Deskripsi
Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang,
berspora, golongan garam positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang
bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan
saraf tepi setempat. Tetani didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang
salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang kotor,
besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (didalam tubuh
manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah,
merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot (Arif Muttaqin, 2008 : 219).
Patogenesis
Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk
yang misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;
karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang
tertutup debu/ kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor atau
tertutup memungkinkan keadaan aneorob yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani.
Sebagai porte d’entree lainnya dapat juga luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah; gigi berlobang di korek dengan benda yang kotor atau otitis media purulen (OMP)
yang dibersihkan dengan kain yang kotor. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-14 hari.
Prognosis penyakit ini sangat buruk bila ada OMP dan luka pada kulit kepala.
Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangan mudah diikat oleh jaringan saraf dan
bila dalam keadaaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik, tetapi toksin
yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini (Arif Muttaqin, 2008 : 221).
Rencana Intervensi
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval
otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum yang teratur adalah penting karena pernapasan
yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena
adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot
interkostal dan diafragma yang berkembang
dengan cpat.
Atur posisi fowler dan semifowler Peninggian epala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif
Ajarkan cara batuk efektif Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat
batuk efektif untuk membersihkan jalan napas
dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang
dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan
mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk
lebih efektif
penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus
putih dan pertahankan intake cairan 2500 yang kental dan dapat membantu pemenuhan
ml/hari cairan yang banyak keluar dari tubuh
Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil)
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang
Intervensi Rasionalisasi
Kaji stimulus kejang Stimulus kejang pada tetanus adalah
rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh
Hindarkan stimulus cahaya, kalau perlu klien Penurunan rangsang cahaya dapat membantu
di tempatkan pada ruangan dengan menurunkan stimulus rangsang kejang
pencahayaan yang kurang
Pertahankan bedrest total selama fase akut Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
phenobarbital Catatan : phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi
Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil : tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam batas normal
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam menelan, Faktor-faktor tersebut menentukan
batuk, dan adanya sekret kemampuan menelan klien dan klien harus di
lindungi dari risiko aspirasi
Berikan pengertian tentang pentingnya nurisi Agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
bagi tubuh nutrisi
Auskultasi bowel sound, amati penurunan Fungsi gastrointestinal tergantung pula pada
atau hiperaktifitas suara bowel kerusakan otak, bowel sound menentukan
respons feeding atau terjadinya komplikasi
misalnya illeus
Timbang berat badan sesuai indikasi Untuk mengevaluasi efektifitas dari asupan
makanan
Berikan makanan dengan cara meninggikan Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi
kepala
Bila klien sering kejang berikan makanan Pemenuhan nutrisi dengan langsung
lewat NGT memasukkan ke lambung akan mnurunkan
risiko regurgitasi atau aspirasi
Pertahankan lingkungan yang tenang dan Membuat klien merasa aman sehingga
anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk asupan dapat dipertahankan
memberikan makanan pada klien
Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh
kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasil : klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang ada
Intervensi Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan Gambaran trabilitas sistem saraf pusat
otot-oto muka lainnya memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi
Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi klien bila kejang terjadi
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien
Pertahankan bdrest total selama fase akut Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang
phenobarbital Catatan : phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan edasi
Kuman tetanus (Clostridium tetani) yang masuk tubuh melalui luka atau kerusakan
mukosa, berkembang baik dalam keadaan aneorob, tanpa langsung menimbukan infeksi pada
luka.
Penderita yang berhasil mengatasi krisis penyakit ini dan sembuh, ada kemungkinan
mendapat “sequelae” berupa gangguan-gangguan fungsi tubuh akibat hipoksia, dapat pula
terjadi fraktur-vertebra. Angka kematian (letalitas) berkisar 25-40%. Terapi spesifik yang
pasti, belum ada. Penderita yang berhasil sembuh tak mendapat kekebalan seumur hidup, bila
ada jarang terdapat. Dengan imunisasi pencegahan manifestasi penyakit ini dapat
dihindarkan.
TETANUS
Tetanus suatu penyakit yang tragis, tidak saja karena keparahannya, tetapi
karena ia dapat dicegah seluruhnya dengan imunisasi yang tepat. Organisme yang
bertanggung jawab (Clostridium tetani) merupakan batang gram positif, anaerobik
yang memerlukan spora, yang tersebar dimana-mana di dalam lingkungan.
Patogenesis
Sebagian besar kasus tetanus terjadi setelah luka tusuk, laserasi dan trauma
meremukkan. Organisme tersebut menemukan lingkungan yang menerima dengan
adanya nekrosis jaringan, anoksia serta kontaminan bakteri lain. Karena ia
berkembang biak, maka organisme ini melepaskan toksin yang bertanggung jawab
bagi sindroma klinik, dengan pemutusan hantaran neuromuskular oleh penghambatan
pelepasan asetikolin.
Gambaran klinik
Ada 3 bentuk klinik tetanus :
1. Tetanus generalisata, bertanggung jawab bagi kira-kira 80% kasus.
Penyakit tersebut desendens dalam presentasi kliniknya, sring dimulai
dengan trismus dan berlanjut ke kaku kuduk, rigiditas abdomen serta
spasme tetanik pada ekstremitas. Trismus dapat menimbulkan spasme
wajah yang dikenal sebagai risus sardonikus. Karena spasme berlanjut,
maka otot punggung terlibat dengan melengkungkan punggung
(opistotonus). Dua tanda paling menonjol dari tetanus generalisata
mengancam ialah trismus serta otot abdomen yang kaku.
2. Tetanus sefalik, yang terjadi pada otitis media atau luka trauma pada
kepala. Biasanya ada keterlibatan saraf otak tersendiri, khususnya saraf
otak ke tujuh.
3. Tetanus lokal, yang melibatkan otot pada daerah luka. Banyak penyakit
dikelirukan dengan tetanus.
Diagnosis
Komplikasi
Spasme otot dan kejang dapat menyebabkan fraktura vertebra dan tulang
panjang. Embolisme pulmonalis mempunyai insiden penyerta yang tinggi dan dapat
timbul disfungsi autonom yang menyebabkan hipertensi dan aritmia jantung. Juga
sering komplikasi pnemonia aspirasi yang sering menjadi penyebab kematian.
Pencegahan
1. TIG ialah globulin manusia; preparat lama dari serum kuda jangan dipakai
kecuali bila TIG tidak tersedia. Toksoid harus gabungan toksoid tetanus difteri
(TD) (jenis dewasa) dalam bentuk toksoid adopsi. Dalam bentuk ini penderita
dapat diimunisasi terhadap difteri maupun tetanus.
2. Dosis biasa TIG 250 unit, kecuali ada cedera berat, dalam hal ini dapat diberi
500 unit. Dalam hal dosis TIG merupakan imunisasi primer, maka pasien
disuruh kembali 28 hari kemudian untuk mendapatkan dosis kedua.
3. Pada umumnya, suntikan boster toksoid adsorpsi, setelah seri vaksinasi primer
yang adekuat, akan memberikan antibodi protektif selama 10 tahun, yang
selama waktu itu tidak diperlukan dosis boster.
4. Terapi antibiotika serta debridemen bedah tidak cukup membri perlindungan
terhadap tetanus. Sehingga keadaan imunisasi semua penderita luka
terkontaminasi harus dipastikan serta harus dimulai terapi yang tepat.
Terapi
Terapi tetanus terutama merupakan latihan fisiologi dalam pencegahan
komplikasi. Tiap toksin yang telah dibentuk dan sudah terfiksasi ke jaringan berada
dalam keadaaan tak reversibel, sehingga penyakit tersebut tidak dapat dihentikan
setelah ia dimulai.
Fase awal terapi mencakup pemusnahan organisme dengan debridemen bedah
dan antibiotika serta pemberian antitoksin bagi toksin bersirkulasi yang belum
difiksasi. Cara lain diarahakan pada stabilisasi fisiologi serta pemberian makan.
1. Debridemen bedah atas luka yang nyata apapun harus dilakukan untuk
membuang jaringan nekrotik
2. Terapi antibiotika harus ditujukan pada organisme tersebut dan penisilin G
obat terpilih
3. Antitoksin harus diberikan bagi kemungkinan pengikatan toksin bersirkulasi
apapun
4. Pencegahan kontraksi dan spasme otot dicapai dengan barbiturat bermasa-
kerja pendek dan relaksan otot seperti klorpromazin. Dapat digunakan
diazepam untuk mengendalikan kejang.
5. Rangsangan lingkungan harus dikurangi ke minimum dengan menmpatkan
penderita dalam kamar sunyi dan gelap
6. Trakeostomi harus dipertimbangkan pada penderita yang telah menderita
beberapa seri kejang tetanik.
7. Pemberin makan parenteral total merupakan bagian penting penatalaksanaan
penderita tetanus yang mungkin tidak dapat menelan karena timus.