Anda di halaman 1dari 27

KONSEP TEORI DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. S DENGAN SYOK SEPSIS


DI RUANG SERUNI/ICU
RSUD MARDI WALUYO
BLITAR

DISUSUN OLEH

BOKI HALIMA MARASABESSY 1812B2032


DENOK AYU OKTAVIA 1812B2004
FATMA NAFIATUS S. 1812B2037
SABASTIAN IVALDO 1812B2049
VALENTINE DINDA 1812B2016
ZULFIKAR SOSAL 1812B2056

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROFESI NERS


STIKES SURYA MITRA HUSADA
KEDIRI
2019
KONSEP TEORI

A. Definisi
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah
leukosit, takikardi dan takipnu (PERDACI, 2014).
Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di
klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest
Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan
sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome /
SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik (Chen et.al,2009).
Sepsis adalah adanya sindroma respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory
Response Syndrome / SIRS) ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu
berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa
sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS ditambah
dengan infeksi yang dibuktikan atau dengan suspek infeksi secara klinis. Bukti klinisnya
berupa suhu tubuh yang abnormal (> 38oC atau < 36◦C); takikardi; asidosis metabolik;
biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan
peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih.. Sepsis juga dapat disebabkan oleh
infeksi virus atau jamur (Guntur,2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa sepsis merupakan inflamasi sistemik dimana patogen
atau toksin yang berada dalam pembuluh darah yang dapat menginfeksi pada organ
oragan target yang dapat mengakibatkan syok septik.
Terminologi Sepsis Chen et. al, 2009
Sindroma respons inflamasi sistemik (SIRS: systemic inflammatory response
syndrome) Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih
keadaan berikut:
 suhu >38°C atau <36°C
 frekuensi jantung >90 kali/menit
 frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
 leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau batang >10%
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.
Ranjatan septik/ Syok Sepsis
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahaankan tekanan
darah dan perfusi organ. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40
mmHg dari tekanan darah normal pasien.
Multiple organ Disfunction syndrome
disfungsi satu organ atau lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan
homeostatis

B. Etiologi
Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil kultur
darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram negatif dan
gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan sisanya jamur atau
gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien yang kultur darahnya negatif,
penyebab infeksi tersebut biasanya diperiksa dengan menggunakan kultur lainnya atau
pemeriksaan mikroskopis (Munford, 2008). Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa
infeksi dengan sumber lokasi saluran pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling
umum dari sepsis (Shapiro, 2010)
Penyebab umum sepsis pada orang sehat menurut Moss et.al,2012
Sumber lokasi Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif
bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk
batang lainnya
Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram
negative bentuk batang lainnya, Bacteroides
fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob
Penyebab umum sepsis pada pasien yang dirawat menurut Moss et.al,2012
Masalah klinis Mikroorganisme
Pemasanagan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp., Proteus spp.,
Serratia spp., Pseudomonas spp.
Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus, Staph.epidermidis,
Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Candida
albicans
Setelah operasi: Staph. aureus, E. coli, anaerobes(tergantung
Wound infection lokasinya)
Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar coccus gram-positif, Pseudomonas spp., Candida
albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas

C. Manifestasi Klinis

Kriteria diagnosis dari Sepsis itu sendiri masih terus di perbaharui, berikut kriteria
terbaru tentang diagnosis sepsis:
Gejala Umum:
1. Demam (>37,5°C)
2. Hipotermia (suhu pusat tubuh < 36°C)
3. Heart rate > 90/menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal usia
4. Takipneu
5. Perubahan status mental
6. Edema signifikan ataukeseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih dari 24 jam)
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan tidak diabetes
Inflamasi:
1. Leukositosis (Hitung sel darah putih > 12.000 μL–1)
2. Leukopeni (Hitung sel darah putih < 4000 μL–1)
3. Hitung sel darah putih normal dengan lebih dari 10% ditemukan bentuk imatur
4. C-reactive protein plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal
5. Prokalsitonin plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal
Hemodinamik:
Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90mmHg, MAP < 70 mmHg, atau tekanan
darah sistolik turun > 40mmHg pada dewasa atau lebih rendah dua standar deviasi
dibawah nilai normal umur)
Disfungsi Organ:
1. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
2. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam meskipun
resusitasi cairan adekuat
3. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)
5. Ileus (tidak terdengar suara usus)
6. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)
7. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL atau 70 μmol/L)
Perfusi Jaringan:
1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
2. Penurunan kapiler refil
Kemudian mengenai kriteria Sepsis berat adalah sebagai berikut:
1. Sepsis-induced hipotensi
2. Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium
3. Jumlah urin < 0,5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun resusitasi cairan
adekuat
4. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan tidak adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi
5. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia sebagai
sumber infeksi
6. Kreatinin > 2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)
7. Bilirubin > 2 mg/dL (34,2 μmol/L)
8. Hitung platelet < 100.000 μL
9. Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)

D. Patofisiologi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul
reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya
tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada
tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik. (Rijal
I, 2011)
Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut SIRS, sedangkan sepsis adalah SIRS
ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan
infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia. Berdasarkan konferensi
internasional tahun 2001 memasukkan petanda PCT sebagai langkah awal dalam
mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di Medan, pada penelitian PCT sebagai petanda
sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan
kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit (Burdette SD, 2014).
Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-faktor
proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari sinyal yang saling
berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika keseimbangan
proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini
akan menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut
sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS) (Rizal I, 2011).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak
faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit.
Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin,
baik yang bersifat proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi
adalah Tumor necrosis factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon-γ (IFN-γ) yang
bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin anti inflamasi adalah IL- 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10
yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi
sekaligus (Rijal I, 2011).
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin
gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu
lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi dalam serum
darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada
dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan
makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator (Rijal I, 2011).
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah
difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan
kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa
muatan polipeptida spesifik yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC),
kemudian berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell
receptor (TCR) (Rizal I, 2011).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ,
IL-2,dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Limfosit Th2 akan
mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan
IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah.
IL-1ß juga berperan dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E)2 dan merangsang
ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses
adhesi neutrofil dengan endotel (Rijal I , 2011).
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang
menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksi dan radikal bebas
yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan
vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel (Rizal I, 2011).
Kaskade Inflamasi merupakan respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (neutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan
sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah
reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit,
nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-
inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1 memacu produksi
toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating
factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan
peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul
adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera
endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil
teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang
ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun
tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang
membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan
kematian (Caterino JM, 2012) (LaRosa SP, 2013).

Tahap Perkembangan Sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:


1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini
sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.
3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke
tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen
yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik
dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian

E. Komplikasi
Kematian karena sepsis berat dan syok septik cukup tinggi. Sudah dijelaskan
sebelumnya, spektrum penyakit sepsis dapat berkembang dari SIRS sampai ke disfungsi
multiorgan (MODS) (Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).
Pada umumnya SIRS akan reversibel apabila diobati dengan cepat, namun apabila
sudah terjadi MODS maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk
pemulihannya. Konsekuensi yang paling serius dari sepsis adalah kematian. Apabila
tidak terobati, sepsis akan menyebabkan gangguan fisiologi dan biokimia yang berat
(Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).
1. Kardiovaskular
Volume darah intravaskular berkurang yang disebabkan oleh karena dilatasi
pembuluh vena dan arteri dan peningkatan permeabilitas endotel sehingga akan
terjadi penurunan tekanan darah dan cardiac output (syok septik). Semuanya ini
menyebabkan terjadinya hipoperfusi perifer, dan mengakibatkan peningkatan
serum asam laktat dan berperan dalam depresi myokardial (Russels JA, 2006).
Jatuhnya tekanan diastol akan mengurangi aliran darah distal dan
menyebabkan infark pada jaringan tersebut. Selanjutnya, apabila cardiac output
meningkat, juga akan meningkatkan kerja jantung, sehingga kondisi ini akan
membahayakan pasien yang dengan penyakit jantung iskemik (Russel JA, 2006).
Selain itu terjadi dilatasi biventrikular dan penurunan ejection fraction.
Depresi myokardial meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang muncul pada
pasien syok septik. Disfungsi myokardial terjadi bukan disebabkan oleh
hipoperfusi myokardial tetapi oleh karena faktor-faktor sirkulasi depresan,
misalnya TNF dan IL-1β (Russels JA, 2006).
2. Respiratori
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan pernafasan, dan terjadi
pada 18-38% pasien sepsis berat. Kegagalan nafas ini sebenarnya merupakan
proses yang tidak langsung tetapi karena sekunder dari infeksi dan trauma dari
ventilasi mekanik dan eksaserbasi lung injury (Russels JA, 2006).
Secara patologi dijumpai adanya diffuse alveolar damage (DAD) yang
disebabkan oleh respon inflamasi intra dan perivaskular terhadap adanya
endotoksin dalam darah. DAD dibagi menjadi 3 fase, yaitu fasi eksudatif,
regeneratif, dan fase perbaikan. Proses inflamasi akan menyebabkan dinding
alveolar rusak dan memungkinkan infiltrasi netrofil. Pada fase eksudatif, cairan
eksudat akan merusak alveolar, yang akan ditandai dengan:
• Kolaps alveolar, pendarahan, dan edema
• Formasi membran hyalin pada pada permukaan epitel bronkiolus dan
duktus alveolar. Biasanya membran itu terdiri dari tumpukan fibrin dan
sel-sel epitel yang nekrotik.
• Akumulasi netrofil dalam kapiler alveolar.
Jika dibiarkan tidak diobati, maka pasien tersebut akan berkembang menjadi
oedem pulmonal berat dan gangguan difusi oksigen dan karbondioksida progresif.
Ini yang disebut dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Pada fase regeneratif, terjadi penyembuhan paru-paru ke struktur normall
ataupun berkembang menjadi fibrosis via fase perbaikan (Russels JA, 2006).
3. Renal
Gagal ginjal sering muncul pada sepsis berat dengan angka insidensi sebanyak
23%. Angka kematian pada sepsis akibat komplikasi ginjal dapat mencapai 70%.
Acute tubular necrosis (ATN) disebabkan oleh hipotensi, dehidrasi intravaskular,
pelepasan sitokin dan vasokokstriksi renal (Ronco C, 2006).
4. Koagulasi
Hipoperfusi relatif pada jaringan yang disebabkan oleh penumpukan fibrin
oleh karena ketidakseimbangan antara trombogenesis dan trombolisis pada sepsis.
DIC (disseminated intravascular coagulation), disebut juga consumptive
coagulopathy menyebabkan konsumsi platelet dan faktor-faktor koagulasi
sehingga timbul trombosis yang berkepanjangan dan pendarahan. Komplikasi
yang paling sering dari DIC adalah oklusi pembuluh darah, infark hati, gagal
ginjal akut, koma, pendarahan subarachnoid, pendarahan dan infark kortikal
multipel dan batang otak (Ronco C, 2006).
5. Susunan Saraf Pusat
Sepsis-associated encephalopathy (SAE) juga merupakan komplikasi sepsis
berat yang sering timbul, di mana hampir 71% pasien sepsis menunjukan paling
sedikit derajat ringan disfungsi serebral. Delirium sering muncul pada septik
enseflopati, tetapi etiologinya masih belum diketahui, namun demikian mungkin
disebabkan oleh rusaknya blood-brain barrier, abnormalitas aliran darah serebral,
pendarahan otak oleh karena koagulopati, mikroinfark, hypoxic-ischaemic
encephalopathy (HIE), metastatic cerebral abscess an/or meningitis, dan cytokine
storm.(Ronco C, 2006)
6. Gastrointestinal
Pada umumnya, hati pada syok septik tidak memiliki gambaran yang spesifik.
Jika sumber sepsis berasal dari traktus biliaris (kolangitis), maka abses bisa
terdapat di bagian portal dari traktus. Hipotensi dapat mengakibatkan iskemik
hepatik; secara biokimiawi akan dijumpai peningkatan serum transaminase
(Ronco C, 2006).
7. Kulit dan Ekstremitas
Sering terjadi purpura fulminan, yaitu suatu kondisi pendarahan yang ditandai
dengan pendarahan kutaneus dan nekrosis, biasanya muncul karena adanya DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation). Disebabkan oleh karena trombus
mikrovaskular di dermis.
8. Sindroma Disfungsi Multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
• Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.
• Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan
yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan
urosepsis.
9. Gangguan Metabolik
Hiperglikemia maupun hipoglikemia dapat dijumpai pada sepsis.
Hipoglikemia lebih dulu timbul bisa karena gangguan kesadara. Gangguan
produksi hati dan peningkatan uptake oleh sel. Hiperglikemi sering dijumpai pada
waktu sepsis karena hormon stress seperti epineprin, kortikosteroid dan glukagon
(PERDACI, 2014).
10. Gangguan Hematologi
Leukositosis merupakan gambaran yang paling sering dijumpai, namun bila
nilai leukosit normal bukan berarti sepsis dapat disingkirkan. Nilai leukosit
biasanya > 10.000 mmk dan cenderung bergeser ke kiri dan imatur neutrofil.
Dalam perjalanan selanjutnya bisa terjadi leukopenia akibat penekanan pada
sumsum tulang dengan prognosis jelek. Trombositopenia sering dijumapi pada
sepsis berkisar antara 18 – 50 %. Trombositopenia bisa disebabkan faktor imun
atau terjadinya koagulasi intravaskular diseminata. Petanda koagulasi
intravaskular diseminata adalah meningkatnya D- Dimer dan penurunan
fibrinogen (PERDACI, 2014).

F. Pemeriksaan Penunjang/ Tes Diagnostik

Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai sindrom
sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan
lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam
memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik dimulai
lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu untuk
intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi), sirkulasi
(denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan inisiasi cepat
resusitasi (Russell, 2012). Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga
beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis.
Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien sepsis.
Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas, masalah
tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia dan temuan
takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi kematian pada pasien
dengan sepsis. Pemeriksaan fisik juga harus mencakup evaluasi rinci untuk infeksi fokal,
misalnya tonsilitis eksudatif, nyeri pada sinus, injeksi membran timpani, dan ronki atau
dullness pada auskultasi paru.
Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis. Sebuah riwayat
nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor pemberat harus dicari. Riwayat
lebih lanjut, termasuk adanya mual, muntah, dan diare harus dicatat. Pemeriksaan fisik
yang cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal, nyeri perut, dan bising usus , sangat
penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis perut. Perhatian khusus harus diberikan
temuan fisik memberi kesan sumber umum infeksi atau penyakit tanda Murphy
menunjukkan kolesistitis, nyeri pada titik McBurney menunjukkan usus buntu, nyeri
kuadran kiri bawah menunjukkan divertikulitis, dan pemeriksaan rektal mengungkapkan
abses rektum atau prostatitis.
Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda meningitis, termasuk kaku
kuduk, demam, dan perubahan kesadaran. Pemeriksaan neurologis terperinci adalah
penting. Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan penyakit neurologis
primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari keadaan shock.
Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya nyeri pinggang, disuria,
poliuria, discharge, pemasangan kateter, dan instrumentasi urogenital. Riwayat seksual untuk
menilai resiko penyakit menular seksual. Alat kelamin juga harus diperiksa untuk melihat
apakah ada bisul, discharge, dan lesi penis atau vulva. Pemeriksaan dubur harus dilakukan,
menentukan ada nyeri, pembesaran prostat, konsisten dengan prostatitis. Nyeri adneksa pada
wanita berpotensi abses tuba-ovarium.
Riwayat muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu. Kemerahan, pembengkakan,
dan sendi terasa hangat, terutama jika ada berbagai penurunan kemampuan gerak sendi,
mungkin tanda-tanda sepsis arthritis dan mungkin arthrocentesis. Pasien harus benar-benar
terbuka dan kulit diperiksa untuk melihat selulitis, abses, infeksi luka, atau trauma. Luka
yang mendalam, benda asing sulit untuk mengidentifikasi secara klinis. Petechiae dan
purpura merupakan infeksi Neisseria meningitidis atau DIC. Ruam seluruh tubuh merupakan
eksotoksin dari pathogen seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes
(Shapiro et.al,2010).
Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang dalam menegakkan diagnosis.Pada tabel dibawah dijelaskan hal-hal yang
menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis.

Indikator laboratorium pada Penderita Sepsis (LaRosa,2010)


Pemeriksaan Temuan Uraian
Laboratorium
Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoxemia
leukopenia menyebabkan leukopenia
Hitung trombosit Trombositosis atau Peningkatan jumlahnya
trombositopenia diawal menunjukkan
respon fase akut;
penurunan jumlah
trombosit menunjukkan
DIC
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C; Abnormalitas dapat
defisiensi antitrombin; diamati sebelum
peningkatan D-dimer; kegagalan organ dan tanpa
pemanjangan PT dan PTT pendarahan
Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal akut
Asam laktat As.laktat>4mmol/L(36mg Hipoksia jaringan
/dl)
Enzim hati Peningkatan alkaline Gagal hepatoselular akut
phosphatase, AST, ALT, disebabkan hipoperfusi
bilirubin
Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan level
cytokin proinflammatory
C-reaktif protein (CRP) Meningkat Respon fase akut
Procalcitonin Meningkat Membedakan SIRS
dengan atau tanpa infeksi

Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur


radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012)
G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang


perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam
pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a)
breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi
bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk
mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65
mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi
miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah
akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen
di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap
pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi
jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa
peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila
kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi
vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60
mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin
dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan
adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-
0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis
digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada
hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu
selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara
enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi
adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut.
Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol (Chen dan
Pohan, 2007).
Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi menjadi :
1. Nonfarmakologi
Mempertahankan oksigenasi ke jaringan dengan saturasi >70% dengan
melakukan ventilasi mekanik dan drainase infeksi fokal.
2. Sepsis Akut
Menjaga tekanan darah dengan memberikan resusitasi cairan IV dan
vasopressor yang bertujuan pencapaian kembali tekanan darah >65 mmHg,
menurunkan serum laktat dan mengobati sumber infeksi.
a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai resusitasi
cairan.
b. Terapi dengan vasopresor (mis., dopamin, norepinefrin, vasopressin) bila
rata-rata tekanan darah 70 sampai 75 mm Hg tidak dapat dipertahankan
oleh hidrasi saja. Penelitian baru-baru ini membandingkan vasopresin dosis
rendah dengan norepinefrin menunjukkan bahwa vasopresin dosis rendah
tidak mengurangi angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin antara
pasien dengan syok sepsis.
c. Memperbaiki keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi jaringan
dilakukan ventilasi mekanik ,bukan dengan memberikan bikarbonat.
d. Antibiotik diberikan menurut sumber infeksi yang paling sering sebagai
rekomendasi antibotik awal pasien sepsis. Sebaiknya diberikan antibiotik
spektrum luas dari bakteri gram positif dan gram negative.cakupan yang
luas bakteri gram positif dan gram negative (atau jamur jika terindikasi
secara klinis).
e. Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk rekayasa
genetika aktifasi protein C, telah disetujui untuk digunakan di pasien
dengan sepsis berat dengan multiorgan disfungsi (atau APACHE II skor
>24); bila dikombinasikan dengan terapi konvensional, dapat menurunkan
angka mortalitas.
3. Sepsis kronis
Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan umumnya terapi dilanjutkan
minimal selama 2 minggu.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a) Airway : jalan nafas dan pernapasan merupakan prioritas utama, untuk
mendapatkan oksigenasi yang cukup. Tambahan oksigen diperlukan untuk
menjaga oksigen dalam batas normal.
b) Breathing : frekuensi pernapasan > 24 x permenit, menandakan gejala yang
signifikan, kaji saturasi oksigen, pemberian oksigen dengan Non Rebrething
Mask untuk memenuhi kebutuhan oksigen, adanya bunyi nafas tambahan
wheezing dapat juga disertai ronchi, terdapat bunyi pekak pada perkusi paru
pada kasus edema paru.
c) Circulation : nadi lebih dari 100x per menit, dapat terjadi hipotensi, terdapat
tanda cyanosis, akral dingin, terdapat tanda koagulasi darah pada lapisan kulit,
suhu pada tahap awal > 37,5 dan pada kegagalan multi organ dapat terjadi
hipotermi < 36,5 derajat celcius.
d) Distability : cemas, bingung sampai dengan penurunan kesadaran/ koma.
e) Exposure : pada kasus kegagalan multi organ dapat ditemukan edema.
2. Pengkajian Sekunder
a) Identitas pasien : nama, ttl, alamat dll.
b) Keluhan utama : pada keadaan syok keluhan yang sering di keluhankan adalah
sesak nafas atau sulit bernapas, mudah lelah.
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Riwayat trauma : perdarahan di lapisan bawah kulit
2) Riwayat penyakit kardiopulmonal : sesak nafas
3) Riwayat infeksi : hipertermi pada tahap akhir hipotermi
3. Pemeriksaan Fisik
a) Kulit: suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara,
karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia), Warna pucat (kemerahan
pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi
terminal)dan Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
b) Tekanan darah: Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi
pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi
pada awal syok septik)
c) Status jantung : Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
d) Status respirasi : Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi)
kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi
menjelek)
e) Status Mental: Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan
orientasi menurun, sopor sampai koma.
f) Fungsi Ginjal: Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
g) Fungsi Metabolik: Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada
awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea
h) Sirkulasi: Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi
pada syok kardiogenik
i) Keseimbangan Asam Basa : Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun
(penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran
pintas di paru)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan O2 edema paru
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolar; ketidakseimbangan perfusi-ventilasi.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan peurunan
konsentrasi hemoglobin dalam darah; hipovolemia; gangguan pertukaran;
perubahan kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen.
4. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan volume cairan.
5. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
6. Risiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan primer atau sekunder tidak
adekuat, kulit yang rusak.
C. Rencana Asuhan Keperawatan/ Nursing Care Plan (NCP)
RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSIS
No TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN RASIONAL
(NOC) (NIC)

1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan klien pada posisi semi 1. Untuk memaksimalkan komplain
nafas berhubungan keperawatan selama ... x fowler alveoli
dengan 24 jam . pasien akan : 2. Auskultasi suara nafas, catat bila 2. Whezing atau mengi
Ketidakseimbangan - TTV dalam rentang terdapat suara tambahan menandakan adanya gangguan
antara suplai dan normal
kebutuhan O2 edema - Menunjukkan jalan pola nafas
paru napas yang paten 3. Monitoring saturasi oksigen
3. Memonitoring Saturasi oksigen menunjukan ketidakefektifan
Mendemostrasikan suara
napas yang bersih, tidak dan frekuensi nafas
pola nafas memenuhi kebutuhan
ada sianosis dan dypsneu. oksigen via ventilasi
4. Untuk membatu pemenuhan
4. Berikan terpai oksigen
kebutuhan oksigen
5. Ajarkan teknik relaksasi 5. Teknik relaksasi dapat
membantu remodeling pola nafas
menjadi lebih baik

2. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan Mandiri 1. Memantau dan mengatasi masalah
gas berhubungan keperawatan selama ....x 1. Kaji suara paru; frekuensi napas, potensial. Pengkajian fungsi
dengan perubahan 24 jam status pernapasan : kedalaman, dan usaha napas; pernafasan dengan interval yang
membran kapiler- pertukaran gas tidak akan dan penggunaan otot bantu nafas teratur adalah penting karena
alveolar; terganggu pernafasan yang tidak efektif dan
ketidakseimbangan Kriteria hasil : adanya kegagalan dapat
perfusi-ventilasi. - TTV dalam batas berkembang dengan cepat dan
normal sebagai indikator keefektifan
- GDA dalam batas penggunaan alat penunjang
normal (PaO2. PaCO2, 2. Pantau saturasi O2 dengan 2. Untuk mengukur hemoglobin
PH arteri, dan saturasi oksimeter nadi yang tersaturasi oleh oksigen
O2) 3. Pantau hasil gas darah 3. Untuk mengetahui adanya
- Menunjukkan ventilasi (misalnya, kadar PaO2 yang kelainan fungsi pertukaran gas
yang adekuat rendah, dan PaCO2 yang tinggi
- Oksigenasi adekuat menunjukkan pernapasan)
- Tidak gelisah, sianosis, 4. Pantau kadar elektrolit 4. Untuk mengetahui elektrolit
somnolen sebagai indikator keadaan status
- Frekuensi, irama, bunyi cairan
pernapasan normal. 5. Pantau status mental (misalnya, 5. Hipoksemia sistemik dapat
tingkat kesadaran, gelisah, dan ditunjukkan pertama kali oleh
konfusi) gelisah dan peka rangsang
kemudian oleeh penurunan mental
progesif
6. Manajemen jalan napas (NIC) 6. Mempertahankan pernafasan yang
- Identifikasi kebutuhan adekuat
pasien terhadap pemasangan
jalan napas aktual atau
potensial
- Auskultasi suara nafas,
tandai area penurunan atau
hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
- Pantau status pernapasan
dan oksigenasi sesuai
dengan kebutuhan
7. Pengaturan hemodinamik (NIC) 7. pemantauan terus menerus
- Auskultasi bunyi jantung terhadap status hemodinamik,
- Pantau dan dokumentasikan respirasi, dan tanda-tanda vital
frekuensi, irama, dan denyut lain akan menjamin early
jantung detection bisa dilaksanakan
- Pantau adanya edema perifer, dengan baik sehingga dapat
distensi vena jungularis, dan mecegah pasien jatuh kepada
bunyi jantung S3 dan S4 kondisi lebih parah.
- Pantau fungsi alat pacu
jantung, jika sesuai
8. Ajarkan pada klien teknik 8. Untuk meningkatkan ekspansi
bernapas dan relaksasi dada maksimal sehingga mudah
bernafas, yang meningkatkan
kenyamanan fisiologi/psikoologi
9. Jelaskan pada klien alasan 9. Pemberian oksigen bisa
pemberian oksigen dan mengurangi distres respirasi dan
tindakan lainnya sianosis
Kolaboratif
10. Konsultasikan dengan dokter 10. Sebagai bahan evaluasi setelah
tentang pentingnya pemeriksaan melakukan intervensi
gas darah arteri (GDA) dan
penggunaan alat bantu yang
dianjurkan sesuai dengan
adanya perubahan kondisi
pasien 11. Sebagai bahan evaluasi setelah
11. Laporkan perubahan pada data melakukan intervensi
pengkajian terkait (misalnya
sensorium pasien, suara napas,
pola napas, analisis gas darah
arteri, sputum, dan efek obat)

3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi adanya pucat, sianosis, 1. Vasokonstriksi sistemik
perfusi jaringan keperawatan selama kuli dingin/lembab, catat diakibatkan oleh penurunan curah
perifer berhubungan .....x24 jam perfusi kekuatan nadi perifer. jantung mungkin dibuktikan oleh
dengan peurunan penurunan perfusi kulit dan
jaringan adekuat.
konsentrasi penurunan nadi.
Kriteria Hasil: 2. Observasi TTV
hemoglobin dalam 2. Untuk memonitoring keadaan
darah; hipovolemia;  Membran mukosa pasien
gangguan pertukaran; merah muda 3. Pertahankan tirah baring 3. Membantu untuk menurunkan
perubahan  Conjunctiva tidak rangsangan simpatis,
kemampuan anemis meningkatkan relaksasi
hemoglobin untuk 4. Amati warna kilit, kelmbaban, 4. Adanya pucat, dingin, kulit
 Akral hangat suhu dan CRT
mengikat oksigen. lembab dan CRT lambat mungkin
 TTV dalam batas berkaitan dengan vasokontriksi
normal. pembuluh darah.
 Tidak ada edema 5. Kolaborasi pemberian obat 5. Merileksasikan otot-otot polos
vaskuler.
vasodilator

4. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau dan catat kehilangan darah 1. Memantau jumlah kehilangan
berhubungan dengan keperawatan selama 1x 24 pada pasien (jumlah,warna) cairan.
kehilangan volume jam Tidak terjadi syok 2. Pantau adanya peningkatan
cairan. hipovolemik denyut nadi dan penurunan
Kriteria hasil: Klien tekanan darah 2. Ini merupakan tanda awal syok.
tampak tenang 3. Pantau jumlah urin.
4. Pantau terjadinya gelisah, 3. Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu
penurunan kesadaran dan haus merupakan tanda syok
5. Pantau pemeriksaan laboratorium, 4. Rasa haus merupakan tanda awal
terutama penutunan HB dan HT. syok.
Segera lapor ke ahli bedah
ortopedi untuk penanganan 5. Mengetahui terjadinya
selanjutnya. hemokosentrasi dan terjadinya
syok hipovolemik

5. Risiko Penurunan Setelah diberikan asuhan 1. Pantau TTV 1. adanya pucat,dingin,kulit


curah jantung b.d keperawatan diharapkan lembab dan masa pengisian
ketidakseimbangan klien mau berpartisipasi kapiler lambat mungkin
cairan mempengaruhi dalam aktivitas yang berkaitan dengan vasokontriksi
sirkulasi, kerja menurunkan TD/beban atau mencerminkan
miokardial dan kerja jantung dengan KH : 2. Catat keberadaan,kualitas dekompensasi/penurunan curah
tahanan vaskuler - Tanda Vital dalam denyutan sentraldan perifer jantung
sistemik, gangguan rentang normal 2. Dapat mengindikasikan gagal
frekuensi, irama, (Tekanan darah, Nadi, jantung, kerusakan ginjal atau
konduksi jantung respirasi) vascular.
(ketidak seimbangan - Irama dan frekuensi 3. Auskultasi tonus jantung dan 3. Membantu untuk menurunkan
elektrolit). jantung stabil dalam bunyi nafas rangsang
rentang normal simpatis;meningkatkan
- Dapat mentoleransi relaksasi
aktivitas, tidak ada 4. Amati warna kulit, kelembaban, 4. Menurunkan stress dan
kelelahan suhu,dan masa pengisian kapiler ketegangan yang
- Tidak ada edema paru, mempengaruhi tekanan darah
perifer, dan tidak ada dan perjalanan penyakit
asites hipertensi.
- Tidak ada penurunan 5. Respon terhadap terapi obat
kesadaran “stepeed”(yang terdiri atas
- AGD dalam batas 5. Catat edema umum/tertentu diuretic.inhibitorsimpatis dan
normal vasodilator)tergantung pada
- Tidak ada distensi vena individu dan efek sinergis
leher 6. Berikan lingkungan tenang dan obat.karena efek samping
- Warna kulit normal nyaman,kurangi tersebut,maka penting untuk
aktivitas/keributan lingkungan . menggunakan obat dalam
jumlah paling sedikit dan dosis
7. batasi jumlah pengunjung dan paling rendah.
lamanya tinggal.

8. Pertahankan pembatasan
aktivitas seperti istirahat
ditempat tidur/kursi;jadwal
periode istirahat tanpa
gangguan;bantu pasien
melakukan perawatan diri sesuai
kebutuhan.

9. Pantau respon terhadap obat


untuk mengontrol tekanan darah
6. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan a. Pantau tanda dan gejala infeksi a. Tanda perkiraan infeksi
berhubungan dengan keperawatan selama…… b. Pantau hasil laboratorium
pertahanan primer pasien tidak mengalami b. Anemia dapat terjadi
atau sekunder tidak infeksi dengan kriteria osteomielitis, leukositosis
adekuat, kulit yang hasil: biasanya ada dengan proses
rusak.  Factor resiko c. Pengendalian infeksi : infeksi
infeksi akan hilang, Ajarkan pasien teknik mencuci c. Mencegah dan pengendalian
dibuktikan oleh tangan yang benar infeksi
penyembuhan luka. Ajarkan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan sewaktu
masuk dan keluar ruang pasien.
d. Pertahankan teknik aseptif d. Dapat mencegah kontaminasi
silang dan kemungkinan infeksi
e. Berikan terapi e. Antibiotik spektrum luas dapat
antibiotik:........................... digunakan secara profilaksis atau
dapat ditujukan pada
mikroorganisme khusus.
f. Adanya drainase purulen akan
f. Pertahankan teknik isolasi memerlukan kewaspadaan
luka/linen untuk mencegah
kontaminasi silang.
DAFTAR PUSTAKA

Burdette SD. Systemic inflammatory response syndrome [Internet]. [updated 2014; cited
2014 Feb 7]. Available from: Medscape
Cavaillon, J. & Adrie, C., 2009. Sepsis And Non-infectious Systemic Inflamation for Bilogy
To Critical care. s.l.:Wiley.
Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9
Gao, F., Melody. T., Daniels, F.D., Giles, S., Fox, S., 2005. The impact of compliance with 6-
hour and 24-hour sepsis bundles on hospital mortality in patients with severe sepsis: a
prospective observational study. Critical Care. 9(6): R764–R770.
Guntur, 2008. Immunnopatobiologik sepsis dan penatalaksanaannya. s.l.:FK UNS Sebelas
Maret University Press.
LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated 2013;
cited 2014 Feb 7]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/sepsis/
Martin GS, Mannino DM, Eaton S and Moss M. The epidemiology of sepsis in the United
States from 1979 through 2000. N Engl J Med, [internet] [cited 2016 feb 16 ; 348:
1546-1554], available from : PubMed, 2003
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi, (2013), Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA
NIC-NOC, Jakarta, Medi Action Publishing.
Opal, S.M., 2012. Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor 2012: 5 Books in 1.
Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925.
PERDACI (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia). Penatalaksanaan Sepsis dan
Syok Septik : Surviving Sepsis Campaign Bundle, September 2014 ; 1- 24
Ronco C, Bellomo R, Brendolan A, in Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction,
Karger, 2004 Russell JA, in Management of Sepsis; NEJM; 2006; 355: 1699-713
Russell, J.A., 2012. Shock Syndromes Related to Sepsis. In: Goldman, L., and Schaffer, A.I.,
ed. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 658-665.
Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z., 2010. Sepsis Syndromes. In: Marx et al., ed.
Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier, 1869-1879.
Sole, et al (2006). Introduction to critical care nursing. 4th Ed. St. Louis: Elsevier.

Wilkinson, Judith M. 2014. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC. Ed.9. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai