Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem kemih terdiri dari organ pembentuk urin yaitu ginjal, dan struktur-
struktur yang menyalurkan urin dari ginjal ke luar tubuh. Sepasang ginjal
membentuk urin yang disalurkan oleh ureter ke kandung kemih. Urin disimpan di
kandung kemih dan secara berkala dikeluarkan melalui uretra. Biasanya dari 125
ml plasma yang difiltrasi per menit, 124 ml/menit direabsorpsi, sehingga jumlah
akhir urin yang terbentuk rata-rata adalah 1ml/menit. Dengan demikian, urin yang
dieksresikan per hari adalah 1,5 liter dari 180 liter yang difiltrasi (Sherwood, 2001).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Anonim, 2017)


Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang. Setiap ginjal dipasok oleh
arteri renalis dan vena renalis, yaitu masing-masing masuk dan keluar ginjal di
lekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal
terletak di belakang peritoneum pada bagian belakang rongga abdomen, mulai dari
vertebra torakalis kedua belas (T12) sampai vertebra lumbalis ketiga (L3). Ginjal
kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati. Jika ginjal dibagi dua
dari atas ke bawah, akan terlihat dua bagian utama yaitu korteks di bagian luar dan
medulla di bagian dalam. (Sherwood, 2001).
Ginjal memiliki berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi

1
elektrolit, pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi sisa metabolisme dan
bahan kimia asing, pengatur tekanan arteri, sekresi hormon, dan glukoneogenesis
(Guyton dan Hall, 2007).
Terdapat tiga proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin, yaitu :
filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.
1. Filtrasi Glomerulus merupakan proses pertama dalam pembentukan urin. Air,
ion dan zat makanan serta zat terlarut dikeluarkan dari darah ke tubulus
proksimal. Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsula Bowman
harus melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus, yaitu
dinding kapiler glomerulus, membran basal dan lapisan dalam kapsula
Bowman. Sel darah dan beberapa protein besar atau protein bermuatan negatif
seperti albumin secara efektif tertahan oleh karena ukuran dan muatan pada
membran filtrasi glomerular. Sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil
atau yang bermuatan positif, seperti air dan kristaloid akan tersaring. Tujuan
utama filtrasi glomerulus adalah terbentuknya filtral primer di tubulus
proksimal (Sherwood, 2006).
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mHg dan menghasilkan 180 L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR (glomerular filtration rate) rata-rata 125
ml/menit pada pria dan 160 L filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk
wanita (Sherwood, 2006).
2. Reabsorpsi Tubulus, merupakan proses menyerap zat-zat yang diperlukan tubuh
dari lumen tubulus ke kapiler peritubulus. Proses ini merupakan transport
transepitel aktif dan pasif karena sel-sel tubulus yang berdekatan dihubungkan
oleh tight junction. Berikut ini merupakan zat-zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi glukosa, glukosa direabsorpsi secara transport aktif di
tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada
pompa Na ATP-ase, 12 karena molekul Na tersebut berfungsi untuk
mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan
menggunakan energi (Guyton dan Hall, 2007).

2
b. Reabsorpsi natrium, natrium yang difiltrasi seluruhnya oleh glomerulus,
98-99% akan direabsorpsi secara aktif di tubulus. Sebagian natrium 67%
direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% direabsorpsi di lengkung Henle,
dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Reabsorpsi natrium di
tubulus proksimal berperan penting dalam reabsorpsi glukosa, asam
amino, air, Cl-, dan urea. Reabsorpsi natrium di lengkung Henle,
bersama dengan reabsorpsi Cl-, berperan penting dalam kemampuan
ginjal menghasilkan urin. Reabsorpsi natrium di bagian distal nefron
bersifat variabel dan berada di bawah kontrol hormon, menjadi penting
dalam mengatur volume CES. Reabsopsi tersebut juga sebagian
berkaitan dengan sekresi Kalium dan Hidrogen (Sherwood, 2006).
c. Reabsorpsi air, air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di
sepanjang tubulus. Sebanyak 80% akan direabsorpsi di tubulus
proksimal dan ansa Henle. Sisanya akan direabsorpsi di tubulus distal
dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin (Sherwood, 2006).
d. Reabsorpsi klorida direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan
gradien reabsorpsi aktif dari natrium. Jumlah ion klorida yang
direabsorpsi ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi ion natrium.
(Sherwood, 2006)
e. Reabsorpsi kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,
40% kalium akan direabsorpsi di ansa henle pars asendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul (Sherwood, 2006).
f. Reabsorpsi urea, urea merupakan produk akhir dari metabolisme
protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami
proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus
proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap
urea. Saat mencapai duktus pengumpul, urea akan mulai direabsorpsi
kembali (Sherwood, 2006).

3
g. Reabsorpsi fosfat dan kalsium, ginjal secara langsung mengatur kadar
ion fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di
glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50%
direabsorpsi di ansa henle pars asendens. Dalam reabsorpsi kalsium
dikendalikan oleh hormon paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan
direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian
sisanya akan diekskresikan ke dalam urin (Sherwood, 2006).

Gambar 2. Proses reabsorpsi tubulus (Anonim, 2014)


3. Sekresi Tubulus adalah proses perpindahan zat dari kapiler peritubulus kembali
ke lumen tubulus. Proses sekresi yang terpenting adalah sekresi ion H+, K+ dan
ion-ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transport transepitel. Di
sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat
tercapai keseimbangan asam-basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus
distal. Dalam keadaan normal, jumlah K+ yang diekskresikan dalam urin adala
10% sampai 15% dari jumlahnya yang difiltrasi. Namun, K+ yang difiltrasi
hampir seluruhnya direabsorpsi, sehingga sebagian besar K+ yang muncul
dalam urin berasal dari sekresi K+ yang dikontrol dan bukan dari filtrasi.
Beberapa faktor dapat mengubah kecepatan sekresi K+, yang paling penting

4
adalah hormon aldosteron, yang merangsang sekresi K+. Peningkatan kadar K+
akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan keluaran aldosterone
yang kemudian mendorong sekresi dan ekskresi kelebihan K+. Sedangkan
penurunan konsentrasi Na+ plasma merangsang sekresi aldosteron melalui jalur
kompleks renin-angiotensin-aldosteron (Sherwood, 2001).

Gambar 3. Kontrol Ganda Sekresi Aldosteron Oleh K+ dan Na+ (Sherwood, 2001)
Hormon yang berperan dalam pengaturan keseimbangan air dan elektrolit
adalah sebagai berikut :
a) Anti Diuretic Hormone, ADH ialah suatu hormon yang dihasilkan di
hipotalamus dan disekresikan melalui hipofisis posterior ke dalam darah.
Organ sasaran adalah sel-sel pada tubulus distalis dan duktus koligentes
ginjal. ADH berperan dalam menurunkan permeabilitas sel-sel pada tubulus
distal dan duktus koligentes sehingga reabsorpsi air meningkat. Peningkatan
osmolaritas plasma dan cairan intersisium menimbulkan refleks umpan
balik negatif cairan ekstrasel yang disensor oleh osmoreseptor di sistem
saraf pusat. Sinyal tersebut merangsang hipotalamus menghasilkan ADH
sehingga meningkatkan reabsorpsi air di tubulus ginjal.

5
b) Aldosteron adalah hormon mineralokortikoid yang dihasilkan oleh korteks
adrenal. Aldosteron berperan pada sel tubulus distal untuk menurunkan
permeabilitas membran sel agar menyerap kembali natrium sehingga terjadi
retensi natrium. Sekresi aldosteron diaktifkan oleh angiotensin II yang
dihasilkan di ginjal oleh sistem renin-angiotensin. Respon berupa
pengurangan produksi urin (restriksi pengeluaran cairan), rangsang haus
yang disertai dengan meningkatnya pemasukan cairan yang selanjutnya
akan meningkatkan volume cairan ekstraseluler.
c) Atrial Natriuretic Peptide (ANP), peptid ini dimasukkan juga sebagai
hormon dan dihasilkan oleh dinding atrium, menyebabkan diuresis dan
natriuresis. Hal ini terjadi bila dinding atrium mengalami distensi. Peran ini
terjadi melalui peningkatan GFR dan hambatan terhadap sekresi aldosteron.
Bila terjadi peningkatan volume plasma akan diikuti oleh berkurangnya
venous return yang akan meregang dinding atrium. Dengan adanya
rangsangan reseptor (berupa baroreseptor yang berada di sinus karotid,
sinus aorta dan dinding atrium kanan) akan merangsang pelepasan ANP
yang menimbulkan blockade pada sekresi aldosteron dan diikuti
peningkatan pengeluaran natrium dan air melalui urin (Sjarifuddin et al,
2008).
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14
mEq/L) berada dalam cairan intrasel (Matfin dan Porth, 2009; O’Callaghan, 2000).
Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium
bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel
menggambarkan perubahan konsentrasi natrium (Sjarifuddin et al, 2008).

6
Tabel 1. Komposisi filtrat glomerulus dan urin (Sjarifuddin et al, 2008)
Filtrasi glomerulus Urin (24 jam)
(24 jam)
Metabolit :
Glukosa 200 g <50 mg
Asam amino 10 g 50-100 mg
Anion dan kation
Natrium 24.000 mEq 50-200 mEq
Kalium 680 mEq 30-100 mEq
Klorida 20.000 mEq 50-200 mEq
Kalsium 7-10 g 200 mg – intake terbatas
Fosfor 9.000 mg 600-800 mg atau 10 mEq
Magnesium 200 mEq 300 mg
Limbah metabolisme
Urea 40-60 g 25-30 g
Kreatinin 1,8-2 g 1-1,5 g
Urat >95% direabsorpsi 250-750 mg
Hasil proses asidifikasi
H+ pH 7.35 pH 5-6,5
Asam (titrasi) 0 20-75 mEq
Bikarbonat 5000 mEq 2-5 mEq
Amonium < 1 mEq 40-75 mEq
Air 180 L 1,5 L

Penurunan pengeluaran Natrium pada urin disebabkan karena muntah,


diare, perdarahan, luka bakar, pankreatitis, gagal jantung, gagal ginjal, sirosis hati,
sindrom nefrotik, pecandu alkohol dan malnutrisi. Peningkatan pengeluaran
natrium disebabkan karena diabetes insipidus, diare osmotik, lesi hipotalamus,
infus bikarbonat, dan asupan bahan emetik tinggi natrium (Sjarifuddin et al, 2008).
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-
5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-
60 per kilogram berat badan (3000-4000 mEq). Penurunan pengeluaran Kalium
pada urin disebabkan karena hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume
sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin. Peningkatan pengeluaran Kalium pada
urin disebabkan karena muntah atau penggunaan selang naso gastrik, penggunaan
diuretik, sindrom barttter, sindrom gitelman, diabetik ketoasidosis dan
hiperaldosteronism primer (Sjarifuddin et al, 2008).

7
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Pemeriksaan
konsentrasi klorida dalam plasma berguna sebagai diagnosis banding pada
gangguan keseimbangan asam-basa, dan menghitung anion gap (Klutts dan Scott,
2006).
Pemeriksaan elektrolit urin tidak hanya dapat memberikan fakta tentang
ginjal dan saluran urin, tetapi mengenai faal berbagai organ dalam tubuh seperti :
hati, saluran empedu, pankreas, korteks adrenal, dll. Jika kita melakukan urinalisis
dengan memakai urin kumpulan sepanjang 24 jam pada seseorang, ternyata susunan
urin itu tidak banyak berbeda dari susunan urin 24 jam berikutnya. Adapun
mengukur jumlah urin dapat dilakukan dengan cara : urin 24 jam, urin siang 12 jam
dan urin malam 12 jam, timed specimen pada suatu percobaan tertentu dan urin
sewaktu. Untuk pemeriksaan elektrolit urin yang digunakan adalah urin 24 jam
(Gandasoebrata, 2010).
Pemeriksaan kadar natrium, kalium, dan klorida dengan metode elektroda
ion selektif (Ion Selective Electrode/ISE) adalah yang paling sering digunakan.
Data dari College of American Pathologists (CAP) pada 5400 laboratorium yang
memeriksa natrium dan kalium, lebih dari 99% menggunakan metode ISE. Metode
ISE mempunyai akurasi yang baik, koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator
dapat dipercaya dan mempunyai program pemantapan mutu yang baik (Klutts dan
Scott, 2006).

8
BAB II
PEMERIKSAAN ELEKTROLIT URIN DENGAN METODE ION
SELEKTIF ELEKTRODA

A. Pra Analitik
1. Tujuan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah elektrolit Na+, K+,
dan Cl- di dalam urin.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Alat Electrolite Analyzer, misal Roche AVL Cl 9180

Gambar 4. Roche AVL 9180 electrolyte analyzer (Anonim, 2015)


2) Tempat penampung urin/ pot urin
3) Tabung ukuran 3 ml
4) Mikropipet
5) Diluen urin berisi 500 mL yang disimpan dalam suhu 5 – 30
derajat C.
b. Persiapan pasien
Pasien bebas dari pengaruh obat diuretik.
c. Persiapan sampel
Sampel pemeriksaan elektrolit urin adalah urin tampung 24 jam.
Untuk mengumpukan urin 24 jam diperlukan botol besar, bervolume
1,5 liter atau lebih yang dapat ditutup dengan baik.

9
Cara mengumpulkannya umpamanya sebagai berikut : jam 7
pagi penderita mengeluarkan urinnya, urin ini dibuang. Semua urin
yang dikeluarkan kemudian, termasuk juga urin jam 7 pagi esok
harinya, harus ditampung dalam botol urin yang tersedia dan isinya
dicampur. Urin 24 jam tanpa diberikan pengawet dan disimpan di
dalam suhu kamar selama proses pengumpulan sampel
(Gandasoebrata, 2010).
d. Persiapan alat
Quality Control
Tujuannya untuk memastikan validitas uji, kontrol prosedural
yang tergabung dalam perangkat diberi label "Control". Alat
harus dilakukan QC setiap hari, dengan mengukur kadar ion Na+,
K+, Cl-, Ca+, dan Li+ dalam dua level yaitu normal dan high (AVL
Scientific corporation, 1996).
B. Analitik
ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk
memeriksa secara langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh. Metode
inilah yang umumnya digunakan pada laboratorium gawat darurat. Metode ISE
indirek yang berkembang lebih dulu dalam sejarah teknologi ISE, yaitu
memeriksa sampel yang sudah diencerkan (Klutts dan Scott, 2006).
Pada dasarnya alat yang menggunakan metode ISE untuk menghitung
kadar ion sampel dengan membandingkan kadar ion yang tidak diketahui
nilainya dengan kadar ion yang diketahui nilainya. Membran ion selektif pada
alat mengalami reaksi dengan elektrolit sampel. Membran merupakan penukar
ion, bereaksi terhadap perubahan listrik ion sehingga menyebabkan perubahan
potensial membran. Perubahan potensial membran ini diukur, dihitung
menggunakan persamaan Nerst, hasilnya kemudian dihubungkan dengan
amplifier dan ditampilkan oleh alat (Rismawati, 2012).
Salah satu persamaan Nerst yang dipakai yaitu (Rismawati, 2012) :
E = E’ ± R . T . 1n (fi – ci)
n. F

10
Keterangan :
(+) untuk kation (-) untuk anion
E = Potensial elektrik yang diukur
E’ = Sistem e.m.f pada larutan standar
R = Konstanta Gas (8.31 J/Kmol)
T = Suhu
n = Valensi ion yang diukur
F = Konstanta Faraday 96,496 A. s/g
f1 = Koefisien aktivitas
c1 = Konsentrasi ion yang diukur
Pemeriksaan harus dimulai dalam sesegera mungkin setelah menerima
sampel urin tampung 24 jam.

1. Kocok tabung urin agar homogen terlebih dahulu.


2. Aspirasi sampel urin 250 µl pada tabung ukuran 2 ml menggunakan
mikropipet dan ditambahan 500 µl diluen urin. Perbandingan 1 bagian
urin : 2 bagian diluen.
3. Dihomogenkan dengan membolak-balikkan tabung 5-10 kali.
4. Buka sample door hingga muncul jarum penghisap

Gambar 5. Proses pemeriksaan urin pada AVL 9180 (AVL Scientific


corporation, 1996).
5. Masukkan sampel urin pada jarum penghisap, 95µl sampel akan
dihisap kemudian tutup sample door.
6. Pembacaan hasil (AVL Scientific corporation, 1996)

11
Bila hasil pemeriksaan K+ lebih dari 45 mmol/L dan keluar dari range
pengukuran alat, pemeriksaan harus diulang dengan prosedur sebagai berikut :
1. Dilusi ulang urin (urin yang telah didilusi dengan diluen urin
perbandingan 1 : 2) menggunakan aquadest dengan rasio 1 : 2 (misal
1ml urin yang telah didulisi dan 2 ml aquadest).
2. Homogenkan sampel tersebut.
3. Ulang pemeriksaan elektrolit urin K+ dengan mengabaikan nilai Na++
dan Cl- (AVL Scientific corporation, 1996).

Gambar 6. Prinsip Pengukuran Elektrolit dengan Metode ISE (AVL


Scientific corporation, 1996)

C. Paska Analitik
Untuk membantu membaca hasil dan interpretasi menggunakan
referensi kartu skala tersedia dalam kit (AVL Scientific corporation, 1996).

12
Tabel 2. Spesifikasi alat AVL 9180 Roche (AVL Scientific corporation, 1996)
Parameter Metode Measured Reference Interference
Range Interval
Sodium Ion 1 – 300 40 – 220 -
selective mmol/L mmol/l
electrode
Potassium Ion 4.5 – 120 25 – 125 -
selective mmol/L mmol/l
electrode (60 – 120 with
additional
dilution)
Chloride Ion 1 – 300 110 – 250 Salycilate in
selective mmol/L mmol/l extremely high level
electrode

Penurunan pengeluaran Natrium pada urin disebabkan karena muntah,


diare, perdarahan, luka bakar, pankreatitis, gagal jantung, gagal ginjal, sirosis hati,
sindrom nefrotik, pecandu alkohol dan malnutrisi. Peningkatan pengeluaran
natrium disebabkan karena diabetes insipidus, diare osmotik, lesi hipotalamus,
infus bikarbonat, dan asupan bahan emetik tinggi natrium (Sjarifuddin et al, 2008).
Penurunan pengeluaran Kalium pada urin disebabkan karena
hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian
siklosporin. Peningkatan pengeluaran Kalium pada urin disebabkan karena muntah
atau penggunaan selang naso gastrik, penggunaan diuretik, sindrom barttter,
sindrom gitelman, diabetik ketoasidosis dan hiperaldosteronism primer (Sjarifuddin
et al, 2008).
Penurunan pengeluaran Chlorida disebakan oleh dehidrasi, asidosis tubular
ginjal, gagal ginjal akut, asidosis metabolik yang disebabkan oleh diare yang lama
dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes insipidius, hiperfungsi status
adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang berlebihan. Peningkatan
pengeluaran chlorida disebabkan karena asidosis respitatorik kronik dengan
kompensasi ginjal.

13
Gambar 7. Hasil pemeriksaan Elektrolit dari Alat Roche AVL Cl 9180 (AVL
Scientific corporation, 1996)
Faktor- faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan elektrolit urin, sebagai
berikut :
1. Pre Analitik
a. Pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi sebelumnya, misal obat
diuretik.
b. Penyimpanan sampel urin yang tidak sesuai, urin tampung 24 jam tidak
memerlukan pengawet urin dan disimpan di suhu kamar.
c. Diluen urin yang telah kadaluarsa dan tidak disimpan sesuai dengan
suhu 2 – 30 derajat C.
d. Perbandingan antara diluen urin dengan urin harus seimbang yaitu 2
bagian diluen dan 1 bagian urin.
e. Reagen Na, K, Cl dipastikan tidak kadaluarsa dan selalu disimpan di
suhu 15 – 25 derajat C.
f. Quality control Alat Roche AVL 9180 dilakukan setiap hari sebelum
penggunaan.
g. Dilakukan kalibrasi secara berkala, yaitu setiap 24 jam sekali, setelah
ISE cleaning, setelah mengganti botol reagen, dan setelah penggantian
elektroda (AVL Scientific corporation, 1996).

14
2. Analitik
a. Bubbles, tidak boleh ada gelembung udara pada saat pemeriksaan
elektrolit urin.
b. Pengukuran elektrolit urin harus dipastikan pada menu urine mode.
c. Setelah pengenalan sampel, sample probe harus dibersihkan kembali
(AVL Scientific corporation, 1996).
3. Paska Analitik
a. Pencatatan waktu pelaporan.
b. Pengecekan identitas pasien antara hasil pemeriksaan dengan blangko
pemeriksaan.

15
BAB III
SIMPULAN

1. Ginjal memiliki berbagai fungsi salah satunya adalah pengaturan keseimbangan


air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan
konsentrasi elektrolit melalui pengeluaran urin.
2. Pemeriksaan elektrolit urin menggunakan metode Ion Selektif Elektroda
diindikasikan pada pasien dengan gangguan keseimbangan elektrolit seperti
gagal jantung, gagal ginjal, sirosis hati, sindrom nefrotik, pecandu alkohol dan
malnutrisi, diabetes insipidus, diare osmotik, lesi hipotalamus, infus bikarbonat,
dan asupan bahan emetik tinggi natrium (Sjarifuddin et al, 2008).
3. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan urin dibagi menjadi 3 yaitu pre
analitik, analitik dan paska analitik. Pre analitik disebabkan oleh pengaruh obat
yang dikonsumsi pasien, penyimpanan sampel urin yang tidak sesuai, diluen
urin yang kadaluarsa, perbandingan diluen urin dengan urin yang tidak
seimbang, reagen yang kadaluarsa, QC alat yang tidak dilakukan setiap hari
serta kalibrasi berkala. Analitik disebabkan adanya gelembung udara,
pemeriksaan elektrolit urin tidak pada urine mode serta sample probe yang tidak
dibersihkan setelah pengenalan sampel. Paska analitik meliputi pencatatan hasil
serta pengecekan identitas pasien antara hasil pemeriksaan dengan blangko
pemeriksaan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2017. Human Anatomy : Anatomy Of Kidney. http://www.jouefct.com/


anatomy-of-kidney-free-download-learning/anatomy-of-kidney-free-
download learning-image-renal_blood_flow-for-term-side-of-card/
(Diunduh tanggal 18 Maret 2017)

Anonim, 2015. AVL 9130 Electrolyte Analyzer. https://www.diamonddiagnostics.


com/equipment/Elec/AVL_9130.htm (Diunduh tanggal 20 Maret 2017)

Anonim, 2014. Ginjal pada Manusia. https://zaifbio.wordpress.com/tag/proses-


ginjal/ (diunduh pada tanggal 22 Maret 2017)

AVL Scientific corporation, 1996. 9180 Electrolyte Analizer Operator’s Manual.


Georgia USA, pp : 40-75

Gandasoebrata. R., 2010. Penuntun laboratorium klinik. Edisi 2. Dian Rakyat.


Jakarta.pp: 20-5

Guyton dan Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta, pp : 439-42

Klutts J.S. and Scott M.G., 2006. Physiology and disorder of Water, Electrolyte and
Acid Base metabolism’ In : Tietz Text Book of Clinical Chemistry and
Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol 1. Elsevier Saunders Inc.,Philadelphia,
pp : 1747-75

Matfin dan Porth, 2009. Disorders of Fluid and Electrolyte Balance In


Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 8th Edition, Mc Graw
Hill Companies USA. pp : 761-803

O’Callaghan C, 2000. Sains Dasar Ginjal dan Gangguan Fungsi Metabolik Ginjal
At Glance Sistem Ginjal. Edisi kedua, Penerbit Erlangga. Jakarta, pp : 22-
24

Rismawati, 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan


Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. pp :
81-5

Sherwood, 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, pp : 461-86

17
Sjarifuddin et al, 2008. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta, pp: 53-7

18

Anda mungkin juga menyukai