Anda di halaman 1dari 3

ADIS BASANAI" (Cerita Rakyat Sumatra Barat)

Diceritakan Oleh Kak Sita


posted Dec 15, 2013, 4:32 PM by Slamet Priyadi

Blog Sita Rosita - Sabtu, 20 Juli 2013 – 11:22 WIB – Diceritakan seorang Gadis bernama Basanai yang
ditinggal mati ibunya. Karena ia tak mempunyai saudara kandung, Basanai diambil anak oleh mamaknya. Dia
dan dibesarkan bersama-sama Asamsudin anak laki-lakinya di Batang Kapas hingga menjadi besar. Bersama
mamaknya mereka berdua tumbuh menjadi dewasa. Basanai tumbuh dewasa menjadi gadis yang berparas can
rupawan. Rambutnya panjang bagaikan mayang terurai, bersuara lembut bagaikan buluh perindu, berkulit kun
langsat, gerak langkahnya lemah gemulai bagaikan putri sang raja. Maka tak heran jika Basanai menjadi gadi
idaman para pemuda di desanya Batang Kapas, tak terkecuali pemuda Asamsudin anak laki-laki dari mamakn
yang kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Berbadan kekar, berkulit agak kecoklatan karena
sering membantu ayahnya seorang saudagar kaya yang sering berlayar, berdagang ke negeri-negeri lain di lu
Batang kapas.

Meskipun Asamsudin sangat menaruh hati kepada Basanai, Ia tak pernah mengutarakannya secara
Perasaan cinta itu disimpan dan dipendamnya saja dalam hati. Pikirnya, “orang-orang kaya putera bangsa
saja sudah banyak yang melamar akan tetapi ditolak mamaknya, apa lagi aku yang masih menganggur b
memiliki pekerjaan seperti ini.”

Lain halnya dengan Asamudin yang diam-diam menaruh hati pada Basanai, Basanai malah sama sekal
mengetahui jika Asamsudin jatuh hati kepada dirinya. Perasaannya kepada Asamsudin hanya sebatas sau
sepupunya.

Suatu ketika, Asamsudin akan membersihkan tubuhnya mandi di pancuran. Di sana ia melihat beberapa
rambut di atas batu yang diyakini itu adalah rambut Basanai. Maka ia pun mengambilnya lalu digulun
rambut tersebut dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Sesampainya di rumah rambut tersebut disimpan
dimasukkan ke dalam puan perak tempat menyimpan tembakau. Setelah memasukkan rambut ters
Asamsudin membungkus puan perak yang berisi rambut Basanai itu dengan sehelai kain putih. Kemana saj
pergi bungkusan puan perak itu dibawanya serta. Tak seorang pun yang boleh tahu apa isi dalam puan p
tersebut.

Hari terus berganti, minggu berganti bulan. Tibalah saatnya musim para pedagang Batang Kapas melak
perjalanan panjang yang bahkan lamanya sampai berbulan-bulan untuk berdagang. Tidak seperti biasanya,
hendak berangkat berlayar, Asamsudin merasakan sesuatu yang tidak enak. Sepertinya akan ada peristiwa b
yang akan menimpa dirinya. Maka dari itu sebelum berangkat, Asamsudin berpesan kepada ibunya,

“Mak, tadi aku menaruh puan tembakau di atas palang pintu depan rumah. Jangan sampai ada
mengambilnya atau membuka isi puan perak itu, sampai aku kembali lagi ke rumah ini. Jika ada yang mem
apalagi mengambilnya, maka orang itu akan terkena bala atau kutukan yang telah aku buat. Apabila aku t
diperjalanan terkena musibah, Mak ambil dan buka saja puan itu. Isinya asapi dengan keme
putih.” Demikian pesan Asamudin kepada ibunya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah palang
tempat ia meletakkan puan perak yang berisi gulungan rambut Basanai.

Diceritakan, saat Basanai membersihkan sarang laba-laba yang membuat kotor dan tak sedapnya
memandang rumah, ia melihat bungkusan kain putih yang berisi puan perak milik Asamsudin. Ia pun
bertanya kepada mamaknya, “Mandeh, bungkusan apakah yang berada di atas palang pintu rumah itu?”

Jawab mamaknya, “Oh, Basanai! Itu jimat milik Asamudin. Tak seorang pun boleh mengambil apalagi sa
membuka isi jimat itu, sampai Asamsudin kembali. Kescuali ababila Asamsudin tewas di tengah perjala
Begitu pesan Asamsudin kepada Mak, Basanai!”

Rupanya bungkusan kain putih berisi puan perak milik Asamsudin lama-kelamaan semakin membuat hati Ba
penasaran. Setiap kali ia membersihkan rumah, timbul di dalam hatinya keinginan untuk mengambil bungk
yang berisi jimat Asamsudin itu.

Beberapa hari kemudian hati penasaran Basanai tak bisa ditahan lagi. Saat ia membersihkan sarang laba-lab
mengambil bungkusan kain putih berisi puan perak dan cermin kecil. Ia pun membukannya dan menga
isinya. Ternyata isinya gulungan rambut. Basanai tahu kalau itu adalah rambut dirinya yang pernah ia taru
atas batu tempat mandi di pancuran dulu. Timbul pertanyaan dalam hatinya, “Untuk apakah Assamu
menyimpan rambutku?” Basanai mengambil cermin kecil yang terletak di atas helai kain putih lalu ia ber
pada cermin itu. Apa yang dilihatnya? Ternyata bukan wajahnya yang nampak melainkan wajah Asams
Seketika itu juga ia kaget, dan bulu romanya terasa merinding.

Sejak peristiwa itulah wajah Asamsudin selalu terbayang-bayang di matanya. Sepanjang waktu, tiap detik
menit, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan ia selalu mengingat, mendambakan
merindukan Asamsudin. Ia selalu mengharap agar Asamsudin cepat kembali pulang. Dalam tidur pun acapk
mengigau mengucap kata-kata Asamsudin. Makan tak enak, tidur pum tak lena yang ada dalam pikirannya,
ada dalam hatinya hanya Asamsudin. Keadaan semacam ini lama-kelamaan menyebabkan tubuh Basanai me
semakin kurus dan lemah karena tak ada lagi gairah makan. Berdiri pun ia sudah tak sanggup, badannya
melemah. Basanai menderita sakit baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Ia merasa bahwa ajalnya s
semakin dekat, maka ia pun berpesan kepada mamaknya, “Mandeh, jika aku meninggal sedangkan Asams
belum kembali pulang, tolong kuburkanlah aku di Gunung Ledeng. Kuburkanlah jasadku menghadap ke
laut. Jika jasadku tak dapat melihat pencalang kapal Asamsudin, maka roh akulah yang kelak akan d
melihatnya. Aku akan selalu menantinya di alam akhirat. Setelah berpesan demikian kepada mamaknya, Ba
pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Iya telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi menghadap Ilahi Rab

Singkat cerita, kapal pencalang yang ditumpangi Asamsudin telah berlabuh di muara. Setelah sekian
berlayar Kampung Batang Kapas menjadi sangat dirindukannya. Rindu kepada ibunya yang sangat disayang
rindu kepada Basanai yang sangat dicintainya. Rindu pula terhadap segenap teman dan sahabatnya. Se
sampai dirumah, Asamsudin langsung menemui ibunya yang sedang duduk di bangku panjang depan ruma
sama sekali tak melihat Basanai ada di situ. Setelah mencium tangan ibunya Asamsudin bertanya ke
ibunya, “Ibu, aku tak melihat Basanai, kemanakah dia?” Dengan linangan air mata, ibu Asams
menjawab, “Asamsudin, jika kau mencintai Basanai, kenapa tak kau katakan dari dulu! Sepeninggalmu
berlayar, Basanai membuka bungkusan perak tembakau milikmu yang berada di atas palang pintu. Semenja
ia jadi selalu mengharapkanmu agar cepat kembali pulang. Sekarang Basanai telah tiada, ia meninggal ka
menantikanmu, karena selalu merindukanmu hingga jatuh sakit, tubuhnya kering kerontang tak mau m
sampai akhirnya meninggal. Assamuddin, sebelum meninggal Basanai berpesan kepadamu, ”jika aku tidak d
menantinya di dunia maka aku akan menantinya di akhirat. Jasadnya dikuburkan di Gunung Ledeng mengh
ke arah laut sesuai permintaannya, karena jika tak melihatmu kembali pulang, maka ia dapat melihat k
pencalangmu dari Gunung Ledeng itu. Demikianlah pesan Basanai kepada ibu Asamsudin.” “Ya, bu
memang salahku tak mau berterus terang”. Jawab Asamsudin sambil mengusap air matanya yang jatuh
demi tetes.

Malam itu juga Asamsudin pergi ke makam Basanai di Gunung Ledeng. Membawa kemenyan putih, tujuh h
lidi dari daun berarak kelapa hijau, air putih dari tujuh muara. Sampai di lokasi makam Basanai, Asams
membaca mantra sambil membakar kemenyan. Setelah itu ia pun mengelilingi makam sebanyak tujuh kali sa
membawa bakaran kemenyan yang asapnya mengeluarkan bau aroma magis menambah seramnya suasan
Gunung Ledeng. Kemudian Asamsudin melecuti pula tanah makam dengan tujuh lidi yang dibawanya
sebanyak tujuh kali pula. Tak lama kemudian di malam yang semakin pekat itu terdengar suara Gadis Ba
memanggil nama Asamsudin, “Asamsudin...Aku menantikanmu!”

Dan esok harinya penduduk Batang Kapas menemukan Asamsudin sedang menelungkup di makam G
Basanai. Ia telah meninggal menyusul kekasihnya Basanai yang meninggal dalam penantian berkepanjan
Jasadnya dikuburkan di sisi makam Gadis Basanai. Di tanah makam Gadis Basanai dan Asamsudin itu dita
pohon puding emas yang tumbuh subur. Pohon-pohon puding emas yang tumbuh subur itu saling melilit
sama lainnya seakan-akan memperlihatkan akan cinta mereka yang tetap menyatu meski kasih mereka
menyatu di dunia akan tetapi tetap menyatu di akhirat. Menurut yang empunya cerita, pohon puding itu sa
sekarang masih ada dan terlihat oleh awak kapal pencalang yang datang dari arah Pagai. (priyadi1957)

Referensi :

A.A. Navis 1994. “Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat”. Jakarta: Grasindo

Anda mungkin juga menyukai