Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Luka

Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan tubuh.


Luka antara lain dapat mengakibatkan perdarahan, infeksi, kematian sel dan
gangguan sebagian atau seluruh fungsi organ.

3.2 Jenis- Jenis Luka

Secara garis besar luka dapat digolongkan menjadi:

1. Luka terbuka

Yaitu luka yang terpapar oleh udara karena adanya kerusakan pada kulit
tanpa atau disertai kerusakan jaringan di bawahnya. Luka terbuka merupakan jenis
luka yang banyak dijumpai. Jenis-jenis luka terbuka antara lain:

 Luka lecet (abrasi atau ekskoriasis)


 Luka insisi atau luka iris (vulnus scissum)
 Luka robek (laserasi atau vulnus laceratum)
 Luka tusuk (vulnus punctum)
 Luka karena gigitan (vulnus morsum)
 Luka tembak
 Luka bakar (combustio)

2. Luka tertutup
Yaitu cedera pada jaringan di mana kulit masih utuh atau tidak mengalami
luka. Misalnya :
 Luka memar (kontusio)
 Hematoma

Luka juga dapat digolongkan berdasarkan derajat kontaminasi yaitu:


1. Luka Bersih
Yaitu luka yang bersih tanpa kontaminasi, misalnya luka insisi dengan
teknik yang steril yang tidak mengenai saluran gastrointestinal, saluran kemih,
genital atau pernapasan. Tingkat infeksi ± 1,5%
2. Luka Bersih Terkontaminasi
Yaitu luka bersih yang dapat terkontaminasi, misalnya luka insisi yang
mengenai saluran gastrointestinal, saluran kemih, genital atau pernapasan
tetapi sekresi saluran tersebut tidak mengenai luka operasi. Tingkat infeksi ±
7,7%
3. Luka terkontaminasi
Yaitu luka yang terkontaminasi, misalnya luka insisi pada organ yang
mengalami inflamasi atau luka insisi yang terkena sekresi saluran
gastrointestinal, saluran kemih, genital atau pernapasan atau luka insisi dengan
tindakan asepsis /antisepsis yang kurang. Tingkat infeksi ± 15,2%

4. Luka kotor
Yaitu luka yang kotor. Tingkat infeksi ± 40%

Berdasarkan lamanya penyembuhan, luka dapat digolongkan menjadi:

1. Luka Akut

Luka akut yaitu luka yang baru terjadi yang dapat sembuh sesuai dengan
lama fase penyembuhan yang normal (waktu penyembuhan luka dapat
diperkirakan) Contoh : luka lecet, luka robek, luka operasi tanpa komplikasi.

2. Luka kronik
Luka kronik yaitu luka yang telah berlangsung lama karena mengalami
kegagalan dalam proses penyembuhan yang normal atau luka yang sering kambuh
(waktu penyembuhan luka tidak dapat diperkirakan) Contoh : ulkus pada
penderita diabetes melitus (ulkus diabetik atau kaki diabetik), ulkus akibat
tekanan (pressure ulcer), ulkus akibat gangguan vaskular.
Gambar 3.1 Perbedaan Luka Kronik dan Akut

3.3 Ulkus Diabetikum

3.3.1 Definisi Ulkus

Ulkus adalah hilangnya jaringan epidermis sampai dermis atau jaringan di


bawah kulit.

3.3.2 Faktor Risiko Ulkus

Identifikasi faktor risiko penting, biasanya diabetes lebih dari 10 tahun,


laki-laki, kontrol gula darah buruk, ada komplikasi kardiovaskular, retina, dan
ginjal. Hal-hal yang meningkatkan risiko antara lain neuropati perifer dengan
hilangnya sensasi protektif, perubahan biomekanik, peningkatan tekanan pada
kaki, penyakit vaskular perifer (penurunan pulsasi arteri dorsalis pedis), riwayat
ulkus atau amputasi serta kelainan kuku berat. Luka timbul spontan atau karena
trauma, misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat sepatu atau sandal
sempit dan bahan yang keras. Luka terbuka menimbulkan bau dari gas gangren,
dapat mengakibatkan infeksi tulang (osteomielitis).

Gambar 3.2 Faktor Risiko Ulkus

3.3.3 Patofisiologi

Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu:
iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan
menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik,
motorik, dan autonom.

Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi


proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki
juga hilang.

Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan


abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas,
sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.
Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal
ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap
trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa
yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia,
serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.

Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang
ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri
tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku
menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.

Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan


aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit
karena penumpukan lemak di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki
dapat mempengaruhi otototot kaki karena berkurangnya suplai darah, kesemutan,
rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati
pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai
berkurang.

DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima


(hiperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga
aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan
ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi
dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya
menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.

Gambar 3.3 Patofisiologi Diabetic Foot Ulceration

3.3.4 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini
seperti, klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system (UT),
dan PEDIS ( Perfusion, Extent / size, Depth / tissue loss, Infection, Sensation ).
Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan
berat ulkus . Kriteria diagnosa infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau
lebih tanda-tanda berikut : bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal,
teraba hangat lokal, adanya pus. Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superficial,
ukuran dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-
tanda sistemik atau gangguan metabolik). Termasuk dalam infeksi berat seperti
fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis asenden, terdapat sindroma
kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang
mengancam kaki.

Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan


secara luas untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.

Tabel 3.1 Klasifikasi Wagner-Meggit

Klasifikasi Wagner-Meggit dianjurkan oleh International Working Group


on Diabetic Foot (IWGDF) dan dapat diterima semua pihak agar memudahkan
perbandingan hasil-hasil penelitian. Dengan klasifikasi ini akan dapat ditentukan
kelainan yang dominan, vaskular, infeksi, atau neuropatik dengan ankle brachial
index (ABI), filament test, nerve conduction study, electromyography (EMG),
autonomic testing, sehingga pengelolaan lebih baik. Ulkus gangren dengan
critical limb ischemia lebih memerlukan evaluasi dan perbaikan keadaan
vaskularnya. Sebaliknya jika faktor infeksi menonjol, antibiotik harus adekuat.
Sekiranya faktor mekanik yang dominan, harus diutamakan koreksi untuk
mengurangi tekanan plantar.

3.3.5 Diagnosis

A. Riwayat

Untuk menegakkan diagnosis kaki diabetes perlu diketahui riwayat


diabetes secara global dan riwayat aktifitas atau riwayat trauma kaki yang
diperoleh dari anamnesis.

B. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
Pemeriksaan ulkus harus dilakukan secara cermat,teliti dan sistematis.
Inspeksi harus bisa menjawab pertanyaan, apakah ulkusnya superfisial
atau dalam, apakah mengenai tulang, sehingga bisa ditetapkan derajat
ulkus secara akurat.
b. Penilaian risiko insufisiensi vaskular
Riwayat klaudikasio intermiten, perubahan tropi kulit dan otot,
pemeriksaan pulsasi arteri, ABI, Doppler arteri, dilakukan secara
sistematis. Iskemia berat atau kritis, apabila ditemukan tanda infeksi,
kaki teraba dingin, pucat, tidak ada pulsasi, adanya nekrosis, tekanan
darah
ankle < 50 mmHg (Ankle Brachial Index < 0,5), TcPO2 < 30mmHg,
tekanan darah jari < 30mmHg
c. Penilaian risiko neuropati perifer
Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan
dengan Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi
vibrasi dengan garpu tala 128 Hz
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan harus disesuaikan dengan temuan klinis.
1. Tes laboratorium klinis
yang mungkin diperlukan dalam situasi klinis yang sesuai meliputi
glukosa darah puasa atau acak, glikohemoglobin (HbA1c), jumlah darah lengkap
(CBC) dengan atau tanpa diferensial, tingkat sedimentasi eritrosit (ESR), kimia
serum, protein C-reaktif, alkalin fosfatase, luka dan kultur darah, dan urinalisis.
2. Imaging
Untuk mengevaluasi kelainan tulang diperlukan imaging standar yaitu
rontgen anteroposterior, lateral, dan oblique, dari rontgen tersebut dapat dinilai
elainan tulang kortikal seperti demineralisasi, erosi, reaksi periosteal, lucencies,
dan osteolisis yang akan diindikasikan osteomielitis.
Tingkat sensitivitas dan spesifitas rontgen yang rendah, dapat dilakukan
pencitraan dengan MRI untuk dapat membantu untuk mengetahui tingkat
gangguan tulang dan jaringan lunak, namun MRI tidak dapat membedakan antara
arthropathy Charcot dan osteomyelitis dengan spesifisitas tinggi
Gambar 3.4 Penilaian Ulkus Diabetikum

3.4 Fase Penyembuhan Luka


Dalam keadaan normal, proses penyembuhan luka mengalami 3 tahap atau
3 fase yaitu:
1. Fase Inflamasi
Fase ini terjadi sejak terjadinya injuri hingga sekitar hari kelima. Pada fase
inflamasi, terjadi proses:
a. Hemostasis (usaha tubuh untuk menghentikan perdarahan), di mana pada
proses ini terjadi:
 Konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi)
 Agregasi platelet dan pembentukan jala-jala fibrin
 Aktivasi serangkaian reaksi pembekuan darah

b. Inflamasi, di mana pada proses ini terjadi:


 Peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi yang disertai dengan
migrasi sel-sel inflamasi ke lokasi luka.
 Proses penghancuran bakteri dan benda asing dari luka oleh neutrofil dan
makrofag
2. Fase proliferasi
Fase ini berlangsung sejak akhir fase inflamasi sampai sekitar 3 minggu.
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, dan terdiri dari proses:
a. Angiogenesis
Adalah proses pembentukan kapiler baru yang distimulasi oleh TNF-α2
untuk menghantarkan nutrisi dan oksigen ke daerah luka.
b. Granulasi
Yaitu pembentukan jaringan kemerahan yang mengandung kapiler pada
dasar luka (jaringan granulasi). Fibroblas pada bagian dalam luka berproliferasi
dan membentuk kolagen.
c. Kontraksi
Pada fase ini, tepi-tepi luka akan tertarik ke arah tengah luka yang
disebabkan oleh kerja miofibroblas sehingga mengurangi luas luka. Proses ini
kemungkinan dimediasi oleh TGF-
d. Re-epitelisasi
Proses re-epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel baru pada
permukaan luka. Sel-sel epitel bermigrasi dari tepi luka melintasi permukaan luka.
EGF berperan utama dalam proses ini.
3. Fase maturasi atau remodelling
Fase ini terjadi sejak akhir fase proliferasi dan dapat berlangsung
berbulan-bulan. Pada fase ini terjadi pembentukan kolagen lebih lanjut,
penyerapan kembali sel-sel radang, penutupan dan penyerapan kembali kapiler
baru serta pemecahan kolagen yang berlebih. Selama proses ini jaringan parut
yang semula kemerahan dan tebal akan berubah menjadi jaringan parut yang pucat
dan tipis. Pada fase ini juga terjadi pengerutan maksimal pada luka. Jaringan parut
pada luka yang sembuh tidak akan mencapai kekuatan regang kulit normal, tetapi
hanya mencapai 80% kekuatan regang kulit normal. Untuk mencapai
penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang
diproduksi dengan yang dipecah. Kolagen yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi
kolagen yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka tidak
akan menutup dengan sempurna.
3.5 Faktor Penyembuhan Luka
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
hasil penyembuhan yang dicapai sangat tergantung dari beberapa faktor. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka antara lain adalah :
1. Kebersihan Luka
Adanya benda asing, kotoran atau jaringan nekrotik (jaringan mati) pada
luka dapat menghambat penyembuhan luka, sehingga luka harus dibersihkan atau
dicuci dengan air bersih atau NaCl 0,9% dan jaringan nekrotik (jaringan yang
mati) dihilangkan (debrideman/debridement). Debrideman adalah tindakan
menghilangkan benda asing dan jaringan mati/nekrotik, jaringan yang rusak atau
terinfeksi dari luka. Jenis-jenis debrideman adalah :
 Debrideman bedah (surgical debridement) yaitu debrideman yang dilakukan
dengan menggunakan pisau bedah, gunting atau alat lain untuk memotong
jaringan nekrotik dari luka. Merupakan metode debrideman yang cepat,
selektif dan efektif tetapi dapat menyebabkan rasa nyeri sehingga memerlukan
anestesia lokal. Cocok dilakukan pada luka dengan jaringan nekrotik yang
banyak dan atau yang disertai dengan infeksi.
 Debrideman mekanik (mechanical debridement) Yaitu debrideman yang
dilakukan dengan menggunakan kasa yang dibasahi dengan larutan NaCl
0,9% yang ditempelkan pada luka yang kemudian dibiarkan mengering dan
melekat pada luka. Jika kasa tersebut dilepas dari luka, maka jaringan nekrotik
akan ikut terangkat dari luka. Dengan metode ini, jaringan normal pada luka
dapat ikut terangkat (tidak selektif) dan dapat menimbulkan rasa nyeri saat
kasa dilepas dari luka. Dapat dilakukan pada luka dengan jaringan nekrotik
yang tidak terlalu banyak (sedang).
 Debrideman kimiawi atau enzimatik (chemical atau enzimatic
debridement) yaitu debrideman yang dilakukan dengan menggunakan bahan
kimia atau enzim yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik. Merupakan
metode debrideman yang cepat, cukup selektif dan tidak menimbulkan rasa
nyeri. Cocok dilakukan pada luka dengan jaringan nekrotik yang banyak atau
luka dengan eskar (jaringan nekrotik yang keras). Contoh : papain,
kolagenase.
 Debrideman autolitik (autolytic debridement) Yaitu debrideman yang
dilakukan oleh enzim proteolitik dari tubuh pasien sendiri. Metode ini
memerlukan lingkungan luka yang lembab yang dapat diperoleh dengan
penggunaan wound dressing. Merupakan debrideman yang sangat selektif,
aman dan tidak menimbulkan rasa nyeri. Cocok dilakukan pada luka derajat 3
atau 4 dengan eksudat ringan hingga sedang.
2. Infeksi
Luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.
Tubuh selain harus bekerja dalam menyembuhkan luka, juga harus bekerja dalam
melawan infeksi yang ada, sehingga fase inflamasi akan berlangsung lebih lama.
Infeksi tidak hanya menghambat penyembuhan luka tetapi dapat menambah
ukuran luka (besar dan/atau dalamnya luka). Luka yang sembuh juga tidak sebaik
jika luka tanpa infeksi.
3. Usia
Semakin lanjut usia, luka akan semakin lama sembuh karena respon sel
dalam proses penyembuhan luka akan lebih lambat.
4. Gangguan Suplai Nutrisi dan Oksigen pada Luka
Gangguan suplai nutrisi dan oksigen (misal akibat gangguan aliran darah
atau kekurangan volume darah) dapat menghambat penyembuhan luka.
5. Status Gizi
Gizi buruk akan memperlambat penyembuhan luka karena kekurangan
vitamin, mineral, protein dan zat-zat lain yang diperlukan dalam proses
penyembuhan luka.
6. Penyakit yang mendasari
Luka pada penderita diabetes dengan kadar gula darah yang tidak
terkontrol biasanya akan sulit sembuh atau bahkan dapat memburuk.
7. Merokok
Suatu studi menunjukkan bahwa asap rokok memperlambat penyembuhan
karena asap rokok akan merusak fibroblas yang penting dalam proses
penyembuhan luka.
8. Stres
Stres yang berlangsung lama juga akan menghambat penyembuhan luka.

9. Obat-obatan
Penggunaan steroid atau imunosupresan jangka panjang dapat
menurunkan daya tahan tubuh yang dapat menghambat penyembuhan luka
3.5 Penatalaksanaan Luka
Beberapa prinsip umum penatalaksanaan luka adalah:
1. Lingkungan luka yang lembab (moist environment)
2. Oksigenasi yang baik (misalnya dengan pemberian cairan yang optimal
dan menghentikan perdarahan)
3. Menghilangkan faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka seperti
jaringan nekrotik, infeksi, dan sebagainya

3.6 Wound Dressing

Wound dressing atau bebat luka adalah suatu bahan yang digunakan untuk
menutup luka dan atau menghentikan perdarahan pada luka.

Secara umum wound dressing dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Dressing primer (primary dressing) Yaitu dressing yang diletakkan secara


langsung di atas permukaan luka.
2. Dressing sekunder (secondary dressing) Yaitu dressing yang tidak kontak
secara langsung dengan luka tetapi diletakkan di atas dressing primer.
Biasanya digunakan untuk memfiksasi atau melindungi dressing primer.

Berdasarkan melekat atau tidaknya dressing pada luka, wound dressing


dapat dibagi menjadi:
1. Adherent dressing Yaitu dressing yang dapat melekat pada luka sehingga
dapat menyebabkan trauma atau rusaknya jaringan granulasi atau rasa
nyeri pada saat dressing dilepas dari luka.
2. Non-adherent dressing Yaitu dressing yang tidak melekat pada luka.

Berdasarkan bahannya, saat ini terdapat beberapa jenis wound dressing yaitu:
1. Kassa

Terbuat dari tenunan katun. Karakteristik :

a. Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder pada luka dengan
atau tanpa infeksi
b. Merupakan absorben (penyerap eksudat) yang cukup kuat
c. Mempunyai efek debrideman, tetapi tidak selektif sehingga jaringan
normal dapat ikut terlepas dari luka dan menimbulkan rasa nyeri bila
dilepaskan dari luka (debrideman mekanik)
d. Dapat meninggalkan serpihan kain/benang kasa pada luka
e. Memerlukan larutan atau gel untuk mempertahankan kelembaban
permukaan luka
2. Tule (tulle)

Merupakan dressing yang berbentuk lembaran seperti kasa dengan lubang-


lubang yang lebih jarang tetapi lebih kuat, tidak meninggalkan serpihan
kain/benang pada luka dan bentuknya relatif tetap (tidak seperti kasa). Sesuai
untuk luka yang datar dan dangkal. Biasanya diisi (impregnated) dengan gel,
vaselin, parafin, antiseptik atau antibiotika topikal. Contoh: Bactigras,
Bioplacenton Tulle, Sofra-Tulle.

3. Hidrogel (hydrogel dressing)

Merupakan dressing yang mengandung air dalam jumlah besar yang dapat
memberikan efek menyejukkan dan mengurangi nyeri pada luka. Karakteristik :
a. Digunakan sebagai dressing primer pada luka dengan atau tanpa infeksi
dengan eksudat yang minimal
b. Memberikan lingkungan luka yang lembab
c. Mempunyai efek debrideman autolitik
d. Dapat mengisi dead space (rongga yang masih ada setelah penutupan luka)
e. Tidak nyeri bila dilepaskan dari luka
f. Memerlukan dressing sekunder

4. Hidrokoloid (hydrocolloid dressing)


Dressing ini mengandung sodium carboxymethylcellulose. Karakteristik :
a. Digunakan sebagai dressing primer
b. Tidak digunakan pada luka dengan infeksi
c. Memberikan lingkungan luka yang lembab
d. Kapasitas menyerap eksudat sedang
e. Mempunyai efek debrideman autolitik

5. Alginat (alginate dressing)


Alginat merupakan derivat dari ganggang laut. Bila dressing kontak
dengan eksudat luka, akan terbentuk suatu gel hidrofilik pada permukaan luka
akibat pertukaran antara ion kalsium dalam dressing dengan ion natrium dalam
eksudat luka yang akan menciptakan suatu lingkungan yang lembab untuk luka
yang menyebabkan re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi lebih
optimal.
6. Foam dressing
Merupakan foam polyurethane hidrofilik yang dapat menyerap eksudat.
Karakteristik :
 Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder pada luka dengan
atau tanpa infeksi
 Memberikan lingkungan luka yang lembab
 Merupakan absorben yang kuat
 Tidak nyeri dan atraumatik bila dilepaskan dari luka
7. Film transparan (transparent film dressing)

Merupakan suatu membran polimer semipermeabel yang tipis dan


transparan yang dilapisi dengan suatu lapisan perekat akrilik yang tahan air.
Dressing ini dapat mempertahankan pertukaran udara atau oksigen pada luka
tetapi dapat mencegah masuknya air, kotoran dan bakteri ke dalam luka.
Karakteristik :

a. Dapat digunakan sebagai dressing primer atau sekunder


b. Tidak digunakan pada luka dengan infeksi atau luka eksudatif
c. Memberikan lingkungan luka yang lembab
d. Tidak menyerap eksudat
e. Permeabel terhadap oksigen, impermeabel terhadap air, kotoran dan bakteri
f. Dapat melekat pada permukaan kulit (adesif)
g. Karena transparan, maka dapat memonitor proses penyembuhan luka dengan
lebih mudah

Anda mungkin juga menyukai