Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO I

“Kondisi pasien menurun dengan cepat!”

KELOMPOK A10

HAIKAL FAIQ ALBASITH G0016099

HANIF OMAR FARIED G0016101

SAHRUL FAJAR R G0016193

SANDY AKBAR P P G0016195

SONYA DELLANIA R G0016207

STEFANI JUTIEN SARI G0016209

SYA’IRUL TANDI ALLA G0016211

TASYA FIRZANNISA M P G0016213

TIARA MAHZA WARDHANI G0016215

TINET ENDAH RINANI G0016217

VINA ALEXANDRA KURNI G0016221

VITA PERTIWI G0016223

MARIA MARGARETHA V P G0016241


TUTOR :

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2019

BAB I

PENDAHULUAN

Skenario 1

“Kondisi pasien menurun dengan cepat!”

Seorang pasien laki-laki berusia 45 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan
demam sudah 3 hari, badan pegal-pegal, mual, namun tidak ada gangguan dalam BAB dan
BAK. Pasien meminta kepada anda untuk di injeksi obat pegal-pegal. Setelah dilakukan
injeksi vitamin dan analgesik, kondisi pasien menurun, pasien pucat, keringat membanjiri
tubuh, sesak nafas dan kemudian tidak sadarkan diri. Hasil pemeriksaan tanda vital pasien
adalah tekanan darah 70mmHg per palpasi, nadi 56 kali per menit lemah tidak kuat angkat,
respirasi 30 kali per menit dan kulit tubuh pasien kemerahan. Setelah dokter memberikan
adrenalin, dilakukan pemeriksaan EKG ditemukan gambaran ventrikel takikardi (VT). Lima
menit pasca gambaran VT pasien mengalami apnoe dan gambaran EKG tampak adanya
ventrikel fibrilasi (VF). Apa yang anda lakukan sebagai dokter umum pada pasien tersebut?
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

 Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


skenario

1. Ventrikel Takikardi: Ventrikel berdenyut >100x/menit.


2. Ventrikel Fibrilasi : Ventrikel cuma bergetar saja, gambaran EKG segmen P
tidak beraturan dan QRS tidak terlihat.

 Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan

Masalah yang terdapat pada skenario “Anakku batuk dan sulit bernafas” adalah:

1. Bagaimana hubungan injeksi vitamin dan obat dengan kondisi pasien?

2. Bagaimana interpretasi tanda vital dan hubungan dengan kondisi pasien?

3. Mengapa ditemukan VT setelah diberi adrenalin?

4. Apa indikasi injeksi obat?Apa perbedaan syok sepsis dan syok anafilaksis?

5. Apa pencegahan agar tidak terjadi keadaan syok setelah injeksi?

6. Mengapa dilakukan penilaian terhadap resiko decubitus dan kemandirian?

7. Bagaimana patofisiologi decubitus?

8. Mengapa Nenek Sutinah dipasang infus dan diberi antibiotik?

 Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara


mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)

1. Mengapa Nenek Sutinah mengalami sesak disertai demam dan batuk berdahak
kental berwarna kuning?

Kurangnya pergerakan dan latihan pada pasien imobilisasi akan


menyebabkan klien memiliki komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan
yang paling umum adalah atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia
hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret).
Menurunnya oksigenasi dan penyembuhan yang alami dapat meningkatkan
ketidaknyamanan klien. Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada
bronkiolus atau bronkus dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara
yang masuk diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat
mengurangi keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan berkembangnya
komplikasi ini. kemampuan batuk klien secara produktif menurun. Selanjutnya
distribusi mukus pada bronkus meningkat, terutama saat klien dalam posisi
supine, telungkup atau lateral. Mukus berkumpul pada bagian jalan nafas yang
bergantung. Pneumonia hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat
yang baik untuk bertumbuhnya bakteri. Inilah yang menyebabkan batuk
berdahak berwarna kuning dan sesak nafas. Oleh karena infeksi ini
menyebabkan demam pada pasien.

2. Apa hubungan riwayat hipertensi, stroke, hipertensi, patah tulang dengan


keluhan utama (sesak, demam, batuk, imobilisasi)?

Terdapat hubungan dari riwayat hipertensi dengan stroke, patah tulang


dan keluhan utama berupa sesak, demam, dan batuk. Nenek Sutinah yang
datang dengan keluhan sulit napas sejatinya tidak hanya disebabkan oleh
adanya gangguan pernapasan. Nenek Sutinah yang memiliki riwayat
hipertensi tidak terkontrol sangat rentan terkena stroke dan pada skenario pun
sudah dijelaskan bahwa Nenek Sutinah memiliki riwayat stroke. Ketika
seorang lansia menderita stroke yang paling dikhawatirkan adalah komplikasi
dari immobilitas akibat penyakit stroke. Immobilitas pada lansia akibat stroke
dapat memperparah proses pembentukan tulang yang akhirnya membuat
tulang menjadi rapuh. Selain itu, immobilitas juga dapat menyebabkan infeksi
saluran pernapasan yaitu pneumonia. Pneumonia ini dapat terjadi akibat posisi
tirah baring yang terus menerus dan membuat mukus di dalam paru susah
untuk dikeluarkan
 Patah tulang

Patah tulang atau fraktur pada lansia paling sering diakibatkan karena
osteoporosis, yaitu keadaan dimana terjadi penurunan massa tulang dan
mikroarsitektur tulang karena aktivitas osteoblas dan osteoklas yang tidak
seimbang. Kondisi ini meningkatkan risiko jatuh dan penyakit kronis lain, serta
biasanya tidak terdiagnosis.

Sekitar 70% dari lansia yang berusia lebih dari 65 tahun mengeluhkan
terjadinya fraktur, terutama di daerah pinggul, femur, dan tulang belakang.
Risiko ini meningkat pada lansia dengan kondisi stroke, diabetes mellitus,
demensia, sarkopenia, dan gangguan pengelihatan.

Standar diagnosis yang digunakan adalah menggunakan bone mineral


density (BMD), seseorang dikatakan osteoporosis jika skor lebih dari sama
dengan 2,5 SD di bawah rata-rata. Penatalaksanaan yang dilakukan berupa
menyingkirkan faktor risiko dan sebab sekunder, diet kalsium (lebih dari 1200
mg/hari), diet vitamin D (800-1000 IU/hari), dan screening pada usia 70 tahun
untuk laki-laki dan 65 tahun untuk perempuan.

Patogenesis penyakit ini berhubungan dengan:

- Esterogen : esterogen berperan dalam regulasi osteoklas, jumlahnya menurun


pada wanita pasca menopause. Hal ini menyebabkan osteoklas lebih banyak
daripada osteoblas sehingga penghancuran tulang tidak diimbangi dengan
pembentukan tulang baru.
- Lipid : kondisi dislipidemia, diabetes mellitus, dan hipertensi berhubungan
dengan jumlah lipid yang meningkat. Peningkatan jumlah lipid menyebabkan
naiknya resorpsi tulang dan penurunan diferensiasi osteoblas yang disebabkan
karena kalsifikasi vaskuler.
- Inflamasi : sitokin pro-inflamasi yang meningkat menybebkan naiknya resorpsi
tulang oleh osteoklas dan menurunnya akitivtas OPG.
- Penurunan blood flow : Hal ini dikaitkan dengan keadaan aterosklerosis.
Penurunan aliran darah menyebabkan turunnya metabolisme tulang yang
mengarah pada kondisi osteoporosis.
- Osteoprogetinin (OPG) : OPG berperan dalam menurunkan kalsifikasi mineral
yang merupakan patogenesis dari osteoporosis dan mineralisasi vaskuler

Dampak Immobilisasi
Kelemahan Otot
o Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan
otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien
dengan imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional,
kelemahan, dan jatuh (Craven dan Hirnle, 2000).

Kontraktur Otot dan Sendi


o Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena
sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang
semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut (Craven dan
Hirnle, 2000).
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara reabsorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi tulang, meningkatkan
kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor
utama yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang (Craven dan Hirnle, 2000).

Ulkus Dekubitus
o Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien
usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro
sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25
mmHg secara terus-menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan
pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan
(Craven dan Hirnle, 2000).

Hipotensi Postural
o Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah
iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml
darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh
tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume
sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal
sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut
jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi
baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari
berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia (Craven dan
Hirnle, 2000).

Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)


o Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan
baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan
sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga
terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.
Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi
yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih (Craven dan Hirnle,
2000).

3. Apa alasan yang membuat Nenek Sutinah tidak bisa bangun, tidak mau bicara
dan sulit diajak berkomunikasi, serta sulit makan dan minum?

Penurunan produksi kelenjar saliva merupakan salah satu bentuk


penurunan fisiologi pada pasien geriatri. Penurunan produksi kelenjar saliva ini
menyebabkan menurunnya fungsi fisiologis pada taste bud yang memberikan
peranan penting terhadap nafsu makan seseorang. Pada geriatri, makanan
cenderung terasa pahit dan sulit dicerna secara mekanik (dikunyah) sehingga
menurunkan minat makan. Selain itu, penurunan metabolisme GIT pada geriatri
dapat menyebabkan pasien kesulitan defekasi dan menimbulkan sensasi sebah
(tidak nyaman pada perut, serasa seperti penuh) dan menurunkan rasa ingin
makan pada pasien. Hipertensi pada pasien juga dapat menyebabkan
peningkatan progresivitas pada penurunan fungsi indera pasien. Penurunan
fungsi indera seperti penglihatan, penghidu dan pengecap berdampak pada
pasien yang mengalami penurunan nafsu makan.

Seorang yang sudah lanjut usia biasanya juga mudah mengalami


dehidrasi. Hal ini disebabkan minatnya untuk minum menurun akibat rasa
enggan untuk buang air kecil (urinasi) yang meningkat apabila minum terlalu
banyak. Selain itu, pasien lanjut usia mengalami penurunan sensasi haus.
Penurunan ini menyebabkan sistem renal-kardiovaskuler tidak melakukan
kompensasi mempertahankan cairan dalam tubuh dan tetap memproses diuresis.
Cairan yang masuk ke dalam tubuh pun cepat dikeluarkan kembali dan pasien
mudah mengalami dehidrasi. Pada pasien dengan hipertensi, stroke maupun
sindrom metabolik lainnya, sistem ini akan lebih tidak teratur daripada sekedar
penurunan fungsi. Hipertensi sistem vaskuler membuat tubuh cenderung
meningkatkan diuresis sehingga air yang dikeluarkan semakin meningkat.

Sulitnya komunikasi pada pasien boleh jadi berhubungan dengan riwayat


penyakit stroke yang dialami pasien. Penyakit stroke tergolong dalam beberapa
jenis. Diantaranya adalah stroke hemoragik yang dialami pasien skenario yang
berhubungan dengan hipertensi yang juga dideritanya. Penyakit stroke yang
dialami pasien menyebabkan organ-organ tubuh secara mendadak kekurangan
suplai darah yang membawa nutrisi yang dibutuhkan organ sehingga
menyebabkan kerusakan organ. Sama halnya dengan sistem neurologi, ketika
terjadi stroke, dapat terjadi kerusakan pada bagian otak yang merupakan kontrol
utama neurologi. Salah satu kontrol utama dalam fungsi bicara adalah sistem
neurologi. Terjadi gangguan dalam bicara pada pasien sehingga pasien kesulitan
menyampaikan apa yang ingin diungkapkan dalam bentuk bicara.

Selain faktor-faktor biologi di atas, pasien dengan penyakit stroke


cenderung mengalami peningkatan masalah psikologis. Hal ini dapat
mengganggu pasien dalam berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik Nenek Sutinah?

Hasil pemeriksaan fisik memperlihatkan pasien tampak sesak, dengan


kesadaran apatis, TD 110/60mmHg, RR 30x/menit, t = 36,5°C, HR =
108x/menit, BMI = 14,3. Pada paru tampak sela iga melebar, dan didapatkan
suara dasar vesikuler meningkat, ronki basah kasar lapang paru bawah, dengan
fremitus taktil meningkat. Hasil leukosit 21000. Thorak PA tampak infiltrat di
kedua lapang paru bawah.

Kesadaran apatis dalam Glaslow Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-
13, dimana pasien tampak acuh tak acuh, tidak bicara, pandangan hampa.
Tekanan darah 110/60 mmHg berarti kurang dari normal pada sistolik dan
hipotensi diastolik, hal ini dapat disebabkan karena adanya kekurangan cairan
pada tubuh pasien dimana penurunan tekanan darah merupakan salah satu tanda
kekurangan cairan pada lansia. Respiration rate terdapat peningkatan (normal
14-20x/ menit), keadaan yang juga merupakan tanda dari kekurangan cairan
pada tubuh, serta tubuh berusaha meningkatkan pemasukan oksigen dengan
bernafas lebih banyak. Temperatur masih termasuk dalam batas normal (suhu
oral rata-rata usia lanjut 36°C). Heart rate terdapat peningkatan (normal 60-
100x/ menit), karena adanya penurunan cairan tubuh pasien.

Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar


lapang paru bawah, suara dasar vesikuler meningkat, dan fremitus taktil
meningkat. Suara ronkhi basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan
paru (contoh: pneumonia) maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh:
bronkhitis) karena suaranya terdengar di lapang paru bawah maka kemungkinan
gangguan pada lobus inferior paru kanan. Ronkhi basah kasar merupakan
petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan intensitas
suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Suara dasar vesikuler
meningkat menandakan adanya cairan dalam paru-paru, tanda pneumonia.
Fremitus taktil meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Pada
pemeriksaan radiologis infiltrat di kedua lapang paru bawah berarti ada tanda
infeksi atau peningkatan sekresi mukus.

Hasil lab: leukosit 21.000 mengalami peningkatan yang signifikan


(4000-11.000/ mm3), hal ini menandakan adanya infeksi oleh karena bakteri.
Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang normal atau
sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis.

5. Bagaimana indikasi pemberian oksigen dan NGT?


a. Indikasi pemasangan oksigen:
 Pasien hipoksia
 Pasien oksigenasi kurang sedangkan paru normal
 Pasien oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
 Pasien oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal
 Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
 Pasien dengan tekanan partial karbondioksida (PaCO2) rendah.
Tujuan Pemberian :
 Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob
 Mempertahankan PaO2 lebih dari 60 mmHg atau SaO2 lebih dari 90%, untuk:
(1)Mencegah dan mengatasi hipoksemia/hipoksia serta mempertahankan
oksigenasi jaringan yang adekuat. (2) Menurunkan kerja nafas dan miokard. (3)
Menilai fungsi pertukaran gas.

b. NGT
Pemasangan pipa nasogastrik atau nasogastric tube (NGT) merupakan
prosedur pemasangan pipa melalui lubang hidung (nostril) turun ke nasofaring
kemudian ke lambung. Prosedur ini bermanfaat untuk tujuan diagnosis maupun
terapi. Tipe-tipe NGT antara lain pipa Levin, pipa Salem sump, dan pipa Moss,
namun yang sering digunakan adalah pipa Levin.
Indikasipemasangan NGT yaitu untuk kepentingan diagnosis maupun terapi.

 Diagnosis
- Drainase isi lambung untuk bahan pemeriksaan laboratorium atau sampling.
- Pemberian agen diagnostik seperti kontras media radioopak.
 Terapi
- Pemberian nutrisi yang adekuat atau obat-obatan pada pasien yang tidak mampu
mengkonsumsi secara oral. Indikasi pemasangan NGT untuk nutrisi yaitu : (1)
Ketidakmampuan untuk memasukkan makanan melalui rute oral. Contoh:
pasien tidak sadar, kanker lidah, anoreksia nervosa, trauma dan luka bakar pada
wajah. (2) Saluran cerna bagian atas tidak mampu menyalurkan makanan ke
usus halus. Contoh: karsinoma esofagus dan tumor esofagus. (3) Gangguan
pencernaan atau malabsorbsi yang membutuhkan asupan makanan terus
menerus. Contoh: insufisiensi pankreas atau empedu,fibrosis kistik, penyakit
radang usus dan diare berkepanjangani.
- Pemberian ASI, formula atau makanan cair langsung ke dalam lambung untuk
tambahan kalori.
- Evakuasi isi lambung yang berbahaya, misalnya pada kasus over dosis obat atau
keracunan.
- Gastric lavage dengan pemasangan NGT dan suction pada pasien perdarahan
gastrointestinal yang masif bermanfaat untuk mengurangi gejala dan
memfasilitasi visualisasi endoskopi untuk melihat gambaran mukosa lambung
dan duodenum.
- Pemberian activated charcoal.
- Dekompresi lambung dengan pemasangan NGT dan suction berguna untuk
mengeluarkam sekresi saluran cerna dan udara yang tertelan pada pasien pasien
dengan obstruksi pada usus halus atau gastric outlet, serta mengurangi keluhan
pada pasien pankreatitis dan ileus.

Kontraindikasi NGT

 Ada dua kontraindikasi pemasangan NGT antara lain, kontraindikasi absolut


seperti sumbatan jalan napas, riwayat konsumsi bahan alkali, riwayat konsumsi
hidrokarbon, fraktur wajah dengan Cribriform plate injury, luka penetrasi di
leher, diverkulum Zenker, atresia koana, striktur esofagus. Serta kontraindikasi
relatif seperti koagulopati berat, setelah operasi orofaringeal, operasi hidung
maupun operasilambung, demensia.

6. Apa saja konsul rehabilitasi medik dan gizi yang bisa dilakukan untuk Nenek
Sutinah? mengapa harus dilakukan?

Rehabilitasi medik dilakukan untuk memperbaiki fungsionalitas tubuh lansia


yang menurun. Sedangkan perbaikin gizi dilakukan atas indikasi IMT yang
kurang pada nenek sutinah. Perbaikan gizi secara umum dilakukan dengan
pemenuhan kalori harian yang cukup pada makronutrien.

7. Mengapa dilakukan penilaian terhadap resiko decubitus dan kemandirian?

Karena pasien mengalami tirah baring lama, yang merupakan faktor risiko
terjadinya ulkus decubitus.
Faktor risiko decubitus : kulit basah, pasien DM, inkontinensia urine, sulit
bergerak, dll.

Tempat yang sering mengalami ulkus ini : bagian yang mengalami tekanan,
seperti tumit, punggung, bokong, scapula, leher.

Penilaian : keadaan fisik, aktifitas, mobilitasm inkontinensia dan kesadaran.


Dimana masing-masing aspek diberi skor 1-4.

Kondisi Pasien Keterangan Skor


Baik 4
Cukup lumayan 3
Kondisi fisik umum
Buruk 2
Sangat buruk 1
Kompos mentis 4
Apatis 3
Kesadaran
Konfusi sopor 2
Stupor/koma 1
Ambulatori 4
Berjalan dengan batuan 3
Tingkat aktivitas
Hanya bisa duduk 2
Hanya bisa tiduran 1
Bergerak bebas 4
Sedikit terbatas 3
Imobilitas
Sedikit terbatas 2
Tak bisa bergerak 1
Tidak ada 4
Kadang-kadang 3
Inkontinensia
Sering inkontinensia urin 2
Sering inkontinensia urin alvi 1

Interpretasi :
 < 12 : peningkatan risiko sebanyak 50%

 12-13 : risiko sedang

 > 14 : risiko kecil

Dilakukannya penilaian kemandirian berfungsi untuk menilai fungsionalitas yang


berhubungan dengan fisiologis yang menurun jika ditandai pasien tidak dapat
mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Ketika pasien tidak dapat mandiri
biasanyan akan terjadi penurunan fisiologis yang lebih berat.

8. Bagaimana patofisiologi decubitus?

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi


pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.
Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini
lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami
hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan dihilangkan
sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui
mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di
tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya
melebar ke epidermis (Potter dan Perry, 2005).

Dalam pandangan ini, cedera akibat tekanan konstan yang cukup untuk
merusak aliran darah lokal ke jaringan lunak terjadi dalam waktu yang lama.
Tekanan eksternal ini harus lebih besar dari tekanan kapiler arteri (32 mm Hg)
untuk mengganggu aliran masuk dan lebih besar dari tekanan penutupan kapiler
vena (8-12 mm Hg) untuk menghambat kembalinya aliran untuk waktu yang
lama.

Jaringan mampu menahan tekanan yang sangat besar untuk periode yang
singkat, tetapi paparan tekanan yang berkepanjangan sedikit di atas tekanan
pengisian kapiler menyebabkan terjadinya nekrosis dan ulserasi jaringan.

Titik-titik tekanan tertinggi pada pasien terlentang termasuk sakrum,


tumit, dan oksiput (40-60 mm Hg). Pada pasien tengkurap, dada dan lutut
menyerap tekanan tertinggi (50 mm Hg). Ketika pasien duduk, tuberositas iskial
berada di bawah tekanan paling besar (100 mm Hg). Tekanan-tekanan ini lebih
besar daripada tekanan kapiler ujung, itulah sebabnya inilah area-area di mana
ulkus decubitus paling sering terjadi.

Gaya geser dan gesekan memperparah efek tekanan dan merupakan


komponen penting dari mekanisme cedera. Maserasi dapat terjadi pada pasien
yang mengalami inkontinensia, menyebabkan kulit menjadi cedera. Tekanan,
gaya geser, dan gesekan menyebabkan oklusi mikrosirkulasi dan akibatnya
iskemia, yang mengarah pada peradangan dan anoksia jaringan. Anoksia
jaringan menyebabkan kematian sel, nekrosis, dan ulserasi.

Dari berbagai jaringan yang berisiko mati karena tekanan, jaringan otot
rusak terlebih dahulu, sebelum kulit dan jaringan subkutan, mungkin karena
meningkatnya kebutuhan akan oksigen dan kebutuhan metabolisme yang lebih
tinggi. Kulit dapat menahan iskemia dari tekanan langsung hingga 12 jam. Pada
saat ulserasi hadir melalui tingkat kulit, kerusakan signifikan dari otot yang
mendasari mungkin sudah terjadi, membuat bentuk keseluruhan ulkus menjadi
kerucut terbalik.

Reperfusi telah diusulkan sebagai penyebab kerusakan tambahan pada


daerah yang mengalami ulserasi, yang menyebabkan ulkus membesar atau
menjadi lebih kronis — seperti, misalnya, ketika pasien lumpuh atau lumpuh
diputar dari satu sisi ke sisi lain dalam upaya memerangi tekanan
berkepanjangan pada sisi tertentu. Mekanisme pasti cedera iskemia-reperfusi
belum sepenuhnya dipahami. Produksi berkelanjutan mediator inflamasi dan
spesies oksigen reaktif selama reperfusi iskemia dapat berkontribusi pada
kronisitas ulkus tekan.

9. Mengapa Nenek Sutinah dipasang infus dan diberi antibiotik?

Pemberian cairan infus dirasa sesuai karena pada infeksi yang sudah
terjadi sepsis sitokin yang dihasilkan oleh mekanisme imun akan menyebabkan
turunnya volume vaskuler sehingga aliran darah teraba rendah selain itu pasien
ini juga ada risiko untuk terjadi dehidrasi dengan rendahnya intake air yang
dikonsumsi dan rendahnya respon dehidrasi karena sudah menginjak usia lanjut.
Pemberian oksigen tepat karena apabila oksigen tidak sampai ke jaringan
karena rendahnya difusi pada alveolus, karbohidrat akan dimetabolisme menjadi
asam laktat yang akan menyebabkan hiperlaktat yang akan menyebabkan
hilangnya massa otot.

Pemberian antibiotik pada pasien tepat dengan adanya sputum berwarna


kuning kehijauan yang merupakan salah satu manifestasi klinik penyakit akibat
infeksi bakteri.

 Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan


sementara mengenai permasalahan pada langkah III

 Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran


Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah:

1. Menjelaskan hubungan disease dengan sindrom geriatri yang sesuai dengan


skenario
2. Menjelaskan tatalaksana, komplikasi dan prognosis penyakit pasien
3. Menjelaskan mengenai sepsis dan ulkus dekubitus
4. Menjelaskan edukasi fase akhir geriatri
5. Menjelaskan managemen nutrisi, gizi dan rehabilitasi medik
 Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru

 Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh

1. Menjelaskan hubungan disease dengan sindrom geriatri yang sesuai dengan


skenario
Pada kasus tersebut diketahui pasien mengalami sesak napas yang
memberat, disertai demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental.
Demam mengindikasikan adanya infeksi. Batuk dengan dahak dan sesak napas
mengindikasikan adanya masalah pada sistem pernapasan pasien. Berdasarkan
gejala dan tanda serta hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, kemungkinan
pasien mengalami bronkopneumonia, yaitu infeksi pada saluran pernapasan dan
parenkim paru (alveoli).

Infeksi pada paru atau pneumonia menyebabkan terjadinya proses inflamasi


pada jaringan paru dan disertai peningkatan permebilitas kapiler pulmoner.
Peningkatan permeabilitas kapiler tersebut dapat menyebabkan kebocoran protein
plasma beserta cairan dari intravaskuler menuju ke ruang interstitial paru. Cairan
pada mulanya akan terkumpul di jaringan interstitium di perivascular dan
peribronkial serta septum interalveolaris. pada stadium ini, pertukaran gas belum
begitu terganggu dan umumnya belum terjadi hypoxemia. Pada edema yang
parah, akan terjadi kerusakan pada epitelium alveoli dan terjadi kebocoran cairan
ke dalam rongga alveoli, menyebab alveouli “tergenang” air dan pertukaran gas
menjadi terganggu, serta umumnya hypoxemia terjadi pada stadium ini.

Peningkatan cairan interstitial mengaktifkan reseptor yang bernama reseptor


J dan mengaktivkan refleks untuk meningkatkan laju pernafasan sehingga pasien
mengalami takipnea. Selain itu takipnea juga membantu dalam klirens cairan dari
dalam paru-paru. Transudasi cairan ke ruang interstitial yang berlebihan
menyebabkan komplians paru menurun sehingga pasien menjadi sulit bernapas
atau sesak napas (dyspnea). Hal ini juga menyebabkan “harga” energi yang perlu
dibayarkan untuk bernapas menjadi semakin besar sehingga kebutuhan oksigen
pun meningkat.

Infeksi pada saluran pernapasan menyebabkan proses inflamasi dan


diproduksinya sekret/sputum berupa dahak yang kuning kental. Melalui proses
batuk, tubuh berusaha untuk mengeluarkan dahak dari saluran napas. Adanya
sekret yang kental ini dapat memperberat keluhan sesak napas pasien. Obstruksi
pada jalan napas karena sekret dapat mengganggu aliran udara pernapasan.

Kondisi tidak bisa bangun, makan, minum, dan sulit bicara pada geriatri
lebih kepada gangguan psikologis yang sedang dialami. Dan merujuk kepada
depresi. Diaman hal ini berhubungan dengan kondisi pasien sebelumnya yang
terkena stroke. Penelitian tahun 2012 menyebutkan bahwa depresi pasca stroke
terjadi pada 1 dari 3 pasien stroke. Gejala biasanya muncul pada bulan ketiga
pasca stroke. Jadi berhubungan secara tidak langsung terhadap kondisi pasien
yang tidak bisa bangun, makan, minum dan sulit bicara melalui depresi pasca
stroke. (Sozeri, 2012).

Dalam praktek medis dan rehabilisasi medis, istilah imobilisasi diterapkan


untuk menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis akibat berkurangnya
aktivitas. Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada
hampir semua sistem organ sebagai akibat dari perubahan tekanan gravitasi dan
penurunan fungsi motorik. Organ yang sering terkena antara lain muskuloskeletal
(osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan masa otot), kardiovaskuler
(peningkatan heart rate, penurunan perfusi myocardium, penurunan volume
plasma, hiperkoagulasi), integumen (dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri,
resistensi insulin, hiperlipidemia), gastrointestinal (inkontinensia urin dan alvi,
gangguan pengosongan vesika urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri
(depresi, psikosis, penurunan kognitif) (Laksmi et al, 2008).

Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan


utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan
pembentukan trombus. Hipotensi ortostatik adalah peningkatan denyut jantung
lebih dari 15% atau tekanan darah sistolik menurun 15 mmHg atau lebih saaat
klien berubah posisi dari posisi terlentang ke posisi berdiri. Pada kilen yang
imobilisasi, menurunnya volume cairan yang bersirkulasi, berkumpulnya darah
pada ekstremitas bawah, menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini
akan menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang
direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama terjadi pada
klien lansia. Karena beban kerja jantung meningkat, konsumsi oksigen juga
meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang efisiensi
jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung meningkat.
(Laksmi, et.al. 2008)

1) Perubahan Muskuloskeletal

Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan


permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen. Pembatasan
mobilisasi terkadang menyebabkan kehilangan daya tahan, kekuatan dan massa
otot, serta menurunnya stabilitas dan keseimbangan. Dampak pembatasan
mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan sendi. Karena
pemecahan protein, klien kehilangan massa tubuh yang tidak berlemak. Massa
otot berkurang tidak stabil untuk mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya
kelemahan. Jika mobilisasi terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan,
kehilangan massa otot akan terus terjadi. Kelemahan otot juga terjadi karena
imobilisasi, dan imobilisasi lama sering menyebabkan atrofi angguran, dimana
atrofi angguran (disuse atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap
penyakit dan menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi
kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan instabilitas
sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini dapat terjadi dalam
beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien kritis terpasang ventilator
dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25 % dalam waktu 4 hari dan
kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya massa otot-otot rangka sangat tinggi
dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi selama perawatan intensif.

2) Perubahan Eliminasi Urine

Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat
mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih
karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan datar,
ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh
ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu oleh gaya gravitasi.
Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu menimbulkan gaya garvitasi,
pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki ureter. Kejadian ini disebut stastis
urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal
adalah batu kalsium yang terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien
imobilisasai beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami
hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering
berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko
dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang pada atau antara
hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine menjadi pekat. Urine yang pekat
ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus urinarius oleh bakteria escherchia
coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada klien yang imobilsasi adalah
penggunaan kateter urine indwelling.

3) Perubahan Integumen

Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan


efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini membuat
imobilisasi menjadi masalah resiko yang besar terhadap luka tekan. Metabolisme
jaringan bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi sampah
metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi metabolisme seluler dengan
menurunkan atau mengeliminasi sirkulasi jaringan secara keseluruhan.

4) Perubahan Perkembangan

Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul


akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung dihubungkan dengan
imobilisasi pada anak yang sangat muda dan pada lansia. Anak yang sangat muda
atau lansia yang sehat namun diimobilisasi memiliki sedikit perubahan
perkembangan. Namun, terdapatnya beberapa pengecualian. Misalnya ibu yang
mengalami komplikasi saat kelahiran harus tirah baring dan mengakibatkan tidak
mampu berinteraksi dengan bayi baru lahir seperti yang dia harapkan. (Laksmi,
et.al. 2008)

2. Menjelaskan tatalaksana, komplikasi dan prognosis penyakit pasien


a. Pneumonia
 Tatalaksana :
Pengobatan pneumonia dilakukan dengan pemberian pengobatan umum
dan medikamentosa, serta terapi suportif.

Pada terapi suportif diberikan fisioterapi, dan hidrasi. Pada dehidrasi


ringan dapat dilakukan dengan oral. Sedangkan pada kondisi yang berat hidrasi
dilakukan parenteral. Sedangkan fisioterapi ditujukan untuk mengubah posisi
pada penderita untuk menghindari timbulnya pneumonia hipostatik, kelemahan,
dan decubitus.

Medikamentosa yang diberikan bertujuan untuk membasmi kuman


penyebab pneumonia. Pertama diberikan broad spectrum antibiotic terlebih
dahulu sambil menunggu hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman
terhadap antibiotika.

 Komplikasi
- Efusi pleura
- Bacteremia
- Abses paru
- Gagal respirasi
- Gangguan jantung
 Prognosis
Secara umum, prognosis baik pada pasien sehat dengan pneumonia tanpa
komplikasi. Usia lanjut, organisme agresif (misalnya, Klebsiella, Legionella, S
pneumoniae resisten), komorbiditas, kegagalan pernafasan, neutropenia, dan
fitur sepsis, sendirian atau dalam kombinasi, meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Jika tidak diobati, pneumonia mungkin memiliki tingkat kematian
keseluruhan lebih dari 30%.

b. Stroke
 Tatalaksana
- Stroke hemoragik : Ketika pendarahan besar terjadi di otak atau di sekitar otak,
seluruh otak berada dalam bahaya karena tekanan yang meningkat di dalam
tengkorak. Sebagian besar perawatan darurat untuk stroke hemoragik
melibatkan pengukuran dan penurunan tekanan. Manitol gula, yang kadang-
kadang digunakan sebagai obat, menarik cairan otak ke dalam aliran darah,
dapat digunakan untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial. Pasien
dapat diintubasi dan dihubungkan ke ventilator mekanik untuk melakukan
hiperventilasi sebagai cara untuk menurunkan tekanan di dalam dan di sekitar
otak.
Jika perlu, seorang dokter bedah akan memotong tulang tengkorak untuk
mengurangi kompresi jaringan otak. Dalam beberapa kasus, pembedahan
diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar bekuan darah setelah
pendarahan, tetapi pada kebanyakan pasien, tubuh akhirnya menyerap kembali
darah yang tersumbat dengan sendirinya.Pada jam-jam setelah stroke
hemoragik, tekanan darah harus dipantau secara ketat. .
Dalam kasus perdarahan subaraknoid, yang biasanya memicu spasme
arteri yang terdekat dengan lokasi perdarahan, obat-obatan dapat digunakan
untuk mencegah penyempitan pembuluh darah saat mereka kejang.
Jika perdarahan terjadi karena pembuluh darah yang terbentuk secara
tidak normal, pembedahan mungkin tepat untuk mencegah perdarahan terjadi
lagi. Aneurisma dapat diperbaiki dengan menempatkan klip bedah. Bergantung
pada ukuran dan lokasi malformasi arteriovenosa, ahli bedah saraf mungkin
dapat memperbaiki atau menghapusnya.
Intervensi awal oleh ahli terapi okupasi dan fisik sangat membantu..
Biasanya, rawat inap diikuti oleh masa tinggal di pusat rehabilitasi, di mana
terapi intensif tambahan dapat diberikan. Tujuan rehabilitasi adalah untuk
membantu pasien memulihkan sebanyak mungkin fungsi fisik dan berbicara.
- Stroke iskemik : Tujuan utama terapi pada stroke iskemik akut adalah
mempertahankan jaringan otak yang iskemik supaya mencegah infark.

Strategi rekanalisasi, termasuk pemberian aktivator plasminogen tipe


jaringan rekombinan (IV) (rt-PA) dan pendekatan intra-arterial, berupaya
membangun revaskularisasi sehingga sel-sel dalam yang terkena iskemik dapat
diselamatkan sebelum cedera ireversibel terjadi. Memulihkan aliran darah dapat
mengurangi efek iskemia hanya jika dilakukan dengan cepat.

 Komplikasi :
- Deep vein trombosis
- Seizure
- Edema cerebral
- Paresis
- Pneumonia
- Gangguan kemih
- Gangguan sensorik
- Infark
- Depresi
 Prognosis
Baik atau buruknya prognosis karena stroke bergantung pada jenis stroke
yang mengenai pasien. Pada pasien dengan stroke hemoragik, GCS yang makin
rendah menandakan makin buruknya prognosis, selain itu letak perdarahan dan
volume perdarahan juga mempengaruhi prognosis. Pada stroke iskemik,
prognosis setelah stroke iskemik sangat bervariasi pada masing-masing pasien,
tergantung pada keparahan stroke dan pada kondisi premorbid pasien, usia, dan
komplikasi pasca stroke.

c. Osteoporosis
 Tatalaksana : Menurut pedoman praktik klinis dari American College of
Physicians tentang pengobatan untuk mencegah patah tulang pada pria dan
wanita dengan kepadatan tulang rendah atau osteoporosis. Terdapat enam
rekomendasi pada terapi osteoporosis: dua rekomendasi kuat, berdasarkan bukti
kualitas tinggi atau sedang, dan empat yang lemah, berdasarkan pada bukti
berkualitas rendah. Dua rekomendasi kuat adalah sebagai berikut:
- Dokter harus menawarkan pengobatan farmakologis kepada wanita dengan
osteoporosis untuk mengurangi risiko patah tulang pinggul dan tulang belakang;
obat yang bisa digunakan termasuk alendronate, risedronate, asam zoledronic,
atau denosumab.
- Pada wanita pascamenopause, estrogen atau estrogen plus progestogen atau
raloxifene tidak boleh digunakan untuk pengobatan osteoporosis.

Keempat rekomendasi yang lemah adalah sebagai berikut:


- Pada wanita dengan osteoporosis, pengobatan farmakologis harus berlangsung
selama 5 tahun; obat generik harus digunakan bila memungkinkan.
- Pemantauan bone mineral density (BMD) selama 5 tahun pengobatan pada
wanita dengan osteoporosis tidak disarankan, karena bukti menunjukkan bahwa
risiko patah tulang dapat dikurangi terlepas dari perubahan BMD
- Untuk wanita berusia 65 dan lebih tua yang menderita osteopenia dan berisiko
patah tulang tinggi, keputusan untuk mengobati harus mempertimbangkan
preferensi pasien, profil risiko patah tulang, manfaat, bahaya, dan harga obat.
- Pada pria dengan osteoporosis yang diakui secara klinis, dokter harus
menawarkan terapi bifosfonat untuk mengurangi risiko patah tulang belakang;
bukti kurang pada pemantauan BMD pada pria.

Langkah-langkah pencegahan nonfarmakologis meliputi modifikasi


faktor gaya hidup umum, seperti meningkatkan latihan menahan beban dan
penguatan otot, yang dikaitkan dengan studi epidemiologi dengan tingkat patah
tulang yang lebih rendah, dan memastikan asupan kalsium dan vitamin D yang
optimal sebagai tambahan terhadap terapi anti-fraktur aktif. Selain itu, penyebab
osteoporosis yang berpotensi dapat diobati seperti hiperparatiroidisme dan
hipertiroidisme harus disingkirkan atau diobati jika terdeteksi.

Perawatan bedah termasuk vertebroplasti dan kyphoplasty, yang


merupakan prosedur tulang belakang invasif minimal yang digunakan untuk
manajemen fraktur kompresi tulang belakang osteoporosis yang menyakitkan.
Namun, mungkin ada peningkatan risiko fraktur vertebra tingkat berdekatan
setelah prosedur ini.

 Komplikasi
- Fraktur tulang
- Kifosis
- Deformitas tulang
- Osteoarthritis
 Prognosis : Prognosis untuk osteoporosis baik jika terdeteksi pada fase awal dan
intervensi yang tepat dilakukan. Pasien dapat meningkatkan kepadatan tulang
dan mengurangi risiko patah tulang dengan obat anti-osteoporosis yang tepat.
Selain itu, pasien dapat mengurangi risiko jatuh dengan berpartisipasi dalam
pendekatan beragam yang mencakup rehabilitasi dan modifikasi lingkungan.
Memburuknya status medis dapat dicegah dengan menyediakan manajemen
nyeri yang tepat dan, jika dibutuhkan, perangkat ortotik.
d. Imobilisasi
 Tatalaksana :
- Pencegahan primer : Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsug
sepanjang kehidupan dan episodic. Sebagai suatu proses yang berlangsung
sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi system
musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodic
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat
tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.
 Hambatan terhadap latihan : Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia
dalam latihan secara teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi
social yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah meninggal,
perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang
buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya transportasi dan kurangnya
dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman
untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
 Pengembangan program latihan : Program latihan yang sukses sangat individual,
diseimbangkan, dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk
memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan
yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat
memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara
seksama, pengkajian tentang factor-faktor pengganggu berikut ini akan
membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:
 Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama
dan setelah aktivitas diberikan)
 Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan
khusus)
 Kesulitan yang dirasakan
 Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan
 Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang
akan berhasil)
 Keamanan : Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima
oleh klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan
klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras
sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
- Pencegahan Sekunder : Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari
imobilitas dapat dkurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan.
Keberhasilan intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai factor
yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan.
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan
komplikasi. Diagnosis keperawaqtan dihubungkan dengan poencegahan
sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
- Pencegahan tersier : Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi
lansia melibatkan upaya multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli
fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga
serta teman-teman.
 Komplikasi :
- Trombosis : Imobilisasi lama menyebabkan sirkulasi yang tidak baik di vena.
Imobilisasi menyebabkan stasis yang mengakibatkan adanya hipoksia lokal
pada sel endotel. Hal ini menyebabkan terjadinya aktivasib faktor X dan
merangsang akumilasi leukosit dan trombosit sehingga memudahkan terjadinya
trombosis.
- Emboli paru : Emboli paru sebagian besar diakibatkan oleh trombosis vena
dalam. Penyebabnya adalah lepasnya trombus yang biasanya terdapat pada
tungkai bawah. Trombus yang lep-as akan mengalir mengikuti aliran darah
mencapai pembuluh darah paru dan menyebabkan sumbatan.
- Hipotensi postural
- Ulkus dekubitus : Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus dan dalam
jangka waktu lama pada kulit menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Lama
kelamaan akan terjadi trombus yang berujung pada iskemia kulit. Pada akhirnya
akan terbentuk luka akibat tekanan ini.
- Deep vein trombosis
- Pneumonia dan ISK
- Kelemahan otot
- Kontraktur otot dan sendi
- Osteoporosis
 Prognosis : prognosis osteoporosis lebih baik apabila cepat didiagnosis dan
ditangani dengan tepat, bila tidak segera ditangani, bisa menyebabkan berbagai
komplikasi.
e. Sarkopenia
 Tatalaksana : Tatalaksana utama untuk sarkopenia adalah olahraga, khususnya
latihan resistensi atau latihan kekuatan. Kegiatan-kegiatan ini meningkatkan
kekuatan dan daya tahan otot menggunakan beban atau band resistensi. Latihan
resistensi dapat membantu sistem neuromuskuler. Jumlah, intensitas, dan
frekuensi latihan resistensi yang tepat penting untuk mendapatkan manfaat
terbanyak dengan risiko cedera paling kecil. Pasien harus terapi dengan ahli
terapi fisik atau pelatih berpengalaman untuk mengembangkan rencana latihan.
 Komplikasi :
- Imobilisasi
 Prognosis : bila sarkopenia tidak ditangani dengan cepat, otot pasien akan makin
sulit pulih seperti normal dan pasien bisa imobilisasi

f. Ulkus decubitus
 Tatalaksana
- Derajat 1 : Terjadi reaksi peradangan terbatas pada epidemis. Kulit
kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion
kemudian dipijat 2-3 kali/hari.
- Derajat 2 : Perawatan luka memperhatikan syarat-syarat aseptik dan
antiseptik.
Daerah ulkus digesek dengan es dan dihembuskan dengan udara hangat
bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal untuk
merangsang timbulnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan
pemberian salep jangan terlalu sering karena dapat merusak pertumbuhan
jaringan.
- Derajat 3 : Luka kotor dan bernanah dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir keluar. Balut
jangan terlalu tebal agar oksigenasi dan penguapan baik.Kelembaban luka
dijaga tetap basah, untuk mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Perlu
pemberian antibiotika sistemik.
- Derajat 4 : Perluasan ulkus sampai ke dasar tulang, sering disertai
jaringan nekrotik. Semua langkah diatas tetap dikerjakan jaringan nekrotik yang
akan menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi dibersihkan. Rawat bersama
bagian bedah jika diperlukan tindakan operatif untuk membersihkan luka dan
menutup jaringan.
 Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain:
- Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
- Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis.
- Septikemia
- Anemia
- Hipoalbuminemia
- Kematian
- Dll
 Pencegahan
Elemen utama pencegahan ulkus dekubitus adalah promosi gerakan, penghindaran
tekanan (jenis pemosisian), pemindahan tekanan (interval pemosisian), dan
distribusi tekanan (pemosisian alat bantu). Langkah-langkah ini harus
dikoordinasikan dan sering diperiksa ulang sesuai dengan rencana pencegahan yang
dikembangkan secara individual. Langkah-langkah yang mempromosikan gerakan
meningkatkan gangguan mobilitas dan membantu mencegah komplikasi lebih
lanjut, seperti kontraktur; langkah-langkah semacam itu mulai dari mengaktifkan
perawatan keperawatan hingga perawatan dan rehabilitasi interdisipliner yang
kompleks. Posisi bergantian adalah sarana pengurangan tekanan dan harus
diterapkan pada basis individu, mis., Posisi terlentang yang dikombinasikan dengan
posisi miring 30 ° dan 135 ° pada sisi bergantian; anggota badan dan titik-titik
tekanan harus dijaga bebas dari tekanan. Perhatian khusus harus diberikan pada
instruksi dan keterlibatan pasien dan keluarganya, sehingga mereka juga dapat
mengambil tindakan untuk meminimalkan risiko ulkus dekubitus.
 Prognosis
Penderita ulkus decubitus lebih sering meninggal karena penyakit
primernya yang diderita bersamaan dengan ulkus decubitus atau karena
komplikasi ulkus dekubitus.
Setiap tahun, sekitar 60.000 orang meninggal karena komplikasi ulkus
decubitus. Orang dengan ulkus decubitus memiliki risiko kematian 4,5 kali lebih
besar daripada orang dengan faktor risiko yang sama tetapi tanpa ulkus
decubitus. Komplikasi sekunder, bakteremia terkait luka, dapat meningkatkan
risiko kematian hingga 55%.

Penyebab kematian paling umum bagi pasien dengan ulkus decubitus


kronis adalah gagal ginjal dan amiloidosis. Secara umum, mortalitas lebih tinggi
untuk pasien yang mengalami ulkus baru dan ulkus yang gagal disembuhkan.

3. Menjelaskan mengenai sepsis dan ulkus dekubitus


a. Sepsis
 Patofisiologi dan etiologi : Ketika infeksi dan inflamasi menyebar ke seluruh
tubuh, seringkali melalui aliran darah, sepsis dapat terjadi. Ini adalah hasil dari
infeksi parah yang memasuki aliran darah, yang mengarah ke pelepasan bahan
kimia dalam tubuh dalam upaya untuk melawan infeksi. Pada saat itu, seluruh
tubuh mengalami inflamasi. Ini dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai
bagian tubuh dan bahkan kematian. Individu lanjut usia sangat rentan terhadap
sepsis karena tubuh mereka sudah lemah. Kebanyakan orang yang lebih tua
sudah memiliki sistem kekebalan yang lemah dan tubuh mereka tidak dapat
menangani infeksi atau peradangan sendiri. Sangat penting bahwa sepsis
didiagnosis dan ditangani sesegera mungkin untuk memberi pasien lansia
peluang terbaik untuk selamat dari kondisi tersebut. Berbagai jenis infeksi bisa
menyebabkan sepsis, namun infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
merupakan infeksi ginjal, darah dan abdominal.
Pasien geriatri memiliki kesulitan-kesulitan tertentu dalam diagnosis dan
penatalaksanaan sepsis. Pertama, mendapatkan sampel diagnostik dari pasien
membutuhkan kerja sama dengan pasien tersebut, padahal pasien geriatri dapat
berada dalam kondisi rapuh, mengalami penurunan kognitif, atau sakit parah
sehingga kurang dapat bekerja sama dengan tim medis. Kedua, manifestasi
klinis SIRS dapat tidak terlihat, atau kurang dapat diamati dengan jelas. Hal ini
dapat menunda tindakan intervensi penting yang pada akhirnya akan
mempengaruhi outcome dari pasien ini.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jika terapi empiris untuk sepsis
ditunda 8-24 jam, maka mortalitas dapat meningkat 8 sampai 22 kali lipat.
Manifestasi infeksi pada geriatri sering tidak khas, dan karenanya perlu
pengamatan yang cermat. Demam misalnya, seringkali tidak mencolok. Banyak
studi yang mendapatkan penderita geriatri yang jelas menderita infeksi tidak
menujukkan gejala demam. Demam dapat tidak ditemui pada sepertiga pasien
berusia di atas 65 tahun yang mengalami infeksi akut berat yang membahayakan
nyawa. Bahkan pada 20% penderita sepsis, justru didapatkan hipotermia. Hal ini
menyebabkan timbulnya istilah the older the colder.

Tidak dijumpainya demam pada pasien geriatri dengan sepsis dapat


terjadi karena beberapa alasan. Variasi harian dari suhu berkurang, dan suhu
0
basal geriatri adalah sekitar 0.6-0.8 C lebih rendah dari dewasa muda.
Mekanisme yang mendasarinya adalah: berkurangnya produksi sitokin
(misalnya IL-6), berkurangnya sesitivitas reseptor hipotalamik terhadap sitokin
dan rusaknya adaptasi termoregulasi perifer terhadap perubahan suhu. Sebagai
tambahan, penggunaan obat-obatan yang sering dipakai geriatri seperti NSAID,
kortikosteroid, B-reseptor blocker, antihistamin, ranitidin dapat menekan respon
terhadap inflamasi.

Peningkatan suhu tubuh di atas 1.5 0C dapat diartikan sebagai reaksi


febris dan indikator infeksi. Metode pengukuran suhu adalah hal penting yang
harus diperhatikan. Pengukuran suhu rektal dapat mendeteksi demam pada
sekitar 86% pasein, sublingual 66%, dan aksila hanya 32%. Pengukuran suhu
rektal secara klinis adalah metode pengukuran yang terbaik pada pasien geriatri.

Sama halnya dengan demam, indikator klasik untuk infeksi C-reactive


protein atau jumlah leukosit pada geriatri spesifitas dan sensitivitasnya
berkurang. Hal ini diistilahkan sebagai immunosenescence, yaitu kurang
berfungsinya respon imun pada pasien geriatri. Begitu juga dengan gejala-gejala
lain, seperti batuk pada pneumonia, nyeri khas pada apendiksitis dan kolesistitis,
sering tidak dikeluhkan dan dianggap biasa.

Fokus infeksi yang sering dijumpai pada geriatri serupa dengan


kelompok umur yang lain, mencakup sistem pernafasan, kemih, dan
gastrointestinal. Organisme yang paling sering dijumpai adalah basil gram
negatif, namun terdapat peningkatan tajam insidensi infeksi kokus gram positif.
Peningkatan ini mungkin diakibatkan perawatan pasien geriatri di rumah jompo
dan peningkatan penggunaan dini antibiotik spektrum luas.

 Faktor Resiko :
- Komorbiditas yang sudah ada sebelumnya seperti kanker, diabetes, obesitas.
- Malnutrisi
- Defisiensi hormon, seperti hypotiroidism, hypogonadism, hypoadrenalism
sehingga mengubah rangsangan terhadap sepsis.
- Usia tua
- Kondisi imunosupresi seperti AIDS, penyakit autoimun, penggunaan
immunodepresan
- Trauma berat atau luka bakar
 Gejala klinis : Proses sepsis dicirikan dengan beberapa tanda dan gejala yang
mencakup:
- Demam atau hipotermi
- Leukositosis atau leucopenia
- Takikardi
- Takipnea

Gejala-gejala ini tidak dikenali dan ditangani secara cepat dan tepat,
dapat berlanjut menjadi sebuah runtuhan kejadian yang dapat mengakibatkan
cedera endovascular difus, thrombosis mikrovaskuler, iskemia organ dan
kematian.

Ada 3 tahap sepsis yaitu :

- Tahap 1 - Sepsis: Gejala meliputi tubuh mengalami demam lebih dari 38,3°C
atau suhu tubuh kurang dari 35,5°C, denyut jantung di atas 90x/menit dengan
laju pernafasan di atas 20x/menit.
- Tahap 2 – Sepsis parah : gejala meliputi sulit bernafas, nyeri abdominal,
abnormalitas laju dan irama denyut jantung, berkurangnya volume urin, dan
perubahan mental pasien
- Tahap 3 – Syok sepsis : Saat sepsis tidak terkendali, pasien akan mengalami
syok. Gejala yang paling parah adalah penurunan tekanan darah yang parah.
Jika ini terjadi pada individu lansia, maka bisa sangat sulit bagi pekerja
perawatan medis untuk mengembalikan tekanan darah pasien ke normal.
b. Ulkus decubitus

 Patofisiologi dan etiologi : Tekanan yang mengarah kepada iskemi dan nekrosis
merupakan penyebab paling umum ulkus decubitus.

Empat faktor yang berperan penting terhadap patogenesis terjadinya


ulkus dekubitus yaitu
- Tekanan, lebih besar dari 25 mmHg
- Daya regang, besar gaya yang memberikan penekanan pada permukaan.Pada
usia lanjut, diperberat dengan kondisi jaringan kulit yang kendur dan longgar
- Friksi(gesekan).Gesekan antara kulit dan permukaan seprei, pakaian, dapat
menyebabkan trombosis dari pembuluh darah kecil, mengakibatkan aliran darah
tidak adekuat.
- Kelembaban, seperti pada pasien geriatri dengan inkontinensia urin.

Cedera akibat tekanan konstan yang cukup untuk merusak aliran darah
lokal ke jaringan lunak terjadi dalam waktu yang lama. Tekanan eksternal ini
harus lebih besar dari tekanan kapiler arteri (32 mm Hg) untuk mengganggu
aliran masuk dan lebih besar dari tekanan penutupan kapiler vena (8-12 mm Hg)
untuk menghambat kembalinya aliran untuk waktu yang lama.

Jaringan mampu menahan tekanan yang sangat besar untuk periode yang
singkat, tetapi paparan tekanan yang berkepanjangan sedikit di atas tekanan
pengisian kapiler menyebabkan terjadinya nekrosis dan ulserasi jaringan.

Titik-titik tekanan tertinggi pada pasien terlentang termasuk sakrum,


tumit, dan oksiput (40-60 mm Hg). Pada pasien tengkurap, dada dan lutut
menyerap tekanan tertinggi (50 mm Hg). Ketika pasien duduk, tuberositas iskial
berada di bawah tekanan paling besar (100 mm Hg). Tekanan-tekanan ini lebih
besar daripada tekanan kapiler ujung, itulah sebabnya inilah area-area di mana
ulkus decubitus paling sering terjadi.

Gaya geser dan gesekan memperparah efek tekanan dan merupakan


komponen penting dari mekanisme cedera. Maserasi dapat terjadi pada pasien
yang mengalami inkontinensia, menyebabkan kulit menjadi cedera. Tekanan,
gaya geser, dan gesekan menyebabkan oklusi mikrosirkulasi dan akibatnya
iskemia, yang mengarah pada peradangan dan anoksia jaringan. Anoksia
jaringan menyebabkan kematian sel, nekrosis, dan ulserasi.

Dari berbagai jaringan yang berisiko mati karena tekanan, jaringan otot
rusak terlebih dahulu, sebelum kulit dan jaringan subkutan, mungkin karena
meningkatnya kebutuhan akan oksigen dan kebutuhan metabolisme yang lebih
tinggi. Kulit dapat menahan iskemia dari tekanan langsung hingga 12 jam. Pada
saat ulserasi hadir melalui tingkat kulit, kerusakan signifikan dari otot yang
mendasari mungkin sudah terjadi, membuat bentuk keseluruhan ulkus menjadi
kerucut terbalik.

Reperfusi telah diusulkan sebagai penyebab kerusakan tambahan pada


daerah yang mengalami ulserasi, yang menyebabkan ulkus membesar atau
menjadi lebih kronis — seperti, misalnya, ketika pasien lumpuh atau lumpuh
diputar dari satu sisi ke sisi lain dalam upaya memerangi tekanan
berkepanjangan pada sisi tertentu. Mekanisme pasti cedera iskemia-reperfusi
belum sepenuhnya dipahami. Produksi berkelanjutan mediator inflamasi dan
spesies oksigen reaktif selama reperfusi iskemia dapat berkontribusi pada
kronisitas ulkus tekan.

 Faktor Resiko
- Gangguan input sensorik : Ketidakmampuan untuk merasakan sakit atau
ketidaknyamanan dapat mengakibatkan seorang tidak menyadari adanya
tekanan dan kebutuhan untuk mengubah posisi tubuh.
- Usia diatas 65 tahun : dikarenakan berkurangnya lemak subkutan dan aliran
darah ke kapiler.
- Exposure pada iritan kulit : misalnya pada inkontinensia urin dan alvi
- Imobilitas : bisa mengakibatkan pasien tidak bisa memindahkan posisi tubuh
supaya tekanan berkurang
- Gangguan yang mengakibatkan perubahan pada aliran darah : misalnya DM dan
penyakit vaskular sehingga bisa meningkatkan kemungkinan rusaknya jaringan
- Nutrisi dan hidrasi buruk
 Gejala klinis
Klasifikasi ulkus decubitus
- Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar.
Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.
- Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis.
Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
- Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau
nekrotik yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia
yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
- Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,
nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya
kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi
4. Menjelaskan edukasi fase akhir geriatri
Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan baik pada
penyakit penyebab imobilisasi maupun masalah imobilisasi itu sendiri, sehingga
terjadinya komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan lebih kepada non farmakologis. (Ramic, et.al. 2017)
• Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan
jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total,
perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi
dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan
latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah untuk
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur
anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi
roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk.
Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta
mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu
dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar
pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Apabila subyek mempunyai masalah malnutrisi perlu dilakukan intervensi gizi
dan selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi. Untuk
menjaga berat badan dalam batas-batas normal, seseorang harus berada dalam
keseimbangan energi, yaitu jumlah asupan kalori sama dengan kalori yang
dikeluarkan. Selain itu, asupan vitamin dan mineral harus terdapat dalam jumlah
cukup sesuai kebutuhan tubuh. Bila kandungan energi makanan yang
dikonsumsi lebih sedikit daripada energi yang keluar, maka cadangan tubuh
digunakan untuk mencukupi kekurangan energi yang terjadi, sehingga BB
menurun. Sebaliknya jika kita mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada
yang dibutuhkan tubuh, kelebihan hasil metabolismenya akan disimpan sebagai
cadangan energi terutama di jaringan adiposa dan BB akan meningkat. (Ramic,
et.al. 2017).

5. Menjelaskan managemen nutrisi, gizi dan rehabilitasi medik


a. Rekomendasi asupan nutrisi dan gizi (USAoA, 2010)
 Menjaga keseimbangan kalori seumur hidup untuk mendapatkan dan
mempertahankan berat badan yang sehat. Pola makan yang sehat membatasi
asupan sodium, lemak padat, gula tambahan, dan biji-bijian olahan dan
melakukan aktivitas fisik.
 Mengkonsumsi makanan dan minuman padat nutrisi. Pola makan yang sehat
dengan mengkonsumsi makanan dan minuman padat gizi. Pilih susu bebas
lemak atau rendah lemak dan produk susu, dan kacang-kacangan dan biji-bijian.
Pilih sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan produk susu agar mendapatkan lebih
banyak kalium, serat, kalsium, dan vitamin D sebagai nutrisi yang dibutuhkan.
Makan berbagai sayuran, terutama sayuran hijau tua, merah, dan oranye, buncis
dan kacang polong. Konsumsi setidaknya setengah dari semua biji-bijian
sebagai biji-bijian.
 Kebutuhan gizi harus dipenuhi terutama melalui mengkonsumsi makanan. Jika
diperlukan, makanan yang diperkaya dan suplemen diet mungkin berguna dalam
memberikan satu atau lebih zat gizi yang mungkin dikonsumsi dalam waktu
kurang dari jumlah yang direkomendasikan. Makanan yang dikonsumsi
diperkaya dengan vitamin B12, seperti sereal, atau suplemen diet. Dua pola
makan yang bermanfaat adalah adaptasi vegetarian dan DASH (Dietary
Approaches to Stop Hypertension) Eating Plan.
 Pola makan sehat akan mencegah keracunan makanan. Empat prinsip dasar
keamanan pangan (Clean, Separate, Cook and Chill) semua harus dilakukan
untuk mengurangi risiko keracunan makanan. Selain itu, beberapa makanan
seperti susu, keju, dan jus yang belum dipasteurisasi, memiliki bawaan yag
menyebabkan keracunan makanan dan harus dihindari.
b. Rehabilitasi Medik (RM)
Rehabilitasi medik ialah meningkatkan kemampuan fungsional seseorang
sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan atau
meningkatkan Kualitas hidup dengan cara mencegah atau mengurangi
Impairment, Disability dan handicap semaksimal mungkin.
Geriatri dalam hal ini perlu dikonsulkan ke RM untuk mengetahui
kemampuan aktivitas pasien yang selanjutnya ditentukan apakah perlu di
ikutkan program dalam RM atau tidak. Jika perlu, selanjutnya rencanakan
program-program yang mendukung sesuai keluhan dan keterbatasan
kemampuan beraktivitas.
 “IMPAIRMENT” (tingkat organ) dimana penderita masih memerlukan /
tergantung pada perawatan dan terapi secara aktif, sehingga tidak mampu
melaksanakan kegiatan sehari-hari (ADL), “temporary disability”.
 “DISABILITY” (tingkat manusia): disebut juga “recovery period” dimana
penderita mulai dapat melaksanakan pekerjaan sesuai keadaan kesembuhan
penyakitnya.
 “HANDICAP” (tingkat sosial): cacat menetap, keterbatasan kemampuan, dan
melaksanakan tugas pekerjaan.
 Tujuan RM pada lansia:
- Bersedia dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
- Mencegah/ mengurangi keterbatasan (impairment), hambatan (disability), dan
kecacatan (handicap).
- Menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain.
 Proses RM :
- Langkah 1 : Atasi masalah medis utama, kondisi stabil, menjadi landasan untuk
mengawasi program RM.
- Langkah 2 :Cegah komplikasi sekunder :
 Malnutrisi
 Inkontinensia
 Gangguan kognisi
 Pneumonia
 Ketergantungan psikologis
 Kontraktur
 Dekubitus
 Sindroma dekondisi
 Depresi
 Trombosis vena
- Langkah 3 : Mengembalikan fungsi yang hilang
- Langkah 4 : Ciptakan kemampuan adaptasi pasien
- Langkah 5 : Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.
- Langkah 6 (adaptasi keluarga) : 85% aktivitas usia lanjut dikerjakan dirumah.
Para usia lanjut butuh waktu untuk ‘menerima’ kondisinya, keluarga makna
hidup bagi para usia lanjut, keluarga mitra kerja tenaga medis/paramedis
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok A10 selama tutorial berlangsung. Pada skenario
Nenek Sutinah datang dengan berbagai komplikasi penyakit dan berada pada fase akhir
geriatri. Penanganan kasus-kasus penyakit pada geriatri dalam mendiagnosa harus
mengetahui apakah hal tersebut adalah fisiologis ataupun patologis. Oleh karena itu dokter
dituntut untuk mampu mengenali dan membedakan gejala-gejala khas penyakit pada geriatri.
Selain itu pendekatan tatalaksana pada pasien geriatri juga berbeda. Pada pasien geriatri yang
harus diupayakan selain kesembuhan adalah memperbaiki kualitas hidup pasien, dalam hal
ini pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Selain itu yang harus
diperhatikan adalah pada pasien geriatri pemberian terapi harus dipertimbangkan karena
risiko terapi teratogenik pada multiterapi dan juga perubahan fisiologis pasien geriatri.

Pada skenario Nenek Sutinah sudah dalam keadaan titah baring dan juga menderita
penyakit pernapasan yang diduga sebagai pneumonia. Penanganan yang penting pada pasien
geriatri adalah mengatasi masalah medis utama dimana pada kasus ini adalah pneumonia.
Selanjutnya adalah melakukan penanganan komplikasi sekunder yang dialami dimana pada
kasus ini imobilisasi, stroke, hipertensi, patah panggul, dan malnutrisi. Sehingga diperlukan
rehabilitasi medik untuk memperbaiki fungsi tubuh dan juga mencegah komplikasi dan juga
rehabilitasi gizi untuk memperbaiki status gizi pasien. Setelah itu yang perlu dilakukan pada
terapi pasien geriatri adalah perbaikan fungsi tubuh dan juga adaptasi.

SARAN

Pada tutorial kali ini disajikan kasus pasien geriatri pada fase akhir sehingga mahasiswa
dituntut untuk lebih kritis dalam mempelajari kasus yang ada. Mahasiswa juga harus mampu
menghubungkan skenario dengan kasus yang ada dan lebih memahami cara mendiagnosis
hingga manajemen tatalaksana secara lengkap. Mahasiswa diharapkan lebih aktif lagi di
dalam diskusi dan mampu menyajikan informasi yang lengkap dan akurat. Oleh karena itu
diharapkan mahasiswa dapat mengumpulkan informasi yang relevan dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Bethel, Monique. (2019). Osteoporosis. https://emedicine.medscape.com/article/330598


diakses 9-4-2019.

Curtis, J. R., & Safford, M. M. (2012). Management of osteoporosis among the elderly with
other chronic medical conditions. Drugs & aging, 29(7), 549–564.
doi:10.2165/11599620-000000000-00000

Gamache, Justina. (2019). Bacterial Pneumonia.


https://emedicine.medscape.com/article/300157 diaskes 9-4-2019.

Kirman, Christian N. (2018). Pressure Injuries (Pressure Ulcers) and Wound Care.
https://emedicine.medscape.com/article/190115 diakses 9-4-2019.

Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG. (2008).
Management of immobilization and its complication for elderly. Jakarta. Acta Med
Indones. 2008 Oct;40(4):233-40.

Li, W., Ding, C., & Yin, S. (2015). Severe pneumonia in the elderly: a multivariate analysis
of risk factors. International journal of clinical and experimental medicine, 8(8),
12463–12475.

Nasa, Prashan. (2012). Severe Sepsis and Septic Shock in the Elderly: An Overview.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3956061/ diakses 9-4-2019.

Ramic, E., Selmanovic, S., Alibasic, E., Dzananovic, D., Dzafic, F., & Ramic, I. (2017). The
Frequency of Multifactorial Syndromes in Geriatrics of Tuzla Canton Population.
The Academy of Medical Sciences of Bosnia and Herzegovina Materia socio-
medica, 29(4), 268–271. doi:10.5455/msm.2017.29.268-271
Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the elderly: clinical features and risk factors. Aging
and Disease, 3(6), 465–71. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23251852

U. S. Departement of Health and Human Services, U. S. Department of Agriculture: Dietary


Guidelines for Americans, 2010, ed 7, Washington, DC, 2010, U. S. Government
Printing Office.

World Health Organization (2009). P elayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia

Anders, J., Heinemann, A., Leffmann, C., Leutenegger, M., Pröfener, F., von Renteln Kruse,
W. (2010). Decubitus ulcers: pathophysiology and primary prevention. Deutsches
Arzteblatt international, 107(21), 371–382. doi:10.3238/arztebl.2010.0371

Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG (2008).


Management of immobilization and its complication for elderly. Acta Med
Indonesia, 40(4), p 233-240.

Anda mungkin juga menyukai