Anda di halaman 1dari 3

Laras pelog dan salendro sebelumnya telah dijabarkan pada buku Bothekan I pada bab III

oleh Rahayu Supanggah. Dijelaskan oleh supanggah mengenai kegunaan laras yang

merupakan unsur utama dalam karawitan. Laras di dalam buku tersebut terutama laras pada

karawitan yaitu pelog dan slendo disebutkan memiliki makna berarti jamak, setidaknya ada 3

makna didalamnya, yaitu bersifat enak untuk diniikmati dan dihayati, yang kedua nada yang

ditentukan frekunsinya. (penunggul, gulu, dhadha, pelog, lima, nem, dan barang), makna

ketiga susunan nadanya telah ditentukan. Laras di dalam laras pelog memiliki 7 nada namun

ada pula yang menyebutkan bahwa pelog memiliki 5 nada hal ini masih menjadi perdebatan,

dilihat dari intrumen gender, siter, yang hanya mengunakan lima nada, terdapat juga

pernyataan yang menyatakan bahwa hampir lebih dari 80% gendhing dalam laras pelog

melibatkan keseluruhan 7 nada.1

Pengunaan istilah laras oleh para pendahulu dalam dunia karawitan nampaknya bukan

hal yang mudah karena laras berhubungan dengan ras nikmat, nyampleng yang masih

merupakan tuntunan estetik yang berlaku dan dibutuhkan dalam suatu penyajian dan

penghayatan karawitan. Dalam perkembangannya karawitan memiliki pergeseran estetika

maupun selera masyarakat dalam penghayatan maupun penyajian karawitan terutama

menyangkut pemilihan tempo dan dinamik selain itu menyangkut mengenai isi atau pesan

yang disampaikan melalui karawitan.

Dengan demikian suara yang keras, ramai, cepat, kontras, hingar-bingar, dan sajian

bernuansa spektakuler semakin akrab dengan dunia karawitan, ricikan dalam komposisi baru

karawitan menonjolkan jenis ricikan balungan, bonangan, dan vokal atau koor, dan alat

musik yang diimport dari alat musik lain. Konsep laras yang baru tentu bergeser, bahkan

berbeda dengan konsep laras yang berlaku di masa lalu. Laras memamang sangat erat

hubungan dengan rasa, rasa berkailtan dengan selera, dan selera dapat terbentuk oleh budaya.

1
Rahayu Supangah ,Bothekan Karawitan I (Surakarta:STSI,2002), hal 88.
Garap komposisi karawitan dengan karakter yang dimiliki dalam laras pelog dan slendro,

Secara khusus pelog memiliki karakter yang berbeda dari masing-masing pathet. Pathet yang

dimiliki laras pelog disebutkan ada tiga yaitu pelog pathet Lima, pelog pathet Nem, dan pelog

pathet Barang. Karakter yang dimiliki berupa agung, sereng dan lincah. Dimasing-masing

pathet terdapat dua karakter yaitu pathet lima memiliki karakter lagu agung dan sereng,

pathet nem memiliki karakter lagu yang gembira dan lincah, sedangkan pathet barang

memiliki karakter lagu yang sembira dan sereng2. Dalam penyajian dan proses pembuatan

komposis karawaitan diperlukan suasana dan karakter yang sesuai dengan isi atau maksud

dari karya tersebut sehingga dari karakter itu dapat dilihat dan dipilih karakter seperti apa dan

bagaimana apabila kita ingin menyajikan suatu komposisi baru dalam karawitan. Melalui

perkembangan karawitan yang saat ini yang lebih berkesan lebih terbuka dilihat dari

munculnya musik sekarang yang cenderung lebih bebas dalam mengutarakan sesuatu,

dibandingkan dulu yang lebih mengutarakan melalui kiasan kata yang dibentuk melalui kesan

yang lebih tertutup, sehingga filosofi dari karakter setiap pathet pada laras pelog dapat

membantu memunculkan suasana dari maksud dan isi dari karya komposisi karawitan.

Pelog mempunyai sifat mineur semu sedih , halus, menyayat dalam irama gendhing-

gendhingnya. Selain itu pendapat mengenai pelog juga dijabarkan oleh DR. Mantle Hood

Dalam thesisinya yang berjudul ‘Slendro dan Pelog Redefined’ disimpulkan bahwa jauh

sebelum masuk alat musik yang dibawa oleh bangsa pendatang orang Jawa setelah mengenal

alat tabuhan yang bernada pelog. Laras pelog merupakan laras dalam penyajian komposisi

karawitan, kebanyakan lebih merasa enak atau meniknati laras pelog dalam bentuk komposisi

yang menurut Manthel Hood laras tersebut kemungkinan lebih dulu dari laras selendro

sehingga masyarakat lebih mudah menikmati dan merasakan laras pelog tersebut.3 Dalam

2
Suroso,Garap Komposisi Karawitan( Yogyakarta: Akademi Musik Indonesia,1983) h 17.
3
DR. Mantle hood,Slendro Dan Pelog Redefined(Belanda:Selected Report Institute of Etnomusicology
UCLA,1966) vol 1, no.1.
pembuatan komposisi menjadi lebih leluasa dan sebagai penciptaannya sebagai dampak dari

inovasi seniman yang membentuk panutan dan contoh atau sebagai inspirasi para seniman

lain pada setiap jamannya.

Anda mungkin juga menyukai