Bab Ii Tipus Up Dayu
Bab Ii Tipus Up Dayu
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin D
2.1.1 Metabolisme vitamin D
Vitamin D dapat diperoleh melalui makanan misalnya lemak ikan dan
derivatnya, namun sebagian besar vitamin D di dalam tubuh diperoleh dengan
sintesis vitamin D di kulit yang dimediasi paparan langsung sinar ultraviolet-B
(UVB). Diperlukan dua tahap hidroksilasi untuk mengaktifkan vitamin D.
Radiasi sinar ultraviolet-B dengan panjang gelombang 290-315 nm
mempenetrasi kulit dan mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin
D3, yang secara cepat diubah lagi menjadi vitamin D3 . Selanjutnya, vitamin D3
dibawa dalam sirkulasi menuju hepar, dimana oleh enzim 25-hydroxylase,
vitamin D3 diubah menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25-OHD 3) atau calcidiol.
Bentuk vitamin D inaktif ini merupakan bentuk yang terbanyak beredar di
sirkulasi sebingga digunakan oleh para klinisi untuk dapat menentukan status
vitamin D pasien. Tahap hidroksilasi kedua berlangsung di ginjal melalui
enzim 1-α hydroxylase yang mengubah 25-hydroxyvitamin D3 menjadi lα,,25-
dihydroxyvitarnin D3 (Iα,25(OH) 2D3) atau calcitriol, bentuk aktif dari vitamin
D.8
Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan berikatan
dengan protein-pengikat vitamin D sehingga kompleks tersebut dapat masuk
ke dalam sel. Agar dapat menghasilkan efek pada sel targetnya, vitamin D
berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terdapat pada berbagai tipe
sel, antara lain pada sistem skeletal, ginjal, kulit, hepar, dan sel islet pankreas.
Ditemukannya reseptor vitamin D pada sel imun mendukung hipotesis dimana
vitamin D dapat mempengaruhi proses autoimun. 10
8
Gambar 2.1 Metabolisme vitamin D di dalam tubuh. 17
9
800 hingga 1000 IU vitamin D setiap harinya. 8,9
Berikut adalah tabel kandungan vitamin D pada berbagai jenis
makanan: 9,18
10
kalsium di usus. Oleh karena itu, secara tidak langsung vitamin D berperan
dalam mempertahankan kepadatan mineral tulang. 9
Saat ini peran non-skeletal vitamin D diteliti lebih dalam. Reseptor
vitamin D yang ditemukan pada berbagai sel tubuh, seperti sel hepar, lambung,
prostat, pankreas, dan pada sebagian usus besar mengarahkan fungsi vitamin D
tidak hanya sebatas pada mempertahankan homeostasis kalsium, namun
memiliki implikasi yang lebih luas. Dengan ditemukannya reseptor vitamin D
pada sel imun, peran vitamin D sebagai potent imunomodulator juga terus
dikembangkan. Vitamin D mampu menghambat maturasi monosit, makrofag
dan sel dendritik yang memiliki peranan utama dalam proses autoimun, seperti
pada sklerosis multiple, rheumatoid arthritis, dan juga diabetes mellitus tipe 1.
Saat ini, vitamin telah digunakan sebagai standar terapi psoriasis, penyakit
autoimun yang menyerang kulit. 9,10
11
vitamin D semakin mengalami defisiensi, kelenjar paratiroid akan terstimulasi
secara maksimal, menyebabkan hiperparatiroid sekunder. Hipomagnesemia
menyebabkan respon ini menjadi tak tampak, artinya hormone paratiroid masih
normal meskipun kadar 25-hydroxyvitamin D dalam darah hingga dibawah 20
ng/ml. Hormone paratiroid meningkatkan metabolisme 25-hydroxyvitamin D
menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D, yang akan menyebabkan eksaserbasi
defisiensi vitamin D. Hormone paratiroid juga menyebabkan terjadinya
fosfaturia sehingga kadar fosfor dalam darah ikut menurun. Tanpa adanya
kalsium dan fosfor yang mencukupi, mineralisasi matriks kolagen menjadi
terbatas sehingga gejala klasik rickets akan muncul pada anak dan
osteomalasia pada remaja. 9
Osteoporosis tidak berhubungan dengan nyeri tulang sedangkan
osteomalasia berhubungan dengan nyeri tulang baik lokal maupun general.
Nyeri tersebut disebabkan karena terjadinya hidrasi matriks gelatin
demineralisasi di dalam periosteum. Matriks yang mengalami hidrasi terdorong
keluar periosteum menyebabkan rasa nyeri tertusuk-tusuk. Osteomalasia dapat
didiagnosis dengan cara ibu jari menekan sternum atau anterior tibia, maka
akan menimbulkan rasa nyeri. 9
12
Gambar 2.2 Sintesis dan metabolism Vitamin D dalam Regulasi Kalsium,
fosfor dan Metabolisme Tulang. 9
13
termasuk gen yang mengatur proliferasi sel, diferensiasi sel, apoptosis dan
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah). Vitamin D juga mampu
menurunkan proliferasi sel pada sel normal maupun sel abnormal. Bila kadar
vitamin D berkurang akan berakibat proliferasi sel terganggu sehingga tubuh
akan merespon dengan pertumbuhan sel yang abnormal. 9
1,25-dihydroxyvitamin D juga merupakan imunomodulator potent.
Monosit dan makrofag yang mengenali lipopolisakarida atau Mycobacterium
tuberculosis meng up-regulasi gen reseptor vitamin D dan gen 25-
hydroxyvitamin D-1α-hydroxylase. Meningkatnya produksi 1,25-
dihydroxyvitamin D3 menyebabkan terjadinya sintesis Cathelicidin, suatu
peptide yang dapat menghancurkan kuman M.tuborculosis dan agen infeksius
lainnya. Ketika kadar 25-hydroxyvitamin D di bawah 20 ng/ml, monosit dan
makrofag akan menghalangi respon imun secara alami (innate immune). 1,25-
dihydroxyvitamin D3 mencegah sintesis rennin, meningkatkan produksi insulin
dan meningkatkan kontraktilitas myocardial. 9
14
2.1.4 Defisiensi vitamin D
Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi American
Academy of Pediatrics menjadi normal dengan kadar vitamin D 30-100 ng/mL,
insufisiensi dengan kadar vitamin D 20-30 ng/mL, defisiensi dengan kadar
vitamin D < 20 ng/mL. 9,17
Dengan menggunakan definisi diatas, diperkirakan satu miliar
penduduk dunia mengalami insufisiensi dan defisiensi vitamin D. Anak-anak
dan remaja memiliki risiko tinggi untuk mengalami kekurangan vitamin D
karena sedang dalam masa pertumbuhan. Di Indonesia sendiri belum terdapat
data akurat mengenai prevalensi defisiensi vitamin D. Namun, suatu studi
cross-sectional yang dilakukan pada 91 anak sekolah dasar menunjukkan
mengalami kekurangan vitamin D, dengan 75,8% anak mengalami insufisiensi
dan mengalami defisiensi vitamin D. 12 Defisiensi vitamin D pada masa anak-
anak dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan deformitas tulang,
rickets, dan meningkatkan risiko fraktur. Sedangkan pada usia dewasa,
defisiensi vitamin D menyebabkan osteopenia dan osteoporosis, osteomalasia
dan kelemahan otot. 9,13
2.2 Obesitas
2.2.1 Batasan obesitas
Kata obesitas berasal dari bahasa Latin, yaitu: obesus, obedere, yang
artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau kegemukan merupakan suatu
kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh
secara berlebihan.19 Obesitas adalah suatu keadaan di mana terjadi penimbunan
lemak tubuh secara berlebihan sehingga berat badan tubuh seseorang jauh di atas
normal. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan (intake) dan
pemakaian (expenditure) energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan
lemak.20 WHO menyatakan obesitas telah menjadi epidemi global, sehingga
merupakan suatu masalah kesehatan yang harus mendapat penanganan segera.5
Obesitas dapat terjadi pada semua usia, namun yang tersering terjadi pada
tahun pertama kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. 21 Terdapat 3
periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam kaitannya dengan
15
terjadinya obesitas, yaitu: periode pranatal, terutama trimester 3 kehamilan,
periode adiposity rebound pada usia 6 – 7 tahun dan periode remaja.22 Pada bayi
dan anak yang obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk 2 dekade
berikutnya dan 80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang obesitas. 23
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa obesitas pada usia 1-2 tahun dengan
orang tua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia
10-14 tahun dengan salah satu orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi obesitas
dewasa.24
16
Tabel 2.2 Karakteristik obesitas berdasarkan etiologi.26
Obesitas idiopatik Obesitas endogen
> 90% kasus < 10% kasus
Perawakan tinggi (umumnya Perawakan pendek (umumnya TB/U
TB/U > P50) <P50)
17
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu
sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju
mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian
obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian terhadap anak Amerika
dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka
yang nonton TV 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali
lebih besar dibanding mereka yang nonton TV 2 jam setiap harinya. 31
Penelitian Lestari dan Sulchan (2014) terhadap remaja di Semarang
menemukan bahwa inaktivitas fisik berhubungan dengan obesitas dan
sindrom metabolik. Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan
dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat
badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu
pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari
karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
mengandung energi tinggi.30 Keadaan ini disebabkan karena makanan
berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak
mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil
dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat.
Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan
meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang
berlebihan.31 Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola
makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi.30 Adanya fenomena transisi makanan
menjadi westernisasi merupakan penyebab meningkatnya obesitas
terutama di negara berkembang.32
18
kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan IMT diatas persentile ke 99,
40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar HDL-
kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi. 34 Diabetes
mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas.30,34 Prevalensi penurunan tes
toleransi glukosa pada anak obesitas adalah 25% sedang diabetes mellitus tipe 2
hanya 4%. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2
mempunyai IMT > + 3SD atau > persentile ke 99. 35 Obstruktive sleep apnea
sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala
mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada
dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga
terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan
beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding
dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta
penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah
jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas
intermiten.36 Tiga belas persen anak dengan obesitas berisiko menderita
obstruktive sleep apnea.33 Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami
gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya
epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan
terbatasnya gerakan panggul.36 Obesitas juga berhubungan dengan gangguan
psikologi, 40-60% pasien dengan obesitas akan berobat ke psikiatri, terutama
karena depresi.33
19
primer) sebagai akibat nutrisional dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat
adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya mencakup kurang
dari 10% kasus.30
Pengaturan keseimbangan energi diatur oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju
pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen yang berpusat di
hipotalamus setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer, yaitu jaringan adiposa
dan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik yaitu meningkatkan rasa lapar
serta menurunkan pengeluaran energi dan katabolik yang berupa anoreksia serta
menurunkan pengeluaran energi. Sinyal-sinyal tersebut dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu: sinyal pendek yang mempengaruhi porsi dan waktu makan, serta
berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang
dilakukan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar dan sinyal panjang yang dilakukan oleh fat-derived hormon, yaitu leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energy.37
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa akan meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam sirkulasi
darah. Leptin kemudian akan menstimulasi anorexigenic center di hipotalamus
agar menurunkan produksi neuro peptide-Y (NPY) sehingga terjadi penurunan
nafsu makan. Sebaliknya jika kebutuhan energi lebih besar daripada asupan
energi, maka jaringan adiposa berkurang dan menstimulasi orexigenic center di
hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.37
20
Gambar 2.4 Pengaturan Keseimbangan Energi.37
21
Evaluasi kemungkinan kerusakan hipotalamus yang disebabkan
tumor otak, iradiasi atau trauma.
Tanda dan gejala risiko kesehatan yang terkait obesitas pada anakseperti
mengorok, sering terbangun malam hari, menstruasi dini, nyeri
panggul, dsb.
Pola makan: kebiasaan makan (apakah menerapkan food rules),
perilaku abnormal terkait makanan, dsb.
Pola aktivitas fisik: frekuensi/minggu, durasi/hari, jenis
(terstruktur/tidak terstruktur).
Riwayat obesitas di dalam keluarga untuk mencari factor genetic
sebagai penyebab obesitas.
Riwayat resiko kesehatan yang terkait obesitas di dalam keluarga
seperti penyakit kardiovaskular dini ( < 55 tahun), peningkatan
kolesterol, hipertensi atau diabetes mellitus tipe 2.
Riwayat kebiasaan hidup santai di keluarga (sedentary life style).
Anamnesis Khusus:
Tabel 2.3 Gejala dan kelainan yang berkaitan dengan obesitas
Temuan Kelainan yang berkaitan
Delayed development Kelainan genetic
Perawakan pendek Hipertiroidisme, sindrom
Cushing, sindrom Prader-Wili
Nyeri kepala Pseudotumor serebri
Kesulitan bernapas di malam hari Sleep apnea, obesity
Somnolen di siang hari
hyperventilation syndrome
Nyeri perut Penyakit kandung empedu
Nyeri panggul atau lutut Slipped capital femoral
epiphysis
Oligomenore atau amenore Polycystic ovary syndrome
22
Kepala : wajah membulat, pipi tembeb, dagu rangkap
Leher : leher relative pendek
Dada : dada yang membusung dengan payudara membesar
Perut : perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat
Ekstrimitas : tungkai umumnya berbentuk X
Genitalia : penis tampak kecil
IMT : anak < 2 tahun (IMT WHO 2006): Z score > +3
anak 2-18 tahun (IMT CDC 2000): IMT > P95
Khusus
Tabel 2.4 Gejala obesitas pada sistem organ
Sistem Gejala Penjelasan
Antropometri Persentil BMI yang tinggi Overweight atau obesitas
Perawakan pendek Kondisi genetic atau
endokrin yang mendasari
Tanda vital Peningkatan tekanan darah Hipertensi jika tekanan
darah sistolik atau
diatolik > P95 untuk usia,
jenis kelamin, dan tinggi
badan pada 3 kali
pemeriksaan
Kulit Akantosis nigrikans Kulit terlihat gelap
disebabkan peningkatan
resiko resistensi insulin
Jerawat berlebihan, Sindrom ovarium
hirsutism polikistik
Iritasi, inflamasi Konsekuensi dari obesitas
berat
Striae violaceous Sindrom Cushing
Mata Papil edema, paralisis n.VI Pseudotumor serebri
kranialis
Tenggorokan Hipertrofi tonsil Obstructive sleep apnea
Leher Goiter Hipotiroidism
Dada Wheezing Asma terkait dengan
intoleransi latihan,
sindrom hipoventilasi
obesitas
Abdomen Nyeri abdomen Gangguan refluks
Hepatomegali gastroesofagus, penyakit
kandung empedu, non
alcoholic fatty liver
diseases
System reproduksi Stadium tanner Timbulnya perkembangan
23
seks sekunder < 9 tahun
pada anak laki-laki atau <
8 tahun pada anak
perempuan
Penis dengan ukuran
Mikropenis normal yang terpendam
dalam lemak
Ekstrimitas Undescended testis Sindrom Prader-Willi
Abnormalgait, gerakan Slipped Capital Femoral
panggul terbatas Epiphysis
Bowing of tibia Blount disease
Tangan dan kaki yang Beberapa sindrom genetic
kecil, polidaktil
24
mengalami defisiensi vitamin D diberikan paparan sinar UV-B dalam waktu yang
sama, peningkatan kadar vitamin D dalam darah pada anak obese 57% lebih
rendah dibandingkan dengan anak tidak obese meskipun anak dengan obese
memiliki area permukaan tubuh yang lebih luas.16
Vitamin D memiliki sifat hidrofobik dan larut dalam lemak sehingga
pada anak dengan obesitas, vitamin D yang ada di sirkulasi akan berpindah ke
jaringan adipose dalam jumlah yang besar. Hal ini menyebabkan rendahnya
kadar 25-hydroxivitamin D3 (25(OH)D3) dalam darah meskipun total simpanan
vitamin D dalam tubuh mencukupi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
lemak tubuh yang berlebih dapat mengganggu jalur hormonal, seperti
contohnya leptin, hormon turunan adiposit yang berikatan dengan osteoblast,
menghambat jalur sintesis bentuk aktif vitamin D di ginjal. 14,15
Beberapa mekanisme yang diperkirakan menjadi penyebab rendahnya
kadar vitamin D pada individu dengan obesitas antara lain: 45,46
1. Asupan makanan atau minuman rendah kandungan vitamin D
Dilaporkan bahwa asupan makanan atau minuman pada laki-laki
obesitas memiliki kandungan vitamin D yang rendah namun tidak
demikian pada wanita dengan obesitas.
2. Sintesis vitamin D pada kulit menurun
a. Perubahan perilaku
Individu dengan obesitas kulitnya mendapatkan expose matahari
lebih jarang dibandingkan dengan individu tanpa obesitas
sehingga sintesis vitamin D pada kulit juga ikut berkurang. IMT,
persentase lemak tubuh dan paparan sinar matahari dikatakan
berpengaruh terhadap sintesis vitamin D pada kulit meskipun
beberapa penelitian mengatakan bahwa faktor tersebut tidak
berpengaruh pada individu usia di atas 65 tahun. Penelitian lain
menunjukkan bahwa sintesis vitamin D di kulit dipengaruhi juga
oleh usia. Yang perlu menjadi perhatian adalah pada individu
yang obesitas memiliki luas area permukaan tubuh yang lebih
luas sehingga menimbulkan perkiraan akan meningkatkan
sintesis vitamin D di kulit.
25
b. Kapasitas sintesis vitamin D berkurang
Konsentrasi 7-dehydrocholesterol pada kulit, yang nantinya
dengan bantuan sinar ultraviolet akan diubah menjadi previtamin
D tidak jauh berbeda antara individu dengan maupun tanpa
obesitas. Namun pada individu obesitas aktivitas di luar rumah
lebih jarang sehingga kapasitas sintesis previtamin D tersebut
ikut berkurang.
3. Absorpsi intestinal yang menurun
Hipovitaminosis D dilaporkan terjadi pada individu yang menjalani
prosedur bariatric atau gastric bypass yang mana diperkirakan
dapat mengakibatkan malabsorpsi. Namun belum ada bukti bahwa
obesitas itu sendiri yang mengurangi absorpsi vitamin D yang
berasal dari makanan.
4. Metabolism yang berubah
a. Penurunan aktivasi dan/atau peningkatan katabolisme
1,25-dihydroxyvitamin D bekerja untuk membatasi produksi
prekursornya yaitu 25(OH)D3. Penelitian sebelumnya
memperkirakan bahwa konsentrasi 1,25-dihydroxyvitamin D
meningkat pada individu dengan obesitas sehingga diperkirakan
juga kadar 25(OH)D3nya akan rendah. Jaringan adipose pada
wanita yang obesitas mengeluarkan enzim yang membantu
pembentukan 25(OH)D3 dan 1,25-dihydroxyvitamin D serta
enzim yang berperan dalam degradasi vitamin D. Pengeluaran
enzim 25-hydroxilase dan 1-α hydroxilase yang rendah oleh
jaringan adipose subkutan pada individu dengan obese juga
dikemukakan dalam suatu penelitian.
b. Terperangkapnya 25(OH)D3 pada jaringan adipose
Radio-labelling menunjukkan bahwa 80% vitamin D yang
diberikan pada tikus dengan cepat disimpan dalam jaringan
adipose tetapi dikeluarkan dari jaringan adipose dengan sangat
lambat. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu
dengan obesitas mengalami peningkatan kadar vitamin D yang
26
lebih rendah dibandingkan dengan individu non-obesitas setelah
mendapat perlakuan yang sama dalam paparan sinar ultraviolet
dan asupan vitamin D per oral.
27