Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN REFARAT

UNIVERSITAS PATTIMURA JULI 2018

KETULIAN PADA SINDROM RUBELLA KONGENITAL

Oleh :

A. Mudrikah H Dirgahayu

2017-84-027

Pembimbing :

dr. Julu Manalu, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

refarat sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian THT-KL dengan judul “Ketulian

pada Sindrom Rubella Kongenital”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan refarat ini telah banyak

pihak yang turut membantu sehingga refarat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada dr. Julu Manalu, Sp. THT-KL selaku pembimbing dalam

penyusunan refarat.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam refarat ini,

untuk itu kritik dan saran penulis harapkan guna kesempurnaan refarat ini

kedepannya. Akhir kata, semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Sekian dan terima kasih.

Ambon, Juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA ............................. 3

2. DEFINISI SINDROM RUBELLA KONGENITAL ............. 14

3. ETIOLOGI ............................................................................. 14

4. EPIDEMIOLOGI ................................................................... 15

5. PATOFISIOLOGI .................................................................. 16

6. MANIFESTASI KLINIS ....................................................... 17

8. DIAGNOSIS .......................................................................... 17

9. PENATALAKSANAAN ....................................................... 25

10. PENCEGAHAN ................................................................... 27

BAB III PENUTUP

1. KESIMPULAN ...................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan WHO, rubela adalah penyakit infeksi virus RNA yang


menular dan belum ada pengobatan khusus untuk infeksi rubela. 1 Virus
rubela bersifat teratogen terhadap janin jika menginfeksi wanita hamil
terutama wanita yang tidak memiliki proteksi immunologi spesifik. 2 Wanita
hamil yang terinfeksi rubela pada awal trimester pertama kehamilan, dapat
meningkatkan risiko terinfeksinya fetus lebih dari 80%. 3 Infeksi rubela
kongenital pada fetus dapat mengakibatkan sel tubuh janin tidak
berkembang atau rusak sehingga terjadi abortus, bayi lahir mati, serta defek
permanen yang disebut dengan Sindrom Rubela Kongenital. Sindrom rubela
kongenital merupakan salah satu kasus terbanyak yang menyebabkan
terjadinya kecacatan pada bayi dan anak di negara berkembang. Saat ini
diperkirakan sekitar 110.000 infant mengalami sindrom rubela kongenital
(SRK) setiap tahunnya. Berdasarkan data model statistik Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) tahun 2010, mengestimasikan 46.621 bayi
yang baru lahir menderita SRK setiap tahun pada tahun 2000- 2009 di South
East Asian Region (SEAR), akan tetapi masih banyak data yang belum tercatat
mengenai angka kejadian kasus SRK di negara berkembang.3
Manifestasi klinis Sindrom Rubela Kongenital (SRK) disebut trias rubela
yaitu berupa gangguan jantung, gangguan mata serta gangguan pendengaran. 4 Tuli
sensorineural adalah gangguan pendengaran yang paling sering terjadi pada anak
dengan SRK.5 Kasus tuli sensorineural pada anak dengan SRK sekitar 80%
merupakan tuli dengan derajat berat dan sangat berat.6
Tuli sensorineural juga merupakan delayed manifestation dari sindrom
rubela kongenital pada anak, akan tetapi sampai saat ini belum diketahui pasti
pathogenesis.5 Hal tersebut menyebabkan sulitnya mendiagnosis dan mendeteksi
tuli kongenital pada bayi dan anak, khususnya akibat infeksi rubela kongenital
yang asimptomatik. Orang tua baru menyadari anak mengalami tuli kongenital
saat anak berumur 2-5 tahun karena awal-awal tahun tersebut baru dapat teramati

1
pertumbuhan dan perkembangannya, khususnya kemampuan bicara dan bahasa
pada anak. Anak dengan tuli kongenital dapat mengakibatkan keterlambatan
bicara, gangguan bahasa, penyimpangan perilaku sosial serta penurunan
kemampuan kognitif.3
Bayi dan anak yang mempunyai memiliki riwayat terinfeksi rubela dalam
kandungan memiliki risiko 10,2 kali lebih besar mengalami ketulian dibandingkan
yang tidak memiliki faktor risiko, oleh karena itu bayi baru lahir dengan faktor
risiko seharusnya menjalani screening untuk tes pendengaran. Tes screening
pendengaran adalah deteksi awal agar dilakukannya intervensi secara dini.3

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN


Anatomi Telinga
Struktur telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah, dalam. Telinga bagian
luar dan tengah hanya berperan dalam proses pendengaran, sedangkan telinga
bagian dalam berperan dalam pendengaran dan keseimbangan. Telinga bagian luar
terdiri dari aurikula dan meatus akustikus eksternus dan berakhir pada sisi medial
di membran timpani. Telinga bagian tengah terletak di rongga berisi udara dalam
bagian petrosus os temporal, dan terdiri dari osikel auditori (malleus, inkus,
stapes), dan di telinga bagian dalam, terdapat organ sensori untuk pendengaran
dan keseimbangan.7

Gambar 1. Anatomi telinga7

Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga atau pinna dan liang telinga sampai
membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang
telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar
dan rangka tulang pada dua pertiga bagian dalam. Panjang liang telinga kira-kira
2,5 – 3 cm.8

3
Gaambar 2. Anatomi telinga luar8

Gambar 3. Anatomi auricula8

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut halus. Kelenjar terdapat pada
seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.7 Serumen menjaga membran timpani tetap lunak dan tahan-air
serta melindungi telinga tengah dan dalam dari benda asing berukuran kecil dan
serangga.8

Telinga Tengah

4
Gambar 4. Anatomi telinga tengah8

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :8

Batas luar : Membran timpani

Batas depan : Tuba eustachius

Batas bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)

Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)

Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window)
dan promontorium.9

Telinga bagian tengah ini dibatasi dan dimulai dari membran timpani
(gendang telinga) yang didalamnya terdapat rongga kecil berisi udara yang terdiri
atas tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan)
dan stapes (sanggurdi). Pada bagian telinga tengah ini juga terdapat saluran
eustacius yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan faring. Antara
telinga bagian dalam dan telinga bagian tengah dibatasi oleh tingkap oval
(fenestra ovalis) dan tingkap bulat (venestra rotundra).9

Organ telinga tengah terdiri dari:9

5
a. Membran timpani

Gambar 5. Anatomi membrane timpani.8

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Sharpnell) sedangkan bagian bawah disebut pars tensa
(membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran pernapasan. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di
tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.10
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah
bawah, yaitu pada arah jam 5 untuk membran timpani kanan, sementara membran
timpani kiri pada arah jam 7. Refleks cahaya adalah cahaya dari luar yang
dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat dua serabut
yaitu sirkuler dan radier sehingga menyebabkan timbulnya refleks cahaya.10
Membran timpani dibagi menjadi empat kuadran dengan menarik garis
searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di
umbo, sehingga didapatkan bagian/kuadran, yaitu atas-depan, atas-belakang,
bawah depan, dan bawah belakang.10
Vaskularisasi membran timpani telah dipelajari dengan berbagai cara.
Cabang-cabang dari arteri karotis eksterna dalam meatus auditori eksternal,
memberikan suplai darah pada pars flaksida, bagian manubrial dari pars tensa dan

6
persimpangan antara cincin fibrokartilaginosa dari membran timpani dan sulkus
timpanikum pada tulang temporal.11,12
Pembuluh darah yang mensuplai daerah pars flaksida dan bagian manubrial
cincin fibrokartilaginosa terdapat dibawah lapisan epitel skuamosa, dekat dengan
sel mast dan bundel saraf. Pembuluh darah yang berasal dari rongga timpani yang
juga berasal dari arteri karotis eksterna mensuplai daerah perifer dari pars tensa
dengan cabang-cabang kecil, terlokalisasi tepat dibawah epitel membran timpani.
Jika dibandingkan dengan bagian manubrial, pars tensa memiliki vaskularisasi
yang lebih sedikit. Sehingga bagian sentral dan sebagian besar dari pars tensa
mendapatkan nutrisi secara difusi intra sel. Keadaan kurangnya pembuluh darah
ini juga menyebabkan imunitas pada pars tensa ini lebih sedikit dari bagian
lainnya. Sehingga kecenderungan terjadinya perforasi akibat infeksi sering berada
pada bagian ini.11,12
b. Rongga timpani.
Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di dalamnya
merupakan epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian anterior
pada celah tuba auditiva (tuba Eustachius) epitelnya selapis silindris bersilia.
Lamina propria tipis dan menyatu dengan periosteum.7
c. Tulang pendengaran.
Tulang pendengaran terdiri dari tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga
tulang ini merupakan tulang kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus
melekat pada membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada
ligamen tipis di atap ruang timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap
celah oval (fenestra ovalis) pada dinding dalam.7
d. Otot
Terdapat 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran.
Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran
berfrekuensi tinggi. Otot tersebut adalah:7
 Muskulus tensor timpani. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas
tuba auditiva, tendonnya berjalan mula-mula ke arah posterior kemudian
mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani
dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus.
 Muskulus stapedius. Tendon otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang
berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior untuk

7
berinsersi ke dalam leher stapes.
e. Dua buah tingkap.
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar stapes,
memisahkan rongga timpani dari perilimfe dalam skala vestibuli koklea. Oleh
karenanya getaran-getaran membrana timpani diteruskan oleh rangkaian tulang-
tulang pendengaran ke perilimf telinga dalam. Untuk menjaga keseimbangan
tekanan di rongga-rongga perilimf terdapat suatu katup pengaman yang terletak
dalam dinding medial rongga timpani di bawah dan belakang tingkap oval dan
diliputi oleh suatu membran elastis yang dikenal sebagai tingkap bulat (fenestra
rotundum). Membran ini memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam skala
timpani koklea.7
f. Tuba auditiva (tuba Eustachius).
Tuba auditiva menghubungkan rongga timpani dengan nasofaring,
lumennya gepeng, dengan dinding medial dan lateral bagian tulang rawan
biasanya saling berhadapan menutup lumen. Epitelnya bervariasi dari epitel
bertingkat, hingga selapis silindris bersilia dengan sel goblet dekat faring. Dengan
menelan dinding tuba saling terpisah sehingga lumen terbuka dan udara dapat
masuk ke rongga telinga tengah. Dengan demikian tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani menjadi seimbang.7
Telinga Dalam

8
Gambar 6. Anatomi koklea dan organ korti7

Telinga bagian dalam berisi cairan dan terletak dalam os temporal di sisi
medial telinga tengah. Telinga dalam terdiri dari dua bagian labirin (labirin
vestibula dan labirin membranosa). Labirin vestibula merupakan ruang berliku
berisi perilimfe (menyerupai cairan serebrospinal) dan di labirin membranosa
yang mengandung cairan endolimfe (menyerupai cairan intraselular). Bagian ini
melubangi bagian petrosus os temporal dan terbagi menjadi tiga bagian: vestibula,
kanalis semisirkular, dan koklea (seperti siput). Bagian dari telinga dalam yang
berkaitan dengan proses pendengaran adalah koklea.7

a. Koklea
Koklea merupakan suatu tuba yang melingkar-lingkar, pada potongan
melintang tampak tiga tuba melingkar yang saling bersisian : skala vestibuli, skala

9
media dan skala timpani. Skala vestibuli dan media di pisahkan satu sama lain
oleh membran reissner atau membran vestibular. Sedangkan skala timpani dan
media di pisahkan satu sama lain oleh membran basilaris. Pada permukaan
membran basilaris terletak organ Corti yang mengandung serangkaian sel yang
sensitif secara elektromagnetik dan membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran suara, yaitu sel-sel rambut atau stereosilia. Sel-sel rambut ini
akan mengeluarkan potensial reseptor sewaktu tertekuk akibat gerakan cairan di
koklea. Sel rambut ini tidak memiliki akson, namun pada bagian basis dari tiap sel
rambut terdapat terminal sinaps dari neuron sensori yang nantinya akan
berkumpul menjadi ganglion spiral dan nantinya akan menjadi nervus
vestibulocochlearis (VIII). Di atas organ corti terdapat membran stasioner,
membran tektorial tempat stereosilia terbenam. Membran tektorial ini akan
menekuk stereosilia apabila terjadi getaran pada membran basilaris. Getaran yang
datang dari telinga tengah akan masuk ke dalam skala vestibuli melalui membran
tipis, tingkap lonjong (oval window) dan getaran tersebut akan keluar dari koklea
melalui tingkap bundar (round window).7,11

Gambar 7. Organ corti7

Organ korti, struktur yang mengandung sel-sel rambut yang merupakan


reseptor pendengaran, terletak di membran basilaris. Organ ini berjalan dari
apex ke dasar koklea dan dengan demikian bentuknya seperti spiral.
Tonjolan-tonjolan sel rambut menembus retina reticularis yang kuat dan

10
berbentuk seperti membrane. Lamina ini ditunjang oleh pilar korti. Sel-sel
rambut tersusun dalam 4 baris: 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral
terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar korti dan satu baris sel
rambut dalam yang terletak sebelah medial terhadap terowongan. Di setiap
koklea manusia terdapat 20.000 sel rambut luar dan 3.500 sel rambut dalam.
Terdapat membrane tektorium yang tipis, liat, tetapi elastic yang menutupi
barisan sel-sel rambut. Ujung-ujung sel rambut luar terbenam di dalamnya,
tetapi ujuhng sel rambut dalam tidak. Badan-badan sel neuron aferen yang
menyebar di sekitar dasar sel rambut terletak di ganglion spinalis di dalam
mediulus, bagian tengah yang bertulang tempat koklea melingkar. 90-95%
dari neuron aferen ini mempersarafi sel rambut dalam; hanya 5-10% yang
mempersarafi sel rambut luar yang jumlahnya lebih banyak, dan setiap
neuron mempersarafi sel luar ini. Sebagai bandingan, sebagian besar serat
eferen di neuron auditorius berakhir di sel rambut luar bukan di sel rambut
dalam. Akson neuron aferen yang mempersarafi sel rambut membentuk
bagian auditorius (koklear) neuron akustik vestibulokoklear dan berakhir di
nucleus koklear ventralis dan dorsalis di medulla oblongata. Jumlah total serat
aferen dan eferen di tiap-tiap nucleus auditorius sekitar 28.000.7,11
Di koklea, terdapat tight junction antara sel rambut dan sel phalanges di
dekatnya, tight junction ini mencegah endolimfe mencapai dasar sel. Namun
membrane basilaris relative permeable terhadap perilimfe di skala timpani, dan
dengan demikian, terowongan organ korti dan dasar sel rambut dibasahi oleh
perilimfe. Oleh karena adanya tight junction serupa, keadaan sel rambut dibagian
lain telinga dalam serupa; yaitu tonjolan-tonjolan sel rambut dibasahi oleh
endolimfe, sementara dasarnya dibasahi oleh perilimfe.7,11

b. Kanalis Semisirkularis
Di kedua sisi kepala, terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak
lurus satu sama lain, sehingga berorientasi dalam 3 bidang dalam ruang. Di dalam
kanalis tulang, terbentang kanalis membranosa yang terendam dalam perilimfe.
Terdapat struktur reseptor, Krista ampularis, di ujung tiap-tiap kanalis
membranosa yang melebar (ampula). Krista terdiri dari sel rambut dan sel

11
sustenkularis yang dilapisi oleh pemisah glatinosa (kupula) yang menutup ampula.
Tonjolan sel-sel rambut terbenam dalam kupula, dan dasar sel rambut berkontak
erat dengan serat aferen neuron vestibulokoklearis bagian vestibularis.7,11

Fisiologi Pendengaran
Seseorang dapat mendengar melalui getaran yang dialirkan melalui
udara atau tulang langsung ke koklea. Aliran suara melalui udara lebih baik
dibandingkan aliran suara melalui tulang.10
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan ke liang
telinga dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani
bergetas. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap
lonjong (foramen oval) yang juga menggerakkan perilimf dalam skala
vestibuli. Selanjutnya getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimf dan membran basal ke arah bawah, Perilimf dalam
skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar (foramen rotundum)
terdorong ke arah luar.10,11
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong
membran basal, sehingga menjadi cembung ke bawah dan menggerakkan perilimf
pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan
dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan
fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi
aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang N.VIII, yang kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak (area 39- 40)
melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.10,11

12
Gambar 8. Fisiologi pendengaran10

Gambar 9. Tabel fisiologi pendengaran10

SINDROM RUBELLA KONGENITAL


1. DEFINISI
Congenital Rubella Syndrome (CRS) atau Fetal Rubella Syndrome
merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang pada bayi
sebagai akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. CRS
dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat
apabila bayi tetap hidup. Infeksi virus rubella pada trimester I kehamilan memiliki

13
risiko kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan infeksi setelah trimester
pertama.7
Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai ialah tuli
sensoneural, kerusakan mata seperti katarak, gangguan kardiovaskular, dan
retardasi mental.7,13

2. ETIOLOGI
Virus rubella diisolasi pertama kali pada tahun 1962 oleh Parkman dan
Weller. Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus,
famili Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat bereaksi silang
dengan sejumlah grup Togavirus lainnya. Virus rubella memiliki 3 protein
struktural utama yaitu 2 glycoprotein envelope, E1 dan E2 dan 1 protein
nukleokapsid. Secara morfologi, virus rubella berbentuk bulat (sferis) dengan
diameter 60–70 mm dan memiliki inti (core) nukleoprotein padat, dikelilingi oleh
dua lapis lipid yang mengandung glycoprotein E1 dan E2. Virus rubella dapat
dihancurkan oleh proteinase, pelarut lemak, formalin, sinar ultraviolet, PH rendah,
panas dan amantadine tetapi relatif rentan terhadap pembekuan, pencairan atau
sonikasi. Virus Rubella terdiri atas dua subunit struktur besar, satu berkaitan
dengan envelope virus dan yang lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core.7,11
Meskipun infeksi Togaviruses biasanya melalui vektor, virus Rubella
ditularkan melalui droplet pernapasan. Manusia merupakan hospes alaminya.
Infeksi Rubella, umumnya dikenal sebagai campak Jerman (German Measles),
biasanya menghasilkan manifestasi ringan dengan exanthem pada orang dewasa
dan anak- anak; Namun, rubella menghasilkan konsekuensi serius pada pasien
hamil, di antaranya infeksi janin dapat menyebabkan anomali serius.7
Rubella merupakan salah satu penyebab tersering dari tuli kongenital non-
genetik. Namun dengan adanya vaksin rubela, penyakit ini dapat tereleminasi.
Jika seorang wanita terkena campak Jerman selama 3 bulan pertama
kehamilannya, maka besar kemungkinan bahwa bayinya akan mengalami ketulian
sensorineural.8

3. EPIDEMIOLOGI

14
Congenital rubella syndrome dapat menyerang fetus yang sedang
berkembang pada wanita hamil yang pernah terkena rubella, tergantung kapan
wanita tersebut terkena. Jika infeksi terjadi dalam waktu 0-28 hari sebelum
konsepsi, ada kemungkinan 43% bayi akan terkena CRS. Jika infeksi terjadi pada
0-12 minggu setelah konsepsi, ada kemungkinan 51% bayi lahir akan terkena
CRS. Jika infeksi terjadi pada 13-26 minggu setelah konsepsi, ada kemungkinan
26% bayi akan terkena CRS. Bayi tidak akan terkena CRS jika rubella menyerang
pada trimester ketiga atau 26-40 minggu setelah konsepsi. Penyebab tersering dari
SNHL adalah type II incomplete partition. Anak dengan SNHL kemungkinan
tidak terdiagnosa sampai mereka sekolah.10
Angka kejadian gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital adalah
1–3/1.000 kelahiran pada populasi perawatan bayi normal dan 2–4/100 bayi di
perawatan intensif. Di Jawa Barat dengan penduduk sekitar 37 juta jiwa dan angka
pertambahan penduduk sebesar 1,8% per tahun, diperkirakan sedikitnya 600 bayi
lahir dengan gangguan dengar sensorineural bilateral berat.10
Di negara berkembang deteksi dini gangguan dengar belum berjalan dengan
sempurna, masih banyak didapatkan masalah dengar pada anak setelah mencapai
usia dua tahun bahkan lebih, pada usia yang seharusnya anak sudah mampu
berbicara. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman orangtua mengenai
pentingnya fungsi dengar sebagai dasar proses perkembangan bicara.10

4. PATOFISIOLOGI
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di
nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus
rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan
penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan
1 minggu sebelum dan 4 hari setelah onset ruam. Pada episode ini, Virus rubella
sangat menular.7
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses

15
pembelahan terhambat. Dalam sekret faring dan urin bayi dengan CRS, terdapat
virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan
langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa
bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran. Dengan demikian pasien
merupakan ancaman bagi bayi lain serta orang dewasa yang rentan yang
berkontak dengan mereka.7
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan
sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta
terjadi selama viremia maternal, menyebabkan area nekrosis yang tersebar secara
fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi
ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan bahwa virus rubella di transfer ke
dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal
ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama
kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas
embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai
tanda peradangan.7
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin
dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi
yang sehat. Virus rubella juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan,
frekuensi dan beratnya derajat kerusakan janin dapat berkurang. Perbedaan ini
terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan progresif respon imun janin,
baik yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang di
transfer secara pasif.7

5. GEJALA KLINIK
Trias klasik rubela kongenital terdiri dari katarak, kelainan jantung,
serta ketulian. Bayi juga dapat menunjukkan retardasi mental, ruam,
hepatosplenomegali, ikterus, meningoensefalitis yang bersifat sementara.
Pada anak dengan congenital disease sensorineural hearing loss, didapatkan :10

16
a. Bayi yang baru lahir dengan tuli sensori tidak dapat menyadari suara yang
keras disekitarnya.
b. Bayi tidak merespon suara, bahkan tidak merespon ketika diajak berbicara
c. Anak-anak seharusnya bisa mengucapkan satu kata pada usia 15 bulan,
dan kalimat pada usia 2 tahun, jika mereka tidak bisa hal tersebut
kemungkinan menderita tuli sensorik.

6. DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan pada pasien (autoanamnesis) maupun pada
keluarga pasien (alloanamnesis). Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengungkap
peristiwa/kejadian-kejadian apa saja sehingga dapat menegakkan dan
menyingkirkan diagnosis. Pada anamnesis ditanyakan mengenai keluhan utama
dan lamanya, riwayat penyakit sekarang (karakter keluhan utama, perkembangan
dan perburukannya, kemungkinan adanya faktor pencetus, dan keluhan penyerta),
riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga termasuk riwayat penyakit
menahun, riwayat pribadi (kelahiran, imunisasi, makan dan kebiasaan) dan
riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal, kebersihan, sosial ekonomi).10
Pada kasus ketulian akibat SRK ini, anamnesis yang dilakukan berupa
alloanamnesis terhadap ibu pasien. Selanjutnya dapat ditanyakan:10
a. Keluhan utama : kurang respon terhadap suara
b. Riwayat penyakit sekarang :
 sudah berapa lama anak kurang respon terhadap suara
 apakah disertai dengan gangguan perkembangan bicara
c. Riwayat penyakit dahulu :
 campak, rubella, infeksi pada telinga, saluran napas atas
d. Riwayat penyakit keluarga:
 Penyakit herediter, misalnya: Cacat saat lahir
e. Riwayat kehamilan:
 Kesehatan ibu saat kehamilan
 Adanya infeksi +/- : pada usia kehamilan berapa, kelanjutannya, pengobatan
 pengobatan, trauma, kemungkinan paparan dengan zat fetotoksik
 Kontrasepsi: metode, lama, penerimaan atau alasan penghentian
 imunisasi sebelum hamil

17
f. Riwayat persalinan:
 Masa kehamilan
 Cara kelahiran
 Keadaan setelah lahir, pascalahir, hari-hari pertama kehidupan
 Berat badan dan panjang badan lahir (apakah sesuai dengan masa
kehamilan, kurang atau besar)
g. Riwayat Imunisasi bayi

Pemeriksaan Fisik
Pada congenital rubella syndrome terdapat trias klasik, yaitu kelainan
pendengaran sensorineural hearing loss, kelainan mata seperti retinopathy,
katarak, dan kelainan kongenital pada jantung seperti patent ductus arteriosus
(PDA). Untuk itu pada pemeriksaan fisik difokuskan pada ketiga trias tersebut.9

Pemeriksaan penunjang
Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi
Skrining gangguan pendengaran pada bayi diprioritaskan pada bayi dan
anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Joint
Committee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi
terhadap ketulian seperti berikut:9
1. Untuk bayi 0-28 hari :
a. Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir.
b. Infeksi masa hamil: Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis
(TORCHS).
c. Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pada pinna dan liang telinga.
d. Berat badan lahir <1500 g.
e. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar.
f. Obat ototoksik
g. Meningitis bakterialis
h. Nilai APGAR 0-4 pada minit pertama; 0-6 pada menit ke 5
i. Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU.
j. Sindroma yang berhubungan dengan riwayat keluarga dengan tuli
sensorineural sejak lahir.
2. Untuk bayi 29 hari – 2 tahun :

18
a. Kecurigaan orang tua tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara,
berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan.
b. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa
anak-anak.
c. Keadaan yang berhubungan dengan sindrom tertentu yang diketahui
mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, konduksi atau gangguan
fungsi tuba Eustachius
d. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis
e. Infeksi intrauterin seperti TORCHS.
f. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama
hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang membutukan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
g. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
h. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndrome, dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich’s ataxia, Charrot Marie Tooth
Syndrome.
i. Trauma kapitis
j. Otitis media yang berulang dan menetap disertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi :9,11
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan
merupakan respons yang disadari (voluntary response). Metoda ini dapat
mengetahui seluruh sistim auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi.
Behavioral audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistem
auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi
pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing dan fitting).
Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi,
namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi. Pemeriksaan
dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari
60dB), idealnya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai sumber

19
bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir,
remasa kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi
frekuensi tinggi (squaker toy), dan lain-lain. Dinilai kemampuan anak dalam
memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan Behavioral
Observation Audiometry dibedakan menjadi Behavioral Reflex Audiometry dan
Behavioral Response Audiometry.

2. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui keadaan dalam kavum
timpani. Misalnya, ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran, kekakuan
membran timpani dan membran timpani yang sangat lentur. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga
tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Melalui
probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan
energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada
orang dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi
226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226
Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan
probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz). Terdapat 4 jenis timpanogram
yaitu:
a. Tipe A (normal)
b. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
c. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
d. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
e. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak
mengikuti ketentuan di atas, Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan
sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka
pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal. Refleks akustik
pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone
frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan
dewasa.
3. Oto Acoustic Emission (OAE)

20
Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus
listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian
energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke
liang telinga. Proses ini mirip dengan peristiwa echo (Kemp echo). Produk
sampingan koklea ini selanjutkan disebut sebagai emisi otoakustik (Otoaccoustic
emission). Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga dapat
memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut
luar koklea (outer hair cells).Terdapat 2 jenis OAE yaitu Spontaneous OAE
(SPOAE) dan Evoked OAE (EOAE).
SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa
harus diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal
mempunya SPOAE. EOAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik
yang dibedakan menjadi (1) Transient Evoked OAE (TEOAE) dan (2) Distortion
Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan
DPOAE menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda
frekuensi dan intensitasnya.
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai
fungsi koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/ lulus/ danrefer/
tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis
sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir
(Universal Newborn Hearing Screening). Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap
suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada alat OAE generasi terakhir nilai OAE
secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan.
Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal tersebut
menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk
memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga)
sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak koperatif.
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat
ototoksik, diagnosis neueropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu
dengar, skrining pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai
pemeriksaan penunjang pada kasus – kasus yang berkaitan dengan gangguan
koklea.

21
4. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau Auditory Brainstem
Response (ABR).
BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas
sistim auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak,
dewasa, penderita koma. BERA merupakan cara pengukuran evoked potential
(aktifitas listrik yang dihasilkan N.VIII, pusat – pusat neutral dan traktus di dalam
batang otak) sebagai respons terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang
digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone,
insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien
sebaliknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik
dangan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan
respons pada average frequency antara 2000 – 4000 Hz. Tone burst juga
merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi yang
spesifik. Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang
sinkron, direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang
ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus mastoid), kemudian diproses
melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif
(gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan.
Analisis gelombang BERA berdasarkan morfologi gelombang, masa laten dan
amplitudo gelombang.
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah
menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus
diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing gelombang (gel I sampai V).
Dikenal 3 jenis masa laten: masa laten absolut, masa laten antar gelombang
(interwave latency attau interpeak latency) dan masa laten antar telinga (interaural
latency). Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak
pemberian stimulus sampai timbultnya gelombang I adalah waktu yang
dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I.

22
Masa laten antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang,
misalnya masa laten antar gelombang I – III, III – V, I – V. Masa laten antar
telinga yaitu membandingkan masa laten absolut gelombang yang sama pada
kedua telinga.Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa laten
fisiologik yang terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapatkan
pemanjangan masa laten pada beberapa frekuensi menunjukkan adanya suatu
gangguan konduksi.
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan
anak yang usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa
laten, amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih
besar maupun orang dewasa.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
a. CT-scan tulang temporal
b. MRI bagian dalam telingga
c. EKG
d. CT-scan jantung

Gambar 10. Pedoman diagnosis CRS pada kehamilan9

23
Gambar 11. Pedoman diagnosis CRS9

7. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
Ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal biasanya adalah
tuli saraf dengan derajat ketulian berat atau sangat berat bilateral. Rehabilitasi
harus dilakukan sedini mungkin. Anak dengan tuli saraf berat harus segera
dimulai memakai alat bantu dengar. Dilakukan pula penilaian tingkat kecerdasan
oleh psikolog anak untuk dirujuk dalam pendidikannya.14
Tidak ada terapi khusus pada tuli sensorineural selain tindakan bedah
implantasi koklea. Jika terdapat sisa pendengaran, dapat digunakan alat bantu
dengar. Pemakaian alat ini bertujuan untuk memperkeras suara sehingga terdapat
dalam rentang frekuensi bicara. Dapat timbul masalah karena penerimaan suara
tidak selektif dan dapat mengakibatkan tekanan berlebihan dari lingkungan serta
suara bising dari sekitarnya, seperti gesekan pakaian. Pada pemakaian alat ini
diperlukan instruksi yang jelas serta perhatian terhadap bentuk telinga. Harus
ditekankan bahwa pemakaian alat bantu hanya merupakan bagian dari proses
rehabilitasi umum dan pendidikan. Orang tua penderita anak kecil yang tuli
membutuhkan petunjuk ahli untuk memberikan dorongan kepada penderita untuk

24
berbicara dan mengembangkan kemampuan bicara. Banyak anak dengan tuli
sedang dapat mengikuti sekolah normal, tetapi tuli yang lebih berat memerlukan
pendidikan khusus baik pada sekolah tunarungu maupun pada unit gangguan
pendengaran yang ada di sekolah normal. Karena penyebab genetik di dapatkan
50% anak dengan tuli sensorineural, seringkali diperlukan konsultasi genetik
untuk mencegah terjadinya kembali kasus tersebut pada anggota keluarga.14,15
Pemasangan implan koklea dilakukan pada keadaan tuli saraf berat bilateral
atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa) yang tidak mendapat manfaat
dengan alat bantu dengar konvensional. Untuk anak dengan tuli saraf berat sejak
lahir, implan sebaiknya dipasang pada usia 2 tahun. Pasca bedah dilakukan
evaluasi serta program rehabilitasi berupa latihan mendengar, terapi wicara, dll
selama kurang lebih 6 bulan. Perangkat elektronik tersebut harus diperiksa dan
dikalibrasi berkala (mapping) setiap 6 bulan untuk anak < 6 tahun dan setiap 12
bulan untuk anak yang berusia > 6 tahun.14
Medikamentosa
Tidak ada pengobatan spesifik untuk rubella kongenital. Imunoglobulin
profilaktik, dapat mencegah timbulnya ruam, tetapi tidak mencegah terjadinya
viremia rubella. Karena itu virus tetap merupakan bahaya yang bermakna bagi
janin. Karena itu immunoglobulin jarang diindikasikan selama kehamilan.16

8. PENCEGAHAN
Terhadap rubella9
a. Globulin Imun Serum (GIS)
b. Vaksin hidup yang dilemahkan (Vaksin hidup RA 27/3)
Berikan imunisasi Measles-Rubella (MR) untuk anak usia 9 bulan sampai
dengan <15 tahun tanpa melihat status imunisasi dan riwayat penyakit campak
atau rubella sebelumnya. Dosis pemberian vaksin MR adalah 0,5 ml diberikan
secara subkutan (sudut kemiringan penyuntikan 450).17

25
Gambar 12. Cara penyuntikan vaksin MR.17

Lebih dari 30 negara bagian di Amerika Serikat menganjurkan


screening pada bayi yang baru lahir melalui program newborn hearing
screening (NHS). Saat ini gold standar pemeriksaan skrining pendengaran
pada bayi adalah pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) dan Automated
ABR (AABR). Dikenal 2 macam program NHS, yaitu: Universal Newborn
Hearing Screening (UNHS) dan Targeted Newborn Hearing Screening.9
Deteksi dini sangat penting, terutama harus dilakukan pada anak dengan
faktor risiko gangguan dengar, karena 50% bayi baru lahir dengan faktor risiko
mengalami gangguan dengar sejak lahir. Deteksi gangguan dengar pada anak
dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi subyektif, yaitu dengan
memerhatikan respon anak terhadap bunyi berupa perubahan tingkah laku atau
dengan pemeriksaan objektif, misalnya dengan BERA dan OAE.9

26
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Congenital Rubella Syndrome (CRS) atau Fetal Rubella Syndrome


merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang pada
bayi sebagai akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus.
CRS dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan

27
cacat apabila bayi tetap hidup. Infeksi virus rubella pada trimester I
kehamilan memiliki risiko kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan
infeksi setelah trimester pertama.
Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai ialah tuli
sensoneural, kerusakan mata seperti katarak, gangguan kardiovaskular, dan
retardasi mental.
Rubella merupakan salah satu penyebab tersering dari tuli kongenital non-
genetik. Namun dengan adanya vaksin rubela, penyakit ini dapat tereleminasi.
Jika seorang wanita terkena campak Jerman selama 3 bulan pertama
kehamilannya, maka besar kemungkinan bahwa bayinya akan mengalami ketulian
sensorineural.
Ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal biasanya adalah
tuli saraf dengan derajat ketulian berat atau sangat berat bilateral. Rehabilitasi
harus dilakukan sedini mungkin. Anak dengan tuli saraf berat harus segera
dimulai memakai alat bantu dengar. Dilakukan pula penilaian tingkat kecerdasan
oleh psikolog anak untuk dirujuk dalam pendidikannya.
Tidak ada terapi khusus pada tuli sensorineural selain tindakan bedah
implantasi koklea. Jika terdapat sisa pendengaran, dapat digunakan alat bantu
dengar. Tidak ada pengobatan spesifik untuk rubella kongenital. Imunoglobulin
profilaktik, dapat mencegah timbulnya ruam, tetapi tidak mencegah terjadinya
viremia rubella. Karena itu virus tetap merupakan bahaya yang bermakna bagi
janin. Karena itu immunoglobulin jarang diindikasikan selama kehamilan.
Deteksi dini sangat penting, terutama harus dilakukan pada anak dengan
faktor risiko gangguan dengar, karena 50% bayi baru lahir dengan faktor risiko
mengalami gangguan dengar sejak lahir. Deteksi gangguan dengar pada anak
dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi subyektif, yaitu dengan
memerhatikan respon anak terhadap bunyi berupa perubahan tingkah laku atau
dengan pemeriksaan objektif, misalnya dengan BERA dan OAE.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Angka Kematian Bayi. Amerika: WHO;


2012.
2. Santis DM, Cavaliere AF, Straface G, Caruso A. rubella infection in
pregnancy. [online] 2006 (cited on 14 Juli 2018). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16580940
3. Reddy MVV, Bindu HL, Reddy PP, Rani UP. Role of intrauterine rubella
infection in the causation of congenital deafness. [online] 2006 (cited on 14
Juli 2018). Available from: http://www.bioline.org.br/pdf?hg06026
4. Banatvala JE, Brown DW. Rubella. [online] 2004 (cited on 14 Juli 2018).
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15064032
5. Dammeyer j. Congenital rubella syndrome and delayed manifestations.
[online] 2010 (cited on 14 Juli 2018). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20619470
6. Bento RF, Castilho AM, Sakae FA, Andrade JQ, Zugaib M. auditory
brainstem response and otoacoustic emission assessment of hearing-

29
impaired children of mothers who contracted rubella during pregnancy.
Acta otolaryngol. 125: 492-494; 2005
7. Kadek, Darmadi. Gejala rubela bawaan (kongenital). Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory: 13(2): 63-71; Maret 2007.
8. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar: Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC. 2013. h. 23-4, 62, 66, 124
9. Suwento R, Zizlavsky S, Hendramin H. Gangguan pendengaran pada bayi
dan anak. in: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Telinga
hidung tenggorok & leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI; 2011. h.22-42.
10. Antonio SAMA, Meyers AD. Syndromic sensorineural hearing loss.
[online] 2014 (cited on 14 Juli 2018). Available from:
emedicine.medscape.com/article/856116-overview.
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: FK UI;
2007
12. Brooks GF, Butel JS, Morse SA, penyuting. Mikrobiologi kedokteran
Jawetz, Melnick, Adelberg. Edisi-27. Jakarta: EGC; 2007. h. 578.
13. Lalwani AK. Disorders of smell, taste, and hearing. in: Fauci AS, Kasper
DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison's
principles of internal medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
p.200-2.
14. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, penyunting. Kapita
selekta kedokteran. Jilid. 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius; 2008. h.
88.
15. Hull D, Johnsston DI. Dasar-dasar pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2008. h.
297.
16. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku: Obstetri dan ginekologi. Edisi 9.
Jakarta: EGC; 2008. h. 168, 438-9.
17. KEMENKES RI. Petunjuk teknis: kampanye imunisasi measles rubella
(MR). KEMENKES RI: DIRJEN Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
2017

30
31

Anda mungkin juga menyukai