Anda di halaman 1dari 38

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI 2018

Makalah Utama Bidang 4 WNPG XI 2018

INTERVENSI KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU


UNTUK PENCEGAHAN STUNTING
Pola Konsumsi, Pengasuhan, Higienis Pribadi dan Lingkungan

Sekretariat
Biro Kerja Sama Hukum dan Humas LIPI
Sasana Widya Sarwono Lt.5 Jln. Jend Gatot Subroto Kav. 10 Jakarta 12710
Telp. 021-5225711 ext.1236, 1240, 1233
Fax. 021-5251834
Tim Bidang 4

Perumus
1. Prof. Fasli Jalal
Universitas Negeri Jakarta

Tim Pakar Penyusun Rekomendasi


1. dr. Riskyana Sukandhi Putra, MKes
Kementerian Kesehatan RI
2. Dra. Herawati, MA
Kementerian Kesehatan RI
3. Andi Sari Bunga Untung SKM, MSc.PH
Kementerian Kesehatan RI
4. Dr. RR. Dhian Proboyekti
Kementerian Kesehatan RI
5. Dr. Tetty Sihombing,
PT. Fortune Pramana Rancang
6. Iwan Triyono
EMTEK
7. Risang Rimbatmaja, MA
Universitas Indonesia
8. Dr. Hifni Alifahmi
Universitas Indonesia
9. Ati Muchtar
Fortune Indonesia
10. Dr. Astuti Lamid
Balitbangkes RI
11. Dr. Dian Sulistiawati
Universitas Indonesia
12. Dra. Haning Romdiati, MA
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tim Pakar Penyusun Discussion Paper


1. dr. Riskyana Sukandhi Putra, MKes
Kemeneterian Kesehatan RI
2. Dra. Herawati, MA
Kementerian Kesehatan RI
3. Andi Sari Bunga Untung SKM, MSc.PH
Kementerian Kesehatan RI
4. Dr. RR. Dhian Proboyekti
Kementerian Kesehatan RI
5. Dr. Tetty Sihombing,
PT. Fortune Pramana Rancang
6. Iwan Triyono
EMTEK
7. Risang Rimbatmaja, MA
Universitas Indonesia
1
8. Dr. Hifni Alifahmi
Universitas Indonesia
9. Ati Muchtar
Fortune Indonesia
10. Dr. Astuti Lamid
Balitbangkes RI
11. Dr. Dian Sulistiawati
Universitas Indonesia
12. Dra. Haning Romdiati, MA
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
13. Meytri Wilda Ayuantari, ST
Kementerian PUPR
14. Indah Hidayat
Kementerian Kesehatan
15. Anggit Gantina
Badan Ketahanan Pangan
16. Arsaningsih
SOUL Indonesia

Sekretaris
Esta Lestari, MEcon
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Winitra Rahmani Astradiningrat, S.Sos


Kementerian Kesehatan, RI

2
MAKALAH UTAMA
BIDANG IV – Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Tim Promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

INTERVENSI KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU


UNTUK PENCEGAHAN STUNTING:
POLA KONSUMSI, PENGASUHAN, HIGIENIS PRIBADI DAN LINGKUNGAN

A. LATAR BELAKANG

Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi permasalahan gizi, yakni


tingginya prevalensi anak balita pendek (stunting). Ada dua faktor penyebab
stunting, yakni penyebab langsung berupa konsumsi dan penyakit infeksi, serta
penyebab tidak langsung meliputi pendapatan keluarga, sosial budaya, kebijakan
ekonomi, ketahanan pangan, lingkungan hidup dan lain-lain. Namun faktor yang
paling dominan dari semuanya adalah asupan gizi, karena janin dalam kandungan
membutuhkan asupan gizi yang cukup baik kualitas atau kandungan zat gizinya,
maupun kuantitasnya, untuk mendukung proses tumbuh-kembang janin. Jika
asupan gizi ini tidak diperoleh akan mengakibatkan gradasi gagal tumbuh janin
dalam kandungan dari tingkat sedang sampai dengan parah, sebagai awal
terjadinya stunting (IURG/Intrauterine Growth Retardation) (Wu et al. 2008).
Kondisi ini diperburuk dan berlanjut setelah lahir jika dalam pola pengasuhan,
antara lain tidak diberikan ASI secara eksklusif selama waktu yang dianjurkan
(enam bulan), dan mengalami penyakit infeksi umumnya diare dan pneumonia
(Kossman et al 2004, Black et al 2013).

Stunting adalah masalah kurang gizi menahun (kronis) pada anak sehingga
mengganggu pertumbuhan fisik dan otaknya. Data WHO (2014) mencatat sekitar
seperempat atau 24,5% anak balita di dunia mengalami stunting. Sementara data
Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi anak stunting di Indonesia sebesar
37,2%. Artinya, 3-4 dari 10 balita mengalami stunting. Data terbaru PSG (2016)
menunjukkan prevalensi balita stunting sebesar 27,5%, atau 1 dari 3 balita di
Indonesia mengalami stunting. Angka ini terbilang sangat tinggi karena sepertiga
anak balita Indonesia mengalami stunting yang mengakibatkan anak balita gagal
3
tumbuh optimal, ditandai dengan postur tubuh pendek, kemampuan motorik
terlambat, mudah terkena infeksi, kemampuan belajar dan sosialisasi rendah,
prestasi sekolah rendah, saat dewasa prestasi kerja rendah dan mudah terkena
penyakit kronis.

Masalah stunting adalah masalah intergenerasi. Artinya kualitas kehidupan


sekarang ditentukan oleh kehidupan sebelumnya. Remaja yang mengalami gizi
kurang dimasa kecilnya, atau berperilaku makan yang kurang gizi, jika hal ini terus
berlanjut hingga saat menikah dan kemudian hamil, maka mereka akan sangat
berisiko melahirkan bayi stunting. Lingkaran pola pengasuhan dan perilaku makan
yang tidak mendukung tumbuh kembang ini terus berulang, dan bermuara pada
rendahnya asupan zat gizi anak generasi berikut, dan menghasilkan kualitas
sumber daya manusia yang semakin menurun.

WHO (WHO Multicenter Growth Reference Study Group 2006) dalam


penelitiannya dibeberapa negara maju dan negara berkembang meatakan bahwa
saat kesehatan, lingkungan dan pengasuhan yang dibutuhkan terpenuhi, potensi
pertumbuhan manusia universal (sama) minimum sampai mencapai usia 5 tahun.
Penelitaian lebih lanjut pada ibu menunjukkan bahwa pada saat kebutuhan gizi
dan kesehatan ibu terpenuhi, dengan sedikit keterbatasan lingkungan bagi
pertumbuhannya, maka pertumbuhan janin, dan panjang bayi baru lahir
universal/sama (Papageorghiou et al. 2014) Hasil penelitian ini bukan hanya
menegakkan hak genetis anak, tapi juga menyatakan bahwa anak balita Indonesia
seharusnya sama tinggi dan cerdasnya dengan anak seusianya baik di negara
maju maupun negara berkembang.

Untuk mencegah stunting, dikenal dua kategori intervensi, yaitu spesifik


dan sensitif. intervensi spesifik berkenaan dengan intervensi kesehatan, intervensi
sensitif mencakup intervensi non kesehatan, peningkatan ekonomi keluarga,
akses dan pemanfaatan air bersih, sanitasi (khususnya jamban dan tangki septik
yang aman), yang sangat dibutuhkan untuk mendukung perilaku higienis pribadi
dan lingkungan.

4
B. ENAM TANTANGAN PERUBAHAN PERILAKU UNTUK PENCEGAHAN
STUNTING

B.1. Perilaku Konsumsi: porsi kurang, kurang protein hewani, sayur


dan buah, dan gizi mikro

Perilaku konsumsi yang menjadi sasaran perubahan meliputi: porsi kurang


gizi makro, kurang makanan sumber hewani, sangat kurang konsumsi sayur dan
buah, kurangnya gizi mikro yang dibutuhkan ibu hamil dan anak balita (Riskesdas
2013). Data Riskesdas (2013) menunjukkan secara nasional terdapat 24,2 persen
ibu hamil, dan 20,8 persen wanita usia subur yang tidak hamil (15-49 tahun)
mengalami kurang energi kronik (KEK). Perilaku konsumsi calon ibu dan ibu hamil
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, budaya dan norma keluarga, yang
dalam jangka panjang membentuk kebiasaan atau pola makan keluarga. Kondisi
kurang gizi pada calon ibu adalah faktor utama penyebab dimulainya stunting
dalam kandungan (Barker DJP dan Clark PM 1997, Robert E Black dkk 2008) jika
calon ibu tidak mengubah pola makannya pada saat hamil.

Kecukupan gizi anak balita sangat ditentukan oleh pengetahuan praktis


tentang gizi yang dimiliki ibu, dan anggota keluarga lainnya yang turut mengasuh
(misalnya nenek dan bibi). Pengasuhan anak tidak sepenuhnya dilakukan oleh
ibu merupakan suatu kebiasan pada masyarakat Indonesia. Hal ini antara lain
terutama terjadi di daerah pedesaan yang masih kental dengan bentuk keluarga
batih dan rumah tinggal yang berdekatan. Pola seperti ini bisa terjadi pada ibu
yang bekerja maupun tidak bekerja. Pengasuhan yang dilakukan oleh pengasuh
biasanya kurang baik dalam hal konsumsi makan, misalnya sikap susah makan
pada anak balita sering direspon dengan pola “yang penting ada yang masuk ke
perut” tanpa mempermasalahkan kebutuhan gizi anak. (RISKESDAS 2013,
Amelinda Calida Rahma dan Siti Rahayu Nadhiroh 2016, Rahmawati 2015 ,
Istiono dkk 2009, Vonny Persulessy, Abidillah Mursyid, Agus Wijarnaka 2013).

Asupan gizi yang cukup dan seimbang dibutuhkan untuk mempertahankan


kesehatan dan proses tumbuh-kembang yang berlangsung dengan pesat pada ibu
hamil dan anak balita, salah satunya protein. Berbagai penelitian menunjukan
keragaman sumber protein diperlukan karena keduanya dibutuhkan dalam proses
metabolisme tubuh (Jim Mann and Stewart Trustwell 2014). Protein hewani

5
dibutuhkan sebagai sumber zat besi yang berlimpah dan lebih mudah diserap
tubuh. Richard D Semba (2016) menunjukkan anak stunting ternyata mengalami
kekurangan 9 jenis asam amino esensial, asam amino bersyarat/conditional, dan
asam amino non esensial. Penelitian konsumsi energi protein pada anak balita
(Hermina dan Sri Prihatini 2011) menunjukkan konsumsi protein hewani anak
balita stunting (19,0 persen) lebih sedikit dari anak normal (23,2 persen).
Keluarga Suku Sasak sangat jarang memberi asupan protein hewani kepada anak
balita-nya, meski mereka mampu (penghasilannya cukup), kebiasaan ini menjadi
faktor predisposisi munculnya stunting pada anak-anak Suku Sasak di lokasi
penelitian (Lina Nurbaidi 2014).

SKMI (2014) mencatat proporsi anak balita mengonsumsi makanan sumber


hewani 18,1 persen (rerata 29,4 gram per orang per hari); 48 persen anak balita
mengonsumsi sayur dan olahannya dengan porsi 18,2 gram per orang per hari.
Proporsi anak balita mengonsumsi buah-buahan: pisang 9,2 persen, jeruk 4,5
persen, mangga 1,4 persen, pepaya 2,4 persen, semangka 1,7 persen, buah
lainna 5,2 persen, buah olahan 0,1 persen; dengan porsi rata-rata 18,9 gram per
orang per hari.

Sejalan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, penelitian Rizka Febriana


(2014) menemukan kebiasaan anak balita/anak pra sekolah mengonsumsi
sayuran buah yang porsinya kurang, berkaitan dengan kurangnya dukungan ibu.
Status gizi anak balita secara nasional ditunjukkan oleh prevalensi (BB/U) berat-
kurang anak balita: 19,6 persen (5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi
kurang), diantara 33 provinsi di Indonesia, 18 provinsi memiliki prevalensi gizi
buruk-kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen
sampai dengan 33,1 persen. (Riskesdas 2013).

Prevalensi kurang zat besi adalah yang tertinggi dari prevalensi


mikronutrien lainnya, dan dialami oleh seperempat populasi dunia (McLean 2009),
termasuk ibu hamil. Zat besi sangat dibutuhkan ibu hamil untuk mencegah
terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin tetap optimal. Kekurangan zat
besi pada ibu hamil akan berdampak pada pertumbuhan janin khususnya sel otak
yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan memori dan belajar.
Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit

6
90 pil zat besi selama kehamilannya, namun Riskesdas 2013 menunjukkan hanya
33,3 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya. Kurang zat besi
pada ibu hamil bukan hanya mempengaruhi tumbuh kembang janin dalam
kandungan yang berisiko stunting, juga risiko anemia zat besi pada bayi baru lahir
yang sangat membahayakan, apalagi jia tidak mendapatkan ASI secara eksklusif.
Asupan gizi mikro anak balita seharusnya terpenuhi dari konsumsi pangan
beragam dan bergizi seimbang, dan pemberian kapsul vitamin A. Pantauan
kecenderungan pemberian vitamin A pada anak balita secara nasional adalah
75,5 persen. Dari 33 provinsi terdapat 24 provinsi di bawah angka nasional
dengan terendah di Sumatera Utara (52,3%).

ASI sangat penting perannya dalam mendukung kualitas kelangsungan


hidup bayi, khususnya bayi dengan BBLR dan PBLP atau keduanya. IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) diberikansecara berkualitas dengan cara: segera setelah lahir
(tunda menimbang dan membersihkan) bayi diletakkan di atas dada ibu, dan
dibiarkan secara alami menemukan puting ibu, dan menyesap ASI selama satu
jam. Data Riskesdas 2013 menunjukkan 50 persen ibu telah memberi bayinya
ASI secara eksklusif sejak kelahiran, namun kemudian terus menurun hingga
bulan keenam, hanya 30,2 persen yang masih memberikan ASI secara eksklusif.
Keberhasilan IMD sangat menentukan keberhasilan ASI Eksklusif 6 bulan, yang
sangat besar manfaatnya sebagai makanan paling lengkap dan sempurna bagi
bayi, khusus bayi yang mengalami kurang gizi sejak dalam kandungan (BBLR dan
PBLP) ASI adalah pertolongan pertama yang harus diberikan saat kelahirannya.
Salah satu alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah karena ASI tidak
keluar yang dipicu oleh stress. Namun, sebenarnya ibu stress karena banyak
faktor, dan salah satunya justru adalah karena tidak bisa memberi ASI kepada
bayinya. Cakupan praktik IMD (Inisiasi Menyusu Dini) berkualitas dan ASI
eksklusif sangat perlu ditingkatkaan. Hampir 90 persen ibu hamil memilih bidan
sebagai tenaga kesehatan untuk pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya
(Riskesdas 2013), meski demikian hal ini tidak berdampak pada perilaku ibu untuk
IMD dan ASI Eksklusif 6 bulan, dan pemberian MP-ASI setelah usia 6 bulan.
Bimbingan praktis untuk sukses ASI kepada ibu sejak awal kehamilan, perlu
dimasukkan menjadi bagian dari komponen ANC.

7
Dimulainya pemberian MP-ASI adalah sumber gizi utama bagi pertumbuhan
bayi yang sangat pesat saat bayi berumur 6 bulan, sebab ASI saja sudah tidak
cukup. Kegagalan pemberian MP-ASI meliputi pemberian terlalu cepat, atau
terlalu terlambat; diberikan terlalu jarang dengan kandungan gizi yang tidak cukup
memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak balita. (Brown dkk 1998) Anak
balita sering tidak menghabiskan MPASI yang diberikan, sehinga interaksi dengan
ibu atau pengasuh saat makan sangat berperan. (Dewey dan Brown 2003).

Praktek pemberian prelakteat kepada bayi baru lahir: susu formula (79,8 persen),
susu non formula (1,6 persen), madu/madu dan air (14,3 persen), air gula (4,15
persen), air tajin (1,6 persen), air kelapa (0,9 persen), kopi (0,9 persen), teh manis
(1,2 persen), air putih (13,2 persen), bubur tepung/bubur saring (2,7 persen),
pisang dihaluskan (4,1 persen), nasi dihaluskan (2,3 persen). (Riskesdas 2013)

Kegagalan pemberian MPASI dapat menjadi awal proses terjadinya stunting,


karenanya bimbingan dan pemberian MP-ASI yang bersih, aman dan kaya zat
gizi terbukti berhasil mengurangi risiko stunting pada bayi usia 6-24 bulan (Imdad
et al 2011).

B.2. Perilaku Pengasuhan Kesehatan dan Tumbuh Kembang: dari


dalam kandungan hingga usia balita

Kondisi kesehatan bayi sejak dalam kandungan sampai usia balita sangat
tergantung pada perilaku pengasuhan kesehatan ibu hamil. Pengasuhan
kesehatan ibu hamil (ANC) yang terjadwal akan menolong dan mendukung
kesehatan ibu hamil dan pertumbuhan janin yang optimal, menurunkan risiko
kematian bayi neonatal (Kuhnt J dan Vollmer S 2017), dan mencegah terjadinya
stunting (Nohora F Ramirez dkk 2012, Schmidt dkk 2002).

Meningkatkan pengetahuan praktis ibu tentang kesehatan ibu dan anak sangat
diperlukan, agar memeriksakan kehamilan lengkap dan terjadwal: K1 ideal dan
K4: minimal 1 kali pada trisemester pertama (K1 ideal), 1 trisemester 2, dan 2 kali
trisemester 3. Secara nasional cakupan K1 ideal: 81,6% dan K4: 70,4%. Berarti
ada 12% yang melakukan K1 ideal yang tidak melanjutkan sampai K4, dan sekitar
30 persen ibu hamil tidak terpantau kondisinya. (Riskesdas 2013). Proses
terjadinya stunting mulai dari dalam kandungan, di Indonesia ditunjukkan oleh

8
data-data Riskesdas 2013 berikut ini: BBLR (2,5kg) 10,2 persen, PBLP (48 cm)
20,2 persen, dengan keduanya BBLR dan PBLP 4,3 persen, total 34,7 persen.

Pemantauan kondisi dan kesehatan bayi baru lahir atau Kunjungan


Neonatal (KN) dilakukan pada saat bayi berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2),
dan 8-28 hari (KN3) sangatlah penting karena tiga perempat dari kematian
neonatal terjadi pada 4 minggu pertama kehidupannya (Lawn JE dkk 2005).
Tenaga kesehatan akan dapat menolong ibu untuk mendukung tumbuh kembang
bayi, baik bayi dengan masalah kesehatan (berbagai komplikasi pada ibu saat
melahirkan, infeksi, asphyxia, dll,) termasuk bayi lahir dengan BBLR, PBLP, atau
keduanya BBLR dan PBLP. Namun Riskesdas 2013 menunjukkan secara
nasional cakupan kunjungan neonatal lengkap masih sangat rendah: 39,3 persen,
tertinggi di Yogyakarta (58,3 persen) dan terendah di Papua Barat (6,8 persen).
Alasan tidak melakukan pemeriksaan neonatal (kelompok umur 0-5 bulan): bayi
tidak sakit (78,9 persen), bayi tidak boleh dibawa pergi (8,2 persen), tempat
pelayanan jauh 11,2 persen), tidak punya biaya 4,7 persen).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan agar anak baduta tetap sehat dan
terhindar dari berbagai penyakit infeksi (Olofin dkk 2013), sehingga proses tumbuh
kembangnya tidak terganggu. Perilaku pengasuhan kesehatan untuk imunisasi
dasar pada anak baduta, dapat dilihat dari data cakupannya (Riskesdas 2013):
Lengkap (59,2 persen), Tidak lengkap (32,1 persen), Tidak imunisasi (8,7 persen)
(Riskesdas 2013). Alasan tidak pernah imunisasi L/P (Riskesdas 2013): Keluarga
tidak mengijinkan (27,2 / 25,1 persen), Takut anak menjadi panas (28,2/29,7
persen), Anak sering sakit (7,5/5,7 persen), Tidak tahu tempat imunisasi (5,0/8,7
persen), Tempat imunisasi jauh (21,5/22 persen), Sibuk/repot (18,7/14,2 persen).
Sebagai tenaga kesehatan pilihan hampir 90 persen ibu hamil (Riskesdas 2013),
bidan mempunyai peluang besar untuk memotivasi dan mendukung ibu hamil,
dengan alasan ini bidan juga masuk kelompok sasaran perubahan perilaku untuk
pencegahan stunting.

Tumbuh kembang anak balita tidak dapat dipenuhi hanya oleh pengasuhan
konsumsi dan kesehatan saja. Anak balita membutuhkan dukungan ibu dan
lingkungan agar dapat bertumbuh dan berkembang optimal, baik dalam bentuk
stimuli atau ‘pengalaman-yang-diharapkan (‘experience-expectant’) atau

9
‘pengalaman-yang-dialami’ (‘experience-dependent’). Stimuli yang diharapkan
bersifat universal, otak mengharapkan stimuli berupa input visual melalui syaraf
optik agar korteks visual dapat berkembang secara normal. Kecukupan asupan
gizi juga termasuk jenis ‘stimuli/pengalaman-yang-diharapkan’ otak dari
lingkungannya untuk pertumbuhannya yang normal. Sedangkan
stimuli/pengalaman-yang-dialami bersifat unik dan individu karena proses yang
terjadi adalah otak merespon apa yang dialaminya dari lingkungannya termasuk
dari ibu atau pengasuhnya (Greenough WT dan Black JE 1992).

Penelitian di Desa Rancamaya Kota Bogor (Meirita dkk 2000) menunjukkan


anak balita dengan status gizi baik memiliki ibu yang mengasuh dengan
afeksi/kasih sayang, rajin bercerita dan bercanda dengan anaknya, sebaliknya
anak balita KEP memiliki ibu yang hanya diam saja, tidak berkomunikasi, malah
sering berteriak dan memarahi. Pengetahuan tentang tumbuh kembang anak
akan membuat pola asuh/psikososial yang lebih baik (Meirita dkk 2000).

Meski penelitian tidak membuktikan hubungan ibu stres dengan kasus


stunting, namun penelitian di Jamaika menunjukkan anak balita yang
berpartisipasi dalam intervensi stimulasi psikososial mendapat manfaat dari
sumplemen zink yang diberikan, sedangkan yang tidak berpartisipasi dalam
intervensi stimulasi ini tidak mendapatkan manfaat dari sumplemen zink (Gardner
JM Powel dkk 2005). Karenanya intervensi komunikasi perubahan perilaku untuk
memperbaiki status gizi demi mencegah stunting, perlu dilaksanakan bersama
dengan intervensi peningkatan lingkungan rumah dan kualitas hubungan ibu
(pengasuh) dengan bayinya. (Prado E L dan Dewey G 2014).

B.3. Perilaku Higienis Pribadi: CTPS – Cuci Tangan Pakai Sabun

Perilaku higienitas diri tidak secara langsung menyebabkan stunting namun


prilaku pribadi yang tidak higienis bersama-sama dengan asupan gizi kurang
merupakan faktor tandem yang berdampak langsung kepada status infeksi
sebagai penyebab langsung stunting. Kondisi kurang gizi (malnutrition)
melemahkan sistem kekebalan tubuh (Savino W 2002, Peter Katona dan Judit
Katona 2008) sehingga infeksi akibat perilaku kurang higienis meningkatkan risiko
stunting dua kali lipat bagi anak balita yang kurang asupan gizinya (malnutrition).

10
Cuci tangan pakai sabun (CTPS) dengan air mengalir merupakan perilaku
yang efektif mencegah sakit diare pada bayi atau anak balita. Dalam riset Curtis
dan Cairncross (2003), CTPS di waktu-waktu penting dapat mengurangi risiko
anak terkena diare sebesar 42 -44% atau bila diterjemahkan lebih lanjut, CTPS
dapat mencegah 1 juta kematian anak balita per tahunnya. Kurang lebih, temuan
Curtis dan Cairncross tidak berbeda dengan kesimpulan Fewtrell et.al. (2005).

Di Indonesia, kampanye CTPS berlangsung sejak dua dekade terakhir,


dimotori pemerintah, sektor swasta (produsen sabun mandi dan cuci tangan),
organisasi kemasyarakatan dan LSM. Strategi yang diterapkan beragam, baik
mengandalkan iklan TV, melalui kegiatan kemasyarakatan seperti Posyandu atau
kegiatan keagamaan yang menjadi ajang untuk menyelipkan pesan CTPS.
Setelah sekian lama kampanye, rumah tangga miskin yang CTPS di waktu-waktu
penting masih rendah.

Seperti yang ditunjukkan data Riskesdas 2013, ternyata secara nasional


masih 12,9 persen BAB di sembarang tempat, serta rendahnya cakupan praktek
cuci tangan yang benar (kurang dari setengah populasi), hal ini jelas akan
mempertinggi risiko infeksi dan juga stunting. Periode pemberian MPASI adalah
masa kritis yang bisa menjadi pintu masuk penyakit infeksi baik saat penyiapan,
maupun saat pemberian, dan sistem penyimpanan makanan yang tidak aman
yang tidak tertutup/terkontaminasi. Cakupan praktek cuci tangan pakai sabun
secara nasional adalah 47,0 persen (Riskesdas 2013) menempatkan perilaku ini
sebagai sasaran perubahan yang harus diintervensi.

Hasil survei Formative Research IUWASH PLUS USAID (2016) terhadap


3.458 rumah tangga dari kelompok 40% termiskin di 15 kabupaten/kota Indonesia,
responden yang sama sekali tidak mempraktikkan CTPS di 5 waktu penting masih
mayoritas (67%) dari total responden. Kelompok Ibu yang memiliki balita, atau
paling berisiko, prosentasenya hampir sama, yaitu 65% sama sekali tidak CTPS di
waktu penting. Sekitar 35% dari total ibu balita yang disurvei mempraktikkan
CTPS, setidaknya pada satu di antara 5 waktu penting. Hanya sekitar 5% yang
mencuci tangan pakai sabun di semua 5 waktu penting. Kebanyakan atau 30%
dari total ibu balita itu melakukan CTPS pada 1-4 waktu penting.

11
Rendahnya praktik CTPS terkait dengan sejumlah faktor. Formative
Research IUWASH PLUS 2016 menemukan salah satu faktor yang menonjol,
yaitu persepsi tentang sabun. Sebagian besar (88%) dari total responden
memandang sabun sebagai bahan untuk membersihkan tangan (yang tidak bersih
atau kotor) yang bersifat tangible atau bisa ditangkap oleh panca indera. jika
tangan tidak terlihat, tercium atau teraba kotor, maka sabun tidak diperlukan dan
air saja dipandang telah memadai. Kesalahan persepsi ini cukup serius dan
memiliki konsekuensi terhadap isi pesan kampanye komunikasi yang perlu jadi
prioritas. Faktor kedua adalah sikap terhadap praktik CTPS itu sendiri. . Hasil
pengukuran dengan Likert-type scale,1 baru separuh atau 55% dari responden
yang bersikap positif dan mendukung praktik CTPS. Sisanya belum sepenuhnya
positif atau bahkan negatif. Ini berarti, pesan-pesan kampanye untuk perubahan
sikap perlu diprioritaskan untuk mendorong perubahan perilaku hidup sehat (aksi).

B.4. Budaya dan Kearifan Lokal

Tiap kebudayaan memiliki konsepsinya sendiri terkait dengan bahan-bahan


yang dianggap sebagai makanan dan bukan. Gizi memang terkandung dalam
makanan, namun makanan bagi manusia bukanlah sekedar sumber gizi. Makan,
makanan, dan selera makan berhubungan dengan organ dan fungsi tubuh. Rasa
adalah kemampuan dan kualitas fisik yang memunculkan reaksi emosional seperti
kenikmatan atau ketidaksukaan, namun citarasa makanan bukan sekedar
persoalan biologis terkait dengan indera pengecapan, tetapi juga diperoleh melalui
proses sosialisasi budaya.

Selera adalah produk budaya yang dibentuk melalui pengalaman dan


lingkungan sosial tertentu, dan budaya dishare dan dipelajari secara sosial
(Montanari 2004). Dengan demikian jelaslah manusia makan untuk berbagai
alasan. Meski rasa lapar pasti dialami oleh semua orang, namun apa yang akan
memuaskan rasa lapar berbeda antara satu orang dengan lainnya (Foster dan
Anderson 1984).

1
Likert-type scale disusun dengan 4 pernyataan, sbb: 1) Sebelum makan, cukup cuci tangan dengan air, tidak perlu pakai sabun, 2)
Mencuci tangan pakai sabun sebelum makan dapat mengurangi selera makan, 3) Sebelum menyuapi anak, kita harus mencuci tangan
pakai sabun, dan 4) Sehabis BAB kita harus cuci tangan dengan air bersih, tapi tidak harus pakai sabun. Uji Alpha Cronbach
menunjukkan tingkat iinternal konsistensi sebesar 0,587 dengan mengeluarkan pernyataan atau indikator no. 3.

12
Konsepsi budaya tentang makanan sering gagal melihat hubungan antara
makanan dan kesehatan, dan sangat memungkinkan munculnya persoalan gizi,
termasuk gizi buruk/kurang. Penelitian di Rawa Bogo, Bekasi menunjukkan hampir
semua anak balita gizi kurang yang menjadi kasus penelitian ini menyukai makan
mie instant dan berbagai jajanan yang mengandung pemanis buatan, bahkan ada
anak balita yang hampir tiap hari minum kopi dan ikan teri yang juga menjadi
kesukaan orang dewasa yang mengasuhnya. (Soerachman, Sulistiawati, dan
Purwanto 2016).

Adat pantang makanan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas dengan maksud
melindung ibu dan bayinya, banyak ditemui di masyarakat dunia, termasuk di
Indonesia. Budaya pantang makan tidak berpengaruh pada status gizi kelompok
kunci, jika makanan yang dipantang bukanlah pangan dengan kandungan gizi
tinggi. Namun, bila sebaliknya, maka pastilah akan berpengaruh pada status gizi
kelompok kunci khususnya ibu hamil dan janinnya, ibu nifas dan bayinya, juga jika
pangan sumber gizi penggantinya tidak tersedia. Program perubahan perilaku
juga perlu mempertimbangkan isu ini dalam rancangan kegiatannya. (Anggorodi
dan Sukandi 1998, Swasono dan Soselisa 1998, Soerachman, Sulistiawati, dan
Purwanto 2016).

Indonesia memiliki beragam pangan lokal. Karenanya, upaya untuk


meningkatkan penghargaan dan pemanfaatan pangan lokal menjadi penting untuk
dilakukan, terutama pangan lokal bergizi tinggi. Upaya ini dapat dilakukan di
daerah seperti Papua dan Maluku dengan sumber pokok karbohidratnya dari
pangan lokal yang tumbuh subur di daerahnya: sagu, umbi-umbian, sehingga
tidak harus berubah menjadi beras. Dengan demikian tidak mengancam
ketahanan pangan mereka yang pada pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizi dan kesehatan masyarakat, jika persediaan dan suplai beras yang
didatangkan dari luar daerah tidak dapat memenuhi kebutuhan, baik karena
ketersediaannya maupun akses untuk mendapatkannya. Dengan demikian
masyarakat tidak perlu berhenti memproduksi/menanam sagu dan umbi-umbian.
Intervensi komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan stunting perlu
mempertimbangkan pendekatan yang memberi peluang bagi pemberdayaan
budaya yang berdampak positif untuk disebar luaskan, dan perekayasaan ulang
budaya yang berdampak negatif agar menjadi positif.

13
B.5. Faktor Ekonomi Keluarga

Pekerjaan ayah yang menentukan pendapatan keluarga hampir selalu


memberi dampak signifikan pada status kesehatan dan gizi anggota keluarganya,
semakin tinggi pendapatan kemampuan pengeluaran keluarga, semakin baik
akses keluarga dalam menyediakan makanan yang beragam dan bergizi. Data
Susenas 2016 yang telah diolah dan dijustifikasi oleh Badan Ketahanan Pangan
berdasarkan golongan pengeluaran menunjukkan penduduk dengan golongan
pengeluaran diatas 500.000 rupiah/bulan memiliki konsumsi energi melebihi AKE
yang dianjurkan (>2000 kkal/kap/hari), sedangkan penduduk dengan golongan
pengeluaran 999.999 sampai dengan <150.000 rupiah per bulan memiliki
konsumsi energi dibawah AKE (1799–1374 kkal/kap/hari).

Beberapa penelitian sejalan dengan itu, penelitian Vonny dkk. (2013) di


daerah nelayan di Jayapura menunjukkan anak balita yang mempunyai orang tua
dengan tingkat pendapatan kurang memiliki risiko empat kali lebih besar
menderita status gizi kurang dibanding dengan anak balita yang memiliki orang
tua dengan tingkat pendapatan cukup. (Puti Sari 2014, Sihadi 2014, Hermina
2011, Noviati Fuada 2011, Supraptini 2006, Rahmawati 2015). Atas dasar
pemahaman ini, program perubahan perilaku perlu memasukkan upaya
meningkatkan ketersediaan pangan keluarga sebagai faktor pendukung
mandatoris, misalnya kegiatan ‘pekarangan sumber gizi keluarga’ dengan
dukungan bibit dari Kementan.

B.6. Pelayanan Tenaga Kesehatan: Bidan

Hampir 90 persen ibu hamil memilih bidan untuk memeriksakan


kehamilannya (Riskesdas 2013) namun hal ini tidak berdampak seperti yang
diharapkan pada perilaku ibu dalam mempraktekkan ASI Eksklusif 6 (enam) bulan
penuh, serta perilaku pengasuhan kesehatan setelah melahirkan bagi ibu dan
bayinya seperti yang telah disampaikan pada pembahasan di atas. Meningkatkan
peran bidan menjadi sangat penting untuk merespon perubahan perilaku yang
diharapkan pada calon ibu dan ibu hamil. Dengan alasan itu intervensi
komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan stunting memasukkan bidan
sebagai khalayak sasaran yang turut menentukan keberhasilannya.

14
C. HIGIENIS LINGKUNGAN RUMAH TANGGA: Air bersih, jamban dengan
tangki septik aman, terstandar, rumah sehat cukup ventilasi udara, dan
cahaya alami, serta ada sistem drainase rumah tangga

Disamping asupan gizi, faktor lingkungan rumah tangga turut berperan


dalam tumbuh kembang anak balita. Tempat ibu berada menentukan lingkungan
fisik dan biologis bagi tumbuh kembang anaknya, tapi juga bisa merupakan
lingkungan yang tidak sehat yang akan menghambat laju pertumbuhan, bahkan
kelangsungan hidupnya (Kuzawa 2007). Data dari WHO 2012 memperkirakan
bahwa infeksi diare mengancam kehidupan 1,87 juta anak balita setiap tahun di
seluruh dunia. Untuk Indonesia, WHO memperkirakan setiap tahun sekitar 31.200
balita meninggal karena diare. Artinya, lebih dari 31.000 anak di Indonesia tidak
dapat merayakan ulang tahun yang ke-5. Dengan demikian, adalah mandatori
untuk memasukkan faktor kontekstual kedalam program perubahan perilaku untuk
pencegahan stunting: air bersih, jernih, tidak berasa, tidak berbau; jamban leher
angsa, berpintu, berdinding kuat, dan beratap; dengan tangki septik tidak bocor,
dikuras terjadwal, jarak minimal 10 meter dari sumber air; rumah sehat, cukup
ventilasi dan cahaya alami, ada tempat penyimpanan makanan yang tertutup; ada
sistem drainase rumah tangga sehingga air limbah rumah tangga tidak mengalir
ke permukaaan tanah.

C.1. Air Bersih

Data Susenas 2016 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia yang


memiliki Sumber Air Minum yang Layak sudah bagus, yakni mencapai 71%. Data
Susenas terkait penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan air isi ulang
meningkat signifikan dari 1,83 % pada 2003, 13,05% pada 2009, dan 31,3% tahun
2016. Angka ini sangat tinggi, karena berarti 1 dari 3 atau sepertiga dari rumah
tangga Indonesia menggunakan AMDK dan air isi ulang.

Untuk kelompok miskin, Riset Formatif IUWASH PLUS USAID (2016) pada
3.458 rumah tangga di 15 kabupaten/kota Indonesia menemukan 39% rumah
tangga menggunakan air isi ulang sebagai sumber air siap minum sehari-hari.
Namun, kualitas air isi ulang memprihatinkan. Studi Pakpahan dkk. (2015) di kota
Kupang, 33,3% dari DAMIU menjual air isi ulang yang tercemar E-coli. Di
Makassar, seperempat (25,3%) mengandung E-coli (Kasim dkk., 2014).

15
Pengawasan DAMIU sangat longgar, mayoritas depot tidak memiliki ijin
usaha alias dikelola secara informal. Banyak Pemda tidak mengalokasikan dana
memadai untuk pemantauan dan pengawasan DAMIU, dana yang tersedia untuk
melakukan uji air pada sejumlah kecil depot isi ulang. Sosialisasi dan sanksi atas
pelanggaran kualitas air siap minum yang dijual tidak dilakukan. Riset IUWAS
PLUS USAID (2016) menemukan LCD (liter per capita per hari) atau konsumsi air
isi ulang di kalangan kelompok miskin 1,84 liter per kapita per hari. Belanja
mereka rata-rata per bulan 67.310 rupiah. Kebanyakan (79%) berpendapat
kualitas air isi ulang bagus, bahkan 17% menyatakan sangat bagus. Hanya 3,5%
menyatakan tidak bagus. Masalah ini sangat serius karena sepertiga DAMIU
tercemar ecoli, namun masyarakat memiliki persepsi positif!.

C.2. Sanitasi

Menurut Susenas 2017, capaian akses sanitasi di Indonesia sudah baik,


yakni 76,91% dengan 67,54% kategori layak, yakni memiliki fasilitas buang air
besar sendiri atau bersama, memakai kloset leher angsa, memiliki penampungan
tinja berupa tangki septik atau diolah di pengolahan air limbah terpusat. Riset
Formatif IUWASH Plus/USAID (2016) terhadap 3.458 rumah tangga kelompok
rumah tangga miskin di 15 kabupaten/kota di Indonesia, 77% memiliki jamban di
rumah. Rumah tangga miskin yang memiliki jamban, 65% dilengkapi tangki septik,
namun 12% menyalurkan tinja ke ruang terbuka (misal parit, sungai, dan kolam).
Padahal, kini telah terdapat aturan standar Nasional (SNI) tangki septik.

Rumah tangga yang memiliki tangki septik 65% tersebut tampak cukup
besar. Namun, kebanyakan jamban mereka dengan tangki septik tidak aman atau
cubluk. Usia tangki septik dan pengurasan (desludging) lebih dari 4 tahun atau tak
pernah menguras. Data survei IUWASH PLUS 2016, lebih dari separuh (52%)
memiliki tangki septik tidak aman atau bocor yang bisa mencemari sumber air,
hanya 13% memiliki tangki septik aman (namun, 12% memakai layanan sedot
tinja swasta dan hanya 1% menggunakan layanan pemerintah). Layanan swasta
belum tentu aman, karena kerap truk sedot tinja membuang ke sungai. Dari total
rumah tangga miskin yang disurvei, hanya 1% memiliki sarana sanitasi aman dan
memakai sarana yang aman untuk mengurasnya. Indonesia dalam standar SDG
bisa dikatakan sangat buruk karena angkanya baru 1%.

16
Tangki septik tidak aman atau isinya dibuang secara tidak aman berisiko
mencemari lingkungan (badan/sumber air tanah) dengan bakteri Escherichia-coli
sebagai penyebab utama penyakit diare. Uji sampel air sumur warga, BPLHD
Jogjakarta (2010) menemukan 70% mengandung E-coli. Bahkan pada 2011,
Bidang Pengendalian Pencemaran BLH Provinsi DIY memeriksa 34 sumur di kota
Jogja, Sleman dan Bantul. Hasilnya 97,06% sampel tidak memenuhi baku mutu
parameter bakteri E-coli dan coli tinja pada April dan Juli 2011 88,24% sampel
tidak memenuhi baku mutu parameter total coli (jogjaprov.go.id: 2011). BPLHD
DKI (2016) menemukan 53,7% air sumur warga yang diuji mengandung E-coli.

Survei IUWASH PLUS (2016) mendapati hanya 10% dari total responden
tahu tangki septik berfungsi untuk melindungi sumber air dari cemaran tinja.
Persepsi masyarakat tentang tangki septik yang baik/aman masih keliru.
Sebagian besar menganggap tangki septik yang baik dan aman itu tidak pernah
penuh atau tidak perlu penyedotan. Tangki septik yang tidak penuh selama tiga
tahun adalah indikator kebocoran tangki septik, berpotensi mencemari sumber air.
Tingginya angka pencemaran sumber air karena kebocoran tangki septik yang
tidak pernah dikuras terjadwal adalah masalah sangat serius untuk pencegahan
stunting.

Hasil survei IUWASH PlLUS 2016, 30% rumah tangga mengeluarkan uang
di atas Rp 400.000 untuk sekali penyedotan. Pangsa pasar layanan pemerintah
masih sangat kecil (1%) dibanding swasta (12%). Padahal, layanan pemerintah
lebih murah, warga mengeluhkan mahalnya layanan swasta. Dari hasil survei,
65% responden mengatakan ongkos penyedotan mahal atau sangat mahal.

C.3. Rumah Sehat: cukup ventilasi, cahaya alami, dengan sistem


drainase rumah tangga

Kondisi lingkungan sangat menentukan kualitas dukungan fisik dan biologis


tumbuh kembang anak balita Meski belum ada data yang menunjukkan cakupan
rumah sehat dari aspek adanya ventilasi dan cahaya alami yang cukup, serta
sistem drainase rumah tangga,untuk dianalisis, namun karena ketiga aspek ini
sangat besar perannya untuk dapat menyediakan lingkungan yang sehat bagi
anak balita, termasuk tersedianya tempat penyimpanan makanan yang tertutup
agar terhindar dari kontaminasi penyebab penyakit infeksi (tikus, lalat), maka butir

17
ini dimasukkan sebagai tambahan. Adanya sistem drainase rumah tangga
sehingga air limbah rumah tangga tidak mengalir begitu saja di atas permukaan
tanah akan membuat lingkungan sekitar rumah menjadi tempat yang sehat bagi
aktivitas bermain anak balita yang tentunya mendukung tumbuh kembangnya.
Sistem drainase rumah tangga tentunya harus didukung oleh sistem drainase
Desa yang dapat diintegrasi dengan sistem pengolahan limbah dengan berbagai
pilihan teknologi akrab lingkungan yang dapat diterapkan di Desa, ini pasti akan
sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak balita di Desa.

D. KOMUNIKASI KESEHATAN LINGKUNGAN

Untuk mencegah stunting, alur kontaminasi penyakit harus diputus


sebagaimana dijelaskan pada Model Komunikasi atau Kerangka Pikir Gambar
1 berikut sehingga akan tercipta manusia-manusia Indonesia yang sehat, cerdas,
dan mampu bersaing dengan mendorong dan membiasakan perilaku hidup sehat,
antara lain dengan akses dan pemanfaatan air yang sehat, sanitasi (tangki septik
atau jamban yang aman), dan perilaku higienis (kebiasaan cuci tangan pakai
sabun atau CTPS). Untuk mendorong perilaku atau gaya hidup sehat tersebut
tentu perlu dilakukan secara bertahap melalui strategi dan program komunikasi
berkesinambungan (Gambar 1) dengan tujuan berlapis (mulai dari memberikan
pemahaman atau pengetahuan yang memadai, mengubah persepsi dan sikap,
mengubah perilaku atau gaya hidup, hingga meraih dukungan dan aksi nyata
dengan melibatkan publik) melalui pengemasan pesan kreatif dan media
komunikasi untuk membidik tiga segmen utama di level rumah tangga, operator
(mereka yang menyediakan atau membangun fasilitas, aktivis, tokoh, tenaga
medis, dan lain-lain), serta regulator (pemerintah pusat dan daerah)

18
Gambar 1. Kerangka Pikir Komunikasi Terkait Kesehatan Lingkungan

Kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk penerapan komunikasi


perubahan perilaku sehat dari John Hopkins Center for Communication Programs
(John Hopkins CCP) seperti pada Lampiran 1. Model sebagai kerangka
konseptual dari Johns Hopkins CCP tersebut terdiri dari empat bagian, diawali
dengan (1) intervensi komunikasi melalui beragam media; dilanjutkan dengan (2)
unit perubahan; lalu (3) peningkatan perilaku sehat; dan 4) hasil atau outcomes
yang diharapkan terjadi dalam perilaku sehat.

E. STRATEGI KOMUNIKASI: Perubahan Perilaku Untuk Pencegahan Stunting

Dari pembahasan tantangan yang dihadapi program perubahan perilaku


untuk pencegahan stunting, disimpulkan bahwa perilaku konsumsi, pengasuhan
(khususnya ibu dan calon ibu), dan perilaku higienis pribadi dan lingkungan
masyarakat, masih jauh dari perilaku yang diharapkan, dan hal ini terjadi hampir
disemua tahap daur kehidupan (Gambar 2). Budaya, serta norma keluarga, bersama-
sama dengan kemampuan keluarga untuk menyediakan pangan bergizi yang cukup

19
bagi anggota keluarganya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari faktor perilaku
penyebab terjadinya stunting.

Gambar 2. Penyebab Stunting di Indonesia


- KEBIJAKAN POLITIK, - PENDIDIKAN
EKONOMI
- PENDAPATAN
- KETAHANAN PANGAN KELUARGA

- KURANGNYA KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA


KURANGNYA
- KURANGNYA PERILAKU HIGIENIS PRIBADI DAN ASUPAN GIZI
LINGKUNGAN

- KURANGNYA PERILAKU KONSUMSI DAN PENGASUHAN STUNTING


KESEHATAN DAN TUMBUH KEMBANG
BURUKNYA
- KURANGNYA PENGETAHUAN PRAKTIS TENTANG
KESEHATAN, GIZI, KEBERSIHAN STATUS INFEKSI

- BUDAYA DAN NORMA YANG KURANG MENDUKUNG


- KURANGNYA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN
- LINGKUNGAN YANG KURANG MENDUKUNG
Adaptasi Unicef’s Framework For Stunting

Untuk itu Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku untuk Pencegahan


Stunting yang diterapkan haruslah memperhatikan penguatan lingkungan (enabling
factor) meliputi pemahaman dan penyadaran individu, keluarga dan masyarakat yang
mempengaruhi pola asuh, pola konsumsi dan higienis pribadi dan lingkungan, dengan
kelompok sasaran: (1) Kelompok sasaran kunci: calon ibu/remaja putri, ibu hamil, ibu
dengan anak baduta dan balita; (2) Kelompok sasaran pendukung: suami, keluarga,
remaja putra/pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, komunitas peduli
kesehatan dan lingkungan, masyarakat Desa di mana kelompok kunci berada,
Operator DAMIU di Desa lokus; (3) Kelompok Tenaga Kesehatan: Bidan.

Positioning statement atau bagaimana kelompok sasaran menerima di benak


mereka intervensi komunikasi perubahan perilaku ini, ditulis dari sudut pandang
mereka: “Ooh ternyata begitu ya.., jadi kalau mau hamil tidak boleh kurus, selama
hamil makan yang banyak juga minum tablet tambah darah, kasih ASI langsung
waktu lahir, terus ASI Eksklusif 6 bulan penuh. Waktu bayiku tepat umur 6 bulan
kasih makanan pendamping ASI,. Ooh iya sama imunisasi musti lengkap ngak boleh
lupa. Nanti anakku jadi pinter, perawakannya tinggi cakep..” Memadukan statement
20
ini dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak balita Indonesia
seharusnya sama tinggi dan cerdasnya dengan anak seusianya baik di negara maju
maupun negara berkembang, minimum sampai usia lima tahun (WHO Multicenter
Growth Reference Study Group 2006, Papageorghiou et al. 2014), maka didapatkan
positioning statement yang merupakan pernyataan manfaat dari penerapan perilaku
yang diharapkan: “Anakku Hebat Bangsaku Kuat”, yang akan menjadi pesan
payung dari seluruh upaya pencegahan stunting yang dilaksanakan baik sensitif
maupun spesifik.

Kekuatan media khususnya media sosial untuk mengangkat isu penting


untuk dipikirkan masyarakat, akan digalang lewat kegiatan Media Advokasi, termasuk
pelatihan bagi jurnalis dan bloggers, sehingga mereka mendapatkan informasi dan
pengetahuan yang diperlukan melengkapi berita dan liputan mereka untuk
disampaikan kepada masyrakat. Sedangkan Kampanye Media ‘Anakku Hebat
Bangsaku Kuat’ melalui televisi dan bioskop akan diselingi dengan Kampanye Media
CTPS di 5 (lima) saat penting (sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan,
sebelum memegang binatang) yang dirancang terintegrasi/menjadi bagian dari
kampanye utama tentang pencegahan stunting, dan ditayangkan sebagai pendamping
kampanye utama (‘Anakku Hebat Bangsaku Kuat’). Sedangkan Ceramah tokoh
masyarakat dan tokoh agama, serta kunjungan rumah yang dilakukan oleh
Puskesmas (dan kader kesehatan) akan memberikan motivasi yang turut memperkuat
dorongan terjadinya perubahan perilaku yang diharapkan.
Memanfaatkan kekuatan dari pendekatan ekologi yang dimilikinya, Mobilisasi
Masyarakat dipilih sebagai saluran utama komunikasi perubahan perilaku untuk
pencegahan stunting (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Mobilisasi Masyarakat Desa Sebagai Saluran Utama

21
Toma,
Toga Liputan
Media Media Cetak, Media
Kunjungan Massa, Sosial, Bioskop,Radio
Rumah Media
oleh Sosial
Puskesmas

Saluran Utama
Intervensi MOBILISASI
Komunikasi MASYARAKAT
Perubahan DESA
Perilaku

Kampanye
Media
'Anakku
Hebat TV, Bioskop, Radio
Bangsaku
Kuat' dan
CTPS

Mobilisasi Masyarakat Desa adalah suatu proses yang melibatkan seluruh


sektor masyarakat di Desa, yang digerakkan oleh Kepala Desanya untuk
bersama-sama menemukenali masalah ‘perilaku ideal’, menyepakati ‘perilaku
layak’, menemukenali hambatan yang dihadapi untuk mempraktekkan ‘perilaku
layak’ (enabling factors) dan solusinya, menyepakati mana yang dapat mereka
atasi dan mana yang tidak, yang memerlukan dukungan pemerintah (intervensi
sensitif). Diharapkan melalui Mobilisasi Masyarakat Desa ini seluruh sektor
masyarakat Desa akan terjangkau, dan intervensi komunikasi yang dijalankan
dapat memberi pengaruh positif mendukung perubahan perilaku individu. (Gambar
4)

Gambar 4. Analisis Konsep Ideation

ANALISIS KONSEP IDEATION


Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Faktor umum
yang secara
ditingkat individu
simultan
mempengaruhi
perilaku
Pengetahuan
Advokasi Intervensi
Sikap komunikasi dapat
Personal
mempengaruhi
seluruh faktor ini
Citra Diri
Pengaruh
Sosial
PERILAKU Risiko Semakin banyak
yang faktor yang positif
Emosi Dirasakan semakin besar
kemungkinan
22 terjadinya perubahan
Kemampuan perilaku yang
Norma diinginkan
Diri
© 2015 Johns Hopkins CCP All rights reserved

Susan B Rifkin (2009) memandang penting partisipasi komunitas untuk


peningkatan kesehatan. Menurutnya, masyarakat akan berperilaku dan merespon
secara positif terhadap pelayanan kesehatan bila mereka ikut dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan tentang bagaimana layanan kesehatan itu digerakkan,
sehingga mereka membantu agar pelayanan kesehatan bisa berkesinambungan.
Bahkan mereka rela menghadapi risiko, karena mereka juga memiliki sumberdaya
secara individual dan kolektif seperti alokasi waktu, uang, material, dan energi yang
bisa disumbangkan untuk kegiatan peningkatan kesehatan masyarakat. Akhirnya,
masyarakat memperoleh informasi, keterampilan, dan pengalaman baru dalam
keterlibatan komunitas yang membantu mengendalikan kehidupan mereka sendiri
dan sistem sosial agar berkelanjutan (Gambar 5).

Gambar 5. Cycle Pelaksanaan Mobilisasi Masyarakat Desa Perubahan Perilaku Pencegahan Stunting

Dengan memperhatikan Kekuatan dan Tantangan Mobilisasi Masyrakat Desa


(Tabel 1.) sebagai saluran utama intervensi perubahan perilaku untuk pencegahan

23
stunting, maka dapat diantisipasi hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
menyusun kegiatan maupun materi komunikasi, informasi dan edukasi yang akan
digunakan.

Tabel. 1.

F. INTERVENSI KOMUNIKASI: Perubahan Perilaku untuk Pencegahan Stunting


Terintegrasi dengan Intervensi Spesifik dan Sensitif

Intervensi komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan stunting


dilaksanakan terintegrasi dengan Intervensi Spesifik dan Sensitif untuk
memastikan tersedianya faktor-faktor pemungkin (enabling factors) dibutuhkan

24
warga Desa untuk dapat mempraktekan perilaku yang diharapkan: air, sanitasi,
sistem drainase rumah tangga dan desa, bibit untuk ‘Pekarangan Sebagai
Sumber Gizi Keluarga’ dan lain-lain sesuai kondisi tiap Desa lokus. Dengan
menggunakan kerangka konsep Johns Hopkins Center for Communication
Program (Lampiran 1), intervensi komunikasi ini akan dilaksanakan sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 6.

Tujuan Intervensi komunikasi:


 Warga Desa Lokus berperilaku ‘Sadar Stunting’
 Perilaku ‘Sadar Stunting’ menjadi norma keluarga
 Warga Desa Lokus Bebas Intergenerasi Stunting
Intervensi komunikasi yang dilaksanakan:
 Kampanye Media untuk membangun minat masyarakat lewat televisi,
bioskop, dan koran nasional
 Mobilisasi Masyarakat Desa sebagai saluran utama intervensi perubahan
perilaku, dengan menggunakan materi komunikasi, informasi dan edukasi
efektif, yang dirancang untuk tujuan perubahan perilaku, dengan
mempertimbangkan tantangan-tantangan yang telah dibahas, termasuk
memberi peluang mempertemukan kearifan lokal (berdayakan yang positif
untuk disebar luaskan, perbaikan/rekayasa ulang yang negatif agar menjadi
positif).
 Menyampaikan pesan-pesan pengingat (reminder) lewat radio, media
sosial, bioskop
 Advokasi personal lewat kunjungan rumah oleh Puskesmas
 Ceramah motivasi oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat di Desa
 Peningkatan peran dan kompentensi bidan (bekerja sama dengan IBI)
sebagai tenaga kesehatan pilihan dari hampir 90 persen ibu hamil
(Riskesdas 2013)
 Intervensi Spesifik, dan
 Intervensi Sensitif
Sasaran Perubahan:
Faktor Psikologis Individu
 Pengetahuan, keyakinan

25
 Keterampilan
 Penyikapan terhadap perilaku yang diharapkan
 Emosi
 Citra diri
 Pengaruh sosial
 Kemampuan diri
 Advokasi personal
Faktor Psikologis Keluarga
 Dukungan anggota keluarga
 Pembagian tugas keluarga
 Penyikapan yang sama atas perilaku yang diharapkan
Faktor Psikologis Masyarakat Desa
 Medukung dan mempioritaskan
 Pembagian tanggung jawab untuk kepentingan bersama
 Norma sosial
 Kepemimpinan
Faktor Penunjang
 Ketersediaan air bersih, termasuk terstandarnya air di DAMIU
 Jamban sehat, leher angsa, alntai kering, berpintu, berdinding kuat, dan
beratap, tangki septik tidak bocor/terstandar
 Pekarangan sumber gizi keluarga
 Sistem drainase rumah tangga dan Desa
 Pengolahan limbah Desa
Perubahan Perilaku:
Pengasuhan Kesehatan, Tumbuh Kembang dan Afeksi
 Perawatan Kehamilan ANC Lengkap – K1 Ideal dan K4
 Perawatan Neonatal Lengkap KN1, KN2, KN3
 Perawatan Nifas Lengkap
 Imunisasi Dasar Lengkap dan terjadwal
 Timbang, Ukur terjadwal
 Pengasuhan tumbuh kembang dengan afeksi/kasih sayang
Perilaku Konsumsi
 Pola makan – Isi Piringku: Beragam Bergizi Seimbang

26
 Minum pil zat besi 90 hari tanpa absen selama kehamilan
 IMD berkualitas, dan ASI Ekslusif 6 bulan penuh
 MPASI bergizi diberikan tepat saat bayi berumur 6 bulan
Perilaku Higienis
 CTPS dengan air mengalir di 5 saat penting
 BAB di jamban, tidak di sungai atau sembarang tempat
 Tidak merokok di dalam rumah, dan simpan makanan tertutup

27
Gambar 6. INTERVENSI KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU UNTUK PENCEGAHAN STUNTING TERINTEGRASI DENGAN INTERVENSI SPESIFIK DAN SENSITIF
HASIL YANG
INTERVENSI KOMUNIKASI (1) SASARAN PERUBAHAN (2) Perubahan Perilaku (3) DIHARAPKAN (4)

KAMPANYE MEDIA Individu


- Pengetahuan, keyakinan Pengasuhan Kesehatan, Tahap I
- Keterampilan Tumbuh Kembang & Afeksi
MEDIA ADVOCACY
- Penyikan terhadap perilaku - ANC – K1 ideal dan K4 Warga
(MEDIA MASSA, &
yang diharapkan - Neonatal- KN1, KN2, KN3 Desa/Kel
SOSIAL)
- Emosi - Imunisasi Dasar lengkap Berperilaku
- Citra diri dan terjadwal ‘Sadar
PENINGKATAN - Kendali diri - Timbang, Ukur terjadwal Stunting’
KOMPETENSI BIDAN - Pengaruh sosial - Rajin bercerita dan
- Kemampuan diri bercanda pada bayi sejak
KUNJUNGAN RUMAH - Advokasi personal lahir sampai remaja
OLEH PUSKESMAS Keluarga Perilaku Konsumsi
- Pola makan ‘Beragam, Tahap II
- Dukungan anggota keluarga
Bergizi Seimbang, dan

Faktor Psikologis
- Pembagian tugas keluarga ‘Sadar
CERAMAH MOTIVASI - Penyikapan yang sama atas Cukup’ Stunting’
TOMA, TOGA perilaku yang diharapkan - Minum pil zat besi 90 hari menjadi
Masyarakat Desa selama kehamilan Norma
- Dukung & Prioritas - IMD, ASI Eksklusif 6
Keluarga
- Pembagian tanggung jawab bulan penuh
MOBILISASI - Norma sosial - MPASI sehat tepat saat
MASYARAKAT DESA - Kepemimpinan bayi berumur 6 bulan
+ MATERI KIE yang - Beri bayi Vit A sesuai Tahap III
Multisektor/Intervensi Sensitif jadwal
efektif Perilaku Higienis
- Air berih dan aman + DAMIU Desa/Kel
terstandar CTPS dengan air mengalir di Bebas

JADWAL
- Jamban, Tagki septik aman 5 saat penting Intergenerasi
INTERVENSI - Rumah sehat BAB di jamban Stunting
SPESIFIK DAN - Pekarangan Sumber Gizi Keluarga Tidak merokok di dalam

SINKRON LOKUS DAN


SENSITIF - Drainase rumah tangga & Desa rumah

Faktor Penunjang
- Pengolahan limbah Desa Simpan makanan tertutup
G. REKOMENDASI
Pencegahan stunting harus menjadi gerakan dan tanggung jawab bersama
multisektor untuk mewujudkan ‘Anakku Hebat Bangsaku Kuat’ agar Generasi yang hilang
(Lost Generation) menjadi Generasi Tangguh Menyongsong Bonus Demografi Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu:

1. Bekerja sama dengan IBI menjalankan kegiatan yang meningkatkan


kompetensi dan peran bidan, khususnya untuk sukseskan IMD, ASI Eksklusif
6 bulan penuh, MPASI, cakupan kunjungan ANC dan NEONATAL Lengkap,
serta mengukur panjang/tinggi badan anak balita, dan komponen ANC
lainnya.
2. Memasukkan bimbingan praktis untuk sukses ASI kedalam komponen ANC.
3. Melengkapi Posyandu dengan alat ukur panjang/tinggi badan, dan
melaksanakan pelatihan penggunaannya untuk kader Posyandu.
4. Menetapkan Strategi Komunikasi pelaksanaan perubahan perilaku pola asuh, pola
konsumsi, lingkungan yang higienis (penggunan air, jamban dan sanitasi yang
sehat dan aman), serta cuci tangan pakai sabun (CTPS) dengan air mengalir,
untuk pencegahan stunting. Untuk konvergensi dan kesinambungan kegiatan
perlu ditunjuk lembaga koordinator.
5. Menetapkan 10 (sepuluh) Kunci Sukses untuk mewujudkan ‘Anakku Hebat
Bangsaku Kuat’ dengan sasaran utama calon ibu, ibu hamil, dan ibu dengan anak
balita:
1. Calon ibu merencanakan kapan keluarga, mengkonsumsi pangan
bergizi seimbang dan aman, lingkar lengan atas tidak kurang dari 23,5
cm.
2. Calon ibu secara rutin minum tablet besi dan asam folat tanpa absen,
mempersiapkan “SUKSES ASI” dengan mengikuti kelas ibu hamil.
3. Pemeriksaan kehamilan dan konseling di fasilitas kesehatan dilakukan
sesuai jadwal.
4. Ibu melahirkan di fasilitas kesehatan dan langsung melakukan Inisiasi
Menyusu Dini (IMD) berkualitas.
5. Ibu memberikan ASI Eksklusif enam bulan penuh, dan Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) pada saat bayi tepat berusia enam bulan
dengan menu makanan bervariasi.
6. Melakukan pemeriksaan kesehatan bayi, Ukur, Timbang, memberikan
imunisasi dan vitamin sesuai jadwal.
29
7. Ibu rajin bercerita dan bercanda dengan bayi sejak baru lahir sampai
remaja.
8. Mengkonsumsi air minum yang sehat, aman, dan bebas dari cemaran.
9. Menggunakan jamban dan tangki septik yang aman sesuai Standar
Nasional Indonesia (SNI) dengan pengurasan tangki septik terjadwal.
10. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dengan air yang mengalir di lima
waktu penting (sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan,
sebelum memegang bayi, sesudah BAB, sesudah memegang
binatang).
6. Menyusun program intervensi perubahan perilaku yang memperhatikan kesamaan
lokus, fokus dan jadwal. Intervensi meliputi: kampanye media, advokasi media
massa dan media sosial, ceramah tokoh masyarakat dan tokoh agama, kunjungan
rumah oleh Puskesmas, dan mobilisasi masyarakat, didukung intervensi spesifik dan
sensitif, diikuti peningkatan kompetensi bidan.
7. Intervensi perubahan perilaku untuk pencegahan stunting harus memperhatikan
penguatan lingkungan (enabling factor) meliputi upaya peningkatan pendapatan,
pemahaman dan penyadaran individu, keluarga dan masyarakat yang mempengaruhi
pola asuh, pola konsumsi dan kesehatan lingkungan.

30
Lampiran 1. Kerangka Konseptual untuk Mendorong Perilaku Sehat

Source: John Hopkins Center for Communication Programs (John Hopkins CCP)

31
Daftar Referensi
Abd. Hakim Laenggeng1 & Yance Lumalang. (2015). “Hubungan pengetahuan gizi dan
sikap memilih makanan jajanan dengan status gizi siswa SMP Negeri 1 Palu”. Jurnal
Kesehatan Tadulako Vol. 1 (1):49–57
Abd.Kadir A. (2016) . “Kebiasaan Makan Dan Gangguan Pola Makan Serta Pengaruhnya
Terhadap Status Gizi Remaja”. Jurnal Publikasi Pendidikan Vol. 1
Amelinda Calinda Rahma, Siti Rahayu Nadhiroh. (2016). “Perbedaan sosial ekonomi dan
pengetahuan gizi ibu BALITA gizi kurang dan gizi normal”. Media Gizi Ind Vol.
11(1):55 – 60
Annisa Sophia Badan Litbangkes, Kemenkes. (2014). Laporan Survei Konsumsi
Makanan Individu
Benitez-Bribiesca et al. (1999). Dendritic spine pathology in infants with severe protein-
calorie malnutrition. Pediatrics 104 (2), 1–6. {PubMed}
Black et al (2008) Maternal and chils undernutrition: global and regional exposures and
health consequences. Lancet 382, 427-451. {PubMed}
BPLHD Jogjakarta (2011): http://blh.jogjaprov.go.id/detailpost/pemantauan-
kualitas-air-sumur.
Branca F, Ferrari M. (2002). Impact of micronutrient deficienccies on growth: The stunting
syndrome. Ann Nutr Metab. 46(Suppl 1): 8–17 .
Brown J. L. & Pollitt E. (1996). Malnutrition, poverty and intellectual development.
Scientific American 274, 38-43. {PubMed}
Cordero et al (1993). Dendritic development in neocortex of infants with early postnatal
life undernutrition. Pediatric Neurology 9 (6), 457–464. {PubMed}
Dangour AD et al. (2013). Intervention to Improve Water Quality and Supply, Sanitation
and Hygiene Practices, and Their Effects on the Nutritional Status of Children.
Cochrane Database of Systematic Review 2013. DO: 10.1002/ 14651858.
CD009382. pub2
Desti Sagita Putri1* Dan Dadang Sukandar. (2012). Keadaan rumah, kebiasaan makan,
status gizi, dan status kesehatan balita di kecamatan tamansari, Kabupaten
Bogor. Jgp, Vol 7(3)
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia.
(2017). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Penjelasannya Tahun 2016.
Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat,
DKI, BPLHD (2016): http://www.koran-jakarta.com/masyarakat-dki-diimbau-sedot-limbah-
tinja/

32
Elizabeth Prado and Kathryn G. Dewey. (2014). Nutrition and brain development in early
life. Nutriion Reviews Vol. 72(4):267–284
Engle P, Lhotska L, Armstrong H. (1997). The Care Initiative: Assessment, Analysis
And Action To Improve Care For Nutrition. United Nations Childrens Fund,
Nutrition Section, New York.
Engle P, Menon P, Haddad L. (1997b). Care and Nutrition: Concepts and
Measurement. International Food. Policy Research Institute, Washington DC,
USA.
Fewtrell et. al. (2005). Water, Sanitation, and Hygiene Interventions to Reduce Diarrhoea
in Less Developed Countries-a systematic review and meta-analysis. The lancet
infectious Diseases Vol.5 No.1 PP.42-52
Fitri Respati Ambarwati, SKM, M.Kes (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Foster, George M, and Barbara G. Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan
(Penerjemah: Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Swasono). UI-PRESS
Guoyao Wu, Fuller W. Bazer, Timothy A. Cudd et al (2004). Maternal Nutrition and
Fetal Development American Society for Nutritional Sciences Downloaded
from https://academic.oup.co./jn/article-abstract/134/9/2169/4688801 on 20 April
2018
Hermina dan Sri Prihatini (2011). Gambaran keragaman makanan dan sumbangannya
terhadap konsumsi energi protein pada anak BALITA pendek di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 39(2):62–73
Intje Picauly dan Sarci Magdalena Toy. (2013). Analisis determinan dan pengaruh
stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di kupang dan sumba timur, ntt.
Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 8(1): 55—62
Jim Mann and A. Stewart Trustwell (2014). Buku Ajar Ilmu Gizi
Kasim, K. Et al. (2014). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Cemaran Mikroba dalam
Air Minum Isi Ulang pada Depot Air Minum Kota Makassar Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol.13 No.2/Oktober 2014.
Lina Nurbaidi (2014). Kebiasaan Makan Balita Stunting Pada Masyarakat Suku
Sasak:Tinjauan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
McLean E et al. (2009) Worldwide prevalence of anaemia, WHO vitamin and mineral
nutrition information system, 1993-2005. Public Health Nutr. 12, 444-454
10.1017/s1368980008002401 {PubMed}
Montanari, Massimo. (2004). Food is Culture New York: Columbia University Press
Melviana, M, et al. (2014), Hubungan Sanitasi Jamban dan Air Bersih dengan Kejadian
Diare pada Balita di Kecamatan Medan Marela, Kota Medan. (tidak dipublikasikan)

33
Noviati Fuada, Sri Muljati dan Tjetjep S. Hidayat (2011). Karakteristik anak balita dengan
status gizi akut dan kronis di perkotaan dan perdesaan di indonesia (RISKESDAS
2010) Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 10(3):168–179
Oliver Cumming and Sandy Cairncross. Maternal and Child Nutrition 2016, 12
(Suppl.1), pp. 91-105
Olofin et al. (2013). Association of suboptimal grorwth with all-causes and cause-specific
mortality in children under five years. PloS ONE 8(5): e64636.
O’Sullivan, G. A. Yonkler, J. A. Morgan, W., Merrit A. P. A. (2003). Field Guide to
Designing a Health Communication Strategy, Baltimore, MD: Johns Hopkins
Bloomberg School of Public Health/Center for Communication Programs
Ozek E. & Tuncer M. “Intrauterine growth retardation”. Marmara Medical Journal
Volume 4 No. 2 April 1991
Papageorghiou et al. (2014). International standart for fetal growth based on ultrasound
measurements: the Fetal Growth Longitudinal Study of the INTERGROWTH-21st
Project. the Lancet Volume 384, No. 9946, p869-879 2014
Pakpahan, R. S, et al.. (2015). Cemaran Mikroba Escherichia coli pada Air Minum Isi
Ulang, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.9, No.4, Mei 2015
Puti Sari H., Dwi Hapsari, Ika Dharmayanti, Nunik Kusumawardani (2014). Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap risiko kehamilan “4 Terlalu(4-T)” pada wanita usia 10-
59 tahun. Media Litbangkes Volume 24, No. 3
Rifkin B. S., and Pridmore P (2001). Partners in Planning. Oxford: Macmillan
Rifkin B. S. (2009). Lesson from community participation in health programes: a review of
post Alma-Ata experience. International Health 1, 31-36
Rifkin B. S. (1996). Paradigm Lost: Toward a new understanding of community
participation in health programmes. Acta Tropica 61(1996) 79-92
RISKESDAS 2013.
Rizka Febriana dan Ahmad Sulaeman 2014. “Kebiasaan makan sayur dan buah ibu saat
kehamilan kaitannya dengan konsumsi sayur dan buah anak usia prasekolah”
Jgp, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014
Saleh, Muh et al. (2013), Hubungan Kondisi Sanitasi LingkungN DENGAN Kejadian Diare
pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Baranti, Kabupaten Sidrap. (tidak
dipublikasikan)
Savino M (2002) The thymus gland is a target in malnutrition. European Journal of
Clinical Nutrition 56, Suppl 3, S46-S49
Semba R. D. (2016) Child stunting is associated with low circulating essential amino
acids. EbioMedicine (2016) 246-252

34
Sihadi dan Poedji Hastoety Djaiman (2011). Peran kontekstual terhadap kejadian balita
pendek di indonesia PGM 34(1):29–38
Sjahmien Moehji (2009) Buku Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk
Soerachman, Sulistiawati, Purwanto (2016). Asal Perut Tidak Kosong Di Kalangan Balita
Di Rawa Bogo. Jakarta: Kanisius
Spears D (2013). “How much international variation in child height can sanitation
explain?” Policy Paper World Bank 2013
USAID (2017). Indonesia Urban Water, Sanitation and hygiene Penyehatan Lingkungan
Untuk Semua Formative Research (IUWASH PLUS) USAID.

(WHO (2014), Childhood Stunting: Challenges and opportunities, Report of Promotiong


Healthy Growth and Preventing Chilhood Stunting Colloguim. Ganeva : World
Health Organization, 2014
WHO. 2013. Childhood stunting: context, causes and consequences. WHO conceptual
framework
WHO Multicentre Growth Reference Study Group 2006
WHO (2008). Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005 WHO Global Database on
Anaemia
Winick M. and Rosso P (1969). The effect of severe early malnutrition on cellular growth
of human brain Pedia Res 3:181–184

35
...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................

...............................................................................................................................................................................................
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI 2018

Draft Rumusan Rekomendasi Bidang 1 WNPG XI 2018

PENINGKATAN GIZI MASYARAKAT

Sekretariat
Biro Kerja Sama Hukum dan Humas LIPI
Sasana Widya Sarwono Lt.5 Jln. Jend Gatot Subroto Kav. 10 Jakarta 12710
Telp. 021-5225711 ext.1236, 1240, 1233
Fax. 021-5251834

Anda mungkin juga menyukai