Anda di halaman 1dari 38

Search...

MANHAJ
Jalan Golongan Yang Selamat
Noor Akhmad Setiawan 12 June 2014 3 Comments


Firqatun Najiyah
Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut
dengan al-firqatu an-najiyah ( ‫ ) الناجية الفرقة‬muncul berdasarkan
hadis Nabishallallahu ‘alaihi wasallamyakni:

‫ فرقة سبعين و إحدى على اليهود افترقت‬، ‫ النار في سبعين و الجنة في فواحدة‬، ‫افترقت و‬
‫ النار في سبعين و إحدى و الجنة في فواحدة فرقة سبعين و اثنين على النصارى‬، ‫الذي و‬
‫ فرقة سبعين و ثالث على أمتي لتفترقن بيده نفسي‬، ‫في سبعين و ثنتين و الجنة في فواحدة‬
‫ النار‬، ‫ قال ؟ هم من هللا رسول يا قيل‬: ‫الجماعة هم‬

“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di


Surga dan tujuh puluh di Neraka, dan Nashara telah berpecah
belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh
satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh
ummatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu
di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka, dikatakan “Wahai Rasul
ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-
Jama’ah.”” (HR Ahmad, shahih).

Kata “ ‫ ” فرقة‬bermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah,


sedangkan “ ‫ ” ناجية‬bermakna selamat. Dalam konteks hadis di
atas adalah selamat dari Neraka dan dimasukkan Surga.

Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz


hadis tersebut menunjukkan yang selamat disebut “ ‫ ” الجماعة‬yang
juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil berkumpul.
Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi
makna syar’i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak
berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-
Jama’ah yang dimaksud?
Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-
Jama’ah dan al-Firqah dan perintah untuk berjama’ah atau
berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam
al-Quran dan as-Sunnah:

)103 :‫ من اآلية‬:‫َّللاِ َج ِميعًا َوال تَفَ هرقُوا} (آل عمران‬


‫َص ُموا بِ َح ْب ِل ه‬
ِ ‫{ َوا ْعت‬

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,


dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS Ali Imran: 103)

{ ‫اختَلَفُوا تَفَ َّرقُوا َكالَّذِينَ ت َ ُكونُوا َوال‬ ْ (‫عمران آل‬: ‫اآلية من‬: 105)
ْ ‫}البَيِنَاتُ َجا َء ُه ُم َما بَ ْع ِد ِم ْن َو‬

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-


berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. …” (QS Ali Imran:105).

Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama’ah)


dan melarang perpecahan (firqah).

Sedangkan dalam as-Sunnah:

((‫))جاهلية ميتة مات فمات الجماعة وفارق الطاعة من خرج من‬

“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan


diri (berpecah) dari al-jama’ah kemudian mati maka mati dalam
keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

((‫))أبعد االثنين من وهو الواحد مع الشيطان فإن الجماعة فليلزم الجنة بحبوحة أراد من‬

“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman


hendaknya melazimi al-jama’ah karena syaitan bersama satu
orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-Tirmidzi dari
‘Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-
Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
((‫))عذاب والفرقة رحمة الجماعة‬

“Jama’ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu ‘adzab”


(HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-
Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami’ dan yang lain)

Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah


disebutkan tentang kewajiban melazimi al-Jama’ah dan
menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama’ah?

Al Jama’ah
Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabat maka makna al-Jama’ah tentu saja berpegang
kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah, karena
jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama’ah yang
dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-
Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka
adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-
Jama’ah yakni Nabi dan para shahabat.

Para ‘ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak


saling bertentangan, di mana menurut asy-Syathibi bisa
dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:

1. as-Sawadu al-A’dzam ( ‫ ) السواد األعظم‬yakni maksudnya


adalah kelompok terbesar dari orang-orang muslim. Mereka
itulah yang dimaskud al-Jama’ah yaknial-Firqatu an-
Najiyah(golongan yang selamat). Maka pemahaman Islam
yang mereka pegang adalah benar yang menyelisihi mereka
mati dalam keadaan mati jahiliyah baik menyelesihi
pemahaman agama mereka ataupun menyelisihi imam
mereka. Sehingga yang dimaksudas-Sawadu al-
A’dzamadalah orang-rang yang berpegang teguh dengan
syari’ah yang benar. Pendapat ini adalah pendapat Abu
Mas’ud al-Anshari dan Ibnu Mas’udradhiallahu ‘anhuma.
Ketika terbunuhnya khalifah ‘Utsmanradhiallahu ‘anhu maka
Abu Mas’ud ditanya tentang fitnah maka beliau menjawab:
“Tetaplah engkau dengan al-Jama’ah, sesungguhnya ALLAH
tidaklah mengumpulkan ummat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas kesesatan …”. Ibnu Mas’ud berkata:
“Tetaplah kalian mendengar dan ta’at, karena itu adalah tali
ALLAH yang Dia perintahkan (untuk memegang teguh) …”
beliau juga berkata: “Sesungguhnya yang kalian benci di
dalam jama’ah lebih baik dari pada yang kalian sukai di
dalam perpecahan …”.
2. Jama’ah imam-imam ‘ulama mujtahidin, maka barang
siapa keluar dari apa yang telah disepakati ‘ulama ummat ini
mati dalam keadaan mati jahiliyah. Karena ‘ulama ummat ini
lah yang dimaksud dalam hadis shahih :

((‫))ضاللة على أمتي يجمع لن هللا إن‬

“Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku


di atas kesesatan” (hadis ini dishahihkan al-Albani
dalam Shahih al-Jami’).
Pendapat ini mengkhususkan ‘ulama mujtahidin dari as-
Sawadu al-A’dzam ummat ini. Pendapat ini dikatakan oleh:
‘Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaihi dan
sekelompok ulama salaf. Ibnu al-Mubarak pernah ditanya:
“Siapakah al-Jama’ah yang sepatunya diikuti?” Beliau
berkata:” Abu Bakar dan ‘Umar”. beliau terus menyebutkan
sampai ke Muhammad bin Tsabit dan al-Husain bin Waqid.
Maka dikatakan pada beliau: “ Mereka sudah mati, siapakah
yang masih hidup dari Jama’atu al-Muslimin hari ini?” maka
dijawab: “ Abu Hamzah as-Sukari adalah jama’ah.” Abu
Hamzah ini adalah Muhammad bin Maimun al-Marwazi,
mendengar dari Abu Hanifah. Oleh karena itu barang siapa
beramal menyelesihi para ulama mujtahid ini akan mati
dalam keadaan jahiliyah.

3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah


berhasil menegakkan agama ini secara keseluruhan dan
meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di
atas kesesatan. ‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam danWulatu al-
amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan
tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah
pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran),
penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas
agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan
mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang
menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan
tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil
pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh
ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan
selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan
membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan dia
ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat
kembali”.
Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau
takjub dan menyetujuinya. Pendapat ini sesuai dengan
riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni
lafadz pengganti al-Jama’ah yaitu:

((‫))وأصحابي عليه أنا ما‬

“Apa yang aku dan shahabatku di atasnya …”


hadis dengan lafadz ini diriwayatkan at-Tirmidzi dalam
sunannya dan dihasankan al-Albani dalamShahih at-
Tirmidzi. Lafadz ini menerangkan makna al-Jama’ah yang
tidak lain dasarnya adalah tuntunan yang dipegang dan
difahami para shahabatradhiallahu ‘anhum.

4. Jama’atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu


perkara maka wajib atas yang lain untuk mengikuti mereka.
Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi’i berkata:

‫قياس وال سنة وال كتاب معنى عن غفلة فيها تكون ال الجماعة‬، ‫في الغفلة تكون وإنما‬
‫الفرقة‬

“al-Jama’ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna


Kitab (al-Quran) dan Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian
hanya terjadi pada firqah (sempalan)”.
Beliau bermaksud bahwa jama’ah kaum muslimin adalah
orang-orang yang berkumpul dalam satu perkara, karena
berkumpulnya mereka terhadap satu perkara menunjukkan
kalau perkara itu shahih karena Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan
bersepakat dalan kesesatan, sedangkan perpecahan dan
perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-Quran
dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke maknaal-Jama’ah.

5. Jama’ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir


(pemimpin), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi jama’ah
tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan
jama’ah ini. Ini adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai
hadits :

((‫))كان من كائنًا عنقه فاضربوا جماعتهم ليفرق أمتي إلى جاء من‬

“Barangsiapa datang ke ummatku untuk memecah-belah


jama’ah mereka maka penggallah lehernya apapun yang
terjadi.”

Kelima makna al-Jama’ah bisa dirangkum bahwa al-


Jama’ahkembali kepada berkumpul dan bersatunya kaum
muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-
Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah
di luar maknaal-Jama’ah dalam hadis tersebut, sebagaimana
orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam ‘Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan juga pemahaman para shahabat
terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama’ah


disertai dengan ittiba‘ sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah
wa al-Jama’ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keselamatan di antara
golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba‘
(mengikuti) sunnah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamdalam aqidah,
ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama’ah kaum muslimin jika
ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan
meninggalkan seluruh golongan yang ada.

Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi


jama’ah maka yang dimaksud adalah melazimi kebenaran dan
megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran
jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah
banyak, karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama’ah
pertama pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu
juga pada zaman para shahabat radhiallahu ‘anhum, tidak
dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada
kebathilan setelah mereka.

‘Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu’adz bin Jabal dan
kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mendengar Ibnu Mas’ud
berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama’ah …”, sehingga
datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu
Mas’ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan
berjama’ah bersama “al-jama’ah” sebagai tambahan
(nafilah/sunnah). Maka ‘Amru mempertanyakan saran Ibnu
Mas’ud ini. Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ”Apakah engkau
mengetahui makna al-Jama’ah?”. ‘Amru menjawab: “Tidak.”

Ibnu Mas’ud berkata:” Sesungguhnya mayoritas al-Jama’ah itulah


yang telah meninggalkan al-Jama’ah yang sesungguhnya,
sesungguhnya al-Jama’ah itu adalah apa yang sesuai kebenaran
walaupun engkau sendirian!”

Nu’aim bin Hammad berkata: ”Yaitu jika al-Jama’ah sudah rusak


maka tetaplah Engkau dengan apa yang di atasnya al-
Jama’ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka Engkau
adalah al-Jama’ah pada saat itu”. Ini adalah ucapan yang luar
biasa jelas, sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut
akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam dan melazimi agama
Allah Ta’ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.

Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga


orang-orang generasi awal yang mengikuti mereka berpegang
pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni sering
disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?

Salaf
Istilah “‫ ” سلف‬secara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “
‫ ” سالف‬yang bermakna orang yang mendahului, sehingga salaf
bermakna kumpulan orang-orang yang telah mendahului,
sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:

{‫سلَفًا فَ َجعَ ْلنَا ُه ْم‬


َ ‫آلخ ِرينَ َو َمث َ ًال‬
ِ ‫الزخرف( } ِل‬: 56).

“dan Kami jadikan mereka sebagai ‘salaf’ dan contoh bagi orang-
orang yang datang kemudian.” Kata ‘salaf’ di ayat tersebut adalah
para pendahulu sebagai pelajaran untuk diambil ‘ibrahnya.

Makna salaf secara istilah terdapat beberapa pendapat:

1. salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para


pensyarah kitab ar-Risalaholeh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.
2. salaf adalah para shahabat dan tabi’in, ini pendapat Abu
Hamid al-Ghazzali.
3. salaf adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yakni
tiga generasi yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan kebaikan dalam hadis ‘Imran bin Hushain
yakni:

“‫قرني أمتي خير‬، ‫يلونهم الذي ثم‬، ‫ ”يلونهم الذين ثم‬.

“ Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian setelah


mereka, kemudian setelah mereka” (HR al-Bukhari)

Pendapat ini dipegang banyak ‘ulama seperti asy-Syaukani, as-


Safarini, Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Sebagian ‘ulama seperti al-
Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya seperti al-Imam
Ahmad, al-Imam asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan lainnya yakni
aqran mereka (‘ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam
istilah salaf.

Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa


atau generasi akan tetapi kembali ke makna al-Jama’ah yakni
ahlu as-sunnah wa al-jama’ah di mana salaf yang dimaksud
adalah generasi shahabat, tab’in, tabi’ut tabi’in yang berpegang
dengan al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid’ah
Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi tersebut.
Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu
jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak
dan leluasa di antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana
mu’tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah
untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat
Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf
itu tidak lain pemahaman al-Jama’ah yakni pemahaman golongan
yang selamat.
Al-Imam as-Safarini berkata: ”Maksud dari madzhab as-salaf yaitu
apa yang para shahabat yang mulia di atasnya dan juga para
tabi’in (pengikut shahabat dengan cara yang baik), pengikut
tabi’in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan
perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-
ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang
dicap dengan bid’ah atau terkenal dengan gelar yang tidak
diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah,
Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan semacamnya”.

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para ‘ulama yang senada


dengan beliau yang tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang
singkat ini.

Ahlul Hadits dan Ath Tha’ifah Al Manshurah


Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama’ah sebagai golongan
yang selamat selain nama ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan
salaf, yakni ahlu al-hadis danath-tha’ifah al-manshurah. Makna
yang dimaksud “ ‫ ” الحديث أهل‬bukanlah para pakar hadis baik sisi
riwayat atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang
yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti jejak
para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan
hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam
mengumpulkan, menjaga, meriwayatkan, memahami dan
mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka
menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mendahului sunnah-
sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid’ah apapun
keadaannya.
Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman
ke zaman, akan tetapi makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah
makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti sekelompuk
ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan
dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke
makna munculnya istilah ini sebagai nama lain dari al-
Jama’ah atau dengan kata lain istilah ahli hadits harus
dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah dengan merujuk kepada
kitab-kitab ‘aqidah salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-
Hadits” oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni, juga “I’tiqad Aimmati al-
Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma’ili dan semacamnya bukan
merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak
mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan
seseorang menjadi golongan yang selamat.

Apabila dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah maka istilah


ahlu as-sunnah akan sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika
dikembalikan pembahasan ilmu musthalah hadits maka ahlu as-
sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.

Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah


dengan al-hadits tentang perkataan sebagian ‘ulama tentang al-
Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-sunnah
dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits),
maka beliau menjawab: “As-sunnah adalah lawan dari al-bid’ah,
kadang-kadang seseorang termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu
al-bid’ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni
beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber’aqidah
sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu
al-haq bukan bid’ah)”.
Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah
dan orang yang paling dekat kepada sunnah, dan mereka adalah
pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penukil
sunnah-nya, ahlu al-bid’ah di antara mereka sangat sedikit,
sebagian besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba‘
bukan ibtida‘ yakni berbuat bid’ah.

Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab ‘aqidah


maka yang dimaksud adalahahlu al-hadits dalam riwayat
dan dirayah dan ittiba‘, tidak hanya sekedar mendengar, menulis
dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba’. Sehingga maksud ahlu al-
hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaqkhususnya dalam
kitab-kitab ‘aqidah dari para salaf.

Sedangkan penamaan yang lain yakni “ ‫ ” المنصورة الطائفة‬yang


bermakna “Golongan yang ditolong”. Penamaan ini berasal dari
hadits:

َ ‫ظا ِه ِرينَ أ ُ َّمتِي ِم ْن‬


(( ‫طائِفَة ت َزَ ا ُل َال‬ َ ‫))ظاهرون وهم هللا أمر يأتيهم حتى‬

“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di
atas kebenaran) sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH
dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran)“. (HR al-Bukhari)

َ ‫منصورين أ ُ َّمتِي ِم ْن‬، ‫ض ُّر ُه ْم َال‬


(( ‫طائِفَة ت َزَ ا ُل َال‬ ُ َ‫))الساعة تقوم حتى َخذَلَ ُه ْم َم ْن ي‬

“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak


memudharatkan mereka orang-orang yang menjatuhkan mereka
sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi, beliau berkata
hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)
Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah
manshurah), ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata: ”Mereka
menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-
hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.

Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-


haditsmaka saya tidak tahu siapa lagi mereka itu.”

‘Ali bin al-Madini berkata: “Mereka adalah ashabu al-hadits”.

al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini


bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu lagi siapa mereka
itu.”

al-Bukhari berkata: “Mereka adalah ahlu al-‘ilmi (‘ulama).”

dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata:


“Mereka ashabu al-hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab
ahlu al-hadits termasuk ahlu al-‘ilmi(‘ulama).

Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-‘ilmi danashabu al-


atsar”. Ahlu al-atsaryang dimaksud sama denganahlu al-hadits.

Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak


mendapat pertolongan dan kemenangan dari ALLAH? Sebab
mereka menolong sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang
paling layak mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana
kata Abu ‘Abdillah al-Hakim: “Sungguh Ahmad bin Hambal sangat
tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah
yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat
adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana
telah dijelaskan.

al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya Ahmad bermaksud


(dari ashabu al-hadits) adalah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah dan
siapapyn yang beraqidah dengan madzhab ahlu al-hadits”.

Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para


salaf terhadap ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah
wa al-Jama’ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh karena itu
banyak didapatkan dalam kitab-kitab ‘aqidah pemutlakan
nama ath-Thaifah al-Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa
al-Jama’ah.

Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang


ditolong ini di daerah Syam, tidak berarti membatasi hanya di
Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni
golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang
lain bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH
a’lam.

Metode penerimaan ilmu agama


Sumber ilmu mereka baik dalam ‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah,
akhlak dan seluruh cabang-cabang syari’ah adalah hanya dari al-
Quran dan as-Sunnah.

Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali


Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, semua perkataan siapapun
boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti
perkataan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambukan sebaliknya.

Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu
mengikuti sunnah sebagaimana jama’ah pada zaman
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamyakni para shahabat radhiallahu
‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka.
Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali
setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’
salaf.

Ahlu as-sunnah wa al-jama’ahtidaklah bersikap kecuali dengan


ilmu dan akhlak paraas-salafu ash-shalih dan orang-orang yang
mengambi dari mereka dan melazimi jama’ah mereka. Hal itu
disebabkan karena para shahabat radhiallahu ‘anhum belajar
tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mereka mengajarkan kepada para tabi’in dan mereka
tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula
perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.

ALLAH telah memuji mereka dalam al-Quran:

‫ع ْن ُه ْم‬
َ ُ‫َّللا‬
‫ي ه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ان َر‬ ٍ ‫س‬ َ ‫ار َوالهذِينَ اتهبَعُو ُه ْم بِإ ِ ْح‬ ِ ‫ص‬ َ ‫اج ِرينَ َواألَن‬ ِ ‫سابِقُونَ األ َ هولُونَ ِمنَ ْال ُم َه‬ ‫{ َوال ه‬
}‫ار خَا ِلدِينَ فِي َها أَبَدًا ذَ ِل َك ْالفَ ْو ُز ْالعَ ِظي ُم‬ ُ ‫ت ت َ ْج ِري تَحْ ت َ َها األ َ ْن َه‬ َ َ ‫ع ْنهُ َوأ‬
ٍ ‫ع هد لَ ُه ْم َجنها‬ َ ‫ضوا‬ُ ‫َو َر‬
)100 :‫(التوبة‬

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk


Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.”

Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat


ridha dan surga-Nya. Maka barang siapa mengikutias-sabiqun al-
awwalun maka termasuk golongan mereka dan mereka adalah
sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat
Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallamadalah sebaik-baik ummat
yang dikeluarkan untuk manusia dan para shahabat pada
hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i’tidal (ummat


pertengahan dan moderat)

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat sebagaimana firman


ALLAH ta’ala:

}‫ت أ ُ َّمة َخي َْر ُك ْنت ُ ْم‬


ْ ‫اس أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫عمران آل{ ) ِللن‬: ‫اآلية من‬: 110)

“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk


manusia” (QS: Ali Imran:110)

mereka juga ummat pertengahan sebagaimana firman-Nya:

}‫طا أ ُ َّمةً َجعَ ْلنَا ُك ْم َو َكذَ ِل َك‬


ً ‫س‬
َ ‫)و‬
َ {‫البقرة‬: ‫اآلية من‬: 142.(

“demikianlah Kami jadi kalian umat yang pertengahan”

Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat


agama lain sehingga Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah
sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat
Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-
Quran dan as-Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah
golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah
sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhumsehingga
merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.

Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat


mereka yakni:

 Pertengahan dalam bab sifat-sifat ALLAH Ta’ala di antara


orang-orang yang menta’thilnya (menolak) seperti Jahmiyah
dan orang-orang yang menyerupakannya dengan sifat
makhluk (tamtsil).
 Pertengahan dalam bab perbuatan hamba-hamba-Nya di
antara Jabriyah (menganggap hamba-hamba-Nya dipaksa
tanpa kehendak sama sekali) dan Qadariyah (menolak
adanya takdir).
 Pertengahan dalam bab janji dan ancaman ALLAHTa’ala di
antara Murji’ah dengan Khawarij serta Mu’tazilah.
 Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di
antara orang-orang yang berlebihan dengan beberapa
shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.
 Pertengahan dalam bab‘aql dan naql.

Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-


ciri berupak akhlak mulia seperti bersabar terhadap musibah,
bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan takdir
yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang
mulia. Amar ma’ruf dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas
Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab
‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang ditulis oleh para ulamaAhlu as-
Sunnah dari zaman ke zaman.

ALLAH a’lam

***

Penulis: Ustadz Abu Ali Noor Ahmad S.


Artikel Muslim.Or.Id

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih


lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

TOPICS: AHLUS SUNNAH, AL JAMA'AH,FIRQATUN NAJIYAH, MANHAJ, SALAFI,WAHABI


PREVIOUS

Hadits Tentang Kiamat dan Akhirat

NEXT

Safari Dakwah Ustadz Badrussalam di Yogyakarta (14-15 Juni 2014)


ABOUT AUTHOR

Noor Akhmad Setiawan


View all posts by Noor Akhmad Setiawan »
ARTIKEL TERKAIT

Khawarij Membunuh Abdullah bin Khabbab

18 May 2018
Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 6)

14 May 2018
Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 4)

9 May 2018

Ketika “Taat” Diberi Label sebagai Penjilat

5 April 2018
Gerakan Membela Ramadhan

21 May 2019
Sikap Mudarah dan Mudahanah Terhadap Kemaksiatan

11 April 2019

Menjelaskan Bid’ah Bukan Berarti Memvonis Neraka

14 February 2019
Bolehkah Berdalil Dengan Khilafiyah?

12 September 2018
Hukum Asal Ibadah adalah Terlarang, sampai Ada Dalil dari Syariat

7 July 2018

Keutamaan Menghadiri Majelis Ilmu Di Masjid

22 May 2018

3 COMMENTS

1.

Agrippin L Finnegan 23 February 2015

Barakallahu fiikum

REPLY
LEAVE A REPLY
7 ARTIKEL TERBARU

 Rajin Shalat Tarawih Tapi Tidak Shalat Wajib Berjamaah di Masjid


 Memprioritaskan Akhlak kepada Allah
 Meraih Surga dan Menjauh dari Neraka dengan Ilmu Syar’i
 Dosa Juga Dilipatgandakan Di Bulan Ramadhan
 Tidak Sah Shalat Tarawih yang Ngebut dan Tidak Tuma’ninah
 Gerakan Membela Ramadhan
 Ketidaksempurnaan Iman Kaum Musyrikin Terhadap Rububiyyah Allah
CARI TENTANG APA?

Select Category Akhlaq dan Nasehat Al-Quran Aqidah Artikel Unggulan Bahasan
Utama Berita Dunia Islam Biografi Dari Redaksi Doa dan Zikir Donasi Fatwa
Ulama Fiqh dan Muamalah Hadits Iklan Baris Info Dauroh dan Kajian Info Lembaga
Pendidikan Info Lowongan Kerja Jejak Islam Kaidah Fiqih Keluarga Kesehatan
Islami Kolom TI Manhaj Muslimah Nasehat Ulama Ramadhan Review
Website Sejarah Islam Sekilas Info Serba-Serbi Soal
Jawab Ramadhan Syiah Tafsir Tazkiyatun Nufus Uncategorized Video
MUSLIM.OR.ID

Tentang Kami
Kontributor
Donasi Dakwah
Pasang Iklan

YPIA.OR.ID

Tentang YPIA
Program YPIA
Donasi Dakwah
Kontak Kami

ALAMAT KAMI

Pogung Rejo No. 412, RT 14/RW 51, kelurahan Sinduadi, kecamatan Mlati, kabupaten
Sleman, kode pos: 55284
Kontak: +62 857-4952-5735
E-mail: muslim.or.id[at]gmail.com

Copyright 2019 Muslim.Or.Id. All Rights Reserved.

 Donasi Semarak Ramadhan (39%)

 Donasi Buka Puasa (30%)

 Donasi Buku Gratis (83%)

 Donasi Gedung SDIT (48%)

Anda mungkin juga menyukai