Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

E P2A0 SECTIO CAESARIA DENGAN


HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUSDI RUANG FLAMBOYAN
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

KELOMPOK 13

NAMA MAHASISWA NIM


1. FATCHUL LAELA APRILIANI PRATIWI (1811040027)
2. MADIYA LUHUR INANDIYA (1811040307)
3. INDRI SUCI LESTARI (1811040056)
4. RISTA DIAN NINGSIH (1811040017)
5. DHIMAS ANGGIT PRASETYO (1811040075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018

BAB I
A. Pengertian
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma
penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV. Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS
ditujukan pada orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang)
dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan
meliputi kondisi demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada
pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya yaitu kanker serviks
invasif atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi misalnya,
TB (Tubercolosis). (Doenges, 2000).
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan
turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
(Nursalam, 2007)
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV.
Karena menurut para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita
yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-
AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang
sudah terinfeksi HIV. Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan
adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis
yang tidak diketahui.
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan
pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan
penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi
infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan
dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV
ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction,
PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV
yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya.
B. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun dilemahkan
oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunedeficiency Virus
(HIV), yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi
genetik dalam asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel
T-penolong (T4), yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai
akibatnya, hidup penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang
sebenarnya tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
Penularan secara perinatal
a. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.
b. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat
itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari
ibu dapat menular pada bayi.
c. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau
juga melalui ASI
d. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

C. PENGARUH HIV/AIDS PADA KEHAMILAN


Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat
persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Bukti transmisi dalam
rahim yaitu terjadi dalam 8 minggu kehamilan, infeksi berasal dari deteksi HIV-1,
dimana virus di isolasi yang diambil dalam spesimen janin dan jaringan plasenta,
didapatkan sekitar 20% -60% dari bayi yang terinfeksi pada saat lahir, didapatkan
antigen p24 diserum janin. Bukti dalam transmisi intrapartum di dapat dari
pengamatan kelahiran bayi kembar, yang menemukan bahwa bayi kembar yang lahir
pertama kali memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi tertular HIV-1 dibandingkan
dengan bayi kembar yang lahir kedua.
Paparan janin terhadap virus dalam cairan serviko-vaginal diperkirakan sangat
berperan. Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa cara persalinan dapat
mempengaruhi tingkat transmisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pecahnya
ketuban lebih dari 4 jam dapat meningkatkan risiko penularan HIV. Sekitar setengah
dari bayi yang terinfeksi, akan memiliki studi virus negatif pada waktu kelahiran.
Transmisi postnatal lebih banyak ditemukan di negara Afrika.
Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum
menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian besar
infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan. Kesimpulan ini
berdasarkan tidak ditemukannya sindrom dismorfik HIV-1, kurangnya manifestasi
infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV-1 terdeteksi pada minggu
pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu 48 jam setelah lahir, keadaan ini
dianggap bayi telah terinfeksi selama kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum
diasumsikan jika studi virus negatif selama minggu pertama kehidupan, namun akan
menjadi positif antara 7 dan 90 hari kemudian.
Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin.

VIRUS Genotip dan fenotip virus


Resistensi virus & jumlah virus
MATERNAL Status immunologis ibu
Status nutrisi ibu
Faktor perilaku
Pengobatan ART
OBSTETRI Pecah ketuban (>4 jam)
Cara persalinan
Perdarahan intrapartum
Prosedur obstetric
FETAL Prematuritas
BAYI Menyusui
Faktor traktus gastrointestinal
Sistem immun immature

1. FAKTOR VIRUS
Transmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan
viremia ibu. Pengamatan klinis dengan pengembangan teknik baru untuk
pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA
dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko
penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load
> 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus.
Dalam sebuah studi Prancis, tingkat penularan meningkat dengan
meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah
viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka
dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal
dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam
penentu risiko intrapartum dan menyusui
Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon
imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan
dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART
pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus,
ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin
juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti
penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin
lebih efektif dalam mencegah penularan.
Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi,
dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang pengaruh
sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian telah
menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk
menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat
mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi
infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI.
Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah
menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus
yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik non
syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun cucu
ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 11
2. FAKTOR MATERNAL
Pemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui
kehamilan terjadi melalui hubungan seksual dan merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab atas peningkatan yang diamati dalam setiap kasus HIV.
Perkembangan resistensi terhadap AZT selama kehamilan telah terbukti
jarang, tetapi keprihatinan telah diungkapkan bahwa kemungkinan
pengembangan strain yang resisten terhadap HIV-1 pada wanita yang
menerima monoterapi AZT selama kehamilan dapat berakibat lebih tinggi
pada penularan kehamilan berikutnya.
Penularan dari ibu ke anak lebih mungkin disebabkan oleh penurunan
status kekebalan ibu, tercermin dari jumlah CD4. Studi Kolaboratif Eropa
(ECS) menemukan bahwa ada peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak
jika CD4 ibu jumlahnya berada di bawah 700/mm3. Transmisi meningkat
hampir linear dengan penurunan jumlah CD4. Terdapat hasil yang
bertentangan tentang peran antibodi dalam mencegah transmisi. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan antibodi ibu adalah terkait
dengan menurunnya transmisi. Wanita yang menularkan virus HIV dalam
rahim mungkin memiliki tingkat antibodi yang autologous daripada mereka
yang tidak menularkan, atau pada wanita-wanita di mana penularan terjadi
secara intrapartum.
Satu laporan menyatakan bahwa ada korelasi antibodi ibu pada
wilayah karboksi gp41 envelop glikoprotein dengan berkurangnya transmisi
vertikal. Keterlibatan imunitas sel-T spesifik dalam patogenesis transmisi ibu
ke anak belum dapat ditentukan. Sedikit yang mengetahui tentang peran
antibodi mukosa HIV-1 dan pelepasan virus dalam saluran kelamin yang dapat
mempengaruhi tingkat penularan intrapartum. Infeksi melalui menyusui
dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI
Serum vitamin A dengan ibu yang terinfeksi positif HIV-1
menunjukkan adanya korelasi dengan risiko transmisi dalam studi Malawi.
Rata-rata tingkat vitamin A pada ibu yang menularkan virus ke anak-anak
mereka secara signifikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak
tertular. Wanita yang mempunyai kadar vitamin A yang rendah, yaitu 1,4
umol/l memiliki risiko tinggi 4,4 kali lipat tertular. Dalam suatu studi AS
menunjukkan terdapat hubungan antara rendahnya kadar vitamin A dengan
tingkat penularan, sedangkan penelitian kohort lain memang menunjukkan
adanya korelasi. Mekanisme efek vitamin A belum diketahui secara pasti,
tetapi terdapat pengaruh vitamin A pada integritas mukosa vagina atau
plasenta dan sifat stimulasi kekebalan vitamin.
Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan
dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan
seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan
dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih
dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan dibandingkan
dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin disebabkan
oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus HIV-1, atau
efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan terjadinya
korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan aktivitas seksual
pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama kehamilan telah
berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS telah terbukti
meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan serviko-vaginal.
Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak.
Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-
sel trofoblas yang mengekspresikan CD4 + yang rentan terhadap infeksi.
Sebuah asosiasi antara peningkatan transmisi dan adanya korioamnionitis
digambarkan di awal epidemi. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular
seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba
dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. Di daerah
tinggi prevalensi malaria, infeksi plasenta umum terjadi selama kehamilan.11
3. FAKTOR OBSTETRI
Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan,
faktor obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang
terjadi pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak
antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal
selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal
akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat
infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh
sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa
kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait
dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan
persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi
Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor
risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih
dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan
melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang
dari 1%. 11
4. FAKTOR JANIN
Faktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi.
Sedikit yang belum mengetahui tentang peran faktor-faktor genetik seperti
delesi CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan
risiko penularan. Kesesuaian HLA antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur
mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah
CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang
mungkin mempengaruhi temuan ini. Peningkatan infeksi terlihat pada anak
kembar sulung dan telah banyak dilaporkan sebagai bukti transmisi penularan
secara intrapartum. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi dengan
patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin.
5. FAKTOR BAYI
Menyusui merupakan faktor yang sangat berperan dalam penularan
virus dari ibu ke anak, dimana lebih dari 30% infeksi HIV perinatal akan
terjadi melalui ASI. Keadaan ini kurang umum di dapatkan pada negara maju,
dimana sebagian besar perempuan HIV-positif tidak akan menyusui. Faktor-
faktor pelindung dalam ASI yaitu mucin, antibodi HIV, laktoferin, dan
sekretorik leukosit PI (SLPI). Sebuah meta analisis studi penularan melalui
menyusui menunjukkan risiko tambahan penularan melalui menyusui menjadi
antara 7 hingga 22%, setara dengan dua kali lipat dari tingkat penularan.
Sebuah studi Soweto telah menunjukkan tingkat transmisi 18% pada susu
formula bayi dibandingkan dengan 42% pada ASI.
Selama menyusui, risiko penularan yang diperkirakan sekitar 30%.
Risiko penularan melalui ASI juga mungkin tergantung pada faktor-faktor
lain, seperti stadium penyakit ibu, abses payudara, mastitis, puting yang retak,
kadar vitamin A pada ibu dan sariawan pada anak. Di negara Zimbabwe,
sebuah penelitian menunjukkan bahwa 31% ibu yang menyusui yang telah
terinfeksi HIV-1 terbukti memiliki penyakit puting aktif. Penularan terjadi
pada akhir transmisi postnatal, setelah usia enam bulan, telah dijelaskan dalam
sejumlah studi, di Abidjan, 12% bayi yang lahir dari ibu HIV-1 positif
didiagnosis setelah usia enam bulan, tetapi mungkin telah terinfeksi
sebelumnya.
Risiko penularan postnatal juga mungkin berkaitan dengan faktor-
faktor lain pada bayi baru lahir. Masuknya HIV dapat terjadi melalui saluran
gastrointestinal setelah proses pencernaan virus dalam rahim atau saat lahir.
Terdapat penurunan keasaman, berkurangnya lendir, dan aktivitas IgA lebih
rendah yang dapat mempermudah penularan. Bayi baru lahir dengan sistem
kekebalan tubuh yang rendah yaitu kekurangan makrofag dan sel T
menyebabkan mudah terjadinya infeksi.

D. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen
dan secret Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi melalui hubungan
seksual.
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetic RNA. Bilaman virus
masuk kedalam tubuh penderita ( sel hospes ), maka RNA virus diubah menjadi
oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV . DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain tifosit
T4,virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel
dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel
serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak Virus yng masuk kedalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut
atau Acute Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4 (Cluster
Differential Four) dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam plasma. CD4 secara
perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih
cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load
( jumlah virus HIV dalam darah ) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan
kemudian turun pada suatu level titik tertentu maka viral load secara perlahan
meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3
kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan
muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata – rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun. (DEPKES
RI,2003)
Cara Penularan HIV / AIDS dari Ibu ke Anak
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV /
AIDS sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang terjadi pada saat kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena
terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah terinfeksi HIV / AIDS karena sering
berganti-ganti pasangan dan gaya hidup. Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1. Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu
sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus
plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV.
Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
 Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada
plasenta selama kehamilan.
 Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada
saat itu.
 Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
 Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung
berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode persalinan
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika
dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal
atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi
maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar
pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat
dipersingkat dengan section caesaria.
Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak
selama proses persalinan adalah:
 Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi
lainnya).
 Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan
darah ibu misalnya, episiotomy.
 Anak pertama dalam kelahiran kembar.
 Lamanya robekan membran
3. Periode Post Partum
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI.
Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang
menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10- 15%
dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI
tergantung dari:
 Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan
kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran.
 Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu
dan infeksi payudara lainnya.
 Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
 Status gizi ibu yang buruk

E. Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium
yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologi
ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.
Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV
menjadi positif disebut window period. Lama window period satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala -
gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pasien yang tampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
selama satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain penyakit
saraf, infeksi sekunder dan lain – lain.

F. Manifestasi Klinis
Menurut Mandal (2004) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan
pada dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan
infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada
jaringan tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari
penampilan luar. Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam
jangka waktu yang relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut
masa laten. Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya
walaupun darahnya mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi
kesehatan masyarakat, karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan
kepada yang lainnya. Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan
gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma
viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika
seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual.
Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun
terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit
secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik
daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.

G. Pencegahan Penularan
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah-
langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan
rumusan ABCDE yaitu:
a. A= Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah
b. B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti
pasangan seksual
c. C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara
benar selama berhubungan seksual
d. D = Drugs injection, jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum
tidak steril atau digunakan secara bergantian
e. E = Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan HIV/AIDS
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan bisa
dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan. Cara
tersebut yaitu:
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan untuk
bayi yang baru dilahirkan.
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah
sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif
untuk menularkan HIV. Resiko penularan akan sangat rendah (1-2%) apabila
terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai
sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT
dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu
minggu setelah lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan,
kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan
nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2
persen. Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20
persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi
keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistensi ini juga dapat
disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini
lebih terjangkau di negara berkembang.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan
Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria
karena metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sampai 80%. Apabila pembedahan ini disertai dengan penggunaan terapi
antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun demikian,
pembedahan ini juga mempunyai resiko karena kondisi imunitas ibu yang rendah
yang bisa memperlambat penyembuhan luka. Oleh karena itu, persalinan per
vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan,
dan faktor lain.
3. Penatalaksanaan selama menyusui
Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk bayi
dengan ibu yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian, didapatkan
bahwa ± 14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal
fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan
teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan
antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core (Hanum,
2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya
protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang
mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum,
2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis
maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan
sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2
(Kresno, 2001). Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan
imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip
flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah
menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan
setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu
suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah,
yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser
menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik
sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang
terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih
probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis
dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi
campuran (Kresno, 2001).
I. Penatalaksanaan
A) Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan
kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek
perawatan fisik meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana
yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien
setiap saat, pada semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko
penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluraga,
dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan untuk mencegah
terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1). Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila mengenai
cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung
tangan, masker, kacamata pelindung, penutup kepala, apron dan
sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuakan dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan.
2). Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk
setelah melepas sarung tangan.
3). Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4). Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat
kedokteran yang dipakai (tercemar).
5). Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6). Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar
dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1). Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila
timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila
virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa
memakai kombinasi lain.
2). Efektivitas obat ARV kombinasi:
(a) AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat AVR yang
lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan satu jenis obat saja.
(b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien
lupa minum dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
(c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil,
sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan mineral
dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya diperoleh dalam
makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi
vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan
mineral pada ODHA dimulai sejak masih dalam stadium dini. Walaupun
jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
(a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada keadaan akut ,
olah raga akan berefek buruk pada kesehatan, olahraga yang
dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang
berefek menyehatkan
(b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit menjadi
20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini menyebabkan
peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan
pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan
oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi. Pada olah
raga intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan
trigliserida dan jaringa adiposa menjadi glikogen dan FFA (free
fatty acid). Pada olahraga intensitas tinggi kebutuhan energy
meningkat, otot makin tergantung glikogen sehingga
metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat. Belajar yang
dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah sangat
parah. Individu yang termasuk dalamdan memberikan dukungan social
meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim
kesehatan, atasan, dan konselor.
B) Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu
dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang tercemar
HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin, diedoxycytidine, dan
recombinant CD 4 dapat larut.
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian
dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman
dan keberhasilan terapi AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan
sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang
mengganggu fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

J. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
1. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan
AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya. Kandidiasi oral
ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Tanda –
tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta
nyeri dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien juga
menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama
terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh yang lain.
2. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas
yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan penyakit
yang melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik, kelemahan, disfasia,
dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-mula mengeluh lambat
berpikir atau sulit berkonsentrasi dan memusatkan perhatian. Penyakit ini dapat
menuju dimensia sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium akhir. Tidak
semua penderita mencapai stadium akhir ini.
2. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek sakit kepala,
malaise, demam, paralise total/ parsial.
Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga
pasien –pasien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh
penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda –tanda
dan gejalanya dapat samar- samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan,
depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi
3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan menarik
endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan disertai rasa
nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon
yang dalam, hipotensi orthostatik dan impotensi.
c. Gastrointestinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma dan
sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam
atritik.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis , reaksi otot,
lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2. Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.
K. Prognosis HIV/AIDS
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien
terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Dochterman, Joanne Mccloskey., Bulechek, Gloria M. 2004. Nursing Interventions
Classification (NIC), Fourth Edition. Missouri: Mosby

Morhead, Sue., Johnson, Marion, Maas, Meriden L., Swanson, Elizabeth. 2006. Nursing
Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Missouri: Mosby

Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons). 2007. Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika

Nursalam, dkk. 2007. Jurnal Keperawatan Edisi Bulan November. Surabaya;Fakultas


Keperawatan Universitas Airlangga

NANDA International. 2009. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson, Wilsom, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Ed.6. Vol:2. Jakarta: EGC

Smelltzer, Suzane C., Bare, Brenda G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 1.


Edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai