Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

SPINAL CORD INJURY

Pembimbing : dr. Indra, Sp. S

Disusun oleh :

dr. Oktaviani Angella Budiman

Internship RSUD Kabupaten Tasikmalaya

Periode 27 November 2018 – 27 November 2019


LAPORAN KASUS

SPINAL CORD INJURY

RS KAB TASIKMALAYA

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AJ

Umur : 55 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Status perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Buruh

Dirawat diruang : Muzdalifah

Tanggal masuk : 27/12/2018

II. SUBJEKTIF

Autoanamnesis, tanggal : 28/12/2018, pukul :06.00 WIB

Keluhan Utama : Kedua kaki sulit digerakkan sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan nyeri pinggang sejak satu hari SMRS. Nyeri dirasakan pada pinggang
dan menjalar hingga ke paha kanan. Awalnya nyeri mulai dirasakan saat pasien pulang ke rumah
dengan berkendara motor, tetapi tidak menggunakan korset. Lalu nyeri yang dirasakan semakin
lama semakin bertambah hebat. Nyeri juga dirasakan memberat hingga saat pasien ingin bangun
dari duduk atau berdiri terlalu lama.

Pasien juga memiliki riwayat penyakit yang sama satu tahun yang lalu dan pernah dirawat
di RS Bhakti Yudha. pasien pun merasa membaik setelah memakai korset lumbal.

Riwayat jatuh disangkal. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat menggunakan obat nyeri
lama tidak ada. Riwayat penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas disangkal oleh pasien.
Gangguan BAB, BAK dan ereksi disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes mellitus (-), riwayat kejang (-), riwayat stroke (-),
riwayat alergi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kanker dalam keluarga (-)

Riwayat DM, HT, Jantung, Alergi obat dan Asma dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi:

 Status ekonomi menengah dan baik


 Pasien memiliki pekerjaan sebagai buruh bangunan.
 Riwayat Alkohol (-), Merokok (+) sejak SMP, sehari kurang lebih menghabiskan 1
bungkus rokok.

III. OBJEKTIF (Pada tanggal 28/12/2018)

1. Status Generalis

a. Kesadaran : Compos Mentis

b. GCS : E4V5M6

c. TD : 100/70 mmHg

d. Nadi : 65x / menit, reguler kuat angkat


e. Pernafasan : 21x / menit

f. Suhu : 36oC

g. Kepala : normocephali,tidak tampak kelainan.

i. Mata : ptosis (-/-), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, simetris,
pupil isokor, bulat, Ø 3mm/ Ø 3mm, RCL +/+ RCTL +/+

j. Tenggorokan : Tidak di periksa

k. Leher : Tidak ada pembesaran KGB

l. Dada : Simetris saat statis dan dinamis, deformitas (-)

Paru : Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-) , ronkhi (-/-)

Jantung : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)

m.Perut :Datar, supel, normotimpani, BU (+) normal, hepar dan lien tidak
teraba membesar.

n. Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

o. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, Edema (-/-)

2. Status Neurologis

a. Tanda rangsang meningeal

i. Kaku kuduk : negatif


ii. Laseque : negatif
iii. Kernig : negatif
iv. Brudzinski I : negatif

b. Pemeriksaan Saraf Kranialis

N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri


Subjektif Normosmia Normosmia
Dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II. (Optikus)
Tajam pengelihatan 1/60 (bedsite) 1/60 (bedsite)
Lapangan penglihatan Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III. (Okulomotorius)
Celah mata Ptosis (-) Ptosis (-)
Pergerakan bola mata Baik Baik
Strabismus - -
Nistagmus - -
Eksoftalmus - -
Pupil
Besar pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Isokor Isokor
Reflex terhadap sinar (+) (+)
Reflex konversi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflex konsensual Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diplopia (-) (-)
N IV. (Troklearis)
Pergerakan mata (+) (+)
( kebawah-dalam )
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia (-) (-)
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut Normal Normal
Mengunyah Normal Normal
Menggigit Normal Normal
Reflex kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas (+) (+)
N VI. (Abduscens)
Pergerakan mata ke lateral Baik Baik
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia (-) (-)
N VII. (Fascialis)
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + (bisa menahan) + (bisa menahan)
Memperlihatkan gigi Simetris Simetris
Menggembungkan pipi Normal Normal
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan
NVIII.
(Vestibulokoklear)
Suara berisik + +
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus)
Perasaan bagian lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
belakang
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N X. (Vagus)
Arcus pharynx Simetris Simetris
Bicara (+) (+)
Menelan Normal Normal
Nadi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala Normal Normal

N XII. (Hypoglossus)
Pergerakan lidah Normal Normal
Tremor lidah (-) (-)
Artikulasi Normal Normal
c. Badan dan Anggota Gerak

1. Badan

a. Motorik

i. Respirasi : Spontan, simetris dalam keadaan statis dan dinamis.

ii. Duduk : Tidak dilakukan

iii. Bentuk columna verterbralis : Normal

iv. Pergerakan columna vertebralis: Tidak dilakukan

b. Sensibilitas

Taktil : positif

Nyeri : Tidak dilakukan

Thermi : Tidak dilakukan

Diskriminasi :Tidak dilakukan

2. Anggota Gerak Atas

a. Motorik

Kanan Kiri

Pergerakan Tidak ditemukan kelainan Tidak ditemukan


kelainan

Kekuatan 5555 5555

Tonus Normotonus Normotonus

Atrofi - -

b. Sensibilitas
Kanan Kiri

+ +
Taktil
+ +
Nyeri
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi
+ +
Diskriminasi
+ +
Lokalisasi

3. Anggota Gerak Bawah

a. Motorik

Kanan Kiri

Pergerakan Terbatas Terbatas

Kekuatan 0000 0000

Tonus Normotonus Normotonus

Atrofi - -

b. Sensibilitas

Kanan Kiri

- -
Taktil
- -
Nyeri
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi
- -
Diskriminasi
- -
Lokalisasi nyeri

4. Refleks

Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Biceps + +

Triceps + +

Patella + +

Achilles + +

Dinding perut superfisialis Tidak dilakukan

Dinding perut Dalam Tidak dilakukan

Kremaster Tidak dilakukan

Refleks Patologis

Hoffman-Trommer - -

Babinski - -

Chaddock - -

Schaffer - -
Oppenheim - -

d. Alat Vegetatif

 Miksi : Tidak bisa


 Defekasi : Tidak bisa

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium (27/12/2018 pk 15:01)


b. X- Foto Lumbosacral (27/12/2018 pk 15:01)
Hasil:
Curve lurus lumbalis dan alignment dalam batas normal
Tampak osteofit pada end plate corpus vertebra lumbalis
Besar, bentuk dan struktur trabekula vertebra lumbosacral dalam batas normal
Discus dan foramen intervertebralis L4-5 dan L5-S1 tampak menyempit
Pedikel dalam batas normal
Tidak tampak garis fraktur
Kesan: Curve lurus lumbalis
Spondilosis lumbalis disertai sedikit penyempitan discus dan foramen
intervertebralis L4-5 dan L5-S1
V. RESUME
Pasien datang dengan nyeri pinggang sejak satu hari SMRS. Nyeri dirasakan pada pinggang
dan menjalar hingga ke paha kanan. Awalnya nyeri mulai dirasakan saat pasien pulang ke rumah
dengan berkendara motor, tetapi tidak menggunakan korset. Lalu nyeri yang dirasakan semakin
lama semakin bertambah hebat. Nyeri juga dirasakan memberat hingga saat pasien ingin bangun
dari duduk atau berdiri terlalu lama.

Pasien juga memiliki riwayat penyakit yang sama satu tahun yang lalu dan pernah dirawat
di RS Bhakti Yudha. pasien pun merasa membaik setelah memakai korset lumbal.

Pasien bekerja di bagian maintenance di sebuah perusahaan dan sering mengangkat benda-
benda berat.

Objektif:

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis GCS 15 (E4M6V5), tekanan
darah 130/80 mmHg, suhu 37,1°c, nadi 78 x/menit, nafas 22 x/menit. Refleks cahaya langsung dan
tidak langsung kanan kiri normal . Pupil isokor, bulat, Ø 3mm/3mm, Pemeriksaan nervus kranialis
dalam batas normal. Anggota gerak bagian atas dalam pergerakan tidak ditemukan kelaianan,
kekuatan 5555/5555, normotonus, tidak ada atrofi sensibilitas baik. Anggota gerak bagian bawah
gerakan terbatas, kekuatan 5555/5555, normotonus, tidak ada atrofi dan sensibilitas baik. Refleks
fisiologis dalam batas normal. Refleks patologis (-), Tanda rangsal meningeal laseque +/+, tanda
kernig +/+, patrick +/+, kontrapatrick +/+. Hasil dari laboratorium darah tidak ditemukan adanya
kelaianan.

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinik : Spinal Cord Injury

Diagnosis Topis : Setinggi korpus L4-L5 dan L5-S1


Diagnosis Etiologik : Trauma

Diagnosis Patologik : Penyempitan diskus intervertebralis L4-5 dan L5-S1

VII. PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa

1. Rawat inap - Tirah baring

2. Immobilisasi

3. Kateter Urin

4. Rontgen Lumbosacral AP Lateral

Medikamentosa

1. IVFD RL 30 tpm

2. MP 3x125 mg IV

3. Mucosta granul 3x1 PO

4. Pantoprazole 1x40 mg IV

IX.PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

IX. FOLLOW UP

28/12/2018 29/12/2018

Subjektif Subjektif
Nyeri pada lengan, kaki belum dapat Nyeri pada lengan, kaki belum dapat
digerakkan digerakkan

Objektif Objektif
TD : 100/70 TD : 120/90 mmHg
N : 78 x/m N : 82 x/m
RR : 22 x/m RR : 22x/m
S : 36,5 S : 36,5
Motorik superior : 5555/5555 Motorik superior : 5555/5555
Motorik inferior : 0000/0000 Motorik inferior : 0000/0000
Refleks fisiologis : bicep +/+ Reflex fisiologis : bicep +/+
Tricep +/+ Tricep +/+
Patella +/+ Patella +/+
Achilles +/+ Achilles +/++
Reflex patologis : - Reflex patologis : -
Nervus kranialis : dbn Nervus kranialis : dbn

Assessment Assessment
Spinal Cord Injury Spinal Cord Injury

Plan : Plan :
- IVFD RL 30 tpm - IVFD RL 30 tpm

- MP 3x125 mg IV - MP 3x125 mg IV

- Mucosta granul 3x1 PO - Mucosta granul 3x1 PO

- Pantoprazole 1x40 mg IV - Pantoprazole 1x40 mg IV

- Rujuk RSHS untuk dilakukan MRI - Rujuk RSHS untuk dilakukan MRI
dan tindakan lanjut dan tindakan lanjut (keluarga
menolak)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum
Medula spinalis bertindak sebagai saluran/tabung yang membawa informasi,
menghubungkan antara otak dengan seluruh tubuh. Medula spinalis merupakan target dari
beberapa proses penyakit, beberapa dari penyakit tersebut dapat ditangani (contoh, kompresi
medula spinalis) namun dapat menjadi sangat progresif dengan cepat jika tidak ditangani dengan
baik. Kegagalan dalam mendiagnosis beberapa gangguan pada medula spinalis seperti kompresi
medula spinalis, dapat menjadi sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kelumpuhan seumur
hidup. Dibutuhkan pengetahuan yang baik mengetahui arsitektur medula spinalis dan
pembungkusnya, dan serabut-serabut saraf maupun kumpulan sel yang membentuknya.3

Anatomi Medula Spinalis


Struktur Protektif Medula Spinalis
Terdapat dua macam jaringan penyambung yang melindungi medula spinalis, yaitu
tulang vertebra dan meninges yang adalah jaringan penyambung yang sangat kuat, serta
ditambah cairan serebrospinal yang diproduksi oleh otak yang menyelubungi dan melindungi
jaringan saraf pada medula spinalis.4

Gambar 1. Anatomi Medula Spinalis.4


Kolumna Vertebra
Kolumna vertebra merupakan tulang pilar sentral pada tubuh manusia, menyokong tulang
tengkorak, skapula dan klavikula (pectoral girdle), ekstremitas atas, rongga toraks, dan melalui
rongga pelvis (pelvic girdle), meneruskan berat badan ke ekstremitas bawah. Di dalam kavitas
kolumna vertebralis terdapat medula spinalis, akar saraf spinal, dan pembungkusnya (meninges),
sehingga kolumna vertebra ini memberikan proteksi yang luar biasa.2

Gambar 2. Tulang Vertebra dari Posterior.2

Kolumna vertebra terdiri dari 33 buah tulang vertebra, di antara 7 tulang vertebra
servikal, 12 tulang vertebra torakal, 5 tulang vertebra lumbal, 5 tulang vertebra sakral (tergabung
membentuk sakrum), dan 4 tulang koksigeal (3 bagian bawah biasanya tergabung). Karena
strukturnya yang bersegmen-segmen, maka ditunjang oleh sendi dan bantalan fibrokartilago
yang disebut diskus intervertebralis yang fleksibel. Diskus intervertebralis menyusun sekitar 1/4
panjang dari kolumna vertebralis.2
Tulang vertebra terdiri dari korpus yang bulat pada bagian anterior dan arkus vertebra
pada bagian posterior. Struktur ini membungkus ruangan yang disebut sebagai foramen
vertebralis, yang di dalamnya terdapat medula spinalis dan pembungkusnya. Arkus vertebra
terdiri dari sepasang kaki kecil silindris yang terdapat pada sisi samping dari lengkus vertebra,
dan sepasang lamina yang datar, yang melengkapi arkus vertebra pada bagian posterior. Arkus
vertebra membentuk tujuh buah prosesus: satu prosesus spinonus, dua prosesus transversus, dan
empat prosesus artikularis.2
Diskus intervertebralis paling tipis berada di regio servikal dan lumbal, di mana
didapatkan pergerakan tulang vertebra yang paling luas dan banyak. Diskus intervertebralis
berfungsi sebagai shock absorbers ketika beban pada kolumna vertebra meningkat secara tiba-
tiba. Namun kapasitas kelenturan diskus intervertebralis secara bertahap menurun dengan
meningkatnya usia. Masing-masing diskus memiliki bagian luar yang disebut anulus fibrosus dan
bagian sentral/dalam yang disebut nukleus pulposus. Anulus fibrosus disusun oleh fibrokartilago
yang secara kuat menempel pada korpus vertebra dan pada anterior dan posterior ligamentum
longitudinalis kolumna vertebra. Nukleus pulposus pada orang muda berupa massa oval
gelatinosa. Secara normal nukleus pulposus berada dalam kondisi bertekanan dan berlokasi lebih
dekat ke pinggir diskus posterior dibandingkan ke anterior. Konsistensi nukleus pulposus yang
semifluid memungkinkannya untuk berubah bentuk dan menyebabkan tulang vertebra dapat
bergeser ke depan dan belakang antara satu dengan lainnya. Beban kompresi yang tiba-tiba
meningkat terhadap kolumna vertebralis dapat menyebabkan nukleus pulposus menipis, dan hal
ini diakomodasi oleh kelenturan anulus fibrosus. Pada beberapa keadaan, tekanan yang diberikan
terlalu besar bagi nukleus pulposus dan mengalami ruptur, sehingga nukleus pulposus
mengalami herniasi dan masuk ke dalam kanalis vertebralis, yang akhirnya menyebabkan
kompresi pada akar saraf spinal, saraf spinal, dan bahkan juga medula spinalis.2
Dengan bertambahnya usia, nukleus pulposis menjadi lebih kecul dan digantikan oleh
fibrokartilago. Serat-serat pada nukleus pulposus mengalami degenerasi, sehingga anulus
fibrosus tidak dapat selalu menyokong nukleus pulposus saat mengalami tekanan berat. Pada
usia tua, diskus juga lebih tipis dan kurang elastis, dan tidak dapat lagi dibedakan antara nukleus
pulposus dengan anulus fibrosus.2

Meninges
Meninges adalah tiga buah jaringan penyambung pembungkus yang membungkus
medula spinalis dan otak. Meninges spinal menyelubungi medula spinalis dan merupakan
kelanjutan dari meninges kranial yang menyelubungi otak. Lapisan yang paling superfisial dari
meninges adalah dura mater, yang merupakan jaringan penyambung yang padat dan ireguler.
Dura mater membentuk sebuah kantung pada setinggi foramen magnum pada lobus oksipitalis,
yang kemudian berlanjut menjadi duramater pada otak, hingga pada vertebra sakral. Medula
spinalis juga dilindungi oleh lapisan lemak dan jaringan ikat yang berlokasi pada ruangan
epidural, yaitu ruangan antara dura mater dan dinding dari kanalis vertebralis.4
Lapisan meningen yang terletak pada bagian medial adalah araknoid mater, yang
merupakan lapisan avaskular dan berbentuk seperti jaring laba-laba terdiri dari serat kolagen dan
sedikit serat elastin. Di antara dura mater dan araknoid mater terdapat ruangan yang disebut
ruang subdural yang mengandung cairan interstisial.4
Lapisan terdalam meningen adalah pia mater, jaringan penyambung transparan yang tipis
yang menempel pada permukaan dari medula spinalis dan otak. Pia mater disusun oleh sel
squamosa yang mengarah ke sel kubus dan terletak di antara sekelompok serat kolagen dan serat
elastin. Di dalam pia mater terdapat banyak pembuluh darah yang memberi suplai oksigen dan
nutrisi bagi medula spinalis. Di antara araknoid mater dan pia mater terdapat ruangan yang
disebut ruang subaraknoid yang mengandung cairan serebrospinal yang berfungsi sebagai
penahan getaran dan sistem suspensi bagi medula spinalis dan otak.4
Ketiga meninges spinal ini juga membungkus akar saraf spinal pada titik saat saraf spinal
keluar dari kolumna spinalis melalui foramen intervertebralis. Akar saraf spinal merupakan
struktur yang menghubungkan saraf spinal dan medula spinalis. Pia mater mengalami
pemanjangan membran yang berbentuk seperti segitiga menuju medula spinalis pada bagian
tengah dari pembungkus duramaternya. Pemanjangan membran ini disebut sebagai ligamen
dentikulatum (dentikulata = small tooth), yang sebenarnya adalah penebalan pia mater.
Penebalan ini terproyeksi ke arah lateral dan bergabung dengan araknoid mater dan permukaan
dalam dari dura mater di antara akar saraf spinal anterior dan posterior pada sisi lainnya.
Ligamen dentikulatum memanjang sepanjang medula spinalis, dan berfungsi sebagai proteksi
terhadap pergeseran medula spinalis secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan syok.4
Anatomi Eksternal Medula Spinalis
Medula spinalis mengisi dua pertiga atas dari kanalis spinalis orang dewasa di dalam
kolumna vertebralis. Panjang medula spinalis normal sekitar 42 hingga 45 sentimeter pada orang
dewasa dan berlanjut hingga medulla oblongata sebagai batas atasnya. Ujung distal/inferior
medula spinalis adalah conus medularis. Pada orang dewasa, konus berakhir pada setinggi L1
atau L2 pada kolumna vertebralis. Filum terminale memanjang dari ujung konus dan menempel
pada kantung duramater distal. Filum terminale mengandung piamater dan serat glial dan
biasanya juga mengandung vena. Kanalis sentralis dilapisi oleh sel ependim dan terisi oleh cairan
serebrospinal. Kanalis sentralis membuka ke atas menuju bagian inferior dari ventrikel otak
keempat.2
Medula spinalis mengalami pelebaran ke arah lateral pada daerah servikal (cervical
enlargement) dan pada daerah lumbosakral (lumbosacral enlargement). Pembesaran pada regio
lumbosakral pada ujungnya akan mengecil dan membentuk konus medularis. Daerah yang
melebar pada medula spinalis ini mengandung sel lower motor neuron (LMN) lebih banyak dan
sebagai tempat bermulanya saraf untuk ekstremitas atas dan bawah. Saraf pada pleksus brakialis
berasal dari cervical enlargement, dan saraf pada pleksus lumbosakral berasal dari lumbar
enlargement.2
Medula spinalis dapat dibagi-bagi menjadi sekitar 30 segmen, yaitu 8 segmen servikal, 12
segmen torakal, 5 segmen lumbal, dan 5 segmen sakral, dan sedikit segmen kecil koksigeus.
Antara masing-masing segmen di dalam medula spinalis itu sendiri tidak didapatkan batas yang
jelas. Karena medula spinalis lebih pendek dibandingkan kolumna vertebralis, masing-masing
segmen pada bagian bawah terletak di atas dari tulang vertebral dengan angka yang sama.2
Potongan melintang medula spinalis memperlihatkan fisura medialis anterior yang dalam
dan sulkus medialis posterior yang dangkal, yang membagi medula spinalis menjadi dua buah
bagian yang simetris kanan dan kiri. Fisura medialis anterior mengandung lipatan pia mater dan
pembuluh darah, dan lantai terdalamnya disebut sebagai anterior/ventral white commisure.2
Akar Saraf dan Saraf Spinal
Masing-masing segmen pada medula spinalis mengeluarkan empat buah akar saraf:
sebuah akar saraf ventral dan dorsal pada sisi kiri dan juga serupa pada sisi kanan. Segmen
servikal pertama biasanya tidak terdapat segmen dorsal. Masing-masing dari 31 pasang saraf
spnal memiliki akar saraf ventral dan dorsal; di mana masing-masing akar terdiri dari 1 sampai 8
cabang saraf/rootlets. Masing-masing akar saraf mengandung sekumpulan serat saraf. Pada akar
saraf dorsal saraf spinal, dekat dengan persilangan dengan akar saraf ventral terdapat ganglion
saraf spinal dorsal, yaitu bagian yang terlihat seperti membengkak dan di dalamnya mengandung
badan sel saraf yang menyalurkan akson saraf sensorik. Bagian dari saraf spinal yang sudah
berada di luar kolumna vertebralis disebut sebagai saraf perifer.2
Kolumna vertebralis melingkupi dan melindungi medula spinalis dan terdapat 7 buah
tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal dan begitu juga dengan sakrum,
dan koksigis. Pada daerah servikal, akar saraf dengan angka tertentu keluar di atas dari korpus
vertebra dengan angka yang sama. Pada bagian bawah dari medula spinalis, akar saraf dengan
angka tertentu keluar di bawah dari korpus vertebra dengan angka yang sama. Medula spinalis
itu sendiri lebih pendek dibandingkan kolumna vertebralis dan biasanya berakhir pada sekitar L1
dan L2.2
Akar saraf ventral atau anterior berisi jaras motorik yang keluar dari medula spinalis,
yaitu berisi motor neurun alfa yang berdiameter besar menuju serat otot ekstrafusal; motor
neuron gamma yang berdiameter lebih kecil menuju muscle spindle intrafusal; serabut saraf
otonom preganglionik pada setinggi torakal, lumbal bagian atas, dan mid sakral; dan sedikit saraf
aferen, akson berdiameter kecil yang berasal dari sel-sel di dalam ganglia akar saraf dorsal yang
membawa informasi dari toraks dan visera abdomen.2
Akar saraf dorsal secara umum berisi jaras sensorik. Masing-masing akar saraf dorsal
(kecuali C1) mengandung serat saraf aferen yang berasal dari sel ganglianya sendiri. Akar saraf
dorsal ini mengandung serat saraf yang berasal dari kulit dan struktur organ bagian dalam. Serat
saraf paling besar (Ia) berasal dari muscle spindle dan berpartisipasi dalam refleks medula
spinalis; serat saraf berukuran sedang (A-beta) membawa impuls dari mekanoreseptor di kulit
dan sendi. Kebanyakan akson pada akar saraf dorsal adalah serat saraf berukuran kecil (C, tidak
bermielin; A-delta, bermielin) dan membawa informasi stimulus nyeri dan termal.2

Anatomi Internal Medula Spinalis


Medula spinalis disusun pada bagian dalam oleh gray matter dan dibungkus oleh white
matter disekitarnya.2

Gray Matter
Pada potongan melintang, substansia nigra terlihat berbentuk pilar huruf H dengan kornu
anterior dan posterior, yang bergabung menjadi komisura nigra (gray commissure) yang tipis dan
terdapat kanalis sentralis di tengahnya. Kornu lateralis dapat ditermukan pada segmen torakal
dan lumbal bagian atas medula spinalis. Jumlah substansia nigra yang terlihat pada masing-
masing segmen medula spinalis tergantung pada jumlah otot yang diinervasi pada level tersebut.
Oleh karena itu, ukuran substansia nigra paling besar pada pembesaran servikal dan lumbosakral
medula spinalis, yang menginervasi otot-otot pada ekstremitas atas dan bawah.2

Struktur Substansia Nigra


Seperti halnya bagian-bagian pada sistem saraf pusat, substansia nigra pada medula
spinalis mengandung kumpulan sel-sel saraf dengan prosesus-prosesusnya, neuroglia, serta
pembuluh darahnya. Sel-sel saraf ini berbentuk multipolar, dan neuroglia membentuk hubungan
yang kompleks di sekitar badan sel saraf dan cabang-cabangnya.2

Sel-sel Saraf pada Kornu Anterior


Kebanyakan sel saraf pada kornu anterior berukuran besar dan berbentuk multipolar, dan
akson-aksonnya keluar melalui akar saraf ventral saraf spinal sebagai alpha efferents, yang
menginervasi otot skeletal. Sel saraf yang lebih kecil juga berbentuk multipolar, dan akson dari
sel saraf ini keluar pada akar saraf anterior saraf spinal sebagai gamma efferents, yang
menginvervasi serat otot intrafusal dari neuromuscular spindles. Pada potongan melintang
medula spinalis, substansia nigra tersusun seperti berlapis-lapis (laminar) yang disebut sebagai
Rexed’s laminae, dengan 10 lapisan dari neuron-neuron pada medula spinalis kucing.
Pembagian lamina ini sangat penting bagi penelitian namun hanya bernilai sedikit dalam praktek
sehari-hari.2,4
Sel-sel saraf pada kornu anterior dapat dibedakan menjadi tiga komponen dasar: medial,
sentral, dan lateral.2
Komponen sel saraf medial terdapat pada hampir semua segmen medula spinalis dan
berperan dalam menginervasi otot skelet pada leher dan batang tubuh, termasuk interkostal dan
otot-otot abdomen.2
Komponen sel saraf sentral merupakan yang paling kecil dan hanya ditemukan pada
beberapa segmen servikal dan lumbosakral. Pada bagian servikal, beberapa dari sel saraf ini
(segmen C3-5) secara spesifik menginervasi diafragma dan kemudian disebut sebagai nukleus
phrenikus. Pada segmen atas sekitar servikal lima atau enam, beberapa sel saraf menginervasi
otot sternokleidomastoideus dan trapezius dan kemudian disebut sebagai nukleus asesorius.
Akson dari sel-sel ini membentuk bagian spinal dari nervus asesorius. Nukleus lumbosakralis
terdapat pada segmen lumbar ke dua hingga segmen sakral pertama dan distribusi akson sel-sel
saraf ini masih belum diketahui.2
Komponen sel saraf lateral dapat ditemukan pada segmen servikal dan lumbosakral dan
berfungsi menginervasi otot skelet pada ekstremitas.2

Sel-sel Saraf pada Kornu Posterior


Terdapat empat kelompok sel-sel saraf pada substansia grisea kornu posterior: dua yang
memanjang sepanjang medula spinalis, dan dua buah lainnya yang terbatas hanya pada segmen
torakal dan lumbal.2
Substansia gelatinosa terletak pada apeks kornu posterior sepanjang medula spinalis.
Hampir secara keseluruhan kelompok substansia gelatinosa disusun oleh neuron Golgi tipe II dan
menerima serat aferen yang berhubungan dengan nyeri, suhu, dan sentuhan dari akar saraf
dorsal. Kelompok saraf ini menerima input oleh descending fibers pada level supraspinal. Telah
dipercaya bahwa input sensasi terhadap rasa nyeri dan suhu dapat dimodifikasi dengan informasi
eksitatorik atau inhibitorik melalui input sensorik lainnya dan dengan informasi yang diberikan
oleh korteks serebri.2
Nukleus proprius merupakan kelompok sel-sel saraf yang berukuran besar yang terletak
anterior terhadap substansia gelatinosa di sepanjang medula spinalis. Nukleus ini mengambil
porsi terbanyak yang terdapat pada kornu posterior dan mendapat serat saraf dari kolumna
substansia alba posterior yang berhubungan dengan sensasi posisi dan gerakan (propriosepsi),
two-point discrimination, dan getaran.2
Nukleus dorsalis (Clarke’s column) merupakan kelompok sel saraf yang terdapat di
dasar kornu posterior dan memanjang dari segman servikal ke delapan ke kaudal hingga segmen
lumbal ke tiga atau ke empat. Kebanyakan sel berukuran besar dan berhubungan dengan
proprioceptive endings (neuromuscular spindles dan tendon spindles).2
Visceral afferent nucleus merupakan kelompok sel-sel saraf berukuran sedang yang
terdapat lateral dari nukleus dorsalis, memanjang dari segmen torakal pertama hingga segmen
lumbal ketiga. Telah dipercaya bahwa nukleus ini berfungsi sebagai penerima informasi aferen
yang berasal dari viscera.2

Sel-sel Saraf pada Kornu Lateralis


Sekumpulan sel-sel intermediolateral membentuk kornu lateralis yang kecil, yang
membentang dari segmen torakal pertama hingga segmen kedua atau ketiga lumbal pada medula
spinalis. Sel-sel ini relatif kecil dan mengeluarkan serat saraf simpatis preganglionik. Kumpulan
selsel saraf yang serupa juga ditemukan pada segmen kedua, ketiga dan keempat medula spinalis
bagian sakral yang berfungsi memberikan serat saraf parasimpatis preganglionik.2

Gray Commisure dan Kanalis Sentralis


Pada potongan transversal medula spinalis, kornu anterior dan posterior pada masing-
masing sisi dihubungkan oleh gray commisure secara transversal; sehingga substansia grisea ini
membentuk huruf H. Di tengah-tengah dari komisura grisea terdapat kanalis sentralis. Bagian
dari komisura grisea yang terletak posterior terhadap kanalis sentralis disebut sebagai komisura
grisea posterior, dan yang terletak anterior terhadap kanalis sentrais disebut sebagai komisura
grisea anterior.2
Kanalis sentralis terdapat sepanjang medula spinalis. Pada bagian superiornya kanalis
sentralis berlanjut hingga setengah kaudal medula oblongata, dan di atasnya membuka ke dalam
ventrikel keempat.2
Pada bagian inferior di dalam konus medularis, kanalis sentralis meluas ke dalam
ventrikel terminalis dan berakhir di dalam akar filum terminale. Kanalis sentralis terisi oleh
cairan serebrospinal dan dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang disebut sebagai sel ependim.
Maka dapat disimpulkan bahwa kanalis sentralis tertutup pada bagian inferior dan membuka
pada bagian superior pada ventrikel keempat.2

White Matter
Substansia alba medula spinalis dapat dibedakan berdasarkan fungsi deskriptifnya
menjadi funiculi anterior, lateral, dan posterior. Funikuli anterior pada salah satu sisinya terdapat
di antara garis tengah dan masuknya jaras akar saraf anterior. Funikuli lateralis berada di antara
masuknya jaras-jaras akar saraf anterior dan masuknya akar saraf posterior. Funikuli posterior
berada di antara masuknya akar saraf posterior dan garis tengah.2
Seperti pada daerah lain pada sistem saraf pusat, substansia alba medula spinalis
mengandung campuran antara serat saraf, neuroglia, dan pembuluh darah. Substansia alba ini
melingkupi substansia grisea, dan warna putih yang ada pada substansia alba disebabkan karena
kadar serat saraf bermielin yang tinggi.2
Susunan traktus-traktus saraf di dalam medula spinalis telah dipelajari melalui
eksperimen pada hewan dan studi pada medula spinalis manusia terhadap serat saraf degeneratif
yang disebabkan karena perlukaan ataupu proses penyakit. Meskipun beberapa traktus
terkonsentrasikan pada beberapa area tertentu dalam substansia alba, namun saat ini secara
umum sudah diterima bahwa dimungkinkan terjadi adanya overlap. Sebagai fungsi deskriptifnya,
traktus spinalis dibagi menjadi jaras naik (ascending), jaras turun (descending), dan traktus
intersegmental.2
Traktus-traktus Medula Spinalis
Ascending Tracts
Gambaran Umum
Saat memasuki medula spinalis, serabut saraf sensorik dengan berbagai ukuran dan
fungsi yang berbeda terkumpul menjadi nerve bundles atau traktus pada substansia alba.
Beberapa dari serat saraf berfungsi sebagai penghubung antar segmen yang berbeda pada medula
spinalis, dan lainnya naik dari medula spinalis menuju pusat tertinggi yang artinya
menghubungkan medula spinalis dengan otak. Kumpulan serat saraf yang menaiki medula
spinalis ini disebut sebagai ascending tracts.2
Traktus asendens mengkonduksikan informasi aferen, yang dapat atau tidak dapat
disadari. Informasi yang diberikan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: (1) informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh seperti nyeri, suhu, dan sentuhan, dan (2) informasi
proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, seperti otot dan sendi.2

Organisasi Anatomik
Informasi umum yang berasal dari ujung saraf perifer dikonduksikan oleh sistem sarag
melalui berbagai seri neuron-neuron. Jaras asendens hingga dapat disadari oleh otak terdiri dari
tiga orde neuron. Neuron orde pertama, memiliki badan selnya pada ganglion dorsalis saraf
spinal. Di bagian perifer berhubungan dengan reseptor ujung saraf, dan di bagian sentral
memasuki medula spinalis melalui kornu dorsalis dan bersinaps pada neuron orde kedua.
Neuron orde kedua mengeluarkan akson yang akan menyilang ke sisi kontralateral (dekusasio)
dan naik ke atas menuju level yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat, yang akhirnya bersinaps
pada neuron orde ketiga. Neuron orde ketiga biasanya berada di dalam talamus dan kemudian
memberikan proyeksinya menuju daerah sensorik pada korteks serebri. Ketiga rantai orde neuron
ini merupakan susunan yang paling umum, namun beberapa jaras aferen menggunakan lebih
banyak atau lebih sedikit neuron. Banyak neuron pada jaras asendens bercabang dan
memberikan input utama menuju formasio retikularis, yang berfungsi mengaktifkan korteks
serebral, menjaga kesadaran. Cabang lainnya berhubungan dengan neuron motorik dan
berpartisipasi dalam aktifitas refleks otot.2
Fungsi Traktus Asendens
Sensasi nyeri dan suhu disalurkan melalui traktus spinotalamikus lateral; sensasi sentuhan
(kasar/mentah) dan tekanan disalurkan melalui traktus spinotalamikus anterior. Sensasi sentuhan
diskriminatif—kemampuan melokalisasi secara akurat area dalam tubuh yang disentuh dan dapat
menyadari dua titik disentuh secara bersamaan meskipun jaraknya berdekatan (two-point
discrimination)—disalurkan melalui kolumna dorsalis/posterior white columns. Informasi dari
otot dan sendi mengenai gerakan dan posisi bagian tubuh yang berbeda-beda juga disalurkan
melalui kolumna dorsalis. Informasi mengenai getaran juga disalurkan melalui kolumna dorsalis.
Informasi secara tidak sadar datang dari otot, sendi, kulit, dan jaringan subkutan menuju
serebelum melalui traktus spinoserebelaris anterior dan posterior, dan melalui traktus
kuneoserebelaris. Rangsang nyeri, suhu, dan taktil akan melalui kolikulus superior mesensefalon
melalui traktus spinotektal untuk fungsi refleks spinovisual. Traktus spinoretikular menyediakan
jalan dari otot, sendi, dan kulit menuju formasio retikularis, dan traktus spino-olivarius
menyediakan jalan indirek untuk informasi aferen lebih lanjut untuk dapat mencapai serebelum.2

Descendens Tracts
Gambaran Umum
Neuron motorik yang berlokasi pada kornu anterior medula spinalis mengirimkan akson
untuk menginervasi otot skeletal melalui radiks anterior. Motor neuron ini disebut sebagai lower
motor neuron dan merupakan final common pathway ke otot.2
LMN secara konstan diberikan impuls saraf yang turun dari medula oblongata, pons,
mesensefalon, dan korteks serebri. Serat saraf yang menuruni substansia alba medula spinalis
yang berasal dari pusat saraf supraspinal yang berbeda-beda disebut sebagai traktus desendens.
Neuron-neuron supraspinal dan traktus-traktusnya disebut sebagai upper motor neuron, dan
traktus-traktus ini memberikan jalur-jalur yang banyak dalam mengkontrol aktivitas motorik.2

Organisasi Anatomis
Kontrol aktivitas otot skelet dari korteks serebral dan pusat-pusat tertinggi lainnya
dikonduksi melalui sistem saraf dengan berbagai seri neuron. Jaras desendens dari korteks
serebral biasanya melalui tiga orde neuron. Neuron orde pertama, memiliki badan selnya pada
korteks. Aksonnya menuruni medula spinalis untuk bersinaps pada neuron orde kedua, yang
merupakan neuron internunsial, yang berlokasi pada kolumna grisea anterior medula spinalis.
Neuron orde kedua ini pendek dan langsung bersinaps dengan neuron orde ketiga yang
merupakan lower motor neuron, yang terletak pada kolumna grisea anterior. Akson neuron orde
ketiga ini menginervasi otot skeletal melalui radiks anterior dan saraf spinal. Pada beberapa
keadaan, akson neuron orde pertama mengalami terminasi langsung pada neuron orde ketiga
(pada lengkung refleks).2

Fungsi Traktus Desendens


Traktus kortikospinal merupakan jaras yang penting untuk pergerakan volunter, diskret,
dan terlatih, terutama pada bagian distal ekstremitas. Traktus retikulospinal memfasilitasi atau
menginhibisi aktivitas motor neuron alfa dan gamma pada kolumna grisea anterior, dan dapat
memfasilitasi atau menginhibisi gerakan volunter atau aktivitas refleks. Traktus tektospinal
berfungsi sebagai refleks gerakan postural dalam respons terhadap stimulus visual. Serat saraf ini
berhubungan dengan neuron simpatis pada kolumna grisea lateral yang berfungsi sebagai refleks
dilator pupil sebagai respons terhadap gelap. Traktus rubrospinal berperan pada baik motor
neuron alfa ataupun gamma pada kolumna grisea anterior sebagai fasilitator aktivitas fleksi otot
dan inhibisi aktivitas ekstensor otot. Traktus vestibulospinal berhubungan dengan motor neuron
kolumna grisea anterior memfasilitasi otot ekstensor dan menginhibisi aktivitas otot fleksor, dan
berfungsi sebagai keseimbangan. Traktus olivospinal dapat berperan dalam aktivitas otot, namun
tidak terlalu terlihat kegunaannya. Serat saraf otonom desendens berfungsi sebagai kontrol
aktivitas viseral.2

Spinal Cord Compression


Gambaran Umum
Karena kanalis spinalis merupakan sebuah kavitas yang tertutup dengan bangunan yang
kuat dat rapat, berkembangnya sebuah penyakit yang menyebabkan penyempitan pada ruang
kanalis spinalis dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis ataupun akar saraf spinal.5
Penyebab Kompresi Medula Spinalis
Beberapa gangguan yang diketahui dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis:
(1) tumor medula spinalis, primer maupun sekunder, ekstradural, intradural/ekstramedular, dan
intramedular; (2) infeksi, baik infeksi akut (contoh, infeksi streptokokus), dan infeksi kronis
(tuberkulosis), yang terjadi ekstradural ataupun intradural; (3) disc disease dan spondilosis; (4)
hematoma, yang disebabkan oleh AVM (arterio-venous malformation), perdarahan spontan,
ataupun trauma, yang berlokasi ekstradural, intradural, atau intramedular; dan (5) lesi kistik,
yang terjadi ekstradural, intradural - araknoidal, atau intramedular (syringomyelia).5

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kompresi pada medula spinalis atau akar saraf spinal tergantung pada:
(1) lokasi lesi di dalam kanalis spinal; (2) tinggi lesi pada medula spinalis; (3) keterlibatan
pembuluh darah; dan (4) kecepatan onset.5
Lokasi lesi di dalam kanalis spinalis. Lesi yang membesar di luar dari medula spinalis
akan memberikan kompresi dan kerusakan pada akar saraf dan kerusakan segmental. Kerusakan
pada akar saraf menyebabkan lesi LMN dan gangguan sensorik pada distribusi saraf yang
terkena. Kerusakan segmental menyebabkan lesi LMN dan gangguan sensorik pada setinggi
segmen yang terkena, namun akan mengganggu traktus sensorik asendens dan traktus motorik
desendens sehingga menyebabkan gangguan sensorik dan motorik yang bersifat UMN di bawah
dari lesi yang terkena. Sedangkan lesi intramedular atau di dalam medula spinalis hanya
menimbulkan tanda dan gejala gangguan segmental.5
Tinggi lesi pada medula spinalis. Lesi di atas korpus vertebra L1 dapat melukai baik
medula spinalis dan akar-akar sarafnya. Namun lesi di bawah L1 hanya akan merusak akar-akar
saraf.5
Keterlibatan vaskular. Kerusakan pada neuron spinal masih tidak begitu jelas apakah
disebabkan hanya karena mechanical stretching atau sekunder terhadap iskemia arterial atau
obstruksi vena. Kadang-kadang, gejala klinis memperlihatkan kerusakan medula spinalis yang
sebenarnya berada di luar dari lokasi lesi kompresi. Hal ini merupakan efek iskemia yang
disebabkan kompresi pembuluh darah yang terdapat pada daerah lesi.5
Kecepatan onset. Kecepatan kompresi medula spinalis akan mempengaruhi gejala klinis.
Di samping menyebabkan kerusakan pada UMN, lesi medula spinalis yang berkembang
progresif dengan cepat sering kali menyebabkan ‘flaccid paralysis’ dengan hilangnya refleks-
refleks yang terkait. Keadaan ini disebut sebagai spinal shock, yang biasanya terjadi setelah
trauma. Beberapa hari atau beberapa minggu kemudian gejala lesi UMN muncul sesuai yang
seharusnya diharapkan.5
Gejala klinis yang dapat muncul tergantung lokasi lesi dan level dari lesi kompresi yang
terjadi pada medula spinalis. Gejala nyeri yang dapat terjadi: jika mengenai akar saraf maka
dapat menimbulkan gejala berupa nyeri hebat, tajam, seperti tertusuk-tusuk, dan panas yang
menjalar sesuai distribusi kulit atau otot-otot yang diinervasi oleh saraf tersebut, dan biasanya
diperberat oleh gerakan, tegangan, atau batuk; jika lesi yang terjadi bersifat segmental maka
nyeri akan terus menerus, nyeri terasa dalam dan menjalar hingga ekstremitas bawah atau
sebagian tubuh, dan tidak diperberat oleh gerakan; jika lesi mengenai tulang maka nyeri terasa
terus menerus dan tumpul, nyeri hanya terjadi di sekitar lokasi yang terkena, dan dapat/tidak
dapat diperberat oleh aktivitas/pergerakan.5
Lesi yang diperkirakan pada medula spinalis ataupun akar cabang saraf spinal perlu
dilakukan inspeksi pada kolumna vertebra untuk melihat tanda-tanda yang dapat mendukung
diagnosis: (1) jika didapatkan punggung skoliosis, ketidakmampuan dalam melakukan lordosis
atau mengalami keterbatasan dalam meluruskan kaki maka dapat diperkirakan adanya iritasi
pada akar saraf; (2) pembengkakan paravertebra dan nyeri pada perkusi tulang vertebra dapat
diperkirakan adanya proses keganasan atau infeksi; (3) keterbatasan mobilitas tulang spinal
mengindikasikan adanya gangguan pada tulang, diskus, ataupun akar saraf.5

Sindrom Klinis Medula Spinalis


Spinal Shock Syndrome
Spinal shock syndrome/sindrom syok spinal merupakan kondisi yang terjadi setelah
kerusakan akut dan hebat terhadap medula spinalis. Semua fungsi medula spinalis di bawah lesi
mengalami depresi atau hilang, dan gangguan sensorik serta paralisis flaksid terjadi. Refleks
spinal segmental mengalami depresi karena penghilangan kontrol dari sistem pusat yang lebih
tinggi yang dimediasi oleh traktus kortikospinal, retikulospinal, tektospinal, rubrospinal, dan
vestibulospinal. Syok spinal, terutama jika lesi terjadi pada level medula spinalis yang cukup
tinggi dapat menyebabkan hipotensi berat karena hilangnya tonus vasomotor simpatis.2
Pada kebanyakan pasien, syok hanya terjadi kurang dari 24 jam, namun beberapa lainnya
menetap cukup lama sekitar 1 hingga 4 minggu. Setelah syok spinal menghilang, neuron-neuron
spinal kembali memiliki fungsi eksitabilitasnya dan efek gangguan UMN pada segmen di bawah
lesi kembali terlihat, seperti spastisitas dan refleks yang meningkat.2
Adanya syok spinal dapat ditentukan dengan memeriksa aktivitas refleks sfingter anal.
Refleks sfingter anal dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari yang sudah dilapisi sarung
tangan di dalam kanalis analis dan melakukan stimulasi untuk membuat kontraksi sfingter anal
dengan menarik glans penis atau klitoris atau dengan lembut memasukkan kateter Foley. Tidak
adanya refleks anak mengindikasikan adanya syok spinal. Namun lesi pada segmen sakral dapat
menggagalkan tes ini karena neuron yang mempercabangi nervus hemoroidal inferior ke sfingter
anal (S2-4) akan tidak berfungsi.2

Destructive Spinal Cord Syndrome


Ketika teridentifikasi gangguan neurologis yang terjadi setelah hilangnya syok spinal,
gangguan yang terjadi kemudian dapat dikategorikan ke dalam salah satu sindrom medula
spinalis berikut: (1) complete cord transection syndrome; (2) anterior cord syndrome; (3) central
cord syndrome; atau (4) Brown-Séquard syndrome atau hemisection of the cord. Gejala klinis
yang muncul sering berupa kombinasi antara gangguan LMN pada setinggi lesi dan gangguan
UMN pada segmen di bawah dari lesi.2

Complete Cord Transection Syndrome


Sindrom transeksi medula spinalis total menyebabkan hilangnya sensibilitas secara total
dan hilangnya gerakan volunter di bawah dari lesi. Hal ini dapat disebabkan karena fraktur
dislokasi kolumna vertebra, karena peluru atau luka tusuk, atau karena perkembangan tumor
yang semakin membesar. Gejala klinis yang dapat terlihat setelah periode syok spinal selesai
adalah: (SNELL)
• Paralisis LMN bilateral dan atrofi otot pada segmen yang mengalami lesi. Hal ini disebabkan
karena kerusakan pada pada neuron pada kornu anterior dan juga mungkin karena kerusakan
pada akar saraf spinal pada segmen yang sama.
• Paralisis spastik bilateral pada segmen di bawah lesi. Tanda Babinski terlihat bilateral, dan
dapat juga terjadi hilangnya refleks abdomen superfisial dan kremaster tergantung level
segmen medula spinalis yang mengalami kerusakan. Tanda-tanda ini muncul karena interupsi
dari traktus kortikospinal pada kedua sisi dari medula spinalis. Paralisis spastik bilateral
terjadi karena putusnya jaras desendens lain selain traktus kortikospinal.
• Hilangnya semua modalitas sensorik pada segmen di bawah lesi. Hilangnya kemampuan
diskriminasi taktil dan getaran dan sensasi proprioseptif disebabkan karena destruksi bilateral
kolumna dorsalis. Hilangnya sensasi nyeri, suhu dan sentuhan ringan disebabkan karena
terpotongnya traktus spinotalamikus lateral dan anterior pada kedua sisi. Karena traktus ini
menyilang secara oblik, maka hilangnya sensasi suhu dan sentuhan terjadi pada dua atau tiga
segmen distal di bawah lesi.
• Fungsi kandung kemih dan sistem intestinal tidak lagi dalam kontrol volunter karena semua
serat saraf otonom desendens mengalami kerusakan.

Jika terjadi fraktur diskokasi komplit pada setinggi L2-3 (level di bawah dari ujung
terbawah medula spinalis pada orang dewasa), maka tidak terjadi cedera pada medula spinalis
dan kerusakan neuron terjadi pada cauda equina, dan gangguan terjadi pada serabut saraf LMN,
otonom, dan sensorik.2

Anterior Cord Syndrome


Sindrom medula spinalis anterior dapat terjadi karena kontusio saat fraktur atau dislokasi
tulang vertebra, kerusakan arteri spinalis anterior atau cabang-cabangnya yang menyebabkan
iskemia pada medula spinalis, atau karena herniasi diskus intervertebralis. Gejala klinis yang
dapat muncul setelah selesainya periode syok spinal adalah sebagai berikut:2
• Paralisis LMN bilateral pada segmen yang mengalami lesi dan atrofi otot. Hal ini disebabkan
karena kerusakan mengenai kornu anterior dan juga kemungkinan merusak akar saraf spinal
anterior pada segmen yang sama.
• Paralisis spastik bilateral pada segmen di bawah lesi, dan tingkat luasnya gangguan tergantung
pada seberapa besar medula spinalis yang mengalami kerusakan. Paralisis bilateral terjadi
karena interupsi traktus kortikospinal anterior pada kedua sisi medula spinalis. Spastisitas otot
bilateral terjadi karena interupsi traktus lain selain traktus kortikospinal.
• Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan sentuhan bilateral pada segmen di bawah lesi. Hal ini
disebabkan karena interupsi pada traktus spinotalamikus anterior dan lateral pada kedua sisi.
• Kemampuan diskriminasi taktil dan getaran serta sensasi proprioseptif masih terjaga karena
kolumna dorsalis tidak mengalami kerusakan.

Central Cord Syndrome


Sindrom medula spinalis sentral paling sering terjadi karena hiperekstensi pada daerah
servikal. Medula spinalis mengalami tekanan dari anterior oleh korpus vertebra dan dari
posterior karena penonjolan ligamentum flavum, sehingga menyebabkan kerusakan pada daerah
sentral medula spinalis. Pemeriksaan radiologi pada kondisi ini dapat memberikan hasil yang
normal karena tidak terlihat adanya fraktur atau dislokasi. Gejala klinis yang terlihat setelah
berakhirnya periode syok spinal adalah sebagai berikut:2
• Paralisis LMN bilateral pada segmen yang mengalami lesi dan atrofi otot. Hal ini disebabkan
karena kerusakan neuron pada kornu anterior dan kemungkinan kerusakan pada akar saraf
segmen yang sama.
• Paralisis spastik bilateral pada segmen di bawah lesi dengan karakteristik ‘sacral sparing’.
Ekstremitas bagian bawah hanya mengalami kelumpuhan yang lebih ringan dibandingkan
pada ekstremitas atas karena traktus desendens kortikospinal lateralis terbungkus lamina,
dengan serat saraf ekstremitas atas terdapat pada bagian medial dan ekstremitas bawah
terdapat pada bagian lateral.
• Hilangnya sensasi nyeri, suhu, sentuhan dan tekanan pada segmen di bawah lesi dengan
karakteristik ‘sacral sparing’. Karena jaras asendens pada traktus spinotalamikus lateral dan
anterior juga terbungkus menjadi satu, dengan serat saraf untuk ekstremitas atas berada di
bagian medial dan serat saraf ekstremitas bawah berada pada bagian lateral, sehingga serat
saraf ekstremitas atas lebih rentan mengalami kerusakan dibandingkan dengan serat saraf
ekstremitas bawah.

Hal ini menyimpulkan bahwa pasien dengan riwayat hiperekstensi pada leher dengan
gejala gangguan motorik dan sensorik yang terutama pada ekstremitas atas, menguatkan dugaan
sindrom medula spinalis sentral. ‘Sparing’ yang terjadi pada ekstremitas bawah dapat dibuktikan
dengan cara: (1) adanya sensasi perianal yang baik; (2) tonus sfingter anal yang baik; dan (3)
mampu menggerakkan dan memindahkan jari-jari kaki dengan lembut/ringan. Pada pasien yang
kerusakannya disebabkan karena edema pada medula spinalis saja, prognosis seringkali sangat
baik. Dapat pula terjadi sindrom medula spinalis sentral ringan yang berupa paraestesi pada
ekstremitas atas dan kelemahan ringan pada ekstremitas atas.2
Lesi medula spinalis sentral pada awalnya merusak neuron orde kedua traktus
spinotalamikus lateralis yang menyilang garis tengah, sehingga gangguan sensorik nyeri dan
suhu terjadi sesuai segmen yang terkena. Jika lesi melebar dan mengenai kornu anterior maka
akan menyebabkan gejala defisit motorik LMN. Lesi yang semakin melebar kemudian akan
mengenai traktus spinotalamikus dan kortikospinal bagian medial. Pada lesi di daerah servikal,
defisit sensorik nyeri dan suhu memanjang ke bawah berbentuk ‘cape-like distribution’. Karena
serat saraf spinotalamikus untuk sakral berada pada bagian paling lateral, maka dapat terjadi
‘sacral sparing’, meskipun dengan lesi yang cukup luas.5
Lesi medula spinalis sentral yang kecil hanya mengenai traktus spinotalamikus yang
menyilang garis tengah dari kedua sisi tanpa mengenai traktus asendens atau desendens lainnya.
Oleh karena itu lesi kecil menyebabkan gangguan sensorik berupa hilagnya sensibilitas nyeri dan
suhu sesuai dengan dematom yang terkena tanpa gangguan pada getar dan posisi. Hal ini dapat
terjadi pada siringomelia.3
Brown-Séquard Syndrome
Hemiseksi medula spinalis dapat disebabkan karena fraktur dislokasi kolumna vertebra,
karena luka tembak atau luka tusuk, atau karena tumor yang membesar. Hemiseksi inkomplit
sering sekali terjadi, namun hemiseksi komplit jarang terjadi. Berikut adalah gejala yang muncul
pada pasien dengan hemiseksi komplit setelah periode syok spinal berakhir:2
• Paralisis LMN ipsilateral pada segmen yang mengalami lesi dan atrofi otot. Hal ini
disebabkan karena kerusakan pada neuron kornu anterior dan kemungkinan kerusakan pada
akar saraf pada segmen yang sama.
• Paralisis spastik ipsilateral pada segmen di bawah lesi. Tanda Babinski positif pada sisi
ipsilateral, dan hilangnya refleks abdomen superfisial dan kremaster tergantung pada segmen
medula spinalis yang terkena. Semua tanda ini disebabkan karena hilangnya traktus
kortikospinal pada sisi yang mengalami lesi. Paralisis spastik terjadi karena hilangnya traktus
desendens selain traktus kortikospinal.
• Ipsilateral band of cutaneus anesthesia pada segmen yang mengalami lesi. Hal ini disebabkan
karena kerusakan akar saraf dorsal dan pintu masuknya ke dalam medula spinalis pada
setinggi lesi.
• Hilangnya sensasi diskriminasi taktil dan getaran dan sensasi proprioseptif ipsilateral pada
segmen di bawah lesi. Hal ini disebabkan karena destruksi traktus asendens kolumna dorsalis
pada sisi yang sama.
• Hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral pada segmen di bawah lesi. Hal ini disebabkan
karena destruksi traktus spinotalamikus lateralis yang telah menyilang pada sisi yang
mengalami lesi. Karena traktus ini menyilang secara oblik, hilangnya sensorik terjadi sekitar
dua atau tiga segmen di bawah dari segmen yang mengalami lesi.
• Hilangnya sensasi taktil tidak total pada sisi kontralateral pada segmen di bawah lesi. Hal ini
disebabkan karena destruksi pada traktus spinotalamikus anterior yang telah menyilang pada
sisi yang mengalami lesi. Karena traktus ini menyilang secara oblik maka gangguan sensorik
didapatkan pada dua atau tiga segmen di bawah lesi. Hilangnya sensasi taktil bersifat
inkomplit karena fungsi sentuhan diskriminatif yang disuplai oleh kolumna dorsalis
kontralateral masih tetap intak.
Sindrom Kolumna Dorsalis
Sindrom kolumna dorsalis adalah lesi pada kolumna dorsalis, dan bagian lain medula
spinalis tetap intak. Oleh karena itu, sensasi proprioseptif dan getar terganggu, namun fungsi
lainnya tetap normal. Penyakit yang hanya mengenai kolumna dorsalis adalah tabes dorsalis,
suatu bentuk sifilis tersier, yang saat ini sudah jarang karena ketersediaannya antibiotik.3

Conus Medullaris and Cauda Equina Syndrome


Medula spinalis berakhir pada setinggi L1-2 sebagai struktur yang lebih kecil yang
disebut sebagai conus medularis, yang mengandung segmen medula spinalis bagian sakral. Batas
atas konus medularis masih tidak dapat dijelaskan dengan pasti. Cedera pada bagian conus
medularis biasnaya menyebabkan kelainan kombinasi UMN dan LMN pada dermatom dan
miotom segmen yang terlibat. Sedangkan lesi pada kauda ekuina menyebabkan gejala LMN
karena hanya menekan radiks saraf yang adalah bagian dari sistem saraf perifer.6
Lesi pada akar saraf atau lesi segmental dapat terjadi pada bagian atas dari kauda equina
dan akan menyebabkan gejala klinis root/segmental dan long tract seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Contoh, lesi yang membesar pada setinggi L4 proksimal pada akar saraf
menyebabkan kelemahan otot dan wasting pada otot dorsifleksor, defisit sensorik pada sekitar
betis bagian dalam, dan peningkatan refleks APR dan extensor plantar response.5
Sindrom kauda equina merupakan gangguan neuromuskular dan urogenital yang
disebabkan karena kompresi simultan pada radiks saraf lumbosakral multipel di bawah segmen
konus medularis. Gejala yang dapat muncul adalah nyeri punggung bawah, nyeri skiatika (dapat
unilateral, atau biasanya bilateral), gangguan sensorik saddle anethesia, disfungsi kandung
kemih dan usus, dan hilangnya fungsi sensorik dan motorik ekstremitas yang bervariasi.6
Akar saraf sakral bagian bawah biasanya mengalami gangguan lebih dahulu, yang
menyebabkan gangguan pada kontrol motorik dan sensorik kandung kemih dengan paralisis otot
detrusor, terjadilah overflow incontinence. Dapat pula terjadi impotensi dan inkontinensia alvi.
Kelemahan otot LMN dapat ditemukan pada otot-otot yang dipersarafi oleh serat saraf pada
daerah sakral yaitu otot-otot plantarfleksor dan evertor. Refleks APR mengalami penurunan atau
bahkan tidak ada, dan defisit sensorik terjadi pada ‘saddle area’.5
Lateral Compressive Lesion
Pada kompresi medula spinalis pada daerah lateral, terdapat beberapa tahap yang dapat
terjadi tergantung dari besarnya massa yang mengkompresi medula spinalis tersebut.5
Kerusakan akar/segmental. Massa yang belum terlalu besar pada awalnya hanya akan
mengkompresi akar saraf spinal atau secara segmental saja. Kelemahan otot yang terjadi
disebabkan karena penekanan pada akar saraf dan segmen yang terkena dengan memberikan
gejala LMN seperti wasting, hilangnya tonus otot, fasikulasi, dan hilangnya refleks fisiologis.
Defisit motorik jarang terdeteksi pada lesi di atas C5 dan lesi dari T2 hingga L1. Derek semua
modalitas sensorik atau hiperestesia dapat terjadi pada area yang dipersarafi oleh akar saraf yang
terkena, namun adanya overlap karena terkompresinya akar saraf lain di sekitar massa dapat
menyulitkan dalam mendeteksi kelainan.5
Lesi medula spinalis parsial/unilateral (Brown-Séquard Syndrome). Semakin
berkembangnya massa maka kompresi akan menyebabkan lesi pada setengah bagian medula
spinalis/parsial. Pada kondisi ini didapatkan defisit motorik yang terlihat pasien seperti menyeret
kakinya. Pada lesi servikal yang cukup tinggi didapatkan kelemahan pergerakan jari-jari tangan
pada sisi ipsilateral lesi. Gejala kerusakan UMN terlihat dan maksimal pada sisi ipsilateral lesi
seperti; kelemahan pada distribusi traktus piramidal, yaitu pada ekstremitas atas mengenai otot
ekstensor lebih dominan dan ada ekstremitas bawah mengenai otot fleksor lebih dominan;
meningkatnya tonus otot, adanya klonus; meningkatnya refleks; dan adanya extensor plantar
response. Defisit sensorik yang terjadi dapat berupa mati rasa pada sisi ipsilateral terhadap lesi
dan dapat berupa burning dysaesthesia pada sisi kontralateral. Gangguan posisi sendi dan
diskriminasi dua titik pada sisi ipsilateral dan gangguan sensasi pinprick dan suhu pada sisi
kontralateral.5
Dalam praktik sehari-hari, kerusakan medula spinalis jarang yang terbatas hanya pada
satu sisi, melainkan biasanya berupa gejala klinis yang saling tumpang tindih dengan distribusi
tanda dan gejala yang asimetris. Kerusakan pada jaras simpatis pada akar saraf T1 atau medula
spinalis bagian servikal dapat menyebabkan ipsilateral Horner’s syndrome.5
Long tract damage — complete cord lesion. Jika massa semakin membesar dan tidak
ditangani maka akan terjadi lesi medula spinalis komplit. Defisit motorik yang terjadi tergantung
pada tingkat kecepatan kompresi pada medula spinalis. Pada lesi yang berkembang lambat akan
menyebabkan gejala berupa kesulitan berjalan, dan pada pemeriksaan didapatkan tanda-tanda
lesi UMN dengan distribusi yang asimetris. Namun pada lesi kompresi yang cepat akan
menyebabkan syok spinal. Defisit sensorik yang terjadi mencakup semua modalitas sensorik
hingga setinggi lesi. Pasien dapat pada awal mengeluhkan gejala kesulitan dalam memulai
berkemih, retensio urin terjadi pada tahap kasus yang lebih berat.5

Tumor Medula Spinalis


—NEOPLASTIC SPINAL CORD COMPRESSION—

Gambaran Umum
Tumor-tumor pada medula spinalis secara umum mengenai individu usia muda dan
middle-aged adults. Insiden tumor medula spinalis adalah sekitar seperempat dari total tumor
otak. Tumor ekstramedular yang paling sering adalah tumor-tumor metastasis, meningioma,
neurofibroma, dan schwannoma. Tumor intramedular yang paling sering adalah ependimoma,
astrositoma, hemangioblastoma, dan tumor metastasis. Tumor metastasis yang paling sering
terjadi, yang secara umum ditemukan pada korpus vertebra dan ruang epidural, adalah berasal
dari tumor-tumor paru, payudara, prostat, dan gastrointestinal.7
Insidensi tumor berbeda-beda pada usia dewasa dengan anak-anak. Tabel berikut ini
memperlihatkan jumlah pasien dengan tumor yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan
histopatologi pada Institutes of Neurological Sciences, Glasgow, selama periode 5 tahun.5

Gejala Klinis
Diagnosis dari lesi yang terjadi pada medula spinalis berdasarkan penemuan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pencitraan. Tumor ekstramedular menyebabkan
gejala melalui kompresi langsung pada sistem saraf, sedangkan tumor intramedular
mempengaruhi jaringan saraf itu sendiri.7
Tumor-tumor ekstramedular biasanya menyebabkan gejala yang berhubungan dengan
segmen medula spinalis dan saraf spinal yang terkait/terkena. Gejala awal dapat berupa nyeri
radikuler dan parastesia dan baal yang progresif serta kelemahan otot sesuai dengan otot yang
diinervasi oleh saraf spinal yang terkait. Dengan kompresi yang terus berlanjut, maka traktus
asendens dan desendens mengalami gangguan sehingga menyebabkan paresis spastik dan baal
pada segmen di bawah lesi, hiperrelfeks, dan disfungsi otonom (bowel & bladder).7
Tumor-tumor intramedular memiliki gejala klinis yang lebih bervariasi karena tumor-
tumor ini dapat melibatkan hanya beberapa segmen spinal atau meluas sepanjang medula
spinalis. Gejala tergantung pada area spesifik medula spinalis yang terkena. Jika lesi terbatas
hanya pada satu atau dua segmen, maka tanda dan gejala dapat menyerupai tumor ekstramedular.
7

TABEL 1. Insiden Tumor Medula Spinalis Institutes of Neurological Sciences5

Orang Dewasa Anak-anak

EKSTRADURAL (78%) EKSTRADURAL (18%)

Metastasis 118 Metastasis 1


Myeloma 19 Limfoma 1
Neurofibroma 15
Lymphoma 14
Lain-lain 7
INTRADURAL (18%) INTRADURAL (64%)

Meningioma 22 Dermoid/epidermoid 6
Schwannoma 13 Lain-lain 1
Lain-lain 4
INTRAMEDULAR (4%) INTRAMEDULAR (18%)

Astrositoma 8 Astrositoma 2
Lain-lain 1

Penatalaksanaan
Penanganan kompresi medula spinalis adalah pemberian glukokortikoid untuk
mengurangi edema pada medula spinalis, radioterapi lokal (dilakukan secepat mungkin) dan
terapi spesifik terhadap jenis tumor. Glukokortikoid (deksametason, dosis hingga 40 mg per hari)
dapat diberikan sebelum dilakukannya pemeriksaan pencitraan jika dugaan kuat dapat terlihat
secara klinis dan dilanjutkan pada dosis rendah hingga radioterapi selesai.8
Terapi yang diberikan biasanya dilakukan bertujuan untuk mencegah kelumpuhan yang
baru, dan pemulihan fungsi motorik terjadi pada satu pertiga pasien yang diterapi. Defisit
motorik (paraplegia atau quadriplegia) yang sudah terjadi lebih dari 12 jam bioassay tidak
membaik, dan prognosis pemulihan kemampuan motorik dalam 48 jam buruk.8
Tindakan terapi pembedahan, baik dekompresi dengan laminektomi atau reseksi korpus
vertebra, biasanya diindikasikan ketika gejala kompresi medula spinalis semakin memburuk
meskipun sudah diberikan radioterapi, ketika dosis maksimum radioterapi yang dapat ditoleransi
sudah diberikan sebelumnya pada lokasi tumor, atau ketika kompresi medula spinalis diperberat
dengan adanya kompresi fraktur tulang vertebra.8
Berkebalikan dengan tumor ekstradural, kebanyakan tumor intradural berkembang
lambat dan jinak. Meningioma dan neurofibroma merupakan jenis tumor yang terbanyak pada
intradural. Meningioma biasanya berlokasi pada posterior dari medula spinalis segmen posterior
atau dekat dengan foramen magnum, meskipun sebenarnya tumor ini dapat tumbuh di meniges
bagian manapun sepanjang kanalis spinalis. Neurofibroma merupakan tumor jinak selubung
saraf yang biasanya muncul dekat dengan akar saraf dorsal; ketika tumor ini multipel, etiologi
yang paling mungkin adalah neurofibromatosis. Gejala biasanya mulai dengan nyeri radikular
yang kemudian diikuti oleh sindrom medula spinalis asimetris progresif. Terapi adalah dengan
reseksi bedah.8
Tumor primer intramedular jarang terjadi. Gejala yang muncul biasanya berupa sindrom
medula spinalis sentral atau sindrom hemicord, dan paling sering terjadi pada daerah servikal.
Tumor penyebab dapat berupa ependimoma, hemangioblastoma, atau astrositoma. Reseksi total
tumor ependim intramedular sering masih dapat dilakukan dengan terapi mircosurgery.8

Spinal Infection
Spinal Epidural Abscess
Abses epidural medula spinalis cenderung terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang menurun seperti diabetes, keganasan, gagal hati atau gagal ginjal, dan penyalahguna obat-
obatan secara intravena dan alkoholisme.5
Abses dapat terjadi melalui penyebaran secara langsung (osteomielitis vertebral, prosedur
pembedahan lokal atau anestesi) atau secara hematogen dari infeksi di tempat yang berlainan
(endokarditis bakterior, infeksi genitourinaria). Pada beberapa kasus tidak ditemukan sumber
infeksi manapun. Etiologi tersering adalah Staphylococcus aureus.7
Gejala awal biasanya nyeri pada punggung dan demam. Nyeri radikular selanjutnya
terjadi dan kemudian diikuti oleh defisit motorik dan sensorik yang cepat pada segmen di bawah
lesi dan gangguan sfingter. Pada beberapa pasien, gangguan neurologis terjadi dalam beberapa
minggu.7
Gejala biasanya terjadi dalam beberapa hari dan sering menyerupai tumor ekstradural
progresif atau hematoma dengan kelemahan kedua tungkai, gangguan sensorik dan retensi urin.
Namun gejala lain yang membedakan adalah nyeri yang sangat hebat dan kemerahan dan nyeri
pada sekitar lokasi abses, toksemia (pireksia, malaise, peningkatan denyut jantung), rigiditas
pada leher dan kolum spinal, dengan tahanan kuat terhadap fleksi.5
Pemeriksaan MRI merupakan pilihan utama karena dapat mendiagnosis 95% pasien. CT
mielografi dapat bermanfaat.7 Terapi yang harus dilakukan adalah dekompresi laminektomi
segera dan drainase abses yang dikombinasikan dengan terapi antibiotik intravena dalam
beberapa minggu untuk memastikan pemulihan yang total.5

Spinal Tuberculosis (Pott’s Disease)


Pada negara berkembang, TB spinal sering terjadi dan biasa terjadi pada anak-anak atau
usia remaja. Pada negara maju biasanya mengenai individu usia pertengahan. Insiden semakin
meningkat yang mungkin disebabkan karena semakin banyaknya resistensi terhadap antibiotik.
Segmen yang biasa terkena adalah segmen spinal torakal bagian bawah dan proses penyakit
biasanya diawali pada diskus intervertebralis dan kemudian menyebar ke korpus vertebra.5
Gejala klinis sistemik klasik seperti turunnya berat badan, keringat dingin pada malam
hari, dan cachexia biasanya tidak ditemukan. Nyeri terjadi pada lokasi yang terkena dan
memburuk saat mengangkat beban berat. Tanda dan gejala kompresi medula spinalis terjadi pada
sekitar 20% kasus. Onsetnya dapat terjadi bertahap selama pus, material kaseosa, atau jaringan
granulasi mengalami akumulasi, atau terjadi tiba-tiba karena kolaps korpus vertebra dan terjadi
kifosis.5
Tindakan yang harus dilakukan adalah terapi antituberkulosis jangka panjang. Jika
terdapat tanda-tanda adanya kompresi pada medula spinalis maka harus dilakukan tindakan
dekompresi.5

Low Back Pain & Herniated Nucleus Pulpous


Gambaran Umum
Pentingnya memahami mengenai low back pain (LBP) adalah: (1) jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan LBP di USA mencapai lebih dari $100 miliar dolar per tahunnya;
(2) gejala LBP merupakan penyebab terbanyak disabilitas pada individu <45 tahun; (3) LBP
merupakan alasan kedua terbanyak pasien datang mengunjungi dokter di USA; dan (4) kurang
dari 1% populasi USA mengalami disabilitas kronik karena nyeri punggung.8
Penekanan pada radiks saraf (radikulopati) merupakan penyebab umum terjadinya nyeri
pada leher, lengan, punggung bawah, bokong, dan tungkai. Radiks saraf keluar di atas dari
korpus vertebra yang bersesuaian pada regio servikal (contoh, radiks C7 keluar pada setinggi
C6-7), dan di bawah dari korpus vertebra yang bersesuaian pada regio torakal dan lumbal
(contoh, radiks saraf T1 keluar di antara T1-2). Radiks saraf daerah servikal melalui perjalanan
intraspinal yang pendek sebelum akhirnya keluar. Namun, karena medula spinalis berakhir pada
vertebra L1-2, radiks saraf lumbal akan melalui perjalanan intraspinal yang panjang sebelum
keluar, sehingga dapat mengalami perlukaan di bagian atas sebelum akhirnya keluar pada
foramen intervertebralis. Sebagai contoh, herniasi diskus pada setinggi L4-5 tidak haya
mengkompresi radiks L5, namun juga mengkompresi radiks saraf S1.8
Struktur tulang belakang yang sensitif terhadap nyeri adalah periosteum vertebra, dura
mater, sendi facet, anulus fibrosus diskus intervertebralis, vena dan arteri epidura, dan
ligamentum longitudinale posterior. Kelainan pada struktur-struktur berikut dapat menjelaskan
banyak kasus nyeri punggung tanpa adanya kompresi radiks saraf. Nukleus pulposus pada diskus
intervetebralis merupakan struktur yang tidak sensitif terhadap nyeri pada kondisi normal.
Sensasi nyeri di dalam kanalis spinalis disalurkan secara parsial oleh nervus sinuvertebralis yang
keluar dari saraf spinal masing-masing segmen dan kembali memasuki kanalis spinalis melalui
foramen intervertebralis pada tingkat yang sama.8
Banyak istilah digunakan untuk menjelaskan abnormalitas pada diskus, namun herniasi
diskus yang sebenarnya merupakan kerusakan pada serat anulus fibrosus. Radikulopati terjadi
ketika diskus mengalami herniasi ke arah lateral. Jika diskus herniasi ke arah sentral, akan
menyebabkan kompresi pada medula spinalis pada daerah servikal dan torakal dan menyebabkan
sindrom kauda equina pada daerah lumbal.7
Pada radikulopati servikal, segmen servikal yang paling sering terkena adalah C7 (60%),
yang kemudian diikuti oleh C6 (25%). Herniasi diskus lebih sering terjadi karena proses
degenerasi dibandingkan karena proses trauma. Dengan hilangnya kemampuan viskoelastik pada
nukleus pulposus dan anulus fibrosus, diskus menjadi lebih pendek dan menonjol ke arah
posterior ke dalam kanalis. Osteofit terbentuk di sekitar tepi diskus dan facet sendi, sehingga
menyebabkan penyempitan kanalis spinalis dan menghasilkan gejala radikular.7
Radikulopati lumbosakral biasanya disebabkan karena herniasi diskus atau karena
perubahan spondilitik, terutama pada daerah faset sendi atau karena kalsifikasi pada ligamentum
flavum, Jika terjadi kombinasi, hal ini akan menyebabkan stenosis pada kanalis lumbalis.
Herniasi diskus paling sering terjadi pada laki-laki usia pertengahan, terutama setelah
beraktivitas fisik. Beberapa faktor risiko lainnya berupa kelainan kongenital yang mengenai
ukuran kanalis spinalis regio lumbal. Pada 90% pasien, herniasi diskus lumbal terjadi pada L4-5
dan L5-S1. Akar saraf yang paling sering mengalami kompresi adalah L5, dan kemudian yang
kedua adalah S1. Diskus biasanya mengalami herniasi ke arah posterolateral dan mengkompresi
akar saraf yang melalui foramen di bawah dari diskus tersebut. Jika diskus tersebut mengalami
herniasi ke arah yang lebih lateral, maka kompresi terjadi pada akar saraf yang keluar dari
medula spinalis/motorik. Posisi yang paling menyebabkan tekanan intradiskus dan menyebabkan
rasa tidak nyaman adalah posisi membungkuk, duduk dan membungkuk ke depan, duduk/berdiri/
bersandar pada satu sisi, dan posisi terlentang. Kegiatan seperti mengangkat barang, batuk,
bersin, juga dapat mencetuskan nyeri.7
Gejala Klinis
Tipe Nyeri Punggung
Pemahaman mengenai tipe nyeri punggung yang dilaporkan oleh pasien merupakan
langkah esensial pertama. Perhatian juga difokuskan identifikasi faktor risiko terhadap adanya
penyakit yang serius. Penyebab tersering nyeri punggung adalah radikulopati, dan kemungkinan
lainnya adalah fraktur, tumor, infeksi, atau nyeri alih dari struktur organ viseral.8
Local Pain disebabkan karena cedera pada struktur yang sensitif terhadap nyeri yang di
mana mengalami kompresi atau iritasi pada ujung saraf bebas. Lokasi nyeri dekat dengan bagian
yang terkena pada punggung.8
Pain reffered to the back dapat berasal dari viseral abdomen ataupun pelvis. Nyeri
biasanya dideskripsikan terutama pada daerah abdomen atau pelvis namun dibarengi oleh nyeri
punggung dan tidak terpengaruh oleh perubahan posisi. Kadang-kadang pasien dapat hanya
mengeluhkan nyeri punggung saja.8
Pain of spine origin dapat berlokasi di punggung atau menjalar ke bokong atau tungkai.
Penyakit yang mengenai tulang punggung di atas regio lumbal cenderung mengalihkan nyeri ke
regio lumbal, inguinal, atau paha bagian depan. Penyakit yang mengenai tulang punggung di
bawah regio lumbal cenderung menyebabkan nyeri yang dialihkan ke bokong, paha bagian
dalam, dan kaki meskipun jarang terjadi. Nyeri alih atau nyeri ‘sklerotomal’ dapat menjelaskan
nyeri melalui berbagai dermatom tanpa adanya kompresi radiks saraf.8
Radicular back pain biasanya bersifat tajam dan menjalar dari punggung bawah ke
tungkai pada perjalanan akar saraf yang terlibat. Batuk, bersin, atau kontraksi volunter otot
abdomen (mengangkat beban berat, atau mengedan) dapat menimbulkan nyeri yang menjalar.
Nyeri dapat meningkat pada postur tubuh yang meregang saraf dan radiks saraf. Duduk pada
posisi kaki yang diregangkan berlebihan menyebabkan traksi pada saraf skiatika dan radiks saraf
L5 dan S1 karena saraf ini berada pada posterior dari paha. Saraf femoralis (radiks L2-4) berjalan
di anterior pada paha dan tidak teregang saat duduk. Deskripsi sensasi nyeri yang dirasakan saja
seringkali gagal untuk membedakan antara nyeri sklerotomal dan radikulopati.8
Pain associated with muscle spasms, meskipun tidak dapat diketahui penyebabnya,
seringkali disebabkan oleh kelainan-kelainan pada tulang belakang. Spasme terjadi dan
berhubungan dengan postur yang abnomal, ketegangan otot-otot paraspinal, dan nyeri tumpul
pada regio paraspinal.8
Pengetahuan mengenai lingkungan yang berhubungan dengan onset nyeri punggung
penting untuk mengetahui penyebab nyeri punggung yang serius.8
Pada herniasi diskus servikal, nyeri dirasakan pada leher bagian posterior, dengan spasme
otot paraspinal dan otot-otot sekitar bahu pada sisi yang terkena. Nyeri, gangguan sensorik, dan
kelemahan lengan biasanya terjadi pada level distribusi akar saraf pada sisi ipsilateral herniasi.
Nyeri dapat meningkat saat batuk, melakukan aktivitas, tertawa, menahan beban, atau
menggerakkan leher ke salah satu sisi.7
Herniasi diskus lumbosakralis akan memberikan gejala nyeri punggung berat dan spasme
otot paraspinal lumbar, dengan nyeri yang menjalar ke bokong hingga tungkai dan kaki. Nyeri,
hilangnya fungsi sensorik, dan kelemahan otot terjadi dengan pola radikuler, namun kelemahan
otot dan atrofi biasanya tidak terjadi pada awal proses penyakit. Nyeri dapat dicetuskan dengan
batuk, melakukan aktivitas, dan tertawa. Jika terjadi gangguan berkemih, harus mendapatkan
perhatian khusus.7

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan disarankan juga melakukan pemeriksaan pada
abdomen dan rektum. Nyeri punggung yang berasal dari organ viseral dapat muncul jika
dilakukan palpasi pada abdomen (pankreatitis, aneurisma aorta abdominalis) atau perkusi pada
CVA (pielonefritis).8
Tulang belakang yang normal memiliki lordosis pada daerah servikal dan lumbal, dan
kifosis pada daerah torakal. Kelainan pada struktur ini dapat menyebabkan hiperkifosis pada
torakal atau hiperlordosis pada daerah lumbal. Inspeksi dapat memperlihatkan skoliosis atau
asimetris penonjolon otot-otot paraspinal, yang mengindikasikan adanya spasme otot. Nyeri
punggung yang berasal dari tulang biasanya dapat dihasilkan dengan palpasi atau perkusi pada
prosesus spinosus pada tulang yang terkena.8
Penekukan tulang belakang ke arah depan biasanya terbatas pada spasme otot paraspinal,
di mana tindakan ini meluruskan lordosis pada regio lumbal. Hiperekstensi tulang belakang
dengan posisi berdiri terbatas pada kompresi radiks saraf, dan beberapa kelainan lainnya. Nyeri
pada panggul dapat menyerupai nyeri pada penyakit pada daerah lumbal. Nyeri pada panggul
dapat dicetuskan dengan melakukan Patrick’s sign dan mengetuk daerah tumit dengan
menggunakan telapak tangan pemeriksa saat kaki ekstensi (heel percussion sign).8
Dengan posisi pasien terlentang, fleksi pasif pada panggul saat kaki terekstensi menarik
radiks saraf L5 S1 dan saraf skiatika (straight leg-raising/SLR maneuver). Dorsofleksi pasif saat
maneuver tadi dapat dilakukan untuk menambah regangan (Laseque’s sign). SLR positif juga
pasien mengeluhkan nyeri yang seperti biasa pasien alami. Crossed SLR sign dikatakan positif
jika fleksi pada salah satu kaki menyebabkan nyeri yang biasa pasien alami pada tungkai atau
bokong yang berlawanan. Tes ini kurang sensitif namun spesifik untuk herniasi diskus. Femoral
stretch test dilakukan radikulopati L2-4 dengan cara pasien dalam tidur telunkup, paha
diekstensikan terhadap panggul, dan lutut difleksikan. Kernig’s sign juga dapat dilakukan tidak
hanya sebagai pemeriksaan pada meningitis. Radikulopati servikal dapat diperiksa dengan
melakukan spurling sign.7,8
Pemeriksaan neurologis mencakup pencarian adanya kelemahan fokal atau atrofi otot,
perubahan refleks fokal, penurunan sensasi pada tungkai, atau tanda-tanda adanya cedera medula
spinalis. Pemeriksa harus sadar kemungkinan adanya kelemahan semu (breakaway weakness)
yang ditandai dengan adanya perubahan kekuatan motorik fluktuatif selama pemeriksaan. Hal ini
dapat disebabkan karena nyeri atau kombinasi nyeri dengan kelemahan otot yang sebenarnya.
Jika tidak terdapat nyeri biasanya disebabkan karena ketidakadanya usaha.8

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos posisi anteroposterior,
lateral, dan oblik untuk melihat adanya osteofit yang memasuki foramen intervertebralis, namun
memiliki kemampuan terbatas untuk mendeteksi adanya herniasi nukleus pulposus.7
MRI merupakan teknik pencitraan terbaik untuk melihat patologi pada diskus, herniasi
nukleus pulposus, dan radiks saraf yang terganggu. MRI juga dapat memperlihatkan tingkat
abnormalitas diskus, seperti bulging atau protrusi, pada pasien asimtomatik.7
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk melihat arsitektur tulang dan mendeteksi
protrusi diskus. CT dengan mielografi dapat memperlihatkan stenosis foraminal dan sentral.
EMG (elektromiografi) dan NCS (nerve conduction studies) dapat digunakan untuk memastikan
impresi klinis, serta menyingkirkan kemungkinan diferensial diagnosis lainnya. Denervasi otot
pada tingkat radiks mengindikasikan adanya radikulopati. EMG dan NCS juga dapat
memberikan informasi mengenai proses akut atau kronik penyakit dan tingkat keparahan defisit
neuronal. Studi ini dapat membedakan antara radikulopati, neuropati, miopati, atau pleksopati.7

Penatalaksanaan
Terapi utama pada radikulopati adalah istirahat dan pemberian obat-obat antiinflamasi.
Kebanyakan pasien dapat ditangani dengan baik hanya dengan terapi konservatif.
Direkomendasikan untuk melakukan bed rest selama 2 hari, di mana lebih dari ini tidak akan
memberikan manfaat tambahan.7

Terapi Farmakologis
NSAID digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik. Obat ini harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol, pada usia tua, dan pada pasien dengan
gangguan gastrointestinal. Penambahan misoprostol, H2 bloker, atau PPI dapat memberikan
proteksi lambung yang baik. Asetaminofen dapat mengurangi nyeri tanpa memberikan efek
buruk pada gastrointestinal namun tidak memiliki efek antiinflamasi.7
Pemberian kortikosteroid jangan pendek dapat berguna untuk menangani pasien dengan
herniasi diskus akut, terutama pada pasien dengan risiko rendah, namun penggunaan obat ini
masih bersifat kontroversial. Pemberian relaksan otot dapat diberikan, namun kerja obat lebih
bersifat sentral dibandingkan pada setinggi otot, dan dapat menyebabkan kantuk yang
berlebihan. Narkotik diberikan pada pasien dengan nyeri yang sangat hebat. Untuk nyeri
neuropatik, obat-obat yang dapat berguna berupa gabapentin, pregabalin, duloksetin, 5%
lidocaine patch, tramadol, dan trisiklik antidepresa.7
Terapi Non-Farmakologis
Terapi suhu panas, es, masase, pengurangan stress, pembatasan aktivitas, modifikasi
postur, dan terapi fisioterapi dapat memperbaiki nyeri. Pemberian servical collar lembur untuk
nyeri leher dan korset lumbar untuk LBP dapat membantu meredakan nyeri. Setelah nyeri akut
hilang, latihan peregangan otot harus dilakukan untuk mengembalikan ROM (range of motion).7

Spinal Cord Injury (SCI)


Gambaran Umum
Spinal cord injury (SCI) merupakan kerusakan pada medula spinalis yang menyebabkan
perubahan yang bersifat temporer maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, dan otonom
medula spinalis. Pasien dengan SCI biasanya mengalami defisit neurologis dan disabilitas yang
permanen.9
Trauma pada medula spinalis diperkirakan terjadi pada 100.000 orang per tahunnya di
USA. Sekitar 8-10% pasien yang mengalaminya menderita disfungsi neurologis yang sangat
berat. Deteksi awal adanya trauma pada medula spinalis penting untuk menjaga fungsi
neurologis tetap baik. Trauma pada medula spinalis dapat menyebabkan kerusakan komplit
ataupun inkomplit. Beberapa karakteristik SCI harus dapat diidentifikasi sejak awal untuk dapat
melakukan terapi segera.10
Sekitar 8.000 hingga 50.000 orang setiap tahunnya di Amerika Utara mengalami SCI.
60% dari individu yang mengalami trauma adalah anak-anak dan orang dewasa di sekitar 30
tahun atau di bawahnya. Meskipun begitu. Laki-laki lebih sering mengalami SCI dibandingkan
wanita, dengan perbandingan 4:1. Penyebab paling sering trauma medula spinalis adalah
kecelakaan sepeda motor dan trauma tembak. Misdiagnosis dan keterlambatan diagnosis dapat
menyebabkan gangguan neurologis permanen.7

Patogenesis
Trauma pada medula spinalis dapat terjadi dengan empat buah mekanisme yang berbeda:
(1) kerusakan (impact) dengan kompresi persisten pada burst fractures; (2) kerusakan dengan
kompresi transien setelah trauma hiperekstensi; (3) distraksi yang menyebabkan peregangan
paksa kolumna spinalis secara aksial, dengan robekan pada medula spinalis atau pembuluh
darah; atau (4) laserasi karena trauma tembak, diskolasi fragmen tajam tulang, atau distraksi
berat, dengan atau tanpa transeksi medula spinalis.7
Substansia nigra medula spinalis merupakan komponen yang terkena dan kerusakan
ireversibel selama 1 jam pertama trauma. Dapat pula ditemukan adanya perdarahan di dalam
medula spinalis. Substansia alba medula spinalis dapat tidak terlalu terganggu pada awalnya
namun kemudian menjadi terganggu dan ireversibel dalam 72 jam pertama trauma yang dapat
disebabkan karena adanya perdarahan, iskemia dan reperfusi, eksitotoksisitas, calcium-mediated
cellular dysfunction, gangguan cairan dan elektrolit, mekanisme imunologik, atau apoptosis.
Syok neurogenik dapat terjadi dengan ciri terjadinya bradikardi dan hipotensi.7
SCI, seperti halnya pada keadaan stroke akut, merupakan sebuah proses yang dinamis.
Pada semua sindrom medula spinalis akut, luasnya kerusakan mungkin tidak dapat terlihat
dengan jelas pada awalnya. Lesi medula spinalis yang inkomplit dapat berkembang menjadi lesi
komplit. Sering juga ditemukan kerusakan meluas lebih tinggi 1 atau 2 segmen spinal dalam
beberapa jam atau hari setelah trauma. Gejala klinis yang terjadi pada SCI berkaitan dengan
kaskade kompleks patofisiologi yang berhubungan dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan
gangguan aliran darah. Untuk mencegah perburukan pada SCI maka diperlukan oksigensi yang
baik, perfusi, dan keseimbangan asam basa.9
SCI dapat terjadi dengan beberapa mekanisme, yaitu melalui 3 cara umum yang akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan yaitu: (1) destruksi karena trauma langsung; (2) kompresi oleh
fragmen-fragmen tulang, hematoma, atau material diskus; dan (3) iskemia karena kerusakan
pada arteri spinalis. Edema dapat terjadi setelah mekanisme kerusakan manapun.9

Neurogenic Shock
Syok neurogenik adalah trias hipotensi, bradikardi, dan vasodilatasi perifer yang
disebabkan karena disfungsi otonom berat dan gangguan kontrol sistem saraf simpatis pada SCI
akut. Hipotermia juga merupakan salah satu karakteristiknya. Kondisi ini tidak terjadi pada SCI
pada segmen tulang belakang di bawah T6 namun lebih sering terjadi pada segmen di atas T6,
sekunder terhadap gangguan jaras simpatis eferen yang keluar dari T1 hingga L2, dan karena
ketidakmampuan melawan tonus vagal, sehingga menyebabkan penurunan resistensi vaskular
karena dilatasi vaskular.9

Spinal Shock
Syok spinal merupakan keadaan hilangnya fungsi neurologis total termasuk refleks dan
tonus rektal, pada segmen di bawah lesi yang spesifik yang berhubungan dengan disfungsi
otonom. Syok spinal disebut sebagai depresi refleks fisiologis transien pada segmen di bawah
lesi, dengan hilangnya semua fungsi sensorimotorik. Penjelasan mengenai syok spinal telah
dijelaskan sebelumnya.9

Gejala Klinis
Luasnya trauma medula spinalis dapat ditentukan berdasarkan skala yang dibuat oleh
American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale (yang dimodifikasi dengan
klasifikasi Frankel), yang adalah:9
• A: Complete: tidak ada fungsi motorik dan sensorik pada segmen sakreal S4-5.
• B: Incomplete: Fungsi sensorik masih baik pada segmen di bawah lesi hingga segmen sakral
S4-5.
• C: Incomplete: Fungsi motorik masih ada pada segmen di bawah lesi, dan kekuatan motorik
kurang dari 3.
• D: Incomplete: Fungsi motorik masih ada pada segmen di bawah lesi, dan kekuatan motorik
lebih dari atau sama dengan 3.
• E: Normal: Fungsi sensorik dan motorik normal.

Berdasarkan skala ASIA di atas, maka dapat didefinisikan bahwa trauma medula spinalis
dikatakan komplit jika tidak adanya fungsi motorik dan sensorik secara total hingga segmen
sakral terbawah, dan dikatakan inkomplit jika masih terdapat fungsi sensorik atau motorik pada
segmen di bawah lesi, termasuk pada segmen sakral terbawah.9
Disfungsi sistem pernafasan dapat terjadi tergantung tinggi lesi pada medula spinalis.
Pada lesi yang tinggi yaitu C1 dan C2, kapasitas vital hanya dapat mencapai 5-10% dari normal,
dan tidak adanya refleks batuk. Lesi pada C3-6 dapat memiliki kapasitas vital 20% dan kekuatan
batuk lemah serta tidak efektif. Pada lesi torakal tinggi yaitu T2-4, kapasitas vital mencapai
30-50% normal dan kekuatan batuk masih lemah. Pada lesi yang lebih rendah, maka fungsi
respirasi akan lebih baik. Lesi pada T11 akan menunjukkan disfungsi yang minimal, kapasitas
vital baik dan kekuatan batuk yang kuat.9

Penanganan dan Evaluasi Klinis


Penanganan pasien dengan kemungkinan SCI dimulai dari awal terjadinya kejadian.
Imobilisasi komplit tulang belakang merupakan langkah krusial penanganan sebelum rumah
sakit untuk semua pasien dengan trauma, hingga dipastikan tidak adanya trauma pada tulang
belakang. Gunakan tempat tidur yang terbuat dari papan keras dengan occipital padding, serta
cervical collar yang keras. Tulang belakang harus dalam posisi anatomis normal seperti pada
keadaan berdiri tegak, dengan elevasi oksiput sekitar 1.3-5.1 sentimeter di atas tanah dalam
posisi terlentang. Pemindahan pasien pada tempat tidur yang keras ini harus dilakukan oleh
orang yang sudah terlatih. Ketika tulang belakang pasien sudah terimobilisasi, segera
transportasikan pasien pada pusat pelayanan kesehatan yang memadai.7
Setibanya di unit gawat darurat, bersihkan jalan nafas, jaga oksigenasi, dan ventilasi
biasanya disulitkan karena harus dilakukannya imobilisasi pada tulang belakang. Gangguan
sistem pernafasan biasanya diperkirakan pada pasien dengan trauma di sekitar bagian atas dan
midservikal (C3-5, tempat keluarnya nervus phrenikus). Adanya trauma pada paru dan toraks,
seperti fraktur tulang iga, kontusio pulmonal, pneumotoraks, hemotoraks, dan aspirasi dapat
menyebabkan gangguan fungsi pernafasan. Intubasi dapat dipikirkan untuk dilakukan, hindari
semua tindakan yang menyebabkan traksi pada tulang belakang seperti hiperekstensi leher. Jika
intubasi tidak dapat dilakukan dengan mudah, alternatif seperti laryngeal mask dapat digunakan.7
Pasien dengan SCI sangat sensitif terhadap hipoperfusi. Hipotensi pada awal trauma
dapat berhubungan langsung dengan meningkatnya mortalitas dan penurunan perbaikan
neurologis. Instabilitas otonom dengan hilangnya tonus simpatis menyebabkan peripheral
pooling dari volume cairan tubuh dan bradikardia dapat menyulitkan resusitasi cairan. Hipotensi
dapat berupa gejala dari syok spinal. MAP (sistolik ditambah dua kali diastobik dibagi tiga)
harus dijaga pada level 90-100 mmHg dengan memberikan cairan atau vasopresor dalam 72 jam.
Alfa-agonis seperti fenilepinefrin meningkatkan resistensi vaskular perifer dan mengembalikan
hilangnya tonus simpatis. Dopamin atau dobutamin merupakan agen vasoaktif alterlatif. Elevasi
tungkai dan compression stockings dapat membantu distribusi cairan. Pemeriksan EKG dan
enzim-enzim jantung perlu dilakukan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun dan pada pasien
dengan riwayat kelainan pada jantung. Obat antikolinergik seperti atropin, 0.5-1 mg IV dapat
memperbaiki bradikardia.7
Pasien dengan SCI dalam 8 jam pertama sudah harus diberikan bolus metilprednisolon IV
30 mg/kgBB dalam 1 jam, yang kemudian diikuti 5.4 mg/kgBB/jam selama 23 jam berikutnya.
Tulang belakang harus tetap diimobilisasi hingga benar-benar dibuktikan tidak ada gangguan
pada tulang belakang dengan teknik pencitraan yang berbeda.7

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis harus dilakukan untuk mengetahui secara jelas kapan terjadinya kecelakaan,
kondisi lingkungan, dan kondisi sebelum pasien mengalami trauma pada saksi yang melihat,
penolong, dan keluarga pasien. Pasien harus ditanyakan mengenai adanya nyeri pada leher,
defisit neurologis, dan inkontinensia urin atau alvi.7
Pemeriksaan neurologis pada SCI harus berfokus pada pemeriksaan kekuatan motorik
ekstremitas, tonus otot, sensibilitas sentuhan, nyeri, getaran dan proprioseptif pada masing-
masing dematom, identifikasi level sensoris, peningkatan atau penurunan refleks tendon dalam,
dan evaluasi tonus rektal.7
Jika memungkinkan saat dalam kondisi terimobilisasi, lakukan pemeriksaan inspeksi dan
palpasi pada tulang belakang untuk melihat adanya fraktur terbuka atau tertutup dan hematoma.
Pemeriksaan pada dada, abdomen, dan pelvis harus dilakukan untuk melihat adanya fraktur dan
trauma organ-organ dalam. Feses dan urin harus diperiksa untuk memastikan ada tidaknya darah.
7
Pemeriksaan Penunjang
Sebelum cervical collar dan imobilisasi dapat dilepas, trauma tulang belakang harus
disingkirkan secara absolut (‘cleared’/bersih). Prosedur untuk tindakan ‘pembersihan’ ini
tergantung pada lokasi nyeri dan gejala neurologis yang muncul serta status mental pasien.7
Pasien yang sadar, tanpa adanya nyeri yang hebat, dan yang tidak mengeluhkan adanya
nyeri lokal pada daerah servikal atau gejala neurologis tidak membutuhkan pemeriksaan
radiologis pada tulang servikalnya. Insiden trauma pada tulang servikal pada pasien yang
simtomatik adalah sekitar 2-6%. Pasien yang mengeluhkan nyeri leher, defisit neurologis, tidak
sadar, tidak kooperatif, inkoheren, atau terintoksikasi, dan pasien dengan trauma yang dapat
diperkirakan mengenai tulang belakang yang memusingkan dengan ada tidaknya SCI yang
membutuhkan studi radiologis pada daerah servikal. Pada kebanyakan pasien, radiografi servikal
lateral dapat mengidentifikasi adanya fraktur yang tidak stabil. Banyak trauma tulang belakang
yang terdeteksi dengan menggunakan three-view cervical spine series (lateral, anteroposterior,
odontoid), meskipun 60% fraktur mengalami misdiagnosis dibandingkan dengan CT scan. Saat
ini CT scan multislice pada area yang sulit divisualisasi dan yang tercurigai kerusakan struktural
(contoh, tiga segmen servikal atas), dengan potongan sagital dan koronal merupakan gold
standard pemeriksaan pada trauma kranioservikal. Kombinasi pemeriksaan CT scan dan foto
polos dapat memberikan hasil prediktif negatif 99-100%.7
MRI merupakan pilihan lainnya pada kondisi trauma servikal. Jika dilakukan dalam 48
jam pertama akan memberikan hasil yang lebih sensitif daripada CT scan dan foto polos dalam
mengidentifikasi adanya kerusakan pada jaringan saraf atau ligamen.7

Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma spinal akut, terutama dalam konteks trauma multisistem, paling
baik ditangani di dalam ICU dengan monitoring kardiovaskular dan paru kontinu untuk 7 hingga
14 hari setelah trauma. Hal ini disebabkan karena pasien masih dalam kondisi berisiko tinggi
terjadinya hipotensi, hipoksemua, disfungsi pulmoner, dan instabilitas kardiovaskular, terutama
jika disfungsi neurologis terjadi dengan disautonomia.7
Imobilisasi
Imobilisasi tulang belakang yang terlalu lama dengan menggunakan matras keras, dan
dengan cervical collar yang keras dapat menyebabkan gangguan lain berupa nyeri tulang
belakang tambahan, nyeri pada daerah kepala, defisit neurologis, dan gangguan nafas. Cutaneus
pressure ulcers terjadi setelah 2 hingga 3 hari pada 55% pasien. Hal ini menyebabkan penapisan
ada tidaknya trauma pada servikal harus dilakukan secepat mungkin supaya imobilisasi dapat
diberhentikan segera. Jika terdapat adanya trauma spinal yang tidak stabil, maka diperlukan
operasi reduksi dan fiksasi secepat mungkin.7

Kortikosteroid dan Obat Neuroprotektif


Kortikosteroid memiliki potensi untuk menstabilisasi struktur membran dan menjaga
blood-spinal cord barrier, yang dapat menurunkan edema vasogenik, peningkatan aliran darah
pada medula spinalis, inhibisi pengeluaran endorfin, mengurangi radikal bebas dan menurunkan
inflamasi. Pasien yang diterapi dengan menggunakan metilprednisolon bolus intravena 30 mg/
kgBB, yang diikuti dengan infus sebesar 5.4 mg/khBB/jam selama 23 jam, jika diberikan dalam
8 jam pertama, akan memberikan perbaikan fungsi sensorik dan motorik dalam 6 bulan. Namun
pemberian metilprednisolon berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi luka, pneumonia,
infeksi saluran kemih, perdarahan gastrointestinal, hiperglikemia, glukosuria, dan gangguan
enzim-enzim hati, terutama pada pasien tua dan diabetes, dan hal ini terjadi pada rawat inap yang
lama, terutama jika diberikan dalam 48 jam. Selain itu sebenarnya perbaikan fungsional dengan
digunakannya metilprednisolon terlihat tidak terlalu penting secara klinis. Saat ini pemberian
metilprednisolin intravena dibarengi dengan pemberian obat-obat untuk proteksi gaster dalam 23
jam jika diberikan dalam 8 jam pertama setelah trauma.7

Penanganan Tekanan Darah


Hipotensi dapat memperburuk gejala klinis pasien, sehingga MAP harus dipertahankan
pada level sekitar 85-90 mmHg untuk memastikan perfusi yang adekuat pada medula spinalis
paling tidak selama 7 hari setelah trauma. Vasopresor seperti fenilepinefrin, dopamin, dan
norepinefrin dan bolus cairan harus digunakan seperlunya.7
Penanganan Secara Umum
Atelektasis dan pneumonia terjadi karena sulitnya pengeluaran hasil sekresi mukus dan
tidal volume yang tersisa karena adanya paralisis otot-otot pernafasan. Pembentukan mucus plug
dapat membahayakan nyawa pasien meskipun menggunakan ventilator mekanik. Pasien harus
diletakkan pada kinetic therapy beds (RotoRest). Terapi bronkodilater, dan pemberian tekanan
positif intermiten (recruitment maneuver) membantu pengembangan paru. Pada pasien dengan
trauma servikal tengah atau tinggi/atas, trakeostomi dapat dilakukan.7
Pasien yang tidak diintubasi harus mendapatkan oksigen tambahan untuk menjaga
saturasi oksigen lebih dari 95%. Deep venous thrombosis dan emboli pulmonal sering terjadi
pada pasien dengan SCI, terutama jika terjadi fraktur ekstremitas bawah dan pelvis. Pemberian
heparin subkutan 5000 IU setiap 8 jam dan pemberian pneumatic compression devices,
antithrombotic stocking, direkomendasikan paling tidak selama 3 bulan setelah trauma.7
Pasien dengan SCI juga biasanya mengeluhkan retensi urin akibat terjadinya neurogenic
bladder. Pemasangan kateter penting dilakukan pada periode akut di dalam ICU. Setelah 2-3
minggu, ketika hemodinamik dan keadaan neurologik pasien stabil, dapat dilakukan pemberian
kateter steril intermiten setiap 4-6 jam.7

Prognosis
Mortalitas setelah terjadinya SCI berkisar antara 4-17%. Faktor predisposisi berupa usia
tua, trauma pada segmen tulang belakang yang cukup tinggi, emboli pulmonal, adanya
komorbiditas penyakit lain, dan bunuh diri. Usia lebih dari 20 tahun, jenis kelamin laki-laki,
gangguan sistemik berat, adanya komorbiditas, dan status neurologis yang buruk saat datang
dapat diperkirakan memiliki mortalitas yang besar.7
Pasien dengan SCI dapat kembali pada pekerjaannya yang semula serta gaya hidupnya
yang semula, tergantung pada tingkat terapi yang diberikan, dan terutama tergantung pada
berbagai faktor-faktor lainnya (multifaktorial). Pasien dengan kerusakan yang tidak komplit pada
jalur sensorik, meskipun terdapat gangguan fungsi motorik yang komplit, memiliki prognosis
yang lebih baik untuk kembali pada fungsinya yang semula dibandingkan pada pasien dengan
tetraparesis dan tidak adanya fungsi sensorik di bawah lesi. Pemulihan terhadap otot-otot bagian
distal mungkin belum terjadi pada 3 minggu pertama setelah trauma. Pasien dengan sindroma
Brown-Séquard memiliki potensi yang sangat besar untuk kembali pulih, di mana 75-90% pasien
dapat berjalan independen setelah selesai melakukan rehabilitasi, dan 70% pasien dapat
melakukan aktivitas normal seperti semula.7
Pasien dengan kerusakan segmen servikal komplit tanpa perbaikan selama 24 jam
hospitalisasi jarang dapat kembali pulih dengan normal. Juga, tinggi dan beratnya trauma
memiliki nilai prognostik. Lesi pada servikal dapat sembuh lebih baik dibandingkan lesi pada
daerah torakal atau torakolumbal, dan tentu saja kerusakan yang lebih minimal akan memberikan
outcome yang lebih baik.10
Pada sindrom medula spinalis sentral, perbaikan kekuatan motorik ekstremitas bawah
terjadi lebih awal dibandingkan pada daerah lainnya dan kemudian diikuti dengan membaiknya
fungsi berkemih dan kemudian perbaikan kekuatan motorik ektremitas atas. Segmen servikal C7
penting untuk fungsi otot triseps yang penting untuk mandi (showering), menggunakan pakaian,
dan lain-lain. Pasien yang berusia di bawah 50 tahun mengalami pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan pasien yang sudah berusia tua.7
BAB III

PEMBAHASAN

Laki 49 tahun datang dengan diantar oleh istri pasien, berjalan dengan tertatih dan keringat
dingin
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and victor’s: principles of neurology. 10th
ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2014. p 1237.
2. Snell RS. Clinical neuroanatomy. 7th ed. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2010. p.
133-73.
3. Waxman SG. Clinical neuroanatomy. 27th ed. USA: The McGraw-Hill Companies;2013 p. 43-
55.
4. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 11th ed. USA: John &
Wiley Sons’ 2009. p. 461-2.
5. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed.
Edinburgh: Churchull Livingstone; 1997. p. 376-91.
6. Dawodu ST. Cauda equina and conus medullaris syndrome. Dec 2014. Diunduh
dari: http:// emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#a4 pada tanggal 19 Agustus
2015 pukul 19:29.
7. Brust MCJ. Current diagnosis and treatment: neurology. 2nd ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 193-200; 277-81.
8. Hauser SL. Harrison’s neurology in clinical medicine. 3rd ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2013. p. 71-5; 403-5.
9. Chin LS. Spincal cord injuries. Jul 2015. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/ 7793582-overview pada tanggal 19 Agustus
2015 pukul 19:31.
10. Corey-Bloom J, David RB. Clinical adult neuology. 3rd ed. New York: Demos
Medical Publishing; 2009. p. 280-3.

Anda mungkin juga menyukai