Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN


RUPTUR LIEN

OLEH:
NI PUTU AYU SUCITA DEWI (P07120216049)
NI PUTU INDAH PRASTIKA DEWI (P07120215006)
NI PUTU NATIYA GIYANTI (P07120215007)
FENDY ANUGRAH PRATAMA (P07120215008)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
RUPTUR LIEN

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi trauma abdomen
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting
kepada lien dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam,
ataupun trauma sewaktu operasi. (R.sjamsuhidajat&Wim de jong, 2005)
Ruptur lien pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau
pecahnya lien yang merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi
karena trauma tumpul, secara langsung atau tidak langsung. Penyebab utamanya
adalah cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, pada olahraga luncur, dan olahraga kontak seperti yudo, karate
dan silat.

2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen
disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul (penyebab trauma non penetrasi)
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka
tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus (penyebab trauma penetrasi)
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di
dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan
oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ
internal diabdomen.
3. Pathway
Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus

Refluks usus output cairan berlebih

Resiko hypovolemia

(Sumber : Mansjoer, 2001)

4. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan
dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan
tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang
ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus
dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap
permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang
disebabkan beberapa mekanisme :
a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya
tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak
benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ
berongga.
b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya
robek pada organ dan pedikel vaskuler

5. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara
umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan.
Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila
usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan
mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
6. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil
yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat
merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan
mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing
injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi
bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun
komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang
cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma
decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian
yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur
hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen.
Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar
terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%),
diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan
yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan
berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh
organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering
mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah
abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen
dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi
karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner
(2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma,
atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).

7. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna
merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive
untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team
bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik
yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan
obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG
ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya
indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada
pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan
supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya
ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah
segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar
(>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer
Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan
diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :
149-150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit
> 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat.
Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau
lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara
bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun
terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
a) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan
struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT
scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun
DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula
asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal
untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)

c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan
pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.
Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral
decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah
diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau
ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi.
Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera
retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun
untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien
yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen
tidur.
3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai
adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan
dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang
diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
b) Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc
kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien
dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai
(1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3)
pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-
voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT
cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan
bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai
30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam
30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh
visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi,
kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik
putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami
kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun
arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil
tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal
(duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan
menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL.
Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan
kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track
ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus
dilakukan.(American College of Surgeon Committee of
Trauma,2004:149).

d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)

9. Penatalaksanaan gawat darurat


a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat
dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya
jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan
status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada
tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio
kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali
kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi
trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.PENGKAJIAN

1. Primary survey
a) Airway:
Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi.
b) Breathing:
Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada
dyspnea, tidak ada napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
c) Circulation:
Nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah
normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
Penurunan kesadaran.
d) Disability:
Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila
adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis. Salah satu
cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah dengan metode AVPU:
A : alert (sadar)
V : respon terhadap rangsang vokal(suara)
P : respon terhadap rangsang nyeri(pain)
U : unresponsive ( tidak ada respon)
e) Exposure/Environment:
Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar
pada abdomen, perut semakin menegang.

2. Secondary survey
a. Fokus Asesment

Kepala : Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
Leher : lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
Dada : Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap
kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan
gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah,
gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak
adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
Abdomen : Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan
auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang
dianggap kritis ditemukannya penurunan bising usus, nyeri
tekan pada abdomen bunyi dullness, kekauan dan spasme pada
perut karena akumulasi darah atau cairan.
Pelvis : Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.
Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan
tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik
Extremitas : ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka laserasi pada
tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi
motorik, fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri,
melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau
menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
b. AMPLE
Allergy : ada alergi/tidak
Medication : ada medikasi sebelumnya/tidak
Past Medical History : ada riwayat penyakit/tidak
Last Meal : ada makan terakhir/tidak
Event : lingkungan yang berhubungan dengan kejadian

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Resiko Syok dibuktikan dengan perdarahan


b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma abdomen)
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (SIKI)


KEPERAWATAN KRITERIA
(SDKI) HASIL (SLKI)
1. Resiko Syok dibuktikan Setelah dilakukan Pencegahan syok
dengan perdarahan tindakan Observasi:
keperawatan  Monitor status pulmonal
....x… jam, (frekuens dan kekuatan nadi,
diharapkan syok frekuensi nafas, TD)
tidak terjadi  Monitor status oksigenasi
dengan  Monitor tingkat
kesadaran/pupil
KH: Terapeutik
Tingkat Syok  Berikan oksigen untuk
□ Kekuatan nadi mempertahankan saturasi O2
meningkat >94%
□ Tidak ada  Pasang jalur IV
penurunan Kolaborasi
kesadaran  Kolaborasi pemberian IV
□ Akral hangat  Kolaborasi pemberian
□ Tidak pucat transfusi darah.
□ Frekuensi Nadi
normal
□ Frekuensi nafas
membaik
2. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan  Lakukan pengkajian nyeri
agen pencedera fisik ...x...... jam diharapkan komprehensif yang meliputi
(trauma abdomen) nyeri akut dapat lokasi, karakteristik,
berkurang dengan onset/durasi, frekuensi, kualitas,
criteria : intensitas atau beratnya nyeri
Tingkat nyeri dan factor pencetus
Kriteria Hasil :  Pastikan perwatan analgesic
 idak gelisah bagi pasien dilakukan dengan
 Tidak tampak pemantauan yang ketat
ekspresi wajah  Gunakan strategi komunikasi
kesakitan terapeutik untuk mengetahui
 Frekuensi napas pengalaman nyeri dan
dalam batas sampaikan penerimaan pasien
normal (dewasa terhadap nyeri
: 16-24 x/menit)  Gali bersama pasien dan
 Tekanan darah keluarga mengenai factor-faktor
normal (dewasa yang dapat menurunkan atau
: 120/80mmHg) memperberat nyeri
 Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
 Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (mis., suhu
ruangan,pencahayaan dan suara
bising)
 Kurangi atau eliminasifaktor-
faktor yang dapat mencetus atau
meningkatkan nyeri (mis.,
ketakutan, kelelahan, keadaan
monoton, dan kurang
pengetahuan)
 Pilih dan implementasikan
tindakan yang beragam (mis.,
farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri
sesuai kebutuhan
 Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan
tepat
 Ajarkan penggunaan teknik non
farmaklogi
(seperti,biofeedback,TENS,
hypnosiss,relaksasi,bimbingan
antisipasi, terapi musik, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupressur, aplikasi
panas/dingin dan pijatan,
sebelum, sesudah dan jika
memungkinkan ketika
melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri sebelum
nyeri terjadi atau meningkat,
dan bersamaan dengan tindakan
penurun rasa nyeri lainnya)
 Kolaborasi dengan pasien
keluarga dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurun nyeri nonfarmakologi
sesuai kebutuhan
 Berikan individu penurun nyeri
yang optimal dengan peresepan
analgesic
 Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri

3. Resiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan Infeksi


berhubungan dengan asuhan keperawatan Monitor hasil pemeriksaan darah
efek prosedur invasif selama …x...jam lengkap (WBC, granulosit)
diharapkan tidak ada Pertahankan kondisi aseptic
tanda-tanda infeksi pada luka
dengan kriteria hasil: Lakukan perawatan luka secara
Tingkat infeksi berkala dengan teknik steril
Tidak ada Monitor adanya tanda-tanda
kemerahan infeksi (kemerahan, adanya pus,
Tidak terjadi bau, pembengkakan,
hipertermia peningkatan suhu)
Tidak ada nyeri Kolaborasi pemberian antibiotic
Tidak ada (topical, oral)
pembengkakan Berikan intake nutrisi yang
Suhu dalam batas adekuat (tinggi kalori tinggi
normal (36,5o – protein)
37oC) Ajarkan klien dan keluarga
Tekanan darah mengenai tanda-tanda infeksi
dalam batas normal Ajarkan klien dan keluarga
(120/80 mmHg) bagaimana menghindari
Nadi dalam batas terjadinya infeksi
normal (60-100 Ajarkan klien untuk tetap
x/mnt) mempertahankan hygiene tubuh
RR dalam batas Anjurkan klien untuk bedrest
normal (12-20 Hentikan prosedur invasive
x/mnt) lakukan pemeriksaan dalam bila
WBC dalam batas perlu untuk mencegah terjadinya
normal (4,6 – 10,2 infeksi.
k/ul)
Klien mampu
menyebutkan
factor-faktor resiko
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor
lingkungan
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor tingkah
laku penyebab
infeksi
Tidak terjadi
paparan saat
tindakan
keperawatan
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan.

E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC:
Jakarta.
Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis,
Mossouri, Elsevier inc.
Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC NOC
Jilid 3. Jogjakarta: MediAction
PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Edisi 1.Jakarta
PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Edisi 1 Cetakan II. Jakarta
PPNI.2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Edisi 1 Cetakan II
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4,
Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai