Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT

BRONKOPNEUMONIA

Oleh:

Arista Devy A., S.Ked 1618012002


Christopher Alexander M., S.Ked 1518012225
Zelta Pratiwi G., S.Ked 1518012211

Pembimbing:
dr. Elvi Suryati, Sp.A
dr. Prambudi Rukmono, Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDOEL MOELOEK
2016
BAB I

STATUS PASIEN

No. Catatan Medik : 47.93.11

Masuk RSAM : 21 Oktober 2016

Pukul : 19.00 WIB

I. Anamnesis

Alloanamnesis dari ibu pasien

Identitas Pasien

- Nama : An. Z

- Jenis Kelamin : Laki-laki

- Umur : 1 tahun 4 bulan

- Agama : Islam

- Suku : Lampung

- Alamat : Kemiling, Bandar Lampung

Identitas Orangtua

- Nama Ayah : Tn. M

- Umur : 32 tahun

- Pekerjaan : Buruh

- Pendidikan : SMP

- Nama Ibu : Ny. D

2
- Umur : 29 tahun

- Pekerjaan : IRT

- Pendidikan : D3

Hubungan dengan orang tua: anak kandung

3
RiwayatPenyakit

Keluhan Utama : Sesak nafas yang semakin memberat sejak 4 hari

SMRS.

KeluhanTambahan : Batuk terutama malam hari, demam.

Riwayat Penyakit Sekarang :

1 minggu SMRS, os mengalami demam tinggi. Demam dirasakan terus menerus

sepanjang hari, dan tidak disertai menggigil dan keringat dingin. Keesokan

harinya, os dibawa ke puskesmas terdekat lalu diberikan obat paracetamol dan

rawat jalan. Namun tidak ada perbaikan dari kondisi pasien. 4 hari SMRS, Os

mengeluhkan sesak nafas yang semakin memberat dan os tampak agak tersengal

sengal. Sesak nafas tidak disertai pilek. Demam yang dirasakan juga tidak

kunjung turun Saat os demam tinggi, os tidak mengalami serangan kejang. Ibu os

juga mengeluhkan batuk-batuk terutama pada malam hari yang disertasi dahak.

Dahak berwarna putih, tidak terlalu kental dan tidak ditemukan darah. Os lalu

dibawa ke RS Kota Dadi Tjokrodipo. Os sempat dirawat selama 3 hari, lalu os

dirujuk ke IGD RSAM dengan keadaan anak semakin sesak, anak tampak rewel

dan gelisah, serta anak tidak nafsu makan dan lemas. Keluarga mengaku tidak ada

penurunan berat badan. Ibu os juga menyangkal adanya keluhan mual dan

muntah. Orang tua os mengaku tidak ada keluhan pada pola BAB dan BAK.

Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali. Riwayat penyakit jantung

bawaan, penyakit paru paru sebelumnya disangkal oleh orangtua.

4
Riwayat Penyakit Dahulu :

Os tidak pernah mengeluhkan hal yang sama maupun dirawat di rumah sakit.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Keluhan

batuk berdahak/batuk lama disangkal.

Riwayat Sosial :

Ayah bekerja sebagai buruh dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pendidikan

terakhir ayah os adalah SMP dan ibu os adalah D3. Keluarga mengaku rata-rata

penghasilan perbulan tidak dapat dipastikan. Biaya pengobatan selama dirumah

sakit ditanggung oleh BPJS Jamkesmas. Os sehari hari tinggal dan diurus oleh ibu

os. Os tinggal didaerah pemukiman, dan mengaku keadaan lingkungan kebersihan

sekitar tempat tinggal os kurang bersih. Os tidak mempunyai kebiasaan pola

makan yang tidak biasa, namun memiliki pola bermain bersama teman teman di

daerah yang berdebu. Orang tua os juga mengaku riwayat kontak dengan orang

yang batuk lama disangkal.

Riwayat Penyakit Kehamilan

Kunjungan ANC teratur dengan bidan, ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan lain

kecuali vitamin dan zat besi selama masa kehamilan, ibu tidak pernah sakit

selama masa kehamilan, tidak ada penyulit kehamilan.

5
Riwayat Persalinan

Lahir dari ibu G2P1A0, persalinan normal tanpa menggunakan alat, ditolong oleh

bidan, lahir langsung menangis kuat, cukup bulan dan tidak ada kelainan bawaan.

BBL 2900 gr, PB 46 cm.

Riwayat Makanan

0–6 bulan : minum ASI sejak lahir. Frekuensi pemberian tergantung permintaan

bayi ±10 kali/hari.

6–9 bulan : Susu formula frekuensi ±8x /hari. Sebanyak 60 ml botol susu tiap

pemberian. nasi tim instan. Diberikan 4x/hari sebanyak 1 mangkok

kecil (±60 ml) tiap pemberian.

9–12 bulan : Susu formula frekuensi ±6x /hari, sebanyak 120 ml botol susu tiap

pemberian. Bubur nasi dengan komposisi bubur nasi, anak juga

sudah diberikan sayur bayam, wortel, buncis, jagung manis dengan

lauk pauk seperti tempe atau telur. Diberikan 3x/hari sebanyak 1

piring (200 ml).

12 bulan-sekarang: Susu formula frekuensi ±4x /hari, sebanyak 120 ml botol susu

tiap pemberian. Bubur nasi dengan komposisi bubur nasi, anak juga

sudah diberikan sayur bayam, wortel, buncis, jagung manis dengan

lauk pauk seperti ayam, ikan, tempe atau telur. Diberikan 3x/hari.

6
Riwayat Imunisasi

Catatan imunisasi penderita tedapat dalam buku KMS. Pasien sudah mendapatkan

imunisasi BCG (umur 0 bulan), DPT 3 kali (umur 2, 3, dan 4 bulan), polio 4 kali

(umur 0, 2, 3, dan 4 bulan), hepatitis B 4 kali (umur 0, 2, 3, dan 4 bulan), dan

imunisasi campak pada usia 10 bulan.

Vaksin I II III IV X

BCG 

DPT   

Polio    

Campak 

Hepatitis B    

Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai umur dan tidak ditemukan adanya

scar pada bekas imunisasi.

Riwayat Perkembangan

Orang tua pasien mengaku tidak ada keterlambatan dalam perkembangan, baik

dalam aspek personal sosial, adaptif-motorik halus, bahasa, dan motorik kasar.

Anak diakui dapat melakukan hal hal sederhana sesuai dengan umurnya (16

bulan) seperti membuka pakaian, membantu di rumah, mencorat-coret,

menggunakan ±6 kata dalam berbahasa, berlari, dan sebagainya.

7
II. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sesak nafas

Kesadaran : Compos Mentis

Suhu : 39,2 oC

Frekuensi Nadi : 120x / menit

Frekuensi Nafas : 46x / menit

Berat Badan awal : 8,9 kg

Berat Badan Sekarang : 8,9 Kg

Panjang Badan : 77 cm

Status Gizi:

BB/U = -2 SD s.d -1 SD (Z-score)

TB/U = -2 SD s.d -1 SD (Z-score)

BB/PB = -2 SD s.d -1 SD (Z-score)

Kesan:

1. BB/U : Gizi Baik

2. PB/U : Normal

3. BB/PB : Normal

Status Generalis

Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan Yang Menyeluruh

Pucat : Tidak ada

Sianosis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

8
Perdarahan : Tidak ada

Turgor : Baik

Pembesaran KGB : Tidak teraba

Kulit : Efloresensi normal.

KEPALA

Muka : Simetris, sesuai dengan garis tengah tubuh,

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, penyebaran merata

Ubun-ubun Besar : Tidak cekung/cembung

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), SI (-/-), pupil isokor, reflek

cahaya (+/+)

Telinga : Normotia, sekret (-/-)

Hidung : Deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (+)

Mulut : sianosis (-), candidiasis (-), stomatitis (-), kering (-)

LEHER

Bentuk : normal, simetris di tengah sumbu tubuh

Trakea : deviasi trakea (-)

KGB : tidak ditemukan pembesaran KGB

THORAKS

Bentuk : normothoraks

Retraksi : retraksi subcostal (+) rektraksi intercostal (+) retraksi

substernal (+) retraksi suprasternal (-)

9
JANTUNG

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea parasternal

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : bunyi jantung I – II reguler, murmur (-), gallop (-)

PARU-PARU

Anterior Posterior

Sinistra Dextra Sinistra Dextra

Pergerakan
Pergerakan Pergerakan Pergerakan
Inspeksi nafas =
nafas = dextra nafas = sinistra nafas = dextra
sinistra

Ekspansi Ekspansi Ekspansi Ekspansi


Palpasi
simetris simetris simetris simetris

Perkusi Redup Redup Redup Redup

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler

menurun, menurun, menurun, menurun,

Auskultasi rhonki basah rhonki basah rhonki basah rhonki basah

halus (+), halus (+), halus (+), halus (+),

Wheezing (+) Wheezing (+) Wheezing (+) Wheezing (+)

10
ABDOMEN

Inspeksi : Simetris, datar

Palpasi : Lemas, organomegali, nyeri tekan (-), turgor kulit baik

Perkusi : Timpani

Auskultas : Bising usus (+) 8x/menit

GENITALIA EKSTERNA

Laki-laki, tidak ada kelainan

ANUS, REKTUM

Tidak ada kelainan

EKSTREMITAS

Superior : sianosis (-/-), edema(-/-), akral hangat (+/+)

Inferior : sianosis (-/-), edema(-/-), akral hangat (+/+)

NEUROLOGIS

Kekuatan : 5/5/5/5

Gerakan : Aktif

Tonus : normotonus

Klonus :-

Reflek Fisiologis

Bisep : +/+

11
Trisep : +/+

Achilles : +/+

Patella : +/+

Reflek Patologis

Babinski :-

Chaddock :-

Gordon :-

Gonda :-

Schaefer :-

Sensorik

Anestesi :-

Hipoestesi :-

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : negatif

Brudzinsky I : negatif

Brudzinsky II : negatif

Lasseque sign : negatif

Kernig sign : negatif

Otonom

Miksi : normal

12
Defekasi : normal

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Lain/ Anjuran:

A. Darah lengkap

Tanggal 22 Oktober 2016

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hemoglobin 10,4 10,8 – 12,8 g/dL
Leukosit 14.100 6,000 - 17,000 x103/uL
Eritrosit 4,1 3,6 – 5,2 x106/uL
Hematokrit 33 32 - 44 %
Trombosit 483,000 217,000 – 497,000 /uL
MCV 65 76 - 92 fL
MCH 21 23 - 31 pg
MCHC 32 26 - 34 g/dL
LED 43 0 - 10 mm/jam

B. Foto Thorax

Kesan: Bronkopneumonia bilateral

13
RESUME

Pasien Anak laki-laki, usia 1 tahun 4 bulan, BB 8,9 kg, PB 77 cm datang ke

RSUAM pada tanggal 21 Oktober 2016 dengan keluhan 1 minggu SMRS, os

mengalami demam tinggi. Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari, tidak

disertai menggigil dan keringat dingin. Keesokan harinya, os dibawa ke

puskesmas terdekat lalu dan dirawat jalan yang diberikan obat paracetamol namun

tidak ada perbaikan dari kondisi pasien. 4 hari SMRS, Os mengeluhkan sesak

nafas yang semakin memberat dan os tampak agak tersengal sengal. Sesak nafas

tidak disertai pilek. Ibu os juga mengeluhkan batuk-batuk terutama pada malam

hari yang disertasi dahak. Dahak berwarna putih, tidak terlalu kental dan tidak

ditemukan darah. Os lalu dibawa ke RS Kota Dadi Tjokrodipo. Os sempat dirawat

selama 3 hari, lalu os dirujuk ke IGD RSAM dengan keadaan anak semakin sesak,

anak tampak rewel dan gelisah, serta anak tidak nafsu makan dan lemas. Keluarga

mengaku tidak ada penurunan berat badan. Ibu os juga menyangkal adanya

keluhan mual dan muntah. Orang tua os mengaku tidak ada keluhan pada pola

BAB dan BAK. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali. Riwayat

penyakit jantung bawaan, penyakit paru paru sebelumnya disangkal oleh

orangtua.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan

tampak sesak, kesadaran komposmentis, HR 120x/menit, RR 46x/menit, T 39,2

°C, sianosis (-), nafas cuping hidung (+), pembesaran KGB (-), pergerakan

dinding dada simetris, retraksi subcostal-intercostal-substernal (+), fremitus taktil

simetris kanan dan kiri, perkusi redup, auskultasi didapatkan bunyi nafas menurun

14
dan terdengar bunyi tambahan rhonki basah halus dan wheezing pada kedua

lapang paru.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap didapatkan hasil

leukosit 14.100 /uL dan LED 43 mm/jam. Pada foto thorax AP didapatkan kesan

bronkopneumonia bilateral.

IV. DIAGNOSIS BANDING

Bronkiolitis

V. DIAGNOSIS KERJA

Bronkopneumonia

VI. PENATALAKSANAAN

Ruangan Instalasi Gawat Darurat

1. O2 nasal 1 lt/menit 1. IVFD D5%-1/4NS xx gtt/menit

2. IVFD KAEN 3A v gtt/menit infus mikro

infus makro 2. Inj. Ampicilin 250mg/6jam

3. Inj. Cefotaxim 250mg/8jam 3. Inj. Gentamicin 25mg/12jam

4. Inj. Gentamicin 25mg/hari 4. PCT syr 1 cth/8jam

5. Nebulisasis Salbutamol 1nep/6

jam

6. Inj. Dexametaxone 1,7mg/8 jam

7. Inj. Ranitidine 10mg/12 jam

15
8. Paracetamol syr 90mg/6 jam

9. Ambroxol syr 1/2 cth/8 jam

VII. PROGNOSIS

1. Quo ad Vitam : dubia ad bonam

2. Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam

3. Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

16
FOLLOW UP

S O A P
Keluhan Status Assesment Penatalaksanaan
Susp. - O2 1 lt/menit
21/10/2016 KU :Tampak Sakit Sedang, Bronkopneum - IVFD KAEN 3A
sianosis (-), tampak onia v gtt/menit infus
Sesak nafas sesak makro
(+) KS : Compos Mentis - Inj. Cefotaxim
Batuk HR : 120 x/menit 250mg/8jam
berdahak RR : 46 x/menit - Inj. Gentamicin
T : 39,2°C 25mg/hari
BBS : 8,9 kg - Nebulisasi
Status gizi: PB : 77 cm Salbutamol 1
BB/U = -2 SD nep/6 jam
s.d -1 SD (Z- Kepala - Inj. Dexametaxone
score) (gizi Muka : Simetris 1,7mg/8 jam
baik) Mata : Konjungtiva anemis (-), - Inj. Ranitidine
TB/U = -2 SD sklera ikterik (-), refleks 10mg/12 jam
s.d -1 SD (Z- cahaya +/+ - Paracetamol syr
score) Hidung : Septum deviasi (-), NCH 90mg/6 jam
(normal) (+), sekret (-/-) - Ambroxol syr ½
BB/PB = -2 Mulut : stomatitis (-), cth /8 jam
SD s.d -1 SD Candidiasis (-), kering (-
(Z-score) )
(normal) - Cek DL
Paru - Foto Thorax AP
I : Simetris, retraksi
subcostal-intercostal-
substernal (+)
P : Ekspansi simetris
A : Vesikuler menurun,
Ronkhi basah halus +/+
Wheezing +/+

Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
A : BJ I/II Reguler

Abdomen
I : Simetris, datar
P : Hepar dan lien tidak
teraba, dinding perut
lemas, turgor kulit baik
P : Timpani (+)
A : Bising usus (+) 8x/mnt

17
Ekstremitas :
Superior : oedem -/-, sianosis -/-,
akral hangat
Inferior : oedem-/-, sianosis -/-,
akral hangat

Bronkopneumo - O2 1 lt/menit
22/10/2016 KU :Tampak Sakit Sedang, nia - IVFD KAEN 3A
sianosis (-), tampak v gtt/menit infus
Sesak nafas sesak makro
berkurang KS : Compos Mentis - Inj. Cefotaxim
Batuk HR : 102 x/menit 250mg/8jam
berdahak RR : 46 x/menit - Inj. Gentamicin
T : 37,5°C 25mg/hari
BBS : 8,9 kg - Nebulisasi
Status gizi: PB : 77 cm Salbutamol 1
BB/U = -2 SD nep/6 jam
s.d -1 SD (Z- Kepala: - Inj. Dexametaxone
score) (gizi DBN, Nafas cuping hidung (-) 1,7mg/8 jam
baik) - Inj. Ranitidine
TB/U = -2 SD Paru: 10mg/12 jam
s.d -1 SD (Z- Retraksi subcostal-intercostal- - Paracetamol syr
score) substernal (+), Ronkhi basah 90mg/6 jam
(normal) halus +/+ (berkurang) - Ambroxol syr ½
BB/PB = -2 Wheezing -/- cth /8 jam
SD s.d -1 SD
(Z-score) Jantung:
(normal) DBN

Abdomen:
DBN

Ekstremitas :
DBN, Siaonosis (-)

DL:
Hb 10,4; Leu 12; Eri 4,1; Ht 33;
Trombo 483.000; MCV 65; MCH
21; MCHC 32; LED 43.
Foto Thorax: Bronkopneumonia
bilateral

- IVFD KAEN 3A
24/10/2016 KU : Tampak Sakit Sedang, Bronkopneum v gtt/menit infus
sianosis (-) onia Perbaikan makro
Sesak nafas (-) KS : Compos Mentis - Inj. Cefotaxim
Batuk HR : 132 x/menit 250mg/8jam

18
berdahak RR : 36 x/menit - Inj. Gentamicin
berkurang T : 37,0°C 25mg/hari
BBS : 8,9 kg - Nebulisasi
PB : 77 cm Salbutamol 1
Status gizi: nep/6 jam
BB/U = -2 SD Kepala: - Inj. Dexametaxone
s.d -1 SD (Z- DBN, Nafas cuping hidung (-) 1,7mg/8 jam
score) (gizi - Inj. Ranitidine
baik) Paru: 10mg/12 jam
TB/U = -2 SD Retraksi subcostal-intercostal- - Paracetamol syr
s.d -1 SD (Z- substernal (-), Ronkhi basah 90mg/6 jam
score) halus +/+ (minimal) - Ambroxol syr ½
(normal) Wheezing -/- cth /8 jam
BB/PB = -2
SD s.d -1 SD Jantung:
(Z-score) DBN - Cek DL
(normal) - Besok Pulang
Abdomen:
DBN

Ekstremitas :
DBN, Siaonosis (-)

Os Pulang dan rawat


25/10/2016 KU :Tampak Sakit Sedang, Bronkopneum jalan
sianosis (-) onia Perbaikan
Sesak nafas (-) KS : Compos Mentis - Cefadroxil syr ¾
Batuk HR : 132 x/menit cth/8jam
berdahak RR : 36 x/menit - PCT syr
berkurang T : 37,0°C 90mg/8jam
BBS : 8,9 kg - Ambroxol ½ cth
PB : 77 cm /8jam
Status gizi:
BB/U = -2 SD Kepala:
s.d -1 SD (Z- DBN, Nafas cuping hidung (-)
score) (gizi
baik) Paru:
TB/U = -2 SD Retraksi subcostal-intercostal-
s.d -1 SD (Z- substernal (-), Ronkhi basah
score) halus -/- Wheezing -/-
(normal)
BB/PB = -2 Jantung:
SD s.d -1 SD DBN
(Z-score)
(normal) Abdomen:
DBN

19
Ekstremitas :
DBN, Siaonosis (-)

Laboratorium:
DL
Hb 9,9; Leu 11.400; Trombo
575.000; Eri 4,7; Ht 31; LED 32

20
BAB II

ANALISIS KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat?

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di

dapatkan keluhan berupa sesak nafas yang semakin memberat sejak 4 hari

SMRS, demam juga dirasakan terus-menerus 1 minggu yang lalu tanpa

disertai menggigil, berkeringat, dan kejang. batuk-batuk terutama pada

malam hari disertai dahak, dahak berwarna putih, tidak terlalu kental.

Lemas, rewel, tidak nafsu makan. Keluhan pilek disangkal. Mual dan

muntah disangkal. ibu pasien mengatakan bahwa keluhan ini merupakan

keluhan pertama kali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum

tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, suhu 39.2oC, frekuensi

nadi 120x/menit, frekuensi pernapasan 46x/menit, sianosis (-), nafas

cuping hidung (+), pembesaran KGB (-), pergerakan dinding dada

simetris, retraksi subcostal-intercostal-substernal (+), fremitus taktil

simetris kanan dan kiri, perkusi redup, auskultasi didapatkan bunyi nafas

menurun dan terdengar bunyi tambahan rhonki basah halus dan wheezing

pada kedua lapang paru. pada bagian leher, jantung, abdomen dan

ektremitas normal tidak ditemukan adanya kelainan.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan yang

mengarah pada bronkopneumonia sesuai dengan literatur yang ada yaitu

batuk produktif dengan dahak purulen bahkan bisa berdarah, sesak napas,

21
demam, kesulitan makan/ minum, tampak lemah. pada anamnesis juga

didapatkan bahwa keluhan ini merupakan keluhan pertama kali dengan

demikian kemungkinan asma dapat disingkirkan. Diagnosa pneumonia

pada anak biasanya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang

menunjukkan gangguan sistem respiratorius, serta kelainan gambaran

radiologis. Prediktor yang menunjukkan pneumonia adalah adanya gejala

trias pneumonia yaitu:

1. Batuk

2. Demam

3. Sesak

Keluhan sesak nafas juga ditemukan pada, bronkitis dan bronkiolitis akut.

Pada bronkiolitis akut biasanya didahului dengan batuk kering disertai

demam yang tidak terlalu tinggi, pasien juga dapat mengalami takipnea

dan sianosis. Bronkiolitis akut juga sering timbul gejala rinore (nasal

discharge) sebelum adanya gejala lain. Pada auskultasi paru biasanya

ditemukan bunyi wheezing.

Bronkiolitis menjadi diagnosis banding karena gejala pada bronkiolitis

yang mirip dengan pneumonia yang didahului dengan ISPA, seperti pilek

ringan, batuk, dan demam, disusul dengan batuk disertai sesak nafas,

merintih, nafas berbunyi, rewel dan penurunan nafsu makan. Pada

bronkiolitis ditemukan wheezing dimana pada pneumonia tidak terdapat

wheezing. Pada pasien ditemukan suara ronki basah halus yang merupakan

salah satu tanda khas pada pneumonia terutama terdengar sangat jelas pada

usia anak yang lebih besar.

22
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap pasien

ini didapatkan hasil leukosit 14.100 /uL dan LED 43 mm/jam. Biasanya

jumlah leukosit pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan

limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang

predominan. Pada foto thorax AP didapatkan kesan bronkopneumonia

bilateral ditandai dengan bercak-bercak infiltrat serta peningkatan corakan

peribronchial dan terdapat gambaran airbronchogram. Gambar radiologi

torak yang ditemukan pada pasien didapatkan gambaran infiltrat dengan

airbronchogram (terperangkapnya udara pada bronkus karena tiadanya

pertukaran udara pada alveolus) di perihilliar bilateral dan paracardial

dextra. Gambaran tersebut memang biasanya ditemukan pada pneumonia.

Gambaran foto rontgen pada bronkiolitis juga terdapat hiperinflasi,

penebalan peribronkial, dan sering terdapat atelektasis subsegmental,

sehingga pada kasus ini bronkiolitis dapat disingkirkan.

Pada pasien ini kemungkinan bronkopneumonia disebabkan oleh

bakteri sesuai dengan gambaran klinis yang muncul dan sesuai dengan

literatur.

23
(Supriyatno, 2006)

Pasien ini digolongkan bronkopneumonia berat sesuai dengan

gambaran klinis yang muncul, yaitu demam >38,5oC, nafas cuping hidung,

batuk, dan sesak yang berat. Sesuai dengan British Thoracic Society

(2011), berikut adalah klasifikasi pneumonia (Harris et al., 2011):

Derajat ringan - sedang Derajat berat


Suhu <38.5 °C Suhu >38.5 °C
RR <50 x/menit RR>50 kali menit
Sesak yang ringan Sesak nafas berat
Tidak terdapat muntah Nafas cuping hidung
Sianosis
Grunting
Tanda dehidrasi
Takikardi
Capillary refill time > 2 detik

Jadi penegakan diagnosis pada pasien ini sudah tepat sesuai karena sesuai

dengan literatur yang ada.

24
2. Apakah tatatalaksana pada kasus ini sudah tepat ?

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak

terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI,

2012; Bradley et al., 2011).

Penatalaksaan Umum :

1. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit à sampai sesak nafas hilang

atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.

2. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

3. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

B. Penatalaksanaan khusus :

1. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak

diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan

interpretasi reaksi antibioti awal.

2. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu

tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung

3. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan

manifestasi klinis. Pneumonia ringan à amoksisilin 10-25

mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin

tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

25
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan

epidemiologis ringan penyakit

2. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

3. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

4. Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak

harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila

tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam

pertama) menurut kelompok usia :

 Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

a. ampicillin + aminoglikosid

b. amoksisillin - asam klavulanat

c.amoksisillin + aminoglikosid

d.sefalosporin generasi ke-3

 Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a. beta laktam amoksisillin

b. amoksisillin - asam klavulanat

c. golongan sefalosporin

d. kotrimoksazol

e. makrolid (eritromisin)

 Anak usia sekolah (> 5 thn)

a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin,

26
azitromisin)

b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Pada pasien ini diberikan terapi:

1. O2 1 lt/menit

2. IVFD KAEN 3A v gtt/menit infus makro

3. Inj. Cefotaxim 250mg/8jam

4. Inj. Gentamicin 25mg/hari

5. Nebulisasi Salbutamol 1nep/6 jam

6. Inj. Dexametaxone 1,7mg/8 jam

7. Inj. Ranitidine 10mg/12 jam

8. Paracetamol syr 90mg/6 jam

9. Ambroxol syr 7,5mg/8 jam

Perhitungan kebutuhan cairan pada pasien ini berdasarkan rumus “Holiday-

Segar” adalah sebagai berikut (Meyers, 2009):

𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑅𝑢𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 = (100𝑐𝑐 × 8,9𝑘𝑔) = 890cc/hari

Diasumsikan pasien minum susu formula ±4x/hari (120cc/botol) dan cairan

yang terkandung dari makanan sebesar 580 cc/hari.

310 × 20
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑓𝑢𝑠 = = 4,3 ≈ 5 𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑟𝑜
24 × 60

Pada pasien ini diberikan cairan KAEN 3A sebagai cairan maintenance

untuk mencukupi kebutuhan cairan sehari hari.

27
Pemberian antibiotik pada pasien ini sudah tepat, karena dasar pemberian

antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus

dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali

sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan

perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam à ganti dengan antibiotik lain yang

lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu

diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang

menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

Pemberian O2 sudah tepat, karena sesak harus disertai pemberian O2 2-4 lt

sampai sesak nafas hilang. Beri oksigen pada semua anak dengan

bronkopneumonia. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan

untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%,

bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen

setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila

saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak

berguna. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan

oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak

direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap

waktu. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit)

tidak ditemukan lagi.

28
Kebutuhan kalori pada pasien tidak diperhitungkan dengan baik. Kecukupan

energi dapat diperhitungkan dengan rumus (Hardinsyah et al., 2013):

𝐾𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 (𝐾𝑎𝑙)

= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑦 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑛𝑑𝑖𝑡𝑢𝑟𝑒 (𝑇𝐸𝐸) + 0,05 𝑇𝐸𝐸

𝑇𝐸𝐸 = (89 × 𝐵𝐵𝑘𝑔 − 100) + 20𝐾𝑎𝑙

Maka perhitungan kebutuhan kalori pasien ini adalah sbb:

𝑇𝐸𝐸 = (89 × 𝐵𝐵𝑘𝑔 − 100) + 20𝐾𝑎𝑙

𝑇𝐸𝐸 = (89 × 8,9 − 100) + 20𝐾𝑎𝑙

𝑇𝐸𝐸 = 712.1 𝐾𝑎𝑙

Sehingga kecukupan energi adalah sbb:

𝐾𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 (𝐾𝑎𝑙)

= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑦 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑛𝑑𝑖𝑡𝑢𝑟𝑒 (𝑇𝐸𝐸) + 0,05 𝑇𝐸𝐸

𝐾𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 (𝐾𝑎𝑙) = 712,1 + 0,05 (712.1)

𝐾𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 (𝐾𝑎𝑙) = 747,705 𝐾𝑎𝑙

Kecukupan Energi inilah yang akan menjadi acuan dalam diet sehari sehari.

Pada kasus ini Daily Dietary Intakes tidak dipenuhi secara benar. Pada

kasus ini disarankan memiliki pola makan harian sebagai berikut:

Jika diasumsikan os minum susu formula [SGM (63kal/100cc)]

sebanyak ±4x/hari, maka kalori yang sudah terpenuhi sebanyak 302,4

kal/hari. Sebanyak 445,3 kal harus terpenuhi pada makanan

pendamping. Untuk pembagian Karbohidrat (55%), Lemak (35%),

Protein (10%) adalah sebagai berikut:

 Karbohidrat = 244,91 Kal ≈ 61 gr

29
 Lemak = 155,8 Kal ≈ 17 gr

 Protein = 44,53 Kal ≈ 11 gr

Berdasarkan perhitungan kebutuhan kalori diatas, disarankan pemberian

pola makan setiap hari sebagai berikut (Sjarif et al., 2014):

Pola 1 Pola 2 Pola 3

 Nasi Tim 1 Gelas  Bubur beras 2  Kentang 2 biji

 Telur ayam 2 butir Gelas sedang

 Tempe 2 potong  Daging ayam 1  Ikan teri 3 sendok

sedang potong sedang makan

 Tahu 1 biji besar  Tempe 2 potong  Tempe 2 potong

 Tauge ¼ mangkok sedang sedang

kecil  Tahu 1 biji besar  Tahu 1 biji besar

 Pepaya ½ potong  Sawi ¼ mangkok

kecil

Pada pasien ini diberikan pemberian injeksi dexametasone yang tidak ada

pada protokol penatalaksanan Bronkopneumonia. Namun dexametasone

merupakan sistemik steroid yang berfungsi sebagai adjunctive therapy pada

banyak jenis infeksi. Glukokortikoid ini merupakan inhibitor fisiologis yang

potent terhadap respon inflamasi. Baru baru ini penelitian menunjukkan

kortikosteroid dapat juga berguna dalam terapi pneumonia, dimana

pemberian dexametason dalam 4 hari dapat mengurangi rawat inap di rumah

sakit selama 1 hari pada pasien pneumonia tanpa immunocompromised.

Secara hipotesis, kortikosteroid sebagai terapi adjunctive dapat menurunkan

30
regulasi yang berlebihan dari respon sitokin dimana dalam hal ini dapat

mempercepat penyembuhan klinis. Sejauh ini, ada 2 penelitian yang

menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mengurangi

konsentrasi interleukin-1β (IL-1β), IL-6, dan tumor necrosis factor alpha

(TNF-α). Namun sejauh ini belum pernah diinvestigasi efek kortikosteroid

pada mikroorganisme kausal. Pemberian dexametasone sebanyak 0,3

mg/kgBB yang terbagi dalam 12 atau 8 jam pada kasus ini diharapkan

adanya pemulihan yang cepat dari respon inflamasi bronkopneumonia

(Remmelts et al., 2012; Lavi et al., 2015; Weiss et al., 2011).

Pada pasien ini diberikan juga injeksi ranitidine yang bersifat H-2 bloker.

Penatalaksanan ini diberikan karena dikhawatirkan terjadinya perdarahan

saluran cerna bagian atas yang disebabkan pemberian dexametasone.

Diperkirakan adanya hubungan penggunaan kortikosteroid dengan efek

samping pada gastrointestinal, termasuk perdarahan atau perforasi. Pada

penelitian Sigrid dkk didapatkan kesimpulan terdapat hubungan antara

penggunaan kortikosteroid dengan peningkatan resiko perdarahan dan

perforasi gastrointestinal (Narum et al., 2014). Beberapa penelitian

eksperimental telah menunjukkan keberadaan asam lambung pada lumen

gastroduodenal merupakan kondisi esensial pada pembentukan stres erosi

atau ulserasi. Pemeliharaan dari pH gaster ≥4 telah menunjukkan dari resiko

stres ulserasi dan perdarahan gaster. Dosis dalam pemberian ranitidine yaitu

5 mg/kgBB/hari (Pourarian et al., 2005).

31
3. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini ?

Secara umum, prognosis pada kasus ini baik. Banyak kasus dari

bronkopneumonia viral akan membaik tanpa terapi, sedangkan pada

bakteri patogen dan organisme atipikal berespon baik terhadap

antrimicroba terapi. Kerusakan jangka panjang dari fungsi paru cukup

langka, bahkan pada anak yang mengalami komplikasi pneumonia yaitu

abses paru maupun empiema. Menurut WHO’s Global Burden of Disease

2000 Project, infeksi saluran nafas bagian bawah merupakan penyebab

kedua kematian pada anak kurang dari 5 tahun. Kebanyakan anak diterapi

secara rawat jalan dan sembuh total. Tetapi pada bayi dan anak dengan

immunocompromised, angka kematian lebih tinggi. Pada penelitian lebih

lanjut, orang dewasa dengan pneumonia memiliki angka kematian lebih

tinggi yang berhubungan dengan abnormalitas tanda tanda vitals,

immunodefisiensi dan patogen tertentu. Edukasi keluarga untuk mencegah

paparan dari asap rokok, dan proteksi awal seperti cuci tangan (Bennett,

2016).

Pada kasus ini pasien memiliki orang tua dengan latar belakang pendidikan

SMP dan D3, diharapkan dengan ini orang tua pasien dapat diedukasi

dengan baik mengenai pencegahan dan terapi rawat jalan yang diberikan.

Tidak diketahui berapa pendapatan total per bulan oleh keluarga os, tetapi

ayah os memiliki pekerjaan sehingga diharapkan kecukupan nutrisi dapat

terpenuhi dengan baik. Dengan nutrisi yang baik dapat meningkatkan

kekebalan imunitas seluler maupun humoral sehingga dapat mencegah

32
manifestasi klinis dari infeksi. Namun os tinggal di lingkungan yang

meningkatkan faktor resiko terjadi infeksi bronkopneumonia ulangan. Hal

ini mengakibatkan perlunya kewaspadaan yang tinggi terhadap lingkungan

khususnya tempat bermain os sehari hari.

33
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan

pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus

dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak

dan balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri,

virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan

oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang

perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi

sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh

tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-

anak dan orang dewasa (Bradley et al., 2011).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak

(patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada

paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil

disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et al., 2011).

34
B. Epidemiologi

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak

di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di

Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi

pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et al., 2011)

. C. Etiologi

1. Faktor Infeksi : Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory

Sincytial Virus (RSV). Pada bayi : Virus: Virus parainfluensa, virus

influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. Organisme atipikal:

Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Pada anak-anak yaitu virus:

Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV. Organisme atipikal:

Mycoplasma pneumonia. Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium

tuberculosi. Pada anak besar – dewasa muda, Organisme atipikal:

Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis. Bakteri: Pneumokokus,

Bordetella pertusis, M. tuberculosis.

2. Faktor Non Infeksi Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks

esophagus meliputi: Bronkopneumonia hidrokarbon yang terjadi oleh

karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat

hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

Bronkopneumonia lipoid biasa terjadi akibat pemasukan obat yang

mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap

keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,

pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan

35
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang

menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang

terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak.

C. Klasifikasi

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan

dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi.

Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia

berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang

lebih relevan (Bradley et al., 2011).

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris,

pneumonia intersitiali, bronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari

masyarakat (community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia

yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri

Pneumonia virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal

Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia

persisten.

36
D. Patogenesis

Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.

Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan

anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme

pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier

aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan

respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,

imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel

(Bradley et al., 2011).

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau

bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran

nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari

saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat

meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian

bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.

Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului

dengan infeksi virus. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia,

yaitu:

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

37
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan

dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai

bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga

warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada

stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak

akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu

selama 48 jam.

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan

fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi

fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,

warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi

mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi

oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

38
E. Manifestasi Klinik

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi

saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara

mendadak sampai 39-40 C dan mungkin disertai kejang karena demam

yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal

disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan

mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan

mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk

kering kemudian menjadi produktif (Bennett, 2016).

Dalam pemeriksaan fisik penderita Pneumonia khususnya

bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennett, 2016):

Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,

interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif

yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding

dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung;

orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan

intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi

tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah

terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan subkostal, dan

fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal

yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin

positif. Retraksi lebih terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat

interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

39
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan

fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling

dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi

otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas

ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area

suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada

“head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya

distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara

abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung

memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan

napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas

atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang

kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama

jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru

(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

Pada perkusi tidak terdapat kelainan. Pada auskultasi ditemukan crackles

sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu,

interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000

Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya

40
frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari

amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles

individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret

jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

Pada pemeriksaan penunjang di lakukan pemeriksaan radiologi tampak

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan

peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang

tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada

lobus bawah (Bennett, 2016).

Pada pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat

peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu

membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal

atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan)

dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang

predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta

peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan

hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi

mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif

sehingga tidak rutin dilakukan (Bennett, 2016).

41
F. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et

al., 2011):

1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan

dinding dada

2. Panas badan

3. Basah halus-sedang nyaring (crackles)

4. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus

5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan

Limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang

predominan)

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak

terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI,

2012; Bradley et al., 2011)

A. Penatalaksaan Umum :

1. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit à sampai sesak nafas hilang

atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.

2. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

3. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

B. Penatalaksanaan khusus :

42
1. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak

diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan

interpretasi reaksi antibioti awal.

2. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu

tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung

3. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan

manifestasi klinis. Pneumonia ringan à amoksisilin 10-25

mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin

tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan

epidemiologis ringan penyakit

2. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

3. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

4. Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak

harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila

tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam

pertama) menurut kelompok usia :

1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

a. ampicillin + aminoglikosid

b. amoksisillin - asam klavulanat

c.amoksisillin + aminoglikosid

d.sefalosporin generasi ke-3

43
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

a. beta laktam amoksisillin

b. amoksisillin - asam klavulanat

c. golongan sefalosporin

d. kotrimoksazol

e. makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)

a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin,

azitromisin)

b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka

harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam

sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak

menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam à ganti dengan

antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga

(sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,

abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

44
DAFTAR PUSTAKA

Bennett, N.J.(2016). Pediatric Pneumonia. Medscape. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.

Bradley, J.S., Byington, C.L., Shah, S.S., Alverson, B., Carter, E.R., Harrison, C.,

et al.(2011). The Management of Community-Acquired Pneumonia in

Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice

Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious

Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases.

Hardinsyah, Riyadi, H. & Napitulu, V.(2013). Kecukupan Energi, Protein, Lemak

, dan Karbohidrat, Bogor.

Harris, M., Clark, J., Coote, N., Fletcher, P., Harnden, A., McKean, M., et

al.(2011). Guidelines for the management of community acquired pneumonia

in children: update 2011. British Thoracic Society, 66.

IDAI.(2012). Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: IDAI.

Lavi, E., Shoseyov, D., Simanovsky, N. & Brooks, R.(2015). Systemic Steroid

Treatment for Severe Expanding Pneumococcal Pneumonia. Case Reports in

Pediatrics.

Meyers, R.S.(2009). Pediatric Fluid and Electrolyte Therapy. The Journal of

Pediatric Pharmacology and Therapeutics, 14(4), pp.204–211.

Narum, S., Westergren, T. & Klemp, M.(2014). Corticosteroids and risk of

gastrointestinal bleeding: a systematic review and meta-analysis.

Gastroenterology and hepatology, 4(5).

Pourarian, S., Imani, B. & Imanieh, M.H.(2005). Prophylactic Ranitidine in

45
Prevention of GI Bleeding in Neonatal Intensive Care Units. Iranian Journal

of Medical Sciences, 30(4).

Remmelts, H.H.F., Meijvis, S.C.A., Biesma, D.H., Velzen-Blad, H. van, Voorn,

G.P., Grutters, J.C., et al.(2012). Dexamethasone Downregulates the

Systemic Cytokine Response in Patients with Community-Acquired

Pneumonia. Clinical and Vaccine Immunology, 19(9), pp.1532–1538.

Sjarif, D.R., Gultom, L.C., Hendarto, A., Lestari, E.D., Sidiartha, I.G.L. &

Mexitalia, M.(2014). Diagnosis, Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas

pada Anak dan Remaja, Jakarta: IDAI.

Supriyatno, B.(2006). Infeksi Respiratorik Bawah Akut. Sari pediatri, 8(2),

pp.100–106.

Weiss, A.K., Hall, M., Lee, G.E., Kronman, M.P., Sheffler-Collins, S. & Shah,

S.S.(2011). Adjunct Corticosteroids in Children Hospitalized With

Community-Acquired Pneumonia. Pediatrics, 127(2), pp.255–263.

46

Anda mungkin juga menyukai