MODUL V
BLOK 2.6 GANGGUAN RESPIRASI
KELOMPOK 5A
Miftah Ar Rahmah 1710311012
Kelvin Florentino Kaisar 1710311017
Honest Vania Asari 1710311020
Annisa Kartika Edwar 1710311023
Izka Fadhila 1710311046
Fakhri Aulia 1710312087
Azaria Ramadhani Zulkifli 1710313024
Aldo Winanda Aidil Putera 1710313036
Rivfia Mustikaweni Zachraina 1710313068
Shavira Quincy Harbaindo 1710313069
Pak Badu, 41 tahun, seorang petani dibawa keluarganya ke puskesmas dekat rumah karena
sesak napas yang meningkat sejak dua hari terakhir. Pak Badu mengeluhkan sesak napas menciut,
dirasakan terus menerus dan tidak hilang dengan pengobatan rutin. Dia juga mengeluh batuk berdahak
yang sudah dirasakan agak lama. Riwayat merokok sejak usia muda. Dari pemeriksaan fisik tampak
sesak, sianosis, gelisah, dengan TD 130/80 mmHg, nadi 120x/1’, napas 36x/1’, dan tidak demam. Pada
pemeriksaan thorax, auskultasi menemukan suara napas bronchovesikuler di kedua paru dan disertai
adanya bunyi mengi. Dokter puskesmas melakukan terapi awal dengan oksigen 10 L/1’ pakai
nonrebreathing mask dan dianjurkan dirujuk ke RS.
Setelah sampai di IGD, Pak Badu menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium serta
tatalaksana awal untuk kegawatdaruratan. Dari hasil analisa gas darah didapatkan saturasi O2 sebesar
90% dengan pCO2 meningkat. Melihat hasil pemeriksaan penunjang tersebut, dokter jaga melakukan
konsultasi ke dokter spesialis paru untuk perawatan lebih lanjut pada pasien.
Bagaimana Saudara dapat menjelaskan kondisi yang terjadi pada Pak Badu tersebut?
STEP 1 (Terminologi)
Analisis gas darah : prosedur pemeriksaan medis untuk mengukur kadar O2 dan CO2 dalam
darah. Diambil pada darah Arteri dan sekaligus untuk mengukur ph darah
Nonrebreathing mask : Sungkup muka; Salah satu metode pemberian O2 dengan lambat;
Masker yang mengalirkan O2 dg konsentrasi O2 80-100% dg kecepatan aliran 10-12L/menit;
diberikan pada pasien dg kadar CO2 yang tinggi.
3. - Pengaruh rokok terjadi penurunan fungsi paru. Normalnya penurunan 10 ml.tapi pada
perokok dapat turun 200 ml
- Index brighman semakin tinggin nilainya, maka semkain tinggi resiko terjadi
gangguan system pernapasan
- Gangguan fungsi silia, Co yang lebih terikat kuat dengan Hb dibandingkan dengan
O2.
4. Batuk berdahak pada kondisi asma eksaserbasi dikarenakan saat terjadi serangan asma maka
terjadi hipersekresi sekret yang kental, dan respon batuk tubuh untuk mengeluarkan sekret
tersebut. Dan masih banyal faktor yang lainnya.
5. Pemeriksaan TTV
- TD 130/80 mmhg = terlihat ada sedikit peningkatan tekanan diastolnya tapi secara
keseluruhan TD dalam keadaan normal.
- Nadi 120x/menit = terjadi palpitasi, sudah terjadi kompensasi tubuh dengan
meningkatkan kerja jantung yaitu berdetak lebih cepat.
- frekuensi Nasfas 36x/menit= terjadinya peningkatan (sesak nafas)
- Suhu tidak demam= Normal (36,5-37,5C)
Pemeriksaan fisik terlihat
- Tampak sesak = kompensasi tubuh kekurangan o2
- Sianosis= telah terjadi kekurangan hantaran O2 keseluruh tubuh sehingga pada bagian
perifer yang tidak mendapatkan pasokan o2 akan tampak kebiruan
- Gelisah= reaksi tubuh kekurangan O2 dan kemungkinan telah terjadinya reaksi
katabolisme anaerob pada tubuh yang tidak mendapat pasokan o2 sehingga banyak
menhasilkan seperti asam laktat yang mengakibat tidak enak pada tubuh.
Pada auskultasi suara nafas bronkovaskular di kedua paru= normalnya hanya terdengar
pada daerah RIC 1dan 2 area intrascapula. Terdengar bunyi ekspirasi lebih keras lebih lama,
dan lebih tinggi.Sesak nafas didikuti mengi= telah terjadi obstruksi saluran nafas terutama saat
ekspirasi karena hipersekresi sekret kental, reaksi inflamasi, dan spasme otot polos.
6. Karena untuk penanganan cepat terhadap gejala hipoxia pada Pak Badu yaitu sesak nafas,
sianosis dan gelisah. Tidakan pemberian oksigen dengan nonbreathing mask tujuan untuk
pemberian oksigen dengan aliran yang cepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan o2 tubuh
yang lebih efesien dan menguragi sampai menghilangkan gejala serta keluhan yang terjadi
pada pak Badu.
12. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium pada asma eksaserbasi hampirsama perlakuan dan
hasil yang didapatkan pada pasien asma biasa.
STEP 4 (Skema)
Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat
diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa
diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh
riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit
paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi
maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas
kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi
dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsi pleura.
Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
jenis, yaitu
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura
awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh
jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.
Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus
yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini
tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat
ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin
bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi
udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju
pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal napas
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50%
volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50%
volume paru).
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak
terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah
pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh .
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm)
= __________________ x 10
3
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks.
(AxB) - (axb)
_______________ x 100 %
AxB
Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
- Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak
dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut
terbuka.
- Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit,
terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
- Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
- Denyut jantung meningkat.
- Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
- Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis
pneumotoraks spontan primer.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
Pemeriksaan Penunjang
o Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain :
1. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis
yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,
akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
2. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di
daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru
tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
3. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar,
diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil
dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
4. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut :
Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari
basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati
hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini
biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya
terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih
tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup
banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada
depan dan belakang.
Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan
cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga
pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
pneumotoraks adalah sebagai berikut :
A. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka
udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan
foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka .
B. Tindakan dekompresi
Tindakan bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan
antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara :
Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian
tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena
mengalir ke luar melalui jarum tersebut .
Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol .
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks
sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol .
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar
dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain
itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga
pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih
tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada
dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa
kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan
tersebut .
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-
20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka
sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa
dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD
dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.
C. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu
torakoskop.
D. Torakotomi
E.
Tindakan bedah
Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang
menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak
bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat
fistel dari paru yang rusak
Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua
pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap
penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan
obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator .
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk
mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema .
I. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat
untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas.
4. Asma Eksaserbasi
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma eksaserbasi
akut (GINA 2016) :
1) Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari
keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma.
Istilah “episode”“serangan”, atau “asma berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya
berbeda.
2) Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali, dan
diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko kematian
akibat asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi dan
ventilasi.
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan terakhir.
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS.
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid.
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari 1
canister/bulan.
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat.
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
h. Pasien asma dengan alergi makanan.
3) Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan
berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui tatalaksana dari gejala
yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam
rumah sakit.
4) Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma
sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti obat
controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis
jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi ke
instalasi medis akut atau untuk berobat ke dokter segera.
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada dewasa).
d) Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,
berikut adalah tatalaksananya.
e) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas, laju
pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambil memulai terapi short-
acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen.f) Pemindahan segera ke fasilitas
pelayanan kesehatan akut jika ditemui adanya tanda-tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika
terdapat penurunan kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik jika
diperlukan.
g) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau
spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika
tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru
harus dilakukan tiap 1 jam.
h) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat.
Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan
eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal.
j) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin.
k) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi
paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk mengendalikan
asma di rumah.
l) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya, termasuk
pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4 minggu,
dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya.
m) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
5) Rencanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi :
a) Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi selanjutnya.
b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko untuk
eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu.
c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan.
5. Hemoptisis
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah,
berasal dari saluran nafas di bawah pita suara.
Klasifikasi
Banyaknya jumlah batuk darah yang dikeluarkan sangat penting diketahui untuk menentukan
klasifikasi hemoptisis nonmasif atau masif. Batuk darah ringan apabila jumlah darah yang dikeluarkan
kurang dari 25 ml/24 jam. Batuk darah sedang apabila jumlah darah 25-250 ml/24 jam. Batuk darah
masif bila: Batuk darah > 600 ml/24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti. Batuk
darah < 600 ml/24 jam tetapi > 250 ml/24 jam dan pada pemeriksaan hemoglobin < 10 gr% sedang
batuk darah masih berlangsung. Batuk darah < 600 ml/24 jam tetapi > 250 ml/24 jam dan pada
pemeriksaan hemoglobin >10 gr% dan pada pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan
konservatif, batuk darah masih berlangsung.
Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring)
atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious)
Tabel 2 Perbedaan
antara Hemoptisis
Keadaan Hemoptisis Hematemesis
dan Hematemesis
No
Darah yang Darah yang di
dibatukkan dengan muntahkan dengan
1 Prodomal
rasa panas di rasa mual
tenggorokan
Darah yang Darah yang di
dibatukkan, dapat mintahkan dapat
2 Onset
disertai dengan disertai dengan
muntah batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
Leukosit, Sisa makanan
mikroorganisme,
5 Isi
hemosiderin,
makrofag
6 Ph Alkalis Asam
Penyakit paru Peminum alkohol,
Riwayat penyakit
7 ulcus pepticum,
dahulu
kelainan hepar
Kadang tidak di Sering disertai
8 Anemis
jumpai anemis
Blood test (-) Blood test (+)
9 Tinja
Benzidine test (-) Benzedine test (+)
Diagnosis
Anamnesis
Hal yang perlu di tanyakan dalam batuk darah adalah : Jumlah dan warna darah yang di
batukkan, lamanya pendarahan, batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak, batuk terjadi
sebelum atau sesudah perdarahan, ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik,
hubungan perdarahan dengan gerakan fisik, istirahat, dan posisi badan saat batuk, riwayat penyakit
paru atau jantung terdahulu
Pemeriksaan Fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab hemoptisis, maka diperlukan pemeriksaan fisik lebih
lanjut: panas merupakan tanda adanya peradangan, auskultasi atau rales ( Kemungkinan menonjolkan
lokasi, ada aspirasi, ronchi menetap , wheezing local, kemungkinan penyumbatan oleh Ca, bekuan
darah), friction rub : emboli paru atau infark paru, clubbing : bronkiektasis, neoplasma.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin terutama digunakan untuk
melihat kadar hemoglobin untuk mengetahui ada tidaknya anemia akibat hemoptisis. Foto polos
toraks dalam posisi PA dan lateral, Bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, Pemeriksaan
dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (Bidwell JL, Pachner RW, 2005).
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber pendarahan sekaligus untuk penghisapan darah
yang keluar agar tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti
sehingga sumber pendarahan dapat segera diketahui. Adapun indikasi bronkoskopi pada hemoptisis
adalah : 1) bila pemeriksaan radiologi tidak di dapatkan kelainan, 2) batuk darah yang berulang, 3)
batuk darah massif : sebagai identifikasi dan terapi lokal pada titik perdarahan
Tatalaksana
Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah asfiksia dan menghentikan pendarahan. Selain
itu, tatalaksana hemoptisis untuk menemukan diagnosis penyakit dasar dan memberi terapi yang tepat,
atau menyingkirkan penyakit lain yang serius. Sebagian besar hemoptisis terjadi minor atau bisa
sembuh sendiri, walaupun kadang-kadang perdarahan bisa menjadi berat dan tidak terkendali. Saat ini
tatalaksana hemoptisis meliputi konservatif, pembedahan, dan embolisasi arteri bronkialis
Konservatif
Terapi konservatif batuk darah masif di Biro Pulmonologi RSAL dr.Mintohardjo adalah 1)
Memproteksi jalan napas dan stabilisasi pasien: mempertahankan jalan napas yang adekuat,
pemberian suplementasi oksigen, koreksi tiap koagulopati. 2) Lokalisasi sumber perdarahan dan
penyebab perdarahan: setelah pasien dalam keadaan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
mencari sumber dan penyebab perdarahan. 3) Terapi spesifik: menghentikan perdarahan dan
mencegah perdarahan berulang. Tahap ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu 1) Dengan
bronkoskop: bilasan garam fisiologis, epinefrin, pemberian 12hrombin fibrinogen, tamponade dengan
balon. 2) Tanpa bronkoskop: pemberian obat dan antifibrinolitik, pengobatan penyakit primernya
Pembedahan
Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan. Tindakan bedah dilakukan bila pasien
memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) diketahui jelas sumber perdarahan, 2) tidak ada kontra
indikasi medis, 3) setelah dilakukan pembedahan sisa paru masih mempunyai fungsi yang adekuat
(faal paru adekuat), 4) pasien bersedia dilakukan tindakan bedah
Embolisasi arteri bronkialis
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan dengan
embolisasi transkateter. Embolisasi ini dapat dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner.
Teknik ini terutama dipilih untuk penderita dengan kelainan paru bilateral, fungsi paru sisa yang
minimal, menolak operasi ataupun memiliki kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang
beberapa kali untuk mengontrol perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam
mengontrol perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu di tentukan oleh tiga
faktor: 1) Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernafasan, 2)
Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat menimbulkan hipovolemik, 3)
Aspirasi dimana masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat
bersama inspirasi. Penyulit hemoptisis yang biasanya di dapatkan ialah: 1) Terjadi penyumbatan
trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. 2) Penderita tidak tampak
anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam). 3)
Pneumonia aspirasi akibat darah yang terhisap ke bagian paru yang sehat. 4) Tersumbatnya saluran
nafas menyebabkan paru bagian distal kolaps sehingga terjadi atelektasis. 5) Terjadinya hipovolemia
akibat perdarahan banyak dan anemia jika terjadi perdarahan dalam waktu lama
Prognosis
Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptisis
rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : 1)
tingkatan hemoptoe (hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik), 2)
penyebab mendasar hemoptoe, 3) cepatnya tindakan tatalaksana dari hemoptoe misalnya bronkoskopi
segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita dari
kegawat daruratan medis.
Prognosis berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan pasien maka : 1) Jika jumlah darah
yang dikeluarkan <200ml/24jam prognosis supportive baik, 2) pasien dengan profuse massive >
600ml/24jam prognosis jelek 85% pasien meninggal dengan bilateral far advance, faal paru kurang
baik, dan terdapat kelainan jantung)
7. Drowning
Adalah gangguan pernapasan akibat terendam atau kemasukkan cairan yang
mengakibatkan kematian, kesakitan atau tidak menyebabkan sakit.
Epidemiologi: Dunia → Kematian ke-3 terbanyak akibat kecelakaan (7%) → 388.000/tahun.
Laki-laki > perempuan
Klasifikasi
o Berdasarkan suhu → air panas ( ≥ 20°C) dan dingin (≤20°C)
o Berdasarkan jenis air → air tawar dan asin
o Berdasarkan tempat air → air alami dan buatan
Faktor Resiko
o Balita – Remaja
o Lokasi berada dengan tempat air
o Kelelahan
o Cedera kepala dan leher
o Air arus deras
Patogenesis
Kekurangan udara dan biasanya panik → Refleks aspirasi air dan laringospasme →
asfiksia dan hipoksemia/asidosis.
Patofisiologi
Asfiksia → relaksasi saluran pernapasan → aspirasi → hipoksia (aspirasi 2,2mL/kg),
perubahan volume darah (aspirasi 11mL/kg), perubahan elektrolit (aspirasi 22mL/kg),
gangguan elektrolit (aspirasi banyak)
Tatalaksana
o Penilaian awal dengan prinsip ABC
o Koreksi hipoksia
o Resusitasi
Prognosis
o Air dingin lebih baik dari panas
o Buruk jika → terendam >10menit, pertolongan pertama >10menit, CPR >25menit.
8. Asfiksia
Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki
saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan, misalnya :
Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas : Pembekapan (smothering), Penyumbatan
(Gagging dan choking)
Penekanan dinding saluran pernafasan : Penjeratan (strangulation), Pencekikan (manual
strangulation, throttling), Gantung (hanging)
Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Identifikasi kematian
Untuk mengidentifikasi kematian, terlebih dahulu harus mengetahui faktor yang digunakan
untuk menentukan saat kematian. Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan saat terjadinya
kematian adalah:
1. Livor mortis (lebam jenazah)
2. Rigor mortis (kaku jenazah)
3. Body temperature (suhu badan)
4. Degree of decomposition (derajat pembusukan)
5. Stomach Content (isi lambung)
6. Insect activity (aktivitas serangga)
7. Scene markers (tanda-tanda yang ditemukan pada sekitar tempat kejadian)
9. Hemothoraks
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru
(rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.
Etiologi
1. Traumatik
Trauma tumpul.
Trauma tembus (termasuk iatrogenik)
2. Nontraumatik / spontan
F. Neoplasma.
G. komplikasi antikoagulan.
H. emboli paru dengan infark
I. robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.
J. Bullous emphysema.
K. Nekrosis akibat infeksi.
L. Tuberculosis.
M. fistula arteri atau vena pulmonal.
N. telangiectasia hemoragik herediter.
O. kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma arteri
mamaria interna).
P. sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.
Q. patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum).
R. Catamenial
Faktor risiko :
Sebelumnya pernah menjalani Bedah Dada
Sebelumnya pernah menjalani Bedah Jantung
Sedang menderita Gangguan Pendarahan
Sedang menderita Tuberkulosis
Telah didiagnosa mengidap Kanker Paru
Patofisiologi
Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau arteri,
menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau peluru menembus
paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi thorax dan paru-
paru. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga pleura. Setiap sisi
toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.
Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps terjadi
pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga takanan perifer pembuluh darah paru naik,
aliran darah menurun.
Pemeriksaan diagnostik.
Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura, dapat menunjukan
penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan mekanik
pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2
mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
Pemeriksaan penunjang
Hematokrit cairan pleura, Chest X-ray,USG,CT-scan
Diagnosis
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
Inspeksi : ketinggalan gerak
Perkusi : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling rendah
Auskultasi : vesikuler
Diagnosis banding
Tension pneumothorax :
• Deviasi Tracheal
• Distensi vena leher
• Hipersonor
• Bising nafas (-)
Massive hemothorax
• ± Deviasi Tracheal
• Vena leher kolaps
• Perkusi : dullness
• Bising nafas (-)
Cardiac tamponade
• Distensi vena leher
• Bunyi jantung jauh dan lemah
• EKG abnormal
Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan, dan
menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura.
Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan
kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah dengan golongan
spesifik secepatnya.Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang
cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest tube
(WSD).
Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat cepat
keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup banyak
sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest
tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko terbentuknya
bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah
selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang
menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif
intrapleural / cavum pleura.
Thoracotomy.
Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita tersebut
membutuhkan torakotomi segera.
Komplikasi
Kegagalan pernafasan
Kematian
Fibrosis atau parut dari membran pleura
Syok
Prognosis
Apabila dibiarkan tidak dirawat, akumulasi darah akan sampai pada titik dimana mulai menekan
mediastinum dan trakea.
10. Epistaksis
Definisi
Epistaksis atau perdarahan hidung seringkali dapat menjadi berat, berubah menjadi
kasusgawat darurat dan memerlukan tindakan segera. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba.
Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa
perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
Anatomi vasculer
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui:
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral
hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui
kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem
karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan
posterior yang men darahi septum dan dinding lateral superior
Etiologi
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.
Etiologi local
1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur
hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah
tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan
karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak
dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
4. iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;
5. Keadaan lingkungan yang sangat dingin
6. Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba
7. Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
8. Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus berbau
busuk.
Etiologi sistemik
o Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yang
disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 60-
70 lahun, perdarahan biasanya hebat berulang dan mempunyai prognosis yang kurang
baik,
o Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
o Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll.
o Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan,
menarke dan menopause
o kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-
Osler-Weber;
o Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor
leher dan penyakit jantung
o pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.
Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya
ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang
berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la
merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina
asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa
terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua
epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya berasal
dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga
mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering
terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.
Patofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga
terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang
atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan
septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus
kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua
jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal
dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior
melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari
lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas
seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan
pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan anamnesis,keadaan umum, dan pemeriksaan fisik
hidung.
1.Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan :
apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah
kapan terakhir lerjadinya.
jumlah perdarahan
Perlu lebih detail karena pasien biasanya dalam keadaan panik dan cenderung mengatakan
bahwa darah yang keluar adalah banyak. Tanyakan apakah darah yang keluar kira-kira
satu sendok alau satu cangkir Sisi mana yang berdarah jjga perlu dilanyakan,
Apakah satu sisi yang sama atau keduanya;
Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus
apakah ada hipertensi
keadaan mudah berdarah
Apakah ada penyakit paru kronik, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis; apakah sering
makan obat-obatan seperti aspirinn atau produk antikoagjlansia
2.Pemeriksaan keadaan umum.
Tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang infus jika ada penurunan tanda vital,
adanya riwayat perdarahan profus, baru mengalami sakit berat misalnya serangan jantung,
stroke atau pada orang tua.
3.Pemeriksaan hidung.:
Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
Pengukuran tekanan darah
Tekana darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang
Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
yang mendasari epistaksis
Komplikasi
Penatalaksanaan
Penaganan awal
Siapkan alat dan bahan
Keadaan umum penderita:
o presyok/syok
o anemis
berusaha menentukan sumber perdarahan