Anda di halaman 1dari 40

1

2
3
4
5
6
7
8
9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Jual Beli

Jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan beli”, kata jual beli

menunjukkan adanya perbuatan menjual, sedangkan beli menunjukkan adanya

perbuatan membeli. Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan

adanya suatu perbuatan dalam satu kegiatan, yaitu pihak penjual dan pihak

pembeli. Maka dalam hal ini terjadilah transaksi jual beli yang mendatangkan

akibat hukum.

Secara lughawi (dalam bahasa arab) jual beli adalah bai’i, berarti

menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-

bai’i dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,

yakni kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian makna al-bai’i berarti “jual”,

tetapi sekaligus juga berarti “beli”. Dalam fiqih Islam dibahas secara luas oleh

ulama fiqih, sehingga dalam berbagai literatur ditemukan pembahasan dengan

topik al-Bayu’ (kitab jual beli)1.

Sedangkan menuruut Sayyid Sabiq mengatakan jual beli ialah

pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan

milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.2

1
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Nvan
Hoeve, 1999), Jilid 3, Hal:87.
2
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group,
2012) Hal : 67
10

Dalam pengertian jual beli menurut istilah fuqaha’, terdapat

beberapa pendapat di kalangan parra Imam Madzhab, yakni :

1. Madzhab Hanafi

Menurut Madzhab Hanafi, jual beli mengandung dua makna, yakni :

a. Makna khusus, yaitu barang dengan dua mata uang, yakni emas dan

perak dan yang sejenisnya.

b. Makna umum, yaitu ada dua belas macam diantaranya adalah makna

khusus ini.

2. Madzhab Maliki

Menuurut Madzhab Maliki, jual beli atau bai’ menurut istilah ada dua

pengertian, yakni :

a. Defenisi untuk seluruh satuannya bai’ (jual beli), yang mencakup akad

sharf, salam (jual beli degan cara titip) dan lain sebagainya.

b. Defenisi untuk satu satuan dari beberapa satua yaitu sesuatu yang

dipahamkan dari lafal bai’ secara mutlak menurut ‘urf (adat

kebiasaan).

3. Madzhab Syafi’i

Ulama madzhab Syafi’I mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’

ialah akad penukaran harta dengan cara tertentu.


11

4. Madzhab Hambali

Menurut ulama Hambali jual beli menurut syara’ ialah menukarkan harta

dengan harta atau dengan menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu

manfaat yang mubah pula untuk selamanya.3

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli

adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai

nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-

benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau keuntungan

yang telah ditetapkan syara’ dan disepakati4.

Aspek yang terpenting dalam berekonomi dalam kehidupan sosial

masyarakat adalah menyangkut masalah jual beli, mengenai jual beli itu

sendiri pengertiannya adalah tukar menukar satu harta dengan harta yang

lainnya melalui jalan suka sama suka. Atau pertukaran harta atas dasar saling

rela, yaitu memindahkan hak milik kepada seseorang dengan ganti rugi yang

dapat dibenarkan5.

3
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahibi al-Arba’ah, Penerjemah: Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fiqh Empat Madzhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), Hal :312
4
Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), Hal: 69.
12

B. Dasar Hukum Jual Beli

Hukum Islam adalah hukum yang lengkap dan sempurna,

kesempurnaan sebagai ajaran kerohanian telah dibuktikan dengan seperangkat

aturan-aturan untuk mengatur kehidupan, termasuk didalamnya menciptakan

hubungan ekonomi dengan baik sesuai dengan ajaran Islam.

Jual beli sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu zaman para

Nabi. Sejak zaman itu jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh

masyarakat hingga saat ini. Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual

beli dalam islam yaitu :

1. Al-Qur’an

Islam telah mensyari’atkan jual beli dengan dalil yang berasal

dari bermacam sumber, misalnya al-Qur’an. Pada dasarnya hukum jual

beli adalah halal, dan riba hukumnya haram, namun hukum jual beli

sendiri bisa disesuaikan dengan kondisi. hukum jual beli. Hukum jual beli

tidak hanya halal, bisa haram, mubah, ataupun makruh tergantung pada

pemenuhan rukun, syarat, maupun hal lainnya. Selain itu dalam

melakukan jual beli, barang yang diperjualbelikan dapat menjadikan

barang yang diperjual belikan mnjadi sunnah dan wajib. Barang yang

diperjualbelikan hukumnya sunnah yaitu seperti menjual minyak wangi.

Jual beli hukumnya haram jika tidak memenuhi rukun dan syarat

yang diperbolehkan oleh islam, juga tidak mengandung unsur penipuan.

Serta jual beli yang hukumnya makruh apabila barang yang

diperjualbelikan itu hukumnya makruh seperti rokok.


13

Allah mensyari’atkan jual beli ini sebagai pemberian keluangan

dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya sebagaimana firman

Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 :

Terjemahnya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah, orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.6

Maksud dari potongan ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah

memperbolehkan orang melakukan jual beli, dan pada saat bersamaan

Allah mengharamkan perbuatan riba.

6
Departemen Agama RI, op,cit.,Hal : 33
14

Kemudian di dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 Allah SWT

berfirman :

Terjemahnya :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”.7

Ayat ini memberikan penegasan bahwa Allah melarang manusia

dari memakan harta sesame mereka secara batil, seperti dengan cara

menipu, menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok

untuk menaikkan harganya, dan beberapa perbuatan lain yang dilarang

adalah termasuk kepada diantaranya melakukan riba. Serta sebagai

pemukanya adalah riba.

Berdasarkan kedua ayat di atas bahwa Allah SWT

memperbolehkan kepada manusia untuk melaksanakan transaksi jual beli

demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi tentu saja transaksi jual

beli itu harus seusai dengan koridor atau ketentuan yang telah Allah SWT

berikan.

7
Departemen Agama RI, op,cit.,Hal : 83
15

2. Hadits

Hadits yang menerangkan tentang jual beli ada banyak sekali,

sekedar gambaran berikut ini diketengahkan 2 hadits berkenaan hal itu

yakni :

Artinya:
“ Mewartakan Ibrahim bin Musa, bercerita Isa, dari Tsaur, dari
Khalid Bin Ma’dan, dari Miqdan r.a dari Rasulullah SAW,
sabdanya: tidak ada makanan yang dimakan seseorang sekali-kali
tidak, yang lebih baik daripada memakan makanan hasil usaha
tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daus a.s., makan dari
hasil usahan tangan beliau sendiri8. (HR Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan uraian hadits di atas bahwa manusia yang baik

memakan suatu makanan berdasarkan hasil usaha tangannya sendiri. Hasil

usaha disini yakni sesuatu yang kita hasilkan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari dengan bekerja yang halal serta tidak mendzolimi hak orang

lain agar kita juga dapat mendapatkan hasil.

8
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shaih Bukhori, Jilid III, Syirkah Al Maktabah
Litab’I Wan Nasr Indonesia, t.t. Hal: 12
16

3. Ijma.

Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah

sepakat bahwa jual beli itu boleh-boleh saja dilakukan, asal saja dalam jual

beli tersebut telah terpenuhi rukun dan syarat yang diperlakukan untuk jual

beli dipenuhi.

Artihnya:
“ Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”.

Telah diuraikan di atas dapat dijadikan dasar hujjahdalam

menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan jual beli. Artinya

jual beli diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut memenuhi

ketentuan yang telah ditentukan di dalam rukun dan syarat yang

disesuaikan dengan hukum Islam.

Ulama telah bersepakat bahwa jual beli di perbolehkan dengan

alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya,

tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang

lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang

sesuai9.

Para ulama fiqih mengambil suatu kesimpulan. Bahwa jual beli itu

hukumnya mubah (boleh), namun menurut imam asy-syatibi’ (ahli fikih

madzhab Imam Maliki) hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi

9
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Hal:75.
17

tertentu. Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi suatu

ihtikar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan atau stok hilang dari

pasar dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu maka

pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai

dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu10.

Mengenai hak dan kewajiban yang akan dihubungkan hanyalah

hukum Islam dan hukum barat. Dalam sistem hukum Islam kewajiban lebih

diutamakan dari hak, sedangkan dalam hukum barat hak didahulukan dari

kewajiban11.

Berdasarkan beberapa sandaran sebagai dasar hukum yang telah

disebutkan diatas membawa kita dalam suatu kesimpulan bahwa jual beli

adalah suatu yang disyaratkan dalam Islam. Maka secara pasti dalam praktek

ia tetap dibenarkan dengan memperlihatkan persyaratan yang terdapat dalam

jual beli itu sendiri.

10
M. Ali Hasan, Op.,cit, Hal:117
11
Muhammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta :
PT. Grafindo Persada,2002), edisi-6, Hal: 200
18

C. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah merupakan suatu kepastian. Tanpa

adanya rukun dan syarat tentulah tidak akan terlaksana menurut hukum,

karena rukun dan syarat tidak bisa dikesampingkan dari suatu perbuatan dan

juga termasuk bagian dari perbuatan tersebut12.

1. Rukun Jual Beli

Jual beli sah apabila unsure-unsur yang menyebabkan sahnya jual

beli terpenuhi. Adapun rukun yang dimaksud dapat dilihat dari pendapat

ulama dibawah ini adalah13 :

a. Akad (Ijab Qabul). Ijab adalah pernyataan yang disampaikan pertama

oleh satu pihakyang disampaikan menunjukkan kerelaan, baik

dinyatakan si penjual, maupun si pembeli, sedangkan Qabul adalah

pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak

yang melakukan akad. Dari pengertian ijab dan qabul yang

dikemukakan oleh jumhur ulama dapat dipahami bahwa penentuan

ijab dan qabul bukan dilihat dari siapa yang akan memiliki.

b. Orang yang berakad (penjual dan pembeli). Pnjual dan pembeli atau

disebut ‘aqid adalah orang yang melakukan akad.

12
M. Ali Hasan, op.cit, Hal: 118
13
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), Hal : 115
19

c. Ma’qud ‘Alaih (Objek akad). Ma’qud ‘Alaih atau objek akad jual beli

adalah barang yang dijual dan harga/uang. Jika suatu pekerjaan tidak

terpenuhi rukun dan syaratnya maka pekerjaan itu akan batal karena

tidak sesuai dengan ketentuan syara.

Jual beli dapat dikatakan sah apabila kedua belah pihak

memenuhi rukun dalam jual beli tersebut. Secara bahasa rukun adalah

“yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”.14

Menurut Jumhur ulama terdapat tiga rukun jual beli, yaitu :

a. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).

b. Ada sighat (lafal ijab dan qabul).

c. Ada barang yang dibeli atau mu’qadalaih.

Semua barang dan sejenisnya boleh diperjuaal belikan meskipun

najis, selama barang tersebut penggunaannya tidak untuk dimakan dan

memenuhi syarat sebagai berikut15 :

a. Dapat diambil manfaatnya

Menjual belikan binatang serangga, ular, semut, tikus, atau binatang-

binatang lainnya yang buas adalah tidak sah kecuali untuk

dimanfaatkan. Adapun jual beli harimau, buaya, kucing, ular dan

binatang lainnya yang berguna untuk berburu atau dapat dimanfaatkan

maka diperbolehkan.

14
Hendi Suhendi, Op.Cit. Hal 75
15
Rachmat Syafei, Op.Cit. Hal 76
20

b. Milik orang yang melakukan akad

Menjual belikan sesuatu barang yang bukan menjadi miliknya sendiri

atau untuk tidak mendapatkan ijin dari pemiliknya adalah tidak sah.

Karena jual beli baru bisa dilaksanakan apabila yang berakad tersebut

mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.

c. Dapat diserah terimakan

Barang yang diakadkan harus dapat diserahterimakan secara cepat atau

lambat, tidak sah menjual binatang-binatang yang sudah lari dan tidak

dapat dianggap lagi, menjual burung yang terbang di udara, atau

barang yang sulit dihasilkannya. Transaksi barang seperti ini

diharamkan karena mengandung gharar atau spekulasi berupa menjual

barang yang tidak dapat diserhakan.

d. Hak milik

Barang yang diperjual belikan merupakan hak milik penuh, seseorang

bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dan

ridha dari pemilik barang. Karena yang menjadi tolak ukur di dalam

muamalah adalah ridha pemiliknya.

e. Dapat diketahui

Barang yang sedang dijual belikan harus diketahui banyak, berat atau

jenisnya, serta harganya harus diketahui sifat, jumlah maupun

masanya. Selain itu tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan

cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli.


21

2. Syarat jual beli

Agar jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli

sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :16

a. Subjek

Subjek atau aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini

bisa dua atau beberepa orang melakukan akad, adapun syarat-syarat

bagi orang yang melakukan akad jual beli adalah :

1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang

belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun

anak kecil yang mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila

akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya, seperti

menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah.

2) Kehendaknya sendiri, artinya tidak ada unsur pemaksaan

kehendak baik dari penjual atau pembeli dalam transaksi jual

beli. Unsur yang dikedepankan adalah adanya kerelaan (suka

sama suka) antara penjual dan pembeli.

3) Keduanya tidak mubazir (pemborosan), sebab harta orang yang

mubazir itu ditangan walinya.

4) Baligh, berumur 15 tahun ke atas/dewasa. Anak kecil tidak sah

jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi

belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama,

mereka diperbolehkan berjaul beli barang-barang yang kecil,

16
Ibid, Hal : 115-119
22

karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan

dan kesukaran, sedangkan aga Islam sekali-kali tidak akan

menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada

pemeluknya.

b. Objek

Yang dimaksud objek jual beli adalah benda, yang menjadi

objek jual beli haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Bersih barangnya atau suci

2) Dapat dimanfaatkan, dilarang menjual belikan benda-benda yang

tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’.

3) Barang yang ada pemiliknya, tidaklah sah menjual barang orang

lain tanpa izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan

menjadi miliknya.

4) Mampu menyerahkan dengan cepat maupun lambat, tidaklah sah

menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.

5) Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat

diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran

yang lainnya maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan

keraguan salah satu pihak.

6) Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini

kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah,

sebab jual beli merupakan salah satu sebab kepemilikan secara

penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara’.


23

c. Sighat

Syarat sighat jual beli terdapat perbedaan Ulama, Ulama

Hanafiyah dengan Ulama Malikiyah. Namun mereka sepakat bahwa

sighat akad jual beli harus dilaksanakan dalam satu majaelis, antara

keduanya terdapat persesuaian dan tidak terputus, tidak digantungkan

dengan sesuatu yang lain dan tidak dibatasi dengan periode waktu

tertentu. definisi ijabmenurut ulama Hanafiyah yaitu penetapan

perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh

orang pertama, baik yang berkata setelah orang yang pertama, baik

yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah

orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang

menunjukkan keridaan atas ucapan orang yang pertama. Sedangkan

Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa ijabadalah persyaratan

yang keluar dari orang pertama maupun kedua, sedangkan qabul

adalah pernyataan dari orang yang menerima barang17.

Menurut mereka ijab dan qabul perlu diungkapkan secara

jelas dalam transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah

pihak, seperti akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah.

Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak, seperti

wasiat, hibah, dan waqaf, tidak perlu qabul, karena akad seperti itu

cukub dengan ijab saja.

17
Syafei, Rahmat, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), Hal : 45-46
24

Apabila ijab telah diucapkan dalam akad jual beli, maka

kepemilikan barang yang dibeli oleh seorang pembeli telah menjadi

pemilik si pembeli dan sebaliknya. Untuk itu, para ulama fiqih

mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai

berikut:18

1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal, menurut

jumhur ulama, atau telah berakal, menurut ulama Hanafiyah sesuai

dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang

melakukan akad yang disebutkan di atas.

2) Qabul sesuai dengan ijab.

3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majealis. Artinya, kedua

belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan

topik yang sama. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan

bahwa antara ijab dan qabul bisa saja diantarai oleh waktu, yang

diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat untuk berpikir. Namun,

ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara

ijab dan qabul tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan dugaan

bahwa objek pembicaraan telah berubah.

Di zaman modern perwujudan ijab qabul tidak lagi

diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan

membayar uang dari pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan

barang oleh penjual, tanpa ucapan apapun. Misalnya, jual beli yang

18
Nasrun Haroen, op.cit, Hal:116
25

berlangsung dipasar swalayan.

Dalam fiqih Islam, jual beli seperti ini disebut dengan ba’i al-

mu’athah. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti

kebiasaan suatu masyarakat disuatu negeri. Karena hal itu telah

menunjukan unsur ridha dari kedua belah pihak.

d. Harga (tsaman)

Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fiqih

membedakan at-tsaman dengan as-si’r. menurut mereka, at-tsaman

adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara

aktual, sedangkan as-si’r adalah modal yang seharusnya diterima para

pedagang sebelum diterima oleh konsumen.

Dengan demikian, dapat diartikan bahwa antara harga untuk

sesama pedagang dengan harga untuk pembeli harus dibedakan, dalam

praktek seperti ini seperti yang terjadi pada toko grosir yang melayani

pembelian eceran dan skala besar.

Syarat-syarat at-tsaman (harga) sebagai berikut : 19

1) Harga disepakati oleh kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

2) Boleh diserahkan saat akad, apabila harga barang diserahkan

kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.

3) Apabila jual beli dilakukan saling mempertukarkan barang, maka

barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan

syara’.

19
Ibid, Hal:119.
26

D. Macam-Macam Jual Beli

1. Menurut Imam Hanafi

a. Ditinjau dari segi sifatnya jual beli terbagi dua yaitu, jual beli shahih

dan jual beli ghair shahih.

1) Pengertian jual beli shahih adalah jul beli yang tidak terjadi

kerusakan,baik pada rukun maupun syaratnya.

2) Pengertian jul beli ghair shahih adalah jual beli yang tidak

dibenarkan sama sekali oleh syara’, dari defenisi terseut dapat

dipahami jual beli yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi

sama sekali, atau rukunnya terpenuhi tetapi sifat atau syaratnya

tidak terpenuhi. Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang

yang memiliki akal yang sempurna, tetapi barang yang dijual

masih belum jelas. Apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi

maka jual beli tersebut disebut jual beli yang bathil. Akan

tetapi, apabila rukunnya terpenuhi, tetapi ada sifat yang

dilarang maka jual belinya disebut jual beli fasid. Disamping

itu, terdapat jual beli yang digolongkan kepada ghair shahih

yaitu jual beli yang rukun dan syaratnya terpenuhi, tetapi jual

belinya dilarang karena ada sebab di luar akad. Jual beli

semacam ini termasuk jual beli yang makruh.20

20
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Penerbit Amzah, 2010) Hal. 201
27

b. Berdasarkan segi hubungannya dengan objek, jual beli ada tiga

macam, yaitu :

1) Muqayadhah adalah jual beli barang dengan barang, seperti jual

beli binatang dengan binatang, disebut barter.

2) Sharf adalah tukar menukar emas dengan emas, dan perak dengan

perak, atau menjual salah satu dari keduanya dengan lain (emas

dengan perak atau perak dengan emas).

3) Jual beli salam adalah penjualan tempo dengan pembayaran tunai.

c. Berdasarkan harga atau ukurannya, jual beli dibagi menjadi empat

macam yaitu :

1) Jual beli murabahah arti bahasa berasal dari kata yang akar

katanya tambahan. Menurut istilah fuqaha, pengertian murabahah

aadalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan

keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.

2) Jual beli tauliyah menurut syara’ adalah jual beli barang sesuai

dengan harga pertama (pembelian) tanpa tambahan.

3) Jual beli wadiah adalah jual beli barang dengan mengurangi harga

pembelian.

4) Jual beli musyaamah adalah jual beli yang biasa berlaku dimana

para pihak yang melakukan akad jual beli saling menawar sehingga

mereka berdua sepakat atas suatu harga dalam transaksi yang

mereka lakukan.
28

2. Menurut Malikiyah

Malikiyah membagi jual beli menjadi dua bagian, yaitu :

a. Jual beli manfaat, dalam hal ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu :

1) Jual beli manfaat benda keras (jamad). Contohnya jual beli tanah

dan sewa rumah.

2) Jual beli manfaat binatang dan benda tidak berakal. Contoh

menyewa binatang dan kendaraan.

3) Jual beli manfaat manusia berkaitan dengan alat kelamin, yaitu

nikah dan khulu’.

4) Jual beli manfaat selain kelamin, seperti sewa tenaga kerja.

5) Jual beli manfaat barang-barang. Ini disebut ijarah (sewa

menyewa).21

b. Jual beli benda (a’yan), ini dibagi menjadi enam bagian yaitu :

1) Ditinjau dari segi pembayarannya tempo atau tunai. Dalam hal ini

jual beli terbagi menjadi empat bagian.

a) Jual beli tunai (bai’an-naqd), yaitu jual beli dimana harga dan

barang diserahkan tunai.

b) Jual beli utang (bai’ad-dain bi addain), yaitu jual beli dimana

harga dan barang diserahkan nanti (tempo). Ini termasuk jual

beli yang dilarang.

21
Ibid., Hal. 209
29

c) Jual beli tempo (al-bai’ li ajal), yaitu jual beli dimana harga

dibayar nanti (tempo), sedangkan barang diserahkan secara

tunai.

d) Jual beli salam, yaitu jual beli dimana barang diberikan nanti

(tempo), tetapi harganya dibayar di uka (tunai).

2) Ditinjau dari segi alat pembayarannya. Jual beli ini dibagi menjadi

tiga bagian.

a) Jual beli benda dengan benda (bai’ al-ain bi al-ain).

b) Jual beli emas dengan emas dan perak dengan perak.

c) Jual beli emas atau perak dengan benda

3) Jual beli ditinjau dari dilihat atau tidaknya objek. Jual beli ini

terbagi menjadi dua bagian.

a) Jual beli barang yang kelihatan (bai’ al-hadir), yaitu jual beli

dimana barang yang menjadi objek jual beli bisa dilihat atau

yang secara formal bisa dilihat.

b) Jual beli barang yang tidak kelihatan (bai’ al-ghaib), yaitu jual

beli dimana barang yang menjadi objek tidak bisa dilihat.22

4) Ditinjau dari putus tidaknya akad, jual beli dapat dibagi menjadi

dua yaitu:

a) Jual beli yang putus (jadi) sekaligus (bai’ al bat), yaitu jual beli

yang tidak ada khiyar (pilihan) bagi yang salah satu pihak yang

berakad.

22
Ibid., Hal. 210
30

b) Jual beli khiyar, yaitu jual beli dimana salah satu pihak yang

melakukan akad member kesempatn pilihan untuk melanjutkan

atau membatalkan kepada pihak lainnya.

5) Ditinjau dari segi ada tidaknya harga pertama. Jual beli dapat

dibagi menjadi empat bagian, yaitu ;

a) Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya

semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat

tertentu.

b) Jual beli musawamah adalah jual beli yang biasa berlaku

dimana para pihak yang melakukan akad jual beli saling

menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga

dalam transaksi yang mereka lakukan.

c) Jual beli muzayadah, yaitu jual beli dimana para pihak yang

berakad menambah harga, sehingga didapatkan harga tertinggi.

d) Jual beli al-isti’man, yaitu jual beli dengan tujuan untuk

mencari perlindungan keamanan dari seseorang yang dzalim,

sehingga apabila situasi aman maka barang dan harganya akan

dikemabalikan.

6) Ditinjau dari segi sifatnya, jual beli dibagi menjadi dua bagian,

yaitu :
31

a) Jual beli shahih

Jual beli shahih yaitu apabila jual beli itu seperti yang

disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang telah

ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung pada

hak khiyar lagi. Jual beli yang telah memenuhi rukun dan

syarat adalah boleh atau sah dalam agama Islam selagi tidak

terdapat padanya unsure-unsur yang dapat membatalkan

kebolehan kesahanya. Adapun hal-hal yang menggugurkan

kebolehan atau sahnya jual beli pada umumnya adalah sebagai

berikut :

 Menyakiti si penjual

 Menyempitkan gerakan pasar

 Merusak ketentuan umum.23

b) Jual beli fasid adalah apabila rukunnya terpenuhi, tetapi ada

sifat yang dilarang dalam transaksi jual belinya. 24

3. Menurut Syafi’i

Berdasarkan dari segi benda yang dijadikan objek jual beli

dapat dikemukakan pendapat dari Imam Taqiyuddin. Bahwa jual beli

dibagi menjadi tiga bentuk :25

23
Ibid., Hal. 202
24
Ibid., Hal. 211
25
Hendi Suhendi.,Op.Cit. Hal . 78
32

a. Jual beli benda yang kelihatan

Jual beli benda yang kelihatan adalah pada waktu yang melakukan

akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan

penjual dan pembeli.

b. Jual beli yang dibutkan sifat-sifatnya dalam janji

Jual beli ini sering disebut juga dengan jual beli salam (pesanan).

Menurut kbiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang

tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang

atau sesuatu yag seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah

perjanjian yang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian

yang penyerahan barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu,

sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Dalam salam

berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahan seperti

berikut :

1) Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang

mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat

ditakar, ditimbang, maupun ditukar.

2) Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa

mempertinggi dan memperendah harga barang itu.

3) Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa

didapatkan dipasar.

4) Harga hendaknya dipegang ditempat akad berlangsung.


33

c. Jual beli benda yang tidak ada

Jual beli seperti ini dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak

tentu atau masih gelap yang dikhawatirkan barang tersebut diperoleh

dari barang titipan atau barang curian yang mengakibatkan timbulnya

kecurigaan salah satu pihak.

E. Jenis-Jenis Jual Beli

Jual beli dapat di tinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi

hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu, jual beli yang sah menurut syara’

dan jual beli yang batal menurut syara’, serta dapat dilihat dari segi benda

yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam

Taqiyyudin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu : jual beli benda

yang tidak ada atau jual beli salam (pesanan)26.

Sedangkan jual beli berdasarkan objek transaksinya, dapat

dibedakan menjadi empat macam :27

1. Jual beli Salam dan Istisna’ (pesanan)

Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli

dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya

diantar belakangan.

26
Suhendi,Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hal : 75.
27
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008),
Hal:102
34

2. Jual beli muqoyadhah (barter)

Jual beli muqoyadhah adalah jual beli dengan cara menukar

barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

3. Jual beli muthlaq

Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah

disepakati sebagai alat tukar, seperti uang.

4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang

yang bisa dipakai sebagai alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan

uang emas.

Berdasarkan dari segi harga, jual beli juga dibagi pula menjadi empat

bagian :

1. Jual beli yang menguntungkan (Al-Murabahah)

2. Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya

(At-Tauliyah)

3. Jual beli rugi (Al-Khasarah) seperti, jual beli uang.

4. Jual beli Al-Musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya,

tetapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang

berkembang sekarang.
35

Karena itu, maka diantar hikmah dihalalkannya jual beli bagi umat

manusia adalah untuk menghilangkan kesulitan umat manusia, memenuhi

kebutuhannya, dan menyempurnakan nikmat yang diperoleh 28. Namun tidak

semua jual beli dibenarkan oleh agama atau syara’, seperti halnya jual beli

tersebut adalah jual beli yang dilarang dan batal hukumnya.

Tetapi ada juga macam jual beli yang dilarang oleh agama namun

sah hukumnya dan orang yang melakukannya mendapatkan dosa, jual beli

seperti ini antara lain :

1. Menemui orang-orang Desa sebelum mereka masuk ke dalam pasar untuk

membeli benda-bendanya dengan harga semurah-murahnya, sebelum

mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga setimggi-

tingginya.

2. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain

3. Jual beli dengan najasy, yaitu seorang menambah atau melebihi harga

temannya dengan maksud mancing-memancing orang agar orang itu mau

membeli barang kawannya.

4. Menjual diatas penjualan orang lain.

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian

Ulama, tetapi diperselisihkan oleh Ulama yang lain, diantaranya sebagai

berikut :

Syeh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual Beli Panduan Bisnis Syari’ah, (Jakarta :
28

Senayan Publishing, 2008), Hal : 260.


36

1. Jual beli muhaqalah (barang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada)

Para ulama fiqh sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau

batal. Misalnya : memperjualbelikan buah-buahan yang putiknya pun

belum muncul di pohon.

2. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan.

Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan seperti burung yang ada di

udara, ikan yang ada di air tidak berdasarkan syara’.

3. Jual beli gharar

Yaitu jual beli yang samar, sehingga kemungkinan terjadinya penipuan,

seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah

yang atasnya kelihatan bagus tapi bawahnya keliatan jelek.

4. Jual beli barang najis dan terkena najis

Ulama sepakat tentang larangan jual barang yang najis seperti khamr.

Akan tetapi, mereka berbeda pendapat barang yang terkena najis (al-

mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena

bangkai tikus.

5. Jual beli air

Air laut, sungai, dan serupa dengannya, seperti sumber dan air hujan

adalah mubah bagi semua orang. Air-air tidak khusus dimiliki orang oleh

seseorang tanpa yang lain dan tidak dijual selama masih berada

ditempatnya.
37

6. Jual beli mudhamin

Jual beli mudhamin adalah transaksi jual beli yang objeknya adalah hewan

yang masih dalam perut induknya. Menurut ulama Hanafiyyah jual beli

seperti itu adalah fasid, sedangkan menurut jumhur adalah batal, sebab

akan mendatangkan pertentangan. Berarti jual beli seperti ini dilarang,

karena barangnya belum ada dan tidak tampak.

7. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gahib), tidak dapat dilihat.

Ulama Malikiyyah membolehkan jual beli seperti ini tetapi dengan

memberikan syarat yaitu : barang jauh sekali dari tempatnya, tidak boleh

dekat sekali tempatnya, bukan pemilik harus ikut memberikan gambaran,

harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh dan penjual tidak

boleh memberikan syarat.

8. Jual beli sesuatu yang belum dipegang

Ulama Hanafiyyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan

sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan. Sedangkan

ulama Syafi’iyyah melarang mutlak. Ulama malikiyyah melarang atas

makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang

diukur.

9. Jual beli buah-buahan atau tumnuh-tumbuhan

Menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual

rambutan yang masih hijau, manga yang masih kecil-kecil dan lainnya.

Hal yang dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian buah

jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si
38

pembelinya. 29

F. Jual Beli Cengkeh di Desa Luhu

Tanaman cengkeh (Syzigium aromaticum) merupakan tanaman

rempah yang dapat ditemukan di Indonesia dan dimanfaatkan dalam industry

rokok, makanan dan obat-obatan.

Masyarakat Desa Luhu lebih banyak berprofesi dibidang pertanian,

terutama petani cengkeh. Karena tanah yang ada di Desa Luhu merupakan

tanah yang kebanyakan memproduksi tanaman cengkeh. Selain itu harga

cengkeh dihitung sangat mahal karena cengkeh dapat menghasilkan rokok

dan minyak.

Petani cengkeh di Desa Luhu yang memproduksi hasil kebun

cengkeh milik mereka sendiri. Ada beberapa pedagang yang membeli

cengkeh dari masyarakat untuk nantinya mereka jual dengan harga yang lebih

tinggi di Kota/Kabupaten.

Dalam jua beli cengkeh, di Desa Luhu masyarakat menjual cengkeh

kepada pedagang dengan 2 cara, yaitu menjual cengkeh mentah dilakukan

dengan ukuran 1/4 liter dan cengkeh kering dilakukan system timbangan agar

supaya tau berapa berat daripada cengkeh yang di jual tersebut dan agar bisa

tau berapa harga yang akan dibayar oleh pedagang/pembeli nantinya.

29
Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hal : 98.
39

G. Penelitian Terdahulu

Ahmad Supendi, judul penelitian “ Pelaksanaa Penimbangan Dalam

Jual Beli Buah Kelapa Sawit Di Tinjau Menurut Ekonomi Islam (Studi Kasus

Penduduk Asli Di Desa Pasir Utama Kecamatan Rambah Hilir Kabupatn

Rokan Hulu)”. Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau pada tahun 2011 . Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa praktik jual beli yang digunakan di Desa

Pasir Utama tidak sesuai dengan ketentuan yang diajarkan oleh agama Islam.30

Nurzali, judul penelitian “Jual Beli Karet Ditinjau Menurut Hukum

Islam (Studi Kasus Penimangan Karet di Desa Tanjung Kecamatan XIII Koto

Kampar Kabupaten Kampar)”. Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah dan Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru pada tahun

20110 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelian karet yang

dilakukan pembeli di desa Tanjung terdapat suatu kecurangan di dalamnya,

karena terkadang berat karet tidak sesuai dengan berat yang ditibang.

Penguranga timbangan adalah pagkal mula rusaknya perdagangan dan

hilangnya kepercayaan.31

30
Ahmad Supendi. 2011. Pelaksanaan Penimbangan Dalam Jual Beli Buah Kelapa Sawit
Di Tinjau Menurut Ekonoi Islam (Studi Kasus Penduduk Asli Di Desa Pasir Utama Kecamatan
Rabah Hilir Kabuupaten Rokan Hulu). (Riau : Skripsi Sarjana; Jurusan Ekonomi Islam), Hal : 61
31
Nurzali. 2010. Jual Beli Karet Ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Kasus
Penimangan Karet di Desa Tanjung Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar),
(Pekanbaru : Skripsi Sarjana; Jurusan Muamalah) , Hal : 69
40

Artaty, judul penelitian “Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktek

Tengkulak Dalam Jual Beli Karet Mentah (Studi di Desa Gedung Riang

Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan)”. Jurusan Muamalah

Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung pada tahun

2017. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penetapan harga karet oleh

tengkulak terhadap kesejahtraan petani di Desa Gedung Riang Kecamatan

Blumbungan Kabupaten Way Kanan belum memenuhi prinsip yang

dibenarkan oleh Hukum Islam.32

Berbeda dengan penelitian yang diambil peneliti, peneliti

memfokuskan pada jual beli cengkeh di Desa Luhu Kecamatan Huamual

Kabupaten Seram Bagian Barat.

32
Artaty. 2017. Tinjauan Hukum Islam Tentang Praktek Tengkulak Dalam Jual Beli
Karet Mentah (Studi di Desa Gedung Riang Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way
Kanan). (Lampung : Skripsi Sarjana;Jurusan Muamalah) hal : 104

Anda mungkin juga menyukai