Anda di halaman 1dari 11

“PENGOLAHAN LIMBAH

DI POLITEKNIK KAMPAR”

Di susun Oleh:
Yeriken Delbi Almansyah ( 201711001)

PROGRAM STUDI TEKNIK PENGOLAHAN SAWIT


POLITEKNIK KAMPAR
BANGKINANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Biomassa batang sawit dari hasil peremajaan tersebut merupakan massa


terbesar yang belum dimanfaatkan untuk menjadi salah satu sumber daya manusia
yang bernilai tinggi. Biomassa batang sawit dapat menjadi sumber daya manusia
berupa pupuk yang dibuat dengan metode pengomposan. Pengomposan adalah proses
penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah
mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih
cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, mengatur aerasi,
dan penambahan dekomposer pengomposan (Alex S, 2012).
Pupuk organik merupakan pupuk yang sebagian atau seluruhnya berasal dari
hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara tanah
(Wayan, dkk. 2014). Untuk meningkatkan kualitas pupuk organik salah satunya yaitu
dengan mengubah pupuk organik curah ke pupuk organik granul atau pelet. Hal
tersebut dikarenakan pupuk granul tidak menimbulkan debu, dapat mencegah
terjadinya segresi (pemisahan), mencegah over dosisnya tanaman terhadap pelepasan
nutrisi mendadak, serta memperbaiki penampilan dan kemasan produk (Wahyono,
dkk. 2011).
Menurut Mardiana (2010), peningkatan kualitas pupuk organik dapat
dilakukan dengan cara pembuatan pupuk organik berbasis limbah industri. Agar
pupuk organik granul atau pelet tidak mudah larut dan hancur maka perlu ditambah
bahan perekat. Penggunaan bahan perekat bertujuan untuk meningkatkan
kekompakan granul sehingga granul tidak mudah hancur dan keras. Perekat yang
biasa digunakan sebagai campuran dapat berupa perekat alami dan buatan. Bahan
perekat yang digunakan harus mempunyai sifat rekat yang baik sehingga dapat
memperbaiki sifat fisik maupun kimia, selain itu perekat mudah ditemukan dan
dengan harga yang terjangkau (Isroi, 2009).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos
Kompos pada dasarnya berasal dari sisa bahan organik, baik dari tanaman,
hewan, dan limbah organik yang telah mengalami dekomposisi atau fermentasi,
pupuk kandang dan pupuk hijau merupakan bagian dari kompos. Jenis tanaman yang
sering digunakan sebagai kompos diantaranya adalah jerami, sekam padi, pelepah
pisang, sisa tanaman jagung dan sabuk kelapa. Sementara itu bahan dari hewan yang
sering digunakan diantaranya kotoran ternak, urin, pakan ternak yang terbuang dan
cairan biogas (Hadisuwito, 2012).
Pembuatan kompos pada prinsipnya bisa dilakukan dengan cara membiarkan
bahan organik hingga melapuk atau menambahkan dekomposer untuk mempercepat
proses pengomposan. Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi)
dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan
terkendali dengan proses akhir humus atau kompos. Proses pengomposan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu: imbangan C/N bahan organik, ukuran bahan, kekuatan
struktur bahan baku, kelembaban, aerasi, dan jenis mikroorganisme yang terlibat.
Proses pengomposan merupakan proses biokimia sehingga setiap faktor yang
mempengaruhi mikroorganisme tanah akan mempengaruhi laju dekomposisi tersebut.
Dekomposisi bahan organik (bahan baku kompos) tergantung dari beberapa
faktor. Kompos mempunyai sifat yang menguntungkan, yaitu memperbaiki struktur
tanah yang berlempung sehingga menjadi ringan, memperbesar daya ikat air pada
tanah, memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, memperbaiki daya ikat
tanah terhadap zat hara, mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit
(tergantung bahan pembuatnya), membantu proses pelapukan bahan mineral,
memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba, menurunkan aktifitas
mikroorganisme yang merugikan (Suhut simamora, 2006).

2.2 Sludge
Sludge merupakan bagian dari Palm Oil Mill Effluent (POME). POME
sebenarnya berasal dari mesocarp atau serabut berondolan sawit yang telah
mengalami pengolahan di pabrik kelapa sawit (Fauzan barus, 2017).
POME mentah memiliki bentuk dan konsistensi seperti ampas tahu, berwarna
kecokelatan, berbau asam-asam manis, dan masih mengandung minyak CPO sekitar
1,5% (Ruswendi, 2008). Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa
padatan POME memiliki kandungan bahan kering 81,56% yang di dalamnya terdapat
protein kasar 12,63%; serat kasar 9,98%; lemak kasar 7,12%; kalsium 0,03%; fosfor
0,003%; dan energi 154 kal/100 gram. (Utomo dan Widjaja, 2005).
Limbah POME dari pabrik pengolahan kelapa sawit memiliki potensi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai kompos. Kompos POME sebagai agen
pembenah tanah diharapkan dapat meningkatkan daya dukung tanah akan
ketersediaan bahan organik dan unsur hara.1 ton POME mengandung unsur hara
sebanding dengan, 10,3 kg Urea, 3,3 kg TSP, 6,1 kg MOP, 4,5 kg Kieserit.
Kandungan hara tersebut hampir sama dengan janjangan kosong, akan tetapi
kandungan MOP pada POME lebih rendah (Pahan, 2012).

2.3 MOL Bonggol Pisang


MOL atau Mikro Organisme Lokal adalah larutan hasil proses fermentasi dari
berbagai jenis bahan – bahan organik. Larutan MOL mengandung bakteri,
perangsang pertumbuhan, unsur hara mikro dan makro, dan sebagai agen hayati
pengendali hama dan penyakit tanaman. Dengan kandungan – kandungan tersebut
MOL dapat digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan sebagai fungisida
organik.
Bonggol pisang mengandung gizi yang cukup tinggi dengan komposisi yang
lengkap, mengandung karbohidrat (66%), protein, air, dan mineral-mineral penting
(Munadjim, 2014). Bonggol pisang mempunyai kandungan pati 45,4% dan kadar
protein 4,35%. Bonggol pisang mengandung mikrobia pengurai bahan organik.
Mikrobia pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian
dalam. Berdasarkan hal tersebut maka penggunaan MOL bonggol pisang sebagai
dekomposer mampu meningkatkan kualitas kompos (Suhastyo, 2013).
Jenis mikrobia yang telah diidentifikasi pada MOL bonggol pisang antara lain
Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergillus nigger. Mikrobia inilah yang biasa
menguraikan bahan organik (Suhastyo, 2011). Mikrobia pada batang pisang
berpotensi sebagai dekomposer dalam pengomposan (Widiastuti, 2008).

2.4 Pupuk Organik Granul


Pupuk organik dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan biaya,
penggunaan, dan aspek lainnya. Bentuk pupuk organik dalam bentuk padat biasanya
dijual dalam bentuk curah tablet, pelet, ataupun granul. Salah satu bentuk pupuk
organik padat yang mulai digemari yaitu pupuk organik granul. Pupuk organik granul
merupakan pupuk organik yang dibentuk seperti butiran-butiran yang bersifat keras
dan kering.
Granul yang baik adalah granul yang memiliki ukuran seragam, cukup keras,
mudah larut apabila terkena air atau ditimbun tanah. Aspek yang harus diperhatikan
dalam pembuatan granul adalah ukuran granul yang diharapkan, kekerasan granul,
dan kemudahan granul untuk pecah atau larut (Isroi dan Nurheti, 2009). Menurut
Wahyono, dkk. (2011), pupuk kompos yang berbentuk pelet atau granul memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan pupuk curah, yaitu:
1. Memiliki kepadatan tertentu sehingga tidak mudah diterbangkan angin dan
terbawa air.
2. Tidak menimbulkan debu sehingga pengaplikasian pupuk dapat dilakukan
dekat pemukiman penduduk.
3. Overdosisnya tanaman terhadap pelepasan nutrisi yang mendadak (fertilizer
burn) karena proses peluruhannya lebih lambat dibandingkan dengan pupuk
curah (slow release). Kecepatan pelepasan bahan aktif dari partikel-partikel
halus akan lebih besar dibandingkan bentuk granul (Hadisoewignyo dan
Fudholi, 2013).
4. Pengaplikasiannya lebih mudah dan lebih efektif.
Menurut Sirappa dan Wahid (2012), perlakuan dengan pupuk organik granul
dapat meningkatkan unsur hara K dan C-organik pada tanah bertekstur lempung
berdebu yaitu dari 1,18% menjadi 2,00 – 3,00% dibandingkan dengan perlakuan
pupuk kandang sapi dan petroganik.

2.5 Granulasi
Menurut Hadisoewignyo dan Fudholi (2013), granulasi merupakan suatu proses
pembentukan partikel-partikel besar yang disebut granul dari suatu partikel serbuk
yang memiliki daya ikat. Proses granulasi bertujuan:
1. Mencegah segresi campuran serbuk.
2. Memperbaiki sifat alir serbuk atau campuran.
3. Meningkatkan densitas ruahan produk.
4. Memperbaiki kompresibilitas serbuk.
5. Memperbaiki penampilan produk.
6. Mengurangi debu.

Efektivitas dan hasil granulasi bergantung pada beberapa sifat, yaitu:


1. Besarnya ukuran partikel bahan aktif dan bahan tambahan.
2. Tipe bahan pengikat yang digunakan.
3. Jumlah bahan pengikat yang digunakan.
4. Efektivitas dan lamanya proses pengadukan, pada saat pencampuran bahan
pengikat.
5. Kecepatan pengeringan.
Kecepatan putar pan granulator (RPM) juga berpengaruh terhadap hasil
granulasi. Menurut Hardika (2013), kecepatan putar 28 RPM merupakan kecepatan
putar yang paling optimal dalam pembuatan butiran beras jagung yaitu sebesar
78,18%. Proses granulasi menggunakan dua metode yaitu granulasi basah (wet
granulation) dan granulasi kering (dry granulation).
1. Granulasi basah (wet granulation). Metode granulasi basah dilakukan dengan
cara membasahi massa dengan cairan pengikat sampai pada tingkat kebasahan
tertentu lalu digranulasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses granulasi
basah diantaranya jumlah bahan pengikat yang ditambahkan, waktu
pencampuran bahan pengikat, dan lama pengeringan granul.
2. Granulasi kering (dry granulation). Metode granulasi kering dilakukan tanpa
menggunakan bahan pengikat basah. Pembuatan granul dilakukan secara
mekanis menggunakan alat mesin, dimana massa dikempa dengan tekanan
besar menjadi slug (bongkahan kompak)atau dengan alat roller compaction
dimana massa yang dikempa dengan tekanan besar menjadi lempengan-
lempengan
2.6 Kadar Air
Menurut Peraturan Menteri Pertanian (2011), standar mutu kadar air untuk
pupuk organik padat dalam bentuk pelet atau granul yaitu 8% - 20%. Kadar air yang
sedikit akan membunuh mikroorganisme yang berada di dalam pupuk karena
kelembaban sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup mikroorganisme.
Sebaliknya, jika kadar air berlebih maka waktu penyimpanan akan singkat.
BAB III

CARA KERJA

3.1 Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan mol bonggol pisang adalah parang,
baskom, ember dan timbangan. Alat yang digunakan untuk pembuatan pupuk kompos
adalah sekop, terpal, cutter mill, parang, ember, timbangan. alat yang digunakan
untuk pembutan pupuk granul adalah granulator, timbangan, ember, ayakan dan botol
semprot.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan pupuk kompos adalah batang
sawit, pome, abu boiler serta sekam padi. Bahan yang digunakan untuk membuat mol
bonggol pisang adalah urin sapi, air kelapa, gula merah serta bonggol pisang. Bahan
yang digunakan sebagai perekat pada saat proses granulasi pupuk organik adalah
tepung tapioka.

3.3 Pembuatan Mol Bonggol Pisang


Bahan baku pembuatan mol yaitu bonggol pisang, adapun cara pembuatan mol
bonggol pisang yaitu :
1. Bonggol pisang ditimbang 72 kg dan dicincang hingga berukuran kecil
dan dimasukkan kedalam baskom.
2. Gula merah ditimbang sebanyak 5 kg dan dilarutkan kedalam air kelapa.
3. Sediakan air kelapa dan urin sapi masing – masing sebanyak 50 liter.
4. Air kelapa, urin sapi, dan larutan gula merah dimasukkan kedalam
baskom berisi bonggol pisang dan diaduk hingga tercampur rata.
5. Baskom kemudian ditutup rapat hingga kedap udara dan dilakukan
fermentasi selama 2 minggu.
6. Selama proses fermentasi berlangsung, campuran bonggol pisang harus
diaduk sekali dalam sehari.

3.4 Pembuatan Pupuk Kompos


1. Bahan baku yang telah ditimbang dari masing ditumpuk menjadi satu
tumpukan.
2. Seluruh bahan baku yang telah ditumpuk diaduk menjadi satu dan
dicampur dengan MOL sebanyak 63 liter.
3. Tumpukan yang telah dicampur dengan MOL kemudian ditutup
menggunakan terpal dan difementasi selama 2 – 3 minggu.
4. Tumpukan diaduk sekali sehari selama masa fermentasi.

3.5 Pembuatan Pupuk Granul


1. Bahan perekat dan pupuk kompos yang diayak untuk mendapatkan
partikel yang halus dan seragam.
2. Bahan perekat dan pupuk kompos kemudian dicampur dengan
presenstase yang telah ditentukan.
3. Campuran bahan perekat dan pupuk kompos dimasukkan ke dalam
granulator.
4. Hidupkan mesin granulator, biarkan sejenak hingga bahan baku merata.
5. Spreikan bahan pengikat secara bertahap agar tidak terjadi akumulasi
perekat pada satu titik yang menyebabkan granul-granul yang besar
besar.
6. Lakukan sprei hingga membentuk granul yang seragam dan tidak terlalu
basah.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bonggol pisang jarang dimanfaatkan dan dibuang begitu saja menjadi limbah
pisang. Bonggol pisang mengandung gizi yang cukup tinggi dengan komposisi yang
lengkap, mengandung karbohidrat, protein, air dan mineral-mineral penting
(Munadjim, 2014). Bonggol pisang mempunyai kandungan pati (karbohidrat) 45,4%
dan kadar protein 4,36%. Kandungan karbohidrat yang tinggi akan memacu
perkembangan mikroorganisme. Bonggol pisang juga mengandung mikrobia
pengurai bahan organik. Mikrobia pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang
bagian luar maupun bagian dalam. Berdasarkan hal tersebut maka penggunaan MOL
bonggol pisang sebagai dekomposer mampu meningkatkan kualitas kompos
(Suhastyo, 2013).
Pembuatan MOL bonggol pisang dilakukan dengan menambahkan urin sapi, air
kelapa, dan gula merah. Penambahan urin sapi karena memiliki kandungan unsur hara
yang lebih tinggi dari pada kotoran ternak sapi padat (Wanapat, 2001). Air kelapa
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme selama proses
fermentasi karena air kelapa mengandung 7,27% karbohidrat 0,29% protein.
Penggunaan gula merah sebagai energi bakteri karena gula merah mudah ditemui dan
mengandung asam amino lebih baik dari pada gula putih (Indriyani, 2011). Persiapan
bahan dimulai dengan mencicang bonggol pisang hingga menjadi balok-balok kecil,
lalu melarutkan gula merah ke dalam air kelapa, setelah itu semua bahan dicampur
dan diaduk hingga rata, kemudian difermentasi.
Proses fermentasi bahan-bahan MOL dilakukan selama 10-14 hari. MOL yang
sudah jadi dan siap digunakan ketika beraroma seperti tape (Panji Nugroho, 2012).
Waktu fermentasi bonggol pisang oleh MOL yang paling optimal pada fermentasi ke-
7 Hal ini berhubungan dengan ketersediaan makanan dalam MOL. Semakin lama
maka makanan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh mikroba didalamnya
(Suhastyo, 2011).

Anda mungkin juga menyukai