Anda di halaman 1dari 23

Hubungan Pemberian Premedikasi dan Non Premedikasi terhadap

Perubahan Tekanan Darah di RSU Haji Surabaya

Oleh:

Cici Cahya Wijayanti Egin Fergian

Sri Setya Wahyu Ningrum Fidya Ainun Tikha

Eki Yazid An Nafi’ Jeliny Bintan Maisuri

Pembimbing :

dr. Arif Basuki, Sp.An

SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSU HAJI SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Penelitian yang berjudul “Hubungan Pemberian Premedikasi dan Non Premedikasi

terhadap Perubahan Tekanan Darah” telah di periksa dan disetujui sebagai salah

satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian

Anestesi dan Terapi Intensif.

Surabaya, 10 Januari 2019

Pembimbing

dr. Arif Basuki, Sp.An

i
KATA PENGANTAR

Assalmu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha

Kuasa, atas rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

berjudul “Hubungan Pemberian Premedikasi dan Non Premedikasi terhadap

Perubahan Tekanan Darah”. Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepadadr. Arif Basuki, Sp.Anselaku

pembimbing dalam penyusunan penelitian ini.

Tujuan dari pembuatan penelitian ini selain untuk menambah wawasan bagi

penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik

anestesiologi.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan penelitan ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan. Semoga penelitian

ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada khususnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surabaya, 10 Januari 2019

Penulis,

Kelompok A30

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah anestesia ini pertama kali digunakan oleh Oliver Wendell Holmes pada
tahun 1846. Menurut asal katanya, anestesia berasal dan kata “An” yang berarti “tidak”
dan “Aestesia” yang berarti “rasa”. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan
pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif
psikologis, dan bila perlu, pengobatan preoperatif. Beberapa macam obat dapat
diberikan sebelum dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap
pasien. Seorang ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik
selama visite preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan
preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang
buruk akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.
Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut
dan nyeri harus diperhatikan betul pada kunjungan pra-anestasi. Dengan memberikan
rasa simpati dan pengertian kepada pasien tentang masalah yang dihadapi, maka
pasien dapat dibantu dalam menghadapi rasa sakit dan khawatir menghadapi
operasi.

1.2. Rumusan Masalah

Adakah hubungan pemberian premedikasi dan non premedikasi terhadap

perubahan tekanan darah?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui adakah hubungan pemberian premedikasi dan non premedikasi

terhadap perubahan tekanan darah di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui pengaruh pemberian premedikasi dan non premedikasi terhadap

perubahan tekanan darah di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hubungan pemberian

premedikasi dan non premedikasi terhadap perubahan tekanan darah.

1.4.2. Manfaat Klinis

Mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian premedikasi dan non

premedikasi terhadap perubahan tekanan darah.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

2.1.1 Definisi Anestesi

Anestesi merupakan hilangnya rasa nyeri yang disertai atau tidak disertai
dengan hilangnya kesadaran. Secara garis besar, anestesi dibagi 2, yaitu
anestesi umum dan lokal. Anestesi umum bekerja di susunan saraf pusat
sedangkan anestesi lokal bekerja di serabut saraf perifer. Anestesi umum
terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi di berbagai bagian SSP.
Anestesi lokal terjadi karena obat anestesi lokal mencegah pembentukan dan
konduksi impuls saraf.

Assesment pra anestesi adalah suatu penilaian dan pemeriksaan yang


memadai sebelum dilakukan tindakan anestesi

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia untuk memberikan obat – obat


pendahuluan yang terdiri dari obat – obat golongan antikolinergik, sedatif /
trankuilizer dan analgetik

Pasca Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai


saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya.

2.1.2 Tujuan Premedikasi

Tujuan Pre-medikasi :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi : bebas dari

rasa takut, tegang dan khawatir, bebas dari rasa nyeri dan mencegah

mual-muntah

2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan reflek vagus

3. Memudahkan / memperlancar induksi

2
4. Mengurangi dosis obat anestesi

5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah

2.1.3 Penggolongan Obat-obat Premedikasi

Obat – obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :

1. Golongan Narkotika

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan

menjadi 3 kelompok :

a. Alkaloid opium ( natural ) : Morfin dan kodein

b. Derivat semisintetik :Diasetilmorfin(heroin), hidromorfin,

oksimorfon, hidrokodon dan oksikodon

c. Derivat sintetik :

 Fenilpiperidine : petidin, fentanil, sulfentanil dan alfentanil

 Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklazosin

 Morfinans : lavorvanol

 Propionanilides : metadon

 Tramadol

Sebagai analgesik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor – reseptor

opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu :

a. Reseptor Mu

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini, stimulasi pada reseptor

ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi

respirasi

b. Reseptor Kappa

3
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia.

Morfin bekerja pada reseptor ini

c. Reseptor Sigma

Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil

midriasis dan stimulasi respirasi

d. Reseptor Delta

Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diguga

memperkuat reseptor Mu

Efek obat terhadap sistem tubuh :

Sistem saraf pusat Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada


talamus dan substansia gelatinosa medula
spinalis dan sebagai efek sedasi
Sistem respirasi Menimbulkan depresi pusat nafas terutama
pada bayi dan orangtua. Terhadap bronkus,
petidin menyebabkan dilatasi bronkus,
sedangkan morfin menimbulkan konstriksi
akibat pengaruh peran histamin
Sistem sirkulasi Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi
Sistem lain Merangsang pusat muntah, spasme spinter
kandung empedu sehingga mengakibatkan
kolik abdomen. Morfin merangsang
pelepasan histamin sehingga menimbulkan
efek gatal diseluruh tubuh sedangkan
petidin pelepasan histamin terjadi dilokasi
suntikan saja.
Tabel 2.2 efek obat golongan narkotik

Cara pemberian dan dosis :

4
Morfin memiliki kekuatan 10 kali dibanding petidin, ini berarti bahwa dosis

morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100 kali dari petidin

Analgesik narkotik digunakan sebagai :

a. Premedikasi : petidin diberikan intramuskular dengan dosis 1 mg/kgBB

atau intravena 0,5 mg/kgBB. Sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin

dan fentanil seperseratus dari petidin

b. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut / kronis, diberikan

sistemik atau regional intratekal / epidural

c. Suplemen anestesi atau analgesik

d. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain

e. Suplemen sedasi dan analgetik di unit terapi intensif

Kontraindikasi :

Pemberian narkotik harus hati – hati pada pasien orang tua atau bayi dan

keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang

mendapatkan preparat penghambat monoamin oksidase, pasien asma dan

penderita penyakit hati

Kemasan dan sifat fisik :

a. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml dan tidak

berwarna

b. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml tiap ml

mengandung 50 ug

c. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 mg atau 20 mg,

tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.

5
Dalam aplikasi sehari-hari, ketiga golongan obat – obat premedikasi ini

dicampur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan secara

intramuskular. Pemberian dengan cara ini dimaksudkan untuk mengurangi

suntikan berulang.

2. Obat golongan antikolinergik

Obat golongan antikolinergik adalah obat-obatan yang berfungsi menekan

atau menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis

Tujuan utama pemberian obat golongan antikolinergik untuk premedikasi

adalah

a. Mengurangi sekresi kelenjar saliva, saluran cerna dan saluran nafas

b. Mencegah spasme laring dan bronkus

c. Mencegah bradikardi

d. Mengurangi motilitas usus

e. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas

Obat golongan antikolinergik yang digunakan dalam praktik anestesi adalah

preparat ALKALOID BELLADONA, yang turunannya adalah : Sulfas

atropin dan skopolamin

Mekanisme Kerja : menghambat asetil kolin pada organ yang diinervasi

oleh serabut saraf otonom parasimpatis atau serabut saraf yang mempunyai

neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladona menghambat muskarinik

secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil kolin pada sel efektor organ

terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung. Efek atropin

lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus sedangkan skopolamin

lebih dominan pada iris, korpuas siliare dan kelenjar.

6
Efek obat pada beberapa sistem :

Sistem saraf pusat Atropin : tidak menimbulkan depresi saraf


pusat
Skopolamin : menimbulkan depresi susunan
saraf pusat sehingga menimbulkan rasa
ngantuk, euphoria, amnesia dan rasa lelah
Sistem respirasi Menghambat sekresi kelenjar hidung,
mulut, faring, trakea dan bronkus.
Menyebabkan mukosa jalan nafas
kekeringan, relaksasi otot polos bronkus dan
bronkial, sehingga diameter lumen melebar
akan menyebabkan volume ruang rugi
(death space) bertambah
Sistem Kardiovaskuler Menghambat aktivitas vagus pada jantung,
sehingga denyut jantung meningkat, tetapi
berpengaruh langsung pada tekanan darah.
Sistem saluran cerna Menghambat sekresi air liur sehingga mulut
terasa kering dan sulit menelan, mengurangi
sekresi getah lambung, mengurangi tonus
otot polos sehingga motilitas usus menurun
Kelenjar keringat Menghambat sekresi kelenjar keringat
sehingga menyebabkan kulit kering dan
badan terasa panas akibat pelepasan panas
tubuh terhalang melalui proses evaporasi
Tabel 2.3 efek obat anti kolinergik

Cara pemberian dan dosis :

1. Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit sebelum

induksi

2. Intravena, dengan dosis 0,005

Kontraindikasi :

7
Pasien demam, takikardi, glaukoma dan tirotoksikosis

Kemasan dan sifat fisik :

Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan 0,50 mg, tidak

berwarna dan larut dalam air

3. Obat golongan sedatif / trankuilizer

Obat golongan sedatif adalah obat – obat yang berguna untuk anti cemas

dan menimbulkan rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah

untuk memberikan suasanya nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa

cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan

lingkungannya.

Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif / trankuilizer yang sering

digunakan adalah :

a. Derivat fenothiazin

Yang banyak digunakan premedikasi adalah prometazin.

Efek obat terhadap beberapa sistem tubuh :

Sistem saraf pusat Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada


formasio retikularis dan hipotalamus menekan
pusat muntah dan mengatur suhu
Sistem respirasi Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan
menghambat sekresi kelenjar
Sistem Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat
Kardiovaskuler memperbaiki perfusi jaringan
Sistem saluran cerna Menurunkan peristaltik usus, mencegah spasme
dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek lainya
menekan katekolamin dan sebagai antikolinergik

8
Tabel 2.4 efek obat derivat fenothiazin

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efek prometazin sebagai obat

premedikasi adalah sebagai sedatif, antiemetik, antikolinergik,

antihistamin, bronkodilator dan antipiretik

Cara pemberian dan dosis :

1. Intramuskular dosis 1 mg/kgBB dan diberikan 30 – 45 menit

sebelum induksi

2. Intravena dengan dosis 0,5 mg/kgBB diberikan 5 – 10 menit

sebelum induksi

Kemasan dan sifat fisik :

Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak

berwarna dan larut dalam air

b. Derivat benzodiazepin

Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi

adalah diazepam dan midazolam, derivat yang lain namun jarang

digunakan adalah klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam.

Efek obat pada beberapa sistem

9
Sistem saraf pusat Menyebabkan sedasi dan anticemas yang
bekerja pada sistem limbik dan pada
ARAS sehingga bisa menimbulkan
amnesia anterograd. Sebagai anti kejang
yang bekerja pada kornu anterior medula
spinalis dan hubungan saraf otot, pada
dosis kecil sebagai sedatif, dosis tinggi
sebagai hipnotik
Sistem respirasi Pada dosis kecil IV menimbulkan depresi
ringan yang tidak serius, namun jika
dikombinasikan dengan narkotik
menimbulkan depresi nafas yang lebih
berat
Sistem Pada dosis kecil tidak ada efek, namun
Kardiovaskuler pada dosis besar menimbulkan hipotensi
yang disebabkan oleh efek dilatasi
pembuluh darah
Saraf otot Menimbulkan penurunan tonus otot
rangka yang bekerja di tingkat supra spinal
dan spinal, sehingga sering digunakan
pada pasien menderita kekakuan otot
rangka seperti tetanus
Tabel 2.5 efek obat derivat benzodiazepin

Cara pemberian dan dosis :

1. Pramedikasi, Intramuskular (IM) dengan dosis 0,2 mg/kgBB atau

peroral dengan dosis 5-10 mg

2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2 – 0,5 mg/kgBB

3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena

4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin

Penggunaan lainnya adalah :


10
1. Antikejang pada kasus – kasus epilepsi, tetanus dan eklamsia

2. Sedasi pasien rawat inap

3. Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi

Pada pemberian intramuskular atau intravena, obat ini tidak bisa

dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena

yang dipilih sebaiknya melalui vena – vena besar untuk mencegah

flebitis. Pemberian intramuskular kurang disenangi oleh karena

menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.

Kemasan dan sifat fisik :

Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml

mengandung 10 mg. Berwarna kuning, sukar larut dalam air dan

bersifat asam. Kemasan oral dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg. Kemasan

suppositoria atau rectal tube diberikan kepada anak – anak, sedangkan

midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan tidak

berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul 3 dan 5 ml

mengandung 5 mg/ml

c. Derivat butirofenon

Derivat ini biasa disebut juga sebagai obat golongan neuroleptika,

karena sering digunakan sebagai neuroleptik. Derivat butirofenon yang

sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah dehidrobenzperidol

atau populer disebut DHBP.

Efek obat pada beberapa sistem :

Sistem saraf pusat Sebagai sedatif atau transkuilizer,


antimuntah yang bekerja pada pusat mntah
“chemoreseptor trigger zone”. Efek
11
samping yang tidak dikehendaki adalah
timbulnya rangsangan ekstrapiramidal
sehingga menimbulkan gerakan tak
terkendali
Sistem respirasi Menimbulkan sumbatan jalan nafas, dilatasi
pembuluh darah rongga hidung.
Menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru
sehingga KI untuk pasien asma
Sistem sirkulasi Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah
perifer, sehingga sering digunakan sebagai
anti syok, hipotensi
Tabel 2.6 efek obat derivat butirofen

Cara pemberian dan dosis :

1. Premedikasi, diberikan intramuskular dosis 0,1 mg/kgBB

2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional

3. Antihipertensi

4. Anti muntah

5. Suplemen anestesi

Kemasan dan sifat fisik :

Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml tidak

berwarna dan bisa bercampur dengan obat lain

d. Derivat barbiturat

Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi

adalah penobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan

penenang prabedah, terutama pada anak – anak.

12
Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan

sirkulasi. Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2

mg/kgBB

e. Antihistamin

Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah

derivat defenhidramin. Manfaat dan efek yang diharapkan adalah

sedatif, antimuntah ringan dan antipiretik sedangkan efek sampingnya

adalah hipotensi yang sifatnya ringan. Dosis 25 – 50 mg 3 kali

pemberian secara peroral. IV/IM dengan dosis 10-50 mg

13
BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Data Mentah

No Kategori Nama Masuk Setelah Masuk Setelah

Usia Premed Induksi Ruang Induksi

Premed OK Anestesi

1. Non Remaja Novi 110/80 - 120/80 90/40

2. Premedikasi Remaja Edo 120/80 - 130/80 100/60

3 Remaja Umar 110/70 - 120/90 100/70

4 Remaja Arjuna 110/80 - 120/80 90/70

5 Remaja Iwan 110/70 - 130/80 100/60

6 Premedikasi Remaja Fikri 140/80 130/80 125/78 120/70

7 Remaja Tajul 130/80 120/80 120/70 110/70

8 Remaja Rija 120/90 110/80 100/70 100/60

9 Remaja Satria 120/90 110/90 110/70 110/70

10 Remaja Nur Faizal 130/80 120/80 110/70 110/60

11 Non Dewasa Endang 100/80 - 110/80 70/40

12 Premedikasi Dewasa Munawiroh 110/80 - 120/80 100/70

13 Dewasa Sulastri 130/90 - 130/80 110/70

14 Dewasa Rais 120/70 - 130/70 100/80

15 Dewasa Feryal 130/80 - 140/90 110/80

16 Premedikasi Dewasa Aliman 120/80 115/70 110/70 110/70

17 Dewasa Farah 130/90 120/80 120/70 100/70

18 Dewasa Muntaris 150/80 130/70 120/60 110/60

19 Dewasa Ischak 135/80 120/80 110/70 90/60

20 Dewasa Rohmah 130/70 120/80 110/80 90/70

14
21 Non Tua Slamet 160/90 - 170/90 130/70

22 Premedikasi Tua Erry 140/70 - 150/80 120/70

23 Tua Sukarminah 170/80 - 187/108 130/70

24 Tua Jasmine 130/80 - 140/70 80/40

25 Tua Hariyadi 110/80 - 130/90 100/70

26 Premedikasi Tua Djuma’ati 160/80 140/70 140/80 130/70

27 Tua Erfan 170/100 150/80 120/70 100/60

28 Tua Salamah 160/90 140/70 120/70 110/70

29 Tua Siswoyo 160/90 150/80 130/70 100/60

30 Tua Hapi 160/90 140/80 130/70 110/80

3.1.2 Hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi Square

Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 26.250a 1 .000


Continuity Correctionb 22.634 1 .000
Likelihood Ratio 34.107 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 25.375 1 .000
N of Valid Cases 30

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Hasil uji variabel hubungan antara premedikasi dan tekanan darah

menggunakan Uji Korelasi Chi Square menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan (hasil <0,05).

3.2 Pembahasan

15
Berdasarkan data diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara

pasien yang di premedikasi dan non premedikasi terhadap perubahan tekanan darah

di Ruang OK RSU Haji Surabaya. Sebagian besar pasien yang di premedikasi

mengalami penurunan tekanan darah setelah diinduksi premedikasi menggunakan

morfin, sulfas atropine, dan midazolam. Sedangkan pada pasien yang tidak

diberikan premedikasi, sebagian besar mengalami peningkatan tekanan darah saat

di dalam ruang OK.

Hasil uji variabel hubungan antara pemberian premedikasi dan non

premedikasi terhadap perubahan tekanan darah pada semua kategori usia sampel

yang digunakan (remaja, dewasa, dan tua) menggunakan Uji Korelasi Chi Square

menunjukkan ada nya hubungan yang signifikan (hasil <0,05).

16
BAB 4

KESIMPULAN

1.1 KESIMPULAN

Terdapat hubungan antara pemberian premedikasi dan non premedikasi

terhadap perubahan tekanan darah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adler AC, 2018, General Anesthesia, Divisions of General and Cardiovascular


Anesthesiology, Texas Children’s Hospital, Baylor College of Medicine,
diakses 10-10-2018 <https://emedicine.medscape.com/article/1271543-
overview>.
Apriliana, Harvina Dwi. 2013. Rerata Waktu Pasien Pasca Operasi Tinggal Di

Ruang Pemulihan RSUP DR Kariadi Semarang Pada Bulan MaretMei 2013.

Jurnal Medika Media Muda

Aribowo, N. K. 2012. Hubungan Lama Tindakan Anestesi dengan Waktu Pulih

Sadar Pasien Pasca General Anestesi di IBS RSUD Muntilan Magelang.

Skripsi DIV Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (tidak

dipublikasikan).Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Bharti N, Batra YK, Kaur H. Paediatric perioperative cardiac arrest and its mortality:

database of a 60-month period from a tertiary care paediatric centre. Eur J

Anaesthesiol. 2009;26(6):490–5.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Postanesthesia care. Dalam: Morgan GE,

Mikhail M, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-5. New York: McGraw

Hill; 2013. hlm. 1257–75.

Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan

Terapi FK UI. Jakarta

Katzung, B.G., 2014, Farmakologi : Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8,Penerbit

Salemba Medika, Jakarta,hal.129-148

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2010. Anestesiologi, Edisi Kedua . Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

18
Larson, M. (2009). History of Anesthetic practice. Dalam Miller R, penyunting.

Miller’s Anestheia. Edisi 7. Philadelphia: Churchill Livingstone (3-41).

Mangku, G., & Senapathi, T. G. A. (2010). Ilmu Anestesia dan Reanimasi.

Jakarta: PT. Indeks.

Mansjoer, Arif, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica

Aesculpalus. FKUI. Jakarta.

Mecca, R S. Postoperative Recovery. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK,

penyunting. Clinical Anesthesia. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 2013. Halaman: 1380–1385.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2013. Clinical Anesthesiology, 5th ed.

Lange Medical Books/McGraw-Hill, p. 1023-85

Mycek, M.J., 2011, Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi II, PenerbitWidya

Media, Jakarta, hal.110

Simanjutak, Vick Elmore., Ezra Oktaliansah., Ike Sri Redjeki., 2013. Perbandingan

Waktu Induksi, Perubahan Tekanan Darah, dan Pulih Sadar antara Total

Intravenous Anaesthesia PropofolTarget Controlled Infusion dan Manual

Controlled Infusion. Jurn Anest Periop. Vol. 1, No. 3, hal. 158-66.

19

Anda mungkin juga menyukai