Tatalaksana CKD
Tatalaksana CKD
I. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada
gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa
PGK tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor
yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus,
hiperurisemia, dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan
cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi
sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti
ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.
• Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karenakonstipasi,
katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells,
augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat
kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefronbagian distal.
Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda
kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro
intestinal.1
• Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium
bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus
dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.1
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high
bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidismeberhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah
sebagai berikut3:
Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah
multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang
memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid,
keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai dampak
negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka
anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.20
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab anemia
adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan preparat besi.
Terapi besi pada PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi
besi, terlebih dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan untuk
mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai status besi cukup, yaitu
feritin serum >100μg/L dan saturasi transferin >20%. Cara pemberian:
Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg, diencerkan
dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit.
Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
bila serum feritin ≤30μg/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
bila serum feritin 31 sampai ≤100 μg/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu
pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase
pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari
selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi
EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30%
pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan.
Syaratpemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan
untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4
% dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.
Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu
yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat.
yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum
karbonat.
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang dapat mengarah
pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan tulang yang parah akibat
kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D
atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu harus dimulai
terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
Neuropati Perifer
Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai
tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan
tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya.1
KESIMPULAN
Penderita PGK dianjurkan untuk mengontrol kandungan protein pada
nutrisinya,berdasarkan penelitian-penelitian terdapat pengaruh yang menguntungkan
terhadapmetabolik bila diberikan diet rendah protein atau diet sangat rendah protein
ditambah dengan ketoanalog seperti mengontrol tekanan darah, berkurangnya gejala
uremia,asidosis metabolik, hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbah nitrogen
dan kadar PTH akan turut memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, meningkatkan
respon terhadap terapi eritropoietin dan mengontrol anemia. Diet rendah protein juga
menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerulus dan proteinuria sehingga dapat
memperlambat progresifitas PGK. Diet rendah protein ini aman dan tidak menimbulkan
kehilangan massa otot, fatigue dan malnutrisi. Faktor-faktor yang dapat mempercepat
progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam
basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat
memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti
hemodialisis atau CAPD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung. Penerbit
ITB: 2006;465-514.
2. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk
among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7
3. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh
dari:
http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD)
Patients, diunduh dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_redu
ction.pdf
5. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease: A
comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of
Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-
89.
6. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres
Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63.
7. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood
pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney,
Lippincot, William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137
16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney disease:
evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality Initiative.
Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic
renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
18. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik
predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
19. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255
20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension,
Annual meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit
Universitas Diponegoro:133-136.
22. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.