Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vitamin D
2.1.1 Metabolisme vitamin D
Vitamin D dapat diperoleh melalui makanan misalnya lemak ikan dan
derivatnya, namun sebagian besar vitamin D di dalam tubuh diperoleh dengan
sintesis vitamin D di kulit yang dimediasi paparan langsung sinar ultraviolet-B
(UVB). Diperlukan dua tahap hidroksilasi untuk mengaktifkan vitamin D.
Radiasi sinar ultraviolet-B dengan panjang gelombang 290-315 nm
mempenetrasi kulit dan mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin
D3, yang secara cepat diubah lagi menjadi vitamin D3 . Selanjutnya, vitamin D3
dibawa dalam sirkulasi menuju hepar, dimana oleh enzim 25-hydroxylase,
vitamin D3 diubah menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25-OHD 3) atau calcidiol.
Bentuk vitamin D inaktif ini merupakan bentuk yang terbanyak beredar di
sirkulasi sebingga digunakan oleh para klinisi untuk dapat menentukan status
vitamin D pasien. Tahap hidroksilasi kedua berlangsung di ginjal melalui
enzim 1-α hydroxylase yang mengubah 25-hydroxyvitamin D3 menjadi lα,,25-
dihydroxyvitarnin D3 (Iα,25(OH) 2D3) atau calcitriol, bentuk aktif dari vitamin
D.8
Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan berikatan
dengan protein-pengikat vitamin D sehingga kompleks tersebut dapat masuk
ke dalam sel. Agar dapat menghasilkan efek pada sel targetnya, vitamin D
berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terdapat pada berbagai tipe
sel, antara lain pada sistem skeletal, ginjal, kulit, hepar, dan sel islet pankreas.
Ditemukannya reseptor vitamin D pada sel imun mendukung hipotesis dimana
vitamin D dapat mempengaruhi proses autoimun. 10

8
Gambar 2.1 Metabolisme vitamin D di dalam tubuh. 17

2.1.2 Asupan vitamin D


Vitamin D yang berasal dari makanan hanya menyumbang 20% dari
seluruh vitamin D yang diperlukan oleh tubuh. Sebagian besar vitamin D
dalam tubuh berasal dari konversi 7-dehydrocholesterol menjadi vitamin D3 di
kulit. Namun pada daerah yang mendapat sedikit paparan sinar matahari,
asupan vitamin D dari makanan sangat bermanfaat. Terkadang vitamin D yang
berasal dari makanan saja tidak dapat mencukupi kebutuhan vitamin D tubuh,
sehingga pada daerah tertentu diperlukan pemberian suplemen vitamin D untuk
mencukupi kebutuhan vitamin D dalam tubuh. 18
Berdasarkan rekomendasi dari Institute of Medicine, asupan harian
vitamin D yang adekuat adalah 400 IU untuk anak-anak dan dewasa usia 50
tahun, sedangkan mereka yang berusia 51 hingga 70 tahun memerlukan 600
IU, dan 800 IU bagi mereka yang berusia 71 tahun ke atas. Namun, dengan
rendahnya paparan sinar matahari, baik anak-anak dan dewasa memerlukan

9
800 hingga 1000 IU vitamin D setiap harinya. 8,9
Berikut adalah tabel kandungan vitamin D pada berbagai jenis
makanan: 9,18

Tabel 2.1 Kandungan Vitamin D dalam Makanan. 9,18


Sumber Makanan Kandungan Vitamin D

Bahan makanan alami


Ikan salmon
Segar, dari alam bebas (3,5 ons) 600 – 1000 IU
Segar, dari hasil ternak (3,5 ons) 100 – 250 IU
Kalengan (3,5 ons) 300 – 600 IU
Ikan sarden kalengan (3,5 ons) 300 IU
Ikan makarel kalengan (3,5 ons) 250 IU
Ikan tuna kalengan (3,6 ons) 230 IU
Minyak hati ikan cod (1 sendok teh) 400-1000 IU
Jamur shitake
Segar (3,5 ons) 100 IU
Dikeringkan (3,5 ons) 1600 IU
Kuning telur 20 IU
Bahan makanan fortifikasi
Susu fortifikasi (8 ons) 100 IU
Jus jeruk fortifikasi (8 ons) 100 IU
Susu formula bayi (8 ons) 100 IU
Yogurt fortifikasi (8 ons) 100 IU
Mentega fortifikasi (3,5 ons) 50 IU
Margarin fortifikasi (3,5 ons) 430 IU
Keju fortifikasi (3 ons) 100 IU
Sereal sarapan fortifikasi (per sajian) 100 IU

2.1.3 Peranan vitamin D dalam tubuh


Vitamin D selama ini dikenal perannya dalam menjaga homeostasis
kalsium di dalam tubuh aktif berperan dalam meningkatkan absorpsi kalsium
di usus melalui interaksi dengan reseptor vitamin D di usus. Kalsium
dibutuhkan untuk membuat maturasi osteoclast yang berperan dalam
mempertahankan kadar kalsium dan fosfor dalam sirkulasi darah dan memberi
kalsium beserta fosfor untuk mineralisasi pembentukan tulang. Dalam
menjalankan perannya, vitamin D diatur oleh hormon paratiroid, dimana bila
tubuh kekurangan kalsium maka hormon paratiroid akan menstimulasi ginjal
untuk memproduksi lα.25-dihydroxyvitamin D3 untuk meningkatkan absorpsi

10
kalsium di usus. Oleh karena itu, secara tidak langsung vitamin D berperan
dalam mempertahankan kepadatan mineral tulang. 9
Saat ini peran non-skeletal vitamin D diteliti lebih dalam. Reseptor
vitamin D yang ditemukan pada berbagai sel tubuh, seperti sel hepar, lambung,
prostat, pankreas, dan pada sebagian usus besar mengarahkan fungsi vitamin D
tidak hanya sebatas pada mempertahankan homeostasis kalsium, namun
memiliki implikasi yang lebih luas. Dengan ditemukannya reseptor vitamin D
pada sel imun, peran vitamin D sebagai potent imunomodulator juga terus
dikembangkan. Vitamin D mampu menghambat maturasi monosit, makrofag
dan sel dendritik yang memiliki peranan utama dalam proses autoimun, seperti
pada sklerosis multiple, rheumatoid arthritis, dan juga diabetes mellitus tipe 1.
Saat ini, vitamin telah digunakan sebagai standar terapi psoriasis, penyakit
autoimun yang menyerang kulit. 9,10

2.1.3.1 Peran vitamin D pada pertumbuhan tulang


Tanpa vitamin D, hanya 10-15% kalsium dan 60% fosfor yang berasal
dari makanan diserap oleh tubuh. Interaksi 1,25-dihydroxyvitamin D dengan
reseptor vitamin Dmeningkatkan efisiensi absorpsi kalsium di saluran
pencernaan sebanyak 30-40% dan absorpsi fosfor hingga kurang lebih 80%.
Pada sebuah penelitian, kadar 25-hydroxyvitamin D dalam darah yang
mencapai 40 ng/ml atau lebih secara langsung meningkatkan kepadatan tulang.
Ketika kadar 25-hydroxyvitamin D dalam darah mencapai 30 ng/ml atau
kurang, terjadi penurunan absorpsi kalsium di saluran pencernaan secara
signifikan yang berhubungan dengan peningkatan hormone paratiroid.
Hormone paratiroid meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubular ginjal dan
merangsang ginjal untuk memproduksi 1,25-dihydroxyvitamin D. Hormone
paratiroid juga mengaktifkan osteoblast yang merangsang perubahan
preosteoclast menjadi mature osteoclast. Osteoclast melarutkan matriks
kolagen mineral di tulang sehingga menyebabkan osteopenia dan osteoporosis
serta meningkatkan resiko terjadinya patah tulang. 9
Defisiensi kalsium dan vitamin D pada masa prenatal dan masa kanak-
kanak mencegah terjadinya deposit kalsium secara maksimal di tulang. Ketika

11
vitamin D semakin mengalami defisiensi, kelenjar paratiroid akan terstimulasi
secara maksimal, menyebabkan hiperparatiroid sekunder. Hipomagnesemia
menyebabkan respon ini menjadi tak tampak, artinya hormone paratiroid masih
normal meskipun kadar 25-hydroxyvitamin D dalam darah hingga dibawah 20
ng/ml. Hormone paratiroid meningkatkan metabolisme 25-hydroxyvitamin D
menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D, yang akan menyebabkan eksaserbasi
defisiensi vitamin D. Hormone paratiroid juga menyebabkan terjadinya
fosfaturia sehingga kadar fosfor dalam darah ikut menurun. Tanpa adanya
kalsium dan fosfor yang mencukupi, mineralisasi matriks kolagen menjadi
terbatas sehingga gejala klasik rickets akan muncul pada anak dan
osteomalasia pada remaja. 9
Osteoporosis tidak berhubungan dengan nyeri tulang sedangkan
osteomalasia berhubungan dengan nyeri tulang baik lokal maupun general.
Nyeri tersebut disebabkan karena terjadinya hidrasi matriks gelatin
demineralisasi di dalam periosteum. Matriks yang mengalami hidrasi terdorong
keluar periosteum menyebabkan rasa nyeri tertusuk-tusuk. Osteomalasia dapat
didiagnosis dengan cara ibu jari menekan sternum atau anterior tibia, maka
akan menimbulkan rasa nyeri. 9

12
Gambar 2.2 Sintesis dan metabolism Vitamin D dalam Regulasi Kalsium,
fosfor dan Metabolisme Tulang. 9

2.1.3.2 Peran non skeletal vitamin D


Jaringan otak, prostat, payudara dan usus besar memiliki reseptor
vitamin D dan memeberikan respon terhadap 1,25-dihydroxyvitamin D, sama
seperti sel imun. Beberapa jaringan dan sel tersebut juga mengeluarkan enzim
25-hydroxyvitamin D-1α-hydroxylase. Secara langsung dan tidak langsung,
1,25-dihydroxyvitamin D dapat mengontrol lebih dari 200 gen-gen tubuh,

13
termasuk gen yang mengatur proliferasi sel, diferensiasi sel, apoptosis dan
angiogenesis (pembentukan pembuluh darah). Vitamin D juga mampu
menurunkan proliferasi sel pada sel normal maupun sel abnormal. Bila kadar
vitamin D berkurang akan berakibat proliferasi sel terganggu sehingga tubuh
akan merespon dengan pertumbuhan sel yang abnormal. 9
1,25-dihydroxyvitamin D juga merupakan imunomodulator potent.
Monosit dan makrofag yang mengenali lipopolisakarida atau Mycobacterium
tuberculosis meng up-regulasi gen reseptor vitamin D dan gen 25-
hydroxyvitamin D-1α-hydroxylase. Meningkatnya produksi 1,25-
dihydroxyvitamin D3 menyebabkan terjadinya sintesis Cathelicidin, suatu
peptide yang dapat menghancurkan kuman M.tuborculosis dan agen infeksius
lainnya. Ketika kadar 25-hydroxyvitamin D di bawah 20 ng/ml, monosit dan
makrofag akan menghalangi respon imun secara alami (innate immune). 1,25-
dihydroxyvitamin D3 mencegah sintesis rennin, meningkatkan produksi insulin
dan meningkatkan kontraktilitas myocardial. 9

Gambar 2.3 Peran Non-Skeletal Vitamin D. 9

14
2.1.4 Defisiensi vitamin D
Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi American
Academy of Pediatrics menjadi normal dengan kadar vitamin D 30-100 ng/mL,
insufisiensi dengan kadar vitamin D 20-30 ng/mL, defisiensi dengan kadar
vitamin D < 20 ng/mL. 9,17
Dengan menggunakan definisi diatas, diperkirakan satu miliar
penduduk dunia mengalami insufisiensi dan defisiensi vitamin D. Anak-anak
dan remaja memiliki risiko tinggi untuk mengalami kekurangan vitamin D
karena sedang dalam masa pertumbuhan. Di Indonesia sendiri belum terdapat
data akurat mengenai prevalensi defisiensi vitamin D. Namun, suatu studi
cross-sectional yang dilakukan pada 91 anak sekolah dasar menunjukkan
mengalami kekurangan vitamin D, dengan 75,8% anak mengalami insufisiensi
dan mengalami defisiensi vitamin D. 12 Defisiensi vitamin D pada masa anak-
anak dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan deformitas tulang,
rickets, dan meningkatkan risiko fraktur. Sedangkan pada usia dewasa,
defisiensi vitamin D menyebabkan osteopenia dan osteoporosis, osteomalasia
dan kelemahan otot. 9,13

2.2 Obesitas
2.2.1 Batasan obesitas
Kata obesitas berasal dari bahasa Latin, yaitu: obesus, obedere, yang
artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau kegemukan merupakan suatu
kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh
secara berlebihan.19 Obesitas adalah suatu keadaan di mana terjadi penimbunan
lemak tubuh secara berlebihan sehingga berat badan tubuh seseorang jauh di atas
normal. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan (intake) dan
pemakaian (expenditure) energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan
lemak.20 WHO menyatakan obesitas telah menjadi epidemi global, sehingga
merupakan suatu masalah kesehatan yang harus mendapat penanganan segera.5
Obesitas dapat terjadi pada semua usia, namun yang tersering terjadi pada
tahun pertama kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. 21 Terdapat 3
periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam kaitannya dengan

15
terjadinya obesitas, yaitu: periode pranatal, terutama trimester 3 kehamilan,
periode adiposity rebound pada usia 6 – 7 tahun dan periode remaja.22 Pada bayi
dan anak yang obesitas, sekitar 26,5% akan tetap obesitas untuk 2 dekade
berikutnya dan 80% remaja yang obesitas akan menjadi dewasa yang obesitas. 23
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa obesitas pada usia 1-2 tahun dengan
orang tua normal, sekitar 8% menjadi obesitas dewasa, sedang obesitas pada usia
10-14 tahun dengan salah satu orang tuanya obesitas, 79% akan menjadi obesitas
dewasa.24

2.2.2 Etiologi dan faktor risiko obesitas


Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energy dan
keluaran energi (energy expenditure), sehingga terjadi kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energy tersebut
dapat disebabkan oleh asupan energy yang tinggi atau keluaran energy yang
rendah.25,26 Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan yang
berlebihan, sedangkan keluaran energy rendah disebabkan oleh rendahnya
metabolisme tubuh, aktivitas fisik, dan efek termogenesis makanan yang
ditentukan oleh komposisi makanan. Lemak memberikan efek termogenesis yang
lebih rendah (3% dari total energy yang dihasilkan lemak) dibandingkan
karbohidrat (6-7% dari total energy yang dihasilkan karbohidrat) dan protein
(25% dari total energy yang dihasilkan protein).27
Sebagian besar gangguan homeostasis energy ini disebabkan oleh factor
idiopatik (obesitas primer atau nutrisional) sedangkan factor endogen (obesitas
sekunder atau non nutrisional, yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom
atau defek genetik) hanya mencakup kurang dari 10% kasus.28 Secara klinis
obesitas idiopatik dan endogen dapat dibedakan sebagaimana yang tercantum
dalam tabel di bawah ini:

16
Tabel 2.2 Karakteristik obesitas berdasarkan etiologi.26
Obesitas idiopatik Obesitas endogen
> 90% kasus < 10% kasus
Perawakan tinggi (umumnya Perawakan pendek (umumnya TB/U
TB/U > P50) <P50)

Umumnya didapatkan riwayat Umumnya tidak didapat riwayat


obesitas pada keluarga obesitas pada keluarga

Fungsi mental normal Fungsi mental sering retardasi


Usia tulang normal atau Usia tulang terlambat (delayed)
advanced
Pemeriksaan fisik umumnya Terdapat stigma pada pemeriksaan
normal fisik

Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian


besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan, antara lain aktifitas fisik, nutrisional, dan sosial ekonomi.25,29
a. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang memiliki peranan besar.
Apabila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas.
Sedangkan bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi
40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. 30
Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi
intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh
janin, terutama kerentanan “terprogram” yang dikemudian hari bersama-
sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi
timbulnya berbagai penyakit. Gen yang mempengaruhi obesitas,
ditentukan dari kemampuannya untuk mempengaruhi komposisi lemak
tubuh, distribusi lemak tubuh secara anatomi, asupan makanan, dan
energi expenditure. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas
melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise,
kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan
demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik
sedangkan lingkungan menentukan ekspresi fenotip.31
b. Faktor Lingkungan

17
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu
sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju
mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian
obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian terhadap anak Amerika
dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka
yang nonton TV 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali
lebih besar dibanding mereka yang nonton TV 2 jam setiap harinya. 31
Penelitian Lestari dan Sulchan (2014) terhadap remaja di Semarang
menemukan bahwa inaktivitas fisik berhubungan dengan obesitas dan
sindrom metabolik. Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan
dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat
badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu
pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari
karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
mengandung energi tinggi.30 Keadaan ini disebabkan karena makanan
berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak
mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil
dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat.
Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan
meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang
berlebihan.31 Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola
makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi.30 Adanya fenomena transisi makanan
menjadi westernisasi merupakan penyebab meningkatnya obesitas
terutama di negara berkembang.32

Obesitas berhubungan dengan penyakit kronis antara lain penyakit


kardiovaskular, diabetes mellitus tipe 2, obstruktive sleep apnea dan gangguan
ortopedik.33 Faktor risiko penyakit kardiovaskular, meliputi: peningkatan kadar
insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan
kadar HDL- kolesterol. Risiko penyakit kardiovaskuler di usia dewasa pada anak
obesitas sebesar 1,7 - 2,6. Indeks Massa Tubuh (IMT) mempunyai hubungan yang

18
kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan IMT diatas persentile ke 99,
40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar HDL-
kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi. 34 Diabetes
mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas.30,34 Prevalensi penurunan tes
toleransi glukosa pada anak obesitas adalah 25% sedang diabetes mellitus tipe 2
hanya 4%. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2
mempunyai IMT > + 3SD atau > persentile ke 99. 35 Obstruktive sleep apnea
sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala
mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada
dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga
terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan
beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding
dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta
penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah
jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas
intermiten.36 Tiga belas persen anak dengan obesitas berisiko menderita
obstruktive sleep apnea.33 Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami
gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya
epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan
terbatasnya gerakan panggul.36 Obesitas juga berhubungan dengan gangguan
psikologi, 40-60% pasien dengan obesitas akan berobat ke psikiatri, terutama
karena depresi.33

2.2.3 Patofisiologi obesitas


Secara umum obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan kalori, yang
diakibatkan oleh asupan energi yang jauh melebihi kebutuhan tubuh. Pada bayi,
penumpukan lemak terjadi akibat pemberian makanan pendamping air susu ibu
(ASI) yang terlalu dini, terutama apabila makanan tersebut memiliki kandungan
karbohidrat, lemak, dan protein yang tinggi. Pada masa anak-anak dan remaja,
asupan energi dipengaruhi oleh diet seseorang. Obesitas terjadi karena adanya
kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan
keseimbangan energi ini sebagian besar disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas

19
primer) sebagai akibat nutrisional dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat
adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya mencakup kurang
dari 10% kasus.30
Pengaturan keseimbangan energi diatur oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju
pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen yang berpusat di
hipotalamus setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer, yaitu jaringan adiposa
dan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik yaitu meningkatkan rasa lapar
serta menurunkan pengeluaran energi dan katabolik yang berupa anoreksia serta
menurunkan pengeluaran energi. Sinyal-sinyal tersebut dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu: sinyal pendek yang mempengaruhi porsi dan waktu makan, serta
berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang
dilakukan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar dan sinyal panjang yang dilakukan oleh fat-derived hormon, yaitu leptin dan
insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energy.37
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa akan meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam sirkulasi
darah. Leptin kemudian akan menstimulasi anorexigenic center di hipotalamus
agar menurunkan produksi neuro peptide-Y (NPY) sehingga terjadi penurunan
nafsu makan. Sebaliknya jika kebutuhan energi lebih besar daripada asupan
energi, maka jaringan adiposa berkurang dan menstimulasi orexigenic center di
hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.37

20
Gambar 2.4 Pengaturan Keseimbangan Energi.37

2.2.4 Diagnosis obesitas


Obesitas pada anak dan remaja ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan antopometri dan deteksi dini komorbiditas yang
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang terkait. 38 Tahapan yang dilakukan
dalam mengevaluasi anak dan remaja obesitas adalah sebagai berikut:39,40,41
1. Anamnesis.
Anamnesis factor resiko medis dan perilaku yang harus diperoleh pada
saat evaluasi antara lain sebagai berikut:
 Anamnesis umum:
 Periode mulai timbulnya obesitas:
 Prenatal
 Early adiposity rebound, yaitu indeks masa tubuh (IMT) terendah
yang terjadi lebih dini dan cepat (< 5 tahun)
 Remaja
 Riwayat tumbuh kembang untuk mencari obesitas yang disebabkan
oleh factor endogen seperti:
 Evaluasi kemungkinan sindrom Cushing yang disebabkan pemberian
steroid

21
 Evaluasi kemungkinan kerusakan hipotalamus yang disebabkan
tumor otak, iradiasi atau trauma.
 Tanda dan gejala risiko kesehatan yang terkait obesitas pada anakseperti
mengorok, sering terbangun malam hari, menstruasi dini, nyeri
panggul, dsb.
 Pola makan: kebiasaan makan (apakah menerapkan food rules),
perilaku abnormal terkait makanan, dsb.
 Pola aktivitas fisik: frekuensi/minggu, durasi/hari, jenis
(terstruktur/tidak terstruktur).
 Riwayat obesitas di dalam keluarga untuk mencari factor genetic
sebagai penyebab obesitas.
 Riwayat resiko kesehatan yang terkait obesitas di dalam keluarga
seperti penyakit kardiovaskular dini ( < 55 tahun), peningkatan
kolesterol, hipertensi atau diabetes mellitus tipe 2.
 Riwayat kebiasaan hidup santai di keluarga (sedentary life style).
 Anamnesis Khusus:
Tabel 2.3 Gejala dan kelainan yang berkaitan dengan obesitas
Temuan Kelainan yang berkaitan
Delayed development Kelainan genetic
Perawakan pendek Hipertiroidisme, sindrom
Cushing, sindrom Prader-Wili
Nyeri kepala Pseudotumor serebri
Kesulitan bernapas di malam hari Sleep apnea, obesity
Somnolen di siang hari
hyperventilation syndrome
Nyeri perut Penyakit kandung empedu
Nyeri panggul atau lutut Slipped capital femoral
epiphysis
Oligomenore atau amenore Polycystic ovary syndrome

 Riwayat keluarga: Obesitas, NIDDM, penyakit kardiovaskular,


hipertensi, dislipidemia, penyakit kandung empedu.
 Riwayat sosial/psikologis: merokok, depresi.
2. Pemeriksaan fisik dan evaluasi antopometris.
 Umum

22
 Kepala : wajah membulat, pipi tembeb, dagu rangkap
 Leher : leher relative pendek
 Dada : dada yang membusung dengan payudara membesar
 Perut : perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat
 Ekstrimitas : tungkai umumnya berbentuk X
 Genitalia : penis tampak kecil
 IMT : anak < 2 tahun (IMT WHO 2006): Z score > +3
anak 2-18 tahun (IMT CDC 2000): IMT > P95
 Khusus
Tabel 2.4 Gejala obesitas pada sistem organ
Sistem Gejala Penjelasan
Antropometri Persentil BMI yang tinggi Overweight atau obesitas
Perawakan pendek Kondisi genetic atau
endokrin yang mendasari
Tanda vital Peningkatan tekanan darah Hipertensi jika tekanan
darah sistolik atau
diatolik > P95 untuk usia,
jenis kelamin, dan tinggi
badan pada  3 kali
pemeriksaan
Kulit Akantosis nigrikans Kulit terlihat gelap
disebabkan peningkatan
resiko resistensi insulin
Jerawat berlebihan, Sindrom ovarium
hirsutism polikistik
Iritasi, inflamasi Konsekuensi dari obesitas
berat
Striae violaceous Sindrom Cushing
Mata Papil edema, paralisis n.VI Pseudotumor serebri
kranialis
Tenggorokan Hipertrofi tonsil Obstructive sleep apnea
Leher Goiter Hipotiroidism
Dada Wheezing Asma terkait dengan
intoleransi latihan,
sindrom hipoventilasi
obesitas
Abdomen Nyeri abdomen Gangguan refluks
Hepatomegali gastroesofagus, penyakit
kandung empedu, non
alcoholic fatty liver
diseases
System reproduksi Stadium tanner Timbulnya perkembangan

23
seks sekunder < 9 tahun
pada anak laki-laki atau <
8 tahun pada anak
perempuan
Penis dengan ukuran
Mikropenis normal yang terpendam
dalam lemak
Ekstrimitas Undescended testis Sindrom Prader-Willi
Abnormalgait, gerakan Slipped Capital Femoral
panggul terbatas Epiphysis
Bowing of tibia Blount disease
Tangan dan kaki yang Beberapa sindrom genetic
kecil, polidaktil

3. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan keluhan dan


gejala yang ditemukan untuk mengidentifikasi dan deteksi dini
komorbiditas.

2.3 Hubungan Obesitas dengan Defisiensi Vitamin D


Saat ini hubungan antara obesitas dengan defisiensi vitamin D semakin
banyak diteliti. Anak atau remaja yang mengalami obesitas masih memungkinkan
untuk mengalami defisiensi nutrisi meskipun asupan makanannya meningkat. 42
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi serum 25(OH)D3 memiliki
korelasi yang berlawanan dengan parameter obesitas salah satunya adalah
IMT.42,43 Pengeluaran enzim untuk metabolism vitamin D dijumpai pada jaringan
adipose manusia. 25(OH)D3 dalam plasma meningkat 27% setelah seseorang
yang obesitas mengalami penurunan berat badan. Pengeluaran enzim 25-
hydroxylase dan 1α-hydroxylase menurun menjadi 71% dan 49% pada jaringan
adipose orang dengan obesitas.43 Prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dan
remaja dengan obesitas dan tanpa obesitas juga menunjukkan angka yang jauh
berbeda yaitu 60% dan 20%.44 Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dengan berat normal, overweight,
obese dan super obese masing-masing sebesar 21%, 29%, 34%, dan 49%. 14
Penelitian yang dilakukan oleh Jacob (2000) dan Xiao Mei (2012) juga
menunjukkan anak dengan obese memiliki konsentrasi 25-hydroxivitamin D3
(25(OH)D3) dalam darah yang lebih rendah dibandingkan dengan anak tidak
obese.15,16 Penelitian lain juga menujukkan pada anak obese dan tidak obese yang

24
mengalami defisiensi vitamin D diberikan paparan sinar UV-B dalam waktu yang
sama, peningkatan kadar vitamin D dalam darah pada anak obese 57% lebih
rendah dibandingkan dengan anak tidak obese meskipun anak dengan obese
memiliki area permukaan tubuh yang lebih luas.16
Vitamin D memiliki sifat hidrofobik dan larut dalam lemak sehingga
pada anak dengan obesitas, vitamin D yang ada di sirkulasi akan berpindah ke
jaringan adipose dalam jumlah yang besar. Hal ini menyebabkan rendahnya
kadar 25-hydroxivitamin D3 (25(OH)D3) dalam darah meskipun total simpanan
vitamin D dalam tubuh mencukupi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
lemak tubuh yang berlebih dapat mengganggu jalur hormonal, seperti
contohnya leptin, hormon turunan adiposit yang berikatan dengan osteoblast,
menghambat jalur sintesis bentuk aktif vitamin D di ginjal. 14,15
Beberapa mekanisme yang diperkirakan menjadi penyebab rendahnya
kadar vitamin D pada individu dengan obesitas antara lain: 45,46
1. Asupan makanan atau minuman rendah kandungan vitamin D
Dilaporkan bahwa asupan makanan atau minuman pada laki-laki
obesitas memiliki kandungan vitamin D yang rendah namun tidak
demikian pada wanita dengan obesitas.
2. Sintesis vitamin D pada kulit menurun
a. Perubahan perilaku
Individu dengan obesitas kulitnya mendapatkan expose matahari
lebih jarang dibandingkan dengan individu tanpa obesitas
sehingga sintesis vitamin D pada kulit juga ikut berkurang. IMT,
persentase lemak tubuh dan paparan sinar matahari dikatakan
berpengaruh terhadap sintesis vitamin D pada kulit meskipun
beberapa penelitian mengatakan bahwa faktor tersebut tidak
berpengaruh pada individu usia di atas 65 tahun. Penelitian lain
menunjukkan bahwa sintesis vitamin D di kulit dipengaruhi juga
oleh usia. Yang perlu menjadi perhatian adalah pada individu
yang obesitas memiliki luas area permukaan tubuh yang lebih
luas sehingga menimbulkan perkiraan akan meningkatkan
sintesis vitamin D di kulit.

25
b. Kapasitas sintesis vitamin D berkurang
Konsentrasi 7-dehydrocholesterol pada kulit, yang nantinya
dengan bantuan sinar ultraviolet akan diubah menjadi previtamin
D tidak jauh berbeda antara individu dengan maupun tanpa
obesitas. Namun pada individu obesitas aktivitas di luar rumah
lebih jarang sehingga kapasitas sintesis previtamin D tersebut
ikut berkurang.
3. Absorpsi intestinal yang menurun
Hipovitaminosis D dilaporkan terjadi pada individu yang menjalani
prosedur bariatric atau gastric bypass yang mana diperkirakan
dapat mengakibatkan malabsorpsi. Namun belum ada bukti bahwa
obesitas itu sendiri yang mengurangi absorpsi vitamin D yang
berasal dari makanan.
4. Metabolism yang berubah
a. Penurunan aktivasi dan/atau peningkatan katabolisme
1,25-dihydroxyvitamin D bekerja untuk membatasi produksi
prekursornya yaitu 25(OH)D3. Penelitian sebelumnya
memperkirakan bahwa konsentrasi 1,25-dihydroxyvitamin D
meningkat pada individu dengan obesitas sehingga diperkirakan
juga kadar 25(OH)D3nya akan rendah. Jaringan adipose pada
wanita yang obesitas mengeluarkan enzim yang membantu
pembentukan 25(OH)D3 dan 1,25-dihydroxyvitamin D serta
enzim yang berperan dalam degradasi vitamin D. Pengeluaran
enzim 25-hydroxilase dan 1-α hydroxilase yang rendah oleh
jaringan adipose subkutan pada individu dengan obese juga
dikemukakan dalam suatu penelitian.
b. Terperangkapnya 25(OH)D3 pada jaringan adipose
Radio-labelling menunjukkan bahwa 80% vitamin D yang
diberikan pada tikus dengan cepat disimpan dalam jaringan
adipose tetapi dikeluarkan dari jaringan adipose dengan sangat
lambat. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu
dengan obesitas mengalami peningkatan kadar vitamin D yang

26
lebih rendah dibandingkan dengan individu non-obesitas setelah
mendapat perlakuan yang sama dalam paparan sinar ultraviolet
dan asupan vitamin D per oral.

27

Anda mungkin juga menyukai