Anda di halaman 1dari 14

2 TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan ngara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan


hampir 80% dari total area adalah habitat laut yang memiliki karakteristik spesifik.
Penangkapn ikan yang berlebihan oleh nelayan, cara-cara penangkapan yang
destuktif, dan penurunan mutu lingkungan akibat bahan-bahan pencemar telah
menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan di beberapa wilayah perairan.
Sea ranching merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat
dipertimbangkan dalam memperbaiki produktivitas penurunan perikanan pantai.

2.1 Konsep Sea Ranching


Ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan dan
kawasan tesebut memiliki isolasi alamiah sehingga ikan yang ditebar (restocking)
biasa dipastikan tidak bisa berpindah tempat dan dapat ditangkap kembali
(recapture) (Effendi, 2004). Kegiatan ranching di perairan laut disebut sea
ranching. Lebih lanjut dikatakan perairan pantai suatu pulau yang ditumbuhi oleh
terumbu karang dan ikan yang suka pada kondisi ikan tersebut ikan karang,
seperti kerapu, kakap putih, napoleon, baronang, lobster, teripang, dan abalone.
Ikan ini tidak mungkin meninggalkan kawasan tersebut dan bermigrasi menyusur
tubir hingga ke laut dalam atau laut lepas. Sebaliknya, ikan yang berasal dari laut
lepas seperti ikan pelagis kecil dan pelagis besar, misalnya tuna dan cakalang
tidak mungkin masuk ke dalam kawasan terumbu karang hingga mencapai suatu
pulau karena kawasan tersebut bukanlah habitatnya.
Untuk dapat mengerti lebih baik tentang sea ranching, peternakan di
darat dapat dijadikan sebagai analoginya. Di kenal dua jenis peternakan yaitu: (1)
suatu peternakan pada suatu padang yang luas, dimana ternak-ternak dibiarkan
memakan rumput lair (contoh: Amerika, Australia, dan Mongolia) dan (2)
Peternakan dalam skala yang lebih kecil dimana ternak-ternak diberi makan dari
tanaman yang dibudidayakan yang dicampur dengan makanan buatan dan
mengambil tempat di pengunungan atau daerah terpencil (contoh: Jepang,
Swiss). Yang menjadi essensi rasional keduanya adalah meningkatkan produksi
melalui pemanfaatan alam dan kebijakan manusia sebagai pengguna, dimana
untuk aplikasi di laut konsep ini akan lebih kompleks bila dibandingkan dengan
aplikasi di daratan (Bell, 1999).
Sea ranching berbeda dengan maricultur, namum dalam pelaksanaanya
ada pentahapan dimana prinsip maricultur dipertimbangkan sebagai bagian yang
penting dalam konsep sea ranching, karena sebelum pelepasan ikan/
udang/kerang-kerangan ke perairan dilakukan kegiatan budidaya pada stadia
dimana ikan/ udang/kerang-kerangan masih dianggap lemah. Secara teknis
kegiatan sea ranching berbeda dengan mariculture. Sea ranching akan sangat
tergantung dari karakteristik geografi dan hidrografi wilayah, sehingga elemen
teknologi yang dipergunakan akan sangat disesuaikan dengan lokasi. Dalam
skala besar dianologikan dengan kegiatan melepaskan benih ikan ke perairan
alami tanpa adanya pemberian pakan, jadi alam yang memelihara dan kita
tinggal menangkapnya. Sedangkan maricultur adalah adanya suatu area
tertentu di perairan pantai yang banyak terdapat kumpulan KJA, rakit-rakit. Jadi
dalam pengertian ini komoditi yang dibudidayakan berada dalam wadah atau
area yang terbatas (in captivity) dan terdapat pemberian pakan buatan dan
adanya menejemen budidaya yang baik (Azwar, 1990).
Dalam sea ranching pengendalian manusia mulai berkurang dimana
segala sesuatu kehidupan tergantung kepada daya dukung kehidupan setempat.
Pengendalian dalam sea ranching hanya terletak pada pengontrolan dan
pengaturan penangkapan melalui pengawasan alat tangkap daerah musim
tangkap dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Kegiatan sea ranching meliputi
beberapa kegiatan antara lain: survei penentuan lokasi, perbaikan habitat
dengan pemasangan habitat tiruan (artificial reef), penumbuhan sea weed secara
alami atau dengan menyiapkan bibit yang telah disiapkan, pemilihan jenis ikan,
udang dan kerang-kerangan yang akan dilepas ke laut, pengelolaan,
penangkapan dan pengorganisasian (Azwar dan Ismail, 2001)
Menurut Liao dalam Moksness (1999), dalam pemilihan komoditas
spesies ikan yang akan dilepas ke laut, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Faktor-
faktor tersebut terdiri dari: (1) dapat dengan mudah beradaptasi, (2) mempunyai
tingkat pertumbuhan yang cepat, (3) bernilai ekonomi (high market value), (4)
suplai benih dapat dengan mudah diperoleh dari hatchery, (5) feeding habits
dari larva harus jelas baik secara ekologi maupun fisiologi, (6) sumber makanan
bagi organisme cukup, (7) resisten terhadap penyakit.
Menurut Maasaru (1999), sea ranching mempunyai dua tipe yaitu (1)
harvest type dan (2) recruitment type. Pada jenis harvest type benih yang akan
ditebar akan diproduksi dan dibesarkan (sampai ukuran tertentu) di hatchery,
pemanenan di alam dilaksanakan pada saat organisme tersebut telah mencapai
ukuran komersial. Dalam hal ini penebaran dan penangkapan kembali
dilaksanakan berulang-ulang pada setiap musim tertentu. Disini sangat penting
sekali untuk diperhatikan adalah meningkatkan daerah penangkapan,
memelihara mutu lingkungan perairan dan melakukan penangkapan kembali
secara efisien (Gambar 2).

PUSAT BUDIDAYA

STOK BENIH

PRODUKSI BENIH

PEMELIHARAAN

PELEPASAN
SEA RANCHING
PEMBESARAN

PEMANENAN

PEMASARAN
Gambar 2 Tipe Pemanenan atau Harvest Type Sea Ranching (Maasaru,1999).

Pada tipe kedua, benih dihasilkan dan dibesarkan di hatchery yang


ditebar pada suatu wilayah perairan dibiarkan sampai saat reproduksi, jadi benih
yang ditebar diharapkan akan tumbuh, matang telur, memijah dan kemudian
menetas pada daerah penangkapan untuk reproduksi secara alami dengan
bantuan pengelolaan perikanan yang memadai. Pada kasus ini, tidak semua ikan
yang tumbuh tertangkap kembali, beberapa ikan dewasa akan tetap tinggal
menjadi induk. Penerapan akan ditangguhkan setelah sumberdaya yang baru
hidup mapan dan pada waktu yang bersamaan pengelolaan perikanan yang
memadai harus dilakukan dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya dan
lingkungan, seperti yang tertera dalam Gambar 3.

PUSAT BUDIDAYA

STOK BENIH

PRODUKSI BENIH

PEMELIHARAAN

PELEPASAN

JUVENILE

SEA RANCHING
PEMBENIHAN TUMBUH
PERBAIKAN
LINGKUNGAN
PENELURAN DEWASA
KONTROL LINGKUNGAN
PEMATANGAN

PEMANENAN

PEMASARAN

Gambar 3 Tipe Penerimaan atau Recruit Type Sea Ranching (Maasaru, 1999).

Menurut Bartley (1999) dalam menerapkan metode ini diperlukan


pemahaman kondisi lingkungan. Tidak semua lingkungan perairan yang terdapat
di laut dan pantai dapat dimanfaatkan. Lingkungan yang sesuai yang dapat
dimanfaatkan untuk sea ranching dapat berupa perairan karang, dengan
beberapa persyaratan berikut :
• Perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat.
• Kedalaman perairan 5 -15 meter.
• Dasar perairan sebaiknya sesuai dengan habitat asal ikan yang akan di
restocking.
• Bebas dari bahan cemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari
kawasan industri maupun pemukiman yang padat.
• Mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi
budidaya

Secara regular kegiatan restocking benih ikan dimasukkan ke dalam


kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001). Pemanenan dilakukan oleh nelayan
dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan (bubu, pancing dan
sebagainya). Untuk harmonisasi antara hatchery yang melakukan kegiatan
restocking dan nelayan yang melakukan kegiatan pemanenan (penangkapan)
maka dibutuhkan kelembagaan yang memadai.

Pola sea ranching telah banyak yang dapat diterapkan berdasarkan


ekologi dan potensi alam suatu wilayah, baik yang targetnya satu spesies
maupun yang diversifikasi spesies. Dalam pola sea ranching kompleks dapat
diterapkan secara terpadu seperti pertanian. Hewan-hewan dasar dapat
berkembang artifcial dasar yang diikuti dengan restocking hewan yang
habitatnya di dasar, sedangkan hewan yang bergerak di bagian
permukaan/melayang dapat ditetapkan tipe mengapung. Untuk suplai benih ikan,
udang dan kerang-kerangan yang akan dilepaskan ke alam harus didukung atau
tersedianya pusat pembenihan (Azwar dan Ismail, 2001).

2.2 Program Stock Enhancement dan Sea Ranching

Di Jepang, keberhasilan yang signifikan dalam salmon ranching telah


mendorong pemerintah untuk lebih mengembangkan metode sea ranching
untuk memperbaiki produksi perikanan yang menurun dengan berbagai hewan
akuatik lainnya. Penerapan ini juga sudah berkembang di Cina, Korea dan
Filipina, Jepang, dan USA dengan penerapan metoda ini diperoleh hasil yang
sangat signifikan. Disamping masyarakat memperoleh manfaat secara ekonomi,
keseimbangan lingkungan pesisir juga terjaga sehingga nanti diharapkan
terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan, didukung adanya perbaikan habitat
(Moksness, 1999).
Perbaikan habitat dapat dilakukan dengan menciptakan habitat baru bagi
berbagai jenis ikan melalui penumbuhan artificial reef. Artificial reef merupakan
suatu teknologi penting dalam memperbaiki ekologi perairan untuk menciptakan
habitat tiruan yang nantinya merupakan daerah fishing ground, spawning ground,
tempat bertumbuh hewan-hewan laut pada stadia larva maupun dewasa.
Penelitian di Filipina oleh Waltemath dan Schirm (1995), mencatat bahwa pada
daerah natural coral reef ikan yang ditangkap sekitar 0,02 kg/m2, sedangkan
hasil monitor pada artificial reef saat ini dengan 9 kali monitor pertahun dari 25%
area artificial reef dicatat produksi dicapai 3,0 kg/m2. Ini bahkan menunjukkan
bahwa hasil ikan yang dicapai pada artificial reef kurang lebih dari 150 kali lebih
tinggi dari hasil coral reef alami. Hasil penelitian oleh Chang (1985) di Taiwan
mencatat bahwa 64% dari species ikan dari ikan yang ada dan 90% dari
biomassa merupakan ikan-ikan ekonomis penting. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya pemasangan artificial reef yang menyebabkan terciptanya makanan
untuk stadia larva maupun dewasa sebagai tempat berlindung.
Beberapa spesies telah berhasil di lepaskan ke perairan umun. Tabel 1
memperlihatkan beberapa jenis spesies yang berhasil dikembangkan dalam
program stock enhancement dan sea ranching
Tabel 1 Jenis spesies yang berhasil dikembangkan dalam Sea Ranching dan
Stock Enhancement
Nama Spesies Nama Umun Ukuran Lokasi Sumber
Lepas (cm)
Atractoscion White - California, Blankership &
nobilis seabass USA Leber 1995
Gadus morhua Atlantic cod - Norwegia Svacand &
Meeren 1995
Lates calcarifer Barramundi >2,5 Australia Russell &
Rimmer 1997
Mugil cephalus Striped mullet >7,0 Hawaii USA Leber 1995
Oncorhynchus Chum salmon 5,0 Jepang Kitada 1999
keta
Pagrus major Red sea 8,0 Jepang Kitada 1999
bream
Paralichtys Japanese 7 - 10 Jepang Kitada 1999
olivaceus flounder
Penaeus Fleshy prawn 1,0 Cina Deng 1997
chinensis
Penaeus Kuruma 1,5 Jepang Kitada 1999
japonicus prawn
Penaeus Grass prawn 12-15 Taiwan Su et al.,
monodon 1990
Sciaenops Red drum - Texas, USA Liao at
ocellatus al.,1997
(Liao, 1997 dalam Moksness, 1999).
2.3 Ekosistem Terumbu karang dan Komunitas Ikan Karang
2.3.1 Ekosistem terumbu karang
Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang
komunitasnya didominasi oleh biota merupakan: a) tempat tumbuh biota laut
(tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut), dan
menjadi sumber protein bagi masyarakat pesisir; b) plasma nuftah; c) sumber
bahan baku berbagai bagunan, perhiasan, dan penghias rumah; d) objek wisata
bahari (keindahan ekosistem ini dengan keanekaragaman jenis dan bentuk biota,
keindahan warna, serta jernihnya perairan yang mampu membentuk perpaduan
harmonis dan estetis, sehingga ideal untuk tempat rekreasi laut). Selain itu,
ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya
pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak sehingga mampu
menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybaken,
1992; Soekarno,1995; Dahuri, 1996).
Hasil temuan Puslitbang Oseanografi-LIPI yang dilakukan pada tahun 2000
bahwa kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41,78% dalam keadaan rusak
28,30% dalam keadaan sedang; 23,72% dalam kondisi baik , dan hanya 6,20%
dalam keadaan masih dalam kondisi sangat baik (DKP, 2004). Semakin
rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak
kepada kemerosotan terhadap keberadaan sumberdaya ikan karang Indonesia.
Data pemanfaatan ikan karang pada tahun 2005 berdasarkan produksi 2002 dan
potensi 2001 menunjukkan bahwa potensi ikan karang di 9 WPP di Indonesia
adalah sebesar 162.201 ton/thn dengan produksi yang dihasilkan sebesar
121.903 ton/tahun.
Pulau Lombok sebagai salah satu pulau terbesar di Propinsi Nusa Barat,
memiliki sebaran terumbu karang yang cukup luas. Pada kedalaman 3-50 meter,
sebaran terumbu karang di beberapa lokasi bagian barat pulau tersebut
diperkirakan seluas lebih kurang 728 hektar atau 20,2% dari perairan karang
sekitar 3.602 hektar di propinsi tersebut (BPS Propinsi Dati I NTB, 2005).
Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa perubahan dan kerusakan
terumbu karang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang sangat
cepat terutama di wilayah perairan Indonesia termasuk di kawasan Gili Indah
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan P3O-LIPI
(sebagian data diambil sebelum tahun 1990) menunjukkan, bahwa dari 27
stasiun pengamatan di perairan NTB termasuk di Gili Indah hanya 2 (7%) lokasi
yang dalam kondisi baik sekali, 7 (26%) lokasi kondisi baik, 4 (15%) lokasi
kondisi sedang dan 14 (52%) lokasi kondisi rusak.
Ekosistem terumbu karang kawasan pesisir barat Lombok telah banyak
memberikan kontribusi berbagai kegiatan produktif terutama dalam wisata bahari
maupun sumberdaya laut kepada masyarakat lokal (terutama nelayan tradisional
berskala kecil). Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan
ekosistem terumbu karang sedang dan telah berlangsung secara berlebihan,
sehingga cenderung mengalami kerusakan yang parah. Di beberapa kawasan
pesisir barat Pulau Lombok, penyebab kerusakan terumbu karang yang dominan
adalah karena: 1) penambangan karang (coral mining); 2) penggunaan bahan
peledak dan bahan beracun, teknik-teknik yang merusak dalam penangkapan
ikan di kawasan terumbu karang; 3) kegiatan objek wisata yang berkaitan
dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang.

2.3.2 Komunitas ikan karang


1. Karakteristik Kelompok Ikan
Kelompok ikan karnivora di daerah terumbu karang sekitar 50-70%, dan
hampir meliputi jenis ikan di daerah ini. Kelompok ikan-ikan pemakan karang
dan herbivor sekitar 15%. Ikan-ikan dari kelompok ini sangat tergantung kepada
kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya. Kelompok planktivor dan
omnivor hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (Choat dan Bellwood,
1991).
Sebagian besar ikan karang memiliki diversitas yang tinggi, jumlah spesies
yang sangat banyak, dan kisaran morpologi yang luas. Menurut Dartnall dan
Jones (1986), ikan karang dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan
tujuan pengelolaannya yaitu : (i) kelompok jenis ikan indikator, (ii) kelompok ikan
target (komsumsi), (iii) kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan
(kelompok utama)

2. Karakteristik Ekologi
Terumbu karang tidak hanya terdiri hanya dari terumbu karang, tetapi
juga daerah berpasir, bermacam-macam goa dan lubang/celah, wilayah alga,
perairan dangkal, perairan dalan serta adanya zonasi terumbu karang. Diversitas
dan densitas ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat
yang terdapat di terumbu karang. Ikan-ikan tersebut memiliki relung ekologi yang
lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya dapat bergerak dalam
area tertentu. Sebagai akibat dari keadaan ini, ikan-ikan terbatas pada
terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang. Selain itu juga diantara ikan-
ikan tersebut yang dapat bermigrasi dan bahkan beberapa spesies melindungi
wilayahnya (Nybakken, 1992).
Keterkaitan ikan karang dengan karang dalam suatu ekologi yang sama
pada suatu area adalah kompleks, sebagai contoh keterkaitan khusus yang
terjadi pada spesies pemakan bentik sessil dan invertebrata kecil. Hal ini
menghasilkan banyak diversitas yang harus diidentifikasi. Kerumitan substrat
sebagai tempat perlindungan lebih mencirikan karakteristik ekologi dari populasi
ikan karang dibandingkan substrat sebagai sumber pakan (Choat dan Bellwood,
1991).

3. Karakteristik habitat
Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan
kelompok ikan. Oleh karena itu, interaksi intra dan inter spesies berperan penting
dalam penentuan penguasaan ruang (spacing) sehingga banyak ikan-ikan yang
menempati ruang tertentu. Tiap kelompok ikan masing-masing mempunyai
habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies mempunyai habitat yang lebih dari
satu. Pada umumnya setiap spesies mempunyai kesukaan dan referensi
terhadap habitat tertetu (Hutomo, 1986).
Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena
sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam
terumbu karang. Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada subtrat
karang, ikan-ikan ini terdiri dari Scarids, Acanthurids, Siganids, chaetodontids,
Pomacantids dan banyak spesies labrids dan pomacentrids. Anggota dari
populasi ini tidak selalu berasosiasi dengan karang tetapi pergerakannya
kebanyakan berasosiasi dengan struktur khusus dan keadaan biotik dari karang.
Keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas air sebagai
habitatnya.

4. Pola Distribusi
Salah satu fenomena yang menarik mengenai distribusi ikan karang adalah
adanya perbedaan jenis ikan pada siang dan malam hari. Pada malam hari
spesies diurnal bersembunyi di karang sedangkan spesies nokturnal mencari
makan, sebaliknya pada siang hari spesies diurnal mencari makan dan spesies
nokturnal bersembunyi. Pada habitat terumbu karang, keberadaan ruang lebih
menjadi faktor pembatas dibanding pakan, sehingga ruang di daerah terumbu
karang dapat menggambarkan distribusi ikan karang. Selain itu, beberapa ikan
berdistribusi berdasarkan keadaan pasang surut (Russel, Anderson, Golman,
1987).
Asosiasi habitat dapat digunakan untuk menjelaskan pola distribusi ikan
karang dan banyak spesies mempunyai distribusi geografis yang luas. Kelompok
ikan yang selalu berasosiasi dengan karang akan mencapai kelimpahan yang
sangat tinggi dalam habitat yang mempunyai kisaran geografis besar. Asosiasi ini
kemungkinan dapat dijadikan sebagai penjelasan tentang biogeografi (Choat dan
Bellwood, 1991). Menurut White (1987), dasar perairan merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan pola distribusi dan kelimpahan ikan karang.
Beberapa famili ikan karang yang umum dijumpai di daerah terumbu
karang yang dikelompokkan berdasarkan peranannya adalah sebagai berikut
(Kuiter, R. H. 1992 );
1. Ikan target: Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal
juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti; Seranidae,
Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae
(Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae. Salah satu contoh ikan
target adalah Ikan kerapu dari famili Seranidae dalam dunia internasional
dikenal dengan nama grouper/trout. Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang
dipasarkan dalam keadaan hidup.
2. Ikan indikator: Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat
hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili
Chaetodontidae (kepe-kepe).
3. Ikan mayor (Mayor Family): Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan
banyak dijadikan ikan hias air laut seperti: Pomacentridae, Caesionidae,
Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dll. Contoh: ikan badut (Clown
fish) dari famili Pomacanthidae.

2.4 Interaksi Ikan Karang dengan Karang


Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk
pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang
merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan, dengan adanya
keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang
hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung, dan daerah
di luar karang sebagai tempat mencari makan (Barnes, 1980)
Interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang sebagai habitat telah
dipelajari oleh Choat dan Bellwood (1991), yang memperoleh tiga hubungan
berbentuk umum yaitu :
(a) Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau
pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.
(b) Interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan
karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.
(c) Interaksi tidak langsung sebagi akibat struktur karang, kondisi hidrologi
dan sedimen.
Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang
memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Bell et
al., 1985; Adrim, Hutomo, 1989). Satmanatran (1992) , menemukan kekayaan
jenis ikan berkolerasi tidak nyata dengan berbagai komponen-komponen
penutupan karang (Acropora, non-Acropora, total karang hidup dan total karang
mati), sedangkan kelimpahan individu berkorelasi sangat nyata dengan
komponen non-Acropora dan total karang hidup.

2.5 Perkembangan Pariwisata dan Interaksinya dengan Kegiatan Perikanan


Pembangunan pariwisata mempunyai peranan penting dan strategis
dalam pembangunan nasional, terutama sebagai penghasil devisa,
meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan taraf hidup
serta menstimulasi sektor-sektor lainnya (Novita, 1996). Dalam kaitannya dengan
kegiatan perikanan, sebenarnya pariwisata dapat memberikan kontribusi yang
cukup baik dan menguntungkan. Produksi dan hasil tangkap dari nelayan dengan
mudah dapat dijual, dengan harga yang cukup baik, bahkan dapat digolongkan
mahal. Disamping itu dengan meningkatkan penampilan dan keberhasilan
perahu-perahu nelayan, para nelayan dapat memfungsikan perahu mereka untuk
angkutan pariwisata terbatas misalnya, mengantar wisatawan di sekitar pantai
untuk menikmati keindahan pantai, dan mengantar wisatawan memancing.
Program sea ranching merupakan hal yang penting untuk
mengembangkan dan mengelola pariwisata perikanan. Sea ranching dan stock
enhancement dapat memperbaiki sumberdaya perikanan untuk wisata perikanan
yang berkelanjutan (Liao, 1997 in Moksness, 1999). Di Taiwan, wisata perikanan
seperti wisata memancing (recreation fishing) telah mengalami perkembangan
yang signifikan sejak penerapan sea ranching dan stock enhancement, akibat
terjadinya penurunan secara terus menerus karena maraknya penggunaan trawl.
Dengan penggunaan artifisial reef sangat efektif dalam menciptakan habitat
yang baik bagi sumberdaya perikanan.

Kegiatan perikanan tangkap yang terletak pada kawasan yang sama


dengan pariwisata pantai atau bahari, selama ini belum begitu banyak
dikembangkan sebagai potensi yang bisa memikat wisatawan di Indonesia.
Bahar dan Bahruddin (1993) menyatakan bahwa negara-negara maju seperti
Amerika, kegiatan berupa memancing sudah sejak lama dikembangkan sebagai
kegiatan rekreasi. Nelayan tradisional yang memanfaatkan perahu jukung
sebagai sarana untuk menuai hasil, dapat dijadikan sebagi aktraksi yang
menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Mengoperasikan alat
tangkapan ikan merupakan pekerjaan sehari-sehari bagi nelayan. Situasi ini
mempunyai daya tarik tersendiri, karena dengan hasil tangkapan yang mereka
peroleh dapat dijual kepada para pelancong/wisatawan sebagai oleh-oleh.

2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya (berhubungan dengan


penggunaan tertentu, mempunyai penekanan yang tajam) , yaitu mencari lokasi
yang mempunyai sifat-sifat yang sesuai berhubungan dengan keberhasilan
produksi atau penggunaannya (Wibowo, 1993). Untuk dapat mengetahui lokasi
yang sesuai dapat dilaksanakan dengan jalan pencocokan (matching) antara
karakteristik dari kualitas lahan yang bersangkutan dengan persyaratan
penggunaan lahan yang dipertimbangkan.

Berdasarkan jenis data dan cara analisanya, kesesuaian lahan dibedakan


menjadi dua macam kesesuaian yaitu kesesuaian lahan kuantitatif dan
kesesuaian lahan kualitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan
yang didasarkan atas dasar fisik lahan dan analisis tanpa memperhitungkan
biaya dan keuntungan ekonomis. Sedangkan kesesuaian lahan kuantitif adalah
kesesuaian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor sosio-ekonomi dengan
mengutamakan biaya dan keuntungan ekonomis (FAO, 1997).

Meaden dan Kapetsky (1991) mengemukakan bahwa kesesuaian lahan


dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (present land suitability)
dan kesesuaian lahan potensial (potential land suitability). Kesesuaian lahan
sekarang adalah kesesuaian lahan yang dinilai berdasarlan keadaan lahan saat
dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang
diperlukan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuian lahan
yang dinilai bersadarkan lahan setelah diadakan perbaikan-perbaikan tertentu
yang diperlukan.

Menurut azas penataan ruang yang dijabarkan secara operasional dalam


bentuj kaidah utama ruang, evaluasi kesesuaian meliputi tiga aspek yaitu: fisik,
sosial dan ekonomi. Untuk memenuhi hal diatas biasanya dijumpai beberapa
kendala di daerah, diantaranya yaitu: a) peta landuse yang tersedia sudah
cukup lama sehingga tidak sesuai dengan keadaan saat ini, b) pengadaan peta
baru, umumnya terkendala antara lain oleh dana, waktu dan keahlian yang
terbatas. Untuk mengatasi kendala tersebut, teknologi penginderaan jarak jauh
dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alternatif untuk memecahkan
permasalahan dia atas. Dengan menggunakan teknik ini ada beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu waktu relatif cepat, biaya relatif murah,
penguasaan teknologi relatif murah (Wibowo, 1993).

2.7 Sistem Informasi Geografis

SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang
bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan,
mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai
tujuan. SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan
potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik. Mampu
mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai
pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikan
rupa sehingga data dapat dipilih dan dipergunakan bagi kepentingan dalam
pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk yaitu:
data spasial dan atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut
disimpan secara terpisah, kemudian diintegrasikan (ESRI, 1990).

SIG berperan dalam penyusunan data dasar dalam model analisis


spasial, sehingga akan didapatkan model dasar. Model dasar dan data dasar
yang dibuat digunakan sebagai pertimbangan untuk menyusun skenario
perencanaan dan identifikasi kegiatan-kegiatan pembangunan dengan
menggunakan kriteria-kriteria setiap kegiatan. Selanjutnya dengan SIG dapat
diperoleh suatu kesesuaian pemanfaatan ruang yang terkoordinasi yang
melibatkan sejumlah data dan informasi yang bervariasi (Maquire, 1991).

Dalam penerapannya, SIG dapat diterapkan dalam bidang kelautan dan


perikanan. Ruang lingkup SIG dapat dibedakan ke dalam beberapa areal yaitu
daerah pantai (coastal zone), bawah laut dan laut terbuka (Davis dan Davis,
1998). Setiap zona tersebut, menuntut cara survei, analisis dan kebutuhan teknik
pemetaan yang khusus, dan tentunya membutuhkan struktur dan basis data
yang berbeda (Sutrisno dan Sutrisno, 1993).

Anda mungkin juga menyukai