiga huruf tersebut
berfungsi sebagai huruf hidup dengan ketentuan:
a. Jika Alif berharakat sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang
berharakat fathah.
b. Jika Wawu berharakat sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf
yang berharakat dhammah.
c. Jika Ya berharakat sukun (mati, pepet) dan jatuh setelah huruf yang
berharakat kasrah.
Ketiga huruf tersebut juga dapat berfungsi sebagai huruf mati
sehingga dapat diberi harakat atau sandang, sehingga ketiga huruf
tersebut dapat berbunyi, a, u, i atau pepet.
8. TITIK digunakan untuk memberi ciri khas pada huruf yang bersamaan
bentuk tetapi berbeda ejaannya seperti sekarang berlaku hingga kini.
Perkembangan selanjutnya, tanda-tanda tersebut menemui
bentuknya yang lebih sederhana lagi , untuk fathah dan kasrah tidak lagi
digunakan alif dan ya, melainkan cukup dengan garis lurus miring
(diagonal) pendek seperti sekarang wawu untuk dhammah hanya diambil
lengkungan bulatnya saja untuk bagian kepala, sedangkan untuk
buntutnya digunakan garis miring berupa fathah atau kasrah, demikian
pula tasydid, sukun dan hamzah semakin lama semakin halus
bentuknya.212
Adapun keistimewaan setelah diadakannya penyempurnaan tanda
baca pada al-Quran dalam Kaligrafi Islam yaitu melalui bentuk Kaligrafi
Cursif dan Kaligrafi Kufi, di antaranya: Pertama, Model kaligrafi Cursif
213
tidak memakai sistem Abu al-Aswad ad-Du‟ali, kalau memakai sistem

212
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam (Darul Ulum Press, h. 70
213
Selain Kufi dikategorikan ke dalam kaligrafi Cursif, karena penampilannya yang
lembut (Laiyin/soft) dan mudah dibengkok-bengkokkan bahkan kerap ditulis miring, sedangkan
Kufi selalu ditulis tegak kecuali beberapa bagian pada tubuh Kufi miring. Adapun ciri pokok khat
88

Abu al-Aswad ad-Du‟ali lebih cocok untuk tulisan yang lebih besar-besar
ukurannya (seperti Kufi, karena Kufi sering ditulis dengan menggunakan
huruf-huruf besar), akan tetapi sebagai gantinya dipakailah sistem Hajjaj
ibn Yusuf as-Tsaqafi (Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur
al-Udwan al-Laitsi) dalam pemberian titik hurufnya dan sistem al-Khalil
khusus untuk tasykil.214
Sistem al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi (Nashr ibn Ashim al-Laitsi
dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi) dan al-Khalil Ahmad al-
Farahidi meleburkan kedalam “sistem tunggal” yang saling melengkapi
satu sama lain, walaupun hal itu sulit digunakan untuk penulisan Fan
Kufi kuno,215 ia digunakan juga pada masa dulu untuk tulisan Kufi Timur
dan seluruh tulisan Cursif. Ada kesepakatan pendapat bahwa hasil
tersebut mendapat pengaruh pada awal abad ke-XI, yang hidup terus
(survival) hanya sedikit sekali terjadi perubahan dan pada umumnya
masih dipakai sampai saat ini.216
Khat Muzawwa (kubisme) yang sering disebut sebagai khat Kufi
adalah asal tulisan Arab yang pernah berjaya di Hirah, Raha dan
Nasibain sebelum kota Kufah lahir. Kelahiran kota Kufah sebagai markas
agama dan politik Islam telah membawa khat tersebut pada
penyempurnaan bentuk anatomi dan keindahannya, lebih-lebih karena
dipakai untuk menyalin mushaf-mushaf al-Quran, karena keaguangan
dan keindahan tulisan Kufi tersebut. Kelahiran kota Kufah yang secara

Kufi, yakni berukuran seimbang, yang spesifik dengan sifat bersudut-sudut atau persegi menyolok,
memiliki sapuan sapuan garis vertikal pendek dan garis-garis horizontal yang memanjang dalam
ukuran sama lebar, akan tampak bahwa tulisan berbentuk empat persegi panjang. Gaya hias atau
iluminasi khat Kufi, ukuran tersebut terkadang tidak mengikat betul misalnya, pada sapuan garis
vertial yang dibuat panjang-panjang melebihi garis-garis horizontalnya namun tetap harus
ditekankan, bahwa tulisan kufi adalah tulisan bersiku-siku. Sumber D. Sirojuddin Ar. Seni
Kaligrafi Islam (Jakarta: Pustaka Pamjimas), h. 47.
214
Didin Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, h. 71.
215
Fan (Bhs Arab) ialah seni atau gaya, dikutip dari D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi
Islam. h. 26.
216
Didin Sirajuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, h. 71.
89

otomatis telah merubah khat Hieri (dari kata Hirah) menjadi Kufi. Fan
Hieri atau Kufi inilah yang juga sering disebut Jazm.217
Tulisan Hirah, memang telah diakui sejarah sebagai tulisan yang
pernah berperan dalam penyalinan masalah-masalah keagamaan. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika Kufah menjadi pemimpin utama
yang membawa reformasi (pembaharuan) terhadap tulisan Mekah dan
Madinah yang masih agak kaku, sementara Kufah sendiri dianggap
sebagai ahli waris kebudayaan Hirah. Selain itu, Kufah yang menjadi
markas agama tersebut telah mengundang sejumlah umat Islam
berduyun-duyun mendatanginya. Hal inilah yang menyebabkan tulisan
Kufi menyebar lebih cepat.218
Jika dibahas lebih jauh, khat Jazm tiada lain adalah belahan atau
potongan (majzum) dari Fan Musnad219 (dengan model lingkaran
hurufnya yang terpisah-pisah, hingga persamaan pada gaya sambung dan
gaya potongnya).220 Kemiripan yang paling menonjol terdapat pada 14
huruf dari keseluruhan abjad Musnad dengan huruf-huruf Kufi. Pada
pasal “Jazm” dalam kamus al-Muhit221
Al-Alusi menulis dalam kitabnya yang berjudul Bulug al-
Urab:222 pasal Jazm, “Khat Arab dinamakan Jazm karena
khat Kufi pada awalnya bernama Jazm, sebelum kota

217
D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press, ), h. 46.
218
D. Sirajuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press, ), h. 46.
219
Abdurrahman ibn Muhammad Ibn Khaldun al-Magribi (w. 808 H), al-muqaddimah,
(Kairo, 1957), h. 418. Mencatat bahwa orang-orang Hijaz mengambil khatnya dari Hiarah , orang-
orang Hirah dari Hameir, sedangkan Hameir sendiri dari Yaman, yang diduga sebagi tempat
kelahiran pertama kaligrafi Musnad. Sedangkan Ibnu Khallikan (w. 681 H), Wafayat al-A‟yan wa
Anba al-Zaman, (Mesir, 1948) 4 jilid, h. 346, dia menambahkan bahwa, perpindahan khat Humeiri
ke Hirah terjadi pada masa kekuasaan keluarga Munzir. Muhammad Tahir ibn Abdul Kadir al-
Kurdi al-Makki al-Khattat, Tarikh al-Khat al-Arabi wa Adabuhu, (Arab Saudi: al-Jam‟iyatu al-
Arabiyah al-Su‟udiyah li al-Saqafah wal Funun), Cet. Ke-II, dia mengatakan bahwa fan Musnad
adalahkaligrafi yang mula-mula dari sekian banyak jenis kaligrafi yang dipakai oleh masyarakat
Humeir (Himyar) dan Raja-raja Ad (Kaum Ad berikut kedurhakaan mereka digambarkan secara
jelas di dalam al-Quran Surat 11:59, 22:42, 26:123, 38:12, 41:15, 50:13, 54:18, 69:4 67:68, 11:60,
89:6, 51:4, 7:73, 9:71, 14:9, 40:43, 41:13, 46:21, 29:38, dan 53:50. Selengkapnya lihat D.
Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta:Panjimas, 1987),Cet. Ke-II, h. 27-29.
220
Sirajuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press, ), h. 46.
221
Al Fairuz Abady, al-Qamus al-Muhit tanpa menyebutkan halaman.
222
Naji Zaynuddin, Muzawwar al-Khat al-Araby (Bagdad: Maktabah al-Nahdah), Cet.
Ke-2, h. 298.
90

Kufah didirikan. Dinamakan Jazm karena dia “Juzima‟


atau (terpotong), dan dilahirkan dari Fan Musnad
Humeiri, dan khat Kufi sudah lama sekali umurnya.
Peletaknya adalah Sayidina Isma‟il as. Disebutkan oleh al-
Washiyah an-Nabty dalam kitabnya berjudul Syawq al-
Mustaham an-Nabty ya fi Ma‟rifati Rumus al-Aqlam.
Sedangkan Ibnu Nadim mengatakan, yang menulis dengan
Arab Jazm ini adalah seorang lelaki dari bani Makhlad ibn
al-Nazar ibn Kinanah: maka sejak saat itulah masyarakat
Arab mulai menulis dengannya.” Al-Fairuz223
menambahkan: “… Karena itu, orang Arab menamakan
khatnya dengan Jazm sebab ada potongan atau kepingan
(Jazm) dari musnad Humeiri dan Khat Humeiri dinamakan
Musnad kerena dia bersandar kepada Nabi Hud as.”
Mungkin yang dimaksud Fairuz adalah bahwa khat Musnad
pernah dipakai menulis oleh Nabi Hud as. Jika demikian
alangkah tuanya usia tulisan tersebut.224
Hasil terakhir dari rumus-rumus al-Khalil Ahmad al-Farahidi di
atas terus berlaku sampai saat ini dan menjadi warisan abadi bagi
khazanah Islam yang tiada ternilai harganya. Orang-orang tidak akan
kesulitan lagi membaca al-Quran karena telah dilengkapi dengan rumus-
rumus tersebut yang sudah populer di mana-mana.225
Atas kontribusi itu, perbedaan qira‟at al-Quran sedikit-demi
sedikit mulai pudar, karena para pembaca al-Quran pada saat itu sudah
sangat terbantu dengan adanya tanda baca tersebut. Seperti yang kita
tahu, bahwa tanda-tanda yang diciptakan oleh al-Khalil Ahmad al-
Farahidi masih tetap langgeng, dan difungsikan oleh semua umat Islam

223
Al Fairuz Abady, al-Qamus al-Muhit, IV, h. 88
224
Sirajuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press, 1987 ), h. 47.
225
D. Sirajuddin AR. Seni Kaligrafi Islam, (Darul Ulum Press, ), h. 71.
91

sebagaimana fungsi saat diciptakannya tanda-tanda tersebut tanpa


sekalipun merubahnya.226
Awal muncul kesadaran para ahli bahasa Arab dipicu oleh
adanya ragam perbedaan qiraat al-Quran, kemudian dalam
perkembangannya tahapan-tahapan yang dimulai oleh Abu al-Aswad ad-
Du‟ali hingga al-Khalil Alfarahidi al-Busairi tersebut menjadi cikal bakal
lahirnya sebuah bidang ilmu dalam kaidah bahasa Arab yang disebut
Ilmu Nahwu. Oleh karena itu, tak salah jika banyak orang yang
mengatakan bahwa bapak pencetus ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad ad-
Du‟ali, karena Abu al-Aswad ad-Du‟ali yang meletakkan batu pertama,
meskipun hanya sebatas memberikan titik yang berfungsi sebagai tanda
baca dan juga I‟rab.
Demikian pembahasan tentang peran Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam ilmu
nahwu dan pemberian titik (nuqthah) pada huruf-huruf al-Quran yang
disempurnakan oleh generasi berikutnya yaitu kedua murid dari Abu al-Aswad
ad-Du‟ali yaitu Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-Udwan al-
Laitsi dan yang terakhir oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi.

226
Afif Kholisun Nashoih, Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya
Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, feb. 2017. ISSN2548-
6896,Availableat: http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php.dinamika/article/view/106. Date
accsseed: 30 Oct. 2017. [PDF]unwaha.ac.id. h.18.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah seorang tabi‟in sekaligus murid dari
Khalifah Ali ibn Abi Thalib, tokoh penemu tata bahasa Arab dan Sharaf setelah
mendapat rekomendasi dari Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Abu al-Aswad ad-Du‟ali
adalah orang yang pertama kali merumuskan tanda baca berupa titik (merah)
berfungsi sebagai syakal pada al-Quran (hitam) dibantu oleh juru tulis yaitu Abdi
al-Qais atas perintah Ziyad ibn Abihi (guberbur di Basrah 55 H) yang terjadi pada
masa pemerintahan Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Mu‟awiyah ibn Abi
Sufyan (41- 60 H/661-683), hal tersebut dilakukan karena banyaknya orang Ajam
yang masuk Islam, kebanyakan dari mereka masuk kalangan Ulama dan Qurra,
ketika mereka membaca al-Quran banyak terjadi salah baca atau Lahn. Sebelum
menggeluti ilmu Nahwu, Abu al-Aswad ad-Du‟ali banyak berkiprah dalam dunia
perpolitikan, dimana Abu al-Aswad ad-Du‟ali pernah menjabat sebagai hakim di
Basrah pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (13- 23 H/634-644
M), sedangkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib (35-41 H/656-661M),
Abu al-Aswad ad-Du‟ali diangkat sebagai gubernur di Basrah.
Adapun al-Quran masa Rasulullah saw ialah tulisannya masih gundul dan
berserakan ada yang di pelepah kurma, batu cadas dan kulit binatang. Setelah
Rasulullah saw wafat al-Quran di pegang oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (11-
13 H/632-634 M) terjadi penghimpunan al-Quran. Ketika Abu Bakar as-Siddiq
wafat kekhalifahan di pegang oleh Umar ibn Khattab (13-23 H/634-644 M)
progres al-Quran tidak ada akan tetapi, Khalifah Umar ibn Khattab adalah seorang
pencetus ide pertama kali dalam sejarah penghimpunan al-Quran terhadap
Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Setelah Khalifah Umar ibn Khattab wafat untuk
sementara waktu himpunan al-Quran di pegang dan dirawat oleh Hafshah akan
tetapi demi kepentingan penggandaan al-Quran di zaman Khalifah Utsman ibn
Affan (644-636 M) himpunan al-Quran yang berada di tangan Hafshah diminta
oleh Khalifah Utsman ibn Affan karena di kalangan umat Islam terjadi perbedaan

105
106

qira‟at al-Quran dan al-Quran saat itu diberi nama Mushaf Utsmani. Khalifah Ali
ibn Ali Thalib pernah menulis al-Quran selama tiga hari. Tiga hari tersebut
tidaklah mungkin Ali ibn Abi Thalib selesai menulis al-Quran bisa jadi, mulai
adanya perintah menulis al-Quran oleh Rasulullah saw, dia menulis dan
mengumpulkannya atau bisa jadi dia menulis al-Quran hanya beberapa bagian
saja. Al-Quran pada masa Bani Umayyah oleh Marwan ibn al-Hakam, dia pernah
meminta beberapa kali shuhuf yang ada di tangan Hafshah dengan maksud untuk
membakarnya akan tetapi Hafshah tidak memberikannya. Setelah Hafshah wafat
Marwan ibn al-Hakam berhasil membakar shuhuf Hafshah tersebut dengan alasan
untuk menghindarkan keraguan umat Islam di masa yang akan datang jika mushaf
al-Quran terdapat dua naskah (shuhuf Hafshah dan Mushaf Utsmani). Abu al-
Aswad ad- Dua‟li adalah orang yang pertama kali mengadakan tanda baca pada
al-Quran berupa titik merah yang berfungsi sebagai syakal, kemudian dilanjutkan
oleh kedua muridnya yaitu Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya‟mur al-
Udwan al-Laitsi dengan mengadakan titik hitam yang berbentuk diagonal
berfungsi sebagai pembeda huruf atau I‟jam. Penyempurnaan al-Quran terakhir
dilakukan oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Busairi, bisa bilang dia masih
berpegang teguh pada sistem yang digunakan oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali dan
kedua muridnya. Al-Khalil menambahkan dengan menggunakan tanda-tanda yang
terambil dari huruf-huruf yang menjadi sumber-sumber bunyi yaitu Alif sebagai
sumber dari bunyi a (fathah), Ya sebagai sumber dari bunyi i (kasrah), dan Wawu
sumber dari bunyi u (dhammah), sedangkan untuk tanwin huruf yang
bersangkutan digunakan rangkap atau double . Huruf-huruf tersebut dibuat lebih
kecil dari huruf-huruf pokok tulisan al-Quran.
Penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, apa yang dilakukan oleh Abu
al-Aswad ad-Du‟ali yaitu pemberian titik telah meminimalisir adanya lahn yang
terjadi di kalangan orang Ajam dan pembaca al-Quran. Kedua, Abu al-Aswad ad-
Du‟ali telah meletakkan pondasi bagi terbentuknya ilmu I‟rab atau ilmu Nahwu.
Ketiga, Penyempurnaan dasar-dasar ilmu Nahwu di antaranya: generasi pertama
yaitu Abu al-Aswad ad-Du‟ali dan Abdurrahman ibn Hurmuz, generasi kedua
dilakukan oleh kedua murid-murid dari Abu al-Aswad ad-Duali, yaitu: Yahya ibn
107

Ya‟mur al-Udwan al-Laitsi, dan Nashr ibn Ashim al-Laitsi, dilanjutkan oleh
Maimun al-Aqran, Anbasah al-Fil, generasi ketiga Abdullah ibn Abu Ishak, Abu
Umar ibn Ula, Isa ibn Amr al-Tsaqafi, generasi keempat al-Akhfas al-Akbar, al-
Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, Yunus ibn Habib, generasi kelima Sibawaih, al-
Yazidy, generasi keenam al-Akhfasy al-Awsath, Qatrab, generasi ketujuh al-
Jurmy, at-Tauzy, al-Maziny, Abu Chatim al-Sijistany, al-Riyasy dan generasi
kedelapan al-Mubarrad.

B. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan maka penulis memiliki saran yakni:
1. Kalau dilihat dari segi biografi Abu al-Aswad ad-Duali, penulis hanya
membahas sekilas saja sekedar untuk mengetahui secara umum siapa
sebenarnya Abu al-Aswad ad-Du‟ali karena penulis hanya fokus kepada
pembahasan penyempurnaan dalam pemberian titik dan tanda baca pada
al-Quran. Diharapkan peneliti berikutnya bisa lebih detail
meneliti/meneropong profil Abu al-Aswad ad-Du‟ali secara lengkap di
dalam buku karya Muhammad Mansur, Abu al-Aswad ad-Du‟ali fil
Midzan, Iran: Maktab al-I‟lam al-Islami, Markas Nasir 1376.
2. Abu al-Aswad ad-Du‟ali adalah salah seorang penyair dari Basrah dan
banyak berkiprah di dalam dunia perpolitikan. Oleh karena itu,
diharapkan kepada peneliti berikutnya bisa menggali lebih lengkap apa
saja tema syair-syair yang pernah digubah oleh Abu al-Aswad-ad-Du‟ali.
3. Perlu diketahui bahwa pondasi lahirnya ilmu Nahwu berasal dari jerih
payah Abu al-Aswad ad-Du‟ali setelah dia mendapat izin dari Khalifah
Ali ibn Abi Thalib untuk menyusun I‟rabil Hurf. Pembahasan dalam
bidang ilmu Nahwu yang dipelopori oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali masih
minim sekali dibahas oleh orang-orang. Jadi, penulis berharap semoga ke
depannya ada dari peneliti berikutnya lebih spesifik untuk membahas
bagaimana cara yang ditempuh oleh Abu al-Aswad ad-Du‟ali dalam
merumuskan ilmu Nahwu.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer

Baba, al-Kamil. Dinamika Kaligrafi Islam. Penj. D. Sirojuddin AR, Jakarta: Darul
Ulum Press, 1992.

Karim, Husain Abdul. Seni Kaligrafi Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus
Huruf Arab dengan Metode Komparatif, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, t.th.

Qaththan, al- Manna‟ Khalil. Pengantar Ilmu Studi Al-Quran. Penj. Anunur Rafiq
el-Mazni. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

Sirojuddin, AR, D. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Panjimas, 1987.

Sumber Sekunder

„Adil Kamal, Ahmad. Ulumul Al-Qur‟an. Kairo: Al-Mukhtaru al-Islmi, 1707.

„Azami, M. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Penj. Ali Musthofa Ya‟qup.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Ahmad ibn Ali, Abu al-Abbas. al-Qasqhasandy, Subh al- Asya. Kairo: Wazarah
al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumy, Jilid I. t.th.

Ahmad Syamsuri, Hasani. Studi Ulumul Quran. Jakarta: Zikra Multi Service,
2009.

Al-Alusi M, Abi Umar ibn Muhammad ibn Abd Rabbih al-Andalusi. al-„Iq al-
Farid. Bairut: Dar al-Kitab, 1973.

Ali as-Shabunie, Moh. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Quran. Terjemahan dari


Attibiyanu fi Ulumil Quran. Jakarta: Al-Ikhlas, 1983.

Ali Mudhar,Yunus dan Bey Arifin. Sejarah Kesusastraan Arab. Surabaya: Bina
Ilmu, 1983.

Al-Quran al-Karim

Al-Sayyid Handawi, Ali Ismail. Jami‟ul al-Bayan Fi Ma‟rifati Rasmi al-Qur‟an.


Riyadh: Daar al-Furqan, 1410 H.

107
108

Al-Wahhab Khalaf, Abd. Ilmu Ushul al-Fiqh. Cet ke-VIII Mesir: Dar al-
Qalam,1978.

Amin, Ahmad, Penerjemah Zaini Dahlan. Fadjr Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1967.

Ahmad, Musthafa al-Iskandary. al-Wasit fi al-Adab al-Araby wa Tarikhi, XVIII.


Mesir: Dairat al-Ma‟arif, th.

Anany Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan.


Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2013.

Ash-Shalih, Subhi. Penj. Nur Rakhim. Mabahits fi Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-
tlm Li al-Malayin, 1988.

As-Suyuti, Imam. Tarik Khulafa‟. Penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2003.

Atjeh, Aboebakar. Sejarah al-Quran. Cet ke-IV. Surabaya: Sinar Bupemi, 1956.

Baba, al-Kamil. Dinamika Kaligrafi Arab. Penj. D. Sirojuddin AR Kepustakaan


LEMKA Sukabumi. 1989.

___________. al-Ruh al-Khath al-„Arabi. Bairut: Dar al-Ilm wa al-Malayin, cet I,


1983.

___________. Dinamika Kaligrafi Arab. Alih Bahasa dan Kata pengantar D.


Sirojuddin AR. Kepustakaan Pesantren LEMKA Sukabumi, 1989.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur‟an dan Ulumul Qur‟an. Jakarta: Dana Bakti Prima
Jaya, 1998.

Dawud, Ibn Abi, Abu Bakar Abd Allah. Kitab al-Mashahif, ed. A. Jeffery. Mesir:
al-Mathba‟ah al-Rahmaniyah, 1936.

Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jilid IV CET ke-III Jakarta: Ikhtiar baru Van
Houve, 1994.

Dhaif, Syauqi. al-Madaris an-Nahwiyah. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1968.

Djalal, Abdul. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu, 1998.

Fadli, al-Hadi. Marakiz al-Dirasah al-Nahwiyah. Urdun: Maktabah al-Manar,


1986.
109

Farid, Ahmad. Biografi Ulama Salaf. Penj Masturi Ilham dan Asmu‟I Taman.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

Habash al-Bayati, Hasan Qasim. Rihlah al-Mushaf al-Syarif. Bairut: Dar al-
Qalam, 1414 H.

Hadi M, Ma‟rifat. Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta: al-Huda, 2007.

Hamka. Tafsir al-azhar, pasal Ghanimah, Juz X, Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
t.th.

Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir.


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Husain, Abdul Karim. Seni Kaligrafi Khat Naskahi Tuntunan Menulis Halus
Huruf Arab dengan Metode Komparatif. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
1985.

Husen al-Dzahabi, Buhuts Fi Ulum al-Tafsir wa al-Fiqhi wa al-Da‟wah : Cairo:


Dar al-Hadits, 2005.

Ibn Khaldun al-Magribi Abdurrahman ibn Muhammad, al-muqaddimah, Kairo,


1957.

Israr, C. Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab. Jakarta: Yayasan Masagung,


1985.

Jazari Ibnu, Muhammad ibn Ahmad. al-Nasyir fi al-Qira‟at al-Asyr. w. 833 H.


ed, Ali Muhammad al-Dlabba‟. Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-
Kubra, t.th.

K. Hitti, Philip. History of The Arab., New York: The Macmillan Press, 1974.

Kamal, Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah al-Quran, Jakarta: PT Rajawali Press,


1991.

Kan‟an, Muhammad ibn Ahmad. Syaikh. Daulah Bani Umayyah. Syaikh. Penj.
Irwan Raihan. Solo: al-Qowam, 2015.

Khallikan, Ibnu (w. 681 H). Wafayat al-A‟yan wa Anba al-Zaman. Mesir, 1948.

Khoiri R, Ilham. Al-Quran dan Kaligrafi Arab: Peran Kitab Suci dan
Transformasi Budaya. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
110

Lewis, Bernard. Penj Said Jamhuri. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari
Segi Geografi, sosial, Budaya dan Peranan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1998.

Mansur, Muhammad. Abu al-Aswad ad- Du‟ali fil Midzan. Iran: Maktab al-I‟lam
al-Islami, Markaz Nasir, 1376.

Mursi, Muhammad Said. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta:


Pustaka al-Kautsar, 2007.

Nadim, al-Ibn. Fhirst, ed. Bayard Dogde. New York dan London: Columbia Univ
Press, 1970. ed. Arab, Beirut- Libanon: Dar al-Kutub al-„ilmiyah, 1997.

Nashif, Hifni. Hayat Al-Lughah Al-Arabiyah. Bur Sa‟id: Maktabah ats-Tsaqafah


ad-Diniyah, t.th.

Nashir al-Thayyar bin Musa‟id bin Sulaiman. al-Muharrir Fi Ulum al-Qur‟an.


Jeddah: Markaz al-Dirasah wa al-Ma‟lumat al-Qur‟aniyah, 2008.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.

_____________. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: PT Mizan


Pustaka, 1995.

Nawawi, Rif‟at Syauki dan M. Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.

Qadhi, Abdul Fattah. Tarikh al-Mushhaf Syarif, Cairo: Maktabah wa Mathba‟ah,


al-Masyhad al-Husaini, 1965.

Quraibi, al-Ibrahim. Tarikh al-Khulafa.‟ Penj. Faris Khairul Anam. Jakarta: Qisthi
Press, 2009.

Ra‟fat al-Basya, Abdurrahman. Penj Abu Umar Basyir, Sirah Para Tabi‟in,
Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011.

Safadi, Yasin Hamid. Islamic Calligraphy. London: Thames and Hudson, 1978..

Said al ibn Lubaib. Mushaf al-Murattal. Kairo: Dar al- Katib al-Arabi, t.th.

Shihab M, Quraish. Mukjizat al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,


Isyarat, Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.

______________. Lentera al-Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994.


111

______________. et al. Sejarah dan Ulumul Qur‟an, Jakarta: Pustaka Firdaus,


1999.

Sirojuddin, AR, D. Kuliah Seni Kaligrafi Islam, Fakultas Adab dan Humaniora
IAIN Jakarta. 1983.

Sirojuddin, D. AR., Diktat Kuliah Seni Kaligrafi Islam. Skripsi SI Fakultas Adab
dan Humaniora, IAIN Syarif Hidayarullah Jakarta, 1984.

Subhani, Ja‟far, al-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah, Penj. Muhammad


Hasyim dan Meth Kieran. Jakarta:Lentera, 1996.

Suma, Muhammad Amin. Ulumul Quran. (ed I, cet I.), Jakarta: Rajawali Pers,
2013.

Suyuthi, al-Jalaluddin. al-Itqan fi Ulum al-Quran. Beirut: Muassasah al-Kutub


as-Saqafiyah, Dar al-Fikr, tth.

Syahneci, Kadzim Munir. “Manuskrip-manuskrip Kuno,” al-Hikmah, VII,5


(November, 1992), h. 13.

Syahin, Abdussabur, Penj Ahmad Bachmid, ed Indonesia, Sejarah al-Quran,


Jakarta: PT Rehal Publika, 2008.

Syarif Hidayatullah, Moch. Cakrawala Linguistik Arab. Tangerang Selatan: al-


Kitabah, 2012.

Syukri, Bulugh al- Adab fi Ma‟rifah ahwal al-Arab, Bairut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyah, t.th.

Taman, Al-Ushul Dirasah Ibtimulujiyah li ushulil Fikri al-Lughah al-Arabiyah,


Maghrib: ad-Darul Baydhah. 1991.

Thahthawiy, Muhammad. Nasyatu an-nahwi wa Tarikh Asyhuria an-Nuhah.


Mesir: al-Azhar, 1969.

Tibi, Bassam. Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam
Era Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi. Penj. Yudian W. Asmin Naqiyah
Mukhtar dan Afandi Mocthar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: PT Mizan


Pustaka, 1995.

Tohir, Muhammad ibn Abdul Kadir al-Kurdi al-Makki al-Khattat, Tarikh al-Khat
al-Arabi wa Adabuhu. Arab Saudi: al-Jam‟iyatu al-Arabiyah al-Su‟udiyah
li al-Saqafah wal Funun, t.th.
112

Vondeffer, Ahmad. Ilmu al-Quran. Jakarta: Rajawali Press, 1988.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2008.

Zaidan, Georje. History of Islamic Civilitation. New Delhi: Fine Press, 1981.

Zanjani, Abu Abdullah. Penj Kamaluddin Marzuki Anwar dan A Qurthubi


Hassan. Wawasan Baru Tarikh al-Quran. Bandung: Mizan, 1993.

Zarqani, Muhammad Abd al-„Azhim. al- Manahil al-Irfani fi Ulum al-Quran,


Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H.

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Quran. Surabaya: Bina Ilmu,1987.

Jornal

Aang Saeful Milah. Otorisasi Hadits Sebagai Sumber Kaidah Bahasa: Studi
Analisis Pemikiran Ibnu Malik dalam Pembentukan Kaidah Nahwu.
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Issue Date 05 Oct
2015. Series/Report: 000-029-08-3249: 1090 PPS T
http://respository.uinjkt.ac.id/dsape/handle/123456789/6303
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=aang+saefu
l+milah+otoriasi+hadits+sebagai+sumber+kaidah+bahasa&btnG=[PDF]ui
njkt.ac.id

Abd Kadir. Pembelajaran Membaca al-Quran pada Periode klasik. Kadir - Jurnal
Media Pendidikan Agama Islam, 2014 - ejournal.kopertais4.or.id

Afif Kholisun Nashoih. Problematika Qiraat al-Quran: Pintu Masuk Munculnya


Kajian Bahasa Arab. DINAMIKA, [S.I ], v. I. n. I, p. 93-113, feb. 2017.
ISSN 2548-6896, Availableat:
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Afif+Kholi
sun+Nashoih+problematika+qiraat+al-
quran+pintu+masuk+munculnnya+kajian+bahasa+arab&btnG=

https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=rahmap+ali
ran+basrah+sejarah+lahir+tokoh+dan+karakteristiknya&btnG= [PDF]
Jounaliainpontianak.or.id

Dolla Sobari, Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Aliran Basrah, Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Jl. Zainal
Abidin Fikry, No. 01 Km. 3,5 Palembang. Phone:
0817277835/08127144404.
113

http://ejournal.kopertais4.or.id/susi/index.php/jmpai/article/view/1295.http
://scholar.google.co.id/scholar_url?url=http%3A%2F%2Fjurnal.radenfatah
.ac.id%2Findex.php%2Ftamaddun%2Farticle%2Fview%2F134&hl=id&sa
=T&ct=res&cd=0&ei=d_L2WeuzO6WFjgTH9bzgAQscisig=AAGBfm2nr
UMKh-wPGgPlKgp4v67l9_lg-A&nossl=1&ws=1366x664&

Tamaddun by http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/tamaddun is licensed


under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License.

Website

Al-Arabiyyah. Com/20015/05/ Abu al- Aswad-ad-Du‟ali, penemu-ilmu


nahwu. html.

https.//www. Kisahislam.net/2012/05/23/kisah-tabiin-abu-al-aswad-ad-duali/.
114

LAMPIRAN-LAMPIRAN
115

A. Al-Quran masa Rasulullah saw masih gundul dan tulisan al-Quran juga masih
berserakan ada yang di pelepah kurma, batu cadas, dan kulit binatang.

Gambar 1. A: Halaman dari surat An- Nur ayat 31-36 tertera dalam mushaf penghujung abad
ke-8 Miladiyah. Teks di atas terdiri dari 23 baris. Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab,
Penj D. Sirojuddin AR (Sukabumi: Kepustakaan Pesantren LEMKA, 1989), h. 41.
Bunyi lengkap dari ayat di atas adalah:

              

             

              

                

                 

       


      

                

                

                 

                

                

               

              
     

                   

        


116

Gambar 1. B: Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirojuddin AR


(Sukabumi: Kepustakaan Pesantren LEMKA, 1989), h. 25-26. Empat baris pertama berisi
ayat-ayat dari surah Maryam : 97-98, baris ke 4-5 berbunyi:

                  
...

sedangkan tujuh baris berikutnya adalah surat At-Thaha, dengan bunyi:

   

           
117

Gambar 1. C: Ayat-Ayat Surat Al-An‟am. Dikutip dari Kamil al-Baba, Kaligrafi Islam,
Alih Bahasa dan Kata Pengantar D. Sirojuddin AR (Jakarta: Darul Ulum Press, 1992. h.
21.

Dengan bunyi:

ُ‫ (د) اٌزي خٍمى‬ٛ٘ ٌْٛ ‫ُ ٌؼذ‬ٙ‫ا (ج) تشت‬ٚ‫س(ب) ثُ اٌزٌٓ وفش‬ٌٕٛ‫ا‬ٚ ‫جغ ) أ ( اٌظٍّا ت‬ٚ ‫األسض‬ٚ ‫ا ت‬ّٛ‫خٍك اٌغ‬
‫ا (ط) ت‬ّٛ‫لَا فً ا ٌغ‬ٛ٘ )‫ ( ح‬ٚ ْٚ‫ أجً ِغّى ػٕذ ( ص) ٖ ثُ أٔحُ جّحش‬ٚ ‫ ) جَل‬ٚ ( ‫(ٖ) ِٓ طٍٓ ثُ لضى أ‬
)‫شوُ ( ن‬ٙ‫ج‬ٚ ُ‫فٍاألس ( ي) ض ٌؼٍُ عشو‬ٚ
118

B. Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin yaitu pada masa Khalifah Utsman ibn Affan
telah terkumpulkan dalam satu mushaf yaitu mushaf Utsmani.

Gambar B.1: Manuskrip mushaf Utsmani di Tashkent, Uzbekistan. Sumber:


Unesco.com. Dikutip dari buku Abdussabur Syahin, Sejarah al-Quran, Penj. Ahmad
Bachmid, ed. Indonesia, (Jakarta: PT Rehal Publika, 2008), h. 14-15.

Gambar B.2: Bagian dari Mushaf Utsmani dengan khat Kufi gundul surat Al-An‟am
ayat Ke-1, dengan bunyi:

.          

Sumber: D. Sirojuddin AR. Diktat Kuliah Seni Kaligrafi Islam (Sukabumi: Kepustakaan
Pesantren LEMKA, (Jakarta, 1984), h. 2.
119

C. Al-Quran amam Bani Umayyah sudah ada tanda baca berupa titik berfungsi sebagai
syakal ( Masa kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan)

Gambar C. 1: Tulisan Kufi bertitik menurut teori Abu al-Aswad ad-Du‟ali di akhir
surah Al-A‟raf ayat 206. Dengan bunyi:

            
Sumber: Kamil al-Baba, Dinamika Kaligrafi Arab, Penj. D. Sirajuddin AR
(Sukabumi: Kepustakaan Pesantren LEMKA,. 1989) h. 40.

D. Al-Quran amam Bani Umayyah sudah ada tanda baca berupa titik berbentuk
diagonal berfungsi sebagai pembeda huruf yang bentuknya sama tapi pelafalannya
berbeda I’jam oleh Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya’mutr l-Udwan al-
Laitsi (Masa kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan)

    

Gambar D. 1: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S Al-Baqarah: 60 (huruf yang di I‟jam


ialah ‫ ت‬,ْ ,‫خ‬

       

Gambar D. 2: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S Al-Baqarah: 87 (huruf yang di I‟jam

‫ ت‬,ْ ,‫ ي‬,‫ ب‬,

  


120

Gambar D. 3: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S At-Takwir: 12 (huruf yang di I‟jam ialah
‫ ح‬,‫ج‬

     

Gambar D. 4: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S Al-Baqarah: 60 (huruf yang di I‟jam


ialah ‫ ص‬,‫س‬

  
       

Gambar D. 5: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S Al-Baqarah: 48 (huruf yang ialah ‫ ػ‬,‫ط‬

     

Gambar D. 5: Sumber Al-Quran al-Karim Q.S Al-A‟raf : 117 (huruf yang bergandengan
bentuknya sama namun pelafalannya berbeda ialah ‫ ف‬,‫ق‬

E. Al-Quran masa Bani Abbasiyah berupa titik sebagai pembeda huruf antara huruf
yang bersamaan bentuknya tapi pengucapannya berbeda, titik diagonal sebagai
harakat (al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi)

Gambar E. 1: Khat Kufi Timur, penuh tanda baca menurut sistem al-Khalil ibn Ahmad
al Farahidi al-Busairi, surah An-Nisa‟ ayat 121. Diperkirakan disalin di Irak/Persia pada
masa Bani Abbas di penghujung abad ke-10. Sumber: D. Sirojuddin AR, Seni Kaligrafi
Islam. Dikutip dari buku Abdussabur Syahin, Penerjemah Ahmad Bachmid, ed.
Indonesia, Sejarah al-Quran, (Jakarta: PT Rehal Publika, 2008), h. 111.

Anda mungkin juga menyukai