Anda di halaman 1dari 2

IQBAL MABAN RM

K012171069

TUGAS ARGUMENTASI PENELTIAN YANG BERJUDUL “MUTU PELAYANAN


KESEHATAN DI INDONESIA: SISTEM REGULASI YANG RESPONSIF”
Oleh Prof. dr. Adi Utarini MSc, MPH, PhD

Merunut dari artikel yang telah saya kaji sedemikan rupa bahwa Konteks Mutu Pelayanan
serta Keselamatan pasien di rumah sakit ataupun di pelayanan kesehatan lainnya tak luput dari
taktik jitu yang dipersiapkan rumah sakit dalam melayani pasien sehingga indikator tercapainya
sebuah mutu terpenuhi yakni ketika pasien merasakan kepuasan dalam menerima pelayanan
sebuah pelayanan kesehatan.
Berangkat dari hal itu saya menemukan anomali dalam iklim pelayanan kesehatan yang
dibahas dalam disertasi diatas,terlepas bahwa peneliti memang berangkat dari disiplin ilmu
kuratif sehingga konten yang disajikan berkutat dalam hal sakit dan pasien serta peran sertanya
dalam peningkatan mutu. Sesuatu yang luput dari perhatian kita bahwa ada hal yang menjadi
keyword dari mutu itu sendiri yang tak lain prepentif serta promotif. paradigma bahwa rumah
sakit memiliki porsi mayoritas dalam hal kuratif dan rehabilitatif yang menjadi batu sandungan
bagi pelayanan kesehatan yang acapkali sejalan tak seirama satu sama lain sama halnya majas
yang diberikan peneliti tentang rumitnya penyatuan beberapa stakeholder kedalam sebuah cita
bersama.
Hal ini yang menjadi sorotan dan kemudian menjadi penting bahwa segala resiko yang
terjadi saat ini baik itu dari segi manajerial hingga pada pelaksanaan dilapangan tentunya sangat
bisa diminimalisir bahkan kata “PUAS” yang terlontar dari mulut masyarakat akan menjadi hal
lumrah nantinya jika semua pelayanan yang tentunya pemerintah sudah mulai memberikan
dukungan menerapkan konsep mencegah dan memberikan edukasi dalam bentuk promosi kepada
masyarakat awam sehingga hal fundamental serta tujuan dari sebuah mutu dalam pelayanan
kesehatan yakni membuat masyarakat puas serta peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat
tercapai pula sesuai dengan amanat undang-undang dasar.
Tentunya kuratif dan rehabilitatif masih diperlukan juga untuk mengcover masyarakat jika
sewaktu-waktu sakit, hanya saja transisi dari basis konsep sakit menuju sehat tersebut belum
disadari sebagai langkah solutif paripurna sebuah negara. dan itu menjadi sesuatu yang coba
diungkap oleh peneliti diatas, tentunya terlepas dari semua lingkaran setan ekonomi dalam
sebuah pelayanan kesehatan, serta tentunya juga dituntut adanya political will dari pemerintahan
yang dapat menjadi sebuah taktik awal terwujudnya keberhasilan good governance di indonesia.
Ditambah lagi Strategi regulasi yang dibutuhkan untuk mengantisipasi dan mengelola
perilaku yang bervariasi. Tengok saja beberapa fenomena berikut. Apotek dapat menjual
antibiotika tanpa resep dokter (Hadi et al., 2010). Regulasi bukannya tidak ada, tetapi
implementasinya lemah. Contoh lain adalah obat TB disediakan gratis, akan tetapi tingkat
penjualan obat TB di sektor swasta jumlahnya cukup untuk mengobati sejumlah 1 tahun pasien
TB di Indonesia (Wells et al., 2011), Bukti empirik diatas menunjukkan bahwa ada dua faktor
yang menjadi biang kerok munculnya kekacauan implementasi di indonesia yakni : Yang
pertama bahwa obat yang disediakan swasta lebih bagus daripada obat yang disiapkan
pemerintah dirumah sakit ? tentunya jawaban dari pertanyaan ini masih terlalu naif ketika
menjawab obat swasta sama dengan obat pemerintah itu dibuktikan dari beberapa kandungan
obat swasta yang memiliki grade yang lebih bagus, terlepas dari itu bahwa ada ketimpangan dari
kasus diatas bahwa obat swasta lebih diminati dibanding obat yang telah di faskes milik
pemerintah ini tak lepas juga dari lingkaran kotor distribusi obat di indonesia yang sekiranya
telah menjadi rahasia umum bagaimana PBF telah menjadi perusahaan raksasa dibanding sektor
lainnya beserta permainan cantik para tenaga medis didalamnya jadi tak heran ketika obat swasta
yang tidak gratis lebih menarik dibanding yang gratis oleh pemerintah.
Yang kedua menyoal egosentris sektoral khususnya lintas profesi contoh konkretnya seperti
kasus diatas yang menyinggus soal penjualan antibiotik di apotek dengan atau tanpa resep
dokter, ini akan menjadi aib bagi sistematika profesi kesehatan kita selama tidak ada pola
sinergitas antar profesi dan kesadaran regulasi dalam bentuk penegakan standar keamanan dan
pelayanan dalam bidang farmakologi khususnya penjualan obat yang harus menggunakan resep
dokter sebelum apoteker menilai dan memberikan keputusan jenis obat apa saja yang akan
diterima konsumen dalam sebuah transaksi di apotek.

Anda mungkin juga menyukai