Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Infark Miokard


3.1.1 Definisi

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen2.

3.1.2 Etiologi

Etiologi dan Faktor Resiko infark miokard terjadi oleh penyebab yang
heterogen, antara lain:

1. Infark miokard tipe 1

Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi
plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen
dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal
tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

2. Infark miokard tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.

3. Infark miokard tipe 3

Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.

4. a. Infark miokard tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya


troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark
miokard.

b. Infark miokard tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.


Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian
infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner. 5.
Infark miokard tipe 53.

3.1.3 Faktor Resiko

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat
diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko
aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang
serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat
diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-
faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok,
diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol,
dan aktivitas fisik.4,5.
Wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih
lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini
diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita
dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap
penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen 4,6.
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)

15
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan
mortalitas akibat infark miokard 7.

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140


mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis
terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya
kadar oksigen yang tersedia 7.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner
sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard.
Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler
berhubungan dengan rokok, penggunaan tembakau berhubungan dengan
kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.5.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT
> 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi
insulin dan diabetes melitus tipe II 5.
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis 5.
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet
yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal.
Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit

16
mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki
peningkatan resiko terkena penyakit 8.

3.1.4 Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis


yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding
arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga
diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke
distal dari tempat penyumbatan terjadi 5.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe
II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi
dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan
injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi
memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel 5.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag.
Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi
kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi
disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan
migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan
fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah.
Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya
trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang
terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri 7.

17
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan
glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang,
asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH
intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan
fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh
monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi
reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel
berakhir pada infark miokard9.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral.
Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat10
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST
yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan
ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak
menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri coroner 10.

3.1.5 Manifestasi Klinis

Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi
lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan
istirahat ataupun pemberian nitrogliserin, Angina pektoris adalah “jeritan” otot
jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan pasokan
oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral
yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung.
Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi
berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut

18
mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering
timbul ketika pasien sedang beristirahat 10.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat
dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur.
Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit,
namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin10.
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau
sedikit meningkat. Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke
volume yang dipompa jantung. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada
kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan
aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama
beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali
normal10.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar
pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara
jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi
ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction
rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI 10.

3.1.6 Diagnosis

Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu
Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner

19
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi
segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil
berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan
oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran
EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non
STEMI11.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan
aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari
pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-
protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan
T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum protein-protein ini
mengkonfirmasi adanya infark miokard .1. Adanya nyeri dada 2. Perubahan
elektrokardiografi (EKG) 3. Peningkatan petanda biokimia.11

Penegakkan diagnosis berdasarkan EKG :

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard


ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik.
Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda
pada daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang menunjukkan
abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada sebagian kasus
infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan gelombang Q
abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik
kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04
detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan
V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan dalam 12
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara
sempurna. Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada

20
akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka
potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika
elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury,
maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi.
ST depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan
dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda,
yang menyebabkan gambaran ST depresi12.

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan
perubahan gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 3.1.5

21
Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard

Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis
aparatus kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin
T (39 kDa), troponin I (26 kDa), dan troponin C (18 kDa). Troponin C berikatan
dengan ion Ca2+ dan berperan dalam proses pengaturan aktifasi filamen tipis
selama kontraksi otot jantung. Berat molekulnya adalah 18.000 Dalton. Troponin
I yang berikatan dengan aktin, berperan menghambat interaksi aktin miosin.
Berat molekulnya adalah 24.000 Dalton. Troponin T yang berikatan dengan
tropomiosin dan memfasilitasi kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi otot.

22
Berat molekulnya adalah 37.000 Dalton. Struktur asam amino troponin T dan I
yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot
skeletal dalam hal komposisi imunologis, sedangkan struktur troponin C pada
otot jantung dan skeletal identik11

Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi


yang tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol,
yang merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril, memiliki 6% dari
total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan dalam
miofibril. Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas
bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT
yang berikatan dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu
lebih lama 10.
Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar
cTnT pada infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama
disebabkan oleh keluarnya cTnT bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena
pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril. Oleh sebab itu, pelepasan cTnT
secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela 12

3.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan dalam mendiagnosa gagal jantung dan memberi terapi dini tidak
berbeda dengan kondisi kronis lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan
morbiditas. Tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :

1. Menurunkan mortalitas
2. Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
3. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan
miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung
dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit.13

1. Non Farmakologi

23
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan
pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri
dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa
merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat
terlatih.13

2. Farmakologi13

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis secara garis besar


bertujuan mengatasi permasalahan preload dengan menurunkan preload,
meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi
farmakologis ini tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun obat
golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-
obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum
terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat
mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik,
barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik.

a) Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih
toleran terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada
semua pasien dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%.
Terapi dengan ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan
pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal
jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien yang
menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien
pulang rawat (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

24
- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

- Riwayat adanya angioedema


- Stenosis bilateral arteri renalis
- Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
- Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
- Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal
atau hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat

b) Angiotensin receptor blocker (ARB)

Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan


ACE, ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan
LVEF < 40% yang tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi
optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan
gagal jantung (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab
kardiovaskular (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). ARB
direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein yang intoleran
terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi

25
risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat
perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan
ARB harus dimulai sebelum pasien dipulangkan (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti B)
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat
perburukan gagal jantung. Angiotensin Reseptor Blocker
direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran
terhadap ACEI.
Pasien yang harus mendapatkan ARB :

- Left ventrikular ejection fraction (LVEF) < 40%


- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap
ACEI.
- Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan
bete bloker

Memulai pemberian ARB:

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal
atau hiperkalemia
c) Beta Blocker
Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung
adalah adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang
dapat memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan
kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien
gagal jantung yang simtomatik dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, mengurangi

26
kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani
perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien
dipulangkan (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
- Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian
diastolik sehingga memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB :

- LVEF < 40%


- Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-
IV), pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah
kejadian infark miokard
- Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone
antagonis jika diindikasikan)
- Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis
diuresis). Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan
untuk diberikan pada pasien yang baru saja masuk rawat karena
GJA, selama pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak
tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat
diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya
terapi BB
Kontraindikasi :

- Asthma (COPD bukan kontranindikasi)


- AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa
keberadaan pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm)

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

27
- Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25
mg, metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25
mg. Dengan supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan
- Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat
dimulai sebelum pasien dipulangkan dengan hati-hati
d) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang
disertai tanda dan gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
B). Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan
mengurangi tanda dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada
pasien dengan gagal jantung. Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan
bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan
dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang
cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung
sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk
edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia.
Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan
kreatinine dipanantau secara berkala.
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

- Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat


meningkatan risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama
jika digunakan bersamaan
- Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium
biasanya tidak dibutuhkan
- Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat
kalsium termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan
dengan ACEI/ARB. Penggunaan diuretik antagonis non-

28
aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis
aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada
supervisi yang cermat

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

- Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit


- Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan
thiazid karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu
diuresis dan natriuresis
- Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga
terrdapat perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal
jantung
- Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering
normal telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan
dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal ini dengan
menggunakan dosis diuretik serendah mungkin
- Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan
pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya
dari retensi cairan harus selalu disokong pada pasien gagal
jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan
edukasi pasien

e) Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika
ditambahkan pada terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
- LVEF < 35%
- Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV
NYHA)

29
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau
hiperkalemia

f) Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari


Hydralizine-ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat
intoleransi baik oleh ACEI dan ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN
harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang persisten walau
sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron Antagonis.
Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko
kematian (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), mengurangi angka
kembali rawat untuk perburukan gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti B), memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan
(Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan
banyak uji klinis adalah :

- Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat


ditoleransi
- Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi
- Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada
keturunan afrika-amerika

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma


lupus, gagal ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

30
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

- Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali


sehari
- Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu,
jangan dinaikan bila terdapat hipotensi simtomatik
- Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis
yang digunakan pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg
dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi
hingga dosis maksimal tertoleransi

g) Digoxin
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin
dapat digunakan untuk mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada
pasien dengan AF dan LVEF < 40%, digoxin dapat pula diberikan
bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan darah (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF
< 40%, terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan
fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan
perawatan ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini walau
demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B).
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung
dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan
kadar kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil
dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan Na-K-
ATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui
penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal
:

31
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan
dan fungsi ventrikel kiri.
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan
peningkatan vagal tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>
80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan
digoksin.
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri
(LVEF < 40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI
atau/ dan ARB, beta bloker dan antagonis aldosteron jika
diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.

3.1.8 Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak
variabel yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, komorbiditas, variasi
progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian
(apakah mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Pengobatan gagal
jantung menggunakan ACE Inhibitor (ACEI) dan Beta-blocker (BB) saat ini
dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien dengan gagal jantung.

32

Anda mungkin juga menyukai