Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa

merupakan masalah yang paling nyata peningkatannya. Saat ini gangguan

jiwa termasuk salah satu dari sepuluh penyebab utama kecacatan diseluruh

dunia. Data dari WHO menunjukan bahwa 121 juta - 450 juta orang dari

total populasi penduduk dunia, baik di Negara maju maupun Negara

berkembang telah mengalami gangguan kejiwaan dan membutuhkan

primary care di bidang psikiatri. Gangguan kejiwaan yang dimaksud

bukanlah gangguan jiwa yang sering dikenal oleh sebagian masyarakat

sebagai gila, melainkan dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang

gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat (WHO, 2010).

Kecemasan (ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective)

yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang

mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai

realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian masih tetap

utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/Splitting of Personality),

perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,

2011).

Beberapa penyakit fisik dapat mengakibatkan kecemasan pada

seseorang. Kurang lebih 5-10% masyarakat umum mengalami kecemasan.

1
2

Kecemasan telah diprediksi oleh WHO sebagai penyebab masalah utama

pada tahun 2020 dan sebagai penyakit kedua di dunia setelah jantung

iskemik. Seseorang dengan penyakit kronis, rentan mengalami kecemasan

salah satunya adalah penderita Diabetes. Hasil survei Persatuan Dokter

Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) yang diumumkan bulan Juni 2007 yang

lalu maka hampir semua orang di Indonesia mengalami kecemasan.

Menurut survei ini 94% masyarakat Indonesia mengidap kecemasan dari

tingkat ringan hingga yang paling berat. Hasil penelitian David (2004)

terdapat 48% penderita Diabetes yang mengalami kecemasan akibat

penyakitnya.

Badan Kesehatan Dunia mencatat 27% pasien Diabetes Melitus

mengalami kecemasan. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang

sifatnya umum, dimana seiring yang mengalami cemas, merasa ketakutan

atau kehilangan kepercayaan diri dan merasa lemah sehingga tidak mampu

untuk bersikap dan bertindak secara rasional (Sutardjo, 2010).

Diabetes melitus termasuk ke dalam jenis penyakit kronis.

Diabetes melitus merupakan salah satu contoh penyakit turunan yang tidak

dapat disembuhkan melalui alat-alat kedokteran tetapi bisa dicegah

keberadaannya dalam tubuh seseorang dengan cara tidak mengkonsumsi

gula yang berlebihan dan melakukan manajemen diri dengan baik untuk

menjaga kelanjutan kesehatannya. Saat penderita kurang dapat mengontrol

pola makan dan kondisi emosionalnya inilah seringkali menyebabkan

tingkat gula darahnya meningkat cukup tinggi. Meningkatnya kadar gula


3

darah penderita diabetes melitus tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

manajemen diri tetapi juga manajemen emosional. Dalam keadaan cemas,

kadar gula dalam darah penderita akan meningkat lebih cepat

dibandingkan akibat pengonsumsian makanan secara sembrono. Diabetes

penderita akan semakin memburuk saat penderita dalam keadaan cemas.

Selain itu, tingkat kecemasan penderita juga dipengaruhi oleh koping dan

tingkat pengetahuan, informasi dan keyakinan. Lingkungan penuh

ancaman dan tuntutan ekonomi akan perawatan penderita diabetes melitus

dengan komplikasi kronik, dalam waktu yang tidak singkat dalam

perawatannya, maka situasi tersebut menimbulkan beban serta kecemasan

untuk klien beserta keluarga. Jadi, bahwa orang dengan diabetes melitus

juga mengalami kecemasan (Tjokroprawira, 2011).

Secara psikologis banyak hal yang dapat terjadi pada penderita

diabetes melitus, seperti reaksi fisiologis, termasuk kecemasan yang terjadi

pada penderita serta keluarga. Penderita merasa terbebani, karena diabetes

melitus merupakan penyebab kesakitan dan mematikan, sehingga

penderita merasa cemas akan masa depannya, dengan terjadinya

komplikasi akut dan kronik, juga mempengaruhi beban ekonomi dalam

pengobatan dan perawatannya dalam waktu tidak singkat (Sutardjo, 2010).

Klinik Medika Antapani Bandung merupakan salah satu tempat

pelayanan kesehatan di Kota Bandung yang mempunyai pelayanan medis

berupa Klinik umum, Klinik gigi, Apotek, Laboratorium, EKG, serta Skin

Care. Klinik Medika Antapani Bandung mempunyai program baru dari


4

BPJS yang bernama PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis),

program tersebut dikhususkan untuk pasien hipertensi dan diabetes

melitus. Pasien diabetes melitus di Klinik Medika Antapani Bandung

berjumlah 78 orang berdasarkan data pada bulan Maret 2015.

Pada saat melakukan studi pendahuluan di Klinik Medika Antapani Kota

Bandung tanggal 3 April 2015 kepada 7 orang pasien, 6

diantaranya mengatakan cemas jika mengalami peningkatan gula darah,

penyembuhan luka yang lama terutama pada daerah kaki, serta merasa

cemas jika mengalami komplikasi. Rata-rata dari pasien tersebut

mengatakan cepat lelah walaupun tidak melakukan aktivitas apapun.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa pada pasien diabetes melitus mengalami adanya kecemasan. Untuk

itu, mengetahui tingkat kecemasan pada pasien yang menderita diabetes

melitus sangatlah penting. Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk

meneliti tentang “Gambaran tingkat kecemasan pada pasien penderita

diabetes melitus di Klinik Medika Antapani Kota Bandung 2015”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti

bagaimana gambaran tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus di

Klinik Medika Antapani Kota Bandung.


5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

kecemasan pada pasien diabetes melitus.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi

untuk pengembangan ilmu dalam penelitian mengenai gambaran

tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi

bagi petugas kesehatan dan mahasiswa keperawatan serta umumnya

bagi masyarakat, untuk dapat mempersiapkan berbagai macam

tindakan serta dukungan terhadap pasien diabetes melitus untuk bisa

meminimalkan rasa kecemasannya. Penelitian ini juga diharapkan

dapat digunakan sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang

berhubungan dengan gambaran tingkat kecemasan pada pasien

diabetes melitus.
6

E. Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini penulis memberi ruang lingkup penelitian

sebagai berikut :

1. Ruang Lingkup Waktu, penyusunan KTI ini dilaksanakan pada

bulan Maret – Juli 2015.

2. Ruang Lingkup Tempat, penelitian ini dilakukan di Klinik Medika

Antapani Kota Bandung.

3. Ruang Lingkup Materi penelitian adalah Keperawatan Jiwa dan

Keperawatan Medikal Bedah.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kecemasan

1. Kecemasan

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam

dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas,

kepribadian masih utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian atau

splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam

batas-batas normal (Hawari, 2011). Kecemasan merupakan hal wajar yang

pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai

bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang

sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan

kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Sutardjo, 2010).

Kecemasan (Ansietas atau Anxiety) adalah perasaan takut yang

tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu

merasa tidak nyaman atau takut bahkan mungkin memiliki firasat akan

ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang

mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi

sebagai stimulus ansietas. Ansietas merupakan alat peringatan internal

yang memberikan tanda bahaya kepada individu. Takut sebenarnya tidak

7
8

dapat dibedakan dari ansietas karena individu yang merasa takut atau

ansietas mengalami pola respons perilaku, fisiologis, dan emosional dalam

rentang yang sama. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya ialah

bahwa rasa takut timbul sebagai respons terhadap objek mengancam yang

dapat diidentifikasi dan spesifik. Takut adalah mengetahui bahwa ada

suatu ancaman, ansietas adalah emosi yang ditimbulkan oleh rasa takut.

Ancaman yang menstimulasi rasa takut dapat nyata dipersepsikan,

misalnya rasa takut yang nyata dialami ketika seseorang berhadapan

dengan penyerang yang membawa senjata (Videbeck, 2012).

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010), kecemasan adalah

respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau

yang belum pernah dilakukan, seta dalam menemukan identitas diri dan

arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun

cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan

menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai

ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari

ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.

Perasaan yang tidak menentukan tersebut pada umumnya tidak

menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan

fisiologi dan psikologis (Kholil Lur Rochman, 2010).


9

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar

yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak bahaya.

Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian

intelektual terhadap bahaya (Stuart dan Sundeen, 2010).

Diperkirakan jumlah mereka yang menderita gangguan kecemasan

ini baik akut maupun kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan

perbandingan antara wanita dan pria 2 banding 1. Dan, diperkirakan antara

2% - 4% diantara penduduk di suatu saat dalam kehidupannya pernah

mengalami gangguan kecemasan. Tidak semua orang yang mengalami

stressor psikososial akan menderita gangguan cemas, hal ini tergantung

pada struktur kepribadiannya. Orang dengan kepribadian pencemas

kepribadian lebih rentan untuk menderita gangguan kecemasan.

perkembangan kepribadian seseorang dimulai sejak usia 18 tahun dan

tergantung dari pendidikan orang tua, pendidikan di sekolah dan pengaruh

lingkungan pergaulan sosial serta penglaman kehidupannya (Hawari,

2011).

2. Tipe Kepribadian Pencemas

a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang.

b. Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir).

c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum.

d. Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain.

e. Tidak mudah mengalah, suka ngotot.


10

f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah.

g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir

berlebihan terhadap penyakit.

h. Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil

(dramatisasi).

i. Dalam pengambilan keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu.

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali diulang.

k. Jika sedang emosi seringkali bertindak histeris.

Orang dengan kepribadian pencemas tidak selamanya mengeluh

hal-hal yang sifatnya psikis tetapi sering juga disertai dengan keluhan-

keluhan fisik (somatik) dan juga tumpang tindih dengan ciri-ciri

kepribadian depresif atau dengan kata lain batasannya seringkali tidak

jelas (Hawari, 2011).

3. Gejala Klinis Cemas

Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-

masing orang. Kaplan, Sadock, & Grebb (2010), menyebutkan bahwa

takut dan cemas merupakan emosi yang berfungsi sebagai tanda adanya

suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau

nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi

individu. Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam

diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi individu.


11

Adapun gejala klinis menurut Hawari (2011), keluhan-keluhan

yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan

kecemasan antara lain :

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan fikirannya sendiri, mudah

tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

b. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.

c. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

d. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

e. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang

pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas,

gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan

sebagainya.

Kecemasan berasal dari perasan tidak sadar yang berada didalam

kepribadian sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau

keadaan yang benar-benar ada. Kholil Lur Rochman (2010),

mengemukakan beberapa gejala-gejala dari kecemasan, antara lain :

a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap

kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut

merupakan bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.

b. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah

dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat

irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi.


12

c. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of

persecution (delusi yang dikejar-kejar).

d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,

banyak berkeringat, dan gemetar.

Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang

menyebabkan tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah

tinggi.

4. Respon fisiologis terhadap kecemasan

Menurut Stuart (2010), respon fisiologis terhadap kecemasan

antara lain :

a. Gastrointestinal ditandai dengan kehilangan nafsu makan, menolak

makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri

ulu hati, diare.

b. Saluran perkemihan ditandai dengan tidak dapat menahan kencing,

sering berkemih.

c. Kulit ditandai dengan wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak

tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat,

berkeringat seluruh tubuh.

d. Kardiovaskuler ditandai dengan palpitasi, jantung berdebar, tekanan

darah meningkat, rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun, denyut

nadi menurun.
13

e. Pernafasan ditandai dengan nafas cepat, sesak nafas, tekanan pada

dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi

tercekik, terengah-engah.

f. Neuromuskuler refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-

kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, mondar-mandir, wajah

tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang janggal.

5. Gangguan Kecemasan

Menurut Sutardjo Wiramihardja (2010), membagi gangguan

kecemasan yang terdiri dari :

a. Panic Disorder

Panic Disorder ditandai dengan munculnya satu atau dua serangan

panik yang tidak diharapkan, yang tidak dipicu oleh hal-hal yang bagi

orang lain bukan merupakan masalah luar biasa. Ada beberapa

simptom yang menandakan kondisi panik tersebut, yaitu nafas yang

pendek, palpilasi (mulut kering) atau justru kerongkongan tidak bisa

menelan, ketakutan akan mati atau bahkan takut gila.

b. Agrophobia

Agrophobia yaitu suatu ketakutan berada dalam suatu tempat atau

situasi dimana ia merasa bahwa ia tidak dapat atau sukar menjadi baik

secara fisik maupun psikologi untuk melepaskan diri. Orang-orang

yang memiliki agrophobia takut pada kerumunan dan tempat-tempat

ramai.
14

6. Tingkat Kecemasan

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Keadaan emosi ini tidak memilki objek yang spesifik. Kondisi

dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan

interpersonal. Cemas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan

penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Kapasitas untuk

menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat cemas yang

parah tidak sejalan dengan kehidupan. Rentang respon kecemasan

menggambarkan suatu derajat perjalanan cemas yang dialami individu

(dapat dilihat dalam gambar 2.1).

Bagan 2.1 Rentang respon kecemasan

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

(Stuart and Sundeen, 2010)

Stuart (2010) menggolongkan kecemasan dalam empat tingkat, yaitu :

1. Kecemasan ringan

Pada kecemasan ringan ini ketegangan yang dialami sehari-hari dan

menyebabkan pasien menjadi waspada dan lapangan persepsi

meningkat. Pada tingkat kecemasan ringan ini mendapat motivasi dan

menghasilkan kreativitas..
15

2. Kecemasan sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan

mengesampingkan hal yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang

persepsi individu. Dengan demikian individu mengalami penurunan

persepsi terhadap lingkungan serta perhatian yang selektif namun

dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk

melakukannya.

3. Kecemasan berat

Cemas berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu

cenderung berfokus pada suatu yang rinci dan spesifik serta tidak

berfikir tentang hal lain. Semua perilaku dipengaruhi oleh

ketidakmampuan mengendalikan diri. Individu tersebut memerlukan

banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Kecemasan panik

Ketakutan yang berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror.

Hal yang rinci terhadap dari proporsinya karena mengalami hilang

kendali, individu yang mengalami panik atau cemas berat sekali tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik atau cemas

berat sekali merupakan disorganisasi dan menimbulkan peningkatan

aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan

pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian.

Individu yang mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara


16

efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika

berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan

kematian.

Adapun menurut Videbeck (2011), kecemasan mempunyai

berbagai tingkat yaitu :

1. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan merupakan perasaan bahwa ada yang berbeda dan

membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan

membantu individu memfokuskan perhatian untuk belajar,

menyelesaikan masalah, berfikir, bertindak, merasakan dan melindungi

dirinya sendiri. Misalnya, kecemasan ringan membantu mahasiswa

berfokus pada informasi baru yang diberikan di kelas atau klinik.

2. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa ada

sesuatu yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup dan agitasi,

masih dapat menyelesaikan masalah dan belajar sesuatu yang baru

dengan assistance dari orang lain.

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu

yang berbeda da nada ancaman, ia memperlihatkan respon takut dan

distress. Pada kecemasan berat juga mengalami masalah dalam berfikir

dan alasan, individu mengalami restles, irritable, dan pemarah.


17

4. Kecemasan berat sekali atau panik

Pada tingkat ini semua pemikiran rasional berhenti dan individu

tersebut mengalami respon fight, flight, atau freze respon. Kebutuhan

untuk pergi secepatnya, tetap di tempat dan berjuang, atau menjadi

beku dan tidak dapat melakukan sesuatu.

7. Faktor-Faktor Kecemasan

Menurut Stuart and Sundeen 2010, faktor kecemasan dibagi menjadi

tiga, yaitu :

a. Faktor Predisposisi

1) Teori Psikoanalitis

Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua

elemen kepribadian id dan super ego. Id mewakili dorongan

insting dan impuls primitif, sedangkan super ego mencerminkan

hati nurani dan dikendalikan oleh budaya. Ego atau aku,

berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan

tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa

ada bahaya.

2) Teori Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan

dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan

dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu


18

dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan

yang berat.

3) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang

menggangu kemampuan individu untuk mencapai keinginan

yang diinginkan. Ahli teori lain menganggap kecemasan

merupakan suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan

diri untuk menghindari kepedihan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi atau stressor pencetus dikelompokkan dalam dua

kategori, yaitu :

1) Ancaman Terhadap Integritas Fisik

Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2) Ancaman Terhadap Rasa Aman

Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang didapat

menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap

sistem diri seseorang yang dapat membahayakan identitass, harga

diri dan fungsi sosial seseorang.

c. Perilaku

Kecemasan dapat diekspresikan langsung melalui perubahan

fisiologis dan perilaku secara tidak langsung timbulnya gejala atau


19

mekanisme koping dalam upaya mempertahankan diri dari

kecemasan. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan

peningkatan kecemasan.

8. Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan

sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang.

Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya

serangan kecemasan. Beberapa faktor penyebab yang menunjukkan reaksi

kecemasan, diantaranya :

a. Lingkungan

Kecemasan sering timbul bila seseorang merasa tidak aman dengan

lingkungannya.

b. Emosi yang ditekan

Kecemasan terjadi jika seseorang menekan rasa marah atau frustasi

dalam jangka waktu yang sangat lama serta ancaman terhadap sistem

diri yaitu adanya suatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri.

c. Sebab-sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi

seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari

suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-


20

perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan (Stuart and Sundeen, 2010).

Selain reaksi kecemasan, adapula beberapa penyebab dari

kecemasan itu sendiri, yaitu :

a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang

mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut,

karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran.

b. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal

yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan ini

sering pula menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang kadang-

kadang terlihat dalam bentuk yang umum.

c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.

Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak

berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan

takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.

d. Kecemasan hadir karena adanya suatu emosi yang berlebihan. Selain

itu, keduanya mampu hadir karena lingkungan yang menyertai, baik

lingkungan keluarga, sekolah, maupun penyebabnya (Kholil Lur

Rochman, 2010).

Kholil Lur Rochman juga menyebutkan faktor penyebab yang

mempengaruhi adanya kecemasan yaitu :

a. Lingkungan keluarga
21

Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran atau

penuh dengan kesalahpahaman serta adanya ketidakpedulian orang tua

terhadap anak-anaknya, dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta

kecemasan pada anak saat berada didalam rumah.

b. Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

kecemasan individu. Jika individu tersebut berada pada lingkungan

yang tidak baik, dan individu tersebut menimbulkan suatu perilaku

yang buruk, maka akan menimbulkan adanya berbagai penilaian buruk

dimata masyarakat. Sehingga dapat menyebabkan munculnya

kecemasan.

9. Usaha Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kecemasan

Menurut Pradipta (2014), ada beberapa cara yang dapat digunakan

oleh pasien diabetes untuk mengatasi kecemasan yang muncul dari dalam

diri agar hidupnya menjadi lebih baik dan lebih tenang.

a. Penerimaan diri dan penyakit

Individu cenderung ingin sempurna dan ketika individu tersebut

gagal memenuhi kriteria pribadi, individu tersebut merasa jijik dengan

diri sendiri. Penerimaan diri seharusnya membuat individu mencintai

diri sendiri dengan segala kesalahan yang ada dan peduli pada diri

sendiri meskipun mempunyai kekurangan. Kekurangan yang dipunyai

oleh seseorang adalah termasuk penyakit yang ada didalam tubuh

individu.
22

Tidak seorangpun yang ingin sakit dan tidak seorangpun yang

ingin terserang penyakit kronis. Seseorang akan melakukan segalanya

untuk melindungi kesehatan dan memperpanjang hidup meskipun

usaha terbaik itu suatu saat akan gagal.

b. Relaksasi

Ada banyak hal yang dapat individu lakukan untuk mengelola

kekhawatiran yang berlebihan, salah satunya adalah dengan metode

relaksasi. Metode ini terbukti dapat membuat perasaan seseorang

menjadi lebih baik. Ada dua metode relaksasi yang cukup mudah dan

murah untuk dilakukan, yaitu :

1) Olahraga

Olahraga secukupnya, diawali dengan berjalan kaki sekitar 15

sampai 20 menit akan membantu individu merasakan rileks apalagi

bila setelah berolahraga individu duduk dikursi yang nyaman,

memejamkan mata, dan melamun sejenak tanpa berupaya

mengendalikan arah peristiwa-peristiwa mental. Tubuh akan terasa

sangat rileks secara otomatis.

2) Mandi air hangat

Mandi dengan air hangat akan membuat otot-otot rileks secara

otomatis karena kehangatan akan memperbesar pembuluh darah

sehingga menghasilkan aliran darah yang lebih besar ke seluruh

tubuh.

c. Psikoterapi
23

Ada beberapa bentuk mengatasi kecemasan melalui pendekatan

psikoterapi :

1) Pendekatan psikodinamis

Pendekatan ini menggunakan teknik asosiasi bebas yaitu subjek

berbicara secara acak, tanpa tema atau alasan yang jelas sehingga

pada akhirnya subjek akan sedikit lebih lega karena mampu

menyatakan apa yang individu pikirkan atau kekhawatiran

individu.

2) Pendekatan kognitif

Para ahli yang menggunakan pendekatan kognitif mengasumsikan

bahwa individu tidak harus membiarkan pikiran-pikiran

berkecamuk dalam benak individu tersebut, melainkan harus

dikendalikan. Individu disarankan untuk mengubah pola pikirnya

dari yang negatif menjadi pola pikir yang positif.

3) Pendekatan humanistis

Pendekatan humanistis menyatakan bahwa individu memiliki

kehendak bebas dan individu bisa membuat pilihan-pilihan yang

sesungguhnya dan mengendalikan hidup individu tersebut.

Individu bisa memanfaatkan kemampuan yang dimiliki untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Pendekatan ini membantu


24

individu untuk menjadi tuan atas diri sendiri, termasuk tuan dari

hantu-hantu kecemasan yang berlebihan.

10. Pengukuran Kecemasan

Menurut Hamilton (1979) dalam buku Hawari (2009), instrument

yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan adalah Hamilton

Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok

gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala

yang lebih spresifik, yaitu :

a. Perasaan cemas

b. Ketegangan

c. Ketakutan

d. Gangguan tidur

e. Gangguan kecerdasan

f. Perasaan depresi (murung)

g. Gejala somatik (fisik otot)

h. Gejala sensorik

i. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah)

j. Gejala respiratori (pencernaan)

k. Gejala gastrointestinal (pencernaan)

l. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin)

m. Gejala autonomi

n. Tingkah laku sikap


25

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka skor antara

0-4, yang artinya adalah sebagai berikut :

a. 0 : Tidak ada gejala

b. 1 : Gejala ringan

c. 2 : Gejala sedang

d. 3 : Gejala berat

e. 4 : Gejala berat sekali

Masing-masing nilai (score) dari 14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

kecemasan seseorang, yaitu :

a. < 14 : Tidak ada kecemasan

b. 14-20 : Kecemasan ringan

c. 21-27 : Kecemasan sedang

d. 28-41 : Kecemasan berat

e. 42-56 : Kecemasan berat sekali.

B. Konsep Diabetes Melitus

1. Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012,

diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu kelompok penyakit metabolik

yang ditandai dengan kondisi hiperglikemi akibat gangguan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.


26

Menurut pendapat lain, diabetes melitus adalah suatu kumpulan

gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya

peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang

progresif (Soegondo, 2013). Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi,

meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam, kadar

gula darah yang normal pada pagi hari setelah makam sebelumnya

berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang

dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang

mengandung gula maupun karbohidrat.

2. Tipe Diabetes Melitus

Tipe diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan

dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu

munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak

disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah

seseorang berumur diatas 45 tahun disebut “adult diabetes”. Namun tipe

ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus

diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan

kebingungan untuk mengklasifikasikannya.


27

Diabetes melitus dapat dibedakan berdasarkan penyebab,

perjalanan klinik dan terapinya. Tipe diabetes melitus menurut ADA,

(2012) adalah :

a. Tipe I, Diabetes melitus tergantung insulin (Insulin Dependent

Diabetes Melitus [IDDM]).

Hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya menyebabkan

defisiensi insulin yang absolut.

b. Tipe II, Diabetes Melitus tidak tergantung inulin (non-insulin-

dependent diabetes melitus [NIDDM]).

Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi

latar belakang terjadinya resistensi insulin.

c. Diabetes melitus tipe spesifik lain

Misalnya, gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik

pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis),

dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

d. Diabetes melitus gestasional (gestasional diabetes melitus [GDM])

Diabetes melitus gestasional merupakan diabetes yang timbul pada

waktu hamil dan menghilang setelah melahirkan. Pada diabetes

melitus terdapat pada sekitar 1% wanita usia reproduksi dan 1-2%

diantaranya akan menderita diabetes melitus gestasional. Pada diabetes

melitus dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh ibu,

yaitu :
28

1) Ibu tersebut memang telah menderita diabetes melitus sejak

sebelum hamil.

2) Ibu mengalami atau menderita diabetes melitus saat hamil.

90% dari wanita hamil yang menderita diabetess termasuk ke

dalam kategori diabetes melitus gestasional. Kurang lebih 5% hingga 10%

penderita mengalami diabetes tipe I, yaitu diabetes yang tergantung

insulin. Pada diabetes jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan

normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu otoimun.

Sebagai akibatnya, penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan

kadar glukosa darah. Diabetes tipe I ditandai oleh awitan mendadak yang

biasanya terjadi pada usia 30 tahun.

Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe

II, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II terjadi

akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (yang disebut resisten

insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes tipe II

pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa darah

tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat

hipoglikemik oral. Pada sebagian penyandang diabetes melitus tipe II, obat

oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan

penyuntikan insulin. Di samping itu, sebagian penyandang diabetes tipe II

yang mengendalikan penyakit diabetesnya dengan diet, latihan dan obat

hipoglikemia oral mungkin memerlukan penyuntikan insulin dalam

periode stress fisiologik akut (seperti sakit atau pembedahan). Diabetes


29

tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30

tahun dan obesitas. Komplikasi diabetes dapat terjadi pada setiap individu

dengan diabetes tipe I atau tipe II dan bukan hanya pada pasien yang

memerlukan insulin (Gustaviani, 2014).

3. Etiologi

Etiologi diabetes melitus menurut Brunner dan Sudarth (2002) adalah :

a. Diabetes Tipe I

1) Faktor Genetik

Penderitan diabetes tidak mewarisi diabetes melitus tipe I itu

sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan

genetik ke arah terjadinya diabetes melitus tipe I. Kecenderugan

genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen

HLA.

2) Faktor-faktor imunologi

Adanya respon otoimun yang merupakan respon abnormal dimana

antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi

terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai

jaringan asing, yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans

dan insulin endogen.

3) Faktor lingkungan

Virus atau toksin terlalu dapat memicu proses otoimun yang

menimbulkan destruksi sel beta.


30

b. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor

genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65

tahun).

2) Obesitas.

3) Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh : orang tua atau

saudara kandung dengan DM tipe II) .

4. Patofisiologi

Insulin adalah sebagai pengangkut semua sari makanan ke seluruh

tubuh, pankreas sebagai penghasil insulin mengirimkan insulin ke usus

halus. Dalam usus halus ini terjadi penyerapan sari-sari makanan yang

dibutuhkan oleh tubuh. Karena gula darah meningkat maka insulin

meningkat. Insulin larut dalam pembuluh darah dan membawa sari

makanan ke seluruh sel dan organ tubuh. Apabila jumlah insulin tubuh

kurang, maka sari makanan atau glukosa tidak akan sampai maksimal,

akibatnya glukosa dalam darah menjadi menumpuk sehingga kadar gula

darah menjadi meningkat.

a. Tipe I, Diabetes melitus tergantung insulin (Insulin Dependent

Diabetes Melitus [IDDM]).


31

Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena

sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa

yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun

tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial

(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi,

ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring

keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin

(glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan

elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien

mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus

(polidipsi).

b. Tipe II, Diabetes Melitus tidak tergantung inulin (non-insulin-

dependent diabetes melitus [NIDDM]).

Non Insulin Dependent Melitus (NIDDM) atau Diabetes

Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena

kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah

turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh

hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,

artinya terjadi resistensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat

dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun


32

pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin

lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin,

yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu

rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi

insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel,

dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya

glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang

disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini

terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.

Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan

akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes

tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri

khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat

untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh

karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.

Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat


33

menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom

hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa

yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II

dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan

dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada

kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.

c. Diabetes melitus tipe spesifik lain

d. Diabetes melitus gestasional (gestasional diabetes melitus [GDM])

Didefinisikan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat

selama kehamilan (Brunner and Suddarth, 2002).

5. Tanda dan Gejala

Gejala klasik diabetes melitus berupa 3P, yaitu poliuria, polidipsia,

polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas sampai 5-10

kg dalam waktu 2 – 4 minggu. Keluhan lain yang sering muncul berupa

lemas, kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensi pada pria atau pruritus

vulva pada wanita (Diabetes Care, 2013).

Berbagai penyelidikan yang diperoleh, sering terdapat keluhan

yang berbeda-beda. Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi pada

daerah genital, ataupun daerah lipatan kulit lain seperti di ketiak dan

dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula


34

dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang lama tidak mau sembuh.

Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena

sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Pada wanita, keputihan merupakan

salah satu keluhan yang sering menyebabkan pasien datang ke dokter ahli

kebidanan dan sesudah diperiksa lebih lanjut ternyata DM yang menjadi

latar belakang keluhan tersebut. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah

terjadinya neuropati, juga merupakan keluhan pasien, di samping keluhan

lemah dan mudah merasa lelah. Pada pasien laki-laki terkadang keluhan

impotensi menyebabkan ia datang berobat ke dokter. Keluhan lain yang

mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah keluhan

mata kabur yang disebabkan katarak, ataupun gangguan refraksi akibat

perubahan-perubahan pada lensa yang disebabkan hiperglikemia. Keluhan

kabur tersebut mungkin pula disebabkan kelainan pada corpus vitreum.

Diplopia bonokuler akibat kelumpuhan sementara bola mata dapat pula

merupakan salah satu sebab pasien berobat ke dokter mata (Brunner dan

Sudarth, 2002).

6. Reaksi Emosional Yang Timbul Pada Penderita Diabetes Melitus

Saat seseorang dinyatakan mengidap penyakit diabetes melitus,

timbul gejolak dalam dirinya sehingga mengusik segi emosional penderita,

ini dikatakan oleh Soegondo (2013) dalam buku penatalaksaan diabetes

melitus terpadu edisi 2, segi emosional ini meliputi :

a. Sikap menyangkal
35

Banyak orang menyangkal sewaktu mengetahui dirinya menderita

diabetes, dan tidak mau menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani

kehidupan sebagai penderita diabetes. Bahkan ada penderita yang

memerlukan beberapa tahun sampai ia mau mengubah cara hidupnya.

Mereka tidak mau tahu bahwa banyaknya makanan dan kelebihan

berat badan sangat berhubungan dengan tingginya kadar gula darah,

dan juga berhubungan dengan gajala-gejala diabetes lainnya. Cara

mengatasi hal ini adalah dengan mengubah rasa tidak berdaya tersebut

menjadi rasa percaya diri. Dalam membangun rasa percaya dirinya,

penderita dapat melakukan sendiri atau penderita dibantu orang-orang

terdekat disekitarnya. Ada tiga faktor penting yang dapat membantu

pasien membangun rasa percaya diri, yaitu :

1) Pengetahuan atau pengertian mengenai diabetes.

2) Keterampilan atau kemampuan menangani diabetes setiap hari.

3) Kemampuan untuk mengendalikan emosi.

b. Obsesi

Obsesi adalah kebalikan dari sikap penyangkalan terhadap diabetes.

Penderita yang terobsesi biasanya sangat memperhatikan setiap hal

mengenai diabetesnya. Pasien akan melakukan semua syarat yang

harus dijalankan oleh seorang pengidap diabetes sesempurna dan

seketat mungkin, dengan demikian diabetesnya dapat dikendalikan,

tetapi sifat ini tidak akan berlangsung lama karena akan menimbulkan

kelelahan bagi penderita itu sendiri. Selain kelelahan, penderita juga


36

akan mengalami kekecewaan dan merasa bahwa diabetes akan

membatasi segala segi kehidupannya.

c. Marah

Keadaan emosional ini sering didapatkan pada pasien diabetes melitus

karena penderita merasa hidupnya terganggu atau tertekan dan merasa

kebebasannya dicabut. Penderita harus menerima banyak “larangan”

dan “keharusan” menyangkut kehidupannya sebagai penderita

diabetes. Kemarahan ini sering dipicu oleh sikap lingkungannya yang

tidak mendukung dirinya, misalnya keluarga atau teman mengawasi

makanannya, olahraganya, kadar gula darahnya, dan segala hal yang

bersangkutan dengan penyakit diabetes yang ada dalam dirinya. Hal ini

dapat diatasi dengan cara penderita harus dapat mengendalikan emosi

dan mencari cara yang sesuai dengan keinginan penderita sehingga

dapat mengurangi rasa marah. Penderita juga dapat memilih alternatif

makanan selain yang dilarang oleh lingkungannya.

d. Frustasi

Penderita diabetes sering merasa frustasi karena dirinya selalu

memikirkan tentang diabetesnya, kebebasannya yang terganggu, dan

berbagai macam pantangan dalam makanan. Penderita tidak sadar

bahwa rasa frustasi yang ada di dalam dirinya ini semakin memicu

naiknya tingkat gula darah.


37

e. Takut

Banyak hal yang menimbulkan ketakutan pada penderita diabetes,

misalnya takut disuntik insulin, takut mengalami komplikasi diabetes,

dan ketakutan akan kematian apalagi jika ada anggota keluarga atau

teman yang meninggal akibat komplikasi diabetes. Ketakutan ini dapat

menimbulkan gangguan emosi yang berat, seperti depresi, kecemasan,

dan gangguan makan. Sebenarnya rasa takut tersebut wajar saja dan

bila dapat dikendalikan dengan baik, ini akan memperkuat motivasi

untuk mengendalikan diabetes dengan baik.

f. Kecemasan (anxiety)

Penderita diabetes pada umumnya mengalami rasa cemas terhadap

segala hal yang berhubungan dengan diabetesnya, misalnya cemas

terhadap kadar gula yang tinggi, cemas terhadap komplikasi akibat

diabetes, dan sebagainya. Kecemasan ini diperkuat bila dalam waktu

enam bulan tersebut penderita mengalami minimal tiga dari enam

keadaan berikut :

1) Rasa gelisah atau khawatir yang berlebihan, seperti mau mendapat

musibah.

2) Kewaspadaan berlebihan sehingga mengganggu tidur, sukar

konsentrasi.

3) Mudah lelah.

4) Merasa pikiran kosong.

5) Mudah tersinggung.
38

6) Otot-otot tegang, tidak bisa santai.

g. Gangguan makan

Penderit diabetes biasanya sangat memperhatikan makanan sehari-

harinya terutama pada wanita muda yang memperhatikan berat

badannya karena selalu ingin langsing. Hal ini seringkali menimbulkan

gangguan makan, misalnya bulimia nervosa dan anoreksia nervosa.

7. Kecemasan Pada Penderita Diabetes Melitus

Individu yang mengidap diabetes melitus pada umunya

menghadapi masalah yang cukup kompleks berkaitan dengan penyakit

yang diderita sehingga dapat dipastikan bahwa segi emosional seorang

penderita diabetes melitus sangat bergejolak, banyak sikap yang akan

dimunculkan dan salah satunya adalah munculnya rasa cemas terhadap

segala hal yang berhubungan dengan diabetesnya, misalnya cemas

terhadap kadar gula yang tinggi, cemas terhadap komplikasi akibat

diabetes, dan sebagainya (Soegondo, 2013). Menurut Tjokroprawira

(2011), kecemasan dalam diri individu yang mengidap diabetes melitus

disebabkan oleh situasi pada diri individu yang dirasakan belum siap untuk

menghadapi masalah yang pada akhirnya akan menjadi suatu konflik

dalam diri individu, adanya ketegangan-ketegangan dalam alat-alat

internal dari tubuh, pengaruh dukungan dari orang-orang sekitar individu,

terdapat konflik yang menyebabkan individu merasa ditarik ke arah dua

perasaan yang berbeda sekaligus dan menimbulkan rasa yang tidak enak,
39

pengaruh lingkungan sekitar individu, dan juga kehilangan orang yang

dekat. Komplikasi dari penyakit yang cukup fatal bagi dirinya. Faktor-

faktor yang menyebabkan kecemasan pada individu yang mengidap

diabetes melitus ini seringkali menimbulkan gejala-gejala yang tidak logis

dan tidak mempunyai argumen yang realistis yang disebut khayalan atau

delusi. Khayalan-khayalan yang muncul dalam diri penderita biasanya

bersumber dari kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari yang

belum terjadi, yang biasanya berasal pemikiran-pemikiran yang tidak

menarik dari diri penderita sendiri.

Penderita diabetes melitus pada umumnya mengalami rasa cemas

terhadap segala hal yang buruk sejauh itu menyangkut penyakit diabetes

(komplikasi jangka panjang) yang belum tentu terjadi dalam diri penderita,

yang dianggap sebagai hukuman akibat pemuasan insting dalam diri

penderita. Diabetes akan semakin memburuk saat penderita dalam keadaan

cemas. Saat gula darah penderita diabetes melitus mulai meningkat, akan

muncul beberapa gejala yang menandai meningkatnya kadar gula dalam

tubuh seseorang, penderita sadar bahwa suatu hari nanti ada kemungkinan

penderita akan mengalami salah satu dari beberapa komplikasi dari

penyakit diabetes melitus dan komplikasi tersebut akan membawa

penderita pada kematian (Soegondo, 2013).


40

8. Kelompok resiko tinggi diabetes melitus

Kelompok resiko diabetes melitus menurut Brunner dan Sudarth

(2002) adalah sebagai berikut :

a. Kelompok usia dewasa ( >45 th).

b. Punya riwayat keluarga penderita DM.

c. Obesitas (Berat Badan (BB) (kg) >120% BB ideal (tinggi badan (cm)

– 100 ) – 10%).

d. Riwayat DM pada kehamilan.

e. Riwayat melahirkan bayi >4000 gr.

f. Tekanan darah >140/90 mmHg.

g. Dislipidemia (kadar HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserid > 250 mg/dl).

h. Pernah mengalami Gangguan Toleransi Glukosa (GTG).

9. Komplikasi

Menurut Diabetic care 2013, manifestasi komplikasi kronik dapat

terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) seperti

gangguan pada retina (retinopati), glomerulus ginjal (nefropati), syaraf

(neuropati) dan otot jantung (kardiomiopati). Komplikasi pada pembuluh

darah besar (makrovaskular) terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung

(penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).

Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi

(menyebabkan terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini

berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga
41

berkibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktural internal lainnya.

Komplikasi DM baik akut maupun kronis akan mulai muncul setelah

menderita lebih dari 3 tahun.

Kompliksi pada DM dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Komplikasi akut

1) Koma hipoglikemi

2) Ketoasidosis

3) Koma hiperosmolar nonketotik

b. Komplikasi kronik

1) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah

jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak

2) Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati

diabetika, nefropati diabetika

3) Neuropati diabetika Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru,

gingivitis dan infeksi saluran kemih

4) Kaki diabetika
42

Bagan 2.2 Kerangka Teori Kecemasan Pada Pasien Diabetes Melitus

Faktor Penyebab Kecemasan

A. Faktor Predisposisi
1. Teori Psikoanalitis Kecemasan
2. Teori Interpersonal
3. Teori Perilaku Pasien
B. Faktor Presipitasi Diabetes
1. Ancaman Terhadap melitus
Integritas Fisik
2. Ancaman Terhadap
Rasa Aman
C. Perilaku

= Tidak Di Teliti

= Di Teliti

(Sumber : Stuart and Sundeen, 2010).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka konseptual

Kerangka konseptual adalah suatu gabungan atau menghubungkan

beberapa teori sehingga membentuk sebuah pola pikir atau kerangka pikir

penelitian yang akan dilakukan (Suyanto, 2011). Menurut Hawari (2011),

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai

dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas,

kepribadian masih utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian atau

splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam

batas-batas normal. Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu kelompok

penyakit metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat

gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American

Diabetes Association, 2012).

Menurut Hamilton (1979) dalam buku Hawari (2009), instrument

yang digunakan adalah instrument Hamilton Rating Scale for Anxiety

(HRS-A) dapat mengukur perbedaan kecemasan, dalam hal kecemasan

ringan, sedang, berat, dan berat sekali. Masing-masing kelompok gejala

diberi penilaian angka skor antara 0-4. Nilai 0 untuk tidak ada kecemasan,

nilai 1 untuk cemas ringan, nilai 2 untuk cemas sedang, nilai 3 untuk

cemas berat dan nilai 4 untuk cemas berat sekali. Masing-masing dari nilai

43
44

tersebut lalu dijumlahkan, maka akan diketahui derajat kecemasan

seseorang. Nilai derajat kecemasan seseorang adalah :

a. < 14 : Tidak ada kecemasan

b. 14-20 : Kecemasan ringan

c. 21-27 : Kecemasan sedang

d. 28-41 : Kecemasan berat

e. 42-56 : Kecemasan berat sekali

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual “Gambaran Tingkat Kecemasan

Pada Pasien Diabetes Melitus Di Klinik Medika Antapani

Kota Bandung 2015”

1. Adanya komplikasi
2. Peningkatan kadar gula
darah
Pasien penderita Kecemasan 3. Penyembuhan luka yang
pasien diabetes
diabetes melitus lama sembuh
melitus
4. Kurang menjaga
manajemen emosional
5. Kurang aktivitas

B. Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel yang di amati atau diteliti, definisi operasional


45

juga mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel

yang bersangkutan serta pengembangan alat ukur (Notoatmodjo, 2012).

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki dan didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu

konsep pengertian tertentu (Suyanto, 2011).

Tabel 3.2 Definisi Operasional “Gambaran Tingkat Kecemasan Pada

Pasien Diabetes Melitus Di Klinik Medika Antapani

Kota Bandung 2015”

Definisi Alat Cara Hasil Skala


Variabel
Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Tingkat Suatu tingkatan Hamilton Kuesioner a. <14 : Tidak Ordinal
kecemasan gangguan perasaan Rating ada kecemasan
yang terjadi pada Scale for b. 14-20 :
pasien diabetes
Anxiety Kecemasan
melitus ditandai
dengan perasaan (HRS-A) ringan
ketakutan atau c. 21-27 :
kekhawatiran Kecemasan
terhadap sedang
penyakitnya baik d. 28-41 :
diabetes tipe I Kecemasan berat
(IDDM) maupun
e. 42-56 :
diabetes tipe II
(NIDDM) di Kecemasan berat
Klinik Medika sekali (panik)
Antapani
Bandung.
46

C. Rancangan Penelitian

1. Jenis penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat

empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu cara ilmiah, data, tujuan

dan kegunaan (Sugiono, 2012).

Jenis metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah jenis

deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian

yang dilakukan dengan tujuan untuk menerangkan atau menggambarkan

suatu masalah penelitian yang terjadi berdasarkan pada karakteristik

tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, pekerjaan, status, cara hidup,

dan lain-lain yang dapat terjadi pada lingkungan individu, kelompok,

masyarakat (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini adalah untuk

memperoleh gambaran tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus

di Klinik Medika Antapani Kota Bandung.

2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data

Metode penelitian survei merupakan penelitian yang dilakukan

tanpa melakukan intervensi terhadap subjek penelitian (pasien diabetes

melitus). Sehingga sering disebut penelitian noneksperimen

(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui

sejauh mana tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus di Klinik

Medika Antapani Bandung.


47

3. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian (Suyanto,

2011). Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua

pasien diabetes melitus yang ada di Klinik Medika Antapani

Bandung. Menurut laporan yang didapat dari petugas kesehatan di

Klinik Medika Antapani Bandung, pada 1 bulan terakhir yaitu bulan

Maret 2015 terdapat 78 orang pasien diabetes melitus yang rutin

mengikuti PROLANIS.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti

(Arikunto, 2013). Cara pengambilan sampel ini adalah menggunakan

teknik accidental sampling.

Teknik accidental sampling dilakukan dengan mengambil

kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu

tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Pengambilan sampel dilakukan 3 minggu pada hari jum’at di Klinik

Medika Antapani Bandung yang setiap minggunya mengadakan

PROLANIS pada hari Jum’at untuk melakukan senam diabetes.

Selain adanya senam diabetes, Klinik Medika Antapani Bandung

juga mengadakan beberapa program, yaitu minggu pertama

konsultasi dokter, minggu ke dua pendidikan kesehatan, minggu ke


48

tiga schering atau istirahat, serta minggu ke empat pengecekan gula

darah.

Dalam penelitian ini kriteria sampel meliputi :

1) Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel

(Notoatmodjo, 2012).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a) Responden yang terdaftar sebagai anggota PROLANIS

b) Responden dengan diabetes melitus yang ada di Klinik

Medika Antapani Kota Bandung

4. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki dan didapatkan oleh satuan penelitian tentang

sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2012). Dalam

penelitian ini peneliti mengambil satu variabel independen atau bebas

yaitu Gambaran tingkat kecemasan pada pasien Diabetes Melitus di

Klinik Medika Antapani Kota Bandung 2015.

5. Instrumen Penelitian

Didalam pengumpulan data dengan cara apapun selalu diperlukan

suatu alat yang disebut instrumen pengumpulan data (Notoatmodjo,


49

2012). Instrumen merupakan alat bantu bagi peneliti dalam

mengumpulkan data (Arikunto, 2013).

Instrumen penelitian digunakan untuk proses pengumpulan data

yang memudahkan peneliti untuk mendapatkan data dari lapangan.

Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur Hamilton Rating

Sclae for Anxiety yang memiliki 14 kelompok digunakan untuk

mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan,

sedang, berat atau berat sekali (Hamilton (1979) dalam buku Hawari,

2009).

Selain menggunakan alat bantu berupa HRS-A, peneliti juga

menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang akan dibagikan secara

langsung kepada responden yang telah ditentukan sebelumnya yaitu

penderita diabetes melitus. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan

tertulis yang diabaca dan dijawab oleh responden penelitian (Suyanto,

2011).

a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012).

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau

tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap
50

gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama

(Notoatmodjo, 2012).

Uji validitas pada penelitian ini tidak dilakukan karena HRS-A

(Hamilton Rating Scale for Anxiety) telah di uji validitas dan

reliabilitasnya oleh Nursalam (2013) dalam penelitiannya mendapat

kolerasi dengan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) (r hitung =

0,57 – 0,84 dan r total = 0,349) terhadap 30 responden. Sedangkan HRS-A

merupakan alat ukur tingkat kecemasan yang sudah baku dan diterima

secara internasional. Menurut Sugiyono (2012) hasil koefisien

reliabilitas dianggap reliabel bila hasil menunjukkan angka (r = diatas

0,40). Hal ini menunjukkan bahwa Hamilton Rating Scale for Anxiety

(HRS-A) cukup valid dan reliabel digunakan sebagai instrument.

Menurut pendapat lain dari Aceh (2012), skala HRS-A pertama

kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton

dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan

terutama pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini

menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala

HRS-A akan diperoleh hasil yang valid dan reliabel.

6. Metode Pengumpulan Data

Dalam proses pengambilan data, peneliti menyebutkan tujuan dari

penelitian dan memberikan informed consent atas kesediannya menjadi

responden. Kemudian dalam pengukuran tingkat kecemasan, peneliti


51

membagikan kuesioner kepada responden. Kuesioner ini diajukan secara

tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan informasi, jawaban

dan sebagainya. Peneliti meminta responden untuk mengisi kuesioner

yang telah disediakan, kuesioner yang diberikan berupa pertanyaan,

responden hanya memilih jawaban sesuai dengan yang diketahui

responden atau yang dirasakan oleh responden. Kuesioner tersebut

adalah berupa kuesioner langsung yang diberikan kepada orang yang

dimintai informasi tentang dirinya sendiri. Lembaran kuesioner yang

telah terisi oleh responden kemudian dikumpulkan lalu akan diolah oleh

peneliti.

7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

a. Teknik Pengolahan

Dalam suatu penelitian, data merupakan salah satu langkah yang

penting. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari

penelitian masih mentah, belum siap untuk disajikan. Untuk memperoleh

penyajian data sebagai hasil yang berarti dan kesimpulan yang baik,

diperlukan pengolahan data (Notoatmodjo, 2012). Data diolah melalui

tahapan sebagai berikut :

1) Editing (penyuntingan data)

Editing adalah evaluasi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian

antara karakteristik data yang diperlukan untuk menjawab tujuan

penelitian. Peneliti memeriksa data yang telah terkumpul baik


52

secara pengisian, maupun kesalahan dalam pengisian, dan

konsistensi dari setiap jawaban yang terdapat dalam kuesioner.

2) Coding (pengkodean data)

Coding adalah mengubah jawaban yang berbentuk huruf ke dalam

bentuk angka sehingga memudahkan mengentri data. Untuk

variabel kecemasan 0 untuk tidak ada kecemasan, 1 untuk

kecemasan ringan, 2 untuk kecemasan sedang, 3 untuk kecemasan

berat, 4 untuk kecemasan berat sekali.

3) Tabulating Data (perhitungan data)

Tabulating data adalah pengorganisasian data agar dapat dengan

mudah dijumlahkan, disusun dan di tata untuk disajikan secara di

analisis data yang sudah dimasukan ke dalam komputer di tata ke

dalam tabel dengan rapi.

4) Entry Data

Entry data adalah jawaban-jawaban dari masing-masing responden

yang dalam bentuk kode dimasukan ke dalam program atau

software komputer.

Software komputer ini bermacam-macam, masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangannya. Salah satu paket program yang

paling sering digunakan untuk entry data. Dalam proses ini juga
53

dituntut ketelitian dari orang yang melakukan entry data ini.

Apabila tidak, maka akan terjadi bias meskipun hanya memasukan

data saja.

5) Cleaning

Cleaning adalah apabila semua data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukan, perlu di cek kembali untuk melihat

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan,

dan sebagainya. Kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

Proses ini disebut pembersihan data.

b. Analisa Data

Dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk ke

dalam jenis penelitian deskriptif sehingga peneliti menganalisis

datanya menggunakan program komputer yang dimana hasil dan

penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distributive frecuency.

Pada instrumen HRS-A, apabila jawaban tidak ada

kecemasan diberi skor 0, jawaban kecemasan ringan diberi skor 1,

jawaban kecemasan sedang diberi skor 2, jawaban kecemasan berat

diberi skor 3, jawaban kecemasan berat sekali diberi skor 4.

Penilaian terdiri dari 14 pertanyaan dan hasil dari setiap pertanyaan

dijumlahkan kemudian dikelompokkan ke dalam 5 kategori yaitu :

Skor kurang dari 14 (0 - 23,21%) : Tidak ada kecemasan

Skor 14-20 (25 – 35, 71%) : Kecemasan ringan


54

Skor 21-27 (37, 5 – 48,21%) : Kecemasan sedang

Skor 28-41 (50 – 3,21%) : Kecemasan berat

Skor 42-56 (75 – 100%) : Kecemasan berat sekali

Data tersebut dikategorikan dengan skala pengukuran yaitu

skala ordinal. Skala ordinal yaitu data yang dikategorikan dan

dapat diurutkan dalam kisaran terendah sampai tertinggi (Suyanto,

2011).
55

8. Jadwal Penelitian

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian “Gambaran Tingkat Kecemasan

Pada Pasien Diabetes Melitus Di Klinik Medika Antapani

Kota Bandung 2015”

Waktu Pelaksanaan
No Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Tempat
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
STIKes
tema dan
DHB
proposal
2 Bimbingan
judul dan STIKes
bimbingan DHB
proposal
3 Desk Evaluasi STIKes
DHB
4 PKK
Ciporeat,
(Keluarga,
Ujung
Gerontik,
Berung
Komunitas)
5 Perizinan Klinik
penelitian Medika
Antapani
Bandung
6 Pengambilan Klinik
data Medika
Antapani
Bandung
7 Pengolahan STIKes
data DHB
8 Bimbingan
STIKes
hasil
DHB
penelitian
9 Ujian sidang STIKes
DHB
10 Perbaikan STIKes
DHB
56

9. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan langkah-

langkah sebagai berikut :

a. Lembar persetujuan menjadi responden (Informed Consent)

Informed Consent yaitu penjelasan kepada responden

mengenai penelitian yang akan dilakukan sehingga tidak ada

tuntutan dikemudian hari sehingga tidak ada yang merasa

dirugikan dari kedua belah pihak, baik peneliti maupun responden

(Nursalam, 2013).

Responden sebelumnya diberikan penjelasan mengenai

tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila responden

bersedia untuk diteliti maka mereka diminta menandatangani

lembar persetujuan menjadi responden dengan terlebih dahulu

diberi kesempatan untuk membaca isi lembar tersebut, dan jika

responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan

tetap menghormatinya.

b. Kerahasiaan (Confidentialty)

Kerahasiaan yang diberikan kepada responden dijamin oleh

peneliti (Notoatmodjo, 2012). Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.


57

c. Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian,

maka peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lebar

kuesioner data, cukup dengan memberi nomor kode pada masing-

masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti (Arikunto,

2013).

Dalam penelitian ini, peneliti akan menjaga kerahasiaan

nama pasien dan hanya akan memberikan nomor kode atau nomor

responden saja pada lembar kuesioner.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Setelah dilaksanakan penelitian kepada pasien diabetes melitus yang

terdapat di Klinik Medika Antapani Kota Bandung yang telah memenuhi

syarat, didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi “Gambaran Tingkat Kecemasan Pada


Pasien Diabetes Melitus Di Klinik Medika Antapani
Kota Bandung 2015”
Kategori Frekuensi Persentase
Tidak Ada Kecemasan 37 61.7
Kecemasan Ringan 13 21.7
Kecemasan Sedang 8 13.3
Kecemasan Berat 2 3.3
Total 60 100%

Dilihat dari tabel di atas dari 60 pasien diabetes melitus yang

dijadikan responden terdapat 37 pasien diabetes melitus atau 61,7% tidak

mengalami kecemasan pada penyakitnya, 13 pasien diabetes melitus atau

sebesar 21,7% mengalami kecemasan ringan, 8 pasien diabetes melitus

atau sebesar 13,3% mengalami kecemsan sedang dan 2 pasien diabetes

melitus atau sebesar 3,3% mengalami kecemasan berat, serta tidak ada

pasien diabetes melitus yang mengalami kecemasan berat sekali atau

panik.

58
59

B. Pembahasan

Seorang pasien diabetes melitus rentan diserang oleh komplikasi akibat

penyakit diabetes melitus dalam bentuk yang berbeda-beda. Komplikasi yang

dihadapi oleh pasien diabetes melitus tidak hanya resiko amputasi bagian tubuh

tertentu tetapi juga gagal ginjal, kebutaan, stroke, atau jantung koroner. Ketika

mengetahui kemungkinan munculnya komplikasi, maka pasien diabetes

seringkali merasa cemas menebak-nebak komplikasi yang akan menyerang

dirinya.

Kecemasan yang timbul ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu faktor lingkungan, emosi yang ditekan, dan sebab-sebab fisik. Faktor-

faktor tersebut sering menyebabkan meningkatnya glukosa darah responden

(Stuart and Sundeen, 2010). Saat pasien kurang mengontrol pola makan dan

kondisi emosionalnya inilah seringkali menyebabkan tingkat gula darah

meningkat cukup tinggi. Banyak bukti yang memperlihatkan berulang kali

bahwa dalam keadaan cemas, kadar gula dalam darah pasien akan meningkat

lebih cepat dibandingkan pengonsumsian makanan secara sembrono

(Tjokroprawira, 2011).

Kecemasan (ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality

Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak


60

mengalami keretakan kepribadian/Splitting of Personality), perilaku dapat

terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2011).

Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dibagikan kepada responden

diperoleh informasi yang menggambarkan tingkat kecemasan pada pasien

diabetes melitus. Tingkat kecemasan pada pasien diabetes di Klinik Medika

Antapani Bandung tersebut ada yang berada pada tingkat tidak mengalami

kecemasan, kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat.

Sebagimana dengan teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

teori dari Stuart dan Videbeck tentang tingkatan kecemasan yang dibagi dalam

kategori ringan, sedang, berat dan berat sekali. Teori tentang tingkat kecemasan

tersebut yang peneliti gunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan

pada pasien diabetes melitus di Klinik Medika Antapani Bandung.

Dapat dilihat bahwa dari responden yang diteliti tingkat kecemasan

pada pasien diabetes melitus di Klinik Medika Antapani Bandung yaitu

sejumlah 37 orang (61,7%) tidak mengalami kecemasan, 13 orang (21,7%)

mengalami kecemasan ringan, 8 orang (13,3%) mengalami kecemasan sedang

dan 2 orang (3,3%) mengalami kecemasan berat. Dari hasil penelitian

dilapangan mengenai tingkat kecemasan pada pasien diabetes melitus di Klinik

Medika Antapani Kota Bandung yang sebagian besar menujukkan bahwa

pasien diabetes melitus berada dalam kategori tidak ada kecemasan. Hal ini

kemungkinan sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan yang baik sehat secara

fisik, psikis, maupun sosial. Kondisi sehat yang baik pada pasien diabetes

melitus dapat melakukan aktivitas sehari-hari.


61

Menurut pendapat beberapa ahli, kecemasan dalam diri individu yang

mengidap diabetes melitus disebabkan oleh situasi pada diri individu yang

dirasakan belum siap untuk menghadapi masalah yang pada akhirnya menjadi

suatu konflik dalam diri individu. Berbagai usaha dilakukan responden untuk

mengurangi kecemasan yang muncul dalam diri responden. Cara termudah

yang dapat dilakukan semua responden adalah dengan berolahraga secara

teratur. Olahraga menjadi salah satu cara yang dilakukan responden untuk

mengurangi kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran responden sekaligus

bisa berfungsi sebagai cara untuk rekreasi dan membantu membakar kalori

dalam tubuh responden sehingga gula darah responden lebih stabil. Bagi semua

responden, olahraga tersebut memberikan efek yang baik untuk penurunan

kadar gula dalam darah dan juga dapat memberikan kekuatan dan hiburan

ketika merasa cemas dalam diri responden muncul. Bahkan sebagian responden

di Klinik Medika Antapani Bandung merasa sehat dan menikmati hidup dengan

diabetes melitus.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian di Klinik Medika Antapani Kota Bandung

2015 yaitu menunjukkan bahwa dari 60 responden yang telah diteliti, 37

responden atau 61,7% termasuk kategori tidak mengalami kecemasan.

B. Saran

1. Untuk Institusi

Diharapkan agar penelitian ini dijadikan bahan informasi dan

penambah wawasan untuk Mahasiswa/I STIKes Dharma Husada

Bandung khususnya agar mengetahui gambaran tingkat kecemasan

pada pasien diabetes melitus serta untuk peneliti selanjutnya agar

mencoba melakukan penelitian ini pada responden yang lebih banyak

dan lebih beragam bukan hanya pada diabetes melitus tetapi penyakit

kronis lainnya.

2. Bagi pasien diabetes melitus

Untuk pasien diabetes melitus baik yang sudah mengalami kecemasan

maupun yang tidak mengalami kecemasan, diharapkan untuk tetap

menjaga manajemen emosional seperti kecemasan serta mengubah

pola pikir yang selama ini negatif menjadi pola pikir yang positif dan

memotivasi diri untuk tetap sehat dengan menjaga kestabilan tingkat

62
63

gula darah, sebaiknya pasien diabetes melitus sering melakukan

sharing, membaca buku tentang diabetes melitus, relaksasi baik itu

dengan olahraga atau melakukan aktivitas lainnya. Pasien diabetes

melitus juga sebaiknya lebih giat untuk mengikuti program-program

yang sudah tersedia di Klinik Medika Antapani Kota Bandung agar

tidak mengalami kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai