Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persediaan bahan bakar bumi semakin tahun-semakin menipis dengan
jumlah manusia yang semakin bertambah maka akan menyebabkan bertambahnya
juga kebutuhan akan energy minyak bumi. Oleh sebab itu, diperlukan sumber
energi lain untuk mengganti bahan bakar yang memang merupakan sumber energi
yang tidak dapat diperbaharui. Berbagai penelitian pun dilakukan untuk
mendapatkan sumber energi alternatif. Sumber energi alternatif ini pun mulai
populer di seluruh dunia, menggantikan sumber energi fosil yang perlahan-lahan
mulai habis dan pada umumnya, sumber energi alternatif ini lebih ramah
lingkungan.
Salah satu jenis dari energi alternatif tersebut adalah Bioetanol atau Bahan
Bakar Hayati. Bioetanol adalah setiap bahan bakar yang dihasilkan dari bahan-
bahan organik dengan cara di fermentasikan dan membutuhkan factor biologis
dalam prosesnya.
Bioetanol sebenarnya sudah lama digunakan oleh manusia sejak zaman
prasejarah dalam bentuk alcohol. Campuran dari Bioetanol yang mendekati
kemurnian untuk pertama kali ditemukan oleh Kimiawan Muslim yang
mengembangkan proses distilasi pada masa Kalifah Abbasid dengan peneliti yang
terkenal waktu itu adalah Jabir ibn Hayyan (Geber), Al-Kindi (Alkindus) dan al-
Razi (Rhazes). Catatan yang disusun oleh Jabir ibn Hayyan (721-815)
menyebutkan bahwa uap dari wine yang mendidih mudah terbakar. Al-Kindi (801-
873) dengan tegas menjelaskan tentang proses distilasi wine. Sedangkan Bioetanol
absolut didapatkan pada tahun 1796 oleh Johann Tobias Lowitz, dengan
menggunakan distilasi saringan arang.
Rumus molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O atau
rumus bangunnya CH3-CH2-OH. bioetanol merupakan bagian dari kelompok metil
(CH3-) yang terangkai pada kelompok metilen (-CH2-) dan terangkai dengan
kelompok hidroksil (-OH). Bioetanol tidak berwarna dan tidak berasa tapi memilki
bau yang khas. Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. Karena sifatnya yang
tidak beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan
industri makanan dan minuman.
Salah satu bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat bioethanol
adalah tetes tebu. Tets tebu berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap
pemisahan Kristal gula. Molase tidak dapat lagi dibentuk menjadi sukrosa namun
masih mengandung gula dengan kadar tinggi 50 – 60%, asam amino dan mineral.
Tingginya kandungan gula dalam molase sangat potensial dimanfaatkan sebagai
bahan baku bioethanol. Molase masih mengandung kadar gula yang cukup untuk
mendapatkan etanoldengan proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar antara
5,5 – 6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10 – 18% telah
memberikan hasilyang memuaskan daam pembuatan etanol. Manfaat dari kegiatan
praktek lapangan ini adalah untuk memberi informasi mengenai proses
transformasi bahan baku (tetes) menjadi produk (bioetanol) baik proses fermentasi
bioetanol, pemurnian bioethanol (destilasi), dan dehidrasi bioetanol untuk
mendapat fuel grade bioetanol.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan dari kegiatan Praktek lapangan bioethanol adalah :
1. Mahasiswa mampu merencanaan produksi bioethanol.
2. Mahasiswa mampu mempersiapan bahan baku dan inoculum/starter
3. Mahasiswa mampu melakukan proses fermentasi bioethanol dari bahan bergula.
4. Mahasiswa mampu melakukan proses destilasi bioethanol.
5. Mahasiswa mampu melakukan analisa sifat-sifat bioethanol yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bahan Baku Bioetanol
Etanol adalah senyawa golongan alkohol dengan rumus kimia C2H5OH.
Residu etanol yang ditemukan pada peninggalan keramik yang berumur 9000 tahun
dari Cina bagian utara menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah digunakan
manusia prasejarah dari masa neolitik (Roach, 2005). Pembuatan etanol secara
sintetik bermula pada tahun 1825 ketika Michael Faraday menemukan bahwa asam
sulfat dapat menyerap banyak gas arang (coal gas) (Faraday, 1825). Ia memberikan
larutan yang diperolehnya kepada Henry Hennell, seorang ahli kimia Inggeris, yang
pada tahun 1826 menemukan bahwa larutan tersebut mengandung sulphovinic acid
(etil hidrogen sulfat) (Hennell, 1826). Pada tahun 1828, H. Hennell dan G. S.
Serullas, seorang ahli kimia Perancis secara terpisah menemukan bahwa sulphovinic
acid dapat diuraikan menjadi etanol (Hennell, 1828 dan Serullas, 1828).
Ketersediaan etanol setelah Perang Dunia II menjadi berlimpah karena adanya
bahan baku yang murah yaitu etilena yang diperoleh dari hasil samping produksi
gas alam dan bensin. Etanol ini disintesis melalui reaksi esterifikasi-hidrolisis
etilena dalam larutan asam sulfat pekat berair (Maiorella, 1985).
Etanol absolut mempunyai massa molar 46,07 g.mol-1, kerapatan 0,789
g.ml-1, dan titik didih 78,40C (Merck & Co., 1960). Etanol merupakan senyawa
organik yang berwujud cair pada suhu kamar, jernih, tak berwarna, beraroma khas,
mudah menguap dan mudah terbakar. Etanol dapat ditemukan pada banyak produk
makanan dan minuman seperti tape, brem, wine, anggur, dan lain-lain (Prihandana
dkk., 2007). Selain pada produk makanan dan minuman, etanol banyak digunakan
sebagai pelarut, germisida, zat anti beku, bahan bakar, dan bahan baku pada
pembuatan berbagai senyawa kimia lainnya (Maiorella, 1985).
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi melalui fermentasi gula dari
tanaman atau limbah makanan yang mengandung gula, pati atau selulosa. Bioetanol
terutama dibuat dari gula karena ongkosnya paling murah. Di Brazil, yang
merupakan negara penghasil etanol paling besar, etanol diproduksi dari tebu. Brazil
adalah negara yang dapat memproduksi etanol dengan biaya paling murah dan
menguasai pasaran bioetanol yang besar di seluruh dunia. India adalah salah satu
negara penghasil sekaligus konsumen gula terbesar di dunia, menggunakan molasse
sebagai bahan baku utama untuk memproduksi bioetanol (Singhania dkk, 2009).
Pada beberapa tahun terakhir, program biofuel mendapatkan momentum
baru sebagai akibat dari meningkatnya harga bahan bakar minyak dan kehadiran
kendaraan yang dapat menggunakan bahan bakar campuran etanol dan bensin.
Pemerintah di beberapa negara memberikan subsidi dan pengurangan pajak untuk
mempromosikan penggunaan bioetanol. Selanjutnya, penanaman, pengolahan, dan
penggunaan bahan bakar rendah emisi CO2 dan dapat terdegradasi secara alami ini
digalakkan (Singhania dkk., 2009).
Selama pembakaran, etanol bereaksi dengan oksigen menghasilkan
karbondioksida, air, dan panas melalui reaksi:
C2H5OH(g) + 3 O2(g) → 2 CO2(g) + 3 H2O(l); (ΔHr = −1409 kJ/mol
Panas yang dihasilkan dari pembakaran etanol digunakan untuk
menggerakkan piston di dalam mesin melalui ekspansi gas panas (Rossini, 1937).
Etanol murni jarang digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, tetapi yang
digunakan adalah campuran etanol dengan bensin. Yang paling populer adalah E85
yang terdiri atas 85% etanol dan 15% bensin (Singhania dkk., 2009). Berdasarkan
referensi tersebut pula diketahui bahwa bioetanol memiliki kelebihan dibandingkan
dengan bensin, karena: (1) etanol mengandung oksigen lebih banyak sehingga
pembakarannya lebih sempurna, dan karena itu emisi hidrokarbon serta
partikulatnya lebih rendah; (2) etanol memiliki bilangan oktan yang lebih tinggi
daripada bensin sehingga dapat memberikan tenaga yang lebih efisien dan ekonomis
bagi mesin kendaraan. Selain itu, disebutkan pula bahwa kebutuhan bioetanol
meningkat akibat pelarangan penggunaan metil tersier butil eter (MTBE) pada
bensin. Pelarangan ini berkaitan dengan adanya kemungkinan MTBE bersifat
karsinogen (menyebabkan penyakit kanker) (Lyons, 2003). Kelebihan bioetanol
juga sebelumnya telah diungkapkan oleh Nguyen (dkk. 1996) yang menyatakan
bahwa bioetanol memiliki dampak negatif yang lebih rendah terhadap lingkungan
dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil.
Produksi bioetanol dari bahan yang dapat diperbaharui akan mengurangi
ketergantungan dunia pada minyak bumi. Penggunaan bioetanol dapat
menyelamatkan atmosfir dari akumulasi karbondioksida, gas penyebab “efek rumah
kaca” karena karbondioksida yang dihasilkan pada pembakaran etanol setara
dengan karbondioksida yang diserap pada penanaman kembali biomassa untuk
memproduksi bioetanol (Mc Millan, 1997).
Bioetanol dihasilkan dari reaksi fermentasi gula yang terdapat di dalam
bahan baku. Reaksi fermentasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

C6H12O6 ————> 2 C2H5OH + 2 CO2 + energi


3C5H10O5 ——-> 5C2H5OH + 2 CO2 + energi

Reaksi (2) terjadi pada fermentasi glukosa dan reaksi (3) terjadi pada
fermentasi pentosa. Glukosa berasal dari hidrolisis amilosa, amilopektin, dan
selulosa sedangkan pentosa berasal dari hidrolisis hemiselulosa. Reaksi fermentasi
pertama menggunakan mikroba terutama khamir, Saccharomyces cerevisiae yang
memperoleh energinya melalui jalur reaksi tersebut. Reaksi fermentasi kedua dapat
dilakukan dengan menggunakan Zimomonas mobilis (Balat dkk., 2008).
Bahan baku untuk pembuatan bioetanol dapat dikelompokkan menjadi: (1)
bahan yang mengandung gula sederhana (monosakarida dan disakarida) misalnya
nira tebu dan nira sorgum manis (sweet sorghum); (2) bahan yang mengandung pati
(starchy material) misalnya singkong dan jagung; (3) bahan yang mengandung serat
atau selulosa dan lignin (lignoselulosa) seperti jerami padi, serpihan kayu, dan
rumput-rumputan (Balat dkk, 2008; Prihandana dkk., 2007).
Bahan baku yang paling banyak digunakan sekarang adalah bahan yang
mengandung banyak gula disakarida berupa sukrosa. Meskipun demikian, bahan-
bahan tersebut juga mungkin mengandung gula monosakarida berupa glukosa,
fruktosa dan jenis lainnya yang juga dapat dengan mudah dikonversi menjadi etanol.
Bahan baku utama yang mengandung gula untuk produksi bioetanol adalah
tebu, baik dalam bentuk nira (perasan batang) tebu maupun molasse (hasil samping
penggilingan tebu). Tebu (Saccharum officinarum) merupakan suatu tanaman
tahunan dari golongan rumput-rumputan di daerah tropis yang dimanfaatkan karena
kandungan sukrosanya (Kim dan Day., 2010). Sekitar 79% etanol di Brazil
diproduksi dari nira tebu segar dan sisanya dari molasse (Sanchez dan Cardona,
2008).
Selain tebu, bahan baku yang juga banyak digunakan untuk produksi
bioetanol adalah bit gula. Tanaman ini terutama digunakan untuk produksi bioetanol
di Eropa. Bit gula mengandung 16-18% gula, sedikit lebih tinggi daripada
kandungan gula pada tebu. Diperkirakan bahwa, di Uni Eropa, etanol dapat
diproduksi dari bit gula dengan yield 86 L/MT bahan baku. (Drapcho dkk., 2008)
Di samping tebu dan bit gula, sorgum manis merupakan salah satu tanaman
yang paling potensial untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol terutama di
negara-negara sedang berkembang (Balat dkk., 2008). Sorgum manis memiliki
beberapa kelebihan daripada tebu karena tanaman ini dapat tumbuh pada kondisi
kering, memerlukan air hanya satu per tujuh dari air yang diperlukan tebu. Meskipun
etanol yang dihasilkan per unit berat bahan baku lebih rendah, biaya produksi
sorgum manis yang lebih rendah dapat mengkompensasi kekurangan hasil etanol
tersebut. Sorgum manis memiliki kelebihan dalam hal biaya produksi yang
kompetitif. Biaya produksi etanol dari sorgum manis dan tebu berturut-turut adalah
sekitar US$ 0,29 dan 0,33 per liter (Singhania dkk., 2009).
Jenis gula yang terdapat di dalam nira tebu sebagai bahan baku pembuatan
bioetanol adalah sukrosa sebagai komponen terbesar, kemudian glukosa dan
fruktosa. Selain itu, terdapat pula jenis gula lain dalam jumlah lebih sedikit, yaitu
oligosakarida (kestose dan theanderose) serta polisakarida (Walford, 1996). Pada
sorgum manis, selain sukrosa, glukosa, dan fruktosa, terdapat juga jenis gula lain
dalam jumlah kecil seperti arabinosa, galaktosa, manosa, ribosa, silosa, dan sorbosa
(FAO, 1994a).
Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam fermentasi etanol
adalah khamir S. cerevisiae karena kemampuannya menghidrolisis sukrosa dari tebu
menjadi glukosa dan fruktosa yang kemudian dikonversi menjadi etanol (Sanchez
dan Cardona, 2008). Z. mobilis dapat menghasilkan etanol lebih banyak (hingga
97%) dari maksimum teoritis, akan tetapi selama fermentasi bakteri ini membentuk
polisakarida levan yang dapat meningkatkan kekentalan cairan fermentasi dan
sorbitol yang dapat mengurangi efisiensi konversi sukrosa menjadi etanol (Sanchez
dan Cardona, 2008).
Konversi karbohidrat dengan 5 dan 6 atom karbon (gula sederhana) menjadi
etanol lebih mudah dibandingkan konversi pati dan lignoselulosa menjadi bioetanol
karena konversi gula sederhana tidak memerlukan tahap hidrolisis maupun
pretreatment, dua tahapan yang harus dilakukan pada konversi pati dan
lignoselulosa menjadi etanol (Cardona dan Sanchez, 2007).
B. Fermentasi
Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui
senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah
suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel
mikroba. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses yaitu
: formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan
organisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah (Wibowo
1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh
bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa dan
glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stokiometri sebagai berikut :
C12H22O11 + H2O 4 C2H2OH + 4 CO2
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
Fermentasi pada produksi bioetanol dimaksudkan untuk mengubah glukosa
menjadi etanol (alkohol) dengan menggunkan yeast/ragi. Pada tahap fermentasi ini,
tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan
sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang
terdapat pada ragi (khamir) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses
fermentasi ini menghasilkan etanol dan CO2. Khamir yang digunakan pada tahap ini
adalah Saccharomyses cerevisiae, yang bisa digunakan dalam pembuatan roti,
anggur dan bir. Penggunaan Saccharomyses cerevisiae merupakan proses
fermentasi dengan kinetika sangat sederhana. Disebut sederhana karena hanya
melibatkan satu fasa pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah
sacara simultan menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang
mengendalikan pertumbuhan dan metabolisme khamir dalam keadaan anaerobik,
yaitu konsentrasi gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada
konsentrasi rendah (kurang dari 1g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada
konsentrasi tinggi (lebih dari 300g/l) akan menjadi penghambat. Pada sisi lain,
etanol pada konsentrasi 40 g/l akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan
biomassa maupun produksi etanol (Mangunwidjadja 1994).
Proses fermentasi alkohol seharusnya dimulai dengan kesetimbangan massa
dan energi, dan bioreaktor yang sesuai diperlukan dalam perhitungan
pelaksanaanya. Beberapa unsur yang diperlukan dalam rekator fermentasi etanol
meliputi substrat yang meliputi glukosa, nutrisi atau suplemen (oksigen, nitrogen
dan hidrogen, fosfor, sulfur, potassium dan magnesium), mineral (mangan, kobalt,
tembaga, timah), faktor-faktor organik (asam amino, asam nukleat dan vitamin),
serta mikroba berupa Saccharomyces cerivisiae. Khamir dalam proses fermentasi
umumnya mengkonversi glukosa menjadi etanol pada kondisi anaerobik. Meskipun
demikian masih dibutuhkan sedikit oksigen untuk pertumbuhan khamir. Oksigen
yang dibutuhkan pada substrat sebesar 0,05-0,10 mmHg tekanan iksigen. Proses
fermentasi anaerobik tidak membutuhkan oksigen lebih dari itu, karena oksigen
yang lebih akan mendorong pertumbuhan khamir dengan cepat dan mengkonsumsi
glukosa. Pada beberapa kasus, konversi glukosa menjadi etanol tidak pernah 100%,
paling baik konversi maksimum sebesar 95% (Trust 2008).
Saccharomyces cerivisiae merupakan salah satu spesies khamir yang
memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya
dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik.
Produk metabolik utama adalah etanol, CO2, dan air sedangkan beberapa produk
lain dihasikan dalam jumlah yang sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif
anaerobik. Saccharomyces cerivisiae memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0-4,5 agar
dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak
dilakukan pendinginan suhu akan terus meningkat sehingga proses fermentasi
terhambat. Saccharomyces cerivisiae yang berupa ragi roti dalam fermentasi etanol
hanya memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi xilosa
dan pentosa lainnya. Konsentrasi khmair yang digunakan pada proses fermentasi
sebesar 5 g/l bahan kering. Proses fermentasi dikondisikan pada pH 5,5 dengan suhu
30oC (Sassner 2008).
Menurut Gaur (2006), salah satu yang membatasi tingginya kecepatan
produksi etanol adalah penghambatan pada proses metabolisme khamir oleh
tingginya konsentrasi gula pada substrat dan sebagai produk akhir. Pada industri
yang memproduksi alkohol, umumnya konsentrasi gula pada substrat sebesar 16-
18%. Apabia konsentrasi substrat lebih dari itu maka akan menyebabkan tekanan
osmotik yang mengurangi efisiensi proses fermentasi. Suhu merupakan faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan, metabolisme dan daya tahan hidup
mikroorganisme fermentasi. Proses fermentasi pada industri alkohol pada umumnya
menggunakan suhu 25-30oC. Beberapa penelitian dilakukan dengan suhu fermentasi
optimum sebesar 35oC. Selain konsentrasi gula pada substrat dan suhu, pH juga
mempengaruhi proses fermentasi, proses yang umum dilakukan pada pH 4,5-6.
C. Destilasi
Tahapan pembuatan bioetanol setelah proses fermentasi adalah pemurnian.
Pada tahap ini proses yang dilakukan adalah proses distilasi dan dehidrasi. Distilasi
atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan
perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam
penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian
didinginkan kembali kedalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih
rendah akan menguap lebih dulu.
Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa.
Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-
masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Model ideal distilasi
didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton.
Macam-Macam Distilasi
1. Distilasi Sederhana
Prinsipnya memisahkan dua atau lebih komponen cairan berdasarkan
perbedaan titik didih yang jauh berbeda.
2. Distilasi Fraksionasi (Bertingkat)
Sama prinsipnya dengan distilasi sederhana, hanya distilasi beertingkat
ini memiliki rangkaian alat kondensor yang lebih baik, sehingga mampu
memisahkan dua komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang
berdekatan. Untuk memisahkan dua jenis cairan yang sama-sama mudah
menguap dapat dilakukan dengan distilasi bertingkat. Distilasi bertingkat
sebenarnya adalah suatu proses distilasi berulang. Proses berulang ini terjadi
pada kolom fraksional. Kolom fraksional terdiri atas beberapa plat dimana pada
setiap plat terjadi pengembunan. Uap yang naik plat yang lebih tinggi lebih
banyak mengandung cairan yang lebih atsiri (mudah menguap) sedangkan cairan
yang kurang atsiri lebih banyak dalam kondensat.
1. Distilasi Azeotrop
Memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen
yang sulit dipisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain
yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut, atau dengan menggunakan
tekanan tinggi.
2. Distilasi Kering
Memanaskan material padat untuk mendapatkann fasa uap dan
cairnya. Biasanya digunakan untuk mengambil cairan bahan bakar dari kayu
atau batu bata
3. Distilasi Vakum
Memisahkan dua komponen yang titik didihnya sangat tinggi, metode
yang digunakan adalah dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah
dari 1 atm, sehingga titik didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu
yang digunakan untuk mendistilasinya tidak perlu terlalu tinggi.
III. ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
A. Tempat dan Waktu Kegiatan
Waktu dalam pengolahan Bioetanol, kami laksanakan pada:
Hari/tanggal : Kamis, 3 Mei 2018
Waktu : pukul 07.00 s/d selesai
Tempat pelaksanaan prakek lapangan di pilot plant kampus Instiper
B. Alat dan Bahan Praktikum
Alat dan bahan yang diperlukan untuk kegiatan ini meliputi: satu unit
peralatan pengolahan bioetanol, timbangan, gelas ukur 1 liter, tetes tebu, ragi, air,
urea.
C. Prosedur
1. Pengenceran tetes tebu
a. Diinginkan Kadar gula untuk proses fermentasi adalah sekitar 46 briks
b. Dilakukan pengecekan kadar gula (briks) dan pH tetes.
c. Dilakukan pengenceran tetes dengan rumus VINI = V2N2.
d. Contoh: tetes kental mempunyai briks = 60 % (60 briks), volume media
fermentasi yang akan dibuat 100 liter dengan kadar 46 % (46 briks), maka
tetes kental yang diambil adalah
14𝑥20
Volume tetes = 6,0
46

Diambil 6,0 liter tetes kental dan tambahkan air sebanyak 14 liter (volume
total 20 liter), aduk hingga merata.
2. Lakukan penambahan urea untuk nutrisi ragi
a. Ditambahkan 6 gr .Jumlah NPK sebanyak 0% dari total jumlah tetes.
b. (Dilihat dalam contoh diatas, untuk kadar gula 46% (tetes 20 liter) maka
penambahan urea 0,6 gram atau 6 gram dan NPK 0,020 kg atau 20 gram).
c. Digerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian ditambahkan ke dalam
larutan fermentasi dan diaduk.
d. Dilakukan pengaturan pH menjadi 4,5 dengan menambahkan asam asetat.
3. Penambahan inoculum atau starter
a. Disiapkan sebelumnya 500 ml media fermentasi yang udah diberi nutrisi dan
disterilisasi. Tambahkan 2% ragi roti (fermipan) atau sebanyak 10 gram,
inkubasi selama 24 jam pada suhu 30ͦ C.
b. Dimasukkan starter yang sudah berumur 24 jam tersebut kedalam 5 liter
media fermentasi steril, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30ͦ
C. Starter ini siap diinokilasikan pada proses fermentasi.
4. Tahap berikutnya adalah tahap fermentasi
a. Dimasukan media fermentasi kedalam fermentor dan lakukan
sterilisasi(pemanasan pada suhu 32 0C selama 24 jam. Kemudian diinginkan
dan suhu mencapai 30-60ͦ C. Setelah dingin, masukkan inoculum yang sudah
dibuat sebelumnya.
b. Dilakukan Proses fermentasi minimal 1 hari.
5. Tahap destilasi
a. Setelah fermentasi berjalan 1 hari, maka cairan fermentasi dipompa kedalam
kolom destilasi yang suhunya diatur antara 80 C. Pada suhu ini maka etanol
akan menguap dan melewati kondensor sehingga yang tadinya dalam bentuk
uap berubah dalam bentuk cairan. Lakukan pengecekan kadar alcohol yang
dihasilka.
6. Lakukan analisa terhadap alcohol yang didapatkan
a. Sifat-sifat bioetanol : densitas (berat jenis), kadar alkohol.
7. Lakukan Analisa terhadap alcohol yang di dapat.
a. Volume alcohol yang didapat.
b. Randemen (% yeld )bioethanol.
c. Sifar- sifat bioethanol.
 Densitas (berat jenis)
 Kadar alcohol
d. Dilakukan Analisa ekonomi (menghitung harga pokok) dari produk yang
dipasarkan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pengolahan bioetanol
Hari Acara Kegitan Hasil
tgl
a. pembuatan 1. Melakukan a. kadar gula tetes :
dari tetes pengenceran tetes 26 briks
tebu b. perhitungan
pengenceran
V1 x N1 = V2 x N2
V2 x N2
V1 = ( )
𝑁1
20 x 14
=( )
26

= 10,76 Liter
c. volume tetes :
10,76 liter
d. v air: 9,24 liter
e. total volume media
permentasi: 20 liter

2. Penambahan urea a. jumblah urea: 58,3


dan NPK untuk kfggr
nutrisi ragi dan b. jumblah NPK:
pengaturan PH 10,76 kf/gr
c. cek PH media
fermentasi: 5
d. volume asam
asetat: -
3. Penyimpanan a. Proses scale up
ekulum/starter 1. menuangkan tetes
tebu sebanyak
10,76 literdari
perhitungan di atas
2. memasukkan air
9,24 liter
3. menambahkan
NPK 10,76 urea
53,8 gr, lalu
haluskan dan
masukan kedalam
tetes tebu.
4. panaskan hingga
80 ℃ dan lakukan
coocing selama 30

5. masukkan dalam
bak fermentasi
tunggu selama 6
hari

4. Proses fermentasi a. Suhu fermentasi:


26℃
b. waktu fermentasi:
6 hari
c. perubbahan selama
fermentasi
: warna semakin
gelap
5. Proses destilasi a. suhu destilasi: 80

b. volume bioethanol:
134 ml
c. densitas alcohol:
0,904
d. kadar alcohol: 64%
e. rendemen/yeld:
0,67%
B. Analisa Ekonomi
Tabel 1. Analisa ekonomi pembuatan bietanol
TFC ( total fixe cost)
No Uraian Jumlah Rp,- Jumlah biaya produksi / Hari
Peralatan
1 pengolahan Rp. 35.000.000 35.000.000/7x 365 Rp.13.699,-
bioetanol
Rp.250.000/7x
2 Timbangan Rp. 250.000,- Rp.98,-
365
3 Gelas ukur Rp. 55.000,- Rp. 55.000/ 1x365 Rp.151,-
Termomete
4 Rp. 30.000,- Rp. 30.000/2x 365 Rp. 41,-
r
Tenaga Rp.
5 Rp. 350.000,- Rp. 350.000,-
kerja 35.000x10,-
Total Rp.35.685.000 Rp.653.699,-
TVC ( Total variable cost )
Satuan
No Uraian Volume Jumlah Rp,-
harga@Rp,-
1 Molase 11 liter Rp.15.000 Rp. 165.000,-
2 Urea 5 kg Rp. 750,- Rp. 3.750,-
3 Ragi 1 sachet Rp. 2.500 Rp. 2.500,-
4 NPK 10 kg Rp. 3.000,- Rp. 30.000,-
5 Air 9 Liter Rp. 1.300,- Rp.11.700,-
Total Rp. 212.950,-

Total keseluruhan biaya (TC) = TFC + TVC

= Rp. 653.699/ hari + Rp.212.950,-

= Rp. 866.649/ hari

Harga poko produksi ( HPP)


𝑇𝐶 𝑅𝑝.866,649/ℎ𝑎𝑟𝑖
HPP= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 = =Rp. 6.479.52 liter/hari
0,134 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟

Π = TR-TC

TC = TFC + TVC

= Rp. 653.699/ hari + Rp.209.806 -

= Rp. 866.649/ hari

TR = 0,134 liter x Rp. 7.000

= Rp. 938

Π = Rp. 938 - Rp. 866.649

= Rp.-71.351

Break event point ( titik balik modal )

= Rp. 866.649/ Rp. 7.000,- / liter

= 123,807 liter

BEP Harga Produksi

BEP = (Total Biaya Produksi) / ( Total Produksi )

= Rp. 866.649/ 0,134 kg

= Rp. 6.479.52 kg
Benefit Cost Ratio

B/C = (Total pendapatan ( Rp)) / ( Total biaya produksi ( Rp))

= Rp. -71.351/ Rp. 866.649

BEP = ( Total biaya produksi ( Rp)) / ( harga dipasaran (Rp/liter))

= -0,082

C. Pembahasan
Kali ini mahasiswa melakukan pengolahan bioetanol dimana Bioetanol adalah
etanol yang diproduksi melalui fermentasi gula dari tanaman atau limbah makanan
yang mengandung gula, pati atau selulosa.
Untuk membuat etanol mahasiswa pertama-tama melakukan melakukan
pengenceran tetes tebu dengan mengukur kadar gula tetes tebu yaitu diketahui
sebanyak 26 briks, lalu setelah itu melakukan pengenceran dengan menghitung
V2 x N2 20 x 14
menggunakan rumus V1 x N1 = V2 x N2 = V1 = ( )=( ) = 10,76 Liter,
𝑁1 26

setelah didapat jumblah tetes tebu yang ingin diencerkan lalu tambahkan air
sebanyak 9,24 liter jadi total fermentasi sebanyak 20 liter. Berikutnya masiswa
melakukan penambahan urea dan NPK untuk nutrisi ragi dan pengaturan PH,
jumblah urea yang ditambahkan yaitu 53,8 kg/gram, jumblah NPK 10,76 kg/gra,
lalu cek PH media fermentasi 5. Selanjutnya mahasiswa melakukan penyiapan
starter dengan pross scale up yang pertama menuangkan tetes tebu sebanyak 10,76
literdari perhitungan di atas, kedua memasukkan air 9,24 liter, ketiga menmbahkan
NPK 10,76 urea 53,8 gr, empat tambahkan Urea 53,8 kg/gram lalu haluskan dan
masukan kedalam tetes tebu, kemepat panaskan hingga 80 ℃ dan lakukan coocing
selama 30 ℃ dengan menggunakan kompor, dan yang terakir yaitu mahasiswa
masukkan dalam bak fermentasi tunggu selama 6 hari.
Selanjutnya dilakukan fermentasi selama 6 hari, lalu mahasiswa mengamati
sushu fermentasi yaitu 26 C, dan mahasiswa juga mengamati perubahan warna
yang terjadi saat proses fermentasi dan perubahan warna yang terjadi adalah warna
dari tetes tebu semakin gelap.setelah dilakukan proses fermentasi selanjutnya
mahasiswa melakukan proses destilasi untuk menghasilkan bioetanol, mahasiswa
memasukan tetes tebu secara bertahap kedalam alat destilasi dengan suhu 80 C,
setelah itu ditungu selama 3 jam, lalu etanol akan keluar dan dihasilkan sebanyak
134 ml, setelah didapatkan alcohol lalu dihitung densitas alcohol yaitu sebanyak
0,904, kadar alcohol 64%, dan randemen teld sebanyak 0,67%.

V. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang didapat dari kegiatan pengolahan bioetanol ini adalah
sebagai berikut:
1. Proses pembuatan bioetanol menggunakan tetes tebu sebanyak 10,76 liter, dan
volume air 9,24 dengan total volume media fermentasi 20 liter.
2. Lama waktu destilasi adalah 3 jam dengan suhu yang tetap dikontrol sebesar 80 ℃.
3. Biodiesel yang dihasilkan dari proses destilasi adalah 134 ml.
4. Densitas alcohol sebesar 0,904 serta kadar alcohol sebesar 64%.
5. Randemen yeldnya sebanyak 0,67%
DAFTAR FUSTAKA
Anonim, 2018. Buku Petunjuk Praktek Lapangan. Institut Pertanian STIPER.
Yogyakarta.
Armid. 2009. Penuntun Praktikum Metode Pemisahan Kimia. Unhalu. Kendari.
Balat, M., Balat H., and Öz, C., 2008, Progress in bioethanol processing, J. Progr. Ener.
Combust. Sci., 34: 551-573.
Cardona, C.A, Sanchez, O.J., 2007, Fuel ethanol production: process design trends and
integration opportunities, Biores. Technol. 98:2415-2457.
Drapcho, C.M., Nhuan, N. P., and Walker, T.H., 2008, Biofuels engineering process
technology, Singapore: Mc. Graw Hill Companies Inc.
FAO, 1994, Ethanol production from sweet sorghum, dalam Integrated energy system
in Cina – the cold northeastern region experience,
http://www.fao.org/docrep/t4470E/t4470e01.htm# (diakses 14 Desember
2009).
Faraday, M., 1825, On new compounds of carbon and hydrogen, and on certain other
products obtained during the decomposition of oil by heat, Philosoph.
Transact. of the Royal Soc. of London, 115: 440-466.
Fessenden dan Fessenden. 1997. Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Hennell, H.,1828, On the mutual action of sulfuric acid and alcohol, and on the nature
of the process by which ether is formed, Philosoph. Transact. of the Royal
Soc. of London 118: 365-371.
Kim, S. and Day, D.F., 2010, Composition of sugar cane, energy cane, and sweet
sorghum suitable for ethanol production at Louisiana sugar mills, J. Ind.
Microbiol. Biotechnol.
Lyons, T.P., 2003, Ethanol around the world: rapid growth in policies, technology and
Production, In The Alcohol Text book, 4th edition, (T. P. Lyons, ed),
Kentucky: Alltech Inc.
Maiorella, B.L., 1985, Ethanol, In Comprehensive Biotechnology (H.W. Blanch, S.
Drew, and D.I.C. Wang, eds), New York: Pergamon Press.

Anda mungkin juga menyukai