Anda di halaman 1dari 18

HAK TANGGUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat
dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain
Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas
tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya
yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran tersebut dilakukan selambat – lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan.

Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara


peraturan perundang – undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak
didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan
tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka
waktu yang ditentukan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah yang bisa ditarik adalah:
1. Apakah akibat hukum dari hak tanggungan yang tidak didaftarkan di Kantor
Pertanahan?
2. Apakah akibat dari pendaftaran hak tanggungan dilakukan melebihi jangka waktu yang
ditentukan perundang – undangan?
BAB II
TINJAUAN UMUM HAK TANGGUNGAN

A. Dasar Hukum Hak Tanggungan


Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya
tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS
Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum
berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal lembaga-lembaga
hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak
Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak
Milik menjadi obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai
Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan
KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai hak –
hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas – asas Hipotik,
mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[1]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan
unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan,
sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan
Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak barat sebagai obyek
Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut
telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan
dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan pengertian dari
Hak Tanggungan.
"Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah
beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini
pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan Creditverband dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang
dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda
berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan
tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum
Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal,
yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi benda-benda tersebut.[2] Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan
selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam
masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak
Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan
satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara
tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).[1]

B. CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN


Ciri Hak Tanggungan adalah:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de


preference). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor
cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dan
kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de
suite). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah
berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya
untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan
kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
kreditur diberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal ini diatur dalam
Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanpreslasi), maka kreditor tidak perlu menempuh cara
gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya besar. Kreditur pemegang Hak
Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum.[3]
Ciri-ciri tersebut selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:[4] Ciri-
ciri Hak Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu
Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain
menyebutkan ciri:
a. Hak jaminan;
b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah
yang bersangkutan;
c. untuk pelunasan suatu hutang;
d. memberikan kedudukan yang diutamakan
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang
ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.
Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka
terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan
adalah sebagai berikut:
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan untuk suatu pemenuhan kewajiban debitur kepada Bank, Hak Tanggungan
mempunyai ciri dan sifat khusus.
A. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de prefence) atau kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lainnya.
B. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Ini merupakan salah satu
kekuatan lain hak tanggungan. Jadi walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan
tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini misalnya dijual), Hak Tanggungan
tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan dalam praktiknya sering
juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh pemegang hak tanggungan.
C. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak
tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat ditetapkan
hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah tersebut. Namun dapat pula diperjanjikan
bahwa Hak Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara
sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas pembiayaan yang dilakukan oleh
debitur.

D. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.

Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada seperti apa? Yang
dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat dibuat dan
ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun
bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah utang tertentu, yang
dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx,
yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut perubahannya dan/atau
penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat jumlah utang debitur masih sebesar
Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang
masih cukup untuk penambahan Plafon Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit
sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan
baru. Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan
nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta
Rupiah).

E. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.

Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui
penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada
saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan
bangunan yang dijaminkan, kreditur masih tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk
mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.

F. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.

Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal
terjadi peristiwa kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak hilang dan menjadi
separatis. Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil
penjualan tanah atau bangunan sebagai jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak ketiga
(Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat. Tujannya
menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari
kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.[2]

C. SUBJEK DAN OBJEK HAK TANGGUNGAN


1. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.[7]
Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang
berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin
pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan
tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan
dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan,
maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan
diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak
tanggungan.[8]
Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor,
akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan
jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.[9]
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga
keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung
kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan,
maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan
yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang
hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan
dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

2. Obyek hak tanggungan


Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi
empat (4) syarat, yaitu:[10]
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika
debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang
dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk
membayar utang yang dijamin pelunasannya
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus
dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek
hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan
dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak
tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan
tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang
dapat mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.
Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan
hak tanggungan adalah:
1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA) ;
2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) ;
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah
Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan
badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha.
Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya
tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak
tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan
oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas
tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh
Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

D. PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN


Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak
tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib
dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum
yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka
pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah
penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek
hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat
hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib
melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.[11]
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku
tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai
bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini
berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu
maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah
ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau
pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi
sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Untuk melindungi kepentingan kreditor, maka dapat saja sertifikat hak tanggungan tetap
berada ditangan kreditor. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang Hak
Tanggungan yang menyatakan kecuali jika diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan.

E. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

1. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

2. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-
undang No. 4 Tahun 1996).

3. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti
adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
4. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut,
pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.

5. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).

6. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat
kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada
pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT,
dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak
Tanggungan;
 tidak memuat kuasa substitusi;
 mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas
kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;

8. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum yang tetap.

9. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan
Hak tanggungan.

10. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil
lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan
diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada
pembeli lelang.

11. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR
12. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga
dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak
tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja.
Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal
1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila
ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak
tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak
terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh
pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-
beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut
dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.

13. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya
dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan
apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan
merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara

14. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di
harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal
200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).[3]
BAB III
PEMBAHASAN

1. Akibat Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan


Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak
tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang - Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib
dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum
yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka
pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah
penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek
hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat
hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib
melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku
tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai
bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini
berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka
sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada
atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau
pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi
sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan selambat – lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak
Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu hak tanggungan dan
merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan hak tanggungan
maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari hak
tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur preferen
sebagaimana kreditur hak tanggungan.
Jika tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak
tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat
hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari
adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial karena
memuat irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat yang
memiliki irah – irah ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak
tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak
tanggungan yang didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak
tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Sehingga suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas
dari hak tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai kreditur
yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren. Selain itu dengan tidak
didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat sertifikat hak tanggungan yang memberikan
hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.

2. Pendaftaran Hak Tanggungan yang Melampaui Jangka Waktu Pendaftaran


Pasal 13 Undang – Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa pemberian Hak
Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib mengirimkan Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah
yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
tanah yang bersangkutan. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari
ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja
berikutnya. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan. Sebagai tanda
bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan
sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
Undang – Undang Hak Tanggungan memberi batasan pendaftaran Hak Tanggungan yaitu
selama 7 hari setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pendaftaran ini wajib
dilaksanakan oleh PPAT. Setelah didaftarkan maka akan keluar Sertifikat Hak Tanggungan.
Namun pada kenyataannya sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan melebihi waktu
yang ditentukan, yaitu melewati jangka waktu 7 hari yang ditentukan undang – undang.
Seharusnya pendaftaran hak tanggungan tersebut ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan.
Namun dari sumber yang kami temukan, keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan tidak
selalu menjadi penghalang dalam melakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam Tesis yang
dibuat oleh Mahasiswa Program Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro,
keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal
tidak menjadi persoalan. Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan.
Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif
berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Begitu pula pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Berdasarkan skripsi dari mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, ditemukan bahwa
keterlambatan pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan di Kabupaten Bogor tidak
menjadi penghalang bagi proses pendaftaran suatu hak tanggungan. Sanksi yang diberikan oleh
Kantor Pertanahan terhadap pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanyalah
berupa sanksi administratif yaitu berupa teguran lisan atau tertulis.
Sehingga dapat disimpulkan meskipun peraturan perundang – undangan memberi batasan
bahwa pendaftaran hak tanggungan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 hari, namun
terdapat perbedaan dalam prakteknya. Pendaftaran hak tanggungan tetap diproses oleh Kantor
Pertanahan meskipun terjadi keterlambatan pendaftaran.
BAB IV
PENUTUP

Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok - Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan
diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-
undang tersebut diharapkan dapat memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan
jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan akta
pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain yang
diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak
tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat didaftarkan, bukan suatu persoalan
penting karena Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak
yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa
teguran lisan atau teguran tertulis.
Lain halnya apabila hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan
tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan.
Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak
tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya
hak tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka
hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak –
hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan,
dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan.

Masjehoen, Sri Soedewi. 1975. Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media.

Patrik ,Purwahid. 1986. Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang :
Badan Penerbit UNDIP.

Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sudrajat, Sutardja. 1997. Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan


Sertifikatnya, Bandung: Mandar Maju.

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
[1] Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hal. 6
[2] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan
Penerbit UNDIP, 1986), hal. 52
[3] Purwahid Patrik, Op.cit hal. 53
[4] J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 278.
[5] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.26
[6] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta:Prenada Media, 2005),
hal. 105
[7] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat
(2)
[8] Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm 62.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9 Ayat (1)
[10] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. (Jakarta : Djambatan, 2000), hal.425
[11] Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, (Bandung:
Mandar Maju, 1997), hlm 54.
MAKALAH HUKUM AGRARIA
HAK PERTANGGUNGAN

Oleh :
Yoyok Siswoyo
NIM : 1201816140

UNIVERSITAS SURAKARTA
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
2018

Anda mungkin juga menyukai