Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

HUKUM ACARA PERADILAN HAM

DEWA AYU SURYA LAHURU DEWANTARI


NIM. 1316051137

FAKULTAS HUKUM PROGRAM REGULER SORE

UNIVERSITAS UDAYANA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah suatu hak yang dimiliki oleh seseorang yang
tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Di dalam kalangan masyarakat dan
negara-negara tertentu tidak terkecuali Indonesia kadang menimbulkan
kecurigaan, ketidak mengertian bahkan menimbulkan antipati terhadap
penerimaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan persepsi yang masih tersisa ini yang
membuat masyarakat tersebut seolah apriori difunsif di dalam beberapa hal
berkaitan penerimaannya terhadap Hak Asasi Manusia. Sikap ini cukup wajar dan
merupakan masalah-masalah yang cukup serius dan bahkan menjadi penghambat
perjalanan hak asasi manusia yang kini berkembang dan menjadi masalah yang
sangat penting. Karena, konsep Hak Asasi Manusia menempatkan manusia pada
posisi multi dimensional seperti yang disepakati dalam Deklarasi Wina (1993)
bahwa manusia adalah sebagai sentral dalam pembangunan (the human person is
the central subject of development).
Istilah hak asasi merupakan terjemahan dari droit de
l’homme (Prancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di
Indonesia istilah hak asasi lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi” sebagai
terjemahan dari Basic Right (Inggris) dangrondrechten (Belanda), atau bisa juga
disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak asasi secara monomental
lahir sejak keberhasilan Revolusi Prancis tahun 1789 dalam “Declaration des
Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga prancis),
dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite. Namun demikian, sebenarnya
masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan manusia di permukaan
bumi.
Jika berbicara mengenai hak asasi manusia dewasa ini tentu tak terlepas
dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terutama hak-hak politik. Politik
merupakan bagian dari demokrasi yang mana sekarang ini sedang digalakkan
untuk menciptakan negara yang benar-benar berdasarkan demokrasi. Hak
seseorang untuk ikut dalam suatu kegiatan politik telah diatur dalam beberapa
pasal dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa seseorang berhak untuk
dipilih dan memilih sebagai salah satu esensi dari negara demokrasi. Dengan
demikian, pengakuan terhadap aspek-aspek demokrasi terutama dalam hal politik
merupakan hal yang diterima dalam aturan-aturan baik nasional maupun
internasional mengenai hak-hak asasi manusia. Namun jika dilihat kenyataannya,
tidak semua orang mendapatkan kesempatan dalam hal politik. banyak orang yang
berusaha untuk membuat negara ini maju malah terhalangi oleh mekanisme yang
berbelit-belit dan sangat sulit sehingga tidak mampu lagi untuk melanjutkannya.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah adanya proses kolusi
dalam pelaksanaan politik yang katanya berdasarkan asas demokrasi tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia juga
mengalami hal yang sama. Dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM
yang tersebar ke seluruh penjuru negeri, kurang dari 20 persen yang
ditindaklanjuti oleh aparatur penegak hukum. Beberapa lembaga yang menjadi
pelindung terhadap pelanggaran semacam itu tampaknya hanya bersikap pasif
dalam hal upaya penegakan hak asasi manusia.
Banyak cara untuk menegakkan hak asasi manusia. Salah satunya adalah
dengan mengaktifkan kembali lembaga-lembaga pelindung terhadap HAM yang
tertidur beberapa tahun belakangan ini. Dengan adanya lembaga tersebut maka
diharapkan mampu menanggulangi banyaknya kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ?
2. Bagaimana Pengadilan HAM di Indonesia?
3. Apa Hambatan Dan Tantangan Pengadilan Dalam Menengakkan HAM?
4. Bagaimana upaya penengakan kasus HAM di pengadilan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut sebagai human right, dan
dipahami banyak orang secara keliru. HAM hanya diartikan secara sempit sebagai
kebebasan. Padahal, HAM lebih luas daripada kebebasan atau kebebasan itu
hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik HAM lebih mudah dipahami daripada
dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa
manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat
diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia
akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999,
dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1),
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi
manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus
dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam
menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan,
menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

B. Pengadilan HAM
Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia dibentuk berdasarkan UU RI
No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pengadilan hak asasi
manusia merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan
umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Untuk daerah khusus ibu
kota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri
yang bersangkutan. Adapun tugas dan wewenag pengadilan HAM adalah sebagai
berikut:
1. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
2. Memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara RI oleh WNI
3. Pengadilan HAM tidak berwenang mengadili seseorang yang berumur di
bawah 18 tahun

C. Hambatan Dan Tantangan Pengadilan Dalam Menengakkan HAM


1. Hambatan
Masalah HAM masih saja di bicarakan, karena masih banyak
pelanggaran atau kepalsuan. Masalah HAM memang masalah kemanusiaan
berarti terkait dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan tetapi
yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaanyang dimiliki setiap orang
dapat dimiliki oleh setiap individu tanpa beda. Upaya penegakan HAM di
Indonesia, masih banyak hambatan-hambatan yang di hadapi antara lain
sebagai berikut:
a. Rendahnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan
pelanggaran HAM yang terjadi baik mengenai dirinya maupun pihak lain.
b. Belum optimalnya kemampuan para hakim di peradilan HAM ad hoc.
c. Keterbatasan kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap bentuk-
bentuk pelanggaran HAM.
d. Masalah hakim,ternyata tidak begitu mudah menentukan para calon
hakim ad hoc diluar hakim karir, meskipun sampai sekarang sudah begitu
lantang orang berbicara tentang pelanggaran HAM dan banyak pelatihan
dan penanaman HAM. LSM HAM pun ternyata tak banyak yang tersrdia.
Banyak tokoh-tokoh HAM yang terikat oleh tugas dilembaga lain.
e. Sulitnya mencari Jaksa sebagai penuntut umum sebab hanya orang yang
berpengalaman penuntut saja yang diangkut atau kata lainnya sifatnya
tertutup.
f. Masalah pembahasan acara peradilan yang belum tuntas, masih tersisa
pertanyaan banding dan langsung saja dari peradilan tingkat pertama
langsung ke MA.
2. Tantangan
Dalam menegakkan HAM, selain hambatan masih banyak tantangan
yang di hadapi antara lain sebagai berikut:
a. Dengan disahkannya UU no 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
ditegaskan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi
sebelum UU No 26 disahkan tidak dapat diadili berdasarkan prinsip hak
asasi manusia, sehingga peristiwa pelanggaran HAM yang besar tidak
mungkin lagi dapat diselesaikan berdasarkan peradilan HAM ad hoc,
misalnya;
1) Kasus penembakan mahasiswa Trisakti pada bulan Mei 1998
2) Pembantaian warga muslim Tanjung Priuk pada bulan 1994
3) Kasus Pembantai di Ambon dan di Poso tahun 1997
b. Dengan adanya amandemen UUD 45 Pasal 28 tentang larangan hukum
berlaku surut memungkinkan para tersangka luput dari proses hukum
acara,akan sangat tidak adil hukum itu.
c. Asas mengatur bahwa orang yang telah dihukum oleh pengadilan HAM
tidak dapat lagi dituntut oleh pengadilan pidana biasa. Namun keterbatasan
lingkup pengadilan HAM yang haknya sebatas
pada genosida (pembantaian masal) dan kejahatan melawan kemanusiaan,
mengakibatkan ada unsur-unsur yang tidak terpenuhi.

D. Penegakan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia


Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati
dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada
pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa
pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan
pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-
raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia.
Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk
penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk
mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum
modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropa. HAM tersebut semula dimaksudkan
untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja).
Namur dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang,
melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas dasar kesadaran
itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)) tahun 1948.
Realitas sosial berbagai kasus pelanggaran berat HAM, penyelesaiannya
seringkali tidak berpihak kepada korban, sebaliknya penyelesaiannya dilakukan
justru untuk melindungi pelaku, seperti pemberian amnesti yang dilakukan oleh
para penguasa militer di Argentina dan Chili pada tahun 1970-an.
Walaupun telah dilakukan berbagai upaya yang mengatur prinsip-prinsip
HAM, namun pembatasan dan pelanggaran terhadap HAM terus terjadi.
Di Indonesia sendiri, pelanggaran HAM berat yang melibatkan Dewan
Keamanan PBB, salah satunya adalah persoalan kekerasan di Timor-Timur.
Kekerasan tersebut terjadi setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada
tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor-Timur, yaitu menerima
atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 15 September
1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan
kekerasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar
mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas
terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur,
Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus
pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Selain itu pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang
tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM.
Di samping itu telah diatur pula tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi
korban pelanggaran berat HAM.
Yurisdiksi atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama
dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000).
Akan tetapi pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran HAM berat
yang dilakukan seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun. Kalaupun anak
yang bersangkutan melakukan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian,
tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan didasari KUHP dan KUHAP.
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM
mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme
pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang
bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun
jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM
dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana
Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat
diadili. Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
(2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah:
1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan
ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;
2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara
menyeluruh atau substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem
peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan
kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.
Peradilan HAM harus berdiri sendiri (independen) sejajar dengan
Mahkamah Agung, karena yang akan diadili dalam pengadilan HAM tersebut
adalah Para Penguasa, para Pembuat Kebijakan yang melakukan penindasan
terhadap kemanusiaan. Jika Peradilan HAM masih berada di bawah Peradilan
Umum, maka yang terjadi adalah pembodohan hukum. Ibarat makan buah
simalakama, tidak dimakan bapak mati jika dimakan ibu mati, akhirnya banyak
kasus-kasus pelanggaran berat HAM terkatung-katung dan raib tanpa ujung.
Kebijakan menempatkan pengadilan HAM berada di bawah lingkup pengadilan
umum, sama saja artinya kita memandang pelanggaran HAM sebagai kejahatan
biasa seperti pembunuhan, pencurian, penganiayaan dan sebagainya.
Fiedman berkata bahwa sistem hukum dibangun atas 3 landasan dasar
utama, yaitu: strutural, substansi dan budaya hukum. Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasarkan atas hukum dengan prinsip the rule of law, mestinya
benar-benar membangun hukum atas 3 landasan dasar tersebut, dibarengi dengan
mekanisme kontrol baik secara internal ataupun eksternal. Dosa terbesar yang
pernah dibuat bangsa ini adalah menjadikan hukum sebagai kepentingan dan alat
untuk rekayasa sosial tanpa dilandasi “behavior” yang baik, sehingga kita menjadi
pecundang, pengkhianat keadilan terhadap manusia dan kemanusiaan. Upaya agar
HAM tetap dihormati, tidak dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara nasional,
regional maupun internasional, maka penegakan hukum melalui mekanisme
peradilan baik nasional maupun internasional adalah langkah bijak terhadap
penghormati HAM. Baik di tingkat nasional, regional maupun internasional,
peradilan HAM adalah peradilan khusus, menyangkut instrumen khususnya
maupun institusi dan proses peradilannya. Hal ini dikarenakan pelanggaran atau
kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi merupakan Extra
Ordinary Crime. Pelanggaran berat HAM dikatakanExtra Ordinary Crime,
disebabkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
1. Pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pemegang
kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan
itu runtuh.
2. Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam
dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat
kemanusiaan.
3. Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar penegakan hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena kalau dulu
pelanggaran HAM sering ditujukan kepada hak Sipol, maka sekarang
pelanggaran HAM yang paling berbahaya adalah pelanggaran HAM di
bidang Ekosob, karna berdampak secara global dan menyeluruh, perlahan
tapi pasti menggerogoti seluruh sendi kehidupan, baik makro maupun
mikro organisme, baik yang tersentuh langsung atau pun tidak langsung,
akan ikut memikul beban risiko dari pelanggaran HAM tersebut.
Sangat diharapkan kedepannya penegakan hak asasi manusia dapat
berjalan dengan baik dengan mengutamakan hak-hak korban, karena menjamin
hak-hak korban adalah tanggung jawab negara dalam menegakkan dan
menghormati HAM. Jika tidak dilakukan maka yang terjadi adalah adanya
akumulasi terhadap HAM.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir,
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau
dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia akan kehilangan
harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia.
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM
mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme
pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang
bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun
jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM
dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana
Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat
diadili

Anda mungkin juga menyukai