Anda di halaman 1dari 18

Divisi Nefrologi Hipertensi Dept.

Ilmu Penyakit Dalam


FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan

I. PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada
gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa
PGK tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor
yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus,
hiperurisemia, dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan
cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi
sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti
ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.

II. MANIFESTASI GAGAL GINJAL KRONIK

1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa


• Homeostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungannatrium
dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah
terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau
natrium dari proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler
(CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti
terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake
garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki
gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.1

• Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karenakonstipasi,
katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells,
augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat
kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefronbagian distal.
Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda
kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro
intestinal.1

• Asidosis metabolik

Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium
bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus
dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.1

2.Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat

Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high
bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidismeberhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :

(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- )


danmenimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar
para tiroid. .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi
PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh
kalsiferol ).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang
rendah dapatmenimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak
langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh
karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar
PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus
gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari
paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu
osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa
penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau
peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan
deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai
kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini
biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.1,2
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi
fosfat di saluran cerna.1,2
III. PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V PRE-DIALISIS

Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi1:


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya. 3.Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG
lebihlanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasiglomerulus.1

Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:

1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif


2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah 1:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
 Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
 Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
 Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly progresif)
 Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
 Mengendalikan infeksi jika terjadi
 Diet protein yang proporsional
 Mengendalikan hiperfosfatemia
 Terapi terhadap hiperurisemia
 Terapi keadaan asidosis metabolik
 Mengontrol kadar gula darah
3. Terapi alleviative gejala azotemia
 Pembatasan konsumsi protein hewani
 Terapi gatal-gatal pada kulit
 Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
 Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
 Terapi kelainan tulang dan sendi
 Terapi anemia

 PEMBATASAN ASUPAN PROTEIN

Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah
sebagai berikut3:

1. Syarat Dalam Menyusun Diet


Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan
ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
 Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
 kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein dengan nilai
biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti protein hewani sebagai
variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan
sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah
mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan
pada PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa protein dari
kedelai dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang
diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain
mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat menurunkan eksresi
urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantung yang sering
dialami pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang
diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu ternyata dapat
menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut
diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .3,4,5
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan pemberian protein 0,3
gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino esensial atau campuran asam
amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat mengurangi asupan nitrogen sekaligus
memenuhi kebutuhan fisiologis asam amino asensial dapat terpenuhi. Saat ini dampak diet
rendah protein disertai dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak
dibicarakan maupun diteliti. Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino
esensial dan dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan
protein tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.5,6
Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh jangka panjang diet rendah
protein ditambah asam keto dan ACE-inhibitor terhadap metabolisme dan proteinuria pada
pasien nefropati diabetik. Setelah 12 bulan dijumpai penurunan proteinuria yang signifikan
terkait dengan perbaikan parameter metabolisme protein dan dapat memperlambat
progresi penyakit ginjal terkait dengan penurunan klirens inulin.7
Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB) dengan suplementasi asam keto dan dengan
pengawasan yang ketat ternyata dapat menunda dialisis dalam kurun waktu 1 tahun. 8
Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam pencegahan
progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD disertai suplemen ketoanalog
menurunkan proteinuria serta tekanan darah lebih terkontrol dibandingkan dengan grup
yang mendapat asupan LPD. Penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio intake protein
nabati pada diet VLPD dengan ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata
dijumpai efek vasodilatasi melalui respon dari kadar BCAA yang mengakibatkan penurunan
tekanan darah sehingga dapat menghambat progresifitas PGK.9
Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism protein dan asam amino antara
lain6:
 mencegah dekarboksilasi asam amino
 mengalami konversi menjadi asam amino
 meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen.
 Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)
 Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
 Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500
ml.
 Garam <2 garam/hari
 Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
 Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari)
 Kalsium 1400-1600 mg/hari
 Sumber Vitamin dan Mineral
Pasien yang mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan
perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat
selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang
mengalir dan untuk buah dapat dimasak.3
Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter
metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi ‘intoleransi protein’ ketika mereka
makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan
untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru. Kedua, protein menghasilkan
nitrogen yang merupakan sisa metabolime protein dan harus diekskresikan melalui ginjal ,
bila terakumulasi akan menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya
seperti guanidine, aromatic/aliphatic amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya
tinggi dalam darah. Urea merupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya
akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang
banyak mengandung protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain
seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh
Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang
mendapat perhatian nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara
lain > 30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l),
hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl).
Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan
risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan sindroma metabolik, hipertensi dan
disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.10,11,12,13

Tabel 1. Alasan untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK(Fouque,2007)14


________________________________________________________________
 Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein
 Menurunkan beban nefron yang masih tersisa
 Memperbaiki resistensi insulin
 Mengurangi stress oksidasi
 Mengurangi proteinuria
 Menurunkan kadar hormon paratiroid
 Memperbaiki profil lipid
 Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor
 Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai
40%
 Number needed to treat yang menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari
kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat diet rendah protein )
 Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK

HAMBATAN IMPLEMENTASI ASUPAN RENDAH PROTEIN


Implementasi diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya
pada rencana pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan
untuk melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil dari studi
MDRD yang menRekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis
(K/DOQI,2002):
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis menurut K/DOQI 2002:
Untuk individu dengan PGK (LFG<25 ml/menit) yang belum menjalani hemodialisis regular,
harus dipertimbangkan pemberian diet rendah protein 0,6 gr/kg BB/hari.
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis berdasarkan K/DOQI 2002
yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG < 25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis
regular, maka diberikan diet rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak
dapat menerima jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang
adekuat, perlu diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari.16
 Bila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet rendah protein, tinggi energi dapat
mempertahankan status nutrisi dan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen
yang toksis, mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik.
 Bukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan
memperlambat kemungkinan terapi dialisis.
 Paling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai nilai biologis tinggi.
 Bila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak terkontrol, penurunan asupan protein
dan indikator status nutrisi harus dilakukan16.

Diet rendah protein dan malnutrisi


Kita ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan
protein, tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja yang
disebabkan oleh asupan protein yang rendah. Pada kenyataannya telah banyak penelitian
yang membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas.3
Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan
energi yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi
mekanisme protektif maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk
alasan ini, pasien PGK tanpa komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang
dewasa sehat. Malnutrisi didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya
asupan kalori, protein atau adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya
diperbaiki dengan cara meningkatkan asupan kalori atau diet protein. Kehilangan otot pada
PGK adalah suatu proses katabolisme yang terjadi karena teraktivasinya jalur seluler yang
tidak tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan digunakannya istilah malnutrisi pada
PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa hipoalbuminemia disebabkan karena
insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip dengan keadaan yang
dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada pasien PGK.
Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi darah dan
inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi).4,17
Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang
terlihat
pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut
merupakan konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan
nutrisi yang kurang. Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan
menimbulkan gangguan metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi
protein dapat menimbulkan asidosis yang akan meningkatkan destruksi protein di otot
melalui aktivasi sistim ubiquin-proteasome proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai
sistim proteolitik yang menyebabkan katabolisme protein di otot pada keadaan tubuh
mengalami katabolisme seperti luka bakar atau trauma. Asidosis metabolik juga
menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan protein. Koreksi
asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat badan. 10,17

Monitoring Asupan Nutrisi


Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan
ekskresi urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen
appearance pada pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan
rumus berikut :
Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang
sebenarnya) ± 20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik,
asupan aktual cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada
penelitian dengan kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet
protein yang diresepkan. Oleh karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara
berkesinambungan dan pemeriksaan kadar urea dalam urine secara teratur.4

 Penanganan terhadap hiperkalemia


Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum
mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung.
Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan
asidosis. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek
hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi hiperkalemia yaitu:
1. Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron, penyekat-β non
selektif, ACE-I, dan ARB.
2. Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium.
3. Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml secara
parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3 menit untuk
mencegah gangguan ritme jantung.
4. Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40% sebanyak 50 ml
atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat menurunkan kadar kalium
0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat pada menit ke-15, mencapai puncak
pada menit ke-60 dan berakhir dalam beberapa jam.
5. Pemberian Beta2-agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan, Albuterol 10-20 mg
secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat terlihat dalam 90 menit, atau
Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat terlihat dalam 30 menit.18

 Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria


Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah
dengan pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari
kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain
itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat
akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan
sistemik yang meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini
terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi
kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat
diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.19

 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler


Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 19

 Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah
multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang
memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid,
keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai dampak
negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka
anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.20
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab anemia
adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan preparat besi.
Terapi besi pada PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi
besi, terlebih dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan untuk
mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai status besi cukup, yaitu
feritin serum >100μg/L dan saturasi transferin >20%. Cara pemberian:
 Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg, diencerkan
dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit.
 Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
 bila serum feritin ≤30μg/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
 bila serum feritin 31 sampai ≤100 μg/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu
pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase
pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari
selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi
EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30%
pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan.
Syaratpemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan
untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4
% dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.

Terapi EPO fase pemeliharaan:


a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka
dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
iv.20

 Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu
 yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat.
 yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum
karbonat.

Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang dapat mengarah
pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan tulang yang parah akibat
kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D
atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu harus dimulai
terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
 Neuropati Perifer
Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai
tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan
tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya.1

 Pengobatan segera pada infeksi


Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap
serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan
proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih
lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
 Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik
 Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.1,22
 Penanganan terhadap dislipidemia
Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi kerusakan
progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang telah dipublikasi, Fried
dkk menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia memperlihatkan penurunan yang
lambat fungsi ginjal walaupun dengan efek minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk
tujuan renoprotektif karena mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek
anti inflamasi, anti oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek
renoprotektif statin telah didukung dari data post-hoc dari studi CARE.1

KESIMPULAN
Penderita PGK dianjurkan untuk mengontrol kandungan protein pada
nutrisinya,berdasarkan penelitian-penelitian terdapat pengaruh yang menguntungkan
terhadapmetabolik bila diberikan diet rendah protein atau diet sangat rendah protein
ditambah dengan ketoanalog seperti mengontrol tekanan darah, berkurangnya gejala
uremia,asidosis metabolik, hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbah nitrogen
dan kadar PTH akan turut memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, meningkatkan
respon terhadap terapi eritropoietin dan mengontrol anemia. Diet rendah protein juga
menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerulus dan proteinuria sehingga dapat
memperlambat progresifitas PGK. Diet rendah protein ini aman dan tidak menimbulkan
kehilangan massa otot, fatigue dan malnutrisi. Faktor-faktor yang dapat mempercepat
progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam
basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat
memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti
hemodialisis atau CAPD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung. Penerbit
ITB: 2006;465-514.
2. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk
among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7
3. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh
dari:
http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD)
Patients, diunduh dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_redu
ction.pdf
5. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease: A
comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of
Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-
89.
6. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres
Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63.
7. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood
pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney,
Lippincot, William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137
16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney disease:
evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality Initiative.
Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic
renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
18. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik
predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
19. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255
20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension,
Annual meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit
Universitas Diponegoro:133-136.
22. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.

Anda mungkin juga menyukai