Obat Bahan Alam
Obat Bahan Alam
Disusun Oleh:
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah obat bahan alam “STANDARISASI BAHAN
BAKU OBAT BAHAN ALAM”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Standarisasi .............................................................................. 3
B. Standarisasi Simplisia ............................................................. 3
C. Standarisasi Ekstrak ............................................................... 6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan
keanekaragaman hayati terutama tumbuh-tumbuhan. Ada lebih dari 30.000
jenis tumbuhan yang terdapat di bumi Nusantara ini, dan lebih dari 1000
jenis telah diketahui dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Pada era
globalisasi ini obat bahan alam baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar negeri sangat pesat perkembangannya, dengan demikian agar
produk-produk herbal tersebut dapat terjaga kualitas dan khasiatnya maka
diperlukan suatu standarisasi baik pada bahan baku ataupun dalam bentuk
sediaan ekstrak. Beberapa negara baik di Eropa, Asia, dan Amerika telah
menetapkan beberapa standar terhadap bahan baku produk herbal ini,
bahkan WHO juga telah menetapkan standar terhadap beberapa tanaman
yang biasa digunakan sebagi bahan baku obat / produk herbal. Beberapa
contoh jenis standar yang dimaksud adalah BHP (British Herbal
Pharmacopoeia), USP (United States Pharmacopoeia), JSHM (Japanese
Standards For Herbal Medicines), API (The Ayurvedic Pharmacopoeia of
India), WHO's Guidelines For Medicinal Plant Materials.
Melihat jumlah simplisia yang semakin banyak digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan obat tradisional atau obat bahan alam, maka
untuk menjamin bahwa kualitas herbal sama pada setiap produksinya dan
memenuhi standar minimal harus dilakukan standarisasi terhadap bahan
baku tersebut, baik yang berupa serbuk simplisia maupun yang berbentuk
ekstrak. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar
umum dan parameter standar spesifik. Dengan standarisasi, pemerintah
melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen
untuk tegaknya trilogi “mutu, keamanan dan manfaat”. Standarisasi juga
menjamin mahwa produk akhir mempunyai nilai parameter tertentu yang
konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu.
1
2
B. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud standarisasi
b. Apakah yang dimaksud standarisasi simplisia?
c. Apa saja yang termasuk kedalam parameter standarisasi simplisia?
d. Apakah yang dimaksud standarisasi ekstrak?
e. Apa saja yang termasuk ke dalam parameter standarisasi ekstrak?
C. Tujuan Penulisan
f. Untuk mengetahui tentang simplisia dan standarisasinya.
g. Untuk mengetahui tentang simplisia dan standarisasinya.
h. Untuk mengetahui tentang parameter standarisasi simplisia.
i. Untuk mengetahui tentang ekstrak dan standarisasinya.
j. Untuk mengetahui tentang parameter standarisasi ekstrak.
BAB II
DASAR TEORI
A. Standarisasi
Serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang
hasilnya merupakan unsur – unsur terkait paradigma mutu kefarmasian,
mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi).
Tujuan dari standarisasi adalah konsisteni produk dari batch ke
batch, jumlah ekstrak per unit donis, indikasi adanya kehilangan atau
degradasi selama proses produksi, dan mencegah pemalsuan simplisia.
Keuntungan yang diperoleh konsumen dengan adanya standarisasi
adalah kandungan aktif dalam produk konstan sehingga tujuan terapi
tercapai. Sedangkan keuntungan bagi produsen adalah proses produksi
lebih efektif, dipercaya, dan meminimalkan kesalahan dan kerugian.
Selain memiliki keuntungan, dalam melakukan standarisasi juga
ditemukan kendala yaitu, susah dilakukan untuk obat dengan efek
farmakologi tidak terukur misalnya antioksidan, butuh biaya besar, butuh
peralatan dan keahlian khusus, zat aktif tidak diketahui dan senyawa
standar tidak tersedia.
B. Standarisasi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan
obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia terdiri dari simplsia nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati
adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman. Yang di maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari selnya atau zat – zat nabati lainnya yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh
hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral
adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum
3
4
diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun
kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk
standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep
antara lain sebagai berikut:
1. Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu
Quality-Safety-Efficacy
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi
terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu
komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).
1. Kebenaran simplisia
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,
makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan
makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan
memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk
dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia.Sebaiknya pemeriksaan
mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi
histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut
pengeringan.
3. Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari
simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan
kandungan senyawa tertentu dari simplisia.Biasanya dilkukan dengan
analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985).
Standarisasi simplisia harus dilakukan pada setiap tahap penyiapan
simplisia. Meliputi penyiapan bibi, budidaya sampai dengan proses
pemanenan dan penanganan pasca panen (pengeringan).
1. Pre-Farm
Teknologi produksi benih / bibit unggul tumbuhan obat, secara
konvensional ataupun bioteknologis.
2. On-Farm
Teknologi budidaya tumbuhan obat yang mengacu pada GAP
3. Off-Farm
Teknologi panen yang memperhatikan kandungan senyawa aktif
berkhasiat obat maupun parameter kualitas lainnya yang
dipersyaratkan.
a. Teknologi pasca panen / pengolahan yang menghasilkan simplisia
yang memenuhi persyaratan.
b. Teknologi ekstrak standar untuk mendapatkan ekstrak yang
tervalidasi kandungan senyawa aktif.
c. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat pre klinik
yang memenuhi persyaratan validitas (Herbal Terstandar).
d. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat klinik
yang memenuhi persyaratan validitas (Fitofarmaka).
C. Standarisasi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
6
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain
adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak
persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari
setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat
mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak
sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume permakaian per
dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang
diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet,
dan lain-lain.
b. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang
mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting,
karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis
komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Bobot Jenis:
1) Hitung bobot piknometer dan bobot air yang baru
dididihkan pada suhu 25°C.
2) Atur suhu ekstrak ± 20°C, masukkan dalam piknometer.
Atur suhu piknometer hingga 25°C, buang kelebihan
ekstrak cair yang ditimbang.
3) Kurangkan bobot piknometer kosong dari berat
piknometer yang telah disini. Bobot jenis ekstrak adalah
hasil yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak
dengan bobot air dalam piknometer suhu 25°C
c. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau
banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk memberikan
batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air
dalam bahan (Depkes RI, 2000).
Menggunakan Metode Titrasi, Destilasi dan Gravimetri.
1) Metode Titrasi
a) Masukkan ± 20 ml metanol P ke labu titrasi
b) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik
akhir tercapai
c) Masukkan zat dengan cepat yang telah ditimbang
seksama yang diperkirakan mengandung 10 – 50
mg air kedalam labu titrasi, aduk selama 1 menit
d) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah
diketahui kesetaraan airnya
8
e. Sisa Pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin
terdapat dalam ekstrak dengan kromatografi gas.
Langkah – Langkah:
1) Timbang 2 gram ekstrak etanol, larutkan dalam 25 mL air
2) Masukkan dalam labu destilasi
3) Atur suhu destilat 78,5°C
4) Lakukan destilasi hingga selesai
5) Tambahkan aquadest 25 ml, tetapkan bobot jenis cairan pada
suhu 25°C
6) Hitung bobot jenis dan cocokkan pada tabel alkoholmetrik
f. Residu Pestisida
Prinsip dalam metode ini adalah untuk menentukan sisa
kandungan pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau
mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuatan ekstrak
(Depkes RI, 2000). Tujuannya memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan
karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
Metode : KLT dan kromatografi gas cair.
Jika kandungan kimia pengganggu analisis yang besifat
non polar relatif kecil seperti pada ekstrak yang diperoleh
dengan penyari air atau etanol berkadar kurang dari 20%
menggunakan metode KLT secara langsung tanpa melalui
tahap pembersihan lebih dahulu atau menggunakan
kromatografi gas jika tidak terdapat kandungan kimia
dengan unsur N (klorofil, alkaloid dan amina non polar
lain)
Langkah-langkah :
1. Siapkan 5 tabung atau lebih yang telah diisi dengan 9 ml
pengenceran PDF.
12
b. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan
pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes
RI, 2000).
c. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah
kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar
sari ditetapkan sebagai parameter uji bahan baku obat tradisional
karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia
akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas
farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995).
d. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan
gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola
kromatogram kemudian dibandingkan dengan data baku yang
ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000).
17
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, DepKes RI,
Jakarta
18
Anonim. 2009. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
19