Anda di halaman 1dari 39

Case Report

GRAVE DISEASE

Oleh

dr. Ardho Mahamada

Preseptor

dr. Elvi Fitraneti, Sp.PD,FINASIM

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD MOH. NATSIR
SOLOK
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830,
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves
disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan
atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 2012)
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis
(80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5%
karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi
terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan
dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada
2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi
antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci et al,
2015).

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara


pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Shahab, 2012).

Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom


penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada
tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat
anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan
tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia
pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi
terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Shahab, 2012).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Tiroid


2.1.1 Anatomi

Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan


sternohyoid, terletak di anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar ini
terdiri dari lobus kanan dan kiri di anterolateral dari laring dan trakea. Kedua
lobus ini disatukan oleh bagian yang menyatu yang disebut isthmus, di cincin
trakea kedua dan ketiga. Kelenjar tiroid dikelilingi oleh suatu fibrous capsule
tipis, yang membuat septa kedalam kelenjar. Jaringan ikat padat menempel pada
cricoid cartilage dan superior tracheal ring. Dari external ke capsule adalah loose
sheath yang dibentuk oleh visceral portion dari lapisan pretracheal di kedalaman
cervical fascia (Snell, 2015).

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid


Arteri; kelenjar tiroid memiliki aktivitas vaskular yang tinggi dan disuplai
oleh arteri superior dan inferior. Pembuluh darah ini berada di antara fibrous
capsule dan loose fascial sheath. Biasanya cabang pertama dari arteri eksternal
karotid adalah superior tiroid arteri, turun ke bagian superior kelenjar,
menembus lapisan pretracheal di kedalaman cervical fascia, dan membagi
kedalam cabang anterior dan superior yang menyuplai bagian anterosuperior
dari kelenjar. Arteri inferior tiroid, cabang terbesar dari thyrocervical trunks
dari arteri subclavian, ke bagian posterior secara superomedial ke carotid
sheath untuk mencapai bagian posterior dari kelenjar tiroid. Terbagi kedalam
beberapa cabang yang menembus lapisan pretracheal di kedalaman cervical
fascia dan menyuplai bagian posterioinferior, termasuk ke bagian inferior
kelenjar. Kanan dan superior kiri dan arteri inferior tiroid beranatomosis
kedalam kelenjar dan menyuplai kelenjar (Snell, 2015).
Vena; Tiga pasang vena tiroid biasanya membentuk tiroid plexus vena di
permukaan anterior kelenjar tiroid dan anterior trachea. Vena superior tiroid
bersama arteri superior tiroid, mereka memperdarahi bagian superior tiroid.
Vena middle tiroid tidak disertai arteri dan memperdarahi bagian medial tiroid.
Sedangkan vena inferior tiroid memperdarahi bagian inferior tiroid. Vena
superior dan middle tiroid akan bermuara ke internal jugular vein sedangkan
vena inferior tiroid bermuara ke brachiocephalic vein (Snell, 2015).
Lymph; pembuluh lymph dari kelenjar tiroid melewati jaringan ikat
interlobular, biasanya didekat arteri. Mereka berkomunikasi dengan suatu
jaringan capsular pembuluh lymphatic. Dari sini, pada mulanya pembuluh ini
melewati prelaryngeal, pretracheal, dan paratracheal lymph nodes.
Prelaryngeal mengalir ke superior cervical lymph nodes, dan pretracheal dan
paratracheal lymph nodes mengalir ke inferior deep cervical nodes. Disamping
itu, pembuluh lymph berada di sepanjang vena superior tiroid melewati
langsung ke inferior deep cervical lymph nodes. Beberapa pembuluh lymph
mengalir ke brachiocephalic lymph nodes atau thoracic duct (Snell, 2015).
Nerve; Saraf dari kelenjar tiroid diturunkan dari superior, middle, dan
inferior cervical (symphatetic) ganglia. Mereka mencapai kelenjar melalui
cardia dan superior dan inferior thyroid periarterial plexuses yang bersama-
sama tiroid arteri. Seratnya adalah vasomotor, bukan secremotor. Mereka
menyebabkan konstriksi pembuluh darah. Sekresi endokrin dari kelenjar tiroid
diregulasi secara hormonal oleh kelenjar pituitary (Snell, 2015).

2.1.2. Mekanisme iodine pathway dalam tubuh


Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

Gambar 2. Proses Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.


2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi dengan bantuan
H2O2 dan enzim TPO(tiroperoksidase). Kelenjar tiroid merupakan satu-
satunya jaringan yang dapat mengoksidasi hingga mencapai status valensi
yang lebih tinggi..

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan


residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase) menghasilkan
MIT dan DIT,proses ini disebut coupling.Perangkaian iodotironil, yaitu
perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin,
tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT
menjadi T3 (triiodotirosin). Reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh
enzim tiroperoksidase.

4. Sesudah pembentukan hormon selesai,hormon dan yodium serta Tg


disimpan ekstrasel (di lumen koloid) yang akan dikeluarkan apabila
dibutuhkan ,tahap ini disebut storage.

5. Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya vesikel endositotik di


ujung vili atas pengaruh TSH,resorpsi
6. Terjadi proses digesti oleh enzim lisosom dan endosom sehingga
memisahkan produk yang beryodium dari Tg yang menghasilkan
T3,T4,DIT dan MIT bebas,proses ini disebut proteolisis.

7. T3 & T4 berdifusi dan dilepaskan ke sirkulasi, sekresi

8. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim yodotirosin
deiodinase sangat berperan dalam proses ini.

9. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan


kompleks golgi.

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik


secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek
(Guyton, 2010).

Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:

1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4


dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.

3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3 oleh enzim
deiodinase( DI,DII dan DIII) atau diaktifkan,organ yang mempunyai kapasitas
untuk konversi ialah hati,ginjal,jantung dan hipofisis melalui proses pengeluaran
satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi
T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel
(Guyton, 2010).
Gambar 3. Proses kerja Hormon dengan reseptor Sistem Organ

 Tironin yang diiodinisasi diturunkan dari iodinisasi cincin fenolik dari


residu tirosin dalam tiroglobulin membentuk mono- dan diiodotirosin,

yang digabungkan membentuk T3 atau T4 (Murray, 2010)


 Hormon tiroid unik karena mengandung 59-65% unsur iodin (Murray,
2010)
2.1.3 Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid

Mula-mula, hipotalamus sebagai pengatur mensekresikan TRH


(Thyrotropin-Releasing Hormone), yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di
dalam eminansia mediana hipotalamus. Dari mediana tersebut, TRH kemudian
diangkut ke hipofisis anterior lewat darah porta hipotalamus-hipofisis. TRH
langsung mempengaruhi hifofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran
TSH.nTSH merupakan salah satu kelenjar hipofisis anterior yang mempunyai efek
spesifik terhadap kelenjar tiroid (Guyton, 2010) :
1. Meningkatkan proteolisis tiroglobulin yang disimpan dalam folikel,
dengan hasil akhirnya adalah terlepasnya hormon-hormon tiroid ke dalam
sirkulasi darah dan berkurangnya subtansi folikel tersebut.
2. Meningkatkan aktifitas pompa yodium, yang meningkatkan kecepatan
proses iodide trapping di dalam sel-sel kelenjar, kadangakala
meningkatkan rasio konsentrasi iodida intrasel terhadap konsentrasi iodida
ekstrasel sebanyak delapan kali normal.

3. Meningkatkan iodinasi tirosin untuk membentuk hormon tiroid.

4. Meningkatkan ukuran dan aktifitas sensorik sel-sel tiroid.

Gambar 4. Regulasi sekresi Tiroid


5. Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan perubahan sel
kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan banyak lipatan epitel
tiroid ke dalam folikel.

2.1.4 Efek Fisiologik Hormon Tiroid


Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag

time berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik
ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan,
pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang
sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi
dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak
genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan
dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid
diringkaskan berikut ini.

1. Efek pada Perkembangan Janin


Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin
manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak
mengkonsentrasikan 12 I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-
5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan
sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian,
janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah
pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin,
perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan
kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol) (Guyton, 2010).

2. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan


Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui
stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal
ini berperan pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan
konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada
hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida,
menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion superoksida. Hal ini
dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme kronik
(Guyton, 2010).

3. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat
rantai berat β miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik,
meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+
ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein
G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik
yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada
hipotiroidisme (Guyton, 2010).

4. Efek Simpatik (simpatomimetik)


Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor
adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit.
Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu;
mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor.
Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada
hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat
sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia (Guyton, 2010).

5. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal
pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadang-
kadang memerlukan ventilasi bantuan (Guyton, 2010).

6. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis.
Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan
peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-
difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan
meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi
pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

7. Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit
usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada
timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan
pertambahan berat pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

8. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan
pada kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium (Guyton, 2010).

9. Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein
dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan
kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan
relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau
sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan
fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme
serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok (Guyton, 2010).

10. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat


Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati
demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan
mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol
keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar
disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL)
hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan.
Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar
kolesterol meningkat pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).
11. Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon
dan obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah
sekitar 100 menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid,
sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan
meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga
mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada
seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi
hormon tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal.
Ovulasi dapat terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme,
menimbulkan infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan
eutiroid. Kadar prolaktin serum meningkat sekitar 40% pada pasien dengan
hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH;
hal ini akan kembali normal dengan terapi T4 (Guyton, 2010).

2.2 Grave Disease


2.2.1 Definisi
Grave disease adalah sebuah penyakit autoimun pada kelenjar tiroid yang
disebabkan akibat terciptanya antibodi pada reseptor tirotropin (Thyroid
Stimulating Hormone (TSH)) yang terdapat pada sel folikular tiroid (Nystrom HF,
2013).

2.2.2 Epidemiologi
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada
usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki
maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi
penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang
kulit hitam (Weetman, 2000).
2.2.3 Etiologi

Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme Primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
Hipertiroidisme Sekunder
 Penyakit Graves  Hormon tiroid berlebih  TSH-secreting
 Struma multinodular (tirotoksikosis tumor chGH
toksik faktisia) secreting tumor
 Adenoma toksik  Tiroiditis subakut  Tirotoksikosis
 Obat: yodium lebih,  Silent thyroiditis gestasi (trimester I)
lithium  Destruksi kelenjar :  Resistensi hormon
 Karsinoma tiroid yang amiodaron,radiasi, tiroid
berfungsi adenoma, infark
 Struma ovarii (ektopik)
 Mutasi TSH-r
Penyebab hipertiroid dibedakan dalam 2 klasifikasi, dimana pembagiannya
berdasarkan pusat penyebab dari hipertiroid, yaitu organ yang paling berperan
(Djokomoeljanto, 2010).

Tabel 1. Etiologi dan Klasifikasi Tirotoksikosis

a. Hipertiroid primer : jika terjadi hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid
itu sendiri, misalnya penyakit graves, hiperfungsional adenoma (plummer),
toxic multinodular goiter
b. Hipertiroid sekunder : jika penyebab dari hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid, misalnya tumor hipofisis/hypotalamus, pemberian hormon tiroid dalam
jumlah banyak, pemasukan iodium yang berlebihan, serta penyakit mola
hidatidosa pada wanita.
c. Tidak berkaitan dengan hipertiroidisme: tiroiditis granulomatosa
subakut(nyeri),tiroiditis limfositik subakut (tidak nyeri),struma ovarii
(teratoma ovarium dengan tiroid ektopik) dan tirotoksikosis palsu (asupan
tiroksin eksogen)
Kira-kira 70% tirotoksikosis disebabkan akibat penyakit Graves (morbus
Graves), sisanya karena gondok multinodular toksik (morbus Plummer) dan
adenoma toksik (morbus Goetsch) (ATA, 2011).

Grave’s disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar


80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et
al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena
adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan
mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu
perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan
kadar hormon tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon
imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Grave’s disease sel-sel APC
(antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang
dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte
antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi
antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’
Disease adalah HLA. Pada pasien Grave’s disease ditemukan adanya perbedaan
urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien
Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,
sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa
glutamine (Jacobson et al, 2008).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease
perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin
et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan
bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb).
Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan
kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan
uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine
terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine
pada Graves’ disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan
hanya pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit
hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’
disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi
dan tercapainya kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006). Menurut Bahn et al
(2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid,
iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling
banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa
dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan
dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan
pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan
kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu
mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk
mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.
Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme
dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).

2.2.4 Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap


antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi
yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas
merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab, 2012).
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves (Shahab, 2012).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan
bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti
DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2012).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)
dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata
dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2012).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab, 2012).

2.2.5 Patogenesis
Alur pathogenesis dalam penyakit Grave adalah sebagai berikut :
Sel T-helper intratiroid sel B sel plasma  TSI diarahkan epitop dari reseptor
thyroid-stimulating (TSH) hormon dan bertindak sebagai agonis reseptor TSH 
TSI mengikat reseptor TSH pada sel tiroid folikel tiroid cAMP mengaktifkan
sintesis hormon (T3 dan T4) dan pelepasan dan pertumbuhan tiroid (hipertrofi) 
feedback mechanism  penurunan TSH sedangkan TSI tidak dipengaruhi oleh
feedback ini (Djokomoeljanto, 2010).
Patogenesis ophthalmopathy Graves terletak pada pengendapan
glikosaminoglikan (GAG) di otot luar mata dan adiposa dan jaringan ikat dari
orbit retro-, menyebabkan aktivasi sel-T. Antigen reseptor TSH dianggap mediator
kunci dalam proses aktivasi sel T. Merokok merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk ophthalmopathy, meningkatkan kemungkinan itu sekitar 7 kali
lipat. Pasien yang diobati dengan yodium radioaktif lebih mungkin untuk
mengalami memburuknya ophthalmopathy mereka daripada pasien yang diobati
dengan obat antitiroid atau operasi (Djokomoeljanto, 2010).

Gambar 5. Patogenesis Grave Disease

2.2.5. Manifestasi Klinis

Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves


(Djokomoeljanto, 2010).
Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan Tanda
Umum Tak tahan hawa Psikis dan saraf Labil. Iritabel, tremor,
panas, hiperkinesis, psikosis, nervositas,
capek, BB turun, paralisis 18nfertil
tumbuh cepat, dispneu
toleransi obat,
youth fullness
Gastrointestinal Hiperdefekasi, lapar, Jantung hipertensi, aritmia,
makan banyak, palpitasi, gagal
haus, muntah, jantung
disfagia,
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis, anemia,
limfatik 18nfertile18ly, leher
membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis, epifisis
amenorea, libido cepat menutup dan
turun, 19nfertile, nyeri tulang
ginekomastia
Kulit Rambut rontok, Mata Hiperemia peribulbar,
berkeringat, kulit retraksi kelopak mata
basah, silky hair dan atas dan bawah,
onikolisis spasme otot m.
Rectus,
keratokonjungtivitis
Tabel 2. Manifestasi Klinis Grave Disease

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis Grave disease ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan
tanda klinis yang dialami pasien, Untuk itu dikenal indeks klinis Wayne dan New
Castle yang didasari pada anamnesis dan PF teliti. Kemudian dilanjutkan PP
konfirmasi laboratorium dan radiodiagnostik (Djokomoeljanto, 2010).
Indeks Wayne
No Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat Nilai
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur - -3
< 80x per menit - -
10
80 – 90x per menit +3 -
> 90x per menit
Tabel 3. Indeks Wayne
Hipertiroid jika indeks ≥ 20
NEW CASTLE INDEX
Item Grade Score
15-24 0
25-34 +4
Age of onset (year) 35-44 +8
45-54 +12
>55 +16
Psychological Present -5
precipitant Absent 0
Frequent cheking Present -3
Absent 0
Severe anticipatory Present -3
anxiety Absent 0
Increased appetite Present +5
Absent 0
Goiter Present +3
Absent 0
Thyroid bruit Present +18
Absent 0
Exophthalmos Present +9
Absent 0
Lid retraction Present +2
Absent 0
Hyperkinesis Present +4
Absent 0
Fine finger tremor Present +7
Absent 0
Pulse rate > 90/min +16
80-90 > min +8
< 80/min 0
Tabel 4. Indeks New Castle
Kesan dari jumlah skoring adalah sebagai berikut :
 Eutiroid (–11) - (+23)
 Prob. Hipertiroid (+24) – (+39)
 Hipertiroid (+40) – ( +80)
a. TSH

Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai


pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada
hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH.
Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari
pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada
semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder atau yang
disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan bahkan
tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga pemeriksaan
serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar yang harus dilakukan
(Bahn et al, 2011).

b. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan
sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan
utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang
menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada
awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi
pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi
sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan
pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al,
2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat
Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih
banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4
sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan
post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al,
2002). Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme
yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan
pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama
Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal pemakaian obat
anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 bebas.
c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang
biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah antithyroid
peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan
antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan
TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease.
TPOAb ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011).
Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme
pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan
tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb
dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 – 50% menderita
tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).

d. Radioactive Iodine Uptake


Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+/I- di
kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan kapsul atau cairan yang
berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6
atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’
disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan
uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita
yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006).

e. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid
scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 -). Kelebihan
penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang
lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya
risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik
dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011). Karena
pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat,
scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme.
Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan scintiscanning di
antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar TSH rendah dan
pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat
diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi)
atau cold (fungsinya rendah).

f. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive
serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic
multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran
nodul secara akurat (Beastall et al, 2006). Pemeriksaan US bukan merupakan
pemeriksaan utama pada kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan
pemeriksaan US diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien
dengan multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib
et al, 2010).
g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode
ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu
aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat
toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan
utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari
biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari
biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk
dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006). Menurut Ghorib et al
(2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak
teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain itu
penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan
multinodular goiter dan obesitas.

Gambar 6. Algoritma diagnosis Tirotoksikosis berdasarkan hasil pemeriksaan TSH , T3, -


T4, dan uptake radioiodine

2.2.7 Diagnosis Banding


Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga
diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan
pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan
neurologik primer (Shahab, 2012).
Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic
hyperthyroxinemia “dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-
like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan
T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi
free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis
hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat
membedakannya dengan penyakit Graves (Shahab, 2012).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-
laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai
hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan
pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan
dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat (Shahab, 2012).
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-
gejala kelainan jantung, dapat berupa:
 Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
 High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung
sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan
terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala
berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang
berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas
katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism”
(Shahab, 2012).

2.2.8 Tatalaksana
1. Tirostatika (OAT- Obat Anti Tiroid)
Efek berbagai obat digunakan dalam pengelolaan tiroksikosis
(Djokomoeljanto, 2010).

Kelompok obat Efeknya Indikasi


Obat anti tiroid Menghambat sintesis hormon Pengobatan lini
Propiltiourasil (PTU) tiroid dan berefek pertama pada
Metimazol (MMI) imunosupresif (PTU) juga graves. Obat jangka
Karbimazol menghambat konversi pendek prabedah /
(CMZMMI) T4 T3 pra RA1
Anatagonis adrenergik – β
β Adrenergic antagonis Mengurangi dampak hormor Obat tambahan
Propranolol tiroid pada jaringan kadang sebagai obat
Metoprolol tunggal pada
Atenolol tirolditis
Nadolol
Bahan mengandung iodine Menghambat keluarnya T4 Persiapan
Kalium iodide dab T3 tiroidektomi Para
Solusi Lugol Menghambat T4 dan T3 serta krisis tiroid
Natrium ipodat Produksi T3 ekstratiroidal Bukan untuk
Asam iopanoat penggunaan rutin
Obat lainya Menghabat transpor yodium Bukan indikasi rutin
Kalium perklorat sintesis dan keluarnya Pada sub akut
Litium karbonat hormon. tiroiditis berat dan
Glukokortikoids Memperbaiki efek hormon krisis tiroid.
dijaringan dan sifat
imunologis.

2. Tiroidektomi
Prinsip umum: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis
maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol fortior
7-10 jam preoperatif, dengan maksud menginduksi involusi dan mengurangi
vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks
mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk ismus dan
tiroidetomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih terjadi di tangan ahli
sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat permanen
atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau apakah terjadi remisi,
hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik
membawa risiko terjadinya krisis tiroid dengan mortalitas amat tinggi. Di
Swedia dari 308 kasus operasi, 91% mengalami tiroidektomi subtotal dan
disisakan 2 gram jaringan, 9% tiroidektomi total, hipokalsemia
berkepanjangan 3,1% dan hipoparatiroid permanen 1%, serta mortalitas 0%
(Djokomoeljanto, 2010).

3. Yodium radioaktif (radio active iodium – RAI)


Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT
menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir
pengobatan RAI. Dosis Rai berbeda: ada yang bertahap untuk membuat
eutiroid tanpa hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar untuk
mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah tiroksin sebagai substitusi.
Kekhawatiran bahwa radiasi menyebabkan karsinoma, leukemia, tidak
terbukti. Dan satu-satunya kontra indikasi ialah graviditas. Komplikasi ringan,
kadang terjadi tiroiditis sepintas. Di USA usia bukan merupakan masalah lagi,
malahan cut off-nya 17-20 tahun. 80% Graves diberi radioaktif, 70% sebagai
pilihan pertama dan 10% karena gagal dengan cara lain. Mengenai efek
terhadap optalmopati dikatakan masih kontroversial. Meskipun radioterapi
berhasil tugas kita belum selesai, sebab kita masih harus memantau efek
jangka panjangnya yaitu hipotiroidisme. Dalam observasi selama 3 tahun
pasca-RAI, tidak ditemukan perburukan optalmopati (berdasarkan skor
Herthel, OI, MRI, total muscle volumes [TMV]).Namun disarankan sebaiknya
jangan hamil selama 6 bulan pascaradiasi. Setiap kasus RAI perlu dipantau
kapan terjadinya hipotiroidisme (dengan TSH dan klinis) (Djokomoeljanto,
2010).

Cara Keuntungan Kerugian


Pengobatan
Tirostatika • Kemungkinan remisi jangka • Angka residif cukup tinggi
(OAT) panjang tanpa hipotiroidisme
Tiroidektomi • Pengobatan jangka panjang
• Cukup banyak menjadi eutiroid dengan kontrol yang sering
Yodium • Relatif cepat • Dibutuhkan ketrampilan
Radioaktif • Relatif jarang residif bedah
(I131) • Sederhana • Masih ada morbiditas
• 40% hipotiroid dalam 10
• Jarang residif (tergantung dosis) tahun
• Daya kerja obat lambat

• 50% hipotiroid pasca


radiasi

Terapi eksophtalmus

Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi a.l.: istirahat dengan
berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan
salep mata atau dengan larutan metil selulosa5%,untuk menghindari iritasi mata
dengan penggunaan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang
berat diberikan prednison tiap hari (Djokomoeljanto, 2010).

2.2.9 Komplikasi
1. Penyakit jantung tiroid (PJT) .
Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung
(sesak, edem dll), hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik
didapatkan adanya atrium fibrilasi.
2. Krisis Tiroid (Thyroid Storm).
Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita
tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu oleh faktor stress
(infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia,
mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-
tiba (adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat
dicetuskan oleh antara lain : infeksi dan tindakan pembedahan) Prinsip
pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan
mengatasi komplikasi yang teijadi.
3. Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT).
Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan
biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah
adanya hipokalemi akibat kalium terlalu anyak masuk kedalam sel otot.
Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya terjadi setelah penderita makan
(karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan kedalam selh oleh
insulin bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase).
4. Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment

(hipotiroid) atau akibat ES obat (agranulositosis,hepatotoksik)

2.2.10 Prognosis

Pengendalian tirotoksikosis dimaksudkan untuk mempertahankan kadar


FT4 dan THSs sesuai atau mendekati kadar orang normal. Pemeriksaan
pemantauan biasanya dilakukan setiap 3 bulan atau bila ada tanda-tanda
komplikasi pengobatan. Pemantauan terhadap fungsi hati dan darah rutin mutlak
diperlukan pada penderita yang diberikan pengobatan dengan obat anti tiroid
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Guguak Sarai

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Dada terasa berdebar-debar yang terasa semakin meningkat sejak 7 hari yang lalu
sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Dada terasa berdebar-debar sejak 7 hari yang lalu dan meningkat sejak 1 hari yang
lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Sebelumnya pasien sudah merasakan dada
terasa berdebar-debar sejak 5 tahun yang lalu. Pasien juga merasakan sesak nafas
sejak 7 hari yang lalu, sesak nafas tidak menciut, dipengaruhi oleh aktivitas
seperti berjalan agak jauh, membersihkan halaman rumah, mencuci, dan aktivitas
lainnya. Pasien sering merasa lelah. Pasien merasakan adanya bengkak pada leher
yang semakin membesar 2 bulan ini. Awalnya muncul bengkak di leher pada usia
14 tahun dengan ukuran sebesar telur puyuh, namun tidak pernah dibawa berobat
ke fasilitas kesehatan sebelumnya. Demam hilang timbul sejak kurang lebih 6
bulan. Batuk hilang-hilang timbul, tidak berdahak. Pasien lebih suka berada di
tempat yang dingin. Penurunan berat badan dirasakan dalam 3 bulan ini, dimana
berat badan awal 40 kg menjadi 28 kg. Pasien tidak ada mual dan muntah. Pasien
sulit menutup kelopak mata secara sempurna. Buang air besar encer 1 bulan yang
lalu, warna coklat kekuningan, ampas dan lendir tidak ada, tidak disertai darah.
Buang air kecil biasa. Pasien suka berkeringat walaupun di tempat yang sejuk.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Penyakit Hipertensi (+), riwayat pengobatan dengan Amlodipin
5mg
- Riwayat pembengkakan di leher sejak usia 14 tahun sebesar telur puyuh,
sekarang makin membesar, tidak pernah diobati ke fasilitas kesehatan.
- Riwayat Diabetes Melitus (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua pasien yaitu Ibu kandung pasien menderita penyakit dengan keluhan
yang sama
Riwayat Kebiasaan Sosial
Riwayat merokok pada usia 15 tahun, berhenti merokok sekitar 2 tahun yang lalu
sebanyak kurang lebih 8 batang per hari.

3.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Composmentis kooperatif
- Vital Sign : Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 117 kali/menit
Nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,9 0C
B. Status Generalisata
- Kepala : Normocephal
- Mata : Conjunctiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Refleks
Cahaya +/+, isokor 3mm/3mm, eksoftalmus +/+ .
Tanda Ophtalmopathy Graves :
 Lid lag/Dalrymple sign (+)
 Stellwag sign (+)
 Joffroy Sign (+)
 Rosenbach Sign (+)

- Leher
Inpeksi : Tampak massa di leher sewarna kulit bilateral dengan
ukuran sekitar 10 cm x 8 cm x 5 cm. JVP 5+3 cmH20
Palpasi : teraba massa dengan konsistensi kenyal, permukaan
bernodul, tidak ada nyeri pada penekanan, batas tegas, massa ikut bergerak
saat pasien menelan, tidak hangat pada perabaan.
Auskultasi : tidak terdengar bruit pada auskultasi
- Telinga: Normotia
- Hidung : Sekret (-), Deviasi Septum (-)
- Thoraks :
Cor
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba 3 jari lateral mid clavicula sinistra RIC
VII
- Perkusi : Batas Jantung :
 Batas Kanan : RIC VI kanan, 2 jari kearah cranial dan perkusi ke
arah medial
 Batas Kiri : Garis aksillaris anterior sinistra ( sela iga VIII), 2
jari ke arah cranial dan perkusi ke arah medial.
 Pinggang : Garis Parasternal Kiri (RIC III Sinistra)
 Batas Atas : Garis Sternal Kiri (RIC II Sinistra)
- Auskultasi : Reguler, bising (-)
Pulmo
- Inspeksi : Statis : Normochest
Dinamis : pergerakan dinding dada kiri sama dengan
Kanan
- Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
- Perkusi : Perkusi sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Abdomen
 Inspeksi : perut tidak tampak membuncit
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan episgastrium (+),
Nyeri lepas (-)
 Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
 Auskultasi : Bising usus normal
- Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), Sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 2
detik
Clubbing finger (-), dishidrosis (+/+)
Refleks Fisiologis Bisep (+/+), Trisep (+/+)
Tremor Halus (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 2
detik
Refleks Patella (+/+), Refleks Achilles (+/+)

3.4. Pemeriksaan Penunjang


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,3 gr/dl
Hematokrit 34,1 %
Leukosit 5.230/mm3
Trombosit 151.000/mm3
Ureum 21 mg/dl
Creatinin 0,50 mg/dl
Ad random 97 mg%
TSH < 0,05 mIU/ml
FT4 > 100 pmol/L
Natrium 137 mEq/L
Kalium 3,9 mEq/L
Chlorida 109 mEq/L

EKG

RONTGEN THORAX
3.5 Diagnosis
Atrial Fibrilasi Normoresponse + Grave Disease

3.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 12 jam/kolf
- Lasix 1x1 ampul (iv)
- Propanolol 2 x 10 mg (po)
- Curcuma Tab 3 x 1 (po)
- Lansoprazol Tab 1 x 1 (po)
- Sucralfat Syr 3 x 1 cth (po)
- Diazepam Tab 1 x 2 mg (po)
- Paracetamol Tab 3 x 500 mg (po)
- PTU 3 x 100 mg (po)
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus berikut didapatkan sebuah kasus yang dialami oleh
seorang pasien perempuan usia 50 tahun dengan diagnose Grave Disease. Hasil
penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien
mengalami keluhan perasaan dada yang terasa berdebar-debar sejak 7 hari yang
lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Selain itu, pasien juga merasakan adanya sesak
nafas sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit, dimana sesak nafas
tersebut dipengaruhi aktivitas dalam skala sedang, seperti berjalan agak jauh.
Pasien juga merasakan adanya bengkak pada leher yang semakin membesar sejak
2 bulan ini. Hal ini menunjukkan adanya progresivitas pembesaran massa di
tiroid. Pasien lebih suka berada di tempat yang dingin. Pasien juga mengalami
penurunan berat badan dalam 6 bulan ini, dimana penurunan terjadi sebesar 70%
dari berat badan awal. Pasien mengeluhkan buang air besar encer sejak 1 bulan
yang lalu, warna coklat kekuningan, ampas dan lendir tidak ada, dan tidak disertai
darah. Jika merujuk ke dalam system skor Indeks Wayne adalah sebagai berikut :
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Keterangan
No Nilai
Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1 +
2 Berdebar +2 +
3 Kelelahan +2 +
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5 +
6 Keringat berlebihan +3 +
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3 +
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3 +
Tidak
No Tanda Ada Keterangan
Ada
1 Tyroid teraba +3 -3 Ada
2 Bising tyroid +2 -2 Tidak ada
3 Exoptalmus +2 - Ada
Kelopak mata tertinggal gerak bola Ada
4 +1 -
mata
5 Hiperkinetik +4 -2 Tidak ada
6 Tremor jari +1 - Ada
7 Tangan panas +2 -2 Tidak Ada
8 Tangan basah +1 -1 Ada
9 Fibrilasi atrial +4 - Ada
Nadi teratur - -3 Nadi tidak
< 80x per menit - - teratur, HR
10
80 – 90x per menit +3 - >90
> 90x per menit kali/menit

Berdasarkan hasil skoring Indeks Wayne, adalah hasilnya adalah berjumlah


31 poin, yang menandakan bahwa pasien menderita hipertiroid.
Dari hasil ekg, didapatkan kesan Atrial Fibrilasi Rapid Response. Hal ini
sesuai dengan teori yang didapatkan bahwa hormon tiroid berefek pada miosit
jantung dan hal ini berhubungan erat dengan fungsi jantung dalam meregulasi
struktur dan regulasi gen. Efek T3 ini dapat muncul dengan segera dan tidak
berpengaruh terhadap transkripsi TRE. T3 dapat merubah ion channel pada
membran yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta adenin nukleotida translokator
1 pada membran mitokondrial dan berbagai pathway sinyal intraseluler jantung.
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat rantai berat
β miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan
transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan
kontraksi diastolik jantung.
Dari segi medikamentosa yang diberikan kepada pasien, obat-obat yang
diberikan sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan sebelumnya.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Graves disease adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
hipertiroidisme (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam
sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma
adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah
suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang
penyebabnya bisa bermacam-macam. Penentuan diagnosis hipertiroid berdasarkan
system skoring Indeks Wayne masih dianggap reliabel sampai saat ini.

5.2 Saran
Dalam hal ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-TPO untuk lebih
menegakkan diagnosis Grave Disease.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thyroid Association (ATA). 2011. Hyperthyroidism and Other


Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinologists

2. Djokomoeljanto R. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid,


Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta.

3. Fauci, et al. 2015. Harrison: Principle of Internal Medicine. McGrawHill:


New York ;5:2144-2151.

4. Fumarola A, et al. 2013. American Journal of Reproductive Imunology.


Willey Library

5. Guyton, Hall. 2010. Text Book of Medical Physiology 11th edition.


Philadelphia: Elsevier Soundres

6. Murray RK et al. 2010. Biokimia Harper edisi 25.Jakarta.EGC

7. Nystrom HF, Jansson S, Berg G. 2013. Incidence rate and clinical features of
hyperthyroidism in a long-term iodine sufficient area of Sweden
(Gothenburg)murray. Clin Endocrinol (Oxf);78(5):768-776.

8. Shahab A. Penyakit Graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan


penatalaksanaannya. Bullletin PIKI4 : seri endokrinologi-metabolisme.
2012:9-18.

9. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta EGC 2012:2:683-695.

10. Snell,RS. 2015. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa kedokteran edisi 9.


Jakarta.EGG.

Anda mungkin juga menyukai