Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEJANG DEMAM


DI RUANG ANAK
RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

Dosen Pembimbing :
Ns. Evy Marlinda, M.Kep. Sp.Kep.An

Oleh:

Nama : Helda Maghfurah


NIM : P07120117054

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARBARU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Helda Maghfurah


NIM : P07120117054
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan
Kejang Demam Di Ruang Anak RSUD Ratu Zalecha Martapura

Martapura, Juli 2019

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

Asmawati, S.Kep., Ners Ns. Evy Marlinda, M.Kep. Sp.Kep.An


LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN KEJANG DEMAM

A. KONSEP DASAR
1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
38oC. Yang disebabkan oleh suatu proses ekstranium, biasanya terjadi pada usia
3 bulan-5 tahun.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu mencapai >38C). kejang demam dapat terjadi karena proses
intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi
anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-
NOC, 2013).
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi
bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan
neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar
4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya
sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak
yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi setelah usia
5 tahun. (Dona L.Wong, 2008)

2. Etiologi Kejang Demam


Kejang demam disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Umumnya berlangsung singkat, dan
mungkin terdapat predisposisi familial. Dan beberapa kejadian kejang dapat
berlanjut melewati masa anak-anak dan mungkin dapat mengalami kejang non
demam pada kehidupan selanjutnya.
Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu:
a. Riwayat kejang dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Tingginya suhu badan sebelum kejang makin tinggi suhu sebelum kejang
demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
d. Lamanya demam sebelum kejang semakin pendek jarak antara mulainya
demam dengan kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.

3. Patofisiologi Kejang Demam


Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
4. Nursing Pathway

Toksik ,trauma Penyakit infeksi ekstracranial dll

Merangsang hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh

HIPERTERMI

Pengeluaran mediator kimia epinefrin dan prostaglandin

Merangsang peningkatan potensi aksi pada neuron

Merangsang perpindah ion K+ dan ion N+ secara


cepat dari luar sel menuju ke dalam sel

Meningkatkan fase depolarisasi neuron


dengan cepat

KEJANG
Spasme otot Spasme Bronkus
ekstermitas Penurunan kesadaran

Kekakuan otot pernafas


Resiko tinggi
cedra

Pola nafas tidak efektif


5. Tanda dan gejala klinis Klinis Kejang Demam
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi
atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam
biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk
beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari
biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya
berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih
dari 15 menit.
Gejala berupa :
a. Suhu anak tinggi.
b. Anak pucat / diam saja
c. Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
d. Umumnya kejang demam berlangsung singkat.
e. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan
atau kekakuan fokal
f. Serangan tonik klonik (dapat berhenti sendiri)
g. Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
h. Seringkali kejang berhenti sendiri.
Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis sebagai berikut :
1) Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
2) Kejang umum tonik dan atau klonik
3) Umumnya berhenti sendiri
4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis sebagai berikut :
1) Kejang lama > 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.
6. Klasifikasi Kejang Demam
a. Kejang demam sederhana
1) Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi
2) Sebelumnya tidak ada riwayat cedra otak oleh penyakit apapun
3) Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6
tahun
4) Lamanya kejang berlangsung < 20 menit
5) Kejang tidak bersifat tonik klonik
6) Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7) Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologi atau
abnormalitas perkembangan
8) Kejang tidak berulang dalam waktu sngkat
9) Tanpa gerakan focal dan berulang dalam 24 jam (H. Nabiel Ridha, 2014)
b. Kejang demam kompleks
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik;
mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-
ulang pada tangan, dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa otomatisme
tatapan terpaku. (Cecily L.Betz dan Linda A.Sowden, 2002)

7. Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam


a. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik.
EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat
ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi.
b. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi
yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus
dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan
dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
c. Darah
1) Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mq/dl)
2) BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4) Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi, pendarahan penyebab kejang.
5) Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi
6) Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB
masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus
untuk transiluminasi kepala.

8. Komplikasi
Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan :
a. Kerusakan sel otak
b. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15
menit dan bersifat unilateral
c. Kelumpuhan

9. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan
1) Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam
yang diberikan melalui interavena atau indra vectal.
Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan).
Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama
setelah 20 menit.
2) Turunkan panas
Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
3) Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama, walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya
bila aga gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
4) Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan
profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk
profilaksis intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/hgBB/hari.
5) Penanganan sportif
a) Bebaskan jalan napas
b) Beri zat asam
c) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
d) Pertahankan tekanan darah
b. Pencegahan
1) Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri
diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.
2) Pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikasi
Dapat digunakan :
Penobarbital : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
Fenitorri : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
Diazepam : (indikasi khusus)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM
I. Pengkajian Keperawatan
a) Anamnesa
1) Aktivitas atau Istirahat
Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas, bekerja, dan lain-lain
2) Sirkulasi
Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sinosis
Posiktal : Tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan pernafasan
3) Intergritas Ego
Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan
Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya
Perubahan dalam berhubungan
4) Eliminasi
1. Inkontinensia epirodik
2. Makanan atau cairan
3. Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang
5) Neurosensori
1. Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing
riwayat trauma kepala, anoreksia, dan infeksi serebal
2. Adanya area (rasangan visual, auditoris, area halusinasi)
3. Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis
6) Kenyamanan
1. Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal)
2. Nyeri abnormal proksimal selama fase iktal
7) Pernafasan
1. Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat
peningkatan sekresi mulus
2. Fase posektal : Apnea
8) Keamanan
1. Riwayat terjatuh
2. Adanya alergi
9) Interaksi Sosial
Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan
sosialnya
b) Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas
1. Perubahan tonus otot atau kekuatan otot
2. Gerakan involanter atau kontraksi otot atau sekelompok otot
2) Integritas Ego
1. Pelebaran rentang respon emosional
2. Eleminasi
Iktal : penurunan tekanan kandung kemih dan tonus spinter
Posiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkonmesia
3) Makanan atau cairan
1. Kerusakan jaringan lunak (cedera selama kejang)
2. Hyperplasia ginginal
4) Neurosensori (karakteristik kejang)
1. Fase prodomal : Adanya perubahan pada reaksi emosi atau respon
efektifitas yang tidak menentu yang mengarah pada fase area.
2. Kejang umum
Tonik–klonik : kekakuan dan postur menjejak, mengenag
peningkatan keadaan, pupil dilatasi, inkontineusia urine
3. Fosiktal : pasien tertidur selama 30 menit sampai beberapa jam,
lemah kalau mental dan anesia
4. Absen (patitmal) : periode gangguan kesadaran dan atau makanan
5. Kejang parsial
Jaksomia atau motorik fokal : sering didahului dengan aura, berakhir
15 menit tdak ada penurunan kesadaran gerakan ersifat konvulsif
5) Kenyamanan
Sikap atau tingkah laku yang berhati-hati
Perubahan pada tonus otot
Tingkah laku distraksi atau gelisah
6) Keamanan
Trauma pada jaringan lunak
Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh

II. Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermi Berhubungan dengan proses penyakit
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kerusakan sel neuron otak
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan spasme otot ektermitas
4. Risiko infeksi b/d penurunan imunitas tubuh
5. Kurang pengetahuan keluarga tentang cara penanganan kejang berhubungan
dengan kurangnya informasi.

III. Rencana Keperawatan


No Dx Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Hipertermi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor suhu tubuh sesering mungkin
berhubungan keperawatan selama 2. Monitor warna kulit
dengan proses 2x24 jam diharapkan 3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
infeksi tidak terjadi hipertermi 4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
atau peningkatan suhu 5. Tingkatkan sirkulasi udara dengan
tubuh dengan kriteria membatasi pengunjung
hasil: 6. Berikan cairan dan elektrolit sesuai
a. Suhu tubuh dalam kebutuhan
rentan normal (36,5- 7. Menganjurkan menggunakan pakaian
37oC) yang tipis dan menyerap keringat
b. Nadi dalam rentan 8. Berikan edukasi pada keluarga tentang
normal 80-120x/menit kompres hangat dilanjutkan dengan
c. RR dalam rentan kompres dingin saat anak demam
normal 18-24x/menit 9. Kolaborasi dengan dokter dalam
d. Tidak ada perubahan pemberian obat penurun panas
warna kulit dan tidak
ada pusing.
2. Gangguan perfusi Setelah diberikan asuhan 1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
jaringan cerebral keperawatan selama 2. Catat adanya penginkatan TD
berhubungan 2x24 jam diharapkan 3. Monitor jumlah dan irama jantung
dengan kerusakan pasien tampak tidak 4. Monitor tingkat kesadaran
neuromuskular lemah, tidak pucat, kulit 5. Monitor GCS
otak tidak kebiruan dengan
kriteria hasil:
a. TD sistole dan
diastole dalam batas
normal 80-100/60
mmHg
b. RR normal 20-30
x/menit
c. Nadi normal 80-90
x/menit
d. Suhu normal 36-37
derajat celcius
e. GCS 456
3. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Sediakan lingkungan yang aman
cedra tindakan keperawatan untuk pasien
berhubungan selama 2x24 jam 2. Identifikasi kebutuhan dan
dengan spasme diharapkan masalah tidak keamanan pasien
otot ekstermitas menjadi aktual dengan 3. Menghindarkan lingkungan yang
kriteria hasil: berbahaya
a. Tidak terjadi kejang 4. Memasang side rail tempat tidur
b. Tidak terjadi cedra 5. Menyediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
6. Membatasi pengunjung
7. Memberikan penerangan yang cukup
8. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Edukasi tentang penyakit kepada
keluarga.
4. Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep 1. Batasi pengunjung
penurunan 3x 24 jam infeksi 2. Bersihkan lingkungan pasien secara
imunitas tubuh terkontrol, status imun benar setiap setelah digunakan
adekuat pasien
Kriteria Hasil : 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
a. Bebas dari tanda merawat pasien, dan ajari cuci
dangejala infeksi. tangan yang benar
b.Keluarga tahu tanda- 4. Anjurkan pada keluarga untuk selalu
tanda infeksi. menjaga kebersihan klien
c. Angka leukosit normal 5. Tingkatkan masukkan gizi yang
(9000– 12.000/mm3) cukup
6. Tingkatkan masukan cairan yang
cukup
7. Anjurkan istirahat
8. Ajari keluarga cara
menghindari infeksi serta tentang
tanda dan gejala infeksi dan segera
untuk melaporkan keperawat
kesehatan
9. Pastikan penanganan aseptic semua
daerah IV (intra vena)
10. Kolaborasi dalam pemberian therapi
antibiotik yang sesuai, dan anjurkan
untuk minum obat sesuai aturan.
.
5. Kurangnya Setelah di lakukan 1. Informasi keluarga tentang kejadian
pengetahuan tindakan keperawatan kejang dan dampak masalah, serta
keluarga tentang selama 2x24 jam beritahukan cara perawatan dan
penanganan keluarga mengerti pengobatan yang benar.
penderita selama maksud dan tujuan 2. Informasikan juga tentang bahaya
kejang dilakukan tindakan yang dapat terjadi akibat pertolongan
berhubungan perawatan selama kejang. yang salah.
dengan kurangnya kriteria hasil : 3. Ajarkan kepada keluarga untuk
informasi. a. Keluarga mengerti cara memantau perkembangan yang
penanganan kejang terjadi akibat kejang.
dengan 4. Kaji kemampuan keluarga terhadap
b.Keluarga tanggap dan penanganan kejang.
dapat melaksanakan
peawatan kejang.
c. Keluarga mengerti
penyebab tanda yang
dapat menimbulkan
kejang.
DAFTAR PUSTAKA

Amid dan Hardhi, 2013. Diagnosis keperawatan, NANDA NIC-NOC, EGC,


Jakarta.
Carolin, Elizabeth J. 2002. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta.
Carpenito, L.J.,2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, EGC,
Jakarta.
Hidayat, Azis Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1.
Jakarta: Salemba medika.
Judith M. Wilkinson, ( 2016) Diagnosis keperawatan NANDA NIC-NO, Edisi
:10.EGC ,Jakarta
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(2007). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi: 11. Jakarta: Infomedika
Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor:
Monica Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG
Hidayat, Azis Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1.
Jakarta: Salemba medika.
Syaifudin (2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Editor:
Monica Ester. Edisi: 3. Jakarta: ECG.

Anda mungkin juga menyukai