Anda di halaman 1dari 9

Asuhan Keperawatan Klien dengan Tetanus

Deskripsi

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah


mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak-anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan seperti
kebersihan lingkungan dan perorangan. Tetanus neonatorum merupakan penyebab kejang
yang sering dijumpai pada bayi baru lahir, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia,
tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang terjadi sebagai akibat pemotongan
tali pusat atau perawatannya yang tidak aseptik. Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang
otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan, kekakuan tonus otot ini selalu
tampak pada otot masester dan otot rangka.

Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang,
berspora, golongan garam positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang
bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan
saraf tepi setempat. Tetani didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang
salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor,
besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh
manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah,
merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot (Arif Muttaqin, 2008 : 219).

Patogenesis

Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk
yang misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;
karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang
tertutup debu/ kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor atau
tertutup memungkinkan keadaan aneorob yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani.
Sebagai porte d’entree lainnya dapat juga luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah; gigi berlobang di korek dengan benda yang kotor atau otitis media purulen (OMP)
yang dibersihkan dengan kain yang kotor. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-14 hari.
Prognosis penyakit ini sangat buruk bila ada OMP dan luka pada kulit kepala.

Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangan mudah diikat oleh jaringan saraf dan
bila dalam keadaaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik, tetapi toksin
yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini (Arif Muttaqin, 2008 : 221).
Rencana Intervensi

(Arifin Muttaqin, 2008)


Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret dalam trakhea,
kemampuan batuk menurun
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas (-), RR 16-20 x/mnt. Tidak menggunakan otot bantu
napas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-),. Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif

Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval
otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum yang teratur adalah penting karena pernapasan
yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena
adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot
interkostal dan diafragma yang berkembang
dengan cpat.
Atur posisi fowler dan semifowler Peninggian epala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif
Ajarkan cara batuk efektif Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat
batuk efektif untuk membersihkan jalan napas
dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang
dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan
mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk
lebih efektif
penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus
putih dan pertahankan intake cairan 2500 yang kental dan dapat membantu pemenuhan
ml/hari cairan yang banyak keluar dari tubuh

Lakukan penghisapan lendir di jalan napas Penghisapan mungkin diperlukan untuk


mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi
bersih
Berikan oksigen sesuai klinis Pemenuhan oksigen terutama pada klien tetanus
dengan laju metabolisme yang tinggi
Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di
jaringan otak
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal 36-37°C
Intervensi Rasionalisasi
Monitor suhu tubuh klien Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus
rangsang kejang pada klien tetanus
Beri kompres dingin di kepala dan aksila Memberikan respon dingin pada pusat
pengatur panas dan pada pembuluh darah
besar
Pertahankan bedrest total selama fase akut Mengurangi peningkatan proses metabolisme
umum yang terjadi pada klien tetanus
Kolaborasi pemberian terapi; ATS dan ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus
antimikroba di jaringan otak dan antimikroba dapat
mengurangi inflamasi sekunder dari toksin

Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil)
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang
Intervensi Rasionalisasi
Kaji stimulus kejang Stimulus kejang pada tetanus adalah
rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh
Hindarkan stimulus cahaya, kalau perlu klien Penurunan rangsang cahaya dapat membantu
di tempatkan pada ruangan dengan menurunkan stimulus rangsang kejang
pencahayaan yang kurang
Pertahankan bedrest total selama fase akut Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
phenobarbital Catatan : phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi

Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil : tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam batas normal
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam menelan, Faktor-faktor tersebut menentukan
batuk, dan adanya sekret kemampuan menelan klien dan klien harus di
lindungi dari risiko aspirasi
Berikan pengertian tentang pentingnya nurisi Agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
bagi tubuh nutrisi
Auskultasi bowel sound, amati penurunan Fungsi gastrointestinal tergantung pula pada
atau hiperaktifitas suara bowel kerusakan otak, bowel sound menentukan
respons feeding atau terjadinya komplikasi
misalnya illeus
Timbang berat badan sesuai indikasi Untuk mengevaluasi efektifitas dari asupan
makanan
Berikan makanan dengan cara meninggikan Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi
kepala
Bila klien sering kejang berikan makanan Pemenuhan nutrisi dengan langsung
lewat NGT memasukkan ke lambung akan mnurunkan
risiko regurgitasi atau aspirasi
Pertahankan lingkungan yang tenang dan Membuat klien merasa aman sehingga
anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk asupan dapat dipertahankan
memberikan makanan pada klien

Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh
kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasil : klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang ada
Intervensi Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan Gambaran trabilitas sistem saraf pusat
otot-oto muka lainnya memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi
Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi klien bila kejang terjadi
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien
Pertahankan bdrest total selama fase akut Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang
phenobarbital Catatan : phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan edasi

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang berulang


Tujuan : tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi bowell dan
bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik
Kriteria hasil : skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal
Intervensi Rasionalisasi
Review kemampuan fisik dari kerusakan Mengidentifikasi kerusakan fungsi dan
yang terjadi menentukan pilihan intervensi
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala Tingkat ketergantungan minimal care (hanya
tingkat ketergantungan memerlukan bantuan minimal), partical care
(memerlukan bantuan sebagian), dan total
care (memerlukan bantuan total dari perawat
dan klien yang memerlukan pengawasan
khusus karena risiko cedera yang tinggi).
Berikan perubahan posisi yang teratur pada Perubahan posisi teratur dapat
klien mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran
darah serta mencegah dekubitus
Pertahankan body aligment adekuat, berikan Mencegah terjadinya kontraktur atau
latihan ROM pasif jika klien sudah bebas footdrop serta dapat mempercepat
panas dan kejang pengembalian fungsi tubuh nantinya
Berikan perawatan luka secara adekuat, Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah
lakukan masase, ganti pakaian klien dengan gangguan integritas kulit
bahan linen dan pertahankan tempat tidur
dalam keadaan kering
Berikan perawatan mata, bersihkan mata dan Melindungi mata dari kerusakan akibat
tutup dengan kapas yang basah sesekali terbukanya mata terus-menerus
Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi
area kulit dini adanya dekubitus pada aea lokal yang
tertekan

Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang


Tujuan : kecemasan berkurang atau hilang
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/ hilang
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, Reaksi verbal/ nonverbal dapat menunjukkan
dampingi klien dan lakukan tindakan bila rasa agitasi, marah, dan gelisah
menunjukkan prilaku merusak
Jelaskan sebab terjadinya kejang Memberikan dasar konsep agar klien
kooperatif terhadap tindakan untuk
mengurangi kejang
Hindari konfrontasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama dan mungkin
memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan perlu
suasana penuh istirahat
Tingkatkan kontrol sensasi klien Kontrol sensasi klien (dan dalam
menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan klien,
menekankan pada penghargaan terhadap
sumber-sumber koping (pertahankan diri),
yang positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan dan memberikan
reswpons balik yang positif
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan kecemasan
dan aktivitas yang diharapkan
Beri kesempatan kepada klien untuk Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
mengungkapkan ansietasnya kekhawatiran yang tidak di ekspresikan
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberi waktu untuk mengekspresikan
terdekat perasaan, menghilangkan cemas, dan
perilaku daptasi. Adanya keluarga dan teman-
teman yang dipilih klien melayani aktivitas
dan pengalihan (misalnya membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi
Tetanus
a. Tinjauan umum

Kuman tetanus (Clostridium tetani) yang masuk tubuh melalui luka atau kerusakan
mukosa, berkembang baik dalam keadaan aneorob, tanpa langsung menimbukan infeksi pada
luka.

Pada metabolisme bakteri tersebut terbentuk juga toksin-toksin terutama


tetanospasmin merupakan racun yang sangat kuat. Toksin-toksin tersebut melalui aliran limfe
atau serabut saraf akan menyebar secara sentripetal, toksin-toksin tersebut akan menimbulkan
elainan serta gangguan khas pada sel-sel motorik di kornu anteroir dan di otak. Akibatnya
terjadi peninggian tonus otot-otot, kejang-kejang dan dapat meneyebabkan kematian karena
kgagagalan pernapasan. Masa inkubasi 4-21 hari.

Penderita yang berhasil mengatasi krisis penyakit ini dan sembuh, ada kemungkinan
mendapat “sequelae” berupa gangguan-gangguan fungsi tubuh akibat hipoksia, dapat pula
terjadi fraktur-vertebra. Angka kematian (letalitas) berkisar 25-40%. Terapi spesifik yang
pasti, belum ada. Penderita yang berhasil sembuh tak mendapat kekebalan seumur hidup, bila
ada jarang terdapat. Dengan imunisasi pencegahan manifestasi penyakit ini dapat
dihindarkan.

b. Luka-luka dengan bahaya tetanus


 Luka yang sangat kotor, terutama yang sangat tercemar tanah
 Luka yang dalam, dengan kerusakan jaringan subkutan yang sulit dibersihkan
atau yang membentuk rongga (misalnya luka robek yang dalam, luka tembak).
 Benda asing yang tertanam dalam jaringan, terutama serpihan kayu
 Nekrosis jaringan
 Borok kulit
 Luka bakar berat
 Luka yang lebih lama dari 24 jam

c. Vaksin tetanus dan imunisasi


 Imunisasi aktif : Toksoid-tetanus (“formoltoxoid”, vaksin tetanus adsorbat),
misal : tetanol. Sediaan : Ampul dosis-tunggal, 1 ampul = 0,5 ml = 75 IU.
Biasanya tak menimbulkan komplikasi. Kekebalan terjai mulai minggu 2-3.
 Imunisasi pasif : Anti-toksin tetanus homolog (“human tetanus-
immunglobulin”), misalnya Tetagam (Hypertet). Ampul dosis-tunggal, 1
ampul 1,0 ml = 250 IU. Biasanya tak ada reaksi-ikutan (komplikasi).
Perlindungan kekebalan selama 4 minggu. Imunglobulin yang didapat dari
hewan misalnya dari sapi atau kuda, berhubung berbahaya anafilaksi saat ini
sudah tak dipakai lagi.
d. Imunisasi dasar
Suntikan toksoid-tetanus intramuskular 3 kali berturut-turut dengan jarak
waktu 4-8 minggu untuk yang kedua dan 6-12 bulan untuk suntikan ketiga.
Suntikan ulang (“booster”) setiap 10 tahun. Pada anak-anak dilakukan mulai
usia 3 bulan dalam rangka imunisasi-ganda misalnya : PT (Difteri, Pertusis,
Tetanus).
e. Imunisasi pasca trauma
Sebelum di teliti tentang status imunisasi pasien, bila pasien mempunyai kartu
imunisasi, tetapi kebanyakan ditanyakan pada pasien sendiri atau orang tua/
keluarganya. Sebaiknya pasien ditanyakan berapa kali mendapat suntikan
imunisasi, jarak masing-masing suntikan serta ditanyakan juga apakah
imunisasi dilakukan dalam rangka imunisasi dasar atau pada saat terluka/
kecelakaan.
 Berlawanan dengan anjuran terdahulu, menurut pegangan baru ini pada
pasien yang tak cukup mendapat vaksinasi, jadi masih dalam bahaya
tetanus, bila ia terluka, maka harus dilakukan imunisasi simultan.
 Suntikan sebaiknya dilakukan intramuskuler, intra gluteal atau di
lengan atas, tetapi dapat juga subkutan.
 Pada setiap perlukaan, bila dilakukan vaksinasi maka harus dilakukan
secara sempurna (imunisasi dasar penuh).
 Bila dalam suatu kecelakaan dilakukan suntikan ulangan (bcoster-
injection) maka masa laku 10 tahun suntikan sebelumnya dianggap
tidak berlaku lagi- jadi hitung lagi mulai saat dilakukannya imunisasi
tersebut.
f. Perhatian khusus
 Risiko infeksi tidak hanya tergantung dari luasnya luka. Juga luka kecil
mempunyai risiko tetanus, artinya setiap luka juga luka serut yang
superfisial harus dianjurkan untuk imunisasi. Juga pada luka bakar dan
sejenisnya, hal ini sering di lupakan.
 Tetapi pencegahan tetanus yang terpenting adalah pengelolaan lokal
yang adekuat, misalnya dengan eksisi luka serta pembersihan yang
sebaik mungkin.
 Kuman tetanus yang masuk ke dalam jaringan pada perlukaan, dapat
tinggal dalam jaringan dalam bentuk tidak aktif bertahun-tahun
lamanya dan bila ada luka lagi atau tindakan operasi bisa menjadi aktif
lagi. Oleh karena itu, pada setiap pengambilan korpus alienum (benda
asing) harus diperhatikan juga kekebalan pasien terhadap tetanus.
 Setiap imunisasi harus ditulis dalam kartu imunisasi.
 Tetanus termasuk penyakit yang wajib dilaporkan.
 Bila pasien menolak imunisasi, harus dinyatakan secara tertulis dan
ditanda tangani pasien untuk menghindari/ melindungi dokter terhadap
tuntutan hukum.

TETANUS
Tetanus suatu penyakit yang tragis, tidak saja karena keparahannya, tetapi
karena ia dapat dicegah seluruhnya dengan imunisasi yang tepat. Organisme yang
bertanggung jawab (Clostridium tetani) merupakan batang gram positif, anaerobik
yang memerlukan spora, yang tersebar dimana-mana di dalam lingkungan.

Patogenesis
Sebagian besar kasus tetanus terjadi setelah luka tusuk, laserasi dan trauma
meremukkan. Organisme tersebut menemukan lingkungan yang menerima dengan
adanya nekrosis jaringan, anoksia serta kontaminan bakteri lain. Karena ia
berkembang biak, maka organisme ini melepaskan toksin yang bertanggung jawab
bagi sindroma klinik, dengan pemutusan hantaran neuromuskular oleh penghambatan
pelepasan asetikolin.

Gambaran klinik
Ada 3 bentuk klinik tetanus :
1. Tetanus generalisata, bertanggung jawab bagi kira-kira 80% kasus.
Penyakit tersebut desendens dalam presentasi kliniknya, sring dimulai
dengan trismus dan berlanjut ke kaku kuduk, rigiditas abdomen serta
spasme tetanik pada ekstremitas. Trismus dapat menimbulkan spasme
wajah yang dikenal sebagai risus sardonikus. Karena spasme berlanjut,
maka otot punggung terlibat dengan melengkungkan punggung
(opistotonus). Dua tanda paling menonjol dari tetanus generalisata
mengancam ialah trismus serta otot abdomen yang kaku.
2. Tetanus sefalik, yang terjadi pada otitis media atau luka trauma pada
kepala. Biasanya ada keterlibatan saraf otak tersendiri, khususnya saraf
otak ke tujuh.
3. Tetanus lokal, yang melibatkan otot pada daerah luka. Banyak penyakit
dikelirukan dengan tetanus.

Diagnosis

Tetanus merupakan diagnosis klinik berdasarkan gambaran fisik. Organisme


dapat ditemukan dalam pewarnaan gram positif lain mengacaukan dan bisa sulit
diidentifikasi diantara flora campuran pada luka yang terkontaminasi berat. Biakan
organisme juga sukar dilakukan.

Komplikasi

Spasme otot dan kejang dapat menyebabkan fraktura vertebra dan tulang
panjang. Embolisme pulmonalis mempunyai insiden penyerta yang tinggi dan dapat
timbul disfungsi autonom yang menyebabkan hipertensi dan aritmia jantung. Juga
sering komplikasi pnemonia aspirasi yang sering menjadi penyebab kematian.
Pencegahan

Gambaran terpenting pencegahan tetanus pada perawatan luka yang tepat,


dengan debridemen dan pembersihan dalam usaha menghapuskan semua kantong
jaringan nekrotik serta ruang mati anaerobik. Memperhatikan penggunaan toksoid
serta globulin imun tetanus, seperti terlihat sebelumnya, harus dilakukan hal berikut :

1. TIG ialah globulin manusia; preparat lama dari serum kuda jangan dipakai
kecuali bila TIG tidak tersedia. Toksoid harus gabungan toksoid tetanus difteri
(TD) (jenis dewasa) dalam bentuk toksoid adopsi. Dalam bentuk ini penderita
dapat diimunisasi terhadap difteri maupun tetanus.
2. Dosis biasa TIG 250 unit, kecuali ada cedera berat, dalam hal ini dapat diberi
500 unit. Dalam hal dosis TIG merupakan imunisasi primer, maka pasien
disuruh kembali 28 hari kemudian untuk mendapatkan dosis kedua.
3. Pada umumnya, suntikan boster toksoid adsorpsi, setelah seri vaksinasi primer
yang adekuat, akan memberikan antibodi protektif selama 10 tahun, yang
selama waktu itu tidak diperlukan dosis boster.
4. Terapi antibiotika serta debridemen bedah tidak cukup membri perlindungan
terhadap tetanus. Sehingga keadaan imunisasi semua penderita luka
terkontaminasi harus dipastikan serta harus dimulai terapi yang tepat.

Terapi
Terapi tetanus terutama merupakan latihan fisiologi dalam pencegahan
komplikasi. Tiap toksin yang telah dibentuk dan sudah terfiksasi ke jaringan berada
dalam keadaaan tak reversibel, sehingga penyakit tersebut tidak dapat dihentikan
setelah ia dimulai.
Fase awal terapi mencakup pemusnahan organisme dengan debridemen bedah
dan antibiotika serta pemberian antitoksin bagi toksin bersirkulasi yang belum
difiksasi. Cara lain diarahakan pada stabilisasi fisiologi serta pemberian makan.
1. Debridemen bedah atas luka yang nyata apapun harus dilakukan untuk
membuang jaringan nekrotik
2. Terapi antibiotika harus ditujukan pada organisme tersebut dan penisilin G
obat terpilih
3. Antitoksin harus diberikan bagi kemungkinan pengikatan toksin bersirkulasi
apapun
4. Pencegahan kontraksi dan spasme otot dicapai dengan barbiturat bermasa-
kerja pendek dan relaksan otot seperti klorpromazin. Dapat digunakan
diazepam untuk mengendalikan kejang.
5. Rangsangan lingkungan harus dikurangi ke minimum dengan menmpatkan
penderita dalam kamar sunyi dan gelap
6. Trakeostomi harus dipertimbangkan pada penderita yang telah menderita
beberapa seri kejang tetanik.
7. Pemberin makan parenteral total merupakan bagian penting penatalaksanaan
penderita tetanus yang mungkin tidak dapat menelan karena timus.

Anda mungkin juga menyukai