Anda di halaman 1dari 9

HEMOFILIA KEPERAWATAN ANAK

Dosen: Rusana, M.Kep., Ns.Sp.Kep.An


KELOMPOK II
Disusun oleh :
Erlina Arianti (106117020)
Asri melati (106117021)
Adevia Liana (106117024)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN 2A


STIKES AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH CILACAP
2019
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
1 Hemofilia adalah suatu penyakit keturunan yang mengakibatkan darah seseorang
sukar membeku di waktu terjadinya luka. Biasanya darah orang normal bila keluar
dari luka akan membeku dalam waktu 5-7 menit, namun pada orang hemofilia, darah
akan membeku antara 50 menit sampai 2 jam, sehingga menyebabkan orang
meninggal dunia karena kehilangan banyak darah (Suryo, 1986).
2 Hemofilia adalah kecenderungan untuk mengalami pembekuan darah yang abnormal
(diathesis hemoragis) yang bersifat herediter akibat defisiensi faktor VIII koagulasi
dan ditandai dengan perdarahan intramuskular dan subkutis spontan/traumatik,
perdarahan dari mulut, gusi, bibir, dan lidah, hematuria dan hemartrosis (Dorland,
1994).
3 Hemofilia adalah kelainan koagulasi darah bawaan yang paling sering dan serius yang
berhubungan dengan defisiensi faktor VIII, IX, atau XI. Biasanya hanya terdapat pada
anak laki-laki, terpaut kromosom X dan bersifat resesif (Mansjoer, 2000).
4 Hemofilia adalah gangguan koagulasi yang bermanisfestasi sebagai episode
perdarahan intermitten yang disebabkan oleh mutasi gen faktor VII atau faktor IX
(Price, 2003).
Jadi hemofilia adalah kelainan koagulasi darah yang disebabkan oleh tidak adanya salah
satu faktor pembekuan darah terutama pada faktor VIII, IX atau XI yang hampir
seluruhnya penyakit ini timbul pada laki-laki.

B. Epidemiologi
1 Pada 85% kasus, penyakit hemofilia disebabkan oleh kelainan atau defisiensi faktor
VIII, jenis hemofilia ini disebut hemofilia A atau hemofilia klasik. Kira-kira 1 diantara
10.000 pria di Amerika Serikat menderita hemofilia klasik. Pada 15% pasien
hemofilia lainnya kecenderungan pendarahan disebabkan oleh defisiensi faktor IX.
Kedua faktor tersebut diturunkan secara genetik melalui kromosom wanita (Guyton
dan Hall, 2008).
2 Angka kejadiannya 1:5.000 bayi laki-laki yang dilahirkan hidup, tanpa dipengaruhi
ras maupun kondisi sosioekonomi. Hemofilia tak mengenal ras, perbedaan warna kulit
ataupun suku bangsa. Mayoritas penderita hemofilia adalah pria karena mereka hanya
memiliki satu kromosom X. Sementara kaum wanita umumnya hanya menjadi
pembawa sifat (carrier). Seorang wanita akan benar-benar mengalami hemofilia jika
ayahnya seorang hemofilia dan ibunya pun pembawa sifat. Akan tetapi kasus ini
sangat jarang terjadi. Meskipun penyakit ini diturunkan, namun ternyata sebanyak
30% tak diketahui penyebabnya.
3 Diperkirakan 350.000 penduduk dunia mengidap Hemofilia. Di Indonesia, Himpunan
Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) memperkirakan terdapat sekitar 200.000
penderita, namun yang ada dalam catatan resmi HMHI hanya terdapat 891 penderita.

C. Etiologi
a) Faktor Genetik
Hemofilia atau penyakit gangguan pembekuan darah menurun dari generasi ke
generasi lewat wanita pembawa sifat (carrier) dalam keluarganya, yang bisa secara
langsung maupun tidak. Di dalam setiap sel tubuh manusia terdapat 23 pasang
kromosom dengan berbagai macam fungsi dan tugasnya. Kromosom ini menentukan
sifat atau ciri organisme, misalnya tinggi, penampilan, warna rambut, mata dan
sebagainya. Sementara, sel kelamin adalah sepasang kromosom di dalam inti sel yang
menentukan jenis kelamin makhluk tersebut. Seorang pria mempunyai satu kromosom
X dan satu kromosom Y, sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X. Pada kasus
hemofilia, kecacatan terdapat pada kromosom X akibat tidak adanya protein faktor
VIII dan IX (dari keseluruhan 13 faktor), yang diperlukan bagi komponen dasar
pembeku darah (fibrin) (Price, 2003).
b) Faktor Epigenik
Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII dan hemofilia B disebabkan
kekurangan faktor IX. Kerusakan dari faktor VIII dimana tingkat sirkulasi yang
fungsional dari faktor VIII ini tereduksi. Aktivasi reduksi dapat menurunkan jumlah
protein faktor VIII, yang menimbulkan abnormalitas dari protein. Faktor VIII menjadi
kofaktor yang efektif untuk faktor IX yang aktif, faktor VIII aktif, faktor IX aktif,
fosfolipid dan juga kalsium bekerja sama untuk membentuk fungsional aktivasi faktor
X yang kompleks (”Xase”), sehingga hilangnya atau kekurangan kedua faktor ini
dapat mengakibatkan kehilangan atau berkurangnya aktivitas faktor X yang aktif
dimana berfungsi mengaktifkan protrombin menjadi trombin, sehingga jika trombin
mengalami penurunan pembekuan yang dibentuk mudah pecah dan tidak bertahan
mengakibatkan pendarahan yang berlebihan dan sulit dalam penyembuhan luka
(Price, 2003).

D. Patofisiologi
Dalam proses pembekuan darah terdapat dua jalur yang dilalui, yaitu jalur
ekstrinsik yang merupakan proses menstimulasi koagulasi dimulai dengan pelepasan
faktor III (faktor jaringan/tromboplastin) ke sirkulasi dari sel endothelial vascular yang
cedera dan jalur intrinsik dimulai dari aktivasi faktor koagulasi (faktor XII/Hageman)
dalam darah. Kedua jalur akan bergabung dan bekerja sama untuk mengaktifkan faktor X
yang disebut jalur akhir. Tetapi pada hemofilia, terjadi ketidaksempurnaan pembekuan
darah di jalur intrinsiknya. Disini trombosit mengalami gangguan yaitu menghasilkan
faktor VIII, yaitu Anti Hemofiliac Factor (AHF). AHF terdiri dua komponen aktif,
komponen besar dan komponen kecil. Komponen kecil pada AHF yang penting untuk
jalur pembekuan intrinsik, membantu dalam poses aktivasi faktor X manjadi faktor X
teraktivasi. Faktor X teraktivasi inilah yang akan membentuk aktivator protrombin
dengan bantuan faktor V dan fosfolipid jaringan, di mana nantinya aktivator protrombin
dengan bantuan ion kalsium yang akan membantu proses pengubahan protrombin
menjadi trombin. Trombin inilah yang bekerja sebagai katalis kunci yang mengatur
perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan menyebabkan koagulasi.
Jadi, jika terjadi defisiensi faktor VIII, maka tidak akan terbentuk benang-benang
fibrin karena tidak akan terbentuknya faktor X teraktivasi yang membentuk aktivator
protrombin. Karena aktivator protrombin tidak terbentuk, sehingga trombin juga tidak
terbentuk. Inilah yang akan mengakibatkan tidak terbentuknya benang-benang fibrin
sehingga pembekuan darah sulit terjadi.

E. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan faktor pembekuan:
a. Hemofilia A; Juga disebut hemofilia klasik. Adalah penyakit resesif terkait
kromosom X yang terjadi akibat kesalahan pengkodean gen untuk faktor VIII
koagulasi.
b. Hemofilia B; Adalah penyakit terkait kromosom X yang disebabkan tidak adanya
faktor IX
c. Hemofilia C; Adalah penyakit autosomal yang disebabkan tidak adanya faktor XI
2. Klasifikasi hemofilia berdasarkan kadar konsentrasi faktor pembekuan:
a. Hemofilia berat terjadi apabila konsentrasi faktor VIII dan faktor IX plasma
kurang dari 1 %.
b. Hemofilia sedang jika konsentrasi plasma 1 % - 5 %.
c. Hemofilia ringan apabila konsentrasi plasma 5 % - 25 % dari kadar normal.

F. Manifestasi Klinis
Karena faktor VIII tidak melewati plasenta, kecenderungan perdarahan dapat
terjadi dalam periode neonatal. Kelainan diketahui bila pasien mengalami perdarahan
setelah mendapat tindakan sirkumsisi. Setelah pasien memasuki usia anak-anak aktif,
sering terjadi memar atau hematoma yang hebat sekalipun trauma yang mendahuluinya
ringan. Laserasi kecil, seperti luka di lidah atau bibir, dapat berdarah sampai berjam-jam
atau berhari-hari. Gejala khasnya adalah perdarahan sendi (hemartrosis) yang nyeri dan
menimbulkan keterbatasan gerak, dapat timbul spontan maupun akibat trauma ringan,
manifestasi yang sering terjadi adalah:
1. Hematom pada jaringan lunak
2. Hemartosis dan kontraktur sendi
3. Hematuria
4. Perdarahan serebral
5. Terjadinya perdarahan dapat menyebabkan takikardi, takipnea, dan hipotensi
Pendarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenarasi kartilago artikularis
disertai gejala-gejala artritis. Perdarahan retroperitoneal dan intrakranial merupakan
keadaan yang mengancam jiwa. Derajat perdarahan berkaitan dengan banyaknnya
aktivitas dan beratnya cedera. Perdarahan dapat terjadi segera atau berjam-jam setelah
cedera. Perdarahan karena pembedahan sering terjadi pada semua pasien hemofilia dan
segala prosedur pembedahan yang diantisipasi memerlukan penggantian faktor secara
agresif sewaktu praoperasi dan pasca operasi sebanyak lebih dari 50% tingkat aktivitas.
Perdarahan ringan seperti pada awal perdarahan otot atau sendi, tingkat aktivitas
dapat cukup dipertahankan sebanyak 20% hingga 50% untuk beberapa hari, sedangkan
perdarahan berat seperti perdarahan intracranial atau pembedahan sebaiknya dicapai
tingkat aktivitas 100% dan dipertahankan minimal selama dua minggu (Price, 2005).

G. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi : adanya pendarahan akut maupun kronik, ada terlihatnya bengkak, memar,
membran mukosa dan kulit pucat, kelemahan, stomatitis.
2. Palpasi: Terasa adanya benjolan, pada bagian tertentu yang disentuh akan terasa sakit.
NB : Gejala dapat terlihat jika mengalami kecelakaan, trauma yang mengakibatkan
perdarahan.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab. darah
Hemofilia A :
1. Defisiensi faktor VIII.
2. PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang.
3. PT (Protrombin Time/waktu protombin) memanjang
4. TGT (Thromboplastin Generation Test/diferential APTT dengan plasma)
abnormal/memanjang
5. Jumlah trombosit dan waktu perdarahan normal
Hemofilia B :
1. Defisiensi faktor IX.
2. PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang.
3. PT (Prothrombin Time/waktu protombin) dan waktu perdarahan normal.
4. TGT (Thromboplastin Generation Test/diferential APTT dengan serum)
abnormal/memanjang.
Hemofilia C
1. Defisiensi faktor XI.
2. PTT memanjang.
3. Perdarahan dan waktu protrombin normal.

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang lazim dilakukan pada klien ini adalah sebagai berikut:
1. Pemberian konsentrat faktor VIII dan IX pada klien yang mengalami perdarahan
aktifatau sebagai upaya pencegahan sebelum pencabutan gigi dan pembedahan.
2. Penggantian faktor VIII. Faktor VIII mungkin dari konsentrat plasma beku yang
didonasi dari ayah anak yang terkena atau mungkin dihasilkan dari teknik antibodi
monoklonal. Ekstrak plasma faktor VIII dari donor multipel tidak lagi digunakan
karena resiko penyebaran infeksi virus seperti HIV, Hepatitis B, dan hepatitis C
(Corwin, 2009).
3. Pengobatan hemofilia menganjurkan pemberian infus profilaktik yang dimulai pada
usia 1 hingga 2 tahun pada anak-anak yang mengalami defisiensi berat untuk
mencegah penyakit sendi kronis.
4. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM. Aspirin adalah obat antikoagulan
selain itu pemberian obat melalui suntikan memperbesar resiko perdarahan.
5. Perawatan terhadap pasien dengan hemofilia harus selalu waspada jangan sampai
pasien terjatuh/terbentur, atau bila selesai menyuntik dan mengambil darah bekas
jarum harus ditekan lebih lama. Jika tidak segera berhenti dipasang pembalut penekan
atau ditindih dengan eskap. Jika terpaksa memasang kateter urine atau pipa lambung
harus hati-hati sekali. Perhatikan sesudah beberapa saat apakah terlihat perdarahan
(Ngastiyah; 2005).
Terapi Suportif yang Diberikan Pada Klien dengan Hemofilia
Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar faktor antihemofilia yang
kurang. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan.
2. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor
pembekuan sekitar 30-50%.
3. Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertama
seperti rest, ice, compression, elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
4. Kortikosteroid; pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk menghilangkan
proses inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis.
Pemberian prednisone 0,5-1 mg/kg BB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah
terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang menggangu aktivitas harian
serta menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia.
5. Analgetika; Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri
hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit
(harus dihindari pemakaian aspirin dan antikoagulan).
Terapi Pengganti Faktor pembekuan
1. Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan
fisik (terutama sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor antihemofilia (AHF) yang
cukup banyak dengan biaya yang tinggi.
2. Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia dilakukan dengan
memberikan FVIII atau FIX, baik rekombinan, konsentrat maupun komponen darah
yang mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan tersebut. Pemberian
biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan membaik,
serta khususnya selama fisioterapi.
Health Education
1. Orang tua pasien perlu dijelaskan bahawa anaknya menderita penyakit darah sukar
membeku, jika sampai terluka atau terbentur/terjatuh dapat terjadi perdarahan di
dalam tubuh. Oleh karena itu orang tua diharapkan agar waspada terhadap anaknnya.
2. Bila anak sudah sekolah sebaiknya gurunya juga diberitahu bahawa anak itu
menderita hemofilia. Bila perlu diberikan label seperti gelang sehingga bila anak
tersebut mengalami perdarahan segera mendapat pertolongan.
3. Selama masa awal kehidupan, tempat tidur dan mainan harus diberi bantalan, anak
harus diamati seksama selama belajar berjalan (Ngastiyah; 2005).

J. Diagnosis
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium.
1. Pada penderita dengan gejala perdarahan atau riwayat perdarahan, pemeriksaan
laboratorium yang perlu diminta adalah pemeriksaan penyaring hemostasis yang
terdiri atas hitung trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT (protrombin
time/masa protrombin plasma), APTT (activated partial thromboplastin time/masa
tromboplastin parsial teraktivasi) dan TT (trombin time/masa trombin).
2. Pada hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan PTT sedangkan pemerikasaan
hemostasis lain yaitu hitung trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT dan
TT dalam batas normal. Faktor VIII dan IX berfungsi pada jalur intrinsik sehingga
defisiensi salah satu dari faktor pembekuan ini akan mengakibatkan pemanjangan
APTT yaitu tes yang menguji jalur intrinsik sistem pembekuan darah.
Diagnosis Banding Hemofilia
Untuk membedakan hemofilia A dari hemofilia B atau menentukan faktor mana
yang kurang dapat dilakukan pemeriksaan TGT (thromboplastin generation test) atau
dengan diferensial APTT. Namun dengan tes ini tidak dapat ditentukan aktivitas masing -
masing faktor. Untuk mengetahui aktivitas F VIII dan IX perlu dilakukan assay F VIII
dan IX. Pada hemofilia A aktivitas F VIII rendah sedang pada hemofilia B aktivitas F IX
rendah.
Selain harus dibedakan dari hemofilia B, hemofilia A juga perlu dibedakan dari
penyakit von Willebrand, Karena pada penyakit ini juga dapat ditemukan aktivitas F VIII
yang rendah. Penyakit von Willebrand disebabkan oleh defisiensi atau gangguan fungsi
faktor von Willebrand. Jika faktor von Willebrand kurang maka F VIII juga akan
berkurang, karena tidak ada yang melindunginya dari degradasi proteolitik. Di samping
itu defisiensi faktor von Willebrand juga akan menyebabkan masa perdarahan memanjang
karena proses adhesi trombosit terganggu. Pada penyakit von Willebrand hasil
pemerikasaan laboratorium menunjukkan pemanjangan masa perdarahan, APTT bisa
normal atau memanjang dan aktivitas F VIII bisa normal atau rendah. Di samping itu
akan ditemukan kadar serta fungsi faktor von Willebrand yang rendah. Sebaliknya pada
hemofilia A akan dijumpai masa perdarahan normal, kadar dan fungsi faktor von
Willebrand juga normal.

K. Komplikasi
Komplikasi terpenting yang timbul pada hemofilia A dan B diantaranya :
1. Pendarahan dengan menurunnya perfusi.
2. Dapat terjadi perdarahan intrakranium.
3. Timbulnya inhibitor.
Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsentrat faktor VIII dan
faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya.
4. Kerusakan sendi
Dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang terus berulang di dalam dan sekitar
rongga sendi.
5. Penyakit infeksi yang ditularkan oleh darah
Misalnya penyakit HIV, hepatitis B dan hepatitis C yang ditularkan melalui konsentrat
faktor pada waktu sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.


Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions Classifications
(NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Doenges, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. Jakarta: EGC.
Dorland. 1994. Kamus Kedokteran Dorland. Ed.26. Jakarta: EGC.
Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Ed4. Jakarta: EGC.
Juall, Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Carpenito – Moyet. Jakarta: EGC.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed3. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta:
EGC.
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
Suryo. 1986. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai