MENAJEMEN NYERI
Tugas Ini Dibuat untuk Memenuhi Persyaratan dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di SMF Ilmu Anstesi
Disusun Oleh :
Muhammad Wiko Ashadi
(7140891141)
Pembimbing :
dr.M.Winardi S Lemana Sp.An
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini guna memenuhi persyaratan
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Anastesi Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan
judul “Menajemen Nyeri”. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terimakasih
kepada dr.M.Winardi S Lemana Sp.An selaku dosen pembimbing. Saya menyadari bahwa
dalam penyusunan masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun
penyajian materi. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sehingga bermanfaat bagi penyusun paper selanjutnya.Semoga paper ini bermanfaat
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan.Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri
pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri
yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut
menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan,
mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.
3
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak lagi
berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan menambah
penderitaannya semakin berat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,
1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkandimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui
bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur
dan jenis kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
5
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman
dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengangangguan komunikasi.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:
6
Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeriakut
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma
7
2.2 MEKANISME NYERI
8
Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptordi sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akanterjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
9
2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawabterhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas,dingin), atau perubahan mekanikal.
Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah
perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit
bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yangpotensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.
10
2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubahmenjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atautrauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
11
2.4.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesikendogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornuposterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak.Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untukanalgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.
2.4.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik.
12
2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.Golongan
obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidakterjadi.
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera
fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itudirasakan. Subjektifitas nyeri membuat
13
sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi
(akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska
pembedahan,kanker).
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah
nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera
setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkannyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialamipasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik
kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik
nonmalignan(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi
sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafascepat) pada saat
nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia.
Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dangejala otonom tidak menunjukkan ada
atau tidaknya nyeri.
14
menangis dan mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
- Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri - Respon terhadap analgesik : sering
- Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif
adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada
saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari
tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.Sering kali, nyeri
viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseralseperti keram sering bersamaan
dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi
uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot
lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasiterjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena.
15
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang
dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari
struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls
nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical,
ganglion stellate, danbagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem
simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.Parenkim
otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus danpleura parietal sangat
sensitif pada nyeri.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri
berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri
16
berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen,
rangsangan ini melewatinervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran
kananbawah.
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska
pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada
pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
17
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala limapoin ;
tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkanangka 0 – 5 atau 0 – 10,
dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang
hebat.
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan
skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
18
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan
lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS
telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah,
hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah
dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesic penyelamat (rescue analgetic).
19
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan
pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik
dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).
2.8.1 Farmakologis
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur
dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri paska pembedahan.
20
Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri
Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi
21
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO
dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah,
dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa
dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu
obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan
pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:
22
untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska
pembedahan ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan
secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early
ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).
Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri dengan
memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA
bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient
Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal
baik peralatan maupun tindakannya.
2.8.1.4 Parasetamol
23
pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari
parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit
dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol
termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi
non steroid (masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja dengan
mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa prostaglandin).
Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada
pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa
perdarahan yang memanjang.
Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan untuk anak-anak
dan orang dewasa.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama bekerja dengan
cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini hampir sama dengan
enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat
24
selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok
siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang
tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti
bahwa parasetamol tidak memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi
di SSP dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari
parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.
2.8.1.5 Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara
struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia
yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara
intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal
maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari
opioid.
25
Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal poliposis,
asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring, anafilaksis, edema lidah,
demam dan flushing.
26
2. Fungsi platelet dan hemostatik
3. Gastrointestinal
4. Kardiovaskuler
5. Dermatologi
6. Neurologi
7. Pernafasan
8. Urogenital
27
2.8.2 Non-Farmakologis
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan
dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat,
stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk
“menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga
nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh
mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan
atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi
terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila
dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat
yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang
28
diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian
yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai
titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk
merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang
disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui sebagai
metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui
konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat
memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh
darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik
saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin
meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin,
histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin efektif
untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat
disalurkan dalam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads,
dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema
serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan
mengurangi persepsi nyeri.
29
2. Strategi kognitif-perilaku
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas dalam,
meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan
mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus
nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang
mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang
menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk
memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga
pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32