Retinoblastoma adalah keganasan primer intraokular yang paling sering terjadi pada anak dan mewakili sekitar 3% dari keseluruhan kasus keganasan pada anak. Menurut American Academy of Ophthalmology, frekuensi Retinoblastoma 1 : 14.000 sampai 1 : 20.000 dari kelahiran hidup, bergantung pada masing-masing negara. Dua pertiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga. Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga. Sekitar 60% kasus bersifat unilateral dan non-herediter, 15 % unilateral dan herediter, dan 25% bilateral dan herediter. Keterlibatan yang bersifat bilateral ditemukan sebanyak 42% pada usia kurang dari 1 tahun.1 Retinoblastoma biasanya tidak disadari hingga tumor berkembang menjadi cukup besar sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa pupil putih (leukokoria), strabismus, atau peradangan. Secara umum, semakin dini penemuan dan terapi tumor, semakin besar kemungkinan untuk mencegah perluasan tumor. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma dengan ukuran besar. Sedangkan tumor yang berukuran lebih kecil dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Kemoterapi juga dapat digunakan untuk mengobati tumor yang sudah meluas ke otak, orbita, atau ke distal dan biasanya diberikan setelah dilakukan enukleasi pada pasien dengan resiko penyebaran penyakit yang tinggi.1,2 Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil ukuran tumor besar sebelum dilakukan terapi jenis lain dan terkadang sebagai terapi tunggal. Kemoterapi digunakan untuk meminimalkan efek yang terjadi akibat modalitas terapi lain, seperti enukleasi yang dapat menyebabkan kehilangan bola mata, atau External-beam Radiation Therapy yang dapat mengakibatkan kerusakan lensa atau saraf optik akibat dari proses pengobatan yang berkaitan dengan radiasi.2