Anda di halaman 1dari 18

KANDIDIASIS GENERALISATA

I.G.A.A. Dwi Karmila, Sp.KK

0
PENDAHULUAN
Kandidiasis generalisata merupakan salah satu tipe dari kandidiasis kutis yang
termasuk infeksi jamur kandida pada kulit superfisial.1 Lesi pada kandidiasis
generalisata mengenai hampir seluruh badan namun tidak terdapat pada mukosa
ataupun organ dalam. Infeksi ini merupakan bagian dari kandidiasis kutis, yang
merupakan suatu infeksi oportunistik disebabkan Candida spp., muncul pada
kebanyakan kasus dari blastospora saprofitik yang biasanya berkolonisasi di
mukosa oral, gastrointestinal, vagina, dan epitel kulit.1,2
Angka kejadian kandidiasis kutis di seluruh dunia cukup tinggi. Pada
penelitian tentang epidemiologi infeksi jamur di Iran pada tahun 2010, diperoleh
data infeksi kandidiasis kutis sebanyak 33,3% dari keseluruhan kasus infeksi
jamur.4 Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelitian retrospektif di RS Prof. dr.
Kandou Manado pada tahun 2009-2011 tercatat sebanyak 26,27% dari seluruh
kasus baru infeksi jamur.5 Sedangkan dari data di poliklinik Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Sanglah tahun 2015 didapatkan prevalensi kandidiasis kutis
sebanyak 17,81% dari keseluruhan kasus baru infeksi jamur.6
Angka kejadian infeksi ini sama antara laki-laki dan perempuan. Anak-anak dan
orang yang berusia lebih dari 65 tahun lebih rentan terhadap kolonisasi kandida
mukokutaneus.3,4
Di antara infeksi kulit yang disebabkan jamur, kandida merupakan
penyebab yang sering.1,2,4Sedangkan dari keseluruhan infeksi oleh kandida, C.
albicans merupakan patogen yang paling banyak menjadi agen kausatif (sekitar
70-80%), diikuti penyebab lainnya antara lain C. glabrata, C. tropicalis, C.
parapsilopsis dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena C. albicans merupakan
jamur saprofitik yang terdapat secara normal di mukokutaneus, juga karena
memiliki faktor virulensi yang tinggi dan ketahanannya lebih tinggi terhadap
eliminasi oleh sistem imun dibandingkan spesies kandida yang lain.1,2,4,7
Faktor predisposisi infeksi Candida antara lain faktor lingkungan yaitu
kurangnya higiene, kelembapan yang tinggi, friksi, kurangnya ventilasi, selain
dari adanya penyakit komorbid yang menyebabkan melemahnya sistem kekebalan
tubuh. Faktor host juga sebagai faktor predisposisi terhadap infeksi jamur tersebut
antara lain kondisi hiperhidrosis, obesitas, penggunaan antibiotik, penggunaan

1
kortikosteroid jangka lama, terganggunya keseimbangan flora normal, adanya
penyakit komorbid yang menyebabkan melemahnya sistem imun seperti diabetes
melitus, infeksi HIV, orang dengan transplantasi organ, dan gagal ginjal
kronik.1,7,10
Berikut dilaporkan satu kasus kandidiasis generalisata. Kasus ini
dilaporkan untuk membahas mengenai faktor predisposisi, manifestasi klinis
infeksi kandida, cara diagnosis infeksi Candida serta respon pengobatan terhadap
kandidiasis generalisata.
KASUS
Seorang laki-laki, 43 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor
rekam medis 16.00.20.13, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah
pada tanggal 2 Februari 2016 dengan keluhan bintik kemerahan di seluruh tubuh
disertai rasa gatal. Keluhan pertama kali dirasakan pasien sejak 30 hari lalu,
awalnya hanya terdapat di daerah selangkangan dan paha pasien lalu meluas ke
badan dan tangan. Keluhan juga disertai dengan rasa gatal, terutama bila
berkeringat.
Riwayat penyakit yang sama pada pasien sebelumnya disangkal. Riwayat
sering menderita sariawan atau bercak putih di rongga mulut juga disangkal.
Riwayat penurunan berat badan, demam, dan batuk lama tidak ada. Riwayat
menderita penyakit lain seperti sakit kulit menahun, hipertensi, kencing manis,
tiroid, sakit kuning dan sakit berat lainnya disangkal. Pasien hanya merasa
kulitnya agak kering. Pasien belum pernah memeriksakan gula darahnya.Tidak
ada riwayat alergi obat dan makanan pada pasien. Untuk keluhan bintik
kemerahan ini, pasien telah berobat ke spesialis kulit dan kelamin 3 hari yang lalu,
diberi salep racikan yang dioleskan 2 kali sehari dan obat minum untuk
mengurangi gatal, diminum 2 kali sehari (Mebhidrolin napadisilat). Dokter kulit
tersebut juga menyarankan agar pasien berobat ke RS Sanglah agar bisa dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
Keluhan adanya gatal di kulit juga dirasakan oleh ibu pasien, namun ibu
pasien tidak tinggal bersama dan hanya sesekali berkunjung. Riwayat asma, pilek
alergi, sakit kulit menahun pada keluarga disangkal.

2
Pasien bekerja sebagai seorang guru di Karangasem. Di sekolah tempatnya
bekerja pasien mengaku selalu kepanasan dan banyak berkeringat. Pasien juga
telah terbiasa mencampur air mandinya dengan Dettol cair dan mandi dengan
sabun antiseptik (Dettol ataupun Lifebuoy) sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Pasien
juga memelihara anjing di rumahnya dan memandikan sendiri anjingnya kurang
lebih 1 minggu sekali namun mengaku jarang bermain dengan anjingnya di
rumah. Menurut pengakuan pasien anjing pasien tidak mengalami gatal-gatal
ataupun kerontokan bulu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi
pernapasan 18 x/menit, temperatur aksila 36,5°C. Tinggi badan 166 cm dan berat
badan 58kg. Pada status generalis didapatkan pada wajah dan pemeriksaan mata
tidak didapatkan tanda-tanda anemia dan ikterus, reflek pupil pada kedua mata
positif dan isokor. Pada pemeriksaan mulut dan mukosa mulut dalam batas
normal. Pada pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan tidak ditemukan
kelainan. Pemeriksaan thorak didapatkan suara jantung S1S2 tunggal reguler, tidak
ada murmur. Suara nafas vesikuler, tidak ada ronki maupun mengi. Pemeriksaan
abdomen, bising usus positif normal, hepar dan lien tidak teraba. Pada ekstremitas
teraba hangat dan tidak dijumpai edema.Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe
baik di leher, ketiak, ataupun lipat paha.
Status dermatologis (Gambar 1a-1e). Lokasi regio torakalis, subskapularis,
antebrakhii bilateral, dan femoralis bilateral efloresensi yang tampak berupa
makula eritematosa multipel batas tegas bentuk bulat oval diameter 0,5-1 cm dan
papul eritematosa multipel bentuk bulat ukuran diameter 0,2-0,4cm. Lokasi regio
abdomen, lumbalis, inguinal, dan femoralis anterior sinistra didapatkan
efloresensi berupa makula eritematosa multipel batas tegas bentuk geografika
ukuran 0,5x1-2x3 cm beberapa berkonfluen. Likenifikasi dan skuama tipis
ditemukan. Lesi satelit ditemukan berupa papul eritematosa multipel bentuk bulat
ukuran diameter 0,2-0,5cm dan erosi multipel bentuk geografika ukuran 0,5x1cm-
1x2cm tertutup krusta coklat kehitaman.

3
1a 1b 1c
. . .

1d. 1e. 1f.

Gambar 1a,b,c,d,e. Lokasi regio torakalis, subskapularis, antebrakhii bilateral, dan femoralis
bilateral pasien tampak makula dan papul eritematosa multipel. 1b,c,d. Lokasi regio abdomen,
lumbalis, gluteal, inguinal bilateral dan femoralis anterior sinistra tampak makula eritematosa
multipel disertai likenifikasi, erosi tertutup krusta coklat kehitaman dan papul eritematosa
multipel. 1f. Gambaran KOH tampak blastospora dan pseudohifa.

Diagnosis banding pada pasien adalah: kandidiasis generalisata dan tinea


korporis et kruris. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
lampu Wood dan sediaan langsung kerokan kulit dengan kalium hidroksida
(KOH) 10 %. Hasil pemeriksaan lampu Wood, tidak didapatkan fluoresensi. Pada
mikroskopik sediaan langsung kerokan kulit dengan KOH 10 % ditemukan
adanya pseudohifa dan blastospora (Gambar 2a). Pada pasien dilakukan kultur
kerokan kulit pada media Saboraud’s Dextrosa Agar (SDA). Kultur pada media
SDA (Gambar 2b-2c) didapatkan pertumbuhan jamur pada hari kelima yaitu
secara makroskopis dijumpai koloni berwarna putih kekuningan, berbentuk bulat
sebesar jarum pentul dan koloni berwarna kehitaman bertekstur kasar dan putih
halus berbentuk bulat dengan diameter 2-2,5cm. Pada pemeriksaan mikroskopis
hasil kultur didapatkan blastospora (Gambar 2c).

4
2a. 2b. 2c.
Gambar 2. Hasil pemeriksaan kultur dan mikroskopik dari kultur. 2a. Pemeriksaan kultur ( 2a.
Tampak depan dan 2b.Tampak belakang.) Koloni kultur pada media Saboraud’s Dextrosa Agar
tampak pertumbuhan koloni halus berwarna putih kekuningan berbentuk bulat sebesar jarum
pentul ,koloni berwarna kehitaman dengan struktur kasar dan putih halus berbentuk bulat
dengandiameter kurang lebih 2 cm- 2,5 cm. 2d. Pemeriksaan mikroskopi dari koloni tampak
adanya blastospora.
Pemeriksaan darah lengkap tanggal 3 Februari 2016 didapatkan eritrosit
5,37K/μL (4,8-6,10); hemoglobin 15,7g/dL (14-18); hematokrit 47,7% (42-52);
trombosit 269 K/uL (150-450); leukosit 8,02K/μL (4,1-11), neutrofil 2,75 K/μL
(2,5-7,5); limfosit 1,98 K/μL (1-4); monosit 0,42 K/μL (0,1-0,5); eosinofil 0,10
K/μL (0-0,5); basofil 0,02 K/μL (0-0,1). Pemeriksaan kimia darah didapatkan
SGOT 20 IU/L (11,0-33,0); SGPT 25 IU/L (11-50), gula darah sewaktu
184mg/dL (70-140), BUN 10 mg/dl (<50); kreatinin 1,2 mg/dl (0,7-1,2).
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah kandidiasis generalisata.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian terapi Flukonazol 150mg oral
dosis tunggal satu kali seminggu dan krim Mikonazol 2% topikal setiap 12 jam
kemudian pasien disarankan kontrol dua minggu kemudian untuk dilihat
perkembangan lesinya dan dilakukan pemeriksaan KOH ulang. Pada pasien
diberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit, penyebab
penyakit, faktor risiko, dan terapi. Pada pasien disarankan untuk menghindari
kelembapan dengan cara cepat berganti baju apabila berkeringat, mengenakan
pakaian dengan bahan tipis yang menyerap keringat. Mandi menggunakan sabun
antiseptik dan mencampur air mandi dengan larutan antiseptik juga harus
dihentikan dan pasien disarankan menggunakan sabun bayi. Pasien juga
disarankan untuk memotong kukunya agar tidak menimbulkan luka saat
menggaruk lesi.
PENGAMATAN LANJUTAN I (22 Februari 2016 , hari ke 21)
Pasien masih merasa gatal dan panas, kemerahan masih jelas namun sudah
agak berkurang. Pasien telah mengikuti saran untuk memotong kukunya dan

5
mengganti sabun mandinya menjadi sabun bayi dan tidak lagi mencampur air
mandinya dengan antiseptik, juga mengaku lebih sering mengganti bajunya
setelah berkeringat.
Status dermatologi (Gambar 3a-3d) Lokasi regio torakalis, subskapularis,
antebrakhii bilateral, dan femoralis bilateral efloresensi yang tampak berupa
makula eritematosa multipel batas tegas bentuk bulat oval diameter 0,5-1cm dan
papul eritematosa multipel bentuk bulat ukuran diameter 0,2-0,4 cm. Lokasi regio
abdomen, lumbalis, inguinal, gluteal dan femoralis anterior sinistra didapatkan
efloresensi berupa makula eritematosa multipel batas tegas bentuk geografika
ukuran 0,5x1-2x3 cm beberapa berkonfluen. Likenifikasi dan skuama tipis
ditemukan. Lesi satelit ditemukan berupa papul eritematosa multipel bentuk bulat
ukuran diameter 0,2-0,5 cm dan erosi multipel bentuk geografika ukuran
0,5x1cm-1x2cm tertutup krusta coklat kehitaman. Pada pemeriksaan dengan
lampu Wood tidak ditemukan fluoresensi. Pemeriksaan langsung pada kerokan
kulit dengan KOH 10 % masih didapatkan blastospora dan pseudohifa.

3a. 3b. 3c.


. . .

3d. 3e. 3f.


. .

6
3g.
.
Gambar 3a,b,c,e,f. Lokasi regio torakalis, subskapularis, antebrakhii bilateral, femoralis bilateral
pasien tampak makula dan papul eritematosa multipel. 3b,c,d. Lokasi regio abdomen, lumbalis,
gluteal, inguinal bilateral dan femoralis anterior sinistra tampak makula eritematosa multipel
disertai likenifikasi, erosi tertutup krusta coklat kehitaman dan papul eritematosa multipel. 3g.
Gambaran KOH ditemukan blastospora.

Diagnosis kerja adalah follow up kandidiasis generalisata (membaik).


Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian Flukonazol 150mg per oral
dosis tunggal 1 kali seminggu dan Mikonazol 2% krim topikal setiap 12 jam.
Pasien diminta kontrol dua minggu kemudian.
PENGAMATAN LANJUTAN II (3 Maret 2016, hari ke-29)
Gatal masih dirasakan tapi telah berkurang, kemerahan berkurang. Tidak ada lesi
baru. Status dermatologi (Gambar 4a-4d). Lokasi regio torakalis, subskapularis,
antebrakhii bilateral, dan femoralis bilateral efloresensi yang tampak berupa
makula hiperpigmentasi multipel batas tegas bentuk bulat oval diameter 0,5-1cm.
Lokasi regio abdomen, lumbalis, inguinal, gluteal dan femoralis anterior sinistra
didapatkan efloresensi berupa makula eritematosa dan hiperpigmentasi multipel
batas tegas bentuk geografika ukuran 0,5x1-2x3 cm. Pada pemeriksaan lampu
Wood ulang fluoresensi tidak ditemukan. Pada pemeriksaan KOH 10% ulang
sudah tidak ditemukan blastospora dan pseudohifa.

4a. 4b. 4c.

7
4d. 4e. 4f.
Gambar 4a,c,d,e,f. Lokasi regio torakalis, subskapularis, femoralis bilateral dan antebrakhii
bilateral efloresensi yang tampak berupa makula hiperpigmentasi multipel. 4b,c,d,e.
Lokasi regio abdomen, lumbalis, inguinal, dan femoralis anterior sinistra didapatkan
efloresensi berupa makula eritematosa dan hiperpigmentasi multipel

Diagnosis kerja adalah follow up kandidiasis generalisata (membaik).


Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian Mikonazol 2% krim setiap 12
jam. Pasien kembali diberi konsultasi, informasi, dan edukasi agar menghindari
kelembaban dengan sering berganti pakaian bila berkeringat, mengenakan pakaian
dengan bahan yang tipis dan menyerap keringat, serta tidak menggunakan sabun
antiseptik untuk mandi ataupun mencampur air mandinya dengan larutan
antiseptik.
PEMBAHASAN
Kandidiasis, yang juga dikenal sebagai kandidosis, moniliasis, dan
oidiomikosis merupakan suatu infeksi akut maupun kronik, distribusinya terbatas
pada mukokutaneus ataupun menyebar secara sistemik dan disebabkan oleh
Candida spp.2,7,10 Candida spp. adalah jamur penyebab yang dilaporkan paling
sering menimbulkan infeksi pada manusia. Kandidiasis merupakan infeksi jamur
tersering pada orang dewasa, anak-anak, dan orang tua. Dari penelitian di Iran,
pada tahun 2010 dilaporkan dari 201 kasus infeksi jamur ditemukan 87 kasus
dengan Candida spp. sebagai agen penyebab.4 Secara epidemiologi di Indonesia,
dari data di RSUP Prof R. D. Kandou Manado tahun 2009-2011 dan di Bali dari
data Poliklinik RSUP Sanglah tahun 2015 didapatkan kandidiasis kutis
merupakan infeksi dengan prevalensi yang tinggi dibandingkan dengan infeksi
jamur karena penyebab lainnya.5,6

8
Infeksi ini paling sering ditemukan superfisial di kulit dan membran
mukosa, tetapi penyakit sistemik karena Candida juga dapat terjadi antara lain
fungemia, endokarditis dan meningitis.2,7Candida memiliki kecenderungan untuk
berkolonisasi pada kulit di bagian lipatan (intertriginosa) dimana lingkungannya
lembab dan hangat.1,2,7 Lokasi predileksi untuk Candida adalah di area
intertriginosa termasuk area genitokrural, gluteal, interdigitalis, inframammaria,
dan aksila. Kandidiasis lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan laki-laki,
dan lebih sering ditemukan pada orang tua dan anak-anak dibandingkan pada usia
dewasa muda.3,4,5
Kandidiasis kutaneus berdasarkan gejala klinis dan distribusi lesinya
dibagi menjadi: kandidiasis intertriginosa atau intertrigo, kandidiasis generalisata,
folikulitis kandida, kandidid, kandidiasis kongenital, paronikia kandida dan
onikomikosis kandida.2,10 Pembagian lainnya yaitu menurut klasifikasi Rippon
(1988) yang masih dipakai hingga saat ini, kandidiasis intertriginosa, kandidiasis
generalisata, paronikia dan onikomikosis, kandidiasis popok, dan granuloma
kandida. Bentuk dari kandidiasis kutaneus yang tersering yaitu kandidiasis
intertriginosa. Bentuk ini merupakan infeksi jamur yang paling banyak ditemukan
baik pada anak-anak maupun orang dewasa.1,2,10 Pada individu yang memiliki
faktor predisposisi, infeksi kandida dapat terjadi tidak terbatas pada area lipatan
kulit melainkan juga meluas ke badan dan ekstremitas, menjadi kandidiasis
generalisata. Pada kandidiasis generalisata ini lesi akan tampak lebih berat pada
lipatan genitokrural, regio anal, aksila, tangan dan kaki.1,2 Lesi kulit pada pasien
ini terdapat pada regio torakalis, abdomen, subskapularis, lumbalis, gluteal,
inguinal, antebrakhii bilateral serta femoralis bilateral, dan lebih berat pada area
abdomen, lipatan genitokrural, dan gluteal sehingga termasuk dalam kandidiasis
generalisata.2,10
Faktor yang dapat menjadi predisposisi terjadinya kandidiasis generalisata
antara lain diabetes melitus, usia tua, obesitas, gagal ginjal kronik, keganasan,
konsumsi antibiotik ataupun kortikosteroid jangka panjang dan
ketidakseimbangan flora normal di kulit.7,10 Pada pasien ini didapatkan faktor
predisposisi berupa pemakaian sabun antiseptik jangka panjang dan kebiasaan
pasien mencampur air mandinya dengan larutan antiseptik sejak 5 tahun yang lalu.

9
Dimana seperti yang kita ketahui di permukaan kulit terdapat bakteri sebagai flora
normal, yang bila jumlahnya berkurang karena pemakaian antiseptik dapat
membuat jamur komensal berkembang pesat. Jumlah koloni jamur yang
meningkat tersebut mempermudah invasi jamur komensal kulit karena
terdapatnya kompetisi antara Candida dan bakteri komensal dalam
mengkonsumsi glukosa yang tersedia untuk perkembangbiakkannya.7,10 Selain itu,
faktor kelembaban yaitu kontak yang cukup sering dengan air dan kecenderungan
berkeringat juga merupakan faktor risiko utama untuk berkembangnya infeksi
Candida pada kulit.2,7,10 Hilangnya keutuhan barrier kulit dapat menjadi jalan
masuk terjadinya infeksi. Faktor risiko lainnya yaitu penggunaan tempat mandi
umum/kolam renang sebagai sumber penularan dari air, namun hal ini tidak
ditemukan pada pasien. Selain itu, terdapat juga faktor risiko genetik dimana
terdapat kerentanan seseorang untuk menderita infeksi Candida. Penurunan sifat
genetik ini dapat bersifat autosomal dominan maupun autosomal resesif, dapat
juga mengenai satu gen tertentu atau bersifat polimorfisme.10,17 Pasien mengaku
tidak ada anggota keluarganya pernah mengalami keluhan serupa. Pada pasien ini
penggunaan antiseptik jangka panjang dapat menyebabkan kekeringan kulit
sehingga timbul iritasi ringan secara terus menerus sehingga fungsi kulit sebagai
barrier alami terhadap infeksi menjadi hilang.7,8 Pasien juga mengaku sering
berkeringat saat bekerja dan mengaku area tempat tinggalnya di Karangasem
sangat panas cuacanya. Pasien juga biasanya berganti baju hanya sehabis mandi,
sebanyak 2 kali sehari. Hal ini menunjukkan bahwa pasien memiliki faktor
predisposisi kelembaban tinggi.
Etiologi pada kelainan ini adalah ragi genus Candida. Dari lebih dari 200
spesies Candida, yang paling banyak menyebabkan kandidiasis adalah Candida
albicans, yang merupakan flora normal pada kulit.2,10,11 Spesies Candida lainnya
sebagian besar tidak bersifat komensal maupun parasit pada manusia. Spesies
Candida non-albicans yang dapat menjadi penyebab kandidosis pada manusia
antara lain C. tropicalis, C. dubliniensis, C. parapsilopsis, C. guilliermodii, C.
krusei, C. pseudotropicalis, C. lusitanie, C. zeylanoides, dan C. glabrata. Jamur-
jamur tersebut merupakan organisme yang bersifat saprofit, merupakan organisme
komensal yang dapat ditemukan pada kulit, rongga mulut, tenggorokan, saluran

10
pencernaan dan vagina. Selain pada manusia spesies tersebut dapat ditemukan di
alam bebas seperti di tanah, udara, air, dan dapat berkolonisasi pada tubuh
serangga maupun tumbuhan.2,11
Spesies Candida dalam keadaan normal bersifat komensal pada manusia,
namun berpotensi menimbulkan infeksi oportunistik dan menginvasi jaringan
karena sebagian besar sumber infeksi Candida berasal dari endogenus (tubuh
penjamu).11,12 Adanya infeksi Candida di daerah lain seperti vagina dapat menjadi
sumber penularan untuk infeksi yang terjadi pada kuku atau kulit.12 Menurut
penelitian oleh Silva dkk. pada tahun 2011, patogenisitas spesies Candida
difasilitasi oleh beberapa faktor virulensi yang penting dalam patogenesis
kandidiasis kutis, diantaranya adalah adanya protein adhesin yang berfungsi
dalam tahap pengenalan dan penempelan terhadap pejamu. Adhesin adalah suatu
protein (C3d binding protein) atau dinding sel mannan yang secara spesifik
berikatan dengan asam amino dan gula pada permukaan sel. Setelah fase
penempelan terseut, dikeluarkanlah enzim-enzim degradasi, yaitu enzim hidrolitik
ekstraselular. Enzim tersebut berperan penting dalam penetrasi ke jaringan, invasi
dan destruksi jaringan pejamu (keratolitik). Enzim hidrolitik yang paling penting
adalah fosfolipase dan protease. Fosfolipase berfungsi untuk mencerna lipid untuk
mengambil nutrisi dari jaringan dan inisiasi proses inflamasi dengan
mempengaruhi sel imun. Hemolisin berperan dalam penghancuran eritrosit dan
pengambilan zat besi yang penting untuk pertumbuhan ragi. Invasi oleh hifa
Candida juga dapat menghambat kerja peptida antimikroba pada pejamu seperti
human beta defensin.8,9 Selain itu Candida memiliki kemampuan membentuk
biofilm. Biofilm adalah kumpulan sel yang spesifik, terdiri atas karbohidrat,
protein, fosfor, dan heksosamin. Fungsi biofilm adalah untuk menghindari
mekanisme eliminasi organisme oleh sistem imun, menimbulkan resistensi
terhadap antifungal, dan bertahan dari kompetisi dengan organisme lain.8,9,15
Manifestasi klinis kandidiasis generalisata seperti telah disebutkan di atas
merupakan erupsi difus yang gatal di badan, thorax, dan ekstremitas dengan
derajat infeksi yang lebih berat pada daerah lipatan genitokrural, regio anal,
aksila, tangan dan kaki.Erupsi kulit yang muncul berupa makula eritematosa dan
skuama tipis dengan lesi satelit berupa papul, vesikel, maupun pustul, dapat

11
disertai maserasi. Pustul tersebut dapat membesar dan pecah meninggalkan dasar
eritematosa berkolaret dengan skuama yang mudah lepas menyebabkan maserasi
dan fisura yang lebih dalam. Apabila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri bisa
terdapat bau tidak enak.1,12,14 Pada kasus awalnya keluhan gatal dan kemerahan
dirasakan pada perut, inguinal dan paha, lalu meluas ke tempat lainnya. Dari
inspeksi didapatkan makula eritematosa multipel berbatas tegas dengan lesi satelit
berupa papul eritematosa multipel. Likenifikasi ditemukan karena infeksi tersebut
telah dirasakan pasien selama 30 hari dan pasien menggaruk lesi terus menerus.
Skuama tipis juga ditemukan. Erosi tertutup krusta coklat kehitaman juga terdapat
pada pasien ini diakibatkan oleh garukan, ditambah dengan adanya kuku pasien
yang panjang.
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan sediaan
mikroskopi langsung diikuti dengan pemeriksaan kultur jamur untuk identifikasi
agen penyebab infeksi.2,7,14 Pemeriksaan mikroskopis langsung melalui kerokan
kulitdilakukan dengan sediaan KOH 10 %. Pemeriksaan biakan atau kultur paling
sering menggunakan media Saboraud’s dextrose agar (SDA). Pada media kultur,
spesies Candida akan tumbuh pada hari ketiga hingga hari kelima pada suhu 25-
30°C.11,14 Gambaran makroskopis koloni pada media kultur berupa koloni bulat,
basah, mengkilat, sebesar jarum pentul, berwarna putih kekuningan dan secara
mikroskopis akan dapat dilihat adanya sel-sel ragi, blastospora dan
pseudohifa.14,15 Untuk menentukan apakah koloni jamur pada kultur merupakan
penyebab atau hanya merupakan komensal atau kontaminan dapat digunakan
kriteria English, yaitu jika koloni jamur yang tumbuh berupa (1) Dermatofita,
maka dermatofita dianggap sebagai agen penyebab infeksi. (2) Ditemukannya
pertumbuhan kapang lain atau ragi, maka pertumbuhan dianggap signifikan
sebagai agen penyebab apabila pada pemeriksaan langsung didapati jenis hifa,
artrospora atau sel ragi yang sesuai dengan pertumbuhan pada kultur. (3) Dapat
diambil kesimpulan bahwa infeksi kapang sebagai penyebab bila paling sedikit
didapati pertumbuhan jamur kapang yang sama pada 5 dari 20 inokulum, tanpa
ditemukan dermatofita baik pada media yang diberi maupun tidak diberi
sikloheksimid. Namun kriteria tersebut dianggap mempunyai kelemahan, karena
dermatofita dapat berkolonisasi secara normal pada jari kaki. Demikian pula bila

12
terdapat pertumbuhan ragi atau Candida spp, yang merupakan komensal pada
kulit sehingga apabila tumbuhnya koloni Candida sesuai dengan adanya
pseudohifa ataupun blastospora pada sediaan langsung barulah pertumbuhan
tersebut dapat dianggap signifikan sebagai agen penyebab infeksi.17 Apabila pada
sediaan mikroskopik langsung kerokan kulit tidak ditemukan pseudohifa ataupun
spora dan pada kultur tidak ditemukan pertumbuhan jamur namun secara klinis
tampak lesi dan gejala klinis yang khas kemungkinan terdapatnya infeksi jamur
tidak dapat disingkirkan. Hal ini dapat disebabkan pasien telah mengoleskan salep
anti jamur atau telah meminum obat anti jamur sistemik, namun infeksi belum
hilang sepenuhnya.
Pada kasus, pemeriksaan mikroskopi langsung kerokan kulit didapatkan
blastospora dan pseudohifa. Sementara itu, pemeriksaan kultur pada media SDA
didapatkan pertumbuhan koloni halus berwarna putih kekuningan, berbentuk bulat
sebesar jarum pentul. Pada pemeriksaan mikroskopikhasil kultur dari koloni putih
kekuningan tersebut didapatkan blastospora.14 Di sebelah koloni tersebut juga
tampak koloni bertekstur kasar berwarna kehitaman yang merupakan kontaminan
dari udara. Pertumbuhan koloni tersebut diduga karena pada saat penanaman
spesimen spora dari udara masuk ke dalam cawan petri. Dari hasil pemeriksaan
ini ragi atau spesies Candida ditetapkan sebagai agen penyebab kandidiasis
generalisata pada kasus.
Penentuan spesies Candida sangat bermanfaat untuk pemilihan jenis obat
dan menilai prognosis karena beberapa spesies Candida relatif kurang peka
terhadap beberapa obat antijamur yang tersedia saat ini. Setelah dilakukan kultur
dapat dilakukan identifikasi spesies dan pemeriksaan sensitivitas terhadap
antifungal dengan mesin otomatis Vitek 2. Namun pada kasus ini tidak dapat
dilakukan identifikasi spesies dan pemeriksaan sensitivitas karena reagen Vitek 2
tersebut tidak berhasil didapatkan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang,
pasien didiagnosis dengan kandidiasis generalisata yang disebabkan oleh Candida
spp. Diagnosis banding pada pasien ini adalah tinea kruris et korporis karena
mempertimbangkan adanya lesi berupa makula eritematosa berbatas tegas di area
inguinal, bokong, badan, dan ekstremitas. Diagnosis banding ini disingkirkan

13
karena adanya lesi satelit berupa papul yang khas untuk infeksi kandida, tidak
adanya penampakan central healing yang khas pada tinea, dan ditemukannya
blastospora dan pseudohifa pada pemeriksaan mikroskopik KOH 10%.
Penatalaksanaan pada penyakit ini antara lain dengan menghilangkan faktor
predisposisi dan pemberian terapi dengan obat antijamur sistemik maupun
topikal.22
Pada lesi yang luas diperlukan pengobatan secara sistemik.1,2,7,10 Obat
sistemik yang efektif digunakan untuk pengobatan kandidiasis menurut protokol
penanganan kandidiasis oleh Infectious Disease Society of America tahun 2009,
Flukonazol masih dianggap sebagai agen pilihan untuk kandidiasis pada pasien
non neutropenia, dengan pilihan pengobatan lain dengan golongan imidazol yaitu
Ketokonazol, triazol seperti Itrakonazol, Posakonazol, dan Vorikonazol, atau
dapat dicoba pengobatan dengan agen yang lebih baru golongan ekinokandin
(Kaspofungin, Mikafungin, dan Anidulafungin).18,19 Obat golongan azol
mempunyai spektrum antijamur yang luas tetapi bersifat fungistatik. Anti fungal
golongan ekinokandin bersifat fungisidal tetapi lebih sering digunakan untuk
infeksi jamur sistemik atau invasif.2,16 Terdapat data dari penelitian di Slovakia
tahun 2004 didapatkan hasil bahwa sensitivitas banyak spesies Candida lebih
tinggi terhadap Flukonazol dibandingkan terhadap Itrakonazol.20,21,22 Hal ini
mendukung Flukonazol sebagai pilihan terapi utama dalam pengobatan
kandidiasis.19,,20,22 Flukonazol dilaporkan memberikan hasil yang baik untuk
kandidiasis dengan dosis tunggal 150mg/minggu dan dapat diulang 1 minggu
kemudian untuk mencegah kekambuhan, atau dapat ditingkatkan dosisnya sesuai
dengan keadaan pasien.15,18,19,22 Flukonazol bekerja fungistatik, efektif terhadap
dermatofita dan sebagian besar ragi, kecuali Candida krusei. Waktu paruh obat
ini panjang mencapai 25-30 jam, dan memiliki level dalam darah yang stabil
sampai setelah 7 hari pemberian dosis tunggal.10,18 Flukonazol bekerja dengan
menghambat enzim14-α-demethylase, suatu enzim sitokrom P450 di membran
jamur yang selanjutnya menghambat pembentukan ergosterol yang merupakan
komponen penting pada membran sel jamur.18 Anti jamur topikal juga dapat
diberikan bersama dengan sistemik untuk membantu eradikasi jamur secara lokal
dan mengurangi inflamasi lokal sampai kemerahan menghilang. Anti jamur

14
topikal yang dapat digunakan antara lain Klotrimazol, Ketokonazol, Oksikonazol,
Mikonazol dan Ekonazol. Di antaranya yang mudah didapat dan sering digunakan
adalah Mikonazol dan Ketokonazol krim.10,16
Pada kasus karena lesi terdapat dengan distribusi yang luas maka
diberikan anti jamur sistemik, dengan Flukonazol 150 mg per oral dosis tunggal 1
kali seminggu dan diulang pada minggu berikutnya. Alasan dipilihnya Flukonazol
sebagai antifungal sistemik pada pasien, walaupun tidak dapat dilakukan
identifikasi spesies dan tes sensitivitas, namun berdasarkan data dari literatur
sensitivitas Candida spp. terhadap Flukonazol masih baik (resistensi hanya
sebanyak 5%), dan sampai saat ini Flukonazol merupakan anti fungal sistemik
pilihan pertama untuk kandidiasis mukokutaneus. Diberikan juga anti jamur
topikal dengan Mikonazol 2% krim setiap 12 jam pada pasien ini.
Selain pengobatan antijamur, menghindari faktor predisposisi untuk
berkembangnya infeksi jamur juga menjadi bagian penting penatalaksanaan
kandidiasis generalisata. Pada kasus, diberikan KIE mengenai penyakit, penyebab
penyakit, faktor risiko, dan terapi. Pasien disarankan untuk menghentikan
kebiasaan mandi dengan sabun antiseptik dan mencampur air mandinya dengan
larutan antiseptik. Pasien juga disarankan untuk menghindari kelembapan dengan
sering berganti pakaian bila berkeringat dan mengenakan pakaian dengan bahan
yang tipis dan menyerap keringat seperti bahan katun.
Kriteria kesembuhan pada kandidiasis generalisata yaitu tidak adanya lesi
baru, lesi lama tampak membaik, hasil pemeriksaan mikroskopik langsung
negatif.12,13 Prognosis dikatakan buruk apabila terdapat faktor predisposisi
endogen yang tidak dapat dihilangkan atau sulit ditangani, misalnya obesitas,
hiperhidrosis, adanya penyakit sistemik seperti diabetes melitus yang tidak
terkontrol, gagal ginjal kronik, keganasan, dan infeksi HIV, munculnya lesi baru
atau lesi lama tidak kunjung membaik setelah pengobatan.2,12,13
Pada kasus, pengamatan kedua yaitu setelah diberikan terapi Flukonazol
sebanyak 2 kali pemberian single dose satu kali seminggu bersama Mikonazol 2%
krim topikal tiap 12 jam, didapatkan tanda klinis kandidiasis generalisata sudah
jauh membaik walaupun masih terdapat sedikit kemerahan pada daerah lipatan.
Pada pemeriksaan KOH 10% kerokan kulit sudah tidak ditemukan blastospora

15
maupun pseudohifa. Dengan demikian, dari gambaran klinis secara umum pasien
telah mengalami perbaikan. Pasien masih diberi pengobatan secara topikal dengan
Mikonazol 2% krim setiap 12 jam dan disarankan untuk kontrol kembali 1
minggu kemudian dan tetap menghindari faktor predisposisi. Prognosis pada
pasien adalah dubius ad bonam.
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus kandidiasis generalisata pada seorang pria berusia 43
tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Setelah pengobatan dengan Flukonazol 150mg oral dosis
tunggal 1 kali per minggu selama 2 minggu berturut-turut dan Mikonazol 2%
krim topikal setiap 12 jam, terdapat perbaikan secara klinis dimana gatal
menghilang dan lesi kulit membaik. Prognosis pada pasien adalah dubia ad
bonam karena faktor predisposisi pada pasien telah dihilangkan dan karena lesi
telah membaik dengan pengobatan, serta tidak ditemukannya elemen jamur pada
pemeriksaan KOH 10%.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kalra MG, Higgins KE, Kinney BS. Intertrigo and Secondary Skin Infections. Am Fam
Physician.2014;89(7):569-573.
2. Kundu RV, Garg A. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea(Pityriasis) versicolor, and
Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed.
New York: McGraw-Hill. 2012.p.2298-2311.
3. Mahmoudabadi AZ, Izadi B. Prevalence of Cutaneous Mycoses among Workers. Turk J
Med Sci. 2011;41(2):p.291-294.
4. Rahbar M, Mehrabani HG, Dahim P, Molanei S, Roodaki MA. Prevalence and Etiological
Agents of Cutaneous Fungal Infections in Milad Hospital of Tehran, Iran. Egyptian
Dermatol Online J. 2010;6(2):3.
5. Safira R, Suling PL. Pandeleke HEJ. Profil Kandidiasis Kutis di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2009-2011.
6. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Register Rawat Jalan Bagian Mikologi Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. Denpasar : 2015.
7. Hay RJ, Ashbee HR. Candidosis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s
Textbook of Dermatology 8th. Ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. 2010.36:26.56-36.59.
8. Pasteur AR, Ullmann Y, Bardicevsky I. The Pathogenesis of Candida Infections in a
Human Skin Model: Scanning Electron Microscope Observations.Vol 2011, Article ID
150642. doi:10.5402/2011/150642.
9. Mayer FL, Wilson D, Hube B. Candida albicans Pathogenicity Mechanisms. Virulence.
2013; Vol. 4:2: p. 119-128.
10. Ramali LM. Kandidiasis Kutan dan Mukokutan. In: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W,
Widaty S, Ervianty E. Dermatomikosis Superfisialis. 2nd. Ed. 2013:p.100-119.
11. Chester R, Cooper J. Yeasts Pathogenic to Humans. In: Importance of Yeasts. Kurtzman,
Elsevier. 2010;p.9-19.
12. Pedraz J, Jimenez D, Gala SP, Cha SN, et. al. Cutaneous Expression of Systemic
Candidiasis. J of Clin and Exp Dermatol. 2008;34: p.106-110.
13. Dabbas PS. An Approach to Etiology, Diagnosis and Management of Different Types of
Candidiasis. J of Yeast and Fungal Res. 2013;4(6): pp. 63-74.
14. Nugroho SA. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Mikosis Superfisialis. In : Bramomo, K.,
Suyoso S., Indriatmi W, Ramali LM, WidatyS, ErviantiE. Dermatomikosis
Superfisialis.2nd. Ed. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2013; pp.154-166.
15. Sardi JCO, Scorzoni L, Bernardi T, Fusco-Almeida AM, Giannini M. Candida species:
current epidemiology, pathogenicity, biofilm formation, natural antifungal products and
new therapeutic options. J of Med Microbiol. 2013;62: p. 10-24.
16. Pappas PG, Rex JH, Sobel JD, Filler SG, Dismukes WE, Walsh TJ, Edwards JE. Guidelines
for Treatment of Candidiasis. Clinical Infectious Diseases. 2004;3: p. 161-89.
17. SmmekensSP, Veerdonk VD, KullbergBJ, NeteaMG. Genetic susceptibility to Candida
infections. EMBO Mol Med. 2013; 5: 805-813.
18. Jacob R, Konnikov N. Oral Antifungal Agents. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
Ed. New York: McGraw-Hill. 2012. p. 2796-2806.
19. Sharma, V, Bhatia R. Triazoles in Antifungal Therapy : A Review. Int J of Res in Pharm
Biomed. 2011; 2 (2) : p.417-27.
20. Sojakova M, Liptajova D, BorovskyM, Subik J.Fluconazole and Itraconazole Susceptibility
of VaginalYeast Isolates fromSlovakia. Mycopathologia. 2004; 157: p. 163–169.
21. BadieeP, Alborzi A. Susceptibility of clinical Candida species isolates to antifungal agents
by E-test, Southern Iran: A fve year study. Microbiology. 2011; Vol. 3(4): p.183-188.
22. Samra Z, Yardeni M, Peled N, Bishara J. Species Distribution and Antifungal Susceptibility
of Candida Bloodstream Isolates in a Tertiary Medical Center in Israel. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis. 2005; 24: p.592–595.

17

Anda mungkin juga menyukai