Sejarah Sosial
Disusun oleh :
JURUSAN SEJARAH
TAHUN 2019
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...............................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
DAFTAR PUSTAKA
2
1
Ukuran : 14 x 21 cm
BAB 1
Dalam penantian terhadap calon istri Eropa yang sesuai, laki- laki Eropa
pun "memuaskan" diri bersama perempuan Pribumi muda. Hal semacam ini
sangat sering terjadi pada masa kolonial. Menurut kebiasaan yang berlaku, sang
gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya-meskipun
hubungan tersebut telah menghasilkan anak. Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari
nasib gundik Pribumi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda.
dengan tanah air mereka. Karena itu pula, akan lebih mudah bagi mercka untuk
mengikat diri dengan tempat tinggal di dalam koloni. Ditambah lagi, demikian
menurut Coen, pendidikan ketat yang dienyam di panti asuhan membuat mereka
lebih bermoral daripada pendatang biasa.
Sebenarnya sejak awal sudah ada protes keras terhadap politik pengantin
perempuan kulit putih ini, baik di Belanda maupun di daerah koloni. Orang-orang
khawatir bahwa perkawinan tersebut justru akan menciptakan trekker dan bukan
blijver. Bagi perusahaan dagang seperti VOC, hal itu tentu bukan hal yang
menyenangkan. Lagipula, para trekker hanya akan mengutamakan kepentingan
pribadi. Mereka hanya ingin mengumpulkan modal untuk kemudian kembali ke
tanah air bersama isteri dan anak mereka. Di samping itu para perempuan Belanda
merupakan pos pengeluaran yang besar, terutama karena tunjangan dan mas
kawin yang mereka terima. Ada dugaan bahwa para perempuan ini hanya berniat
memperkaya di dan justru memicu para suami untuk melakukan penggelapan.
Perkawinan Campur
Dalam kasus laki-laki Eropa dengan pangkat lebih tinggi, elite pengurus,
gagasan ini pun menjadi kenyataan. Mereka menikah dengan perempuan Asia dan
(terutama) Eurasia. Politik perkawinan campur ini tetap dipertahankan sampai
abad ke-19. Dengan ini De Heren van de Compagnie menunjukkan bahwa mereka
tidak melihat adanya manfaat bagi Timur dalam melakukan kolonisasi masal laki-
laki dan perempuan kulit putih seperti yang didukung Coen.
Ada banyak contoh perempuan Kreol atau Mestizo yang semasa hidupnya
lebih dari satu kali menikah dengan beberapa pejabat terpandang. Hal ini mungkin
berkaitan dengan perbedaan umur yang jauh antara suami dan isteri. Sang isteri
biasanya sangat muda ketika dijodohkan, tidak jarang masih anak-anak.
Sebaliknya sang suami baru dianggap calon pasangan yang menarik kalau ia
sudah berkarier, artinya sudah lebih berumur dari sang isteri. Contohnya
Fransçoise de Wit yang dilahirkan pada 1634 dari pasangan pendatang, Ia
berumur 14 tahun ketika pada 1648 menikahi direktur jenderal perdagangan di
Batavia yang berumur 44 tahun, Carel Reyniersz. Pada 1650 Reyniersz diangkat
menjadi gubernur jenderal. Beberapa bulan setelah Reyniersz meninggal pada
1653, Fransçoise de Wit pun menikah lagi dengan pejabat lain. Pernikahan
kembali setelah meninggalnya pasangan sangat sering terjadi dalam kalangan
elite. Anggapan beberapa orang tentang terlalu cepatnya pernikahan tersebut
terbaca dari dikeluarkannya dekrit pada 1642 bahwa janda janda dilarang menikah
kembali dalam waktu tiga bulan setelah suami mereka meninggal.
Para perempuan Kreol dan Mestizo yang menikahi para pejabat tinggi
VOC sangat menentukan iklim sosial dalam masyarakat kolonial pada waktu itu.
Mereka merupakan elemen dasar budaya Mestizo, yaitu budaya besar yang
mendominasi masyarakat Eropa di Hindia Belanda dan terus berlangsung hingga
abad ke-19. Jika mereka adalah isteri pejabat tinggi (seperti anggota dewan atau
ketua pengadilan tinggi), maka meski berdarah campuran mereka pasti memiliki
pelayan-pelayan laki-laki Eropa. Hal ini adalah ciri khas kedudukan tinggi mereka
dalam masyarakat VOC. Para perempuan ini sering memperlihatkan sikap bahwa
mereka tidak merasa terganggu dengan kemewahan tersebut. Sebaliknya, sudah
menjadi kebiasaan mereka untuk sebanyak mungkin memamerkan harta
kekayaan.
Jumlah pernikahan laki-laki VOC dan perempuan Kreol atau Eurasia pada
umumnya sedikit. Yang lebih banyak justru hubungan gundik antara laki-laki
Eropa dengan perempuan Asia. Seperti telah dijelaskan, hanya yang berpangkat
tinggi yang bisa menikah dan mereka pun hanya sebagian kecil dari populasi
orang Eropa di daerah pendudukan. Bagian yang jauh lebih besar terdiri dari para
pegawai rendah dan serdadu, yaitu para laki-laki yang bukan hanya orang
Belanda. Mereka juga berasal dari berbagai negara di Eropa Barat seperti Prancis,
Jerman, Denmark, Skotlandia dan Inggris. Mereka memiliki kontak paling banyak
dan paling erat dengan penduduk Asia, terutama karena hubungan mereka dengan
para budak perempuan Asia.
Kristen 1 semacam telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki-
laki Eropa dan perempuan Asia.
Lagipula, merupakan kebiasaan saat itu bahwa laki-laki yang baru datang
dari Eropa lantas hidup dalam pergundikan. Setelah beberapa waktu dan merasa
yakin dengan pendapatannya, ia pun berusaha memperbaiki kedudukan dengan
menikahi perempuan Kreol atau Eurasia (terutama putri teman sejawat yang
berpengarub besar). Setelah itu, gundik Asia dan anak-anak Eurasia yang lahirdan
hubungan sebelumnya akan diusir begitu saja. Pengusiran terhadap gundik-gundik
Asia yang diketahui hamil pun kerap terjadi. Namun pengakuan terhadap anak-
anak hasil pergundikan-meskipun sang nyai tetap diusir-juga lazim dilakukan. Hal
ini juga terjadi dałam lingkungan pejabat tinggi. Cornelis Chasteleyn misalnya.
Pada waktu itu ia menikahi anak perempuan anggota Raad van Indie [Dewan
Hindia Belanda], Cornelis van Qualberg, Meskipun demikian, ia mengakui kedua
anak perempuannya, Maria dan Catharina, yang lahir dari hubungannya dengan
budak perempuan Bali bernama Leonora.
BAB 2
Antara 1870 dan 1880 terdapat 10.000 orang Eropa baru yang menetap di
koloni. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki ajang yang berani menyeberang.
Baru setelah 1900, perempuan Eropa mulai menjadi bagian berarti dalam
komposisi jumlah pendatang. Selebihnya jumlah perempuan Eropa di Hindia
Belanda selalu lebih sedikit daripada jumlah laki-laki. Sebagai perbandingan. pada
9
kisaran 1880 di setiap 100.000 laki-laki di koloni terdapat tidak lebih dari 123
perempuan Eropa yang dilahirkan di luar Hindia Belanda (perempuan Indies yang
dilahirkan dari hubungan campur dan diakui oleh ayah mereka tidak
diperhitungkan di sini). Hal ini berlangsung hingga 1930 sebelum
perbandingannya menjadi sedikit lebih imbang. Jadi. pada waktu itu terdapat
kelebihan besar laki-Iaki Eropa yang kemudian mencari solusi lewat pergundikan
perempuan Pribumi.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perusahaan perkebunan
mengalami pertumbuhan pesat. Demi mencukupi kebutuhan tenaga kerja Pribumi,
digunakanlah cara-cara radikal. Penyediaan tenaga kerja, terutama untuk daerah
luar Jawa seperti pantai timur Sumatra menimbulkan masalah. Daerah tersebut
berpenduduk sedikit dan penduduknya pun tidak siap menjadi buruh perkebunan.
Pemecahannya dilakukan dengan menjalankan sistem besar berupa buruh kontrak.
Mereka mengambil tenaga Asia dari Cina dan Malaka. Namun kebanyakan
mereka adal kerja orang-orang dari Jawa yang dibujuk untuk menandatangani
kontrak ah kerja di perkebunan. Pada 1880, pemerintah mengeluarkan koel
ordonnantie yang menentukan bahwa pemutusan kontrak oleh para pekerja
Pribumi dianggap sebagai pelanggaran hukum Hal ini dilakukan supaya para
pengusaha Eropa tidak mengalami kesulitan dengan moral bobrok atau perubahan
pikiran para buruh
Sesudah 1870, banyak diterbitkan buku dan pedoman bagi mereka yang
berangkat ke Timur. Hal ini bertujuan agar para baren sebutan bagi para pendatang
baru di koloni, dapat segera beradaptasi dengan baik. Di dalamnya diberikan
petunjuk-petunjuk mengenai pakaian yang harus dikenakan, cara mengatur
rumahtangga di Hindia Belanda, pembagian hari dan terutama hal-hal yang tidak
boleh dilakukan. Selain petunjuk-petunjuk baik di atas, juga terdapat pedoman
lengkap mengenai cara berhubungan dengan ‘’pembantu Indies”.
Para pekerja rumahtangga untuk orang Eropa biasanya terdiri dari djongos
atau pelayan laki-laki di rumah, kebon atau tukang kebun, baboe atau pelayan
perempuan di rumah, wasbaboe atau tukang cuci dan kokkie atau tukang masak.
Untuk menggambarkan pembagian tugas dan kepengurusan rumahtangga di
koloni, saya mengutip sebuah buku pedoman. Buku pedoman ini disusun oleh
toko serba ada De Bijenkorf-didirikan sejak 1870 dan hingga kini masih ada di
Belanda. Sebagai permulaan, dapat dibaca mengenai djongos
[...] mendapat bayaran paling besar di antara pembantu- pembantu lainnya dan
datang sekitar jam enam pagi. Kalau tidak tinggal di halaman rumah Anda, maka
pagi-pagi ketika hari masih gelap ia sudah berangkat dari kampungnya. Setelah
hari mulai terang, ia merapikan kursi di serambi depan dan menyiapkan kopi.
Kemudian ia menyajikan sarapan dan memimpin semua pekerja rumahtangga.
Hanya saja, ia tidak mengurusi kamar-kamar tidur karena itu adalah pekerjaan
baboe.
Sebuah "daftar tugas tidak boleh terlepas dari djongos, ia harus memiliki panduan
serta merasakan adanya pengawasan." Dan: Djongos harus diberikan
tanggungjawab demi mencegah terjadinya pencurian. Para majikan sudah
sewajarnya tidak memancing dan memudahkan para pembantu untuk mencuri
Misalnya dengan meletakkan uang sembarangan atau di dalam lemari yang
terbuka. Dalam kasus ini, biasanya mereka tidak langsung mengembilnya.
Pertama-tama mereka meletakkannya di tempat lain. Dengan begitu, uang tersebut
sudah masuk ke tahap pertama, yaitu hilang. Jika setelah beberapa hari sang
majikan tidak merasa kehilangan apa-apa, maka calon pemilik mengambil
kesimpulan bahwa sang majikan tidak menghargai kehilangan tersebut(…) "
matahari, merawat sepatu wanita dan memperbaiki kerusakan baju dan pakaian
dalam. Ia juga yang membereskan cucian kotor untuk selanjutnya dikerjakan oleh
wasbaboe. Di samping itu, orang-orang Eropa juga memiliki seorang pelayan
yang disebut wasbaboe.
Jika ada anak-anak di rumah, yang dalam sehari bisa mengganti baju bersih
hingga beberapa kali, maka seorang wasbaboe adalalh kebutuhan utama.
Tumpukan baju mandi, baju tidur, pakaian dalam, kemeja, kaus kaki dan
saputangan yang menggunung pun dicuci [oleh wasbaboe] di rumah. Hal itulah
yang menyibukkan wasbaboe sehari-hari
BAB 3
Populasi penduduk Eropa di Hindia Belanda hingga 1870 didominasi oleh para
pegawai pemerintah, tentara kolonial, pengusaha perkebunan dan beberapa
pengusaha kecil.
Akhirnya para pendatang baru benar - benar memasuki sebuah dunia lain. Pada
awal 1870-an, pelabuhan Batavia tidak dibuka untuk kapal-kapal besar. Untuk
mengakhiri perjalanan, para penumpang kapal harus turun dan pindah ke kapal-
kapal kecil hingga akhirnya dapat menginjakkan kaki di atas tanah Jawa. Di
sepanjang dermaga, perhatian para penumpang langsung tersedot oleh keramaian
dan kesibukan manusia. Orang pribumi biasanya bertelanjang dada dan
berpakaian lusuh sedang bekerja keras mengangkut atau menurunkan barang.
Sementara itu, orang-orang Eropa sedang sibuk menunggu atau berseliweran di
jalan. Hindia Belanda adalah dunia yang terdiri dari dua jenis manusia, yaitu kulit
putih dan kulit cokelat serta penguasa dan pelayan. Sebuah dunia yang sangat
13
khas dengan peraturan yang tidak tertulis namun bersifat memaksa. Orang Eropa
adalah majikan dan para kulit cokelat harus menyambutnya dengan hormat,
mempersilakannya jika ia mengiginkan hal itu dan merendahkan diri saat ia
meneriakkan perintah-perintahnya. Semuanya tergantung dari warna kulit dan hal
itulah yang meningkatkan asal usul dan kedudukan di masyarakat. Hal itu bahkan
berlaku bagi setiap kulit putih.
Di dalam dunia superioritas kuli putih atas kulit cokelat yang seolah-olah wajar
dan penyesuaian diri demi kelangsungan hidup, pergundikan merupakan gejala
umum yang diterima pemecahannya, kini pergundikan dengan seorang pembantu
rumah tangga primbumi merupakan solusi bagi laki-laki Eropa lajang.
Menurut seorang pengusaha perkebunan kopi Eropa, adalah hal yang sangat
berterima bagi laki-laki Jawa jika seorang lajang Eropa memilih pergundikan
sebagai jalan terakhir. Demikian juga banyak orang di koloni. Menahan diri dalam
urusan seks pun dikecam. Hal ini memicu kepada histeria, atau yang lebih parah
lagi, perilaku menyimpang yang asusila. Pendapat serupa juga terdengar di
Belanda. Semasa pendidikan di Belanda misalnya, para calon pegawai pemerintah
mendengar dari para dosen bahwa hubungan dengan seorang nyai adalah hal yang
dianjurkan, setidaknya selama tahun-tahun pertama mereka di Hindia Belanda.
Cara lain untuk menjalin hubungan pergundikan dalah melalui perjodohan. Hali
ini sering terjadi dalam keluarga Indo- Eropa baik-baik yang memiliki anak laki-
laki remaja. Para orang tua pun menyiapkan seorang nyai untuk putra mereka.
Hubungan semacam itu kerap bersifat sangat sementara dan bertujuan agar para
pemuda memiliki penglaman bersama perempuan. Sebenarnya hal ini sangat
dekat dengan pelacuran. Meskipun demikian, dari hubungan tersebut ada juga
yang berlangsung lama.
Di dalam kasus dimana perempuan sudah menikah, ia pun dibeli dengan mudah
dari suaminya. Keadaannya lebih menyakitkan lagi jika seorang perempuan atau
gadis ditawarkan oleh seorang anggota keluarga sebagai nyai kepada seorang laki-
laki demi uang.
Sepnajang abad ke 19, banyak orang Eropa yang terus menggunakan julukan-
julukan yang kurang cerdan dan menghina secara terang-terangan. Di dalam
tangsi-tangsi tentara kolonial, para nyai biasanya disebut dengan moentji yang
merupakan plestan dari kata mondje (berarti mulut kecil). Kebiasaan diantara
orang-orang Eropa untuk tidak memanggil nyai yang hidup bersama mereka
dengan nama depannya membuat kebanyakan anak yang lahir dari hubungan
pergundikan baru mengetahui nama asli ibu mereka setelah deweasa dan
membaca akta pengakuan mereka. Sebelumnya mereka hanya mendengar
kelompok yang digunakan oleh ayah mereka. Hal ini menggambarkan kedudukan
nyai tidak sederejat di dalam pergundikan. Tugas utamanya adalah untuk tetap
berada dibawah perintah dan patuh.
keluarga sang ayah, namun dengan urutan huruf terbalik. Pieterse menjadi
Esreteip, Jansen menjadi Nesnaj dll.
Ada banyak anak yang tidak memperoleh pengakuan. Hal ini sering terjadi jika
sang laki-laki Eropa menyuruh pergi nyainya dalam keadaan hamil. Atau jika ia
mengirim pulang sang ibu dan anak (pribumi menurut Undang-undang) ketika
kembali ke tanah airnya atau menikah dengan perempuan Eropa. Anak-anak yang
tidak diakui dan diusir dari pergundikan menjadi sebuah masalah besar menjelang
peralihan abad, terutama jika berkaitan dengan status sosial kemasyarakatan
mereka.
BAB 4
PERGUNDIKAN TANGSI
Terbentuknya pergundikan ini bermula sejak masa VOC dan negara besar
yang menginginkan Hindia Belanda, militer sangat dibutuhkan dalam ekploitasi
wilayah Hindia Belanda yang subur dan luas. Berlangsungnya Perang Diponegoro
juga mulai dirasakan kebutuhan akan tenaga dan kekuatan perang. Hal tersebut
memperkuat fakta bahwa berdirinya Hindia Belanda hanya dapat dijamin oleh
adanya tentara permanen yang berkekuatan penuh. Pada 4 Desember 2019
dibentuk sebuat tentara kolonial melalui Algeme Order (Perintah Umum).
Awalnya pasukan ini hanya terdiri dari delapan korps. Dengan memiliki satu
batalyon infanteri, satu kompi kavaleri dan empat buah artileri gunung. Pada
1836,enam tahun setelah didirikan atas perintah Raja Willem I pasukan ini
mendapat gelar koninklijk (milik kerajaan). Pada tahun 1933, Hendrik Colijn
seorang perdana menteri sekaligus mantan perwira tentara kolonial memebrikan
16
nama yang hingga kini dikenal dengan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger
atau KNIL. Pokok bahasan pada bagian ini meliputi 10 sub bagian.
Bagian kedua dari bab ini, penulis menjelaskan tentang perekrutan serdadu
di Hindia Belanda, mereka yaitu laki-laki Pribumi baik yang menawarkan diri
maupun karena paksaan. Di tengah masyarakat Pribumi di Kepulauan Nusantara,
para perekrut dan orang yang direkrut akan selalu menjadi bagian penting dalam
tentara kolonial. Perekrutan bertujuan untuk menyamakan perbandingan antara
serdadu Eropa dan Pribumi. Kebanyakan serdadu Pribumi yang dikumpulkan
adalah para penduduk desa-desa miskin di Jawa, Madura, Sulawesi Utara,
Maluku, dan Timor Barat. Bagi mereka, dengan menjadi tentara kolonial maka
akan lepas dari belenggu kemiskinan dan hidup yang lebih teratur. Kepala desa
memiliki peran penting perihal perekrutan karena melambangkan tanggungjawab
terhadap kelakuan dan integritas calon yang diantarkan. Pada kenyataannya, hal
ini hanya dilakukan secara simbolis, karena sebagian dari mereka yang mendaftar
adalah orang-orang putus asa yang terdorong kemiskinan.
Bagian selanjutnya yaitu Jan, Kromo, dan Sarina. Kehidupan tangsi bukan
sekadar pertemuan dan percampuran antara dua bangsa dan budaya yang berbeda,
namun antara laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama di dalamnya. Di sini
dibahas mengenai kehidupan para serdadu bersama sang nyai di dalam tangsi.
Para serdadu memang telah siap bertugas dalam tentara kolonial, namun mereka
tetap tidak meninggalkan budaya yang ada di masyarakat. Hal ini diputuskan pada
1836, sesaat setelah tentara kolonial didirikan. Pada tahun 1887, Jenderal Haga,
pemimpin KNIL mengirim surat kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch. Keuchenius
yang menekankan bahwa pentingnya pergundikan dalam perekrutan serdadu
Pribumi. Hal ini menandakan kelahiran pergundikan tangsi di Hindia Belanda.
Yang menarik di sini, KNIL merupakan satu-satunya ketentaraan yang secara
resmi mengizinkan serdadunya untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan
dengan perempuan di dalam tangsi. Tangsi tentara kolonial menjadi tempat
dimana Jan, Kromo, dan Sarina tinggal. Nama tersebut merupakan julukan bagi
17
serdadu Eropa, serdadu Pribumi dan perempuan Pribumi yang hidup bersama
dalam satu tangsi. Dibahas juga mengeni upah yang diterima oleh para serdadu.
Di akhir abad ke-19 seorang serdadu tentara kolonial menerima upah kerja
sesuai dengan tingkatan. Seorang serdadu kelas satu akan mendapat 20 sen lebih
banyak. Berbeda bagi serdadu yang berpangkat lebih tinggi dan anggota militer
yang lebih tua atau lebih lama bekerja, mereka akan mendapat penghasilan lebih
besar. Telah diatur pula Permohonan izin menikah diatur dalam Algemeen Besluit
(Keputusan Umum) no 62 tahun 1872. Hal yang mencolok adalah bahwa sebagain
besar laki-laki yang mampu mendapatkan izin menikah justru lebih menyukai
pergundikan. Hal ini terjadi karena keterbatasan jumlah perempuan Eropa yang
sesuai dan nyai dikenal tidak menuntut banyak serta lebih mudah didapatkan.
Untuk memiliki moentji di dalam tangsi, mereka hanya perlu berkelakuan baik
dari perempuan yang bersangkutan.
Para anggota militer yang tinggal bersama isteri dan anak mereka di dalam
bangunan kompi yang disebut chambree. Yang menjadi ciri khas pergundikan
tangsi adalah bahwa para perempuan dan anak-anak dalam tangsi wajib tunduk
pada disiplin dan peraturan militer (Reglement op Den Inwendingen Dienst). Di
dalam bangsal perempuan, para nyai juag membentuk sebuah ketentaraan.
Seorang moentji paling tinggi disebut sersan mayor, pemimpin perempuan-
perempuan lainnya dan menjadi “mayor moentji”, di bawahnya terdapat “sersan
moentji”, “kopral moentji”, dan akhirnya pada moentji biasa.
dengan nyai Pribumi tidak pernah sederajat, dengan nasib sang gundik yang
sepenuhnya berada digenggaman laki-laki Eropa. Kehidupan setelah mereka lepas
dari genggaman tentara kolonial juga tidak menjamin. Hal ini menandakan betapa
kerasnya hidup dalam pergundikan.
Bagian selanjutnya yaitu kutukan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya berbaga penyakit yang muncul di dalam tangsi, dan para tentara
militer menganggap penyakit tersebut berasal dari sang Nyai. Ketika masyarakat
koloni mulai berkembang pesat pada 1880-an, protes terhadap pergundikan tangsi
pun kian bermunculan. Masyarakat tangsi yang terdiri dari campuran para
serdadu, moentji, dan anak-anak tangsi adalah sebuah dunia terpisah yang lepas
dari kehidupan masyarakat biasa. Mereka dipandang sebelah mata, tidak diajak
bergaul, dan dianggap sebagai golongan masyarakat rendah. Pergundikan juga
dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit kelamin yang mulai menyebar
pada paruh kedua abad ke-19. Banyak laki-laki dengan dorongan kebutuhan
seksual yang tinggal bersama, namun terlalu sedikit nyai Pribumi serta tidak
adanya lokalisasi prostitusi di dekat tangsi. Dengan pola hidup yang demikian,
maka semakin menyuburkan berbagai penyakit kelamin masuk ke dalam tangsi.
Kebijakan mengenai prostitusi di dalam dan di sekitar tangsi di dasari oleh prinsip
“apa yang tidak kita lihat, maka tidak ada”. Tidak ada kebijakan aktif untuk
memfasilitasi kebutuhan prostitusi.
namun cukup mahal dan tidak dijual di semua tempat. Selain itu, mereka juga
membeli minuman yang lebih murah yaitu sagoweer. Sagoweer ini merupakan
minuman yang diracik dengan meragi sari tangkai bunga mentah dari sejenis
pohon palem. Karena hal tersebut, kemudian dikeluarkan perintah umum yang
menentukan bahwa disetiap garnisun berisi lebih dari 25 anggota militer
berpangkat rendah harus disediakan sebuah ruangan atau kantin temapt serdadu
minum-minuman keras. Meskipun demikian, pengawasan terhadap konsumsi
minuman keras di dalam tangsi ternyata mustahil dilakukan. Para serdadu menjadi
kecanduan terhadap minuman tersebut. Diantara mereka menjadi tidak terkendali
dan melalaikan pekerjaan. Panglima militer juga gagal mengawasi kualitas
minuman paraa serdadu. Hal ini tidak bisa diwujudkan karena harus bersaing
dengan para pembuat dan penjaul minuman keras yang diam-diam menjaul arak
di sekitar tangsi. Para mantan anggota militer juga kerap membuka kedai minum
di sekitar tangsi dan menyediakan alkohol bagi rekan-rekannya. Hidup bersama
seorang nyai membuat para anggota militer menjadi lebih beradab dan menekan
kebiasaan minumnya.
dari 12 tahun sudah tidak tinggal di tangsi. Banyak kemungkinan yang terjadi
setelah seorang anak yang meninggalkan tangsi itu hidup di luar. Anak-anak
tangsi biasanya mengikuti jejak orangtua mereka. Anak laki-laki menjadi serdadu
tentara kolonial dan anak perempuan menjadi pasangan serdadu. Tidak adanya
kesempatan untuk mengembangkan dan memajukan diri. Bahkan oleh orang sipil
Hindia Belanda, mereka dianggap sebagai orang bodoh, tidak dapat dipercaya,
dan sangat rusak.
Bagian terakhir dari bab ini menjelaskan tentang akhir dari pergundikan
tangsi ini menimbulkan pro dan kontra. Para penentang keras adanya pergundikan
tangsi sangat gencar berusaha untuk menghapuskan kegiatan tidak bermoral
tersebut, namun para tentara militer menganggap hal tesebut sebagai suatu
keuntungan dan hidup mereka menjadi teratur. Protes-protes di Hindia Belanda
mulai keras bergema pada akhir 1880-an. Para penentang pergundikan juga
memperjelas bahwa di dalam pergundikan tidak akan pe rnah tercipta hubungan
setara antara laki-laki dan perempuan. Bahkan mereka beranggapan bahwa
perilaku menyimpang para anggota militer lebih baik daripada pergundikan
dengan seorang nyai.
BAB 5
PERGUNDIKAN DALAM PERKEBUNAN-PERKEBUNAN DELI
dirinya di luar masyarakat Deli. Dari beberapa kasus pergundikan ada pula yang
berujung pada ikatan pernikahan, dimana para majikan atau orang Eropa
menemukan kehangatan, keamanan dan kelembutan pada diri perempuan Pribumi.
Perlawanan terhadap Pergundikan dalam Perkebunan
Kemunculan politik etis di Hindia Belanda dan emansipasi di Eropa
memunculkan pandangan lain dalam melihat penduduk Pribumi dan cara yang
harus digunakan orang Eropa dalam memerintah penduduk Eropa. Pandangan ini
tidak menghendaki adanya pergundikan antara orang Eropa dengan perempuan
Pribumi karena dianggap sebagai penggerogotan terhadap rasa hormat terhadap
perempuan Pribumi.
Sejak saat itu protes terhadap pergundikan di Deli pun kian membesar.
Permasalahan kesehatan sebagai dampak dari momok penyakit sipilis juga
menyuburkan perlawanan terhadap pergundikan. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa rata-rata setengah dari seluruh kuli perempuan di perkebunan Deli
menderita penyakit kelamin. Sementara itu setelah tahun 1900, jumlah perempuan
Eropa di Deli berangsur-angsur meningkat. Pada umumnya para perempuan Eropa
merasa sangat keberatan dengan hubungan pergundikan antar-ras.
Kemudian setelah tahun 1920, perusahaan-perusahaan menjalankan
sebuah politik kebijakan baru, yakni kebijakan yang didasari oleh pernikahan dan
pembentukan keluarga. Orang-orang yang telah menikah di Eropa diberikan
dukungan untuk datang. Selain itu dikeluarkan juga ketentuan-ketentuan dan
bonus yang mendorong pembentukan keluarga bagi pegawai Eropa maupun
Pribumi. Dengan adanya kebijakan baru ini pergundikan di Deli tidak lantas
menghilang namun sudah cukup berkurang jumlahnya.
BAB 6
ANAK-ANAK INDO EROPA
Kekhawatiran terhadap hubungan seksual antar-ras merupakan ciri khas
maysarakat kolonial di Hindia Belanda. Mereka khawatir jika anak-anak Indo-
Eropa yang lahir dari pergundikan akan membahayakan ketertiban kolonial. Hal
inilah yang kemudian membuat hubungan seksual antar-ras semakin keras ditolak.
25
Sejak awal seorang anak hasil hubungan campur tidak akan pernah
mendapat pendidikan yang baik karena seorang ibu Pribumi tidak memiliki
kemampuan untuk mendidik. Kecantikan fisik para perempuan Indo-Eropa
terkadang memiliki komponen negatif. Para perempuan ini akan menarik
perhatian laki-laki Eropa yang lugu untuk kemudian menjeratnya. Karena
kecantikannya pula, tidak jarang mereka menjadi genit, malas dan seronok.
Berbeda dengan perempuan Indies, para laki-laki Indies biasanya dinilai sebagai
orang yang tidak dapat dipercaya, malas, bodoh, apatis dan memiliki
kecenderungan kepada fatalisme. Anak berdarah campuran yang lahir dari
hubungan campur, biasanya cenderung ke sisi gelap pribuminya.
Emansipasi
Diskriminasi baik terbuka maupun tertutup terhadap anak-anak hasil
hubungan campur cepat atau lambat akan mengarah kepada pencapaian
emansipasi. Pada akhir 1880-an terdapat perkumpulan Soeria Sumirat yang aktif
di koloni. Menurut anggaran dasarnya mereka mengupayakan “peningkatan
kesejahteraan antara orang-orang Eropadi Hindia Belanda yang menhadapi
kesulitan di Hindia Belanda”. Perkumpulan Soeria Soemirat memberi perhatian
pada perubahan “keadaan di luar kesalahan para menderita” dan juga fokus
kepada penciptaan lapangan pekerjaan.
Hindianisasi
Di koloni, selain muncul emansipasi, muncul pula Hindianisasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip politik etis dan setelah muncul protes dari orang-
orang Indo-Eropa maka diberlakukan tugas warga negara sipil pada 1913.
Peraturan ini menetapkan bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi
orang Eropa, Indo-Eropa dan Indonesia. Akan tetapi peraturan ini tidak membawa
pengaruh seperti yang diharapkan. Orang-orang Indo-Eropa tetap kesulitan dalam
mencari lapangan pekerjaan karena mayoritas telah diisi oleh orang Eropa dan
Indonesia. Kurangnya kesempatan kerja mendorong dimulainya berbagai ujicoba
untuk menciptakan sumber mata pencaharian sebagai petani di Nieuw-Guinea
(sekarang Irian Barat). Walaupun diskriminasi terhadap anak-anak berdarah
campuran tetap bertahan sampai akhir periode kolonial, namun banyak juga yang
berhasil membangun hidup yang baik ditengah masyarakat.
28
BAB 7
GAMBARAN-GAMBARAN LAIN DAN SEBUAH DUNIA LAIN
Meski terus terdesak sepanjang abad ke-20 pergundikan dan sosok nyai
masih ada sampai akhir kolonial d Hindia Belanda. Gambaran sosok nyai ini
dipandang negatif, seperti dalam surat Tjalie Robinson kepada Rob Niewnhuys
yang menyebut berbagagai definisi palsu yang memberi rupa lain terhadap sosok
nyai. Seperti ketika mendengar pembicaraan sosok nyai yang disebut dengan
panggilan cewek itu, cewek gatal, dsb. Pencitraan tersebut sebagai pemisah sosial
dan ras di masyarakat Hindia Belanda kala itu, karena hubungannya dengan orang
Eropa, baik anak Indo-Eropa maupun sang nyai mendorong diri masuk ke tengah
masyarakat Eropa, hal tersebut dirasa sebagai ancaman.Pencitraan ini mudah
diputar balikkan karena keadaan, seperti dilihat pada orang Indo-Eropa. Setelah
repatriasi terdapat gambaran yang hampir berkebalikan yaitu seorang laki-laki
Indies yang setia, dipercaya, tenang dan penurut. Padahal beberapa tahun
sebelumnya dicap sebagai orang jahat, malas, dan emosional.
Stigma sosok nyai ini juga memiliki sisi positif, seperti yang terjadi pada
Gubernur Sipil dan Militer Aceh dimana dalam sebuah laporan kepada
pemerintah, nyai merupakan sosok yang baik dalam hal menyimpan rahasia. Hal
ini dikarenakan sifat perempuan pribumi yang pemalu dan cenderung tak ingin
membuat pasangannya merasa jengkel. Selain itu kesopanan dalam bertindak dan
berperilaku, serta setia dan tekun melaksanakan kewajiban perempuan Jawa
diakui oleh orang Eropa.
Ada pula penulis-penulis Eropa yang hampir selalu membela nyai. Mereka
mewakili suara nyai karena bersimpati dan peduli pada nasib mereka. Sisi lain
tersebut diperlihatkan terutama oleh penulis perempuan Eropa seperti Marie Frank
dimana dalam kumpulan cerita Een Natururlijk Kind en Andere Nederlandsch-
Indies Verlahen (1875) terdapat kisah seorang gundik yang hidup dengan laki-laki
Inggris namun menolak untuk menikahi yang pada akhirnya karena alasan
kesehatan ia mau menikahi gundik tersebut, kemudian Annie Foore dimana dalam
karyanya ia sangat condong kepada nyai, ia berpandangan terhadap ketidak adilan
bagi perempuan pribumi dan anak Indo-Eropa. Dalam romannya De Van Sons
29
(1881), ia menampilkan sosok laki-laki Eropa yang menghargai nyai dan anak
yang berasal dari pergundikan. Selain dalam bentuk tulisan, kisah-kisah nyai juga
disandiwarakan seperti Marie van Zegelen dalam dramanya berjudul Mama
(1900), Johan Fabricius dalam dramanya Sonna.
Para penulis Indo-Eropa semasa pergantian abad juga memperlihatkan
pandangan mereka terhadap nyai serta menggunakan bahasa Melayu. Seperti
Victor Ido yang menempatkan nyai sebagai tokoh utama dalam cerita-cerita
bersambung di harian dan majalah Indies. Selain tokoh nyai sebagai pemeran
utama, adapula yang menempatkannya sebagai kalangan elite Eropa seperti dalam
cerita Nyi Paina karya H.Kommer. Nyi Paina digambarkan sebagai perempuan
cantik yang diincar oleh Briot, lelaki Eropa yang tamak dan dengan segala tipu
muslihat untuk mendapatkan Nyi Paina. Kemudian setelah peralihan abad ke 20
terbit sejarah Nayi Isah karya Ferdinand Wiggers yang mengisahkan Nyai Isah
dan Verkerk yang saling jatuh cinta, namun Isah menolak untuk dinikahi karena
khawatir Verkerk menginginkan istri seorang Eropa. Kisah yang terkenal adalah
Nyai Dasima yang dipuja oleh laki-laki yang hidup bersamanya dalam
pergundikan yaitu Edward Williams yang mencintai dan menghargainya.
Kemudian pandangan sosok nyai oleh Pramoedya Ananta Toer yang tidak
ditampilkan dalam satu dimensi, dalam karyanya tetralgi Bumi Manusia yang
berkisah tentang Nyai Ontosoroh yang digambarkan sebagai perempuan yang
mandiri.
Perbedaan bahasa dan budaya dapat dilihat dari cerita Willem Walraven,
dimana ia menuliskan surat kepada keluarganya di Belanda bahwa ia terkendala
bahasa dengan isterinya, Itih, yang berbahasa Sunda yang membuat komunikasi
semakin rumit. Namun kemudian kendala bahasa dapat diatasi karena Itih belajar
bahasa Belanda. Walraven juga sering merasa jengkel karena Itih tak cukup baik
mengatur keuangan rumah tangga. Kemudian budaya makan yang juga berbeda,
dimana Walraven memiliki kebutuhan yang cukup obsesif terhadap lauk pauk dari
resep tradisional Belanda. Ia tidak antusias dengan resep pribumi milik Itih.
Disamping itu ia juga membenci cara pribumi yang makan menggunakan tangan.
Meski begitu, pernikahan Itih dan Walraven ditandai dengan rasa hormat,
penghargaan, kasih sayang, dan kesetaraan.
BAB 8
PUSTAKA
Baay, Reggie. 2017. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas
Bambu.