Anda di halaman 1dari 11

sebab dari preeklampsia pada masa ini lewat karya-karya tulis.

Salah satu tokoh


yang mendapat sorotan adalah dr. Thomas Denman (1821). Beliau juga menulis
buku berjudul ‘Practice of Midwifey’. Menurut Thomas, kebiasaan tertentu atau
faktor eksternal lainnya memiliki hubungan dengan kejadian kejang pada
kehamilan. Faktor tersebut antara lain, tinggal di lingkungan perkotaan yang
besar. Selain itu, Thomas berpendapat bahwa semakin teregangnya uterus,
pembuluh darah descending mendapat tekanan yang besar. Tekanan ini
mengakibatkan regurgitasi darah di kepala dan berujung kepada kelebihan
cairan di pembuluh darah otak. Tekanan intra kranial yang meningkat akibat hal
ini adalah penyebab terjadinya kejang pada wanita hamil.

Pada tahun 1849, tokoh lainnya yaitu dr. William Tyler Smith
memberikan pendapat yang berbeda dari teori Thomas Denman. Pada karyanya
yang berjudul ‘Parturition and the Principles and Practice of Obstetrics’,
William mengatakan bahwa pada kala 2 kontraksi uterus juga mempengaruhi
sirkulasi darah, sehingga harusnya lebih banyak kasus kejang pada kehamilan
jika penyebabnya memang kontraksi uterus. William mengajukan beberapa
penyebab kejang seperti, stimulus mekanis atau emosional yang berlebihan pada
spinal sentral, bloodletting, variasi angin, suhu, dan keadaan cuaca lainnya,
iritasi pada uterus, serviks, usus dan lambung, dan yang terakhir adalah bahan-
bahan toksik. Terkhusus untuk bahan-bahan toksik, William percaya bahwa
penjagaan kesehatan selama kehamilan bergantung kepada kelancaran eliminasi
dari zat-zat buangan (feses, urine, plasenta, janin mati). Kegagalan dalam proses
eliminasi ini

2.1.2. Tatalaksana

Penyebab preeklampsia pada masa ini dipercaya karena keseimbangan


cairan seseorang. Maka, pengobatan yang dilakukan adalah restorasi
keseimbangan cairan tersebut. Langkah-langkah yang dahulu dilakukan antara
lain, perubahan pola makan, bloodletting, dan pengeluaran cairan lewat urine,
feses, dan muntah.

2.1.3. Klarifikasi

Preeklampsia dan eklampsia tidak memiliki klarifikasi yang formal pada


zaman sebelum masehi.

2.2. Abad Pertengahan dan Renaisans

2.2.1. Penyebab

Abad pertengahan merupakan masa terlambatnya perkembangan ilmu


ilmiah dan medis. Hal ini dikarenakan pengaruh dari kekaisaran Bizantium pada
era 400 – 1700 masehi. Kekaisaran Bizantium yang menganut agama kristiani
pada waktu itu melarang ilmu pengetahuan termasuk pembedahan manusia.
Penutupan sekolah kedokteran di Athena dan Alexandria juga semakin
memperlambat ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu obstetric secara
khusus.

Diantara tahun 700 – 1200 masehi, Kekaisaran Bizantium melemah dan


begitu pula pengaruh agama kristiani. Sebagai bentuk awal baru kemajuan ilmu
medis adalah dibukanya sekolah kedokteran pertama di Salerno, Italia. Pada
masa ini, teori Four Humour mengalami sedikit modifikasi yaitu bahwa ketika
ada ketidakseimbangan cairan, salah satu cairan akan mendominasi untuk
membentuk keseimbangan baru. Cairan yang mendominasi itu selanjutnya akan
menentukan karakteristik fisik dan emosional seseorang.

Selama masa renaisans tepatnya tahun 1537, Paus Clement VIII


memberikan izin pembelajaran anotomi manusia dengan pembedahan.
Kebebasan yang baru ini dimanfaatkan oleh beberapa seniman dan ahli anatomi
untuk memperjelas deskripsi anatomi reproduksi wanita, antara lain Jacopo
Berengiaro da Capri (1460-1530), Nicolaus Massa (1499-1569), Leonardo da
Vinci (1452-1519), Andreas Vesalius (1514-1564), dan Fallopius (1523-1562).
Contohnya, Fallopius yang pertama kali memberikan deskripsi akurat mengenai
tuba Fallopi dan Ovarium. Beliau juga yang menamai tuba Fallopi dan Plasenta.

Pada abad ke-17, kemajuan ilmu kedokteran terus berlanjut dan bidang
obstetri dibentuk sebagai suatu disiplin ilmu khusus. Seorang berwarganegara
perancis lahir pada tahun 1637 bernama Francois Mauriceau adalah salah satu
tokoh yang memiliki peran signifikan dalam pembentukan spesialis obstetri.
Francois merupakan orang pertama yang secara sistematis menjelaskan
preeklampsia dan eklampsia serta beliau mengatakan bahwa wanita
primigravida lebih memiliki risiko untuk kejang dibandingkan wanita
multigravida. Menurut Francois, penyebab kejang pada wanita hamil adalah
abnormalitas aliran lochia ataupun kematian janin di dalam kandungan. Pada
abnormalitas aliran lochia, gejala yang dapat muncul adalah inflamasi, nyeri
pada kepala, kejang, sesak nafas, dan kemungkinan dapat terjadi kematian.
Sedangkan, untuk anggapan bahwa penyebab kejang adalah janin yang mati,
Francois berpendapat bahwa jasad janin di dalam uterus menimbulkan bau
menyengat, cairan keluar dari rahim, dan merupakan faktor predisposisi wanita
untuk kejang.

2.2.2. Tatalaksana

Pengobatan medis pada abad pertengahan tetap dipengaruhi oleh agama


kristiani. Oleh karena itu, obat-obatan yang diberikan dokter pada masa itu
seringkali diganti oleh jimat, doa-doa, dan faith healing. Namun, seiring
melemahnya pengaruh agama kristiani, pengobatan yang mirip pada masa
sebelum masehi kembali dilakukan. Contohnya, untuk mengurahi kongesti
serebral dan mencegah eclampsia, Francois merekomendasikan 2-3 phlebotomi
selama kehamilan.
2.2.3. Klarifikasi

Pada akhir zaman Renaisans, terjadi perkembangan dalam klarifikasi


preeklampsia. Gabelchoverus membedakan epilepsi menjadi 4 tipe pada tahun
1596, yaitu epilepsi yang berasal dari kepala, lambung, uterus yang hamil, dan
ekstremitas. Sedangkan, untuk penggunaan terminologi ‘Eklampsia’ pertama
kali digunakan di karya Varandeus.

2.3. Abad 18-19M

2.3.1. Penyebab

Pada abad ke-18, Boissier da Sauvages membedakan eklampsia dan


epilepsi. Dokter, ilmuan, dan peneliti memberikan beberapa pendapat tentang
sebab dari preeklampsia pada masa ini lewat karya-karya tulis. Salah satu tokoh
yang mendapat sorotan adalah dr. Thomas Denman (1821). Beliau juga menulis
buku berjudul ‘Practice of Midwifery’. Menurut Thomas, kebiasaan tertentu
atau faktor eksternal lainnya memiliki hubungan dengan kejadian kejang pada
kehamilan. Faktor tersebut antara lain, tinggal di lingkungan perkotaan besar.
Selain itu, Thomas berpendapat bahwa semakin teregangnya uterus, pembuluh
darah descending menjadi tekanan yang besar. Tekanan ini mengakibatkan
regurgitasi darah di kepala dan berujung kepada kelebihan cairan di pembuluh
darah otak. Tekanan intra kranial yang meningkat akibat hal ini adalah
penyebab terjadinya kejang pada wanita hamil.

Pada tahun 1849, tokoh lainnya yaitu dr. William Tyler Smith
memberikan pendapat yang berbeda dari teori Thomas Denman. Pada karyanya
yang berjudul ‘Parturition and Principles and Practice of Obstetrics’, William
mengatakan bahwa pada kala 2 kontraksi uterus juga mempengaruhi sirkulasi
darah, sehingga harusnya lebih banyak kasus kejang pada kehamilan jika
penyebabnya memang kontraksi uterus. William mengajukan beberapa
penyebab pada kehamilan seperti, stimulus mekanis atau emosional yang
berlebihan pada spinal sentral, bloodletting, variasi angin, suhu, dan keadaan
cuaca lainnya, iritasi pada uterus, serviks, usus dan lambung, dan yang terakhir
adalah bahan-bahan toksik. Terkhusus untuk bahan-bahan toksik, William
percaya bahwa penjagaan kesehatan selama kehamilan bergantung kepada
kelancaran eliminasi dari zat-zat buangan (feses, urine, plasenta, janin mati).
Kegagalan dalam proses eliminasi ini menghasilkan keadaan toksemia yakni
terakumulasinya zat tosik pada sirkulasi darah.

2.3.2. Tatalaksana

Bloodletting tetap merupakan langkah preventif dan kuratif dari


preeklampsia pada awal tahun 1800-an. Jumlah dan frekuensi bloodletting
bergantung pada kekuatan pasien dan keparahan gejala.

Penggunaan opium, air hangat, mencipratkan air dingin ke wajah, dan


mempercepat persalinan juga direkomendasikan oleh Thomas. Opium
digunakan untuk mengurangi iritabilitas. Jika bloodletting atau opium tidak
memberi respon yang baik, mencipratkan air dingin ke wajah pasien atau
memandikan pasien dengan air hangat dapat dicoba. Pada kasus dimana semua
pengobatan gagal, seorang dokter dapat memilih antara mempercepat persalinan
atau membiarkan persalinan terjadi secara alami. Thomas mengatakan bahwa
mempercepat persalinan hanya dapat dilakukan jika wanita sudah siap secara
fisiologis (serviks dilatasi, ketuban pecah, atau janin sudah turun), karena
intervensi pada tahap awal persalinan dapat meningkatkan mortalitas maternal.

Ketika teori mengenai bahan toksin yang menjadi penyebab kejang,


tatalaksana berganti ke eliminasi dari toksin yang berlebihan. Ada yang
berpendapat bahwa preeklampsia disebabkan oleh terlalu banyak konsumsi
daging. Oleh karena itu, membatasi daging dan memakan buah, sayur, dan
produk susu menjadi pilihan diet. Wanita dengan gejala pre-eclampic state
seperti sakit kepala dan odema ekstremitas superior, dianjurkan untuk rawat
inap dirumah sakit untuk dilakukan tatalaksana berupa bloodletting untuk
mencegah kejang.

2.3.3. Klarifikasi

Setelah terminologi ‘Eklampsia’digunakan, Bossier de Sauvages (1739)


membedakannya dengan epilepsi. Eklampsia bersifat akut karena kejang akan
berhenti ketika faktor pencetus dihilangkan. Sedangkan, epilepsi bersifat kronik
karena kejang terus terjadi sepanjang waktu.

Pada akhir tahun 1800-an, klarifikasi preeklampsia semakin dikenali


berkat kontribusi dari para cendikiawan. Pada tahun 1797, Demanet mencatat
bahwa ada kaitan antara wanita yang edema dengan eklampsia. Penemuan lain
adalah ditemukannya albumin pada urin wanita dengan eklampsia oleh John
Lever. Dr. Robert Johns pada tahun 1843 juga mempertajam hubungan antara
gejala-gejala yang diobservasi pada kehamilan tahap lanjut dan kejang yang
terjadi pada ibu hamil. Gejala-gejala yang dimaksud adalah nyeri kepala,
hilangnya pengelihatan sementara, nyeri berat pada perut, dan edema pada
tangan, kaki, leher, wajah. Pada tahun 1879, Vaquez dan Nobecourt
menemukan kondisi hipertensi pada wanita hamil eklampsia. Temuan Vaquez
ini juga berkat ditemukannya spygmanometer setahun sebelumnya. Hasil dari
kontribusi-kontribusi diatas adalah ditemukannya preeclamptic state. Praktisi
kesehatan sekarang sudah harus waspada dengan keadaan edema, proteinuria,
dan sakit kepala karena hal-hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kejang.

2.4. Abad ke 20

2.4.1. Penyebab

Peneliti masih gagal menemukan penyebab pasti dari preeklampsia pada


masa abad ke 20. Namun, pemahanan tentang patofisologi pada kasus
preeklampsia mengalami banyak perkembangan. Pada tahun 1960, beberapa
kelompok mendeskripsikan perbedaan dramatis pada fisiologi plasenta antara
wanita hamil normal dan wanita hamil preeklampsia. Penelitian ini dilakukan
dengan melakukan biopsi plasenta. Ditemukan bahwa pada wanita dengan
peeklampsia sel trofoblas plasenta gagal untuk menginvasi arteri spiral maternal
secara adekuat. Tidak adanya konversi arteri spiral, diameter lumen arteri dan
elastisitasnya menjadi terbatas yang berakibat kepada aliran darah yang sedikit
ke plasenta dan janin yang sedang tumbuh.

Tidak semua teori-teori yang dikemukakan oleh kelompok tertentu


diterima oleh komunitas ilmiah. Salah satunya adalah teori cacing parasit pada
kehamilan. Robert dan beberapa koleganya pada tahun 1989, terus melakukan
penelitian demi menemukan etiologi dari peeklampsia. Mereka berpendapat
bahwa peeklampsia merupakan gangguan endotel. Robert menggunakan teori
yang sebelumnya sebagai fondasi, yaitu bahwa invasi sel trofoblas yang dangkal
menyebabkan perfusi ke plasenta menjadi minimal. Hipotesis mereka adalah
plasenta yang mengalami iskemia melepaskan zat tertentu yang bersifat
merusak ke sirkulasi maternal. Walaupun, zat belum teridentifikasi, Robert
berteori bahwa zat tersebut menyebabkan disfungsi endotelial yang berujung
kepada aktivasi kaskade koagulasi, abnormalitas tekanan darah, dan kehilangan
cairan dari ruang intravascular (proteinuria).

2.4.2. Tatalaksana

Akhir abad ke-19, 2 variasi pengobatan dilakukan untuk kasus eklampsia.


Dokter-dokter di Jerman dan Belanda menggunakan metode yang lebih agresif
dengan metode ini untuk managemen peeklampsia, misalnya operasi caesar,
Namun, pengobatan dengan metode ini memiliki tingkat mortalitas maternal
yang tinggi. Managemen konservatif menjadi lebih popular dan banyak
digunakan pada tahun 1930an. Tokoh yang ikut mempopulerkan metode
konservsatif antara lain Tweedy dari Dublin dan Straganoff dari Rusia.
Menurut Straganoff, kejang merupakan masalah utama karena dia
merusak fungsi jantung, paru-paru, ginjal, dan hati. Oleh karena itu, tujuan
utama pengobatan oleh Straganoff adalah menghentikan kejang. Beliau
mengobati eklampsia, membiarkan kehamilan dan menunggu persalinan terjadi
secara alami. Semua pemeriksaan dan pengobatan dilakukan dengan anastesi
ringan dan dilakukan di ruangan gelap dan sunyi untuk mengurangi stimulus
sensoris. Penggunaan morfin dan chloral hydrate bertujuan untuk mengurangi
frekuensi kejang. Untuk memperbaiki fungsi respirasi dan jantung, oksigen, dan
digitalis dapat diberikan jika pulsasi nadi cepat dan melemah setelah kejang.
Persalinan dibiarkan terjadi secara alami dan pemecahan ketuban dilakukan
secara manual ketika serviks terdilatasi sampai 6 cm.

Sebagai tambahan untuk tatalaksana peeklampsia dan eklampsia,


penggunaan magnesium sulfat diperkenalkan pada abad ke 20 ini. Horn
merupakan orang yang pertama kali menggunakan magnesium sulfat untuk
managemen peeklampsia dan eklampsia pada tahun 1906. Sedangkan, yang
mempopulerkan penggunaan secara parenteral adalah Lazard dan Dorsett pada
tahun 1920. Mereka mebuktikan bahwa penggunaan magnesium sulfat aman
dilakukan.

Semenjak tahun 1960an, dilakukan beberapa perubahan pada managemen


peeklampsia. Perawatan prenatal rutin (pemeriksaan tekanan darah rutin,
urinalisis, BB maternal) merupakan metode pengawasan yang terbaik karena
tanda dan gejala peeklampsia sulit diidentifikasi pada wanita hamil. Ketika
diagnosa peeklampsia sudah tegak, tatalaksana yang dilakukan adalah rawat
inap,pengukuran tekanan darah secara ketat, urinalisis, tirah baring, pengawasan
janin, dan penilaian keadaan umum maternal (nyeri kepala, pandangan kabur,
nyeri epigastrik). Demi mencegah peeklampsia menjadi eklampsia, magnesium
sulfat dan obat anti hipertensi diberikan untuk profilaksis. Pilihan untuk jenis
persalinan (persalinan spontan atau operasi caesar) ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain usia kehamilan, keadaan serviks, kondisi fetus, dan maternal.

2.4.3. Klasifikasi

Tatalaksana peeklampsia mengalami perkembangan yang signifikan pada


masa ini. Hal yang sama juga terjadi pada pembagian klasifikasinya. Edisi ke-13
dari buku Williams Obstetrics (1966) tertulis bahasa peeklampsia dikategorikan
dalam toksemia pada kehamilan. Menurut klasifikasi yang disusun oleh
American committee on Maternal Welfare, toksemia pada kehamilan dibagi
menjadi toksemia akut pada kehamilan (peeklampsia dan eklampsia), hipertensi
kronis pada kehamilan, dan toksemia tidak terklasifikasi. Kriteria diagnosis
peeklampsia termasuk keaadaan hipertensi, edema, dan proteinuria setelah usia
gestasi 24 minggu. Diagnose dapat ditegakkan apabila 1 & 3 kriteria terpenuhi.

Ada sedikit perubahan pada edisi ke-15 dari William Obstetric (1976).
Terminologi toksemia pada kehamilan diganti dengan istilah kelainan hipertensi
pada kehamilan. Pada klasifikasi baru ini, peeklampsia ditandai dengan adanya
hipertensi dengan proteinuria, edema, atau keduanya yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu.

2.5. Abad ke-21

2.5.1. Penyebab

Pada masa sekarang, komunitas ilmiah masih menemui kegagalan dalam


menemukan etiologi pasti yang bertanggungjawab terhadap mekanisme
peeklampsia dan eklampsia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya teori
mengenai penyebab peeklampsia pada literatur ilmiah. Beberapa teori yang
banyak ditemukan adalah teori stress oksidatif, teori intoleransi imunologis
antara plasenta janin dan jaringan maternal, serta ketidakseimbangan
angiogenik.
Pada teori yang menyebutkan bahwa ada zat toksin yang menyebabkan
disfungsi endothelial, kemajuan teknologi abad ke-21 memperlihatkan bahwa
toksin yang berasal dari plasenta tersebut adalah sitokin, fakor-faktor
angiogenik, ataupun syncytiotrophoblast microparticles. Peneliti mengatakan
bahwa, faktor-faktor tersebut dilepaskan oleh plasenta demi meningkatkan
availabilitas nutrisi bagi janin. Namun, pada sebagian wanita tidak dapat
ditoleransi sehingga terjadi peeklampsia.

2.5.2. Tatalaksana

Era evidence-based medicine pada abad ke-21 ini menghadirkan


tatalaksana berdasarkan penelitian-penelitian yang memberikan hasil terbaik.
American College of Obstetrician and Gynecologist mengeluarkan bulletin yang
melaporkan bahwa pengobatan peeklampsia tidak mengalami banyak perubahan
dari sebelumnya. Hal ini juga dikarenakan penyebab dari peeklampsia itu
sendiri masih belum dimengerti secara jelas. Sehingga langkah-langkah
preventif tidak mengalami banyak perkembangan.

Diagnosis peeklampsia tetap didasarkan pada tekanan darah prenatal dan


pengukuran protein urin. Kondisi janin yang dimonitor adalah gerakan janin dan
profil biofisik. Untuk pemeriksaan kondisi maternal, dilakukan pemeriksaan
tekanan berkala, urinalisis, periksa laboratorium, dan asesmen dari gejala klinis
yang muncul (nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrik). Waktu dan jenis
persalinan bergantung pada usia kehamilan, kondisi maternal dan janin, serta
keparahan dari peeklampsia.

2.5.3. Klasifikasi

Pada tahun 2000, ada revisi untuk kriteria diagnosa peeklampsia.


Peeklampsia dikategorikan ke dalam sindroma spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya hipertensi onset baru pada wanita yang sebelumnya
memiliki tensi normal setelah usia kehamilan 20 minggu disertai proteinuria.
Tekanan darah tinggi yang dimaksud adalah sistolik > 140 mmHg atau

diastolik > 90 mmHg. Proteinuria di definisikan sebagai adanya ekskresi > 0,3
gram protein selama 24 jam atau +1 pada penggunaan dipstick tanpa adanya
infeksi traktus urin. Edema tidak lagi dijadikan kriteria diagnostik karena
kebanyakan wanita hamil normal juga mengalami edema.

Anda mungkin juga menyukai