GRAVE DISEASE
Oleh
Preseptor
PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830,
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves
disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan
atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 2012)
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis
(80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5%
karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi
terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan
dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada
2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi
antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci et al,
2015).
TINJAUAN PUSTAKA
8. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim yodotirosin
deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3 oleh enzim
deiodinase( DI,DII dan DIII) atau diaktifkan,organ yang mempunyai kapasitas
untuk konversi ialah hati,ginjal,jantung dan hipofisis melalui proses pengeluaran
satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi
T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel
(Guyton, 2010).
Gambar 3. Proses kerja Hormon dengan reseptor Sistem Organ
time berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik
ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan,
pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang
sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi
dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak
genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan
dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid
diringkaskan berikut ini.
3. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat
rantai berat β miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik,
meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+
ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein
G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik
yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada
hipotiroidisme (Guyton, 2010).
5. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal
pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadang-
kadang memerlukan ventilasi bantuan (Guyton, 2010).
6. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis.
Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan
peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-
difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan
meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi
pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).
7. Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit
usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada
timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan
pertambahan berat pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).
8. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan
pada kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium (Guyton, 2010).
9. Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein
dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan
kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan
relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau
sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan
fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme
serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok (Guyton, 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada
usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki
maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi
penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang
kulit hitam (Weetman, 2000).
2.2.3 Etiologi
Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme Primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
Hipertiroidisme Sekunder
Penyakit Graves Hormon tiroid berlebih TSH-secreting
Struma multinodular (tirotoksikosis tumor chGH
toksik faktisia) secreting tumor
Adenoma toksik Tiroiditis subakut Tirotoksikosis
Obat: yodium lebih, Silent thyroiditis gestasi (trimester I)
lithium Destruksi kelenjar : Resistensi hormon
Karsinoma tiroid yang amiodaron,radiasi, tiroid
berfungsi adenoma, infark
Struma ovarii (ektopik)
Mutasi TSH-r
Penyebab hipertiroid dibedakan dalam 2 klasifikasi, dimana pembagiannya
berdasarkan pusat penyebab dari hipertiroid, yaitu organ yang paling berperan
(Djokomoeljanto, 2010).
a. Hipertiroid primer : jika terjadi hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid
itu sendiri, misalnya penyakit graves, hiperfungsional adenoma (plummer),
toxic multinodular goiter
b. Hipertiroid sekunder : jika penyebab dari hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid, misalnya tumor hipofisis/hypotalamus, pemberian hormon tiroid dalam
jumlah banyak, pemasukan iodium yang berlebihan, serta penyakit mola
hidatidosa pada wanita.
c. Tidak berkaitan dengan hipertiroidisme: tiroiditis granulomatosa
subakut(nyeri),tiroiditis limfositik subakut (tidak nyeri),struma ovarii
(teratoma ovarium dengan tiroid ektopik) dan tirotoksikosis palsu (asupan
tiroksin eksogen)
Kira-kira 70% tirotoksikosis disebabkan akibat penyakit Graves (morbus
Graves), sisanya karena gondok multinodular toksik (morbus Plummer) dan
adenoma toksik (morbus Goetsch) (ATA, 2011).
2.2.4 Patofisiologi
2.2.5 Patogenesis
Alur pathogenesis dalam penyakit Grave adalah sebagai berikut :
Sel T-helper intratiroid sel B sel plasma TSI diarahkan epitop dari reseptor
thyroid-stimulating (TSH) hormon dan bertindak sebagai agonis reseptor TSH
TSI mengikat reseptor TSH pada sel tiroid folikel tiroid cAMP mengaktifkan
sintesis hormon (T3 dan T4) dan pelepasan dan pertumbuhan tiroid (hipertrofi)
feedback mechanism penurunan TSH sedangkan TSI tidak dipengaruhi oleh
feedback ini (Djokomoeljanto, 2010).
Patogenesis ophthalmopathy Graves terletak pada pengendapan
glikosaminoglikan (GAG) di otot luar mata dan adiposa dan jaringan ikat dari
orbit retro-, menyebabkan aktivasi sel-T. Antigen reseptor TSH dianggap mediator
kunci dalam proses aktivasi sel T. Merokok merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk ophthalmopathy, meningkatkan kemungkinan itu sekitar 7 kali
lipat. Pasien yang diobati dengan yodium radioaktif lebih mungkin untuk
mengalami memburuknya ophthalmopathy mereka daripada pasien yang diobati
dengan obat antitiroid atau operasi (Djokomoeljanto, 2010).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis Grave disease ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan
tanda klinis yang dialami pasien, Untuk itu dikenal indeks klinis Wayne dan New
Castle yang didasari pada anamnesis dan PF teliti. Kemudian dilanjutkan PP
konfirmasi laboratorium dan radiodiagnostik (Djokomoeljanto, 2010).
Indeks Wayne
No Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat Nilai
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
b. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan
sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan
utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang
menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada
awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi
pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi
sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan
pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al,
2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat
Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih
banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4
sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan
post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al,
2002). Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme
yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan
pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama
Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal pemakaian obat
anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 bebas.
c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang
biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah antithyroid
peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan
antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan
TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease.
TPOAb ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011).
Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme
pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan
tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb
dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 – 50% menderita
tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).
e. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid
scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 -). Kelebihan
penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang
lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya
risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik
dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011). Karena
pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat,
scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme.
Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan scintiscanning di
antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar TSH rendah dan
pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat
diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi)
atau cold (fungsinya rendah).
f. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive
serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic
multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran
nodul secara akurat (Beastall et al, 2006). Pemeriksaan US bukan merupakan
pemeriksaan utama pada kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan
pemeriksaan US diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien
dengan multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib
et al, 2010).
g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode
ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu
aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat
toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan
utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari
biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari
biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk
dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006). Menurut Ghorib et al
(2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak
teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain itu
penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan
multinodular goiter dan obesitas.
2.2.8 Tatalaksana
1. Tirostatika (OAT- Obat Anti Tiroid)
Efek berbagai obat digunakan dalam pengelolaan tiroksikosis
(Djokomoeljanto, 2010).
2. Tiroidektomi
Prinsip umum: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis
maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol fortior
7-10 jam preoperatif, dengan maksud menginduksi involusi dan mengurangi
vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks
mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk ismus dan
tiroidetomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih terjadi di tangan ahli
sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat permanen
atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau apakah terjadi remisi,
hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik
membawa risiko terjadinya krisis tiroid dengan mortalitas amat tinggi. Di
Swedia dari 308 kasus operasi, 91% mengalami tiroidektomi subtotal dan
disisakan 2 gram jaringan, 9% tiroidektomi total, hipokalsemia
berkepanjangan 3,1% dan hipoparatiroid permanen 1%, serta mortalitas 0%
(Djokomoeljanto, 2010).
Terapi eksophtalmus
Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi a.l.: istirahat dengan
berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan
salep mata atau dengan larutan metil selulosa5%,untuk menghindari iritasi mata
dengan penggunaan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang
berat diberikan prednison tiap hari (Djokomoeljanto, 2010).
2.2.9 Komplikasi
1. Penyakit jantung tiroid (PJT) .
Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung
(sesak, edem dll), hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik
didapatkan adanya atrium fibrilasi.
2. Krisis Tiroid (Thyroid Storm).
Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita
tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu oleh faktor stress
(infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia,
mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-
tiba (adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat
dicetuskan oleh antara lain : infeksi dan tindakan pembedahan) Prinsip
pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan
mengatasi komplikasi yang teijadi.
3. Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT).
Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan
biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah
adanya hipokalemi akibat kalium terlalu anyak masuk kedalam sel otot.
Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya terjadi setelah penderita makan
(karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan kedalam selh oleh
insulin bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase).
4. Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment
2.2.10 Prognosis
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Dada terasa berdebar-debar yang terasa semakin meningkat sejak 7 hari yang lalu
sebelum masuk Rumah Sakit.
- Leher
Inpeksi : Tampak massa di leher sewarna kulit bilateral dengan
ukuran sekitar 10 cm x 8 cm x 5 cm. JVP 5+3 cmH20
Palpasi : teraba massa dengan konsistensi kenyal, permukaan
bernodul, tidak ada nyeri pada penekanan, batas tegas, massa ikut bergerak
saat pasien menelan, tidak hangat pada perabaan.
Auskultasi : tidak terdengar bruit pada auskultasi
- Telinga: Normotia
- Hidung : Sekret (-), Deviasi Septum (-)
- Thoraks :
Cor
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis teraba 3 jari lateral mid clavicula sinistra RIC
VII
- Perkusi : Batas Jantung :
Batas Kanan : RIC VI kanan, 2 jari kearah cranial dan perkusi ke
arah medial
Batas Kiri : Garis aksillaris anterior sinistra ( sela iga VIII), 2
jari ke arah cranial dan perkusi ke arah medial.
Pinggang : Garis Parasternal Kiri (RIC III Sinistra)
Batas Atas : Garis Sternal Kiri (RIC II Sinistra)
- Auskultasi : Reguler, bising (-)
Pulmo
- Inspeksi : Statis : Normochest
Dinamis : pergerakan dinding dada kiri sama dengan
Kanan
- Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
- Perkusi : Perkusi sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Abdomen
Inspeksi : perut tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan episgastrium (+),
Nyeri lepas (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus normal
- Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), Sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 2
detik
Clubbing finger (-), dishidrosis (+/+)
Refleks Fisiologis Bisep (+/+), Trisep (+/+)
Tremor Halus (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 2
detik
Refleks Patella (+/+), Refleks Achilles (+/+)
EKG
RONTGEN THORAX
3.5 Diagnosis
Atrial Fibrilasi Normoresponse + Grave Disease
3.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 12 jam/kolf
- Lasix 1x1 ampul (iv)
- Propanolol 2 x 10 mg (po)
- Curcuma Tab 3 x 1 (po)
- Lansoprazol Tab 1 x 1 (po)
- Sucralfat Syr 3 x 1 cth (po)
- Diazepam Tab 1 x 2 mg (po)
- Paracetamol Tab 3 x 500 mg (po)
- PTU 3 x 100 mg (po)
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus berikut didapatkan sebuah kasus yang dialami oleh
seorang pasien perempuan usia 50 tahun dengan diagnose Grave Disease. Hasil
penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien
mengalami keluhan perasaan dada yang terasa berdebar-debar sejak 7 hari yang
lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Selain itu, pasien juga merasakan adanya sesak
nafas sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit, dimana sesak nafas
tersebut dipengaruhi aktivitas dalam skala sedang, seperti berjalan agak jauh.
Pasien juga merasakan adanya bengkak pada leher yang semakin membesar sejak
2 bulan ini. Hal ini menunjukkan adanya progresivitas pembesaran massa di
tiroid. Pasien lebih suka berada di tempat yang dingin. Pasien juga mengalami
penurunan berat badan dalam 6 bulan ini, dimana penurunan terjadi sebesar 70%
dari berat badan awal. Pasien mengeluhkan buang air besar encer sejak 1 bulan
yang lalu, warna coklat kekuningan, ampas dan lendir tidak ada, dan tidak disertai
darah. Jika merujuk ke dalam system skor Indeks Wayne adalah sebagai berikut :
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Keterangan
No Nilai
Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1 +
2 Berdebar +2 +
3 Kelelahan +2 +
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5 +
6 Keringat berlebihan +3 +
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3 +
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3 +
Tidak
No Tanda Ada Keterangan
Ada
1 Tyroid teraba +3 -3 Ada
2 Bising tyroid +2 -2 Tidak ada
3 Exoptalmus +2 - Ada
Kelopak mata tertinggal gerak bola Ada
4 +1 -
mata
5 Hiperkinetik +4 -2 Tidak ada
6 Tremor jari +1 - Ada
7 Tangan panas +2 -2 Tidak Ada
8 Tangan basah +1 -1 Ada
9 Fibrilasi atrial +4 - Ada
Nadi teratur - -3 Nadi tidak
< 80x per menit - - teratur, HR
10
80 – 90x per menit +3 - >90
> 90x per menit kali/menit
5.1 Kesimpulan
Graves disease adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
hipertiroidisme (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam
sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma
adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah
suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang
penyebabnya bisa bermacam-macam. Penentuan diagnosis hipertiroid berdasarkan
system skoring Indeks Wayne masih dianggap reliabel sampai saat ini.
5.2 Saran
Dalam hal ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-TPO untuk lebih
menegakkan diagnosis Grave Disease.
DAFTAR PUSTAKA
7. Nystrom HF, Jansson S, Berg G. 2013. Incidence rate and clinical features of
hyperthyroidism in a long-term iodine sufficient area of Sweden
(Gothenburg)murray. Clin Endocrinol (Oxf);78(5):768-776.