Anda di halaman 1dari 35

REVIEW BUKU

NYAI DAN PERGUNDIKAN DI HINDIA BELANDA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Sosial

Dosen Pengampu: 1. Prof. Dr. Wasino, M.Hum

2. Atno, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh :

Muhammad Setiawan (3101416038)

Muhammad Anis (3101416039)

Sabilah Nur Hikmah (3101417006)

Sekar Arum Pamutri (3101417029)

Restu Nindya Pawestri (3101417036)

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2019
DAFTAR ISI

Halaman Sampul...............................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii

BAB 1. Sebuah Konftrontasi antar-Ras: Pergundikan sampai Abad ke-19.....


BAB 2. Tuan Putih dan Pelayan Pribumi........................................................
BAB 3. Pergundikan dalam Dunia Sipil..........................................................
BAB 4. Pergundikan Tangsi............................................................................
BAB 5. Pergundikan dalam Perkebunan-Perkebunan Deli.............................
BAB 6. Anal-anak Indo-Eropa........................................................................
BAB 7. Gambaran-gambaran Lain dan Sebuah Dunia Lain...........................
BAB 8. Akhir Pergundikan di Hindia Belanda................................................

DAFTAR PUSTAKA

2
1

Judul Buku : Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda

Penulis : Reggiei Baay

Penerbit : Komunitas Bambu

Kota Terbit : Depok

Tahun Terbit : 2017

Jumlah Halaman : xx + 316 hlm

Ukuran : 14 x 21 cm

Nomor ISBN : 979-3731-78-8


2

BAB 1

SEBUAH KONFRONTASI ANTAR-RAS: PERGUNDIKAN SAMPAI ABAD


KE-19

Pegawai-Pegawai VOC dan Budak-Budak Perempuan

Dalam penantian terhadap calon istri Eropa yang sesuai, laki- laki Eropa
pun "memuaskan" diri bersama perempuan Pribumi muda. Hal semacam ini
sangat sering terjadi pada masa kolonial. Menurut kebiasaan yang berlaku, sang
gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya-meskipun
hubungan tersebut telah menghasilkan anak. Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari
nasib gundik Pribumi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda.

Ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar 1600, dimulailah


kemunculan para nyai. Perempuan Pribumi yang tidak hanya mengurus
rumahtangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan, pada banyak kasus,
menjadi ibu dari anak-anaknya. Hal itu bukanlah hal baru pada abad ke-17.
Namun kedatangan VOC membuatnya berangsur-angsur menjadi ciri dan sifat
sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia
Belanda. Sebuah fenomena yang telah diketahui banyak orang dan diberantas
keras selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, pergundikan tetap bertahan
kuat selama masa kolonial. Sebuah sistem kolonial dengan kerumitan sosial besar,
tidak hanya bagi laki-laki Eropa dan nyai Pribumi, tetapi juga bagi bastaarden
yang lahir dari hubungan campur tersebut. Orang-orang Mestizo, Eurasia atau
Indo-Eropa, seperti halnya mereka biasa disebut.

Pada awalnya, VOC adalah perusahaan Belanda yang berkonsentrasi pada


perdagangan rempah-rempah seperti merica, cengkeh dan pala di Timur. Namun,
perdagangan berkembang dengan cepat hingga ke sutera, katun, kopi, nila,
tembaga dan timah. Demi memenuhi kebutuhan perdagangan tersebut,
diciptakanlah jaringan kantor dagang dan gudang di Asia. Di sanalah para
pegawai bekerja, mereka membeli dan mengatur pencatatan barang-barang untuk
selanjutnya dimasukan ke dalam gndang-gudang, Disamping itu, ditempatkan
juga para serdadu yang tidak hanya bertugas menjaga gudang-gudang tapi juga
seluruh pemukiman. Di sana jiuga ada banyak awak kapal yang bekerja mengatur
transportasi barang dagang yang bernilai tinggi. Daerah-daerah pendudukan di
Asía dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat laki-laki dan kebanyakan
merupakan pegawai VOC berpangkat rendah yang masih lajang. Saat itu, terjadí
kekurangan besar yaDg perenpIAD di daerah pendudukan. Kebanyakan laki-laki
Eropa menyelesailkan masalah tersebut dengan mengambil gundik Asia.
Perempuan-perempuan dengan perempuan yang dijadikan gundik ialah para
budak di rumahtangga Eropa yang kebanyakan melakukannya terpaksa. Pada
kenyataannya, terkadang sukar untuk menunjukkan garis pemisah antara
3

pergundikan dengan pelacuran. Garis pemisah ini diperlukan untuk menunjukkan


keadaan yang telah bertahan cukup lama. Para gundik bukanlah budak perempuan
Jawa. Karena khawatir akan munculnya sabotase, maka diputuskan bahwa orang
Jawa tidak boleh menjadi budak di daerah-daerah pendudukan di Jawa. Oleh
karena, itu mereka diambil dari tempat-tempat lain terutama dari India, Filipina
dan juga Sulawesi serta Bali.

Di mata Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen,


pola hidup bersama [samenleven] para laki-laki Eropa dengan para budak
perempuan Pribumi mengarah kepada berbagai perilaku janggal, tidak terkendali
dan membahayakan kepentingan koionial. Hal itu membuat kemarahan Coen
semakin menjadi. Kemudian ia mengeluarkan larangan untuk memelihara seorang
atau lebih gundik di rumah, tempat tinggal atau tempat lain, dengan penjagaan,
apapun yang terjadi. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620

Politik Pengantin Perempuan Kulit Putih

Coen juga memahami bahwa para laki-laki dalam wilayah pendudukan


harus memperoleh alternatif selain pergundikan. la pun meminta calon-calon
pengantin perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie. Mereka
haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan
yang pernah dididik dengan ketat di panti asuhan. Sebelumaya sudah banyak
perempuan lajang dibawa ke Hindia Belanda. Mereka diwajibkan untuk menikah
dengan para pegawai VOC di Timur dan sebagai gantinya mereka mendapat
pelayaran gratis beserta mas kawin. Namun para perempuan tersebut ternyata
tidak sebaik yang diharapkan. Kalau boleh mempercayai sumber-sumber yang
ada, sesampainya di wilayah pendudukan mereka justru hidup menyimpang dan
bermabuk-mabukan. Coen melihat mereka seperti kumpulan orang tak bertuhan".
Ia pun cemas dengan pandangan Pribumi yang tidak pernah melihat contoh yang
lebih baik sehingga mereka akan mengira bahwa semua orang Belanda tidak
bertuhan dan bermoral. Setelah melalui pertimbangan yang panjang permohonan
Coen akan para calon pengantin pun dikabulkan. Demi memenuhi kebutuhan para
pegawai yang penuh dengan hasrat, maka pada 1622 tibalah untuk pertama
kalinya para perempuan Belanda yang disebut compagniesdochters. Mereka
berasal dari rumah-rumah yatim piatu yang memiliki reputasi baik di Belanda.

Para yatim piatu Belanda tersebut memenuhi kriteria Coen untuk


membangun masa depan koloni. Coen mendukung terciptanya wilayah
pendudukan permanen bagi para imigran dari Belanda. Bersama para pedagang
dan serdadu, para imigran dapat membentuk kelompok masyarakat yang akan
memberi tempat bagi para petani, pengrajin, agamawan dan guru. Para yatim
piatu, begitu pun yang laki-laki, menurut Coen sangat cocok untuk menjadi
penduduk baru di daerah koloni karena tidak memiliki keluarga maupun ikatan
4

dengan tanah air mereka. Karena itu pula, akan lebih mudah bagi mercka untuk
mengikat diri dengan tempat tinggal di dalam koloni. Ditambah lagi, demikian
menurut Coen, pendidikan ketat yang dienyam di panti asuhan membuat mereka
lebih bermoral daripada pendatang biasa.

Peraturan untuk mengirim para perempuan yatim piatu dari Belanda


ternyata tidak terlalu efektif. Jumlah pergundikan di wilayah pedudukan tidak
berkurang secara signifikan. Oleh karena itu, Coen pun mengusulkan agar
larangan atas pergundikan dikeluarkan kembali dan ditambahkan ketentuan bahwa
larangan itu tidak hanya berlaku untuk laki-laki Eropa tetapi juga untuk
perempuan Eropa. Tidak satu pun perempuan Kristen, demikian yang dibaca,
diperkenankan menjalin hubungan seksual dengan "orang-orang kafir atau muslim

Sebenarnya sejak awal sudah ada protes keras terhadap politik pengantin
perempuan kulit putih ini, baik di Belanda maupun di daerah koloni. Orang-orang
khawatir bahwa perkawinan tersebut justru akan menciptakan trekker dan bukan
blijver. Bagi perusahaan dagang seperti VOC, hal itu tentu bukan hal yang
menyenangkan. Lagipula, para trekker hanya akan mengutamakan kepentingan
pribadi. Mereka hanya ingin mengumpulkan modal untuk kemudian kembali ke
tanah air bersama isteri dan anak mereka. Di samping itu para perempuan Belanda
merupakan pos pengeluaran yang besar, terutama karena tunjangan dan mas
kawin yang mereka terima. Ada dugaan bahwa para perempuan ini hanya berniat
memperkaya di dan justru memicu para suami untuk melakukan penggelapan.

Pada akhirnya, muncul pemikiran bahwa anak-anak yang lahir di Hindia


Belanda dari hubungan sesama kulit putih (disebut Kreol) tidak tahan terhadap
iklim tropis dan karena itu sakit-sakitan. Mereka yang tidak setuju dengan Coen
pun berpendapat lain. Jika Hindia Belanda harus menjadi suatu koloni, maka
perkawinan antara laki-laki kulit putih dengan perempuan Asia harus diutamakan.
Lagipula, pengiriman para perempuan dari Belanda tidak selalu dapat memenuhi
permintaan besar di koloni. Pemecahannya kemudian ditemukan di pasar budak
Asia. Seperti halnya dalam menemukan tenaga kerja, di sana juga mudah
menemukan perempuan-perempuan Asia.

Perkawinan Campur

Gubernur Jenderal yang memimpin dari 1650 sampai 1653. Carel


Reyniersz, dan penggantinya, Joan Maetsuyker, merupakan pendukung kuat
perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia. Menurut
mereka ada berbagai keuntungan dari hal tersebut. Para perempuan Asia lebih
menguntungkan daripada perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran
perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan
dengan tanah kelahiran membuat para perempuan Pribumi tetap tinggal di Timur
sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal
5

serupa. Disamping itu, perempuan Asia tidak terlalu serakah dibanding


perempuan Belanda. pun akan puas dengan gaji yang kecil. Dengan demikian
bahaya akan para pegawai yang memperkaya diri dianggap berkurang. Dari
perkawinan-perkawinan ini kelak akan lahir anak-anak. Anak laki-laki akan
menjadi calon pegawai dan anak perempuan akan menjadi calon pengantin
sempurna untuk angkatan baru pegawai VOC dari Belanda.

Dalam kasus laki-laki Eropa dengan pangkat lebih tinggi, elite pengurus,
gagasan ini pun menjadi kenyataan. Mereka menikah dengan perempuan Asia dan
(terutama) Eurasia. Politik perkawinan campur ini tetap dipertahankan sampai
abad ke-19. Dengan ini De Heren van de Compagnie menunjukkan bahwa mereka
tidak melihat adanya manfaat bagi Timur dalam melakukan kolonisasi masal laki-
laki dan perempuan kulit putih seperti yang didukung Coen.

Dengan begitu, pengiriman para perempuan Eropa ke wilayah- wilayah


pendudukan pun dihentikan. Bahkan diberlakukan juga larangan emigrasi bagi
para perempuan Eropa. Selanjutnya pada 1669 peraturan tersebut diperlonggar
dan larangan pun dihentikan. Namun para pendatang perempuan diwajibkan untuk
tinggal di dalam koloni sedikitnya selama 15 tahun. Meski telah ditetapkan
kebijaksanaan bahwa pegawai-pegawai yang dikirim diutamakan yang masih
lajang, namun para pejabat tinggi seperti kepala perdagangan dan anggota dewan
diizinkan berlayar ke Timur bersama isteri Eropa mereka. Jika mereka telah
memiliki anak maka seluruh anggota keluarga pun ikut serta. Karena para isteri ini
termasuk kelompok elite kecil, maka jumlah mereka selalu terlalu sedikit untuk
dapat memberi pengaruh pada masyarakat kolonial.

Ada banyak contoh perempuan Kreol atau Mestizo yang semasa hidupnya
lebih dari satu kali menikah dengan beberapa pejabat terpandang. Hal ini mungkin
berkaitan dengan perbedaan umur yang jauh antara suami dan isteri. Sang isteri
biasanya sangat muda ketika dijodohkan, tidak jarang masih anak-anak.
Sebaliknya sang suami baru dianggap calon pasangan yang menarik kalau ia
sudah berkarier, artinya sudah lebih berumur dari sang isteri. Contohnya
Fransçoise de Wit yang dilahirkan pada 1634 dari pasangan pendatang, Ia
berumur 14 tahun ketika pada 1648 menikahi direktur jenderal perdagangan di
Batavia yang berumur 44 tahun, Carel Reyniersz. Pada 1650 Reyniersz diangkat
menjadi gubernur jenderal. Beberapa bulan setelah Reyniersz meninggal pada
1653, Fransçoise de Wit pun menikah lagi dengan pejabat lain. Pernikahan
kembali setelah meninggalnya pasangan sangat sering terjadi dalam kalangan
elite. Anggapan beberapa orang tentang terlalu cepatnya pernikahan tersebut
terbaca dari dikeluarkannya dekrit pada 1642 bahwa janda janda dilarang menikah
kembali dalam waktu tiga bulan setelah suami mereka meninggal.

Budaya Mestizo yang Mewah dan Berkembang


6

Para perempuan Kreol dan Mestizo yang menikahi para pejabat tinggi
VOC sangat menentukan iklim sosial dalam masyarakat kolonial pada waktu itu.
Mereka merupakan elemen dasar budaya Mestizo, yaitu budaya besar yang
mendominasi masyarakat Eropa di Hindia Belanda dan terus berlangsung hingga
abad ke-19. Jika mereka adalah isteri pejabat tinggi (seperti anggota dewan atau
ketua pengadilan tinggi), maka meski berdarah campuran mereka pasti memiliki
pelayan-pelayan laki-laki Eropa. Hal ini adalah ciri khas kedudukan tinggi mereka
dalam masyarakat VOC. Para perempuan ini sering memperlihatkan sikap bahwa
mereka tidak merasa terganggu dengan kemewahan tersebut. Sebaliknya, sudah
menjadi kebiasaan mereka untuk sebanyak mungkin memamerkan harta
kekayaan.

Sikap pamer tersebut bukan hanya kesempatan yang dianggap penting


oleh para perempuan. Para laki-laki pun tidak bisa lepas dari hal tersebut. Di
dalam kehidupan masyarakat bergelimang uang dengan kesenjangan sosial yang
besar-seperti masyarakat VOC, keberhasilan dan status yang dimiliki seseorang
langsung bisa dilihat dari kondisi yang ditunjukkan.

Pergundikan dan Anak-anak Eurasia

Jumlah pernikahan laki-laki VOC dan perempuan Kreol atau Eurasia pada
umumnya sedikit. Yang lebih banyak justru hubungan gundik antara laki-laki
Eropa dengan perempuan Asia. Seperti telah dijelaskan, hanya yang berpangkat
tinggi yang bisa menikah dan mereka pun hanya sebagian kecil dari populasi
orang Eropa di daerah pendudukan. Bagian yang jauh lebih besar terdiri dari para
pegawai rendah dan serdadu, yaitu para laki-laki yang bukan hanya orang
Belanda. Mereka juga berasal dari berbagai negara di Eropa Barat seperti Prancis,
Jerman, Denmark, Skotlandia dan Inggris. Mereka memiliki kontak paling banyak
dan paling erat dengan penduduk Asia, terutama karena hubungan mereka dengan
para budak perempuan Asia.

Saat itu juga terdapat kebijakan yang justru semakin menyuburkan


pergundikan. Para laki-laki dari kalangan biasa tidak bisa menikah tanpa
persetujuan atasan VOC. Kebijakan ini yang berlaku baik untuk pegawai rendah
maupun penduduk bukan budak. Permohonan izin menikah dapat langsung
ditolak, tanpa diberikan alasan. Sejak 1617 juga terdapat larangan antara (mantan)
pejabat VOC dengan perempuan non-Kristen laki-laki Eropa yang menikah
dengan perempuan Asia pun boleh melakukan repatriasi. Jika ada laki-laki Eropa
menikahi budak perempuan Asia maka ia harus budak tersebut kepada VOC
(sebagai pemilik budak dalam wilayah menikah yang ingin melunasi pembelian
ndudukan) atau membayar secara angsuran yang dipotong gajinya. Di samping itu
calon pengantin perempuan harus memelok agama Kristen. Mereka pun harus
dibaptis dan diberi nama sebagai tanda dilahirkan kemball. Pendek kata, rezim
7

Kristen 1 semacam telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki-
laki Eropa dan perempuan Asia.

Lagipula, merupakan kebiasaan saat itu bahwa laki-laki yang baru datang
dari Eropa lantas hidup dalam pergundikan. Setelah beberapa waktu dan merasa
yakin dengan pendapatannya, ia pun berusaha memperbaiki kedudukan dengan
menikahi perempuan Kreol atau Eurasia (terutama putri teman sejawat yang
berpengarub besar). Setelah itu, gundik Asia dan anak-anak Eurasia yang lahirdan
hubungan sebelumnya akan diusir begitu saja. Pengusiran terhadap gundik-gundik
Asia yang diketahui hamil pun kerap terjadi. Namun pengakuan terhadap anak-
anak hasil pergundikan-meskipun sang nyai tetap diusir-juga lazim dilakukan. Hal
ini juga terjadi dałam lingkungan pejabat tinggi. Cornelis Chasteleyn misalnya.
Pada waktu itu ia menikahi anak perempuan anggota Raad van Indie [Dewan
Hindia Belanda], Cornelis van Qualberg, Meskipun demikian, ia mengakui kedua
anak perempuannya, Maria dan Catharina, yang lahir dari hubungannya dengan
budak perempuan Bali bernama Leonora.

Sebagai akibat dari kebijakan yang diberlakukan, pergundikun pun


berkembang subur di koloni. Anak-anak hasil pergundikan Eurasia yang terlantar
dan tak terawat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat sejak awal abad
ke-17. Pola hubungan yang terjalin hampir sama, para laki-laki Eropa memiliki
ikatan yang lemah dengan anak-anak dari perempuan Asia. Demikian sebaliknya.
Kebanyakan dari anak-anak ini tidak pernah meras sebagai anak Eropa. Seperti
telah diketahui, banyak dari mereki yang ditelantarkan sejak masa remajanya.
Sejak 1624 Batavia sudah memilíki panti asuhan yang terletak di daerah miskin.

Akhir Suatu Zaman dan Sebuah Benturan Budaya

Menjelang akhir abad ke-18, VOC yang demikian berkuasa berada


diambang kematian. memburuknya perubahan ekonomi di Eropa dan kesalahan
pengelolaan utang VOC kian membengkak. Dalam sepucuk surat Gubernur Jawa
Timur bagian utara, Johan Frederick van Reede dijelaskan mengenal situasi
genting dan tanpa harapan di dalan wilayah pendudukan di Hindia Belanda.

Semua hidup dalam kesengsaraan dan kian hari memburuk. Pertengkaran


dan perselisihan antara penguasa-penguasa di Batavia. Ketidakpuasan,
persekongkolan serta protes- protes yang berkembang di antara para pegawai
rendah. Orang- orang Tionghoa yang memenuhi wilayah pendudukan, serta
mengetahui para Pribumi semakin menunjukkan kalau mereka kemunduran dan
ketidakberesan VOC. Perdagangan pun terhenti, kekurangan uang semakin parah
dan orang-orang tidak punya pilihan selain mengedarkan surat-surat kredit dan
cek. Hanya waktu, sang guru terbaik, yang bisa menjawab bagaimana
permasalahan ini berakhir. Tetapi saya mencemaskan diambilnya solusi yang fatal
dari kondisi menyedihkan ini.
8

Yang dimaksud dengan solusi fatal adalah bahwa barang-barang pailit


pada akhir 1799 diambilalih oleh Republik Batavia yang baru dan rezim
VOCharus memberi tempat kepada pemerintahan kolonial yang liberal. Solusi
yang terakhir disebutkan baru terwujud pada 1808 ketika Herman Willem
Daendels diangkat menjadi gubernur jenderal. Daendels tidak memiliki ikatan
dengan Hindia Belanda serta tidak berpengalaman di wilayah ini. Meskipun
demikian, berhasil melakukan melakukan perubahan yang signifikan p pada
bahwa tatanan pemerintahan. Tidak banyak yang mengetahul pergundikan. Pada
akhir abad ke-18, setelah melewati persaingan ketat, dalam rangka politik
imigrasinya, ia juga terlibat dalam masalah pergundikan.

BAB 2

TUAN PUTIH DAN PELAYAN BUMI

Penghapusan Perbudakan salah satu perubahan penting di Hindia Belanda


pada abad ke-19 adalah penghapusan perbudakan. Hal itu telah memberi dampak
langsung terhadap pergundikan. Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah
melarang perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak
rumahtangga di Hindia Belanda), namun perbudakan nasional di Hindia Belanda
baru benar-benar dihapuskan pada 1860.

Setelah dikeluarkannya larangan perbudakan, laki-laki Eropa yang ingin


hidup dalam pergundikan terpaksa mencari gundik di antara orang-orang bebas di
Nusantara. Hubungan pergundikan pun hanya dapat dilakukan berdasarkan
kesukarelaan perempuan Pribumi. Para laki-laki Eropa kemudian menemukan
solusinya dalam kepengurusan rumahtangga mereka. Para perempuan Pribumi
memang mendapat bayaran untuk pekerjaan rumahtangga yang dilakukan, namun
pada praktiknya mereka juga hidup bersama sang majikan. Pada waktu itu, semua
orang di koloni langsung mengerti apa yang dimaksud ketika orang berkata
tentang seorang Eropa, Ta up dengan pembantu rumahtangganya yang seorang
Pribumi" Karena harus dilakukan dalam pasar tenaga kerja yang terbuka,
pergundikan pun semakin jelas terlihat. Beberapa perubahan penting yang terjadi
beberapa tahun kemudian juga kian memperjelas pergundikan. Perubahan-
perubahan tersebut berdampak langsung terhadap perkembangan demografi di
koloni dan dengan begitu juga terhadap pertumbuhan pergundikan.

Antara 1870 dan 1880 terdapat 10.000 orang Eropa baru yang menetap di
koloni. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki ajang yang berani menyeberang.
Baru setelah 1900, perempuan Eropa mulai menjadi bagian berarti dalam
komposisi jumlah pendatang. Selebihnya jumlah perempuan Eropa di Hindia
Belanda selalu lebih sedikit daripada jumlah laki-laki. Sebagai perbandingan. pada
9

kisaran 1880 di setiap 100.000 laki-laki di koloni terdapat tidak lebih dari 123
perempuan Eropa yang dilahirkan di luar Hindia Belanda (perempuan Indies yang
dilahirkan dari hubungan campur dan diakui oleh ayah mereka tidak
diperhitungkan di sini). Hal ini berlangsung hingga 1930 sebelum
perbandingannya menjadi sedikit lebih imbang. Jadi. pada waktu itu terdapat
kelebihan besar laki-Iaki Eropa yang kemudian mencari solusi lewat pergundikan
perempuan Pribumi.

Dalam masyarakat laki-laki Eropa tersebut (dimana terdapat larangan


menikah bagi laki-laki yang baru tiba di Hindia Belanda) pernikahan dengan
perempuan Pribumi tidak dianggap sebagai pilihan serius. Hal ini merupakan
prinsip yang berlaku dalam nilai dan norma kolonial. Sesudah 1870, pergundikan
yang dianggap lebih mudah, lebih murah, kurang terikat dan kurang ketat
dibanding pernikahan semakin disebarluaskan oleh seluruh masyarakat Eropa di
koloni. Di setiap lapisan sosial dapat ditemukan pegawai rendah juru tulis,
pegawai perkebunan, pemilik toko, residen, bahkan hakim dan anggota Raad van
Indië yang hidup dengan nyai. Selebihnya pergundikan tidak hanya dijumpai
dalam masyarakat sipil Hindia Belanda, tetapi juga (bahkan pada skala besar) di
tangsi-tangsi tentara kolonial dan perkebunan di koloni. Pada abad ke-19,
pergundikan antar-ras menjadi sebuah sistem kolonial besar yang tidak dapat
dilepaskan dari masyarakat kolonial di Hindia Belanda.

Masyarakat Pribumi di Jawa Sesudah 1870 dan Pengerahan Tenaga Kerja


Pribumi

Pada paruh kedua abad ke-19, permintaan terhadap tenaga Pribumi


bayaran mengalami kenaikan tajam akibat pertumbuhan penduduk Eropa serta
kemunculan perusahaan- Hindia Belanda. Namun keadaan sosial ekonomi
penduduk Pribumi justru semakin terpuruk pada periode ini. Ledakan
pertumbuhan penduduk merupakan penyebab utama masalah tersebut. Antara
1870, tahun dibukanya koloni bagi pengusaha swasta, dan 1900 merupakan
periode ketika jumlah penduduk Pribumi Jawa hampir dua kali lipat dari jumlah
awal. Meskipun demikian, jumlah produksi bahan makanan tidak sejalan dengan
jumlah pertambahan penduduk.

Di samping itu, penduduk Pribumi Jawa juga harus menanggung biaya


pengembangan kolonisasi Jawa. Pasifikasi daerah-daerah di luar Jawa seperti
peningkatan tajam jumlah pegawai pemerintah yang dibutuhkan, perbaikan
infrastruktur demi pertumbuhan koloni dan terutama perang melawan
pemberontakan Aceh di Sumatra [Perang Aceh] yang menghabiskan biaya,
menjadi beban bagi penduduk Pribumi Jawa. Sementara itu, perusahaan-
perusahaan Barat hampir tidak terbebani. Seorang anggota Tweede Kamer yang
juga seorang sosialis pada waktu itu, Henri van Kol, menulis tentang
10

perjalanannya ke Jawa, "Lebih dari kepada orang-orangnya kesalahan harus


dilimpahkan kepada undang-undang. Maka tidak ada kecaman yang terlalu tajam
untuk mencela pemerintah yang telah membawa penduduk ke ambang kelaparan
akibat kebijakan fiskal yang berlebihan dan keuangan yang mencekik.

Sesudah 1870, tanpa terelakkan penduduk Pribumi di Hindia Belanda


terlibat semakin jauh dalam perekonomian kolonial. Meski tenaga bayaran
Pribumi bukan hal yang biasa sebelum abad ke- 19, kesediaan penduduk Pribumi
menjadi tenaga bayaran untuk orang Eropa tetap meningkat, Hal itu terjadi karena
keterlibatan dalam perekonomian kolonial menawarkan keuntungan besar dan
sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang penting. Namun keikutsertaan
ini tidak akan membawa perbaikan yang berarti bagi kondisi mereka. Karena
struktur kolonial yang ada, upah bagi tenaga kerja Pribumi di perusahaan Barat
sangat rendah. Selain itu, perbaikan kedudukan yang terkait dengan perbaikan
upah bagi seorang Pribumi juga hampir mustahil terjadi.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perusahaan perkebunan
mengalami pertumbuhan pesat. Demi mencukupi kebutuhan tenaga kerja Pribumi,
digunakanlah cara-cara radikal. Penyediaan tenaga kerja, terutama untuk daerah
luar Jawa seperti pantai timur Sumatra menimbulkan masalah. Daerah tersebut
berpenduduk sedikit dan penduduknya pun tidak siap menjadi buruh perkebunan.
Pemecahannya dilakukan dengan menjalankan sistem besar berupa buruh kontrak.
Mereka mengambil tenaga Asia dari Cina dan Malaka. Namun kebanyakan
mereka adal kerja orang-orang dari Jawa yang dibujuk untuk menandatangani
kontrak ah kerja di perkebunan. Pada 1880, pemerintah mengeluarkan koel
ordonnantie yang menentukan bahwa pemutusan kontrak oleh para pekerja
Pribumi dianggap sebagai pelanggaran hukum Hal ini dilakukan supaya para
pengusaha Eropa tidak mengalami kesulitan dengan moral bobrok atau perubahan
pikiran para buruh

Pekerja Rumah Tangga Pribumi

Bagi masyarakat Eropa di koloni, kepemilikan atas pembantu Pribumi


untuk mengurus rumahtangga merupakan hal yang biasa. Tidak hanya karena
sangat murah, tapi juga karena mereka merupakan kebutuhan mendesak bagi
banyak orang. Kebutuhan tersebut erat kaitannya dengan laki-laki Eropa lajang
yang berangkat ke koloní di usia muda. Lagipula, orang-orang Eropa yang telal
memiliki cukup uang pasti akan mengambil tenaga kerja lengkap untuk mengurus
rumahtangga mereka. Di tengah masyarakat yang terkotak-kotak seperti di Hindia
Belanda, kepemilikan pembantu rumahtangga sangat penting karena berkaitan
dengan prestise dan harga diri. Hal ini bahkan dipandang sebagai suatu keharusan,
yaitu bukti nyata akan kesejahteraan dan supremasi orang Eropa,
11

Sesudah 1870, banyak diterbitkan buku dan pedoman bagi mereka yang
berangkat ke Timur. Hal ini bertujuan agar para baren sebutan bagi para pendatang
baru di koloni, dapat segera beradaptasi dengan baik. Di dalamnya diberikan
petunjuk-petunjuk mengenai pakaian yang harus dikenakan, cara mengatur
rumahtangga di Hindia Belanda, pembagian hari dan terutama hal-hal yang tidak
boleh dilakukan. Selain petunjuk-petunjuk baik di atas, juga terdapat pedoman
lengkap mengenai cara berhubungan dengan ‘’pembantu Indies”.

Para pekerja rumahtangga untuk orang Eropa biasanya terdiri dari djongos
atau pelayan laki-laki di rumah, kebon atau tukang kebun, baboe atau pelayan
perempuan di rumah, wasbaboe atau tukang cuci dan kokkie atau tukang masak.
Untuk menggambarkan pembagian tugas dan kepengurusan rumahtangga di
koloni, saya mengutip sebuah buku pedoman. Buku pedoman ini disusun oleh
toko serba ada De Bijenkorf-didirikan sejak 1870 dan hingga kini masih ada di
Belanda. Sebagai permulaan, dapat dibaca mengenai djongos

[...] mendapat bayaran paling besar di antara pembantu- pembantu lainnya dan
datang sekitar jam enam pagi. Kalau tidak tinggal di halaman rumah Anda, maka
pagi-pagi ketika hari masih gelap ia sudah berangkat dari kampungnya. Setelah
hari mulai terang, ia merapikan kursi di serambi depan dan menyiapkan kopi.
Kemudian ia menyajikan sarapan dan memimpin semua pekerja rumahtangga.
Hanya saja, ia tidak mengurusi kamar-kamar tidur karena itu adalah pekerjaan
baboe.

Kemudian sang penulis pedoman juga menyertakan peringatan sebagai berikut:

Sebuah "daftar tugas tidak boleh terlepas dari djongos, ia harus memiliki panduan
serta merasakan adanya pengawasan." Dan: Djongos harus diberikan
tanggungjawab demi mencegah terjadinya pencurian. Para majikan sudah
sewajarnya tidak memancing dan memudahkan para pembantu untuk mencuri
Misalnya dengan meletakkan uang sembarangan atau di dalam lemari yang
terbuka. Dalam kasus ini, biasanya mereka tidak langsung mengembilnya.
Pertama-tama mereka meletakkannya di tempat lain. Dengan begitu, uang tersebut
sudah masuk ke tahap pertama, yaitu hilang. Jika setelah beberapa hari sang
majikan tidak merasa kehilangan apa-apa, maka calon pemilik mengambil
kesimpulan bahwa sang majikan tidak menghargai kehilangan tersebut(…) "

Berikutnya masih ada pelayan yang disebut dengan baboe. Sebelumnya


baboe telah dikatakan sebagai orang yang bergerak di dalam rumah dengan
bertelanjang kaki, lembut dan tanpa bunyi sedikit pun."

Adalah ia [..], yang mengurus kamar tidur, membersihkan lemari-mungkin dari


kecoak atau serangga lain. Setiap minggu ia menjemur pakaian di bawah sinar
12

matahari, merawat sepatu wanita dan memperbaiki kerusakan baju dan pakaian
dalam. Ia juga yang membereskan cucian kotor untuk selanjutnya dikerjakan oleh
wasbaboe. Di samping itu, orang-orang Eropa juga memiliki seorang pelayan
yang disebut wasbaboe.

Berikut diceritakan mengenai wasbaboe yang telah disebutkan di atas:

Jika ada anak-anak di rumah, yang dalam sehari bisa mengganti baju bersih
hingga beberapa kali, maka seorang wasbaboe adalalh kebutuhan utama.
Tumpukan baju mandi, baju tidur, pakaian dalam, kemeja, kaus kaki dan
saputangan yang menggunung pun dicuci [oleh wasbaboe] di rumah. Hal itulah
yang menyibukkan wasbaboe sehari-hari

Hal yang juga penting dimiliki demi kelancaran rumahtangga Eropa di


koloni adalah seorang kokkie:

Kokkie adalah orang yang berkuasa di dapur. Bagaimana ia mengatur dan


menyiapkan semuanya merupakan sebuah teka-teki bagi banyak nyonya. Yang
penting masalah kebersihan tetap harus diawasi dan dijaga!

[.] Kepentingan kebanyakan nyonya yang berhubungan dengan dapur


tidak jauh dari sekadar membicarakan daftar menu dan perhitungan belanja
setelah sang kokkie pulang dari pasar."

BAB 3

PERGUNDIKAN DALAM DUNIA SIPIL

Populasi penduduk Eropa di Hindia Belanda hingga 1870 didominasi oleh para
pegawai pemerintah, tentara kolonial, pengusaha perkebunan dan beberapa
pengusaha kecil.

Sebuah Dunia Lain

Akhirnya para pendatang baru benar - benar memasuki sebuah dunia lain. Pada
awal 1870-an, pelabuhan Batavia tidak dibuka untuk kapal-kapal besar. Untuk
mengakhiri perjalanan, para penumpang kapal harus turun dan pindah ke kapal-
kapal kecil hingga akhirnya dapat menginjakkan kaki di atas tanah Jawa. Di
sepanjang dermaga, perhatian para penumpang langsung tersedot oleh keramaian
dan kesibukan manusia. Orang pribumi biasanya bertelanjang dada dan
berpakaian lusuh sedang bekerja keras mengangkut atau menurunkan barang.
Sementara itu, orang-orang Eropa sedang sibuk menunggu atau berseliweran di
jalan. Hindia Belanda adalah dunia yang terdiri dari dua jenis manusia, yaitu kulit
putih dan kulit cokelat serta penguasa dan pelayan. Sebuah dunia yang sangat
13

khas dengan peraturan yang tidak tertulis namun bersifat memaksa. Orang Eropa
adalah majikan dan para kulit cokelat harus menyambutnya dengan hormat,
mempersilakannya jika ia mengiginkan hal itu dan merendahkan diri saat ia
meneriakkan perintah-perintahnya. Semuanya tergantung dari warna kulit dan hal
itulah yang meningkatkan asal usul dan kedudukan di masyarakat. Hal itu bahkan
berlaku bagi setiap kulit putih.

Sebuah Masyarakat Laki- Laki Kolonial

Di dalam dunia superioritas kuli putih atas kulit cokelat yang seolah-olah wajar
dan penyesuaian diri demi kelangsungan hidup, pergundikan merupakan gejala
umum yang diterima pemecahannya, kini pergundikan dengan seorang pembantu
rumah tangga primbumi merupakan solusi bagi laki-laki Eropa lajang.

Menurut seorang pengusaha perkebunan kopi Eropa, adalah hal yang sangat
berterima bagi laki-laki Jawa jika seorang lajang Eropa memilih pergundikan
sebagai jalan terakhir. Demikian juga banyak orang di koloni. Menahan diri dalam
urusan seks pun dikecam. Hal ini memicu kepada histeria, atau yang lebih parah
lagi, perilaku menyimpang yang asusila. Pendapat serupa juga terdengar di
Belanda. Semasa pendidikan di Belanda misalnya, para calon pegawai pemerintah
mendengar dari para dosen bahwa hubungan dengan seorang nyai adalah hal yang
dianjurkan, setidaknya selama tahun-tahun pertama mereka di Hindia Belanda.

Terdapat banyak keuintungan hidup bersama gundik. Bagaimanapun juga,


begitulah menurut para pendukungnya. Pergundikan menjamin keadaan yang
tidak mengikat diri dan dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa. Mereka
menikmati keuntungannya namun tidak mau menanggung kerugiannya.
Keuntungan lainnya adalah bahwa kehidupan bersama seorang gundik pribumi
memberi dampak keteraturan pada perilaku hidup sang laki-laki. Pergundikan
menahan mereka dari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur dan menjaga
pola pengeluaran agar tetap berada pada batasnya. Disamping itu sang nyai dapat
menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada Baren. Ia dapat
memperkenalkan adat istiadat dan mengajarkan bahasa dan kehidupan di dunia
baru ini. Dengan demikian, ia membentuk sebuah mata rantai penting antara orang
Eropa dengan dunia Pribumi yang mengelilinginya.

Dari Perempuan “Bebas” sampai Menjadi Nyai

Bagaimanakah hubungan para laki-laki Eropa dapat terjalin dengan perempuan


pribumi? Bahwa ditengah-tengah masyarakat kolonial Hindia belanda yang
hubungannya berkisar antara melayani dan dilayani adalah hal yang masuk akal
jika kpenegunguran rumah tangga oleh para perempuan pribumi (yang masih
14

muda) pada praktiknya menggiring kepada pergundikan. Sang laki-laki lantas


meminta salah satu dari para pembantu perempuan untuk menjadi pasangannya.

Cara lain untuk menjalin hubungan pergundikan dalah melalui perjodohan. Hali
ini sering terjadi dalam keluarga Indo- Eropa baik-baik yang memiliki anak laki-
laki remaja. Para orang tua pun menyiapkan seorang nyai untuk putra mereka.
Hubungan semacam itu kerap bersifat sangat sementara dan bertujuan agar para
pemuda memiliki penglaman bersama perempuan. Sebenarnya hal ini sangat
dekat dengan pelacuran. Meskipun demikian, dari hubungan tersebut ada juga
yang berlangsung lama.

Di dalam kasus dimana perempuan sudah menikah, ia pun dibeli dengan mudah
dari suaminya. Keadaannya lebih menyakitkan lagi jika seorang perempuan atau
gadis ditawarkan oleh seorang anggota keluarga sebagai nyai kepada seorang laki-
laki demi uang.

Perlakuan terhadap Nyai

Sepnajang abad ke 19, banyak orang Eropa yang terus menggunakan julukan-
julukan yang kurang cerdan dan menghina secara terang-terangan. Di dalam
tangsi-tangsi tentara kolonial, para nyai biasanya disebut dengan moentji yang
merupakan plestan dari kata mondje (berarti mulut kecil). Kebiasaan diantara
orang-orang Eropa untuk tidak memanggil nyai yang hidup bersama mereka
dengan nama depannya membuat kebanyakan anak yang lahir dari hubungan
pergundikan baru mengetahui nama asli ibu mereka setelah deweasa dan
membaca akta pengakuan mereka. Sebelumnya mereka hanya mendengar
kelompok yang digunakan oleh ayah mereka. Hal ini menggambarkan kedudukan
nyai tidak sederejat di dalam pergundikan. Tugas utamanya adalah untuk tetap
berada dibawah perintah dan patuh.

Perkawinan antar Ras dan Anak-Anak

Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pergundikan kerap disebut


voorkinderen. Sebutan ini muncul karena mereka lahir dari hubungan laki-laki
Eropa sebelum akhirnya menikah dengan perempuan Eropa. Sejak 1828, para
laki-laki Eropa di dalam koloni diperbolehkan mengakui anak-anak mereka yang
lahir dari hubungan pergundikan. Pilihan lainnya adalah dengan tidak mengakui
tapi tetap mendaftarkan mereka di dalam daftar kelahiran. Pendaftaran ini
mewajibkan sang ayah Eropa untuk merawat awal dari fenomena khas kolonial
yang membalikkan nama keluarga. Anak-anak didaftarkan dan diberikan nama
15

keluarga sang ayah, namun dengan urutan huruf terbalik. Pieterse menjadi
Esreteip, Jansen menjadi Nesnaj dll.

Sejak 1848 orang-orang kristen di Hindia Belanda diizinkan untuk menikah


dengan non-kristen. Dengan kata lain, para laki-laki Eropa dapat melangsungkan
pernikahan dengan nyai mereka sejak 1848. Selanjutnya pada tahun 1849
dilakukan pernikahan untuk pertama kalinya di dalam koloni antara seorang laki-
laki Eropa dengan perempuan pribumi non-kristen. Namun selebihnya, seperti
yang telah diperkirakan, tidak banyak yang memanfaatkan kesempatan ini.
Pernikahan dengan seorang perempuan pribumu berati pengrusakan terhadap kode
kolonial. Karena hal tersebut, orang Eropa yang bersangkutan pun menempatkan
diri di luar masyarakat.

Pada 1898, diberlakukan Gemengde Huwelijken Regeling di Hindia Belanda.


Peraturan ini menentukan bahwa perempuan Pribumi yang menikah dengan laki-
laki Eropa secara otomatis menjadi orang Eropa dalam status sosialnya. Seorang
perempuan Eropa yang menikah dengan laki-laki pribumi otomatis mengikuti
status sang laki-laki dan menjadi seoran pribumi .

Ada banyak anak yang tidak memperoleh pengakuan. Hal ini sering terjadi jika
sang laki-laki Eropa menyuruh pergi nyainya dalam keadaan hamil. Atau jika ia
mengirim pulang sang ibu dan anak (pribumi menurut Undang-undang) ketika
kembali ke tanah airnya atau menikah dengan perempuan Eropa. Anak-anak yang
tidak diakui dan diusir dari pergundikan menjadi sebuah masalah besar menjelang
peralihan abad, terutama jika berkaitan dengan status sosial kemasyarakatan
mereka.

BAB 4

PERGUNDIKAN TANGSI

Terbentuknya pergundikan ini bermula sejak masa VOC dan negara besar
yang menginginkan Hindia Belanda, militer sangat dibutuhkan dalam ekploitasi
wilayah Hindia Belanda yang subur dan luas. Berlangsungnya Perang Diponegoro
juga mulai dirasakan kebutuhan akan tenaga dan kekuatan perang. Hal tersebut
memperkuat fakta bahwa berdirinya Hindia Belanda hanya dapat dijamin oleh
adanya tentara permanen yang berkekuatan penuh. Pada 4 Desember 2019
dibentuk sebuat tentara kolonial melalui Algeme Order (Perintah Umum).
Awalnya pasukan ini hanya terdiri dari delapan korps. Dengan memiliki satu
batalyon infanteri, satu kompi kavaleri dan empat buah artileri gunung. Pada
1836,enam tahun setelah didirikan atas perintah Raja Willem I pasukan ini
mendapat gelar koninklijk (milik kerajaan). Pada tahun 1933, Hendrik Colijn
seorang perdana menteri sekaligus mantan perwira tentara kolonial memebrikan
16

nama yang hingga kini dikenal dengan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger
atau KNIL. Pokok bahasan pada bagian ini meliputi 10 sub bagian.

Bagian pertama pada bab ini membahas bagaimana asal mula


dilakukannya perekrutaan serdadu Belanda. Belanda membuka peluang dengan
melakukan perekrutan tentara militer. Para laki-laki yang mendaftarkan diri
menjadi tentara kolonial tidak hanya datang dari Belanda saja, tetapi juga bagian
lain Eropa seperti Jerman, Swiss, Perancis, Austria, Polandia, dan Denmark.
Mereka yang mendaftar tertarik dengan adanya uang muka yang didapat setelah
mereka menandatangani kontrak. Mereka yang mendapatkan uang dengan
mencari dan mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan serdadu tentara kolonial
disebut Werves. Mereka adalah kumpulan petualang, orang miskin, orang asosial,
dan kriminal.

Bagian kedua dari bab ini, penulis menjelaskan tentang perekrutan serdadu
di Hindia Belanda, mereka yaitu laki-laki Pribumi baik yang menawarkan diri
maupun karena paksaan. Di tengah masyarakat Pribumi di Kepulauan Nusantara,
para perekrut dan orang yang direkrut akan selalu menjadi bagian penting dalam
tentara kolonial. Perekrutan bertujuan untuk menyamakan perbandingan antara
serdadu Eropa dan Pribumi. Kebanyakan serdadu Pribumi yang dikumpulkan
adalah para penduduk desa-desa miskin di Jawa, Madura, Sulawesi Utara,
Maluku, dan Timor Barat. Bagi mereka, dengan menjadi tentara kolonial maka
akan lepas dari belenggu kemiskinan dan hidup yang lebih teratur. Kepala desa
memiliki peran penting perihal perekrutan karena melambangkan tanggungjawab
terhadap kelakuan dan integritas calon yang diantarkan. Pada kenyataannya, hal
ini hanya dilakukan secara simbolis, karena sebagian dari mereka yang mendaftar
adalah orang-orang putus asa yang terdorong kemiskinan.

Bagian selanjutnya yaitu Jan, Kromo, dan Sarina. Kehidupan tangsi bukan
sekadar pertemuan dan percampuran antara dua bangsa dan budaya yang berbeda,
namun antara laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama di dalamnya. Di sini
dibahas mengenai kehidupan para serdadu bersama sang nyai di dalam tangsi.
Para serdadu memang telah siap bertugas dalam tentara kolonial, namun mereka
tetap tidak meninggalkan budaya yang ada di masyarakat. Hal ini diputuskan pada
1836, sesaat setelah tentara kolonial didirikan. Pada tahun 1887, Jenderal Haga,
pemimpin KNIL mengirim surat kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch. Keuchenius
yang menekankan bahwa pentingnya pergundikan dalam perekrutan serdadu
Pribumi. Hal ini menandakan kelahiran pergundikan tangsi di Hindia Belanda.
Yang menarik di sini, KNIL merupakan satu-satunya ketentaraan yang secara
resmi mengizinkan serdadunya untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan
dengan perempuan di dalam tangsi. Tangsi tentara kolonial menjadi tempat
dimana Jan, Kromo, dan Sarina tinggal. Nama tersebut merupakan julukan bagi
17

serdadu Eropa, serdadu Pribumi dan perempuan Pribumi yang hidup bersama
dalam satu tangsi. Dibahas juga mengeni upah yang diterima oleh para serdadu.

Di akhir abad ke-19 seorang serdadu tentara kolonial menerima upah kerja
sesuai dengan tingkatan. Seorang serdadu kelas satu akan mendapat 20 sen lebih
banyak. Berbeda bagi serdadu yang berpangkat lebih tinggi dan anggota militer
yang lebih tua atau lebih lama bekerja, mereka akan mendapat penghasilan lebih
besar. Telah diatur pula Permohonan izin menikah diatur dalam Algemeen Besluit
(Keputusan Umum) no 62 tahun 1872. Hal yang mencolok adalah bahwa sebagain
besar laki-laki yang mampu mendapatkan izin menikah justru lebih menyukai
pergundikan. Hal ini terjadi karena keterbatasan jumlah perempuan Eropa yang
sesuai dan nyai dikenal tidak menuntut banyak serta lebih mudah didapatkan.
Untuk memiliki moentji di dalam tangsi, mereka hanya perlu berkelakuan baik
dari perempuan yang bersangkutan.

Para anggota militer yang tinggal bersama isteri dan anak mereka di dalam
bangunan kompi yang disebut chambree. Yang menjadi ciri khas pergundikan
tangsi adalah bahwa para perempuan dan anak-anak dalam tangsi wajib tunduk
pada disiplin dan peraturan militer (Reglement op Den Inwendingen Dienst). Di
dalam bangsal perempuan, para nyai juag membentuk sebuah ketentaraan.
Seorang moentji paling tinggi disebut sersan mayor, pemimpin perempuan-
perempuan lainnya dan menjadi “mayor moentji”, di bawahnya terdapat “sersan
moentji”, “kopral moentji”, dan akhirnya pada moentji biasa.

Bagian selanjutnya yaitu tentang moentji. Pembahasan menarik mengenai


keinginan perempuan Pribumi untuk hidup lepas dari kemiskinan. Dalam
hubungannya dengan anggota militer KNIL, moentji berperan layaknya seorang
nyai di dalam tangsi. Bagi para perempuan Pribumi, menjadi moentji adalah
sebuah kesempatan, bahkan satu-satunya harapan untuk lepas dari kemiskinan.
Keputusan tersebut sama halnya dengan menjadi gundik bagi masyarakat sipil.
Pada tahun 1911, seorang anggota parlemen menerangkan bahwa “Perempuan
Jawa di dalam tangsi tidak langsung menjadi seorang pelacur walau oleh orang
Jawa telah dipandang lebih rendah dari perempuan biasa. Posisi mereka berada di
antara perempuan biasa dan pelacur.” Bagi mereka masa depan adalah sesuatu
yang tidak pasti dengan bergantung nasib pada laki-laki Eropa. Adapula nyai
Indo-Eropa, yaitu sebutan bagi anak yang dilahirkan dari pergundikan tangsi.
Menjelang akhir abad ke-19 jumlah mereka semakin membengkak karena adanya
kemiskinan, atau disebut pauperisme. Umumnya, para nyai Indo-Eropa menjadi
gundik perwira berpangkat rendah atau sejenisnya, sehingga mereka memiliki
status yang lebih tinggi daripada gundik Pribumi. Nyai di dalam tangsi tentara
kolonial memiliki usia antara 12-35 tahun. Bukan menjadi hal yang aneh jika anak
usia 12 tahun sudah hidup dalam pergundikan, karena usia menikah bagi anak
perempuan Pribumi waktu itu adalah 13 tahun. Hubungan antara orang Eropa
18

dengan nyai Pribumi tidak pernah sederajat, dengan nasib sang gundik yang
sepenuhnya berada digenggaman laki-laki Eropa. Kehidupan setelah mereka lepas
dari genggaman tentara kolonial juga tidak menjamin. Hal ini menandakan betapa
kerasnya hidup dalam pergundikan.

Bagian selanjutnya yaitu kutukan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya berbaga penyakit yang muncul di dalam tangsi, dan para tentara
militer menganggap penyakit tersebut berasal dari sang Nyai. Ketika masyarakat
koloni mulai berkembang pesat pada 1880-an, protes terhadap pergundikan tangsi
pun kian bermunculan. Masyarakat tangsi yang terdiri dari campuran para
serdadu, moentji, dan anak-anak tangsi adalah sebuah dunia terpisah yang lepas
dari kehidupan masyarakat biasa. Mereka dipandang sebelah mata, tidak diajak
bergaul, dan dianggap sebagai golongan masyarakat rendah. Pergundikan juga
dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit kelamin yang mulai menyebar
pada paruh kedua abad ke-19. Banyak laki-laki dengan dorongan kebutuhan
seksual yang tinggal bersama, namun terlalu sedikit nyai Pribumi serta tidak
adanya lokalisasi prostitusi di dekat tangsi. Dengan pola hidup yang demikian,
maka semakin menyuburkan berbagai penyakit kelamin masuk ke dalam tangsi.
Kebijakan mengenai prostitusi di dalam dan di sekitar tangsi di dasari oleh prinsip
“apa yang tidak kita lihat, maka tidak ada”. Tidak ada kebijakan aktif untuk
memfasilitasi kebutuhan prostitusi.

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Jan Fuselier sangat tidak


beradab. Semakin banyak orang Belanda dan Hindia Belanda yang menganggap
tangsi tentara kolonial sebagai tempat melakukan perbuatan hina yang diikuti
dengan kemunduran moral sebagai dampak pegundikan. Dari yang diketahui
bahwa penyakit kelamin tersebut awalnya berasal dari orang-orang Eropa.
Diantara penduduk laki-laki Pribumi justru ditemukan jauh lebih sedikit penyakit
kelamin. Di samping itu juga terbukti bahwa kebanyakan anggota militer yang
tertular adalah yang hidup tanpa nyai. Mereka yang tertular terutama adalah
serdadu Eropa lajang yang berhubungan dengan para pekerja seks di sekitar tangsi

Kehadiran seorang nyai dianggap bisa membuat hidup seorang anggota


tentara militer Eropa menjadi lebih teratur. “Ia kelihatan berubah sifat-sifat
baiknya. Ia pun dapat dipercaya, sebagaimana seharusnya, karena mengambil
seorang pembantu rumah tangga perempuan dan gaji seorang fuselier tidak besar”,
demikian dikatakan tentang fuselier dalam Jan Fuselier. Keberadaan sang nyai
menghilangkan sisi keras dari kelakuan Jan Fuselier. Anggota militer Eropa di
Hindia Belanda lebih sering melakukan “perbuatan yang kurang ajar”.

Para tentara kolonial juga melakukan minum-minuman keras. “Poci


Persegi” atau “botol biru” adalah sebutan bagi semua minuman yang disuling
diam-diam di dalam tangsi. Jenever adalah minuman yang paling digemari,
19

namun cukup mahal dan tidak dijual di semua tempat. Selain itu, mereka juga
membeli minuman yang lebih murah yaitu sagoweer. Sagoweer ini merupakan
minuman yang diracik dengan meragi sari tangkai bunga mentah dari sejenis
pohon palem. Karena hal tersebut, kemudian dikeluarkan perintah umum yang
menentukan bahwa disetiap garnisun berisi lebih dari 25 anggota militer
berpangkat rendah harus disediakan sebuah ruangan atau kantin temapt serdadu
minum-minuman keras. Meskipun demikian, pengawasan terhadap konsumsi
minuman keras di dalam tangsi ternyata mustahil dilakukan. Para serdadu menjadi
kecanduan terhadap minuman tersebut. Diantara mereka menjadi tidak terkendali
dan melalaikan pekerjaan. Panglima militer juga gagal mengawasi kualitas
minuman paraa serdadu. Hal ini tidak bisa diwujudkan karena harus bersaing
dengan para pembuat dan penjaul minuman keras yang diam-diam menjaul arak
di sekitar tangsi. Para mantan anggota militer juga kerap membuka kedai minum
di sekitar tangsi dan menyediakan alkohol bagi rekan-rekannya. Hidup bersama
seorang nyai membuat para anggota militer menjadi lebih beradab dan menekan
kebiasaan minumnya.

Selanjutnya adalah bagaimana seorang nyai berperan dalam kemiliteran.


Hal ini sering dikaitkan dengan Konde-Perdom di kepalanya. Kebanyakan nyai
tangsi pada umumnya merupakan perempuan kuat dan tidak jarang berhati
lembut. Panglima ketentaraan menganggap sifat para nyai tangsi yang keras
“maskulin” dan tidak suka merengek sebagai suatu keuntungan besar dan alasan
penting untuk tidak menghapus pergundikan tangsi. Dalam keseharian, mereka
tidak hanya mengurus laki-laki tetapi juga sebagai militer tanpa bayaran. Mereka
turut ikut berkemah bahkan berperang. Di kepalahnya terdapat “konde-perdom”,
diujung mulutnya tergantung sebatang rokok yang menyala dan tangannya
memegang sepucuk senapan atau kelewang. hal tersebut tidak terlewatkan sejak
berdirinya KNIL, banyak moentji yang turut berjasa dan berkorban dengan
mempertaruhkan hidup demi pasangan anggota militernya.

Bagian selanjutnya yaitu anak-anak tangsi. Anak yang dihasilkan dari


hubungan antara orang-orang Eropa dengan para perempuan Pribumi disebut
dengan anak tangsi atau anak kolong. Bagi mereka yang menentang pergundikan
tangsi, anak-anak merupakan argumentasi yang paling memberatkan. Mengetahui
bahwa mereka hidup di lingkungan yang kasar dan biadab membuat para Nyai
enggan untuk memiliki anak. Tidak sedikit terjadi penjualan anak-anak tangsi
kepada pasangan yang memiliki anak ataupun orang yang membutuhkan untuk
perbuatan kejahatan. Menjelang akhir abad ke-19, masalah gelandangan dan anak
terlantar tidak dapat dipungkiri. Pada tahun 1890-an, salah satu pihak swasta
Johannes van de Steur mendirikan sebuah panti di dekat tangsi garnisun di
Magelang. Pergundikan tersebut menjadikan Van de Steur sebagai seorang
penentang keras pergundikan. Penulis menjelaskan bahwa anak-anak di dalam
tangsi selalu berusia muda, dari bayi sampi usia 11 atau 12 tahun, dan yang lebih
20

dari 12 tahun sudah tidak tinggal di tangsi. Banyak kemungkinan yang terjadi
setelah seorang anak yang meninggalkan tangsi itu hidup di luar. Anak-anak
tangsi biasanya mengikuti jejak orangtua mereka. Anak laki-laki menjadi serdadu
tentara kolonial dan anak perempuan menjadi pasangan serdadu. Tidak adanya
kesempatan untuk mengembangkan dan memajukan diri. Bahkan oleh orang sipil
Hindia Belanda, mereka dianggap sebagai orang bodoh, tidak dapat dipercaya,
dan sangat rusak.

Bagian selanjutnya menuliskan tentang bagaimana pergundikan tangsi itu


sangat tidak bermoral dan banyak seruan untuk mengapusnya baik dari kalangan
Belanda maupun masyarakat sipil Pribumi. Dalam pandangan mereka, tangsi-
tangsi di Hindia Belanda tidak lebih dari rumah bordil, yaitu tempat semau orang
tidur dengan siapa saja, mabuk, tertular penyakit kelamin, dan tempat anak-anak
berkulit cokelat dilahirkan dari pergundikan tersebut. Menteri Penjajahan
Keuchenius menyatakan bahwa pergundikan tangsi akan dilakukan secara
berangsur-angsur di dalam koloni. Namun pernyataan tersebut hanya sebagai
strategi untuk meredakan kemarahan para penentang. Perdebatan yang terjadi
berangsur sengit dan jumlah penentang pergundikan semakin banyak. Dalam
pandangan Boogaardt, solusinya adalah dengan menghapus larangan pernikahan,
menjadikan pergundikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum, dan
menerapkan undang-undang untuk menelusuri asal-usul ayah. Namun, karena
perilaku yang sudah melekat sebagai suatu kebiasaan maka mereka para anggota
militer tetap melakukannnya. Hal ini membuktikan bahwa pergundikan tangsi
sulit untuk dilebur.

Bagian terakhir dari bab ini menjelaskan tentang akhir dari pergundikan
tangsi ini menimbulkan pro dan kontra. Para penentang keras adanya pergundikan
tangsi sangat gencar berusaha untuk menghapuskan kegiatan tidak bermoral
tersebut, namun para tentara militer menganggap hal tesebut sebagai suatu
keuntungan dan hidup mereka menjadi teratur. Protes-protes di Hindia Belanda
mulai keras bergema pada akhir 1880-an. Para penentang pergundikan juga
memperjelas bahwa di dalam pergundikan tidak akan pe rnah tercipta hubungan
setara antara laki-laki dan perempuan. Bahkan mereka beranggapan bahwa
perilaku menyimpang para anggota militer lebih baik daripada pergundikan
dengan seorang nyai.

Di Hindia Belanda sendiri, panglima militer merupakan pendukung


terbesar pergundikan tangsi dan masih terus mempertahankan pendiriannya
selama satu dasawarsa. Mereka beranggapan bahwa penghapusan pergundikan
tangsi akan memicu perilaku seksual menyimpang. Argumentasi penting lain juga
mengenai permasalahan biaya. Pertentangan adanya pergundikan tidak
berlangsung secara mulus. Bagi mereka yang membutuhkan akan terus
mempertahankan dan bagi mereka yang menentang berusaha untuk
21

menyeimbangkan kehidupan dengan penghapusan perilaku tidak bermoral.


Dituliskan bahwa setelah tahun 1913 jumlah pergundikan tangsi menurun drastis.
Enam tahun setelahnya, Guberbur Jenderal J.P. Graff van Limburg Stirum
mengumumkan larangan pergundikan tangsi dan Komandan KNIL di Hindia
Belanda itu sendiri Letnan Jendral H.L. La Lau juga mengumumkan adanya
penghapusan pergundikan dalam tentara kolonial sepenuhnya.

BAB 5
PERGUNDIKAN DALAM PERKEBUNAN-PERKEBUNAN DELI

Selain ditengah masyarakat sipil dan tangsi-tangsi tentara kolonial,


pergundikan juga terjadi di dalam perkebunan, salah satunya yang terjadi di pantai
timur Sumatera, Deli. Hal yang menjadi ciri khas pergundikan dalam perkebunan
Deli adalah hubungan yang sangat timpang antara laki-laki Eropa dengan kuli
perempuan yang menjadi nyainya. Hubungan ini terjalin berasaskan kekuasaan
laki-laki kulit putih, lebih buruk dari yang terjadi di tengah masyarakat sipil dan
tangsi. Nyai, selain mengurus rumah tangga, memenuhi kebutuhan seksual juga
terkadang membantu menjembatani sang penguasa perkebunan dengan
lingkungan Pribumi.
Kuli-Kuli
Perusahaan ini pada mulanya diisi oleh laki-laki yang terdiri atas
pengusaha Eropa, dan staf laki-laki Eropa. Karena pertumbuhan jumlah
perkebunan, dibutuhkan banyak tenaga kuli dari Asia. Kuli-kuli ini umumnya
berasal dari lapisan masyarakat paling rendah di daerah padat penduduk seperti
Cina, Jawa dan Malaysia dan merupakan kaum proletar yang tidak memiliki apa-
apa.
Dalam pelaksanaannya sendiri para kuli ini banyak mendapat
ketidakadilan dari para majikan. Dimulai dengan sistem pengontrakan yang
didasari oleh prinsip utang, upah yang tidak sesuai, hukuman berat untuk
pelanggaran kecil dan segala tipu muslihat yang dilakukan oleh para majikan
untuk mengikat para kuli kembali bekerja di perkebunan ketika kontrak mereka
telah habis.
Laki-Laki Eropa di Deli
22

Sesudah 1870 jumlah laki-laki Eropa yang datang ke Deli semakin


meningkat, dan kebanyakan dari mereka masih berstatus lajang. Dalam
perusahaan terdapat ketentuan pernikahan bahwa laki-laki Eropa tidak diizinkan
menikah selama enam tahun pertama mereka bekerja. Hal ini didasari pada
keyakinan bahwa laki-laki Eropa tidak akan sanggup memikul tanggung jawab
bekerja di perusahaan dan tanggungjawab keluarga. Ketetapan ini tentunya
menimbulkan protes dan perlawanan dari para pegawai Eropa sendiri.
Buruh-Buruh Kontrak Perempuan
Dalam tempo yang cukup singkat, dilakukan perekrutan buruh perempuan
pribumi untuk perkebunan-perkebunan Deli dalam skala besar. Sama seperti kuli
laki-laki, para buruh perempuan ini berasal dari kelompok masyarakat yang sangat
miskin. Mereka direkrut selain untuk memenuhi permintahan terhadap buruh
kontrak juga untuk menjawab kebutuhan sosial dan seksual para kuli kontrak Asia
yang terus meningkat.
Pada umumnya hidup buruh perempuan lebih berat dari buruh laki-laki
karena dalam hirarki dunia perkebunan mereka berada dalam tingkatan yang
paling rendah. Diantara para kuli sering terjalin hubungan pernikahan yang
disebut dengan kawin kontrak. Namun seperti yang terjadi di dalam tangsi-tangsi
KNIL, hubungan ini ditandai oleh ikatan-ikatan yang longgar. Buruh perempuan
juga sering mendapat upah yang lebih rendah dari rekan laki-laki mereka, bahkan
ada beberapa perusahaan yang tidak menyediakan tempat tinggal bagi buruh
perempuan yang baru bergabung sehingga seringkali buruh perempuan mencoba
mencari jalan keluar dengan cara pelacuran untuk bertahan hidup.
Pergundikan
Dalam pelaksanaannya buruh kontrak perempuan tidak hanya memenuhi
kebutuhan seksual kuli laki-laki tapi juga orang Eropa di perkebunan. Ditangan
orang-orang Eropa mereka cenderung menjadi korban kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Seorang penguasa atau pegawai Eropa kerap kali
meminta butuh kontrak perempuan untuk menemaninya meskipun buruh pabrik
ini sudah menikah dengan kuli (Pribumi). Permintaan penguasa atau pegawai
Eropa ini biasanya tidak hanya untuk hubungan seksual yang bersifat sementara,
23

tapi terutama untuk pergundikan. Pergundikan ini tersebar sangat luas di


lingkungan pada penguasa perkebunan.
Penganiayaan terhadap Perempuan Asia
Para kuli perempuan jarang menjadi Nyai melalui cara yang romantis.
Sang laki-laki biasanya mencari perempuan yang mau berhenti bekerja di
perkebunan untuk dijadikan teman tidur dan mengurus rumah tangga. Minuman
keras memainkan peranan yang cukup penting dalam dunia pada pengusaha
perkebunan. Tidak mengherankan juga jika terdapat dampak-dampak merugikan
dari cara bergaul lara laki-laki Eropa dengan perempuan Pribumi. Di dalam
berbagai sumber sering disebutkan mengenai penganiayaan terhadap kuli
perempuan Asia. Biasanya perempuan Pribumi ini dengan mudahnya dapat
diserahkan dari satu orang Eropa ke orang Eropa lainnya. Penganiayaan yang
sering dilakukan misalnya penyekapan, pemukulan, penyetruman bahkan
membuat luka area kemaluan dari sang gundik.
Para Gundik dan Anak-Anak
Sebagian besar orang Eropa menganggap pergundikan sebagai jalan keluar
untuk memenuhi kebutuhan seksual sebelum mereka memulai hubungan dengan
perempuan Eropa. Karena itu kehadiran anak-anak dari hubungan ini tidak
diinginkan. Konsekuensinya, sang perempuan harus bertanggungjawab atas
ketersediaan alat pencegah kehamilan. Seorang gundik yang hamil diluar
kehendak sang majikan biasanya akan diperintahkan pergi, baik langsung maupun
beberapa waktu setelah gundik ini melahirkan bayinya. Dalam dua kemungkinan,
sang gundik akan kembali ke barak kuli untuk membesarkan anaknya atau ada
pula majikan yang mengakui anak hasil pergundikan ini dan meminta sang gundik
pergi ketika anaknya akan dikirim ke Eropa untuk mengenyam pendidikan.
Dilahirkan sebagai seorang anak berdarah campuran bukanlah hal mudah
di tengah kehidupan masyarakat perkebunan. Orang Indo-Eropa tidak diterima
baik di tengah masyarakat kulit putih maupun ditengah masyarakat kulit coklat
dan kuning. Hal ini menegaskan tidak adanya sebuah lapisan menengah Indo-
Eropa dalam perkebunan-perkebunan di Deli.
Jika ada orang Eropa yang secara terbuka hidup bersama nyai dan
memiliki anak namun tidak mengusir mereka, maka dia akan menempatkan
24

dirinya di luar masyarakat Deli. Dari beberapa kasus pergundikan ada pula yang
berujung pada ikatan pernikahan, dimana para majikan atau orang Eropa
menemukan kehangatan, keamanan dan kelembutan pada diri perempuan Pribumi.
Perlawanan terhadap Pergundikan dalam Perkebunan
Kemunculan politik etis di Hindia Belanda dan emansipasi di Eropa
memunculkan pandangan lain dalam melihat penduduk Pribumi dan cara yang
harus digunakan orang Eropa dalam memerintah penduduk Eropa. Pandangan ini
tidak menghendaki adanya pergundikan antara orang Eropa dengan perempuan
Pribumi karena dianggap sebagai penggerogotan terhadap rasa hormat terhadap
perempuan Pribumi.
Sejak saat itu protes terhadap pergundikan di Deli pun kian membesar.
Permasalahan kesehatan sebagai dampak dari momok penyakit sipilis juga
menyuburkan perlawanan terhadap pergundikan. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa rata-rata setengah dari seluruh kuli perempuan di perkebunan Deli
menderita penyakit kelamin. Sementara itu setelah tahun 1900, jumlah perempuan
Eropa di Deli berangsur-angsur meningkat. Pada umumnya para perempuan Eropa
merasa sangat keberatan dengan hubungan pergundikan antar-ras.
Kemudian setelah tahun 1920, perusahaan-perusahaan menjalankan
sebuah politik kebijakan baru, yakni kebijakan yang didasari oleh pernikahan dan
pembentukan keluarga. Orang-orang yang telah menikah di Eropa diberikan
dukungan untuk datang. Selain itu dikeluarkan juga ketentuan-ketentuan dan
bonus yang mendorong pembentukan keluarga bagi pegawai Eropa maupun
Pribumi. Dengan adanya kebijakan baru ini pergundikan di Deli tidak lantas
menghilang namun sudah cukup berkurang jumlahnya.

BAB 6
ANAK-ANAK INDO EROPA
Kekhawatiran terhadap hubungan seksual antar-ras merupakan ciri khas
maysarakat kolonial di Hindia Belanda. Mereka khawatir jika anak-anak Indo-
Eropa yang lahir dari pergundikan akan membahayakan ketertiban kolonial. Hal
inilah yang kemudian membuat hubungan seksual antar-ras semakin keras ditolak.
25

Anak-anak berdarah campuran yang dihasilkan pun mendapat perlakuan yang


buruk dan batas-batas rasial kian tajam dan jelas.
Anak-Anak Emas
Sebagian kecil anak-anak ini dilahirkan dari lapisan atas masyarakat
kolonial. Ayah mereka biasanya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
masyarakat, mereka akan memberikan marganya kepada sang anak dan biasanya
keluarga mereka hidup layaknya sebuah keluarga Eropa. Pada usia tertentu anak-
anak ini biasanya akan dikirim ke tanah air sang ayah untuk mengenyam
pendidikan, jika tidak maka sang ayah akan mencarikan guru privat untuk
mengajari anak-anak mereka bahasa belanda. Hal ini bertujuan untuk mencekah
anak-anak Indo-Eropa semakin pribumi dan memudahkan pencapaian karir anak-
anak mereka nantinya.
Sekelompok Masyarakat yang Tidak Diinginkan
Bagian lain dari anak-anak yang lahir dari hubungan campur hidup di
dalam lapisan paling rendah masyarakat Hindia Belanda. Pada akhir abad ke-19
mereka akan membentuk het leger van Indo-paupers [Laskar para Indo-paupers].
Prasangka-prasangka, perlakuan tidak pantas serta diskriminasi yang terstruktur
kerap mereka dapatkan. Diskriminasi yang dialami oleh keturunan Indo-Eropa
ialah dalam pendaftaran pegawai pemerintahan, dimana pemerintah kolonial
menetapkan sejumlah kebijakan yang lebih mengutamakan orang Eropa dan
mempersulit pendaftaran orang berdarah campuran. Dalam bidang pendidikan
beberapa keturunan Indo-Eropa juga kesulitan dalam memperoleh pendidikan.
Bagi mereka yang tidak mampu menyewa guru privat maka mereka akan
mengikuti pengajaran yang buruk di dalam koloni atau sama sekali tidak
memperoleh pendidikan.
Hidup di Negeri Kolonial Tak Bertuan
Bagi banyak orang Indo-Eropa peningkatan status sosial merupakan hal
yang tidak mungkin. Banyak orang Indo-Eropa di dalam koloni yang berada di
luar masyarakat, baik masyarakat Eropa maupun Pribumi. Mereka merasa seperti
hidup di negeri kolonial tak bertuan dengan kesempatan hidup sebagai kaum
marjinal. Mereka mencoba menemukan jalan keluar lewat praktik penyelundupan
opium, pencurian, dan menenggelamkan diri di rumah judi dan pelacuran.
26

tingkat pengangguran, kemiskinan dan kejahatan di anatara mereka sangat


tinggi dan banyak perempuan dan anak-anak yang masuk ke dunia prostitusi.
Karena kemiskinan banyak gadis Indo-Eropa yang terkadang dijual kepada oaring
Tionghoa kaya.
Pada pertengahan abad ke 19, terdapat diskusi yang membahas tentang
kedudukan orang Indo-Eropa, dimana orang-orang Eropa kahawatir jika dengan
buruknya keadaan orang Indo-Eropa akan memicu permasalahan dan
membahayakan ketertiban kolonial. Akhirnya ada beberapa caya yang ingin
mereka terapkan untuk mendidik orang Indo-Eropa ini, akan tetapi beberapa cara
yang ingin mereka terapkan itu gaggal dalam pelaksanaannya. Kebanyakan kulit
putih di koloni dan Belanda tidak mendukung penempatan orang-orang Indo di
dalam lingkungan Eropa atau Belanda. Banyak orang Eropa yang bersikeras jika
mereka merasakan jarak yang tidak terjembatani anatara mereka dengan orang
Indo. Para Indo pun cenderung bersifat seperti pribumi daripada orang Eropa, dan
kondisinya harus tetap seperti itu.
Sebuah Laskar Indo-Paupers yang Terus Tumbuh
Menjelang akhir abad ke-19 masalah kemiskinan di antara para Indo-
Eropa mulai menjadi permasalahan sosial-politik yang tidak bisa diabaikan lagi.
Hal ini karena sebuah kelompok Eropa yang miskin cepat atau lambat dapat
membahayakan ketertiban kolonial. Tahun 1902 dibentuk sebuah komisi dibawah
pimpinan D.F.W van Rees yang melakukan penyelidikan terhadap “kemiskinan di
antara orang-orang Eropa di Hindia-Belanda”. Menurut hasil penyelidikan Indo-
paupers berjumlah sekitar 22% dari jumlah keseluruhan orang Eropa di Jawa dan
Madura, dan 33% dari populasi Indo-Eropa di Nusantara. Dalam analisis
mengenai penyebab kemiskinan, komisi menilai jika percampuran ras merupakan
salah satu penyebab paling penting atas buruknya keadaan sosial ekonomi
kelompok ini.
Dampak-Dampak Buruk dari Percampuran Darah
Hanya sedikit efek yang muncul dari penyelidikan terhadap keadaan para
Indo-Eropa miskin. Pemberantasan kemiskinan yang nyata tetap menjadi urusan
pihak swasta. Pemerintah Hindia-Belanda terlihat menjunjung prinsip “amal
kepada para Indo-Eropa miskin bukan merupakan kewajiban”.
27

Sejak awal seorang anak hasil hubungan campur tidak akan pernah
mendapat pendidikan yang baik karena seorang ibu Pribumi tidak memiliki
kemampuan untuk mendidik. Kecantikan fisik para perempuan Indo-Eropa
terkadang memiliki komponen negatif. Para perempuan ini akan menarik
perhatian laki-laki Eropa yang lugu untuk kemudian menjeratnya. Karena
kecantikannya pula, tidak jarang mereka menjadi genit, malas dan seronok.
Berbeda dengan perempuan Indies, para laki-laki Indies biasanya dinilai sebagai
orang yang tidak dapat dipercaya, malas, bodoh, apatis dan memiliki
kecenderungan kepada fatalisme. Anak berdarah campuran yang lahir dari
hubungan campur, biasanya cenderung ke sisi gelap pribuminya.
Emansipasi
Diskriminasi baik terbuka maupun tertutup terhadap anak-anak hasil
hubungan campur cepat atau lambat akan mengarah kepada pencapaian
emansipasi. Pada akhir 1880-an terdapat perkumpulan Soeria Sumirat yang aktif
di koloni. Menurut anggaran dasarnya mereka mengupayakan “peningkatan
kesejahteraan antara orang-orang Eropadi Hindia Belanda yang menhadapi
kesulitan di Hindia Belanda”. Perkumpulan Soeria Soemirat memberi perhatian
pada perubahan “keadaan di luar kesalahan para menderita” dan juga fokus
kepada penciptaan lapangan pekerjaan.
Hindianisasi
Di koloni, selain muncul emansipasi, muncul pula Hindianisasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip politik etis dan setelah muncul protes dari orang-
orang Indo-Eropa maka diberlakukan tugas warga negara sipil pada 1913.
Peraturan ini menetapkan bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi
orang Eropa, Indo-Eropa dan Indonesia. Akan tetapi peraturan ini tidak membawa
pengaruh seperti yang diharapkan. Orang-orang Indo-Eropa tetap kesulitan dalam
mencari lapangan pekerjaan karena mayoritas telah diisi oleh orang Eropa dan
Indonesia. Kurangnya kesempatan kerja mendorong dimulainya berbagai ujicoba
untuk menciptakan sumber mata pencaharian sebagai petani di Nieuw-Guinea
(sekarang Irian Barat). Walaupun diskriminasi terhadap anak-anak berdarah
campuran tetap bertahan sampai akhir periode kolonial, namun banyak juga yang
berhasil membangun hidup yang baik ditengah masyarakat.
28

BAB 7
GAMBARAN-GAMBARAN LAIN DAN SEBUAH DUNIA LAIN
Meski terus terdesak sepanjang abad ke-20 pergundikan dan sosok nyai
masih ada sampai akhir kolonial d Hindia Belanda. Gambaran sosok nyai ini
dipandang negatif, seperti dalam surat Tjalie Robinson kepada Rob Niewnhuys
yang menyebut berbagagai definisi palsu yang memberi rupa lain terhadap sosok
nyai. Seperti ketika mendengar pembicaraan sosok nyai yang disebut dengan
panggilan cewek itu, cewek gatal, dsb. Pencitraan tersebut sebagai pemisah sosial
dan ras di masyarakat Hindia Belanda kala itu, karena hubungannya dengan orang
Eropa, baik anak Indo-Eropa maupun sang nyai mendorong diri masuk ke tengah
masyarakat Eropa, hal tersebut dirasa sebagai ancaman.Pencitraan ini mudah
diputar balikkan karena keadaan, seperti dilihat pada orang Indo-Eropa. Setelah
repatriasi terdapat gambaran yang hampir berkebalikan yaitu seorang laki-laki
Indies yang setia, dipercaya, tenang dan penurut. Padahal beberapa tahun
sebelumnya dicap sebagai orang jahat, malas, dan emosional.
Stigma sosok nyai ini juga memiliki sisi positif, seperti yang terjadi pada
Gubernur Sipil dan Militer Aceh dimana dalam sebuah laporan kepada
pemerintah, nyai merupakan sosok yang baik dalam hal menyimpan rahasia. Hal
ini dikarenakan sifat perempuan pribumi yang pemalu dan cenderung tak ingin
membuat pasangannya merasa jengkel. Selain itu kesopanan dalam bertindak dan
berperilaku, serta setia dan tekun melaksanakan kewajiban perempuan Jawa
diakui oleh orang Eropa.
Ada pula penulis-penulis Eropa yang hampir selalu membela nyai. Mereka
mewakili suara nyai karena bersimpati dan peduli pada nasib mereka. Sisi lain
tersebut diperlihatkan terutama oleh penulis perempuan Eropa seperti Marie Frank
dimana dalam kumpulan cerita Een Natururlijk Kind en Andere Nederlandsch-
Indies Verlahen (1875) terdapat kisah seorang gundik yang hidup dengan laki-laki
Inggris namun menolak untuk menikahi yang pada akhirnya karena alasan
kesehatan ia mau menikahi gundik tersebut, kemudian Annie Foore dimana dalam
karyanya ia sangat condong kepada nyai, ia berpandangan terhadap ketidak adilan
bagi perempuan pribumi dan anak Indo-Eropa. Dalam romannya De Van Sons
29

(1881), ia menampilkan sosok laki-laki Eropa yang menghargai nyai dan anak
yang berasal dari pergundikan. Selain dalam bentuk tulisan, kisah-kisah nyai juga
disandiwarakan seperti Marie van Zegelen dalam dramanya berjudul Mama
(1900), Johan Fabricius dalam dramanya Sonna.
Para penulis Indo-Eropa semasa pergantian abad juga memperlihatkan
pandangan mereka terhadap nyai serta menggunakan bahasa Melayu. Seperti
Victor Ido yang menempatkan nyai sebagai tokoh utama dalam cerita-cerita
bersambung di harian dan majalah Indies. Selain tokoh nyai sebagai pemeran
utama, adapula yang menempatkannya sebagai kalangan elite Eropa seperti dalam
cerita Nyi Paina karya H.Kommer. Nyi Paina digambarkan sebagai perempuan
cantik yang diincar oleh Briot, lelaki Eropa yang tamak dan dengan segala tipu
muslihat untuk mendapatkan Nyi Paina. Kemudian setelah peralihan abad ke 20
terbit sejarah Nayi Isah karya Ferdinand Wiggers yang mengisahkan Nyai Isah
dan Verkerk yang saling jatuh cinta, namun Isah menolak untuk dinikahi karena
khawatir Verkerk menginginkan istri seorang Eropa. Kisah yang terkenal adalah
Nyai Dasima yang dipuja oleh laki-laki yang hidup bersamanya dalam
pergundikan yaitu Edward Williams yang mencintai dan menghargainya.
Kemudian pandangan sosok nyai oleh Pramoedya Ananta Toer yang tidak
ditampilkan dalam satu dimensi, dalam karyanya tetralgi Bumi Manusia yang
berkisah tentang Nyai Ontosoroh yang digambarkan sebagai perempuan yang
mandiri.

Hubungan –Hubungan yang Kekal


Sesudah 1900 banyak pernikahan antara laki-laki Eropa dan perempuan
pribumi, ini merupakan hubungan pergundikan yang dilakukan dalam bentuk
pernikahan. Karena pola hubungan yang telah ada, inisiatif untuk menikahpun
selalu diambil oleh laki-laki Eropa. Kebutuhan menikah ini sering berkaitan
dengan keberadaan anak-anak yang lahir dalam pergundikan. Seperti dalam
roman De Hongertocht karya M.H. Székeley-Lulofs dijumpai seorang anggota
militer yang memikirkan sang nyai yang memberinya seorang anak. Keputusan
yang diambil oleh sang lelaki adalah hal yang besar. Meski sadar dua dunia
memisahkan mereka, ia memilih hubungan kekal demi sang anak. Karena
30

kekekalannya justru tumbuh rasa saling memahami, menghormati, dan mencintai.


Meski perbedaan bahasa dan budaya tetap ada.

Perbedaan bahasa dan budaya dapat dilihat dari cerita Willem Walraven,
dimana ia menuliskan surat kepada keluarganya di Belanda bahwa ia terkendala
bahasa dengan isterinya, Itih, yang berbahasa Sunda yang membuat komunikasi
semakin rumit. Namun kemudian kendala bahasa dapat diatasi karena Itih belajar
bahasa Belanda. Walraven juga sering merasa jengkel karena Itih tak cukup baik
mengatur keuangan rumah tangga. Kemudian budaya makan yang juga berbeda,
dimana Walraven memiliki kebutuhan yang cukup obsesif terhadap lauk pauk dari
resep tradisional Belanda. Ia tidak antusias dengan resep pribumi milik Itih.
Disamping itu ia juga membenci cara pribumi yang makan menggunakan tangan.
Meski begitu, pernikahan Itih dan Walraven ditandai dengan rasa hormat,
penghargaan, kasih sayang, dan kesetaraan.

Penulis Lin Scholte juga menyaksikan hubungan campur yang harmonis.


Ayahnya, Piet Scholte seorang anggota militer Belanda menikah dengan Djemini.
Dala karyanya Lin Scholte banyak menulis tentang kedua orang tuanya dan dari
sana terlihat bahwa hubungan mereka juga ditandai dengan persamaan nilai,
hormat, dan kasih sayang.

BAB 8

AKHIR PERGUNDIKAN DI HINDIA BELANDA

Ketika Perang Dunia II pecah, keluarga dengan hubungan campur


dipisahkan oleh Jepang. Para lelaki Eropa ditawan dan dimasukkan ke camp-camp
penampungan, sedangkan isteri Pribumi dibiarkan. Penjajah Jepang menciptakan
perbedaan antara orang-orang Belanda, pribumi, dan campuran. Sedangkan yang
berdarah campuran diharapkan merasakan keterikatan dengan penduduk pribumi.
Agar bisa membedakan orang Eropa asli dengan campuran dilakukan pencatatan.
Namun pencatatan tersebut memicu kekacauan karena penggolongannya agak
rancu dan sembarangan. Hal ini berakibat pada keturunan campuran dimasukkan
ke dalam kategori yang berbeda-beda.
31

Keberadaan seorang ibu Pribumi membantu para keturunan darah


campuran karena sebagai bukti keturunan Asia yang dikeluarkan arsip negara
sehingga tidak dianggap sebagai orang Eropa oleh penjajah Jepang, namun setelah
kemerdekaan kekacauan kembali muncul. Muncul situasi baru di Hindia Belanda
yang dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini
berdampak pada keluarga keturunan campuran di Hindia Belanda. Asal-usul
keturunan yang berbeda memainkan peran yang menentukan. Dalm konteks
perang kemerdekaan, nyai yang menikah dengan orang Eropa mengalami konflik
kesetiaan yang fundamental. Apakah ia harus memilih suaminya atau bangsanya.
Salah satu ciri yang mencolok dari hubungan antar ras di koloni adalah perbedaan
umur yang jauh. Para lelaki Eropa tak jarang jauh lebih tua dari istrinya,
perbedaan usia 10-20 tahun merupakan hal biasa. Setelah dekolonisasi banyak
perempuan yang menjadi janda karena suaminya meninggal akibat perang atau
berusia lanjut. Karena hal tersebut mereka memilih tinggal di Republik Indonesia
yang baru, disisi lain mereka harus kehilangan kontak dengan anak-anak mereka
yang berangkat ke Belanda. Para perempuan Indonesia yang ikut berangkat ke
Belanda sebelum dan setelah pemindahan pada 1949 mengikuti suami dan anak-
anak mereka. dengan demikian sejak akhir 1940-an nyai sudah berada di tengah
masyarakat Belanda. Namun di Belanda, kehidupan para nyai mulai menghilang.
Satu-satunya hal yang masih mengikatnya dengan kehidupan di Belanda adalah
anak dan cucunya, namun juga terkendala oleh bahasa. Hal ini menjelaskan
mengapa keturunan Belanda-Indies tidak banyak pengetahuan mengenai nenek
moyangnya sendiri.

Disamping minimnya pengetahuan mengenai sejarah nyai merupakan


pantulan gambaran negatif yang terus bergaung selama hampir 60 tahun
berakhirnya koloni di Hindia Belanda. Hampir setiap keluarga Indies memiliki
seorang nyai pada generasi sebelumnya. Namun tetap saja ada orang yang tak mau
buka mulut dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan aib. Yang menarik
adalah bahwa keluarga kerajaan Belanda memiliki darah keturunan nyai, yaitu
Puteri Laurentien istri dari Pangeran Constantijn (putra bungsu Ratu Beatrix)
adalah keturunan perempuan Pribumi bernama Mankam.
32
33

PUSTAKA

Baay, Reggie. 2017. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas
Bambu.

Anda mungkin juga menyukai