“ Kasus Drs. Irwanto PhD, peneliti dari Universitas Atmajaya, Jakarta, yang
lumpuh akibat dokter salah mendiagnosis dan kasus Fellina Azzahra (16
bulan ), bocah yang ususnya bocor setelah dioperasi di Rumah Sakit Karya
Medika, Cibitung, Bekasi. “
Michael Waas
Progam Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
472016024
Deskripsi
Kasus dari Drs. Irwanto PhD terjadi karena adanya kesalahan diagnosis yang
menyebabkan salahnya penegambilan tindakan yang berakibat fatal terhadap dirinya.
Awalnya hanya merasa tidak enak badan karena kelelahan. Dokter di Rumah Sakit
Internasional Bintaro, Tangerang, Banten, mendiagnosa Irwanto menderita gangguan
jantung. Dokter pun segera menangani Irwanto. Anehnya, alih-alih pulih, kondisi
Irwanto memburuk, hingga lumpuh dari bagian dada ke bawah.
Di republik ini, kesalahan pengobatan oleh dokter tidak teratur secara khusus,
malah dalam Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi VII
DPR, Rabu (25/8) lalu, kasus malapraktek sama sekali tidak disinggung. Dalam kasus
malapraktek dokter, sebenarnya ada dua pelanggaran profesi dan pelanggaran hukum.
Namun, selama ini dalam setiap kasus malapraktek, dokter selalu berada di pihak yang
benar. Keluhan yang secara lansung diajukan pasien selalu ditolak dan dan dimentahkan
dengan berbagai argumentasi medis dan alasan teknis. Akibatnya, kerugian kesehatan dan
material selalu melekat dalam diri pasien, sedangkan dokter tidak sedikitpun tersentuh
tanggung jawab dan nurani kemanusiaannya. Semua ini disebabkan tidak ada payung
hukum yang bisa dijadikan dasar penyelesaian kasus itu. Undang-undang (UU)
Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 pun tak dapat digunakan untuk menangani pelanggaran
atau kelalaian dokter. UU ini hanya di desain untuk diperjelas lebih lanjut dengan 29
peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini baru terbentuk enam PP. Aturan lebih lanjut
yang tidak ada itu antara lain menyangkut standar pelayanan medis dan standar profesi.
Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat mendifinisikan mana yang disebut
malapraktek, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan.
Atas kasus ini, tidak ada tindakan yang jelas dari para penegak hukum dan
termasuk dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI dianggap tidak proaktif terhadap
maraknya kasus malapraktik di negara kita ini. Kesalahan pengobatan oleh dokter tidak
teratur secara khusus di negara kita ini, apalagi didalam Rancangan Undang-undang
Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi VII DPR kasus malapraktek sama sekali tidak
disinggung. Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 pun tak dapat
digunakan untuk menangani pelanggaran atau kelalaian dokter. Karena tidak adanya
peraturan khusus yang mengatur tentang malapraktek maka seakan-akan dokter tidak
bersalah jika terjadi malapraktek tersebut dan seakan-akan masyarakatlah yang menjadi
pihak yang bersalah karena tidak ada payung hukum yang melindungi pasien atas kasus
ini. Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat mendifinisikan mana yang
disebut malapraktek, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan. Padahal secara etika,
tindakan malapraktek ini telah merugikan para korban baik secara materiil maupun
nonmateril. Didalam kasus ini, dokter di Rs Internasional Bintaro telah melanggar Kode
Etik Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Pasal 5 dan Pasal 7a. Dimana dalam hal
malapraktek ini, dokter tersebut telah melemahkan kondisi fisik pasien tanpa dilakukan
suatu persetujuan terlebih dahulu dari pasien yang bersangkutan dan ini telah melanggar
Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 5. Dan juga, dokter tersebut telah salah
mendiagnosa sehingga bisa dikatakan bahwa dokter itu tidak kompeten dalam bidangnya,
maka itu telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7a.