Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Di sebuah acara “reality show” Indonesia, seorang lelaki botak yang juga mentalis terlihat mewawancarai
bintang tamunya. Begini kalimat pembukanya “Menjadi istri yang baik atau ibu yang baik?”
Sayangnya saya tidak mengikuti acara tersebut. Sudah dua tahun terakhir ini rumah kami bebas televisi.
Cuplikan acara tersebut saya temui di beranda akun media sosial seorang teman. Saya tertarik
membahasnya karena kajian ini persis dengan tema yang saya dapat beberapa bulan lalu.
Kalian tahu apa jawaban pertanyaan yang awalnya membingungkan saya itu? Padahal ada satu kitab
ajaib yang sudah menjelaskan secara apik jawabannya. Alquran berbicara tentang perempuan. Dia
adalah kunci segalanya. Kebaikan keluarga, masyarakat, dan negara. Masih di dalam kitab yang
menakjubkan itu perempuan dalam hal perannyanya dibagi menjadi empat bagian berdasar prioritas
terbaiknya. Pertama, sebagai istri. Kedua, sebagai ibu. Ketiga sebagai pribadi. Terakhir, peran sosial.
Diantara keempat hal tersebut, alquran paling banyak bercerita tentang kiprah perempuan sebagai istri.
Dan yang minim adalah kiprahnya dalam bidang sosial. Maka yang hari ini masih disibukkan oleh
berbagai aktifitas yang manfaatnya hanya berdampak bagi dirinya sendiri sebaiknya segera berbenah.
Begitu pula para “sosialita” diminta untuk berpikir ulang tentang perannya jika menginginkan dari
rahimnya lahir generasi mulia.
Perhatikan urutan dominannya baik-baik. Ketika kita coba untuk membaliknya atau menggeser letaknya
sekehendak nafsu kita, maka yang terjadi adalah tumbuhnya anak-anak yang bermasalah.
Jadi ketika ditanya “Menjadi istri yang baik atau ibu yang baik?”. Maka jawabannya adalah istri yang baik.
Itu adalah tingkatan peran teratas. Selesaikan dengan baik bagian ini. Berikan pengabdian istimewa
untuk suami. Lalu perhatikanlah kemudian tugas perempuan sebagai ibu akan dengan mudah dijalani.
Inilah jawaban kenapa sebuah rumah yang “broken home” akan sulit sekali melahirkan anak-anak yang
kokoh kepribadiannya. Karena tak lain, ia tak mendapatkan teladan itu di rumahnya. Tempat di mana
kegemilangan generasi itu bermula.
Beberapa kali saya menemui kasus perempuan yang abai pada suaminya setelah hadirnya anak-anak.
Mereka menganggap peran suci sebagai ibu di atas segalanya. Kemudian menuntut suami untuk paham
bahwa kini sudah hadir makhluk kecil yang patut diprioritaskan dari pada suami. Ternyata ini keliru,
perempuan cenderung mengikuti perasaannya untuk terus dipahami. Lihat saja betapa banyak literasi
yang membahas tentang betapa peliknya peran perempuan sebagai istri dan ibu sekaligus. Bahkan
lengkap dengan sajian data bahwa peran ini rawan depresi. Sampai pada kasus bunuh diri. Terus diulas
gangguan psikologis yang sering sekali terjadi pada mereka.
Saya tak hendak menafikan fakta tersebut, tetapi saya ingin setiap wanita paham tentang urutan
prioritas yang telah dirumuskan wahyu. Bukankah kita tak pernah ragu bahwa alquran itu adalah
sebenar-benar petunjuk?
Seperti nasihat yang disampaikan ustazah saya di suatu siang ketika membahas tentang pengasuhan
anak. “Sajikan pengabdian dan bakti terbaik yang bisa kita lakukan kepada suami, maka perhatikan
keajaiban yang akan terjadi. Pengasuhan anak-anakpun menjadi kian mudah”.
Berapa banyak kejadian emak yang temperamen kepada anak-anaknya hanya karena masalahnya dengan
suami yang belum selesai. Maka sekali lagi, perhatikan prioritas penting ini ya Mak. Menangkan dulu hati
lelaki kita.
Adalah tak mudah mencari tulisan dari lelaki yang mengulas tentang ini. Jikapun ada, maka ini tema yang
tak menarik. Kurang dramatis. Bagi perempuan yang kapasitas perasaannya lebih mendominasi,
menganggap hal ini adalah “lebay”. Makanya kemudian mereka menjuluki suami sebagai “bayi besar”.
Saya tertarik sekali dengan pengalaman seorang teman ngaji yang ikut suaminya tugas belajar tinggal di
Jeddah. Maka hal pertama yang saya tanyakan padanya waktu itu adalah “Wah.. enak ya kalau akhir
pekan bisa sering-sering ke Mekkah buat umrah, terus ramadhan juga bisa iktikaf di masjidil haram”.
Mengingat jarak antara kedua kota itu tak begitu jauh.
Saya sukses melongo ketika ia menjawab “Nggak juga, aku tuh gak enak mikirin ibadah sunnah,
sementara yang wajib terbengkalai”.
“Iya.. hatiku nggak plong gitu kalau pergi iktikaf ataupun umrah sementara suami di sini makan
minumnya gimana? yang nyiapin bajunya siapa? ininya terus itunya?”
Jleb!
Dialog lain yang terjadi belasan tahun silam antara saya dan dosen tingkat pertama di bangku kuliah dulu
juga masih begitu melekat erat. Ketika beliau mengkhawatirkan gelar paska sarjana dan penghasilan
bulanannya berada di atas gelar dan gaji sang suami.
“Aku khawatir gelar dan penghasilan ini menghalangiku dari bakti pada suami”.
Sungguh kesadaran yang keren pada zaman di mana perempuan hari ini ribut menuntut kesetaraan
gender dalam bungkus kemasan emansipasi yang salah kaprah. Dan bangga dengan kemampuan dirinya
yang bisa mandiri menghasilkan sejumlah rupiah dari keringatnya sendiri. Perlahan ketundukan dan
ketaatan pada suami sedikit demi sedikit tergerus. Ini keniscayaan. Hukum alam kepada mereka yang di
dalam hatinya bersemayam biji kesombongan dan jauh dari majelis ilmu.
Betapa seringnya kita, eh saya maksudnya merasa segala pekerjaan melayani suami dari mulai
menyiapkan hal-hal kecil itu adalah pekerjaan sepele. Dan berpikir keras mengejar amalan lainnya.
Kehadiran bayi dan suami seperti penghalang antara diri kita dan ibadah yang nyaman. Bagaimana
sulitnya mencari waktu untuk sekadar tenang membaca alquran tanpa interupsi ini dan itu. Bangun
tahajud susah waktu si bayi bentar-bentar bangun malam minta Asi. Padahal syarat masuk surga seorang
istri itu tak disebut harus tahajud atau tadarusan.
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari
pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan
hasan oleh Syaikh al-Albany).
Coba perhatikan lagi hadits yang luar biasa ini. Ah, semoga kita tidak termasuk istri yang “ngeyelan”
sampai “ngambekan” hanya gara-gara menganggap amalan masa lajang dulu jauh melesat
pencapaiannya dibanding ketika kita menjadi “emak-emak”.
Camkan lagi kata-kata terakhir dari sabda Sang Nabi tersebut, : “Masuklah ke dalam surga dari pintu
manapun yang kau mau”.
Ganjaran keren yang bagaimana lagi coba yang mau kita kejar?