Anda di halaman 1dari 63

MODUL 1

SATUAN PEMETAAN LAHAN

I. Judul
Satuan Pemetaan Lahan

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep satuan
bentuklahan dan satuan lahan.
2. Mahasiswa dapat membuat peta satuan bentuklahan dan satuan lahan.

III. Alat dan Bahan


a. Peta RBI
b. Peta lereng
c. Peta tanah
d. Peta penggunaan lahan
e. Peta geologi
f. Software Arc GIS 9.3
g. Alat cetak

IV. Hasil Keluaran


1. Peta Satuan Bentuklahan
2. Peta Satuan Lahan

V. Dasar Teori
Lahan (land) atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus
(2000) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan tanah. Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang
atau tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam diperlukan
dalam setiap kehidupan.

1. Satuan Bentuklahan
Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi
yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan
beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu,sedangkan proses
geomorfik (geomorphic processes) adalah suatu proses alami, baik fisik atau
kimiawi, yang mampu merubah bentuk permukaan bumi (Thornbury, 1954).
Topografi yang dipertimbangkan untuk mengetahui bentuklahan dalam evaluasi
lahan adalah bentuk wilayah (relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas
permukaan laut. Relief erat hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan
bahaya erosi. Sedangkan faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut
berkaitan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang berhubungan dengan
temperatur udara dan radiasi matahari.
Satuan bentuklahan (landform unit) adalah komponen spasial yang
memiliki suatu proses geomorfologi yang dominan serta hubungan proses
pembentukan yang spesifik (Schmidt and Preston, 2003).
Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia adalah dengan
memanfaatkan lahan yang ada secara optimal dengan cara menyesuaikan
penggunaan lahannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan
sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi tanpa
mengurangi tingkat kesuburannya yang dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya (Mardiyanah, 2005).

2. Satuan Lahan
Satuan lahan adalah suatu wilayah dari lahan yang mempunyai kualitas
dan karakteristik lahan yang khas dan dapat ditentukan batasnya pada peta
(FAO, 1976). Penggunaan satuan lahan ini didasarkan atas beberapa faktor
yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut apabila digabung dalam satu satuan
lahan akan menjadi karakteristik yang membedakan dengan satuan lahan yang
lain. Faktor-faktor tersebut meliputi bentuk lahan, tanah, kemiringan lereng dan
penggunaan lahan.
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi,
misalnya: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, drainase,
tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut,
KTK, kejenuhan basa, pH, salinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya
erosi, genangan/ banjir, batuan di permukaan, dan singkapan batuan.
Karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan
lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan
uraiannya, peta/ data iklim dan peta topografi/ elevasi. Setiap satuan peta lahan/
tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei dan/ atau pemetaan sumber daya
lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan
fisik lingkungan dan tanahnya.

VI. Cara Kerja


1. Pemetaan Satuan Bentuklahan
a. Mengamati secara seksama kondisi umum dan batas daerah kajian
melalui peta RBI;
b. Mengamati dan menggali informasi kondisi geologi (struktur dan litologi)
daerah kajian melalui peta geologi;
c. Melakukan deliniasi satuan-satuan morologi yang berbeda-beda atas
dasar perbedaan pola dan kerapatan kontur, pola aliran, pola
penggunaan lahan, dan apabila diperlukan analisis toponimi. Deliniasi
dilakukan secara step-wise dimulai dari satuan morfologi utama dan
diteruskan ke satuan-satuan morfologi yang lebih rinci.
d. Membuat tabel yang berisi mengenai legenda satuan-satuan morfologi
yang telah dibuat. Tabel berisi informasi mengenai morfologi,
morfogenesis, litologi, morfokronologi (stadia proses), dan
morfoaransemen.

2. Pemetaan Satuan Lahan


a. Membuat peta satuan bentuklahan (misal. Untuk daerah gunungapi (V1,
V2, V3, V4, dst)
b. Membuat peta lereng dari peta kontur (misal. Untuk kelas lereng Klas I, II,
III, dst).
c. Melakukan interpretasi peta tanah dari peta tanah semi detail (misal.
(Typic Hapluderts (TH), Andic Hapludalfs (AH), dst)
d. Melakukan interpretasi peta penggunaan lahan dari peta RBI (misal.
(Sawah Irigasi (SI), Tegalan (Tg), dst)
e. Melakukan overlay dari peta satuan bentuklahan, peta lereng, peta tanah,
dan peta penggunaan lahan untuk menghasilkan peta satuan lahan
(catatan: skala peta yang digunakan untuk melakukan penentuan satuan
lahan harus sama).

Puncak Gunung Api (V1) Klas lereng VI

V1.VI.LU.TB

Tanah Lithic Usthortents Penggunaan Lahan Tanah


Berbatu

Gambar 1. Penamaan satuan lahan berdaasarkan hasil tumpang tindih peta-peta dasar

f. Mengidentifikasi hasil overlay untuk memberi nama pada setiap satuan


unit lahan.

VII. Daftar Pustaka


FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil
Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome
Mardiyanah, 2005. Evaluasi Kemampuan Lahan Wilayah Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Pekalongan. Survei dan Pemetaan Wilayah
Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Schmidt, J. and Preston, N. 2003. Towards Quantitative Modelling of Landform
Evolution through Frequency and Magnitude of Processes: A Model
Conception. Concept and Modelling in Geomorphology: International
Perpectives, pp. 115-129. Tokyo: TERRAPUB
Thornbury, W.D. 1958. Principle of Geomorphology. London: John Wiley and
sons Inc
MODUL II

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN

I. Judul

Evaluasi Kemampuan Lahan

II. Tujuan
1. Mahasiswa mampu melakukan penilaian kemampuan lahan.
2. Mahasiswa mampu menilai penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan
lahannya.

III. Alat dan Bahan


1. Peta bentuklahan
2. Peta tanah
3. Peta penggunaan lahan
4. Peta admin
5. Peta kontur
6. Kelas bobot parameter-parameter kemampuan lahan (Tekstur, Drainase
permukaan, Ancaman banjir, Salinitas, Kedalaman Batuan, Lereng, Batuan dan
Kerikil, Permeabilitas,Kepekaan Erosi, Keruskan Bencana Erosi)
7. Tabel Kelas Kemampuan Lahan.

IV. Tinjauan Pustaka

1. Evaluasi Kemampuan Lahan


Evaluasi kemampuan lahan merupakan salah satu upaya untuk
memanfaatkan lahan (sumberdaya lahan) sesuai dengan potensinya. Penilaian
potensi lahan sangat diperlukan terutama dalam rangka penyusunan kebijakan,
pemanfaatan lahan dan pengelolaan lahan secara berkesinambungan. Untuk
menyusun kebijakan tersebut sangat diperlukan peta-peta yang salah satunya
adalah peta kemampuan lahan. Analisis dan evaluasi kemampuan lahan dapat
mendukung proses dalampenyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah
yang disusun dengan cepat dan tepat sebagai dasar pijakan dalam mengatasi
benturan pemanfaatan penggunaan lahan/sumberdaya alam. (Suratman dkk, 1993).
Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses
perencanaan penggunaan lahan (landuse planning) (FAO, 1976 dalam Arsyad,
2006:264). Brinkman dan Smyth (1973 dalam Arsyad, 2006) mendefinisikan
evaluasi lahan sebagai proses penelaahan dan interpretasi data dasar tanah,
vegetasi, iklim dan komponen lahan lainnya agar dapat mengidentifikasikan dan
membuat perbandingan pertama antara berbagai alternatif penggunaan lahan dalam
term sosio-ekonomi yang sederhana. Hasil evaluasi lahan memberikan alternatif
penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya serta tindakan-
tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat dipergunakan secara lestari
sesuai dengan hambatan atau ancaman yang ada.

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk
tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji
(Sofyan dkk, 2007). Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau
arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Evaluasi lahan merupakan
kelanjutan dari kegiatan pemetaan sumberdaya lahan, karena data hasil survei dan
pemetaan sumberdaya lahan masih sulit digunakan oleh pengguna untuk suatu
perencanaan tanpa dilakukan kajiannya bagi keperluan tertentu. Kegunaannya
untuk berbagai tingkat perencanaan ditentukan oleh tingkat pengamatan atau tingkat
survei sumberdaya lahan.

2. Penentuan Faktor Pembatas

Faktor Pembatas adalah sifat-sifat atau perilaku lahan yang menjadi


penghambat bagi lahan untuk peuntukkan tertentu. Arsyad (1989), mengemukakan
bahwa faktor tanah dan lahan yang digunakan sebagai faktor pembatas antara lain :

a. Iklim
Komponen iklim yang paling mempengaruhi lahan adalah temperatur dan
curah hujan. Temperatur akan mempengaruhi karakteristik tumbuh tanaman dan
juga pada perencanaan pada bidang non-pertanian. Air akan tersedia banyak bila
pada daerah yang mempunyai iklim basah dan curah hujan akan terbatas pada
daerah yang agak basah, agak kering, dan kering.

Namun, dalam pelaksanaan penentuan kemampuan lahan ataupun evaluasi


lahan iklim dianggap sebagai faktor yang sangat permanen dan tidak dapat diubah,
sehingga dalam pelaksanaannya, faktor iklim tidak digunakan.

b. Lereng, Ancaman Erosi, dan Erosi yang Telah Terjadi

Peruntukkan lahan sangat terkait dengan kerusakan tanah oleh erosi dan
faktor lereng adalah faktor yang paling berpengaruh besarnya erosi dan aliran
permukaan. Klasifikasi kecuraman lereng, kepekaan erosi, dan kepekaan erosi
dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Tabel 1 Tabel Klasifikasi Kemiringan Lereng untuk Kemampuan Lahan


Kemiringan Lereng Keterangan Kelas
0-3 Datar A
3-8 Berombak B
8-15 Bergelombang C
15-30 Berbukit D
30-45 Agak curam E
45-65 Curam F
> 65 Sangat Curam G
(Sumber : Arsyad, 1989)

Tabel 2 Tabel Klasifikasi Kepekaan Erosi untuk Kemampuan Lahan


Kepekaan Erosi Keterangan Kelas
0-0.1 Sangat Rendah KE1
0.11-0.2 Rendah KE2
0.21-0.32 Sedang KE3
0.33-0.43 Agak Tinggi KE4
0.44-0.55 Tinggi KE5
0.56-0.64 Sangat Tinggi KE6
(Sumber : Arsyad, 1989)

Tabel 3 Tabel Klasifikasi Kerusakan Erosi untuk Kemampuan Lahan


Kerusakan Erosi Keterangan Kelas
- Tidak ada erosi e0
< 25% lapisan atas hilang Ringan e1
25-75% lapisan atas hilang Sedang e2
> 75% lapisan atas hilang; < 25% lapisan bawah hilang Agak berat e3
> 25% lapisan bawah hilang Berat e4
erosi parit Sangat Berat e5
(Sumber : Arsyad, 1989)
c. Kedalaman Tanah

Kedalaman Tanah yang digunakan dalam faktor pembatas terhadap


kemampuan lahan adalah kedalaman tanah efektif, yaitu kedalaman tanah yang
baik bagi pertumbuhan akar tanaman, sampai pada lapisan akar tanaman (Arsyad,
1989)

Tabel 4 Tabel Klasifikasi Kedalaman Tanah untuk Kemampuan Lahan


Kedalaman Efektif Keterangan Kelas
> 90 cm Dalam k0
90-50 cm Sedang k1
50-25 cm Dangakal k2
> 25 cm Sangat dangkal k3
(Sumber : Arsyad, 1989)

d. Tekstur Tanah
Tekstur tanah berpengaruh terhadap kapasitas tanah menahan air dan
permeabilitas tanah, serta sifat fisik dan kimia tanah yang lain (Arsyad, 1989).

Tabel 5 Tabel Klasifikasi Tekstur Tanah untuk Kemampuan Lahan


Tekstur Keterangan Kelas
Lempung berpasir, lempung berdebu, dan lempung Halus t1
Geluh lempung berpasir, geluh berlempung, geluh lempung
Agak Halus t2
berdebu
Geluh, geluh berdebu, debu Sedang t3
Geluh berpasir, Geluh berpasir halus, geluh berpasir sangat halus Agak Kasar t4
Pasir bergeluh, pasir Kasar t5
(Sumber : Arsyad, 1989)

e. Permeabilitas
Tabel 6 Tabel Klasifikasi Permeabilitas Tanah untuk Kemampuan Lahan
Permeabilitas Keterangan Kelas
< 0.5 cm/jam Lambat P1
0.5-2 cm/jam Agak lambat P2
2-6.25 cm/jam Sedang P3
6.25-12.5 cm/jam Agak Cepat P4
> 12.5 cm/jam Cepat P5
(Sumber : Arsyad, 1989)
f. Drainase
Tabel 7 Tabel Klasifikasi Drainase Tanah untuk Kemampuan Lahan
Drainase Keterangan Kelas
Air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan
Berlebihan d0
oleh tanah sehingga tanaman akan segera kekurangan air

Lahan selalu kering, tidak pernah tergenang Sangat baik d1


Daerah dengan drainase baik, sekalipun turun hujan tanpa
Baik d2
penggenangan
Daerah dengan drainase agak baik, dengan sedikit terpengaruh oleh
Sedang d3
air tanah dangkal dan banjir
Daerah dengan sedikit masalah drainase, tergenang sementara
Jelek d4
setelah hujan atau naiknya air tanah
Terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu
yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman (daerah Sangat Jelek d5
selalu tergenang)
(Sumber : Arsyad, 1989)

g. Batuan dan Kerikil


Bahan kasar yang terdapat pada kedalaman 20 cm (lapisan atas tanah)
dibedakan menjadi kerikil (diameter butir 12 mm – 7.5 cm) dan batuan kecil
(diameter butir 7.5 cm – 25 cm).
Tabel 8 Tabel Klasifikasi Persebaran Bahan Kasar Kerikil dan Batuan Kecil
Bahan Kasar Kerikil dan Batuan
Keterangan Kelas
Kecil
0-15% volume tanah Sedikit b0
15-50% volume tanah Sedang b1
50-90% volume tanah Banyak b2
> 90% volume tanah Sangat Banyak b3
(Sumber : Arsyad, 1989)

Batuan di atas permukaan tanah dapat dibedakan menjadi batuan lepas,


yaitu batuan yang ada di permukaan tanah (diameter butir > 25 cm) dan batuan
tersingkap, yaitu batuan yang tersingkap pada permukaan tanah yang merupakan
bagian dari batuan besar yang terbenam.

Tabel 9 Tabel Klasifikasi Persebaran Batuan Lepas dan Batuan Tersingkap


Persebaran batuan
Keterangan Kelas
Batuan Lepas Batuan Tersingkap (Rock)
< 0.01% luas areal < 2% permukaan tanah tertutup Tidak ada b0
0.01-3% areal tertutup 2-10% permukaan tanah tertutup Sedikit b1
3-5% areal tertutup 10-50% permukaan tanah tertutup Sedang b2
15-90% areal tertutup 50-90% permukaan tanah tertutup Banyak b3
> 90% areal tertutup > 90% permukaan tanah tertutup Sangat Banyak b4
(Sumber : Arsyad, 1989)

h. Ancaman Banjir
Tabel 10 Tabel Klasifikasi Ancaman Banjir
Banjir Keterangan Kelas
Dalam periode 1 tahun, tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu
Tidak Pernah O0
lebih dari 24 jam

Banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur
Jarang O1
dalam periode kurang dari satu bulan

Selama waktu satu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur Kadang-
O2
tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam kadang

Selam waktu 2-5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda
Sering O3
banjir yang lamanya lebih dari 24 jam

Selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara Sangat
O4
teratur yang lamanya lebih dari 24 jam sering

(Sumber : Arsyad, 1989)

i. Salinitas
Salinitas merupakan kandungan garam larut atau hambatan listrik ekstrak
dalam tanah.

Tabel 11 Tabel Klasifikasi Salinitas Tanah

Salinitas Keterangan Kelas


0-0.15% garam larut; 0-4 mmhos/cm 25°C Bebas g0
0.15-0.35% garam larut; 4-8 mmhos/cm 25°C Terpengaruh sedikit g1
0-35-0.65% garam larut; 8-15 mmhos/cm 25°C Terpengaruh Sedang g2
> 0.65 garam larut; > 15 mmhos/cm 25°C Terpengaruh hebat g3
(Sumber : Arsyad, 1989)
3. Penentuan Kelas Kemampuan Lahan
Berdasarkan faktor-faktor pembatas yang berupa sifat-sifat dan karakteristik
lahan, maka dapat dibuat suatu pengelompokkan kemampuan lahan. Klasifikasi
yang digunakan adalah klasifikasi yang digunakan oleh Hockensmith dan Steele
(1943) dan Klingbiel dan Montgomery (1973). Klasifikasi pada kemampuan lahan
dibedakan menjadi tiga kategori utama, yaitu Kelas, Sub-Kelas, dan Satuan
Kemampuan atau Pengelolaan.

Kategori Kelas mendasarkan pada faktor-faktor pembatas yang merupakan


sifat dan karakteristik lahan. Dalam kategori ini dibedakan menjadi 8 kelas (I-VIII).
Pengelompokkan dalam Sub-Kelas mendasarkan pada jenis faktor penghambat
(misal : e, untuk faktor penghambat erosi; t, untuk faktor penghambat tanah; dsb).
Untuk satuan pengelolaan menghubungkan antara satuan kemampuan tanah dan
pengelolaan lahan yang akan dilakukan. Secara grafis, hubungan antara klasifikasi
kemampuan lahan dan pilihan pengelolaan atau penggunaan lahan yang akan dapat
digunakan disajikan dalam gambar di bawah ini :

Gambar 1. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan

Intensitas dan Pilihan Penggunaan Lahan

Kelas
Cagar Hutan Penggem Penggem Pengge Garapan Garapan Garapan Garapan
Kemampuan
Alam / Produksi balaan balaan mbalaan Terbatas Sedang Intensif Sangat
Lahan
Hutan Terbatas Terbatas Sedang Intensif Intensif
Lindung
Kesesuaian dan Pilihan Penggunaan

I
Hambatan/ Ancaman Meningkat,

II

III
Berkurang

IV

V
VI
VII

VIII
(Sumber : Brady, 1974 dalam Arsyad, 1989)

Berdasarkan cara klasifikasi Kemampuan Lahan, maka dapat dibuat matriks


untuk melakukan klasifikasi kemampuan lahan.
Tabel 12 Tabel Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kelas Kemampuan Lahan


Faktor Penghambat
I II III IV V VI VII VIII
Lereng Permukaan A B C D A E F G
Kepekaan Erosi KE1,KE2 KE3 KE4,KE5 KE6 * * * *
Tingkat Erosi e0 e1 e2 e3 * e4 e5 *
Kedalaman Tanah k0 k1 k2 k2 * k3 * *
Tekstur Lapisan Atas t1,t2,t3 t1,t2,t3 t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 * t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 t5
Tekstur Lapisan Bawah sda Sda sda Sda * sda sda t5
Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3 P2,P3 P1 * * P5
Drainase d1 d2 d3 d4 d5 ** ** d0
Kerikil/ batuan b0 b0 b1 b2 b3 * * b4
Ancaman Banjir O0 O1 O2 O3 O4 ** ** *
Garam/ salinitas (***) g0 g1 g2 g3 ** g3 * *
(Sumber: Arsyad, 1989)

V. Langkah Kerja

Evaluasi Kemampuan Lahan

bentuk lahan Satuan


lereng unit lahan

litologi
tanah Parameter
kemampuan
tingkat erosi
lahan
kedalaman tanah
Metode Matching Metode Scoring
permeabilitas
Pembobotan
banjir Metode Aritmatik Penskoran
drainase Metode Weight Pengharkatan
kepekaan erosi Factor
Metode Subyektif Kelas Interval

Kelas Kemampuan Lahan


VI. Hasil Luaran
1. Peta Kelas Kemampuan Lahan metode Aritmatik
2. Peta Kelas Kemampuan Lahan metode Matching
3. Peta Kelas Kemampuan Lahan metode Weight
4. Peta Kelas Kemampuan Lahan metode Subyektif

VII. Daftar Pustaka


FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil
Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome

Sitorus, S.R.P. (1985). Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung : Tarsito.

Mangunsukardjo, K. (1985). Pemanfaatan Penelitian Sumberdaya Lahan.


Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
MODUL III

KESESUAIAN LAHAN

I. Judul

Kesesuaian Lahan untuk Pertanian dan Non-Pertanian

II. Tujuan

Mahasiswa mampu melakukan penaksiran dan pengelompokkan suatu wilayah


menjadi bagian-bagian lahan menurut tingkat kecocokanya apabila dipergunakan
untuk maksud tertentu.

III. Alat dan Bahan


1. Seperangkat komputer dengan software microsoft office
2. Seperangkat software GIS (Arc View, Arc GIS, ILWIS,dsb.)
3. Peta satuanlahan tentatif beserta atribut petanya (skala menyesuaikan luas area
kajian)
4. Tabel kesesuaian lahan untuk pertanian (terlampir)
5. Tabel kesesuaian lahan untuk non pertanian (terlampir)

IV. Tinjauan Pustaka

1. Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan


untuk suatu penggunaan lahan tertentu (Sitorus, 1985). Kesesuaian lahan
dibedakan menjadi kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial.
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat pengevaluasian dan belum
dilakukan upaya perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan
yang telah dilakukan usaha perbaikan (Mangunsukardjo, 1985). FAO (1976)
membagi tingkat kesesuaian lahan menjadi empat kategori :

 Ordo : keadaan kesesuaian secara global.


 Kelas : keadaan tingkatan kesesuaian dalam ordo.
 Sub-kelas : keadaan tingkatan dalam kelas didasarkan pada jenis atau
macam perbaikan yang harus diberikan.
 Satuan : keadaan tingkatan sub-kelas didasarkan pada sifat tambahan
yang berpengaruh dalam pengelolaan lahan/sumberdaya alam.
(Suratman dkk, 1993).

2. Kelas Kesesuaian Lahan

Kesesuaiaan lahan pada tingkat Ordo dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :


a. Ordo S (sesuai) : lahan yang termasuk Ordo ini ialah lahan yang dapat
sesuai digunakan secara berkesinambungan untuk suatu tujuan yang telah
dipertimbangkan. Tanpa ada sedikit resiko kerusakan sumberdaya lahannya.
Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan ini akan memuaskan setelah
ditambah dengan masukan yang diberikan.
b. Ordo N (tidak sesuai) : lahan yang termasuk Ordo ini mempunyai
penghambat sedemikian rupa sehingga mencegah kegunaannya untuk
tujuan lestari yang telah direncanakan. Kelas kesesuaian lahan adalah
pembagian lebih lanjut dari Ordo dan menggambarkan tingkat-tingkat
kesesuaian Ordo. Kelas ini dalam simbolnya diberi nomor urut yang ditulis
dibelakang simbol Ordo, dimana nomor urut ini menunjukan tingkatan kelas
yang menurun dalam satu Ordo.

FAO (1976) menggunakan tiga kelas dalam Ordo S dan dua kelas dalam
Ordo N. Orde S memiliki 2 kelas, antara lain :
a. Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable) yaitu lahan tidak mempunyai
pembatas yang berat atau kurang berarti untuk suatu pengunaan yang
lestari.
b. Kelas S2 : cukup sesuai (moderately suitable) yaitu lahan mempunyai
pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari sehingga dapat
mempengaruhi produktivitas lahan.
c. Kelas S3 : hampir sesuai (marginally suitable) yaitu lahan yang mempunyai
faktor pembatas yang sangat berat atau serius untuk suatu penggunaan
tertentu yang lestari.

Orde N memiliki 2 kelas, antara lain :


a. Kelas N1 : tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable) karena faktor
pembatas yang lebih berat sekali, tetapi masih mungkin diatasi. Diperlukan
usaha perbaikan yang sangat besar sehingga tidak ekonomis.
b. Kelas N2 : tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable), lahan
mempunyai pembatas permanen untuk mencegah segala kemungkinan
penggunaan keberlangsungan pada lahan tersebut.

Kesesuaian lahan tingkat sub-kelas telah mencerminkan jenis pembatas atau


macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas dapat dipecah
menjadi satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis
faktor pembatas ini ditunjukan oleh simbol huruf kecil yang ditaruh setelah simbol
kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai faktor pembatas bahaya erosi (e) akan
menurunkan sub-kelas S2e. Faktor pembatas lebih dari satu maka dalam
penulisannnya faktor pembatas yang lebih dominan diletakan paling depan.
Pemberian simbol kesesuaian lahan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Simbol kesesuaian lahan.

V. Langkah Kerja
Kesesuaian Lahan Pertanian

a. Menentukan tanaman pertanian yang akan dikaji, dalam hal ini sebagai
contoh adalah tanaman padi sawah, jagung, dan ketela pohon.
b. Membuat tabel yang berisi atribut satuanlahan sebagai tahap awal dalam
klasifikasi kesesuaian lahan.
c. Mengklasifikasikan data-data atribut satuanlahan yang ada dengan tabel
penggolongan kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing tanaman
pertanian. Dalam hal ini bisa menggunakan salah satu dari metode matching
menggunakan metode subjective matching atau weight factor matching.
d. Mengelompokkan masing-masing satuanlahan sesuai dengan tingkat
kesesuaianya terhadap maksud peruntukan sampai faktor penghambat yang
paling dominan.
e. Menganalisis dan menyajikan hasil dari klasifikasi kesesuaian lahan kedalam
bentuk peta, grafik, dan tabel.
f. Melakukan kajian dan pembahasan.

Kesesuaian Lahan Non-Pertanian

a. Menentukan tujuan dari klasifikasi lahan untuk non pertanian dalam hal ini
misalnya untuk tempat tinggal dan jalan.
b. Membuat tabel yang berisi atribut satuanlahan sebagai tahap awal dalam
klasifikasi kesesuaian lahan untuk non pertanian.
c. Mengklasifikasikan data-data atribut satuanlahan yang ada dengan tabel
penggolongan kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing kesesuaian
tempat tinggal dan jalan. Dalam hal ini bisa menggunakan salah satu dari
metode matching menggunakan metode subjective matching atau weight
factor matching.
d. Mengelompokkan masing-masing satuanlahan sesuai dengan tingkat
kesesuaianya terhadap maksud peruntukan sampai dengna faktor
penghambat yang paling dominan.
e. Menganalisis dan menyajikan hasil dari klasifikasi kesesuaian lahan kedalam
bentuk peta, grafik, dan tabel.
f. Melakukan kajian dan pembahasan.

VI. Hasil Luaran


1. Peta Kelas Kesesuaian Lahan metode Aritmatik
2. Peta Kelas Kesesuaian Lahan metode Matching
3. Peta Kelas Kesesuaian Lahan metode Weight
4. Peta Kelas Kesesuaian Lahan metode Subyektif
VII. Daftar Pustaka
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil
Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome

Sitorus, S.R.P. (1985). Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung : Tarsito.

Mangunsukardjo, K. (1985). Pemanfaatan Penelitian Sumberdaya Lahan.


Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Lampiran :

Tabel Penggolongan Kelas Kesesuaian Lahan Padi Sawah


Karakteristik Lahan dalam Kelas Kesesuaian Lahan
kelompok kualitas lahan S1 S2 S3 N1 N2
t-pengaruh temperature
1.temperatur tahunan rata-rata 25-29 30-32 33-35 35-40 >40
(⁰C) 24-22 21-22 <18
c-iklim B2,B3,C2 A1,A2,B1,C1 C3,C4,D1,D2, D4,E1,E2 E3,E4
1. Zone agroklimat D3
r-kondisi perakaran
1.kelas drainase Agak jelek Sgt jelek Baik Agak Cepat
Tanah sedang Jelek cepat
2.kelas tekstur tanah Geluh lempung Geluh, geluh Pasir Berkerikil
(permukaan) berpasir, geluh berpasir, geluh bergeluh, Pasir
berdebu, debu, lempung berdebu, lempung
geluh lempung berdebu, massif
berlempung lempung <10
3.kedalaman perakaran (cm) > 50 41-50 20-40
20-10
f- daya menahan unsure hara
1.KPK me/100 g tanah (subsoil)
2.pH tanah (permukaan) ≥ sedang Rendah Sangat rendah - -
8,1-8,5
5, 5-7,0 7,1-8,0 4,4-4,0 8,5 -
5,4-4,5 4,0
n-ketersediaan unsur hara
1.N total % (permukaan)
2.Ketersediaan P2O5 sedang Rendah Sangat rendah - -
3.Ketersediaan K2O (permukaan) Sangat tinggi Tinggi Sedang- Sangat -
≥ sedang rendah rendah rendah -
Sangat rendah -
x-keracunan
1.Salinitas (EC/DHL-mmhos/cm) ≤ 3,0 3,1 – 5,0 5,1- 8,0 ≥ 8,0 -
s-medan
1.Lereng (%) 0-3 3-5 5-8 8-15 >15
2.Batu-batu di permukaan (%) 0-5 5-10 10-25 25-50 >50
3.Singkapan batuan (%)
0 0-5 5-25 25-50 >50
Sumber : - Centre for Soil Research, Bogor/ FAO Staff (1983)
- Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta (1987)
Tabel Penggolongan Kelas Kesesuaian Lahan Ketela Pohon
Karakteristik lahan dalam Kelompok kesesuaian lahan
Kualitas Lahan S1 S2 S3 N1 N2
suhu udara (t) 22-28 29-30 31-35 >35 -
suhu udara rata-rata tahunan º C 21-20 21-20 <18 -
ketersediaan air (w0
Jumlah bulan kering (ch 75 mm) 2_4 4,1 - 6,0 6,1-7,0 >7 -
rata-rata jmlh curah hujan tahunan(mm) 1000-2000 2000-4000 > 4000 750-
1000-750 500 - -
kondisi perakaran ®
kelas drainase tanah b ab;ac ath;c sth;th
tekstur tanah (atas) pasir, kerikil
geluh, geluh
bergeluh,
lempung
geluh berpasir, pasir, lempung
berpasir, geluh
geluh lempung berdebu,
berdebu, debu,
berpasir, lempung
geluh
lempung
berlempung
berpasir -
kedalaman efektif (cm) > 100 75-99 50-74 20-56 < 20
Retensi hara (f)
sangat tinggi-
KTK lapisan atas me/100 gr tanah sdg Rendah sangat rendah
6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5
PH lapisan atas 5,5-6,5 5,4-5,0 4,9-4,0 < 4,0 -
Ketersediaan hara (n)
sangat tinggi-
N total lapisan atas sdg Rendah sangat rendah - -
sangat tinggi- rendah-sgt
P2o5 tersedia, lap atas tinggi Sedang rendah - -
sangat tinggi-
K2o tersedia, lap atas sdg Rendah sangat rendah - -
Toksisitas (x)
salinitas lapisan bawah (%) <2 2_3 3_6 >6 -
Medan (%)
Lereng 0-5 5_8 8_16 16-30 > 30
sgt
batuan permukaan tidak ada Sedikit sedang banyak banyak
sgt
singkapan batuan tidak ada Sedikit sedang banyak banyak
Tabel Penggolongan Kelas Kesesuaian Lahan Jagung
Karakteristik Lahan dalam Kesesuaian lahan
Kelompok Kualitas Lahan S1 S2 S3 N1 N2
suhu udara (t) 20-26 27-30 31-32 33-35 > 35
1. suhu udara rata-rata
tahunan © 20-18 < 18
iklim (c) C2,C3 A2,B2 A1,B1,C1 D4,E2 E4
1.zone agroklimat D2,D3 B3 D1,E1 E3
kondisi perakaran (r)
baik-sedang jelek agak sangat jelek,
1.kelas drainase tanah agak jelek
baik cepat cepat
2.tekstur tanah (permukaan) geluh lempung
berpasir, geluh
geluh
berdebu, pasir bergeluh, pasir,
berpasir, pasir
geluh lempung lempung
lempung berkerikil
berlempung, berdebu, masif
berpasir
geluh lempung lempung
berdebu berstruktur
3.kedalaman efektif (cm) > 60 40 - 60 20 - 69 20_10 < 10
Retensi hara (f)
1.KTK lapisan atas me/100
gr tanah ≥ sedang rendah sangat rendah - -
7,1 - 7,5 7 ,6 - 8,0 8,0 - 8,5
2.PH lapisan atas 6, 0 - 7, 0 > 8,0
5,9 , 5,5 5,4 - 5,0 < 5,0
Ketersediaan hara (n)
1.N total lapisan atas ≥ sedang rendah sangat rendah - -
sedang-
2.P2o5 tersedia, lap atas sangat tinggi tinggi rendah sangat
sangat rendah rendah -
3.K2o tersedia, lap atas > sedang rendah sangat rendah - -
Toksisitas (x)
1.salinitas lapisan bawah
(%) <2 2 -4 4_8 >8
medan (s)
1.lereng 0 -5 5_15 15-20 20-35 > 35
2.batuan permukaan 0-5 5_10 10_25 25-50 > 50
3.singkapan batuan 0 0-5 5_25 25-50 > 50
Tabel Penggolongan Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman
Tingkat Pembatas
Sifat Lahan
Sedikit Sedang Banyak
Drainase
a. Dengan ruang bawah tanah Baik-Sangat Baik Sedang Agak buruk-sangat buruk
b. Tanpa ruang bawah tanah Sedang-sangat baik Agak buruk Buruk-sangat buruk
Muka air tanah musiman
a. Dengan ruang bawah tanah > 150 cm > 75 cm < 75 cm
b. Tanpa ruang bawah tanah > 75 cm > 50 cm < 50 cm
Banjir Tanpa Tanpa Jarang – sering
Lereng 0–8% 8 – 15 % > 15 %
Kembang kerut Rendah Sedang Tinggi
GW, GP, SP, SM, SC,
Ukuran butir (unified) ML, CL, IP ≥15 CH, MH, OI, OH
CI, IP < 15
Batu
Agak banyak – sangat
a. Stone Tanpa-sedikit Sedang
banyak
b. Boulder Tanpa Sedikit Sedang – sangat banyak
Kedalaman Batu
a. Dengan ruang bawah tanah > 150 cm 100 – 150 cm < 100 cm
b. Tanpa ruang bawah tanah > 100 cm 50 – 100 cm < 50 cm
(Bridges, 1982)
Tabel Penggolongan Kelas Kesesuaian Lahan Jalan
Kelas Kesesuaian
Karakteristik Lahan
Baik Sedang Buruk
Drainase Baik – agak baik Agak buruk Jelek – sangat jelek
Banjir Tanpa < 1x /5 th > 1x /5th
Kemiringan Lereng 0–8% 8 – 15 % < 50 cm
Kedalaman
> 100 cm 50 – 100 cm
Komponen Batuan
Ukuran Butir
AAHSO 0–4 5–8 >8
GW, GP, SW, SP, GM, CI dgn IP ≥15, CH, MH, OH,
Unified CI, IP < 15
GC, SM, SC OL, Pt
Kembang kerut Rendah Sedang Tinggi
Batu 0–3% 3 – 15 % > 15 %
Boulder 0 – 0,01 % 0,01 – 0,1 % > 0,1 %
(Bridges, 1982)
MODUL IV

TEKNIK MATCHING DAN SKORING

I. Judul

Teknik Matching dan Skoring

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat membuat peta indeks kekeringan. Mahasiswa mampu
melakukan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dengan beberapa
teknik matching ( Aritmetic, weighted factor, dan subjective matching)

2. Mahasiswa mampu melakukan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan


dengan menggunakan teknik skoring

III. Alat dan Bahan


1. Peta satuan lahan daerah penelitian
2. Deskripsi masing-masing satuan lahan yang terdiri dari sejumlah faktor
pembatas kemampuan dan kesesuaian lahan (lereng permukaan, kepekaan
erosi, salinitas, kedalaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas, drainase,
ancaman banjir, dsb.)

IV. Tinjauan Pustaka


Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan kedalam satuan
khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang
diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus ( Soil Conservation Service
of America, 1982). Salah satu sistem klasifikasi kemampuan lahan telah dilakukan
oleh USDA dengan membagi lahan kedalam sejumlah kecil kategori yang dirunut
menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, dari tingkat kateogi tertinggi ke kategori terendah mulai dari
kelas, sub-kelas, hingga satuan pengelolaan. Kelas merupakan tingkat tetinggi yang
bersifat luas dalam struktur kalsifikasi.Kelas kemampuan lahan dibagi dalam 8 kelas
yang diberi nomor I sampai dengan VIII. Sub-kelas menunjukan jenis faktor
penghambat yang terdapat didalam tiap kelas. Terdapat 3 macam faktor
penghambat meliputi bahaya erosi (e), kelembaban atau wetness (w), penghambat
tanah di daerah perakaran (s), dan iklim (c). Sub-kelas ditandai dengan penggunaan
huruf kecil yang ditempatkan setelah nomor kelas, seperti IIe, IVw, dan sebagainya.
Satuan pengelolaan merupakan pengelompokan tanah yang mempunyai respon
yang sama terhadap sistem pengelolaan tertentu (Sitorus, 1985).
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini
(kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan
potensial) (FAO, 1976). Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO
(1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas
dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo,
kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan
lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian
dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, kesesuaian lahan dibagi menjadi 5 kelas
terdiri dari S1, S2, S3, N1, dan N2. Sub-kelas menunjukan jenis pembatas atau
macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas, sedangkan satuan kesesuaian
lahan menunjukan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan
di tiap sub-kelas.(Sitorus, 1985)

V. Langkah Kerja
Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan dengan Teknik Matching

Klasifikasi kemampuan lahan dilakukan dengan cara matching merupakan


teknik klasifikasi dengan membandingkan antara karakteristik satuan lahan dengan
kriteria kelas kemampuan lahan (Senawi, 2006). Terdapat tiga metode matching,
yaitu aritmetic matching, weighted factor matching, dan subjective matching.
1. Aritmetic Matching
Arithmatic matching merupakan teknik matching dengan mempertimbangkan
faktor yang dominan sebagai penentu kelas kemampuan lahan. Adapun
klasifikasi kemampuan lahan dengan aritmetic matching dilakukan dengan
langkah sebagai berikut:

a. Siapkan data faktor-faktor pembatas kemampuan lahan untuk masing-


masing satuan lahan.
b. Klasifikasikan masing-masing faktor pembatas berdasarkan modul pada
acara sebelumnya.

Faktor Pembatas Klasifikasi


Lereng Permukaan 30%-45% F
Kepekaan erosi Tinggi KE5
Tingkat Erosi Sangat Berat E5
Kedalaman tanah Dangkal K2
Tekstur tanah atas Halus T5
Tekstur tanah bawah Halus T5
Permeabilitas Cepat P5
Drainase Berlebihan D0
Kerikil/batuan Sedang B1
Ancaman Banjir Tidak Pernah O0
Sangat
Salinitas Rendah G0

c. Berdasarkan faktor pembatasnya, klasifikasikan kelas kemampuan lahan


tiap satuan lahan, salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan
tabel berikut:
d. Masukkan tiap-tiap faktor pembatas kedalam tiap kelas kemampuan
lahan.

e. Tentukan kelas denan faktor pembatas yang dominan pada masing


masing satuan lahan
f. Tentukan jenis faktor pembatas, apakah tergolong bahaya erosi (e),
kelembaban (w), penghambat tanah di daerah perakaran (s), ataukah
iklim (c).

2. Weighted Factor Matching


Weight factor matching merupakan teknik matching untuk mendapatkan
faktor pembatas yang paling berat dan kelas kemampuan lahan. Adapun
klasifikasi kemampuan lahan denganweighted factor matching dilakukan
dengan langkah sebagai berikut:

a. Siapkan data faktor-faktor pembatas kemampuan lahan untuk masing-


masing satuan lahan.
b. Lakukan klasifikasi masing-masing faktor pembatas seperti dengan
langkah pada aritmatic matching
c. Tentukan faktor pembatas yang paling berat dari keseluruhan faktor
pembatas yang ada.

g. Tentukan jenis faktor pembatas, apakah tergolong bahaya erosi (e),


kelembaban (w), penghambat tanah di daerah perakaran (s), ataukah
iklim (c).

3. Subjective Matching
Subjective matching merupakan teknik matching yang didasarkan pada
subyektivitas peneliti. Hasil pada teknik subjective matching sangat
tergantung pada pengetahuan dan pengalaman peneliti. Adapun klasifikasi
kemampuan lahan dengan subjective matching dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:

a. Amati kembali tabel hasil analisis aritmetic matching dan weighted factor
matching.

b. Berdasarkan pengamatan Anda, manakah sekiranya kelas kemampuan


yang sesuai berdasarkan faktor-faktor pembatas pada satuan lahan
tersebut? kemukakan alasannya.

Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan dengan Teknik Skoring

Teknik skoring merupakan metode pemberian skor / harkat terhadap masing-


masing value parameter lahan untuk menentukan tingkat kemampuan lahannya.
Adapun klasifikasi kemampuan lahan dengan skoring dapat dilakukan dengan
langkah sebagai berikut:

1. Siapkan data faktor-faktor pembatas kemampuan lahan untuk masing-


masing satuan lahan.
2. Berikan skor/harkat serta bobot pada masing-masing faktor pembatas.
pemberian skor/harkat dan bobot salah satunya dapat dilakukan dengan
tabel berikut ini:

3. Hitung masing-masing jumlah skor/harkat dan bobot pada tiap faktor


pembatas, kemudian jumlahkan hasilnya.
4. Klasifikasikan kelas kemampuan lahan berdasarkan jumlah harkat masing-
msaing satuan lahan. Adapun interval msaing-msaing kelas dapat dihitung
dengan rumus berikut:

VI. Hasil Luaran


1. Peta Kelas Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan Metode Aritmetik
Matching
2. Peta Kelas Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan Metode Weighted
Factor Matching
3. Peta Kelas Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan Metode Subjective
Matching
4. Peta Kelas Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan Metode Skoring
5. Peta arahan penggunaan lahan

VII. Daftar Pustaka


FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil
Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome

Sitorus, S.R.P. (1985). Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung : Tarsito.

Mangunsukardjo, K. (1985). Pemanfaatan Penelitian Sumberdaya Lahan.


Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
MODUL V

HUJAN WILAYAH DAN ANALISIS NERACA AIR

I. Judul

Hujan Wilayah dan Analisis Neraca Air

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep hujan wilayah.
2. Mahasiswa dapat menerapkan berbagai metode perhitungan hujan wilayah.
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep neraca air.
4. Mahasiswa dapat menghitung dan menganalisis neraca air.

III. Alat dan Bahan


1. Peta lokasi stasiun hujan
2. Data curah hujan bulanan berbagai stasiun
3. Data suhu udara
4. Software Microsoft Excel
5. Alat tulis
6. Alat cetak

IV. Tinjauan Pustaka

1. Hujan Wilayah

Curah hujan adalah ketebalan air hujan yang mencapai permukaan bumi
selama selang waktu tertentu (Prawirowardoyo, 1996). Curah hujan merupakan
salah satu bentuk dari prespitasi. Wisnusubroto (1986) menjelaskan bahwa
prespitasi merupakan air dalam bentuk padat maupun cair yang jatuh sampai ke
permukaan bumi.

Terjadinya curah hujan ditentukan oleh faktor pendukungnya. Terjadinya


curah hujan ini juga tidak lepas dari distribusi curah hujan baik secara gaeografis
dan distribusi menurut waktu (Imam Subarkah, 1980). Distribusi secara geografis
dipengaruhi oleh letak lintang, posisi dan luas daerah, kedekatan dari sumber air,
efek geografis, dan ketinggian serta fenomena ITCZ (Seyhan,1977). Faktor
pendukung terbentuknya curah hujan menurut Sandy (1987) terdiri atas,
kelembaban udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu, dan arah hadap
lereng.

Data hujan sangat penting dalam kepentingan perencanaan terutama yang


berkaitan dengan pekerjaan hidrologi. Curah hujan yang dibutuhkan dalam
pekerjaan tersebut adalah curah hujan rata-rata wilayah. Terdapat beberapa metode
penentuan curah hujan rata-rata wilayah pada periode waktu tertentu. Metode yang
sering digunakan adalah metode aritmatik, poligon thiessen dan isohyet.

2. Neraca Air

Kesesuaiaan lahan Dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai


hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah
untuk periode tertentu disebut neraca air (water balance). Umumnya terdapat
keseimbangan sebagai berikut :

P=D+E+G+M

Adapun :

P = presipitasi
D = debit
E = evapotranspirasi
G = penambahan (supply) airtanah
M = penambahan kadar kelembapan tanah (moisture content)

3. Neraca Air Meteorologis

Neraca air menurut fungsi meteorologist sangat diperlukan untuk


mengevaluasi ketersediaan air hujan di suatu wilayah, terutama untuk mengetahui
kapan dan seberapa besar surplus maupun defisit yang terjadi. Neraca air ini
dikembangkan oleh Thornthwaite dan Mather (1957).

Air hujan yang jatuh di permukaan tanah, sebagian menjadi lengas tanah
(soil moisture), airtanah (groundwater), dan sebagian akan menjadi aliran
permukaan (surface runoff). Persentase ketiga komponen tersebut tidak tetap
tergantung pada banyak faktor terutama jenis tanah (terutama tekstur) dan tataguna
lahan. Kemampuan tanah untuk menyimpan air (water holding capacity) dapat
diduga dengan mengadakan pengukuran langsung, sedangkan lengas tanah akan
selalu berubah tergantung pada evapotranspirasi dan curah hujan.
V. Langkah Kerja
Hujan Wilayah

1. Metode Aritmatik
Merupakan metode yang paling sederhana dan hanya sesuai untuk
kawasan-kawasan yang datar dan DAS dengan jumlah penakar hujan yang besar
yang didistribusikan secara merata pada lokasi-lokasi yang mewakili (Seyhan,
1977). Metode ini membagi rata-rata curah hujan yang ada terhadap jumlah titik
pengamatan.

Keterangan :

P = curah hujan wilayah


N = jumlah titik (pos) pengamatan
P1,P2,Pn = curah hujan pada masing-masing titik pengamatan (mm)

2. Metode Poligon Thiessen


Dalam metode ini, bisektor tegak lurus digambar melalui garis-garis lurus
yang menghubungkan penakar-penakar hujan di dekatnya, dengan meninggalkan
masing-masing penakar di tengah poligon. Metode ini (Seyhan, 1977) :
 Sesuai untuk kawasan-kawasan dengan jarak penakar-penakar hujan
yang tidak merata
 Memerlukan stasiun-stasiun did an dekat kawasan tersebut
 Penambahan atau pemindahan suatu stasiun pengamat akan mengubah
seluruh jaringan
 Tidak memperhitungkan topografi

Hujan rata-rata wilayah dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :
P = curah hujan wilayah (mm)
P1,P2,P3,…,Pn = curah hujan masing-masing stasiun pengamatan
(mm)
A1,A2,A3,…,An = luas masing-masing polygon

3. Metode Isohiet
Garis isohiet dibuat dengan cara logical contouring yaitu dnegan interpolasi
untuk menghubungkan titik-titik yang mempunyai curah hujan yang sama. Metode ini
(Seyhan, 1977) :
 Merupakan metode yang paling teliti, karena metode ini
mempertimbangkan sejumlah besar faktor-faktor seperti relief, aspek dan
lain-lain. Metode ini baik untuk kawasan bergunung.
 Memerlukan keterampilan
 Membutuhkan stasiun pengamat did an dekat kawasan tersebut.
 Terutama bermanfaat untuk curah hujan yang singkat.

Metode isohiet dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :
P = curah hujan wilayah (mm)
P1,P2,P3,…,Pn = curah hujan rata-rata pada bagian-bagian
A1,A2,A3,…,An = luas masing-masing antara garis-garis isohiet

Neraca Air

Penentuan Neraca Air dikembangkan Thornthwaite dan Mather (1957).


Perhitungan Neraca Air Meteorologis dilakukan di tiap stasiun hujan dengan batasan
Polygon Thiessen. Tahapan yang dilakukan dalam penentuan Neraca Air
Meteorologis adalah :

1. Penentuan nilai Evapotranspirasi Potensial (PE)


Thornthwaite (1957), telah mengembangkan perhitungan nilai
Evapotranspirasi Potensial (PE), persamaan yang digunakan adalah :
10.t a
EP = 1,62 ( )
I
Keterangan :
EP = evapotranspirasi potensial (cm/bln)
C = koefisien yang tergantung dengan letak lintang
t = suhu rerata bulanan (0C)
a = koefisien yang dihitung dengan rumus :
a = (675.10-9).I3 – (771.10-7).I2 + (179.10-4).I + 0,492

I = Indeks panas tahunan, yang ditentukan dengan rumus :


12
t
I=
m 1
 5)
( 1, 51

2. Penentuan nilai selisih Hujan bulanan (P) dan Evapotranspirasi Potensial


(PE) (P-PE)
3. Menghitung APWL (Accumulated Potential Water Loss)
4. Penentuan nilai Sto (Water Holding Capacity)
WHC merupakan fungsi dari tekstur tanah dan kedalaman zona perakaran,
Sto dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
Sto  Air Tersedia (mm/m) x Zona Akar (m) x Luas Wilayah

5. Penentuan nilai Soil Moisture Storage (St)


APWL ≠ 0, St = Sto.e-(APWL/Sto) dimana e = 2,178
APWL = 0, St = Sto

6. Penentuan ∆St Setiap bulan


∆St = St bulan yang bersangkutan – St bulan sebelumnya

7. Penentuan Evapotranspirasi Aktual (EA)


Evapotranspirasi Aktual (EA) merupakan gambaran laju kehilangan air yang
tidak hanya ditentukan oleh kondisi iklim tapi juga kondisi tanah dan sifat
tanaman.
Jika P>PE, maka EA = PE
Jika P<PE, maka EA = P + |∆St|

8. Penentuan nilai Surplus Air (S)


S = (P – PE) - ∆St
9. Penentuan nilai Defisit Air (D)
D = (PE – EA)

10. Penyajian dalam grafik variabel P, PE, dan EA.

VI. Hasil Luaran


1. Peta Poligon Thiessen
2. Peta Isohyet
3. Grafik Imbangan Air

VII. Daftar Pustaka


Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Bandung : Penerbit ITB.

Seyhan, Ersin. 1977. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.

Thornthwaite, C.W. & Mather, J.R.. 1955. The water balance, Laboratory of
Climatology, Publ. No. 8, Centerton NJ.
Data Hujan Data Suhu
Tiap Stasiun Tiap Stasiun

Curah Hujan Evapo- Tekstur Kedalaman


Rata-rata transpirasi Tanah Zona
Bulanan (P) Potensial (PE) Perakaran

P - PE Water
Holding
Capacity (Sto)

P – PE = 0 P – PE = (+) P – PE = (-)

APWL APWL = 0 St = Sto

APWL ≠ 0 St = Sto.e-(APWL/Sto)
Bulan Basah,

EA = PE

Bulan Kering, EA ∆St

EA = P + ∆St

Surplus Air Defisit Air GRAFIK

(P-PE)- ∆St PE-EA

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penentuan Neraca Air Meteorologis


MODUL VI

KEKERINGAN METEOROLOGIS

I. Judul

Kekeringan Meteorologis

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep kekeringan.
2. Mahasiswa dapat mencari nilai kekeringan daerah kajian.
3. Mahasiswa dapat membuat peta indeks kekeringan.

III. Alat dan Bahan


1. Data curah hujan
2. Data Suhu
3. Data-data pada Neraca Air
4. Hasil perhitungan Neraca Air
5. Software Excel
6. Alat tulis

IV. Tinjauan Pustaka


Kekeringan adalah kejadian alam yang tidak diinginkan oleh manusia.
Mulainya tidak bisa ditentukan dan kentara, keberlangsungannya membahayakan
dan membawa kehancuran. Berdasarkan curah hujan, kekeringan terjadi jika hujan
dalam 48 jam kurang dari 2,5 mm atau 15 hari tanpa hujan. Terdapat beberapa
metode untuk menghitung indeks kekeringan, tetapi salah satu yang sering
digunakan adalah metode Thornwaite-Mather.

V. Langkah Kerja
Metode Thornwaite-Mather

Thornthwaite (1985) mengembangkan penentuan kondisi kekeringan


berdasarkan indeks kelengasan (Im), indeks aridty (Ia), dan Indeks Humidty (Ih).
Metode ini menggunakan pendekatan imbangan air (neraca air) dan variabel
simpanan lengas tanah. Penentuan Indeks Kelengasan (Im) ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :
Im 
100S  60 D 
PE
Keterangan :
Im = Indeks lengas
D = Defisit
S = Surplus
PE = Evapotranspirasi Potensial

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Indeks Moisture


Kriteria Ciri
Neither Dry or Humid Im = 0
Humid Im > 0; S > 0.6 D
Dry Im < 0; S < 0.6 D

Tabel 2. Tabel Klasifikasi Moisture Province


Moisture Province Keterangan Vegetasi Indeks Moisture
A Perhumid Hutan yang rapat > 100
B4 Humid Hutan 80-100
B3 Humid Hutan 60-80
B2 Humid Hutan 40-60
B1 Humid Hutan 20-40
C2 Moist Sub Humid Padang Rumput yang Tinggi 0-20
C1 Dry Sub Humid Rumput Rendah -(20)-0
D Semi Arid Stepa -40 - (-20)
E Arid Gurun -60 - (-40)
(Thornthwaite, 1985)

Penentuan Indeks Aridty dapat ditentukan dengan persamaan :

Ia 
100D 
PE
Keterangan :
Ia = Indeks Arid
D = Defisit
PE = Evapotranspirasi Potensial
Tabel 3. Tabel Klasifikasi Ia
Sub Divisi Keterangan Ia
R Sedikit atau tidak ada defisiensi air 0-16.7
S Defisiensi air pada musim panas sedang 16.7-33.3
W Defisiensi air pada musim dingin 16.7-33.3
S2 Defisiensi air pada musim panas besar > 33.3
W2 Defisiensi pada musim dingin besar > 33.3
(Thornthwaite, 1985)

Penentuan Indeks Humiditas (Ih) dapat ditentukan dengan persamaan :

Ih 
100 S 
PE
Keterangan :
Ih = Indeks Humidity
S = Surplus
PE = Evapotranspirasi Potensial

Tabel 4. Tabel Klasifikasi Ih


Sub Divisi Keterangan Ih
R Sedikit atau tidak ada defisiensi air 0-10
S Defisiensi air pada musim panas sedang 10-20
W Defisiensi air pada musim dingin 10-20
S2 Defisiensi air pada musim panas besar > 20
W2 Defisiensi pada musim dingin besar > 20

VI. Hasil Luaran


1. Nilai kekeringan daerah kajian
2. Peta indeks kekeringan

VII. Daftar Pustaka


Thornthwaite, C.W. & Mather, J.R.. 1955. The water balance, Laboratory of
Climatology, Publ. No. 8, Centerton NJ.
MODUL VII

KEBUTUHAN AIR

I. Judul

Kebutuhan Air

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep kebutuhan air.
2. Mahasiswa dapat menghitung besarnya kebutuhan air yang diperlukan untuk
domestik, pertanian, dan industri.

III. Alat dan Bahan


1. Data pola tanam lahan pertanian
2. Data jumlah penduduk tiap kecamatan sesuai dengan tahun penelitian
3. Data luas sawah irigasi tiap kecamatan sesuai dengan tahun penelitian
4. Data peternakan tiap kecamatan sesuai dengan tahun penelitian
5. Data perikanan tiap kecamatan sesuai dengan tahun penelitian
6. Data industri tiap kecamatan sesuai dengan tahun penelitian

IV. Tinjauan Pustaka


Kebutuhan air merupakan besarnya sumberdaya air yang dibutuhkan oleh
manusia. Kebutuhan air meliputi kebutuhan air domestik, yaitu kebutuhan air untuk
kebutuhan makan dan minum dan kegiatan MCK. Kebutuhan air irigasi meliputi
kebutuhan air untuk sektor pertanian. Selain itu juga masih terdapat kebutuhan air
untuk industri dan perikanan.
Dinas PU mengklasifikasikan kebutuhan air domestik menjadi 2 (dua), yaitu
untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Untuk kebutuhan air domestik pada daerah
perkotaan diasumsikan sebesar 100 liter/ hari/ orang, sedangkan untuk daerah
perdesaan diasumsikan sebesar 60/ liter/ hari/ orang.
Kebutuhan air untuk tanaman pada daerah irigasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor curah hujan, evaporasi, jenis dan umur tanaman, tanah (ketebalan, tekstur
dan struktur), cara irigasi, dan kualitas saluran irigasi. Kebutuhan air irigasi tersebut
dipakai untuk : evaporasi, transpirasi, infiltrasi dan hilangnya air di sepanjang
saluran (infiltrasi dan evaporasi).
Kebutuhan air untuk tanaman (CWR) adalah tebal air yang dibutuhkan untuk
menggantikan air yang hilang karena proses evapotranspirasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi CWR adalah cuaca (suhu, radiasi, angin dan kelembaban udara),
karakteristik tanaman (setiap jenis dan umur tanaman mempunyai Crop Coefficient
atau Kc, kondisi lokal dan praktek pertanian. Air yang dibutuhkan untuk satu petak
sawah disebut Farm Water Requirement (FWR), sedangkan yang dibutuhkan untuk
seluruh areal irigasi disebut Project Water Requirement (PWR). Selain itu juga
diperlukan air untuk penyiapan lahan sebelum dilakukan penanaman (I).
Kebutuhan air irigasi dapat dihitung dengan dua pendekatan, yaitu langsung
(pengukuran di lapangan) dan tidak langsung (rumus empiris). Dalam praktikum ini
dilakukan pendekatan dengan menggunakan beberapa rumus empiris. Manfaat dari
perhitungan kebutuhan air irigasi ini, antara lain dapat dipergunakan untuk
penentuan pola tanam, penentuan dimensi saluran irigasi (primer, sekunder dan
tersier), penentuan luas areal, dan penentuan volume reservoir (diperlukan data
volume banjir dan hidrologis.
Kebutuhan air untuk industri ditentukan oleh jumlah unit industri yang dalam
produksinya membutuhkan air, sedangkan industri kerajinan rumah tangga
diasumsikan hanya membutuhkan air untuk konsumsi pekerjanya. Kebutuhan air
untuk setiap industri memiliki jumlah yang berbeda. Jumlah ini ditentukan oleh jenis
dan jumlah hasil yang diolah.
Kebutuhan air untuk perikanan dihitung berdasarkan luas kolam dan
kebutuhan air untuk pembilasan. Kebutuhan air untuk perikanan dihitung untuk
jangka waktu 1 hari hingga satu tahun. Perhitungan kebutuhan air untuk perikanan
membutuhkan data luas kolam (ha) dan kemudian dikalikan dengan keteapan
kebutuhan air untuk pembilasan sebesar 7 mm/hari/Ha.
V. Langkah Kerja
Kebutuhan Air Domestik

a. Menentukan jumlah penduduk penduduk tiap kecamatan yang


termasuk dalam DAS, dengan metode rerata timbang, yaitu :

b. Menentukan jumlah kebutuhan air domestik pada suatu wilayah dapat


dihitung dengan rumus :

Kebutuhan Air Domestik (ltr/hr) = Kebutuhan Air per Orang (ltr/hr/org) * Jumlah Orang (Jiwa)

Kebutuhan Air Pertanian

1. Persiapan Lahan, dalam proses ini kebutuhan air untuk persiapan lahan ini
digunakan untuk :
a. penggenangan dan penjenuhan tanah
b. evaporasi
c. infiltrasi/perkolasi

Rumus kebutuhan air untuk persiapan lahan adalah :

I = M x ek / (ek - 1)
Keterangan :

I = laju penambahan air (mm/hari)


M = Eo + perkolasi (mm/hari)
Eo = evaporasi (mm/hari)
k = MT/S
T = lama penyiapan lahan (hari)
S = air untuk penggenangan (mm)

2. Consumtive Use (CU) atau Crop Water Requirment (CWR). CWR (mm/hari)
dihitung dengan rumus :
CWR = Kc x EO

Keterangan :
Kc = koefisien tanaman
Eo = evaporasi (mm/hari)

Tabel 1. Tabel Faktor Tanaman Padi

Bulan Koefisien Tanaman (Kc)


Tradisional FAO
0.5 1.20 1.10
1.0 1.20 1.10
1.5 1.32 1.10
2.0 1.40 1.10
2.5 1.35 1.05
3.0 1.24 1.05
3.5 1.12 0.25
4.0 0.00 0.00

3. Farm Water Requirement (FWR). Kebutuhan air untuk petak sawah (FWR)
dihitung dengan rumus :

FWR (mm/hr) = (CWR + In) - ER


Keterangan :
In = infiltrasi atau perkolasi
ER = hujan efektif untuk tanaman

Nilai ER dapat didekati dengan menggunakan persamaan berikut:

R2 R2 R R
ER  - 0,001  0,025  0,0016 2  0,6
ET ET ET ET
R = curah hujan
ER = hujan efektif
ET = crop water requiretment of evapotranspiration
4. Project Water Requirement (PWR). PWR (mm/hari) dirumuskan sebagai berikut :

PWR = FWR / Efp

Keterangan : Efp = efisiensi penyaluran = Q2/Q1 x 100 %

Nilai ER dapat dicari dengan menggunakan tabel berikut :

Tabel 2. Tabel Hujan Efektif Rata-rata Bulanan Berdasarkan Evapotranspirasi Tanaman


Rata-rata Bulanan dan Hujan Rata-rata Bulanan (USDA (SCS), 1969)
CH
Rerata mm 12.5 25 37.5 50 62.5 75 87.5 100 112.5 125 137.5 150 162.5 175 187.5 200
Bulanan
Hujan efektif Rerata Bulanan (mm)
ET crop 25 8 16 24
Rerata 50 8 17 25 32 39 46
Bulanan 75 9 18 27 34 41 48 56 62 69
100 9 19 28 35 43 52 59 66 73 80 87 94 100
125 10 20 30 37 46 54 62 70 76 85 92 98 107 116 120
150 10 21 31 39 49 57 66 74 81 89 97 104 112 119 127 133
175 11 23 32 42 52 61 69 78 86 95 103 111 118 126 134 141
200 11 24 33 44 54 64 73 82 91 100 109 117 125 134 142 150
225 12 25 35 47 57 68 78 87 96 106 115 124 132 141 150 159
250 13 25 38 50 61 72 84 92 102 112 121 132 140 150 158 167

Kebutuhan Air Industri

Data tentang kebutuhan air industri didapatkan melalui data sekunder yang
didapatkan dari data –data penelitian sebelumnya dan data–data industri pada
PODES.

(/ )
(/ / )=

Kebutuhan air industri secara keseluruhan didapatkan dari kebutuhan air


untuk tiap industri per hari dikalikan dengan jumlah industry (Jun Marten, 1986)
Peta Tanah Data Meteorologi

Tekstur Tanah Evapotranspirasi Hujan Efektif

Perkolasi Umur Jenis


Tanaman Tanaman

Faktor
Tanaman

CWR

Efisiensi Saluran FWR Luas Pertanian

PWR

Penggenangan dan
Penyiapan Lahan

Kebutuhan Air

Gambar 1. Diagram Alir Penentuan Kebutuhan Air Irigasi


Kebutuhan Air Perikanan

Kebutuhan air untuk perikanan dapat ditentukan dengan persamaan sebagai


berikut :

Qfp = 365 (qfp/1000) x Afp x 1000

Keterangan :

Qfp = Kebutuhan air untuk perikanan (m³/th)

qfp = Kebutuhan air untuk pembilasan ( 7 mm/hari/ha)

Afp = Luas kolam ikan ( ha )

VI. Hasil Luaran


1. Jumlah kebutuhan air domestic, pertanian, industri, dan perikanan.
2. Peta kebutuhan air domestic, pertanian, industry, dan perikanan

VII. Daftar Pustaka


USDA. 1971. Guide for Interprenting Engineering Uses of Soil. SCS-USDA,
Washington DC.
MODUL VIII

KOEFISIEN RUN OFF DAN DEBIT BANJIR RANCANGAN

I. Judul

Koefisien Run Off dan Debit Banjir Rancangan

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep run off dan banjir
2. Mahasiswa dapat mencari menentukan nilai koefisien run off
3. Mahasiswa dapat menentukan debit banjir pada suatu DAS berdasarkan nilai
koefisien run off dan input hujan
4. Mahasiswa dapat menentukan debit banjir rancangan berdasarkan nilai hujan
rancangan pada suatu DAS

III. Alat dan Bahan


1. Data curah hujan
2. Peta penggunaan lahan
3. Peta kontur/ topografi
4. Peta jenis tanah dan data infiltrasi
5. Peta jaringan sungai
6. Alat tulis
7. Software GIS dan software pendukung lainnya

IV. Tinjauan Pustaka


Kekeringan adalah kejadian alam yang tidak diinginkan oleh manusia.
Mulainya tidak bisa ditentukan dan kentara, keberlangsungannya membahayakan
dan membawa kehancuran. Berdasarkan curah hujan, kekeringan terjadi jika hujan
dalam 48 jam kurang dari 2,5 mm atau 15 hari tanpa hujan. Terdapat beberapa
metode untuk menghitung indeks kekeringan, tetapi salah satu yang sering
digunakan adalah metode Thornwaite-Mather.

V. Langkah Kerja
Metode Thornwaite-Mather
Thornthwaite (1985) mengembangkan penentuan kondisi kekeringan
berdasarkan indeks kelengasan (Im), indeks aridty (Ia), dan Indeks Humidty (Ih).
Metode ini menggunakan pendekatan imbangan air (neraca air) dan variabel
simpanan lengas tanah. Penentuan Indeks Kelengasan (Im) ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :

Im 
100S  60 D 
PE
Keterangan :
Im = Indeks lengas
D = Defisit
S = Surplus
PE = Evapotranspirasi Potensial

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Indeks Moisture


Kriteria Ciri
Neither Dry or Humid Im = 0
Humid Im > 0; S > 0.6 D
Dry Im < 0; S < 0.6 D

Tabel 2. Tabel Klasifikasi Moisture Province


Moisture Province Keterangan Vegetasi Indeks Moisture
A Perhumid Hutan yang rapat > 100
B4 Humid Hutan 80-100
B3 Humid Hutan 60-80
B2 Humid Hutan 40-60
B1 Humid Hutan 20-40
C2 Moist Sub Humid Padang Rumput yang Tinggi 0-20
C1 Dry Sub Humid Rumput Rendah -(20)-0
D Semi Arid Stepa -40 - (-20)
E Arid Gurun -60 - (-40)
(Thornthwaite, 1985)

Penentuan Indeks Aridty dapat ditentukan dengan persamaan :

Ia 
100D 
PE
Keterangan :
Ia = Indeks Arid
D = Defisit
PE = Evapotranspirasi Potensial

Tabel 3. Tabel Klasifikasi Ia


Sub Divisi Keterangan Ia
R Sedikit atau tidak ada defisiensi air 0-16.7
S Defisiensi air pada musim panas sedang 16.7-33.3
W Defisiensi air pada musim dingin 16.7-33.3
S2 Defisiensi air pada musim panas besar > 33.3
W2 Defisiensi pada musim dingin besar > 33.3
(Thornthwaite, 1985)

Penentuan Indeks Humiditas (Ih) dapat ditentukan dengan persamaan :

Ih 
100 S 
PE
Keterangan :
Ih = Indeks Humidity
S = Surplus
PE = Evapotranspirasi Potensial

Tabel 4. Tabel Klasifikasi Ih


Sub Divisi Keterangan Ih
R Sedikit atau tidak ada defisiensi air 0-10
S Defisiensi air pada musim panas sedang 10-20
W Defisiensi air pada musim dingin 10-20
S2 Defisiensi air pada musim panas besar > 20
W2 Defisiensi pada musim dingin besar > 20

VI. Hasil Luaran


1. Nilai kekeringan daerah kajian
2. Peta indeks kekeringan

VII. Daftar Pustaka


Thornthwaite, C.W. & Mather, J.R.. 1955. The water balance, Laboratory of
Climatology, Publ. No. 8, Centerton NJ.
MODUL X

KETERSEDIAAN AIR

I. Judul

Ketersediaan Air

II. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep ketersediaan air.
2. Mahasiswa dapat menerapkan berbagai metode perhitungan ketersediaan
airtanah (statis dan dinamis) dan air permukaan.

III. Alat dan Bahan


1. Peta lokasi stasiun hujan
2. Data curah hujan bulanan berbagai stasiun
3. Data suhu udara
4. Data TMA
5. Data jenis material penyusun akuifer
6. Software Microsoft Excel
7. Software ArcGIS 9.3
8. Alat tulis
9. Alat cetak

IV. Tinjauan Pustaka


Sebagai sumberdaya alam, sumberdaya air mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup. Ketersediaan sumberdaya air dari
waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Kebutuhan air dari waktu ke waktu
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi, sedangkan ketersediaan air dari waktu ke waktu relatif
tetap bahkan berkurang. Permasalahan sumberdaya air mencakup segi kualitas dan
kuantitasnya. Evaluasi sumberdaya air di suatu wilayah berperan penting dalam
pembangunan di masa depan. Pengelolaan sumberdaya air secara efektif dan
efisien perlu diterapkan untuk mengatasi permasalahan sumberdaya air. Evaluasi
sumberdaya air pada dasarnya adalah mengetahui perbandingan antara
ketersediaan air dan kebutuhan air. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk
melakukan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu.
Pada dasarnya ketersediaan sumberdaya air terdiri atas ketersediaan
airtanah dan air permukaan. Nilai ketersediaan air dihitung pada satuan waktu
tertentu. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Air
permukaan dapat berupa sungai, danau, rawa maupun runoff, sedangkan airtanah
dapat berupa airtanah statis dan dinamis.

V. Langkah Kerja
Ketersediaan Air Permukaan

Ketersediaan air permukaan ditentukan berdasarkan neraca rerata tahunan


DAS yaitu hujan dikurangi evapotranspirasi actual (P-Ea) dikalikan dnegan koefisien
aliran permukaan ( C ) yang dirumuskan sebagai berikut :

R = (P – Ea) x C

Keterangan :
R = ketersediaan air permukaan rerata tahunan (mm/tahun)
P = curah hujan rerata tahunan (mm)
Ea = evapotranspirasi actual rerata tahunan (mm/tahun)
C = koefisien aliran
(Seyhan, 1990)

Ketersediaan Airtanah Statis

Perhitungan volume airtanah metode statis menggunakan rumus :

Vat = Sy x Vak

Vat adalah volume airtanah yang dapat lepas dari akuifer, Sy adalah specific
yield atau persentase air yang dapat lepas dari akuifer (ditentukan menggunakan
tabel Sy berdasarkan jenis material batuan penyusun akuifer dari data sumur bor)
dan Vak adalah volume akuifer (luas penampang akuifer dikalikan dengan tebal
akuifer).

Perhitungan hasil aman penurapan airtanah dihitung dengan menggunakan


rumus:

V ata = Sy x F x A
F adalah fluktuasi tinggi muka airtanah. Perhitungan hasil aman ini
bermanfaat untuk menghindari penurapan airtanah yang berlebihan.

Ketersediaan Airtanah Dinamis

Perhitungan airtanah dengan metode ini mempertimbangkan gerakan


airtanah yang memiliki input dan output. Airtanah dalam akuifer berasal dari air
infiltrasi dan aliran airtanah dari akuifer di bagian hulu.

Qo adalah aliran airtanah yang keluar dari akuifer, Qi adalah aliran airtanah
yang masuk ke akuifer, In adalah air yang masuk melalui infiltrasi dan Et adalah air
yang keluar melalui evapotranspirasi. Selanjutnya debit airtanah dapat dihitung
dengan rumus Darcy (Fetter, 1994) :

Q = K. A. dh/dL

K adalah permeabilitas akuifer (hydraulic conductivity). A adalah luas


penampang akuifer. Sedangkan dh/dL adalah kemiringan airtanah. Kemiringan
airtanah dapat dihitung menggunakan flownet (jearing airtanah).

VI. Hasil Luaran


1. Perhitungan ketersediaan air permukaan
2. Peta flownet
3. Perhitungan ketersediaan airtanah (statis dan dinamis)
VII. Daftar Pustaka
Thornthwaite, C.W. & Mather, J.R.. 1955. The water balance, Laboratory of
Climatology, Publ. No. 8, Centerton NJ.

Fetter, C. W. 1994. Applied Hydrogeology. Macmillan Publishing Company, New


York.

Seyhan, Ersin. 1977. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.
MODUL XI

KERENTANAN AIRTANAH TERHADAP PENCEMARAN

I. Judul

Kerentanan Airtanah Terhadap Pencemaran Airtanah

II. Tujuan

1. Mahasiswa memahami konsep kerentanan airtanah;


2. Mahasiswa mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan airtanah di
suatu wilayah; dan
3. Mahasiswa mampu memetakan kerentanan airtanah di suatu wilayah.

III. Alat dan Bahan


1. Data curah hujan
2. Data kedalaman muka airtanah
3. Data bor atau material akuifer
4. Data tanah
5. Data kontur
6. Software GIS
7. Ms. Office
8. Alat Tulis

IV. Tinjauan Pustaka


Vrba dan Zaporozec (1994) mengatakan bahwa pemetaan kerentanan
airtanah (groundwater vulnerability) merupakan bagian dari upaya perlindungan
kualitas airtanah yang diperkenalkan pertama kali oleh ahli hidrologi Perancis,
Margat pada tahun 1960. Margat mendefinisikan kerentanan airtanah sebagai
kemungkinan terjadinya suatu pencemaran atau kontaminasi bahan pencemar pada
suatu akuifer di suatu wilayah. Pengertian tersebut hampir sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Harter dan Walker (2001) yang menjelaskan bahwa kerentanan
airtanah adalah ukuran tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan suatu polutan
dapat mencemari airtanah di suatu wilayah.
Tingkat kerentanan airtanah didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan fisik
mempunyai tingkat perlindungan airtanah terhadap alam dan dampak aktivitas
manusia khusunya pencemaran, atau dengan kata lain bahwa kerentanan airtanah
merupakan fungsi dari factor-faktor hidrogeologi (Widyastuti, Notosiswoyo dan
Anggayana, 2006). Vrba dan Zaporozec (1994) membagi kerentanan airtanah
menjadi dua, yaitu kerentanan airtanah alami dan kerentanan airtanah gabungan.
Kerentanan airtanah alami adalah tingkat kerentanan airtanah yang ditinjau
berdasarkan karakteristik hidrogeologi, sedangkan kerentanan airtanah gabungan
adalah kerentanan airtanah yang dinilai berdasarkan faktor hidrogeologi dan
dampak faktor aktivitas manusia yang mampu menyebabkan penurunan kualitas
airtanah di suatu wilayah. Klasifikasi yang hampir sama dikemukakan oleh
Leibundgut (1998 dalam Adji, 2006) yang membagi kerentanan airtanah menjadi
kerentanan airtanah intrinsik dan kerentanan airtanah spesifik. Kerentanan airtanah
intrinsik adalah kerentanan yang didasarkan pada karakteristik dan sifat hidrogeologi
dan geomorfologi suatu wilayah, sedangkan kerentanan airtanah spesifik adalah
tingkat kerentanan akibat ancaman aktual yang ada di suatu wilayah seperti limbah
domestik dan penggunaan lahan.

V. Langkah Kerja
Metode Thornwaite-Mather

Analisis kerentanan airtanah dapat dilakukan dengan menggunakan banyak


metode. Vrba dan Zaporozec (1994) menyatakan bahwa metode untuk analisis
kerentanan airtanah meliputi metode HCS (hydrological complex and setting
method), MS (matrix systems), RS (rating systems), PCSM (point count system
models) atau sering pula disebut metode pembobotan dan penilaian (weighting and
rating method), dan model hubungan analogi dan numerik (analogical relations and
numerical models). Salah satu metode yang sering digunakan dalam analisis
kerentanan airtanah adalah DRASTIC. Metode ini merupakan bagian dari PCSM.
DRASTIC merupakan singkatan dari parameter-parameter yang digunakan dalam
metode ini. Parameter-parameter yang digunakan dalam metode DRASTIC meliputi;
D = Depth to the water table (kedalaman muka airtanah), R = Recharge (dalam hal
ini diperhitungkan sama dengan curah hujan), A = Aquifer media (media akuifer), S
= Soil media (dalam analisis ini digunakan parameter tekstur tanah), T = Topography
(dalam analisis ini hanya digunakan parameter lereng), I = Impact of vadose zone
(pengaruh zona tak jenuh) dan C = Conductivity (konduktuivitas hidraulik).
Analisis menggunakan metode DRASTIC dilakukan dengan memberi bobot
pada masing-masing parameter dan memberikan skor pada setiap klasifikasi dalam
parameter yang digunakan. Parameter-parameter yang digunakan tersebut
kemudian ditumpangsusun (overlay) sehingga menghasilkan indeks DRASTIC yang
mencerminkan kerentanan airtanah. Persamaan yang digunakan dalam analisis ini
adalh sebagai berikut:
Indeks DRASTIC = DwDr + RwRr + AwAr + SwSr + TwTr + IwIr + CwCr

Keterngan:

D = Depth to the water table (kedalaman muka airtanah);


R = Recharge (dalam hal ini diperhitungkan sama dengan curah hujan);
A = Aquifer media (media akuifer);
S = Soil media (dalam analisis ini digunakan parameter tekstur tanah);
T = Topography (dalam analisis ini hanya digunakan parameter lereng);
I = Impact of vadose zone (pengaruh zona tak jenuh);
C = Conductivity (konduktuivitas hidraulik);
w = Bobot masing-masing parameter
r = nilai masing-masing parameter

Tabel 1. Bobot Masing-Masing Parameter yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC


No. Parameter Bobot
1. D Kedalaman Muka Airtanah 5
2. R Curah Hujan 4
3. A Media Akuifer 3
4. S Tekstur Tanah 2
5. T Lereng 1
6. I Media Zona Tak Jenuh 5
7. C Konduktivitas Hidraulik 3

Tabel 2. Nilai Parameter Kedalaman Airtanah yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC
No. Kedalaman Muka Airtanah (meter) Nilai
1. 0 – 1,5 10
2. >1,5 - 3 9
3. >3 - 9 7
4. >9 – 15 5
5. >15 – 22 3
6. >22 - 30 2
7. >30 1

Tabel 3. Nilai Parameter Curah Hujan yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC
No. Curah Hujan (mm/tahun) Nilai
1. 0 – 1.500 2
2. > 1.500 – 2.000 4
3. 2.000 6
4. 2.500 8
5. 3.000 10
Tabel 4. Nilai Parameter Media Akuifer yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC
No. Media Akuifer Nilai
1. Shale Masif 2
2. Batuan Metamorf/Beku 3
3. Batuan Metamorf/ Beku Lapuk 4
4. Batu Pasir Tipis, Shale, Batugamping 6
5. Batu Pasir Masif 6
6. Batu Gamping Masif 6
7. Pasir dan Kerikil 8
8. Basalt 9
9. Batu gamping Karst 10

Tabel 5. Nilai Tekstur Tanah yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC


No. Tekstur Tanah Nilai
1. Tanah Tipis 10
2. Kerikil 10
3. Pasir 9
4. Shrinking dan atau Agregat Lempung 7
5. Geluh Pasiran (Sandy Loam) 6
6. Geluh (Loam) 5
7. Geluh Lanauan (Silty Loam) 4
8. Geluh Lempungan (Clay Loam) 3
9. Non Shrinking dan non Agregat Lempung 1

Tabel 6. Nilai Lereng yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC


No. Kemiringan Lereng (%) Nilai
1. 0–2 10
2. >2 – 6 9
3. >6 – 12 5
4. >12 - 18 3
5. >18 1

Tabel 7. Nilai Material Zona Tak Jenuh yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC
No. Material Zona Tak Jenuh Nilai
1. Lanau/Lempung 1
2. Shale 3
3. Batu Gamping 6
4. Batu Pasir 6
5. Bedded Limestone 6
6. Shale dan Kerikil dengan lanau dan lanau cukup 6
No. Material Zona Tak Jenuh Nilai
7. Pasir dan Kerikil 4
8. Batuan Metamorf/Beku 8
9. Basalt 9
10. Batu Gasmping Karst 10

Tabel 8. Nilai Konduktivitas Hidraulik yang Digunakan Dalam Metode DRASTIC


No. Konduktivitas Hidraulik (m/hari) Nilai
1. 0 - 0,86 1
2. >0,86 - 2,59 2
3. >2,59 - 6,05 4
4. >6,05 - 8,64 6
5. >8,64 - 17,18 8
6. >17,18 10

VI. Hasil Luaran


1. Peta zonasi kerentanan airtanah

VII. Daftar Pustaka


Adji, T. N. 2006. Peranan Geomorfologi dalam Kajian Kerentanan Air Bawah Tanah
Karst. Gunung Sewu, Indonesian Cave and Karst Journal, 2(1). 68-79.

Harter, T. dan Walker, L. G. 2001. Assessing Vulnerability of Groundwater.


California: California Department of Health Services.

Vrba, J. dan Zoporozec, A. 1994. Guidebook on Mapping Groundwater


Vulnerability. Hannover: International Association of Hydrogeologist.

Widyastuti, M; Notosiswoyo, S; dan Anggayana, K. 2006. Pengembangan Metode


DRASTIC untuk Prediksi Kerentanan Airtanah Bebas Terhadap Pencemaran
di Sleman. Majalah Geografi Indonesia, 20(1). 32-51.

Witkowski, A.J; Kowalczyk, A; dan Vrba, J. 2007. Groundwater Vulnerability


Assessment and Mapping: Selected Papers from the Groundwater
Vulnerability Assessment and Mapping International Conference,
Ustron’, Poland, 2004. Leiden: Taylor and Francis.

Anda mungkin juga menyukai