Union berpendapat bahwa proses belajar terbaik adalah dengan melibatkan para mahasiswa untuk
mempelajari materi pelajaran secara aktif. Di saat yang sama, dosen juga lebih berperan dalam
memfasilitasi para mahasiswanya belajar.
Definisi lebih rinci tentang SCL disampaikan Rodolfo P. Ang, MBA (2001) dari Loyola School
Ateneo de Manila University. Menurutnya, SCL adalah model pembelajaran yang memfasilitasi para
mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan ini dilakukan dengan
membaca buku-buku teks, membaca digital book dalam komputer, mencari bahan dari sumber-
sumber online, dan memfasilitasi mereka untuk secara aktif mencari bahan, termasuk
mendiskusikan informasi yang diperoleh. Selain belajar dengan banyak sumber, proses ini
memungkinkan mahasiswa belajar dengan senang hati dan menikmati setiap prosesnya, baik di
dalam maupun di luar kelas.
1. Menjadikan para mahasiswa sebagai bagian integral dari komunitas akademik. Sebenarnya,
mahasiswa kini disebut sebagai civitas academica, akan tetapi, seringkali posisi itu tidak terwujud
hanya karena dosen tidak memperlakukan mereka sebagai masyarakat akademik, melainkan objek
ceramah dosen yang–sekali waktu- diukur tingkat pemahamannya terhadap kandungan ceramah
tersebut. Sebagai masyarakat akademik, tentu mahasiswa memiliki hak untuk melakukan
proses inquiry, proses pencarian dan pengkajian, serta proses pemahaman yang dilakukan oleh
mereka sendiri. Melalui SCL mereka memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian dan
mempresentasikannya di hadapan peer group dan dosen mereka. Selanjutnya, dosen harus
memberi masukkan terhadap hasil penelitian para mahasiswanya. Dengan demikian, para
mahasiswa benar-benar menjadi masyarakat akademik sebagaimana diidealkan.
2. Meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Hal ini karena SCL memperlakukan mahasiswa sebagai
masyarakat akademik yang harus menguasai teori, mengaplikasikannya, dan terus melakukan
kajian dan evaluasi atas teori tersebut. Selain itu, para mahasiswa juga dituntut untuk
mempresentasikan hasil kajiannya pada peer group dan dosen pembinanya. Dengan demikian,
mahasiswa akan termotivasi untuk memperbanyak kegiatan belajar di luar kelas sehingga nantinya
menjadi masyarakat pembelajar.
3. Mahasiswa menjadi lebih independen dan bertanggung jawab untuk terus belajar. Pembelajaran
berbasis pada mahasiswa membuat mahasiswa selalu terikat untuk belajar, karena mereka harus
mempresentasikan hasil belajar di hadapan peer group dan dosen mereka. Dengan demikian,
para mahasiswa akan memiliki tanggung jawab dan harus bergerak secara independen, karena
dituntut terus melengkapi berbagai informasi keilmuan yang mereka butuhkan untuk dipresentasikan
di depan kelas pada setiap minggu.
4. Arus masuk pendidikan tinggi yang kian besar dan kebutuhan pasar yang semakin lebar dan ragam,
maka kebutuhan belajar para mahasiswa juga semakin diversifikatif sesuai arah profesi yang akan
mereka tuju pasca belajar di perguruan tinggi. Pembelajaran berbasis pada mahasiswa memberi
mereka peluang untuk mempelajari keilmuan yang ditekuninya secara independen dan tidak terikat
dengan bahan ajar yang menjadi fokus kajian teman lain dari program studi yang berbeda, atau
bahkan mungkin dari program studi yang sama.
1. Melahirkan peran yang sangat menarik bagi dosen, karena penyiapan bahan ajar, proses
pembelajaran, dan penyimpulan, semua ditugaskan pada mahasiswa, dosen hanya melakukan
konfirmasi atas bahan yang mereka kaji, termasuk kesimpulan yang mereka rumuskan. Di saat yang
sama, ini merupakan kesempatan baik bagi para dosen untuk memberikan tantangan bagi para
mahasiswanya dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar mereka.
2. Sinergi antara pembelajaran dengan penelitian. Selain memungkinkan dosen mengontrol tugas
mahasiswa sampai pada level pengetahuan tertinggi, SCL memungkinkan dosen mensinergikan
kegiatan penelitiannya dengan program-program pembelajaran (bersama mahasiswa), sehingga
akan terus tervalidasi oleh masukan-masukan yang dinamis.
3. Pengembangan profesional berkelanjutan. SCL memungkinkan dosen memberi tugas pada para
mahasiswa untuk selalu meng-update pengetahuan mereka tentang berbagai teori dengan
mengakses berbagai jurnal ilmiah terkini, sehingga dosen akan memperoleh masukan terhadap
penelitian yang sedang mereka lakukan.
Menurut Duch (1995) dalam Aris Shoimin (2014:130) mengemukakan bahwa pengertian
dari model Problem Based Learningadalah:
Problem Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasih masalah adalah model pengajaran
yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar
berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan.
Finkle and Torp (1995) dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan bahwa:
PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara
stimulan strategi pemecahan masalah dan dasardasar pengetahuan dan keterampilan dengan
menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari
yang tidak terstruktur dengan baik.
Kamdi (2007:77) berpendapat bahwa:
Model Problem Based Learning diartikan sebagai sebuah model pembelajaran yang didalamnya
melibatkan siswa untuk berusaha memecahkan masalah dengan melalui beberapa tahap metode
ilmiah sehingga siswa diharapkan mampu mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan
masalah tersebut dan sekaligus siswa diharapkan akan memilki keterampilan dalam
memecahkan masalah.
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) dalam Aris Shoimin
(2014:130) menjelaskan karakteristik dari PBM, yaitu:
1. Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang
belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa
didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
2. Autenthic problems from the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik sehingga siswa
mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya
dalam kehidupan profesionalnya nanti.
3. New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja belum mengetahui dan
memahami semua pengetahuan prasayaratnya sehingga siswa berusaha untuk
mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
4. Learning occurs in small group
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha mengembangkan
pengetahuan secara kolaboratif, PBM dilaksanakan dalam kelompok kecil.
Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penerapan tujuan
yang jelas.
5. Teachers act as facilitators
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Meskipun begitu
guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong mereke
agar mencapai target yang hendak dicapai.
Aris Shoimin (2014:132) berpendapat bahwa kelebihan model Problem Based Learning diantaranya:
1. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata.
2. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar.
3. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu
dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi beban siswa dengan menghafal atau menyimpan
informasi.
4. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
5. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari perpustakaan, internet,
wawancara, dan observasi.
6. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
7. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan diskusi atau
presentasi hasil pekerjaan mereka.
8. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk
peer teaching.
Aris Shoimin (2014:132) berpendapat bahwa selain memiliki kelebihan, model Problem Based
Learning juga memilki kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
1. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam
menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu
yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
2. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi kesulitan
dalam pembagian tugas.
Sedangkan menurut Suyanti (2010) kelemahan dalam penerapan model Problem Based
Learning diantaranya adalah:
1. Manakala siswa tidak memilki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui Problem Based learning membutuhkan cukup waktu
untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang
dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Kemampuan awal merupakan hasil belajar yang didapat sebelum mendapat kemampuan yang lebih
tinggi. Menurut Rijal (2011: 1) bahwa kemampuan awal adalah prasyarat awal untuk mengetahui
adanya perubahan. Sedangkan menurut Tatang (2009: 1) kemampuan awal menggambarkan kesiapan
siswa dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan.