Anda di halaman 1dari 11

Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura...

Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura di


Desa Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe,
Kabupaten Jember

Chriestine Lucia Mamuaya, Abdus Sair


FISIP, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

chriestinemamuaya@gmail.com

Abstract

This research describes the values and forms of tolerance between Muslim and Christian
communities in Sumberpakem Village, Jember Regency. It is a village where the communities
are pandhalungan. The research deploys a qualitative method by digging verbal information as
much as possible related to the questions. The data analysis indicates that the tolerance values of
Muslim and Christian communities in Sumberpakem Village are the universal values as reflected
in multiculturalism, such as acceptance, tolerance, sympathy, empathy, and caring for cultural
diversity. They are also willing to live together, mutually trust and mutually support (co-existence
and pro-existence). Meanwhile, the forms of tolerance are across the religions such as joint parties,
marriages, burial and occupation events.

Keywords: tolerancy, tolerant, Islamic-Christian relations, Sumberpakem

Abstrak

Penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai dan bentuk-bentuk toleransi antara komunitas


Muslim dan Kristen di Desa Sumberpakem, Jember. Sumberpakem adalah sebuah desa
Pandhalungan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara menggali
informasi lisan yang berkaitan dengan topik penelitian sebanyak mungkin. Analisis data
menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi diantara kaum Muslim dan Kristen di desa
Sumberpakem adalah nilai-nilai universal seperti penerimaan, toleransi, simpati, empati,
dan menjaga perbedaan budaya. Kedua komunitas juga bersedia untuk hidup bersama,
saling percaya dan saling mendukung. Sementara itu, bentuk-bentuk toleransi terjadi
diantara kedua agama seperti dalam peristiwa pesta, pernikahan, upacara kematian dan
lain-lain.

Kata Kunci: toleransi, toleran, hubungan Islam-Kristen, Sumberpakem


6 DIMENSI, VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2017

Pendahuluan prinsip binneka tunggal ika, keadaan tersebut


Problem yang dihadapi Indonesia sangatlah mengkhawatirkan karena akan
sebagai negara multi agama adalah memperburuk kehidupan berbangsa
munculnya kelompok-kemompok keaga­ dan bernegara, khususnya kehidupan
ma­an yang memahami agama secara antar umat beragama. Demikian juga
sepihak. Agama dilihat secara kaku tanpa dengan khazanah kebudayaan, seperti
menggunakan “kacamata” universal. Apa solidaritas, toleransi, dan kesetiaan
yang muncul dalam teks agama dianggap yang diharapkan menjadi modal untuk
harus sesuai dalam kehidupan sehari-hari. menumbuhkembangkan nilai-nilai demi
Sehingga kekeliruan itu membuat agama tercapainya idealitas kehidupan juga bisa
menjadi kedok untuk menghahalkan mengalami pra-kondisi.
segala cara. Atas nama agama mereka Karena itu, banyak pihak mendorong
mengkafirkan orang lain yang berbeda. agar pemerintah lebih sensitif terhadap
Atas nama agama pula mereka melakukan kondisi tersebut dengan melindungi
pemberontakan (teror), intimidasi, keke­ segenap warga negara untuk memeluk
rasan, pengusiran, sweeping, bahkan agama dan kepercayaannya. Pemerintah
pembunuhan. dituntut memberi garis yang tegas
Secara kuantitatif, kondisi di atas terhadap mereka yang melakukan
diperkuat oleh hasil studi yang dilakukan ancaman dan kekerasan kepada kelompok
oleh beberapa lembaga yang bergerak yang berbeda. Atau dalam bahasa lain,
dibidang advokasi keragaman dan pemerintah wajib memberi kepastikan
penyelesaian konflik keagamaan di hukum untuk menciptakan kehidupan
Indonesia, seperti CRCS, The Wahid yang tidak diskriminatif. Bahkan dalam
Institute dan Setara Institute. Ketiga konteks kehidupan sehari-hari, pemerintah
lembaga itu mengkonfirmasi bahwa juga dituntut pro-aktif mengisi ruang batin
kekerasan demi kekerasan atas nama masyarakat mengenai nilai keberagaman
agama telah memiliki frekuensi yang itu sebagai realitas obyektif. Upaya ini
sangat tinggi. Pada tahun 2013 misalnya, dianggap penting karena keberagaman
ada 220 bentuk kekerasan yang dicatat Indonesia harus dikelola, melalui berbagai
Setara Institute. Sementara yang dicatat The cara, salah satunya adalah dengan
Wahid Institute ada 245 kasus kekerasan, pendidikan yang menghadirkan nilai-nilai
naik dari tahun 2007 yang hanya 91 kasus lokal tentang toleransi antar umat beragama
kekerasan. Pada tahun 2014 lembaga yang dapat dirujuk dari berbagai sumber.
yang sama juga mencatat ada 154 kasus Tujuannya adalah untuk menciptakan
kekerasan turun 40 persen dibandingkan kelompok masyarakat yang toleran, yakni
dengan tahun 2013. Sedangkan pada masyarakat yang mau menerima, empati,
tahun 2015 Setara Institute mencatat ada dan peduli terhadap keanekaragaman
197 kasus kekerasan dengan 236 bentuk kultural, serta bersedia hidup bersama,
tindakan pelanggaran naik dari tahun saling percaya dan saling mendukung (ko-
sebelumnya. Dan pada tahun 2016 The eksistensi dan pro-eksistensi).
Wahid Institute juga melaporkan ada 204 Oleh sebab itu, tulisan ini ingin
peristiwa kekerasan dengan 313 tindakan mengetengahkan nilai-nilai lokal tersebut
pelanggaran KBB. yang dirujuk dari masyarakat Islam-
Keadaan di atas tentu bukanlah kondisi Kristen Madura di desa Sumberpakem
yang ideal. Sebagai negara yang menganut Kecamatan Sumberjamber Kabupaten
Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura... 7

Jember. Nilai-nilai lokal ini sangat inklusif, menyangkut bahwa perbedaan itu adalah
humanis, plural, prososial, genuine, dan hikmah, karunia dari Tuhan Yang Maha
penting dihadirkan untuk mengisi ruang Esa. Disinilah letaknya dimana mereka
kebatinan Indonesia sebagai negara dengan harus saling menjaga antara satu dengan
banyak agama yang tengah menghadapi yang lain. Cara berfikir semacam ini juga
arus eksklusifisme. Mereka saling melintas tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan
batas (passing over) dengan tidak merusak telah melalui proses yang sangat panjang.
norma agama masing-masing. Masyarakat Mereka mempelajari secara sosial dari
Madura di desa ini juga merupakan lingkungan dan masyarakat sekitar.
antitesa dari masyarakat Madura di pulau Para sesepuh Desa ini mengajarkan pada
Madura yang sangat kental dengan Islam. mereka yang muda-muda dengan perilaku
Sementara masyarakat Madura di desa ini dan tindakan, sehingga mereka katakan
banyak yang beragama Kristen, namun bahwa apa yang terjadi pada masyarakat
mereka bisa hidup berdampingan antara di Desa ini adalah karena mereka sedang
satu dengan yang lain. mempraktekkan nilai-nilai agama masing-
masing dengan kesadaran yang matang.
Nilai-Nilai Toleransi Masyarakat Mereka mempraktekkan agama tidak
Masyarakat Islam-Kristen Sumber sekedar dengan kepala, namun juga
pakem memandang bahwa Islam- dengan hati masing-masing. Sebagaimana
mayoritas berkedudukan sama dengan seorang pendeta Gereja, Fajar Wicaksono
Kristen yang minoritas. Cara berfikir ini mengatakan begini:
bukanlah sebatas “kibaran bendera”,
namun lebih sebagai cara pandang hidup “.......Mereka (warga Sumberpakem)
bersama. Cara pandang ini membuat beriman dengan hati. Mereka (warga
Sumberpakem) tidak hanya beriman
mereka (Islam dan Kristen) tampak seperti
dengan otak, tapi juga beriman dengan
harmoni. Setiap mereka seperti saling hati dan tata laku”.
melengkapi, berfungsi sebagai pengawas
sekaligus sebagai penekan kemungkinan- Secara singkat nilai-nilai dasar toleran­
kemungkinan terjadinya pelanggaran si pada masyarakat Islam-Kristen Madura
terhadap norma, nilai-nilai dan peraturan Sumberpakem itu merupakan nilai-nilai
yang dibangun mereka secara sosial. Bagi universial yang tercermin dalam multikul-
mereka, harmonisasi itu bukanlah sesuatu turalisme. Seperti menerima, simpati, em-
yang baru. Itu adalah nilai-nilai yang sangat pati, dan peduli terhadap keanekaragaman
lama dan telah menjadi bagian dari hidup kultural; serta bersedia hidup bersama,
mereka. Istilah harmonisasi juga bukanlah saling percaya dan saling mendukung
istilah yang keluar dari mereka, melainkan (ko-eksistensi dan pro-eksistensi). Nilai-nilai
dari orang lain. Inilah yang kemudian itu dibangun melalui proses yang sangat
disebut bahwa kehidupan masyarakat di panjang dengan mau menekan sikap dan
Desa ini amat sangat dewasa. tindakan yang eksklusif, egois serta arogan
Kehidupan toleransi yang kuat itu (partikular-eksklusif). Sebaliknya mereka
tentu karena ada sebuah kesadaran diantara justru berhasil membangun sikap rendah
mereka. Kesadaran tersebut dibangun hati sebagai kontrol dan penyeimbang atas
bukan atas dasar tenakan, atau semacam sikap dengan semangat universal-inklusif.
peraturan formal yang sengaja dibangun, Secara lebih jauh dapat dijelaskan berikut
melainkan karena ada nilai-nialai sosial ini;
8 DIMENSI, VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2017

Bersedia Hidup Bersama Ia tidak pasif melainkan proses yang aktif


Agama bagi mereka adalah nilai- dibingkai oleh dua hal yang hikiki, yakni
nilai yang diberikan oleh Tuhan kepada diferensiasi dan integrasi.
manusia. Setiap agama memiliki nilai- Kesediaan untuk hidup bersama itu
nilai kebajikan yang sama, termasuk tidak sekedar simbolis, melainkan lebih
saling menjaga hubungan dengan sesama mengakar dalam bentuk perilaku dan
manusia. Maka tidak alasan untuk menolak tindakan. Ini dapat dilihat dari kebersa­
agama minoritas di Sumberpakem. Setiap maan mereka bertetangga, bahkan tidak
mereka sudah menganggap bahwa agama sedikit yang hidup bersama dengan ikatan
Kristen adalah bagian dari kehidupannya, keluarga. Sebagaimana diketahui beberapa
sebaliknya bagi umat Kristen, Islam adalah keluarga di Desa ini memiliki anggota
bagian dari kehidupannya. Bagi mereka keluarga dengan agama yang berbeda.
yang beraga Islam tidak merasa bahwa Dalam satu rumah tangga misalnya
umat Kristen adalah orang lain (the other), bapaknya Islam, saudara perempuannya
atau meminjam isilah Emmanuel Levinas Kristen. Yang demikian ini jumlahnya
disebut liyan. Mereka tidak menempatkan juga cukup banyak. Namun demikian
umat Kristen sebagai kelompok marginal mereka mampu hidup dengan rukun.
yang harus disisihkan. Sebaliknya mereka Tidak ada perilaku saling curiga, apalagi
dianggap bahwa umat Kristen adalah menganggap yang satu adalah kafir.
bagian dari kehidupan dan keluarganya. Keadaan tersebut menggambarkan betapa
Karena itu hubungan mereka tidak kehidupan mereka seperti telah paripurna.
sekedar hubungan pertemanan, melainkan Kenyataan bahwa mereka mau hidup
hubungan yang lebih mendalam, yakni bersama itu adalah bentuk toleransi
semacam hubungan kekeluargaan. Sehing­ yang paling hakiki. Apalagi dikatakan
ga kemudian mereka menempatkan yang bahwa kehidupan mereka diwarnai oleh
berbeda itu sebagai kelompok masyarakat identitas dan perilaku keagamaan yang
yang setara, dan tidak memberikan labeling berbeda. Apa yang dikatakan Adam
sebagai orang Kristen yang Kafir. Seligman, bahwa toleransi itu juga berarti
Demikian juga sebaliknya, umat Kris­ bersedia menerima orang lain dengan
ten di Desa ini menilai bahwa masya­ gaya hidup dan perilaku yang berbeda.
rakat Islam adalah masyarakat yang Mau menerima ketidaknyamanan ada­
sama. Mereka tidak merasa underestimate lah toleransi yang sesungguhnya. Ini
karena apa yang mereka rasakan dengan tercermin didalam kehidupan sosial
hidup bersama itu tidak ada perlakukan masya­rakat Sumberpakem. Mereka mau
overestimate dari mereka yang beragama hidup bersama, mau berdiskusi, saling
Islam. Kehidupan mereka kemudian seperti menyapa antara yang satu dengan yang
tidak ada persoalan. Terutama terkait lain. Seorang informan beragama Islam,
dengan hubungan antara kelompok Islam Mawardi menambahkan bahwa kon­
dan Kristen dalam kehidupan sehari-hari. disi itu adalah fakta sosial yang sudah
Inilah sebabnya mereka kemudian mau berjalan sejak lama, bahwa masyarakat
hidup bersama. Kesediaan mereka mau Islam-Kristen di Desa ini saling menyapa
hidup bersama itu adalah bentuk kesadaran antara satu dengan yang lain. Tidak
yang paling tinggi dari sebuah komunitas. ada prasangka diantara mereka, apalagi
Kesadaran sebagaimana dikatakan Sartre mempersoalkan keyakinan dan agamanya.
adalah perbuatan yang bersifat intensional. Pemahaman ini sesungguhnya dimulai
Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura... 9

dari para tokohnya yang dipraktekkan dan sikap masyarakat, baik dalam konteks
dalam kehidupan sehari-hari, kemudian hubungan sosial maupun dalam konteks
menjadi pembelajaran bagi generasi hubungan personal antar agama.
berikutnya. Sehingga pemahaman yang
sama menjadi pengetahuan komunitas Saling Percaya dan Saling Mendukung
yang terus dipahami dan dipratekkan Berikutnya adalah masyarakat Islam-
hingga sekarang. Kristen Madura Sumberpakem mau
Dengan demikian, maka tak pernah melakukan dialog sosial. Dialog ini bu­
ada pemikiran bagi masyarakat di Desa kan­lah dialog secara verbal, malainkan
ini tentang klaim keagamaan atau klaim secara sosial. Dimensi dialog ini berupa
kebenaran (truth claim) serta kalim etika dan spiritual. Etika dan spiritual
keselamatan (salvation). Padahal ini adalah esensinya tidak bisa diketahui, melainkan
persoalan pokok yang banyak dialami hanya bisa dirasakan melalui intensitas
oleh masyarakat plural. Klaim kebenaran pengalaman spritual keagamaan. Diantara
biasanya adalah hal inhern dalam agama. mereka (Islam-Kristen) diakui memiliki
Itu pasti ada, sebab agama karena pemahaman yang sama bahwa etika dan
fungsinya adalah memberi kepastian spiritual itu hanya bisa dihayati oleh
kepada umatnya. Ia selalu menempatkan pelakunya (from within), bukan dilihat dari
diri sebagai pemilik kebenaran yang sudut pandang orang luar (from without).
absolut. Bagi pemeluk agama, kliam Dititik itulah mereka saling memahami
semacam ini adalah hal yang positif dan dan percaya terhadap pengalaman hidup
memang harus demikian adanya, sebagai dan pengalaman religiusitasnya masing-
bentuk representasi dari keteguhan iman. masing. Sehingga secara sosiologis mem­
Namun, dalam interaksi sosial terutama bentuk cara pandang mereka terhadap
dalam relasi antar pemeluk agama, klaim satu sama lain.
kebenaran semacam ini biasanya sering Atas dasar itu mereka menjadi saling
menjadi sumber benturan dan permusuhan percaya dan saling mendukung. Sehingga
diantara pemeluk agama dan menjadi membuat kehidupan mereka menjadi
malapetaka. Di Desa Sumberpakem sangat tentram dan aman. Tidak ada
ini, masyarakatnya justru melalukan clash of civilization, culture war, konflik
reinterpretasi terhadap agama sebagai agama, perlakuan dan atau kebijakan
sumber inklusivisme. Mereka dalam diskriminatif, hubungan eksploitatif,
berinteraksi sosial menegaskan sikap bias (perlakuan tak fair atau tak adil
terbuka (inklusif), melakukan kebebasan yang tak disengaja), prasangka negatif,
berfikir, menerima kelompok yang kesalahpahaman, marjinalisasi, kekerasan
berbeda, meyakini yang berbada sebagai fisik/simbolik, ketimpangan, kesenjangan
bagian dari mereka. Dengan demikian, apa yang tajam, dan masalah aktual lainnya
yang mereka lakukan itu mirip apa yang yang dapat memecah belah persatuan
ditegaskan dan ditawarkan oleh Ahmad dan kesatuan mereka. Representasi dari
Wahib dalam satu metodologinya yang itu semua adalah mereka kemudian
berjudul “Percobaan ke Arah Memahami saling bekerjasama dan saling membantu.
Islam”. Isinya adalah soal bagaimana Termasuk tokoh-tokoh agamanya. Fajar
masyarakat memehami keagamaan Wicaksono (tokoh Kristen) dan Ustad Fauzi
secara lebih terbuka. Sehingga memberi (tokoh Islam) memberi contoh, ketika umat
konsekuensi pada pergeseran pandangan Islam sedang membangun Masjid dan
10 DIMENSI, VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2017

Musholla, banyak umat Kristen membantu memperkecil ketidakpastian, ketegangan


dari aspek material dan keuangan. Tidak dan konflik, atau setidak-tidaknya
ada pikiran bahwa sumbangan itu haram. dianggap berbuat demikian.
Setiap mereka menilai bahwa sumbangan Pada masyarakat Jawa secara umum,
itu adalah sama dengan sumbangan dari wujud dari tradisi dan kepercayaan
umat Islam lainnya. Demikian juga ketika ini adalah dengan melakukan upacaya
umat Kristen sedang memperbaiki Gereja- yang dilakukan secara berkelompok,
nya. Masyarakat Islam turut membantu yang dimaknai sebagai rasa sukur atau
sesuai dengan kemampuannya. Perilaku semacam persembahan kepada sang
saling mendukung ini merupakan nilai- kuasa atau kepada pemilik segalanya
nilai toleransi yang mereka jaga hingga dengan istilah yang berdeba-beda. Selain
sekarang. itu, upacara tersebut juga dimaksudkan
sebagai bentuk permohonan agar diberi
Bentuk-Bentuk Kehidupan Toleransi keselamatan dalam meraungi kehidupan
Masyarakat Sumberpakem dan mencari keberkahan. Sebagai bentuk
Sebagaimana disinggung di atas, permohonan mereka melakukan puji-
bahwa masyarakat Islam-Kristen Madura pujian yang dipimpin oleh seorang tokoh
Sumberpakem berbaur menjadi satu agama atau tokoh masyarakat, kemudian
komunitas yang aktivitasnya melintas batas mereka menyajikan makanan untuk
keagamaan (passing over) seperti slametan diberikan kepada masyarakat dan kerabat
dan perkawinan. Praktek melintas batas yang diundang.
kegamanaan itu adalah karena mereka Dalam kontek slametan masyarakat
diikat oleh tidak hanya melalui hubungan Islam-Kristen Madura Sumberpakem
sosial, namun juga diikat melalui hubungan berwujud saling hadir dalam tradisi
kekeluargaan. Hubungan kekeluargaan itu tersebut. Termasuk dalam slametan kema­
telah berjalan sejak lama. Bentuk–bentuk tian. Sebagaimana diketahui slametan
toleransi yang melintas batas itulah yang kematian dilakukan keluarga yang anggota
akan kita jelaskan berikut ini: keluarganya meninggal dunia. Upacara
slametan dilakukan pada hari pertama,
Slametan sampai hari ketujuh secara berturut-turut,
Slametan berasal dari kata slamet, kemudian dilanjutkan pada hari ke 40 dan
selamat, tidak ada apa-apa, atau terlepas dari hari ke 100. Selama melakukan upacara
insiden-insiden yang tidak diharapkan. Pada slametan, dipimpin oleh tokoh agama,
masyarakat Jawa, slametan telah menjadi mereka membaca puji-pujian atau dzikir,
upacara syukuran dengan mengundang membaca tahlil dan tahmid. Karena itu
beberapa orang kerabat atau tetangga. upacara slametan ini juga sering disebut
Menurur Clifford Geertz, slametan adalah dengan tahlilan. Di Desa ini, masyarakat
bentuk upacara keagamaan yang paling Kristen, khususnya yang laki-laki, sudah
umum di dunia versi Jawa. Ia melambangkan biasa menghadiri upacara slametan. Mereka
kesatuan mistis dan sosial mereka yang layaknya masyarakat Islam, berkumpul,
ikut serta didalamnya. Slametan juga meru­ membaca pujian-pujian sesuai dengan
pakan wadah bersama diantara masya­ keyakinannya.
rakat, yang mempertemukan berba­gai Sebaliknya, ketika ada masyarakat
aspek kehidupan sosial dan pengalaman Kristen meninggal dunia, masyarakat Islam
perseorangan, dengan suatu cara yang juga hadir untuk membantu mereka yang
Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura... 11

berduka. Mereka sudah biasa menghias umat Islam) sampai selesai. Kemudian
jenazah, merangkai bunga untuk jenazah, kembali ke rumah duka untuk makan
memasukkan jenazah ke dalam peti dan bersama. Mereka (Islam dan Kristen)
sebagainya. Dalam tradisi Kristen upacara melakukan itu karena telah menjadi
kematian itu disebut dengan ibadah bagian dari masyarakat kultural. Bagi
penghiburan. Mereka juga menyebutnya mereka kehadiran dalam proses itu tidak
dengan slametan yang ditujukan pada aneh, justru perilaku dan tindakan itu
mereka yang telah meninggal dunia. merupakan sesuatu yang umum terjadi
Pendeta sebagai pemimpin agama datang di desa Sumberpakem. Karena itu mereka
untuk memberi khotbah. Khotbah yang menyebutnya sebagai sebuah tradisi.
dimaksud adalah ibadah penghiburan Menurut tokoh agama dan masya­
yang isinya adalah puji-pujian, atau dalam rakat di Desa Sumberpakem, jika yang
bahasa umat Kristen Sumberpakem disebut meninggal itu masih ada hubungan
dengan kejungan pojien kahanan rohani. keluarga, maka bukan suatu keterkejutan,
Ketika upacara ini dilangsungkan, di yang membantu memandikan jenazah
tengah-tengahnya ada masyarakat Islam. (yang meninggal) adalah salah satu sanak
Mereka juga hadir mengikuti upacara keluarganya walau beda agama. Bahkan
tersebut sebagai bentuk toleransi. ada seorang yang bernama ibu Sukarma
Tidak hanya itu, kehadiran mereka dan Ibu Kur beragama Kristen, sudah
juga pada saat proses upacara pemakaman. terbiasa membantu memandikan jenazah
Dalam Islam misalnya, sebelum yang orang Islam. Mereka sudah tahu apa yang
meninggal dikebumikan, ia biasanya harus dilakukan dari awal hingga akhir.
dimandikan terlebih hadulu, kemudian Tidak ada perdebatan diantara mereka.
dikafani dan disholatkan. Setelah itu Apalagi muncul kata haram karena
dikebumikan di tempat pemakanam yang memandikan salah satunya adalah
umum. Prosesi ini berlangung dengan orang Kristen. Apa yang terjadi ini bukan
duka cita yang dihadiri oleh banyak orang, sebuah sensasi, melainkan lebih sebagai
mulai sanak famili, tetangga terdekat dan sebuah fakta alamiah yang dikonstruksi
masyarakat sekitar. Masyarakat Kristen berdasarkan pada sosio-kultural masya­
di desa ini mengikuti prosesi tersebut dari rakat sekitar.
awal hingga akhir. Bagi yang perempuan Ada banyak alasan terkait dengan
pergi ke dapur bergabung dengan kehadiran orang-orang berbeda agama
para perempaun lainnya membantu itu dalam sebuah tradisi kultural Islam.
menyiapkan keperluan untuk acara Bagi masyarakat di desa ini, kehadiran itu
terebut, dan biasanya mereka membawa bukanlah persoalan yang membuat akidah
kebutuhan pokok seperti beras, gula, mereka menjadi tidak jelas. Kehadiran
dan atau bahan makanan lainnya untuk mereka itu dianggap sebagai bentuk
diberikan kepada keluarga yang berduka. penghormatan karena ada ikatan atau
Bagi masyarakar Sumberpakem kehadiran hubungan yang kuat diantara mereka.
mereka itu disebut dengan alabet (melayat). Kedekatan tersebut juga merupakan
Sementara yang laki-laki (Kristen) solidaritas yang tumbuh diantara mereka.
membantu proses pemakanan tersebut Solidatiras itu menjadi semacam ikatan
yang dilakukan secara berkelompok. sosial yang tumbuh berdasarkan pada
Mereka menggali kubur, ikut mengubur­ pemahaman bahwa mereka adalah
kan, mengikuti doa-doa (ritual pemakaman bersaudara. Dalam bahasa Madura mereka
12 DIMENSI, VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2017

menyebutnya dengan istilah “pagun “terdidik” sekalipun, seperti pada masya­


a tretanan saterossah (tetap bersaudara rakat perkotaan misalnya. Atau pada
selamanya). mereka yang mungkin dianggap lebih
Praktek kehidupan bertoleransi itu mapan secara ekonomi. Pengetahuan
juga mereka namakan sebagai sangkolan lokal itu adalah mengenai saling mengerti
(istilah dalam bahasa Madura), atau dan bertanggungjawab bahwa perbe­
sebuah warisan leluhur yang mereka daan agama sejatinya harus saling
diturunkan secara terus menerus melalui bekerjasama, saling membantu dan saling
generasi ke generasi. Sangkolan itu menguntungkan. Inilah ciri dari masya­
bukanlah sesuatu yang aneh, melainkan rakat multikulturalisme sebagai­mana
sebuah kelaziman bagi masyarakat sana. didambakan banyak orang. Karena itu,
Apalagi sebagian besar mereka masih tidak berlebihan jika praktek melintas
terikat dengan hubungan kekerabatan dan batas keagamaan ini bisa menjadi semacam
kekeluargaan. Jadi bagi mereka sangkolan model toleransi bagi kehidupan toleransi
itu bukan sensasi, bukan keterkejutan, di Indonesia.
bukan pula sebuah alergi perjumpaan.
Tapi justru merupakan bagian dari hidup Perkawinan
dan kehidupan masyarakat Sumberpakem. Bentuk toleransi yang kedua adalah
Meminjam istilah John S. Dunne perkawinan. Perkawinan umumnya
dan merujuk pada pemikiran Nurcholis dimulai dan diresmikan dengan upa­
Madjid, apa yang terjadi pada masyarakat cara  pernikahan dengan maksud untuk
Sumberpakem di atas merupakan praktek mem­bentuk  lembaga keluarga. Di dalam
melintas batas keagamaan (passing over). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Setiap agama di desa itu saling berjumpa tentang Perkawinan, juga sudah dirumus­
berjalan harmonis bahkan setiap pemeluk kan bahwa perkawinan adalah sebagai
agama seringkali melintasi batas yang ikatan lahir batin antara seorang pria
selama ini dianggap suatu hal yang dan seorang wanita sebagai suami istri
tidak wajar atau dianggap kafir. Namun, dengan tujuan membentuk keluarga atau
keduanya nyaris tidak menghiraukan rumah tangga yang bahagia dan kekal
konsepsi semacam itu. Praktek ini juga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
telah berlangsung lama yang dilakukan Dalam Undang-Undang ini sebetulnya
oleh kedua belah pihak. Masyarakat di tidak ditemukan klausul yang mengatur
desa ini tidak mempermasalahkan praktik tentang perkawinan antar agama. Yang
melintas batas beragama tersebut karena ada hanyalah penjelasan yang berbunyi
bagi mereka keimanan dan kepercayaan “bahwa perkawinan adalah sah apabila
kepada Tuhan tidak dipengaruhi oleh dilakukan menurut hukum masing-masing
kehadiran mereka dalam praktek kultural. agamanya dan kepercayaannya”. Secara
Melainkan dipengaruhi oleh seberapa cinta tersembunyi sebetulnya Undang-Undang
dan konsisten mereka dalam melakukan ini melarang nikah beda agama. Namun,
perintah Tuhan dan menjauhi segala karena proses interaksi yang kompleks,
larangannya. maka persoalan yang muncul adalah
Praktek melintas batas itu juga meng­ perkawinan yang dilakukan dengan beda
gambarkan bahwa mereka memiliki agama. Dan nyatanya pernikahan beda
penge­tahuan lokal (local knowledge) yang agama itu benar-benar terjadi. Mereka
melampaui pengetahuan masyarakat melakukannya karena alasan suka sama
Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura... 13

suka. Maka yang mereka lakukan kemudian mengatakan kasus nikah beda agama
adalah dengan cara-cara populer berikut itu terjadi karena ada hubungan antara
ini; pagi nikah menurut agama laki-laki, keluarga. Mempersoalkan nikah beda
namun sorenya nikah lagi menurut agama agama dinilai akan membuat hubungan
perempuannya. Ada pula yang nikah di diantara mereka akan menjadi terganggu.
luar negeri. Cara-cara populer semacam Dari penjelasan ini, bisa dimengerti bahwa
itu memang tidak bisa dinafikkan karena masyarakat Sumberpakem kalau tidak
setiap orang memiliki jodoh masing- disebut permisif, memiliki reinterpretasi
masing. Perjumpaan dengan beda agama terhadap agama masing-masing. Mereka
bukanlah mustahil terjadi karena relasi tidak terlalu kaku menafsir soal ketentuan
masyarakat kita yang melintas batas agama menikah sesuai aturan yang ada. Melainkan
dan kepercayaan. lebih leluasa dan terbuka. Kondisi ini
Kasus seperti ini juga terjadi pada memang secara sosiologis, dapat meredam
ma­syarakat Islam-Kristen Madura ketengangan diantara mereka sebagaimana
Sumber­pakem. Nikah beda agama justru banyak terjadi di tempat lain.
tidak banyak dipersoalkaan. Perni­
kahan beda agama dijalankan sesuai Kesimpulan
dengan kesepakatan keluarga. Kesepa­ Dari paparan di atas, dapat disimpul­kan
katan keluarga menjadi panglima bagi bahwa nilai-nilai toleransi pada masyarakat
keberlanjutan hubungan mereka. Walaupun Islam-Kristen Madura Sumberpakem itu
diakui pernikahan beda agama jarang merupakan nilai-nilai universial yang
terjadi. Namun bukan berarti tidak ada. tercermin dalam multikulturalisme seperti
Yang umum terjadi adalah jika mempelai menerima, toleran, simpati, empati,
laki-laki atau perempuan ikut agama dan peduli terhadap keanekaragaman
salah satu mempelai, maka pernikahan kultural; serta bersedia hidup bersama,
dilakukan menurut agama yang berlaku. saling percaya dan saling mendukung
Sebagai contoh, jika ikut Islam, maka (ko-eksistensi dan pro-eksistensi). Nilai-nilai
ritualnya dengan cara Islam, sebaliknya itu dibangun melalui proses yang sangat
juga demikian. Bagi kalangan masyarakat panjang dengan mau menekan sikap dan
Sumberpakem, kasus pernikahan semacam tindakan yang eksklusif, egois serta arogan
ini dimulai dengan dialog antar keluarga. (partikular-eksklusif). Sebaliknya mereka
Mereka membicarakannya dengan penuh justru berhasil membangun sikap rendah
kesadaran. Tidak ada pemaksaan dari hati sebagai kontrol dan penyeimbang atas
salah satu pihak agar ikut sesuai dengan sikap dengan semangat universal-inklusif.
tata cara keyakinannya. Kondisi di atas membuat kehidupan
Kondisi ini terjadi karena sebagian mereka menjadi tentram dan aman.
mereka yang menikah beda agama itu Sebab mereka mampu meminimalisir
masih ada hubungan family, atau hubungan “masalah potensial dan aktual”, berupa;
keluarga. Hubungan keluarga tersebut clash of civilization, culture war, konflik
nampaknya mengikat mereka dalam agama, perlakuan dan atau kebijakan
perkara ini. Sehingga kasus pernikahan diskriminatif, hubungan eksploitatif,
beda agama itu belum pernah menimbulkan bias (perlakuan tak fair atau tak adil
perdebatan atau pertengkaran diantara yang tak disengaja), prasangka negatif,
mereka. Ini juga diakui oleh seorang kesalahpahaman, marjinalisasi, kekerasan
tokoh masyarakat Ustazd Fauzi, yang fisik/simbolik, ketimpangan, kesenjangan
14 DIMENSI, VOL. 10, NO. 2, NOVEMBER 2017

yang tajam, dan masalah aktual lainnya juga sebaliknya. Praktek melintas batas
yang dapat memecah belah persatuan dan keagamaan ini telah berlangsung lama
kesatuan mereka. yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Namun demikian, kondisi itu dise­ Mereka merasa tidak terganggu karena
babkan sedikitnya oleh dua faktor yang keimanan mereka tidak dipengaruhi oleh
membuat kehidupan toleransi pada kehadiran mereka dalam praktek kultural.
masyarakat Desa Sumberpakem itu Melainkan dipengaruhi oleh seberapa cinta
tumbuh bak bunga yang mekar; Pertama, dan konsisten mereka dalam melakukan
karana kesamaan suku dan kultural. Antara perintah Tuhan dan menjauhi segala
masyarakat Islam dan Kristen merupakan larangannya.
masyarakat Madura pada awalnya yang Praktek melintas batas itu juga
bermigrasi ke wilayah Jember pada awal membuat mereka memiliki pengetahuan
abad ke 19. Kesamaan suku dan kultural lokal (local knowledge) yang melampaui
itu membuat mereka memiliki solidaritas pengetahuan masyarakat “terdidik”
antar sesama walau beda agama. Kedua, sekalipun, seperti pada masyarakat
karena kesamaan kelas sosial ekonomi. perkotaan misalnya. Atau pada mereka
Tidak ada kesejangan yang tinggi diantara yang mungkin dianggap lebih mapan secara
mereka (Islam dan Kristen). Semuanya ekonomi. Pengetahuan lokal itu adalah soal
memiliki status sosial ekonomi yang sama saling mengerti dan bertanggungjawab
yakni, petani, buruh tani dan perkebunan. bahwa perbedaan agama sejatinya harus
Selanjutnya adalah soal bentuk saling bekerjasama, saling membantu
toleransinya. Masyarakat Islam-Kristen dan saling menguntungkan. Inilah ciri
Madura Sumberpakem berbaur menjadi dari masyarakat multikulturalisme
satu komunitas yang aktivitasnya melintas sebagaimana didambakan banyak orang.
batas keagamaan (passing over) seperti Karena itu, tidak berlebihan jika penelitian
selametan bersama, perkawinan, acara ini merekomendasi bahwa toleransi pada
kematian dan pekerjaan. Jika warga masyarakat Islam-Kristen Madura di Desa
Islam sedang melakukan selametan, maka Sumberpakem Kabupaten Jember di atas
yang diundang adalah semua warga di menjadi semacam model toleransi bagi
sekitar yang agamanya tak melulu Islam, kehidupan toleransi di Indonesia.
melainkan juga yang Kristen. Begitu
Chriestine, Abdus, Toleransi Masyarakat Islam-Kristen Madura... 15

Daftar Pustaka
CRCS. 2013. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Yogyakarta: UGM.
Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Yayasan Ilmu-
Ilmu Sosial.
Human Rights Watch. Intoleransi Makin Berkembang di Indonesia. Diakses pada
tanggal 1 Mei 2016.
Huntington, Samuel. 2012. The Clash of Civilizations and The Remarking of World Order.
Jakarta: Penerbit Qolam.
Hartono. 2010. Migrasi Orang-Orang Madura di Ujung Timur Jawa Timur: Suatu Kajian Sosial
Ekonomi. Jakarta: Historia.
Hasani, Ismail (ed). 2008. Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleran Masyarakat dan Retriksi
Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: Setara Institute.
Julailah. 2015. Keberadaan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem Kecamatan
Sumberjambe Kabupaten Jember Tahun 1976 – 1999. Artikel Ilmiah Mahasiswa.
Jannah, Raudhatul. 2010. Jember dan Diskursus Masyarakat Jaringan. Tesis. UI.
Jenkins, Richard. 2008. Social Identity. New York: The Taylor & Francis.
Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan.
Prasasti. 2011. Tokoh Pembentuk Komunitas Kristen Pertama di Ngoro, Jawa Timur. Diakses di
fis.um.ic.id, pada 2 Agustus 2017.
Raho, Bernard. 2013. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor.
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 2016. Pedalungan: Orang-orang Perantauan di Ujung
Timur Jawa, makalah ilmiah.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Sihombing. 2009. Sejarah Gereja di Indonesia, diktat, Sekolah Tinggi Teologi HKBP
Pematangsiantar.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Trijono, Lambang (ed). 2004. Potret Retak Nusantara: Studi Kasus di Indonesia.
Yogyakarta: CSPC BOOK.
Wahid, Abu. 2004. Admad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial. Yogyakarta: Resist
Book.
Wiyata, Latif. 2006. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LKIS.

Anda mungkin juga menyukai