KELOMPOK A10
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 1
Seorang pasien laki-laki berusia 45 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan
demam sudah 3 hari, badan pegal-pegal, mual, namun tidak ada gangguan dalam BAB dan
BAK. Pasien meminta kepada anda untuk di injeksi obat pegal-pegal. Setelah dilakukan
injeksi vitamin dan analgesik, kondisi pasien menurun, pasien pucat, keringat membanjiri
tubuh, sesak nafas dan kemudian tidak sadarkan diri. Hasil pemeriksaan tanda vital pasien
adalah tekanan darah 70mmHg per palpasi, nadi 56 kali per menit lemah tidak kuat angkat,
respirasi 30 kali per menit dan kulit tubuh pasien kemerahan. Setelah dokter memberikan
adrenalin, dilakukan pemeriksaan EKG ditemukan gambaran ventrikel takikardi (VT). Lima
menit pasca gambaran VT pasien mengalami apnoe dan gambaran EKG tampak adanya
ventrikel fibrilasi (VF). Apa yang anda lakukan sebagai dokter umum pada pasien tersebut?
BAB II
Masalah yang terdapat pada skenario “Anakku batuk dan sulit bernafas” adalah:
4. Apa indikasi injeksi obat?Apa perbedaan syok sepsis dan syok anafilaksis?
1. Mengapa Nenek Sutinah mengalami sesak disertai demam dan batuk berdahak
kental berwarna kuning?
Patah tulang atau fraktur pada lansia paling sering diakibatkan karena
osteoporosis, yaitu keadaan dimana terjadi penurunan massa tulang dan
mikroarsitektur tulang karena aktivitas osteoblas dan osteoklas yang tidak
seimbang. Kondisi ini meningkatkan risiko jatuh dan penyakit kronis lain, serta
biasanya tidak terdiagnosis.
Sekitar 70% dari lansia yang berusia lebih dari 65 tahun mengeluhkan
terjadinya fraktur, terutama di daerah pinggul, femur, dan tulang belakang.
Risiko ini meningkat pada lansia dengan kondisi stroke, diabetes mellitus,
demensia, sarkopenia, dan gangguan pengelihatan.
Dampak Immobilisasi
Kelemahan Otot
o Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan
otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien
dengan imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional,
kelemahan, dan jatuh (Craven dan Hirnle, 2000).
Ulkus Dekubitus
o Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien
usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro
sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25
mmHg secara terus-menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan
pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan
(Craven dan Hirnle, 2000).
Hipotensi Postural
o Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah
iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml
darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh
tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume
sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal
sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut
jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi
baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari
berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia (Craven dan
Hirnle, 2000).
3. Apa alasan yang membuat Nenek Sutinah tidak bisa bangun, tidak mau bicara
dan sulit diajak berkomunikasi, serta sulit makan dan minum?
Kesadaran apatis dalam Glaslow Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-
13, dimana pasien tampak acuh tak acuh, tidak bicara, pandangan hampa.
Tekanan darah 110/60 mmHg berarti kurang dari normal pada sistolik dan
hipotensi diastolik, hal ini dapat disebabkan karena adanya kekurangan cairan
pada tubuh pasien dimana penurunan tekanan darah merupakan salah satu tanda
kekurangan cairan pada lansia. Respiration rate terdapat peningkatan (normal
14-20x/ menit), keadaan yang juga merupakan tanda dari kekurangan cairan
pada tubuh, serta tubuh berusaha meningkatkan pemasukan oksigen dengan
bernafas lebih banyak. Temperatur masih termasuk dalam batas normal (suhu
oral rata-rata usia lanjut 36°C). Heart rate terdapat peningkatan (normal 60-
100x/ menit), karena adanya penurunan cairan tubuh pasien.
b. NGT
Pemasangan pipa nasogastrik atau nasogastric tube (NGT) merupakan
prosedur pemasangan pipa melalui lubang hidung (nostril) turun ke nasofaring
kemudian ke lambung. Prosedur ini bermanfaat untuk tujuan diagnosis maupun
terapi. Tipe-tipe NGT antara lain pipa Levin, pipa Salem sump, dan pipa Moss,
namun yang sering digunakan adalah pipa Levin.
Indikasipemasangan NGT yaitu untuk kepentingan diagnosis maupun terapi.
Diagnosis
- Drainase isi lambung untuk bahan pemeriksaan laboratorium atau sampling.
- Pemberian agen diagnostik seperti kontras media radioopak.
Terapi
- Pemberian nutrisi yang adekuat atau obat-obatan pada pasien yang tidak mampu
mengkonsumsi secara oral. Indikasi pemasangan NGT untuk nutrisi yaitu : (1)
Ketidakmampuan untuk memasukkan makanan melalui rute oral. Contoh:
pasien tidak sadar, kanker lidah, anoreksia nervosa, trauma dan luka bakar pada
wajah. (2) Saluran cerna bagian atas tidak mampu menyalurkan makanan ke
usus halus. Contoh: karsinoma esofagus dan tumor esofagus. (3) Gangguan
pencernaan atau malabsorbsi yang membutuhkan asupan makanan terus
menerus. Contoh: insufisiensi pankreas atau empedu,fibrosis kistik, penyakit
radang usus dan diare berkepanjangani.
- Pemberian ASI, formula atau makanan cair langsung ke dalam lambung untuk
tambahan kalori.
- Evakuasi isi lambung yang berbahaya, misalnya pada kasus over dosis obat atau
keracunan.
- Gastric lavage dengan pemasangan NGT dan suction pada pasien perdarahan
gastrointestinal yang masif bermanfaat untuk mengurangi gejala dan
memfasilitasi visualisasi endoskopi untuk melihat gambaran mukosa lambung
dan duodenum.
- Pemberian activated charcoal.
- Dekompresi lambung dengan pemasangan NGT dan suction berguna untuk
mengeluarkam sekresi saluran cerna dan udara yang tertelan pada pasien pasien
dengan obstruksi pada usus halus atau gastric outlet, serta mengurangi keluhan
pada pasien pankreatitis dan ileus.
Kontraindikasi NGT
6. Apa saja konsul rehabilitasi medik dan gizi yang bisa dilakukan untuk Nenek
Sutinah? mengapa harus dilakukan?
Karena pasien mengalami tirah baring lama, yang merupakan faktor risiko
terjadinya ulkus decubitus.
Faktor risiko decubitus : kulit basah, pasien DM, inkontinensia urine, sulit
bergerak, dll.
Tempat yang sering mengalami ulkus ini : bagian yang mengalami tekanan,
seperti tumit, punggung, bokong, scapula, leher.
Interpretasi :
< 12 : peningkatan risiko sebanyak 50%
Dalam pandangan ini, cedera akibat tekanan konstan yang cukup untuk
merusak aliran darah lokal ke jaringan lunak terjadi dalam waktu yang lama.
Tekanan eksternal ini harus lebih besar dari tekanan kapiler arteri (32 mm Hg)
untuk mengganggu aliran masuk dan lebih besar dari tekanan penutupan kapiler
vena (8-12 mm Hg) untuk menghambat kembalinya aliran untuk waktu yang
lama.
Jaringan mampu menahan tekanan yang sangat besar untuk periode yang
singkat, tetapi paparan tekanan yang berkepanjangan sedikit di atas tekanan
pengisian kapiler menyebabkan terjadinya nekrosis dan ulserasi jaringan.
Dari berbagai jaringan yang berisiko mati karena tekanan, jaringan otot
rusak terlebih dahulu, sebelum kulit dan jaringan subkutan, mungkin karena
meningkatnya kebutuhan akan oksigen dan kebutuhan metabolisme yang lebih
tinggi. Kulit dapat menahan iskemia dari tekanan langsung hingga 12 jam. Pada
saat ulserasi hadir melalui tingkat kulit, kerusakan signifikan dari otot yang
mendasari mungkin sudah terjadi, membuat bentuk keseluruhan ulkus menjadi
kerucut terbalik.
Pemberian cairan infus dirasa sesuai karena pada infeksi yang sudah
terjadi sepsis sitokin yang dihasilkan oleh mekanisme imun akan menyebabkan
turunnya volume vaskuler sehingga aliran darah teraba rendah selain itu pasien
ini juga ada risiko untuk terjadi dehidrasi dengan rendahnya intake air yang
dikonsumsi dan rendahnya respon dehidrasi karena sudah menginjak usia lanjut.
Pemberian oksigen tepat karena apabila oksigen tidak sampai ke jaringan
karena rendahnya difusi pada alveolus, karbohidrat akan dimetabolisme menjadi
asam laktat yang akan menyebabkan hiperlaktat yang akan menyebabkan
hilangnya massa otot.
Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
Kondisi tidak bisa bangun, makan, minum, dan sulit bicara pada geriatri
lebih kepada gangguan psikologis yang sedang dialami. Dan merujuk kepada
depresi. Diaman hal ini berhubungan dengan kondisi pasien sebelumnya yang
terkena stroke. Penelitian tahun 2012 menyebutkan bahwa depresi pasca stroke
terjadi pada 1 dari 3 pasien stroke. Gejala biasanya muncul pada bulan ketiga
pasca stroke. Jadi berhubungan secara tidak langsung terhadap kondisi pasien
yang tidak bisa bangun, makan, minum dan sulit bicara melalui depresi pasca
stroke. (Sozeri, 2012).
1) Perubahan Muskuloskeletal
Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat
mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih
karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan datar,
ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh
ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu oleh gaya gravitasi.
Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu menimbulkan gaya garvitasi,
pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki ureter. Kejadian ini disebut stastis
urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal
adalah batu kalsium yang terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien
imobilisasai beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami
hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering
berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko
dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang pada atau antara
hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine menjadi pekat. Urine yang pekat
ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus urinarius oleh bakteria escherchia
coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada klien yang imobilsasi adalah
penggunaan kateter urine indwelling.
3) Perubahan Integumen
4) Perubahan Perkembangan
Komplikasi
- Efusi pleura
- Bacteremia
- Abses paru
- Gagal respirasi
- Gangguan jantung
Prognosis
Secara umum, prognosis baik pada pasien sehat dengan pneumonia tanpa
komplikasi. Usia lanjut, organisme agresif (misalnya, Klebsiella, Legionella, S
pneumoniae resisten), komorbiditas, kegagalan pernafasan, neutropenia, dan
fitur sepsis, sendirian atau dalam kombinasi, meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Jika tidak diobati, pneumonia mungkin memiliki tingkat kematian
keseluruhan lebih dari 30%.
b. Stroke
Tatalaksana
- Stroke hemoragik : Ketika pendarahan besar terjadi di otak atau di sekitar otak,
seluruh otak berada dalam bahaya karena tekanan yang meningkat di dalam
tengkorak. Sebagian besar perawatan darurat untuk stroke hemoragik
melibatkan pengukuran dan penurunan tekanan. Manitol gula, yang kadang-
kadang digunakan sebagai obat, menarik cairan otak ke dalam aliran darah,
dapat digunakan untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial. Pasien
dapat diintubasi dan dihubungkan ke ventilator mekanik untuk melakukan
hiperventilasi sebagai cara untuk menurunkan tekanan di dalam dan di sekitar
otak.
Jika perlu, seorang dokter bedah akan memotong tulang tengkorak untuk
mengurangi kompresi jaringan otak. Dalam beberapa kasus, pembedahan
diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar bekuan darah setelah
pendarahan, tetapi pada kebanyakan pasien, tubuh akhirnya menyerap kembali
darah yang tersumbat dengan sendirinya.Pada jam-jam setelah stroke
hemoragik, tekanan darah harus dipantau secara ketat. .
Dalam kasus perdarahan subaraknoid, yang biasanya memicu spasme
arteri yang terdekat dengan lokasi perdarahan, obat-obatan dapat digunakan
untuk mencegah penyempitan pembuluh darah saat mereka kejang.
Jika perdarahan terjadi karena pembuluh darah yang terbentuk secara
tidak normal, pembedahan mungkin tepat untuk mencegah perdarahan terjadi
lagi. Aneurisma dapat diperbaiki dengan menempatkan klip bedah. Bergantung
pada ukuran dan lokasi malformasi arteriovenosa, ahli bedah saraf mungkin
dapat memperbaiki atau menghapusnya.
Intervensi awal oleh ahli terapi okupasi dan fisik sangat membantu..
Biasanya, rawat inap diikuti oleh masa tinggal di pusat rehabilitasi, di mana
terapi intensif tambahan dapat diberikan. Tujuan rehabilitasi adalah untuk
membantu pasien memulihkan sebanyak mungkin fungsi fisik dan berbicara.
- Stroke iskemik : Tujuan utama terapi pada stroke iskemik akut adalah
mempertahankan jaringan otak yang iskemik supaya mencegah infark.
Komplikasi :
- Deep vein trombosis
- Seizure
- Edema cerebral
- Paresis
- Pneumonia
- Gangguan kemih
- Gangguan sensorik
- Infark
- Depresi
Prognosis
Baik atau buruknya prognosis karena stroke bergantung pada jenis stroke
yang mengenai pasien. Pada pasien dengan stroke hemoragik, GCS yang makin
rendah menandakan makin buruknya prognosis, selain itu letak perdarahan dan
volume perdarahan juga mempengaruhi prognosis. Pada stroke iskemik,
prognosis setelah stroke iskemik sangat bervariasi pada masing-masing pasien,
tergantung pada keparahan stroke dan pada kondisi premorbid pasien, usia, dan
komplikasi pasca stroke.
c. Osteoporosis
Tatalaksana : Menurut pedoman praktik klinis dari American College of
Physicians tentang pengobatan untuk mencegah patah tulang pada pria dan
wanita dengan kepadatan tulang rendah atau osteoporosis. Terdapat enam
rekomendasi pada terapi osteoporosis: dua rekomendasi kuat, berdasarkan bukti
kualitas tinggi atau sedang, dan empat yang lemah, berdasarkan pada bukti
berkualitas rendah. Dua rekomendasi kuat adalah sebagai berikut:
- Dokter harus menawarkan pengobatan farmakologis kepada wanita dengan
osteoporosis untuk mengurangi risiko patah tulang pinggul dan tulang belakang;
obat yang bisa digunakan termasuk alendronate, risedronate, asam zoledronic,
atau denosumab.
- Pada wanita pascamenopause, estrogen atau estrogen plus progestogen atau
raloxifene tidak boleh digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Komplikasi
- Fraktur tulang
- Kifosis
- Deformitas tulang
- Osteoarthritis
Prognosis : Prognosis untuk osteoporosis baik jika terdeteksi pada fase awal dan
intervensi yang tepat dilakukan. Pasien dapat meningkatkan kepadatan tulang
dan mengurangi risiko patah tulang dengan obat anti-osteoporosis yang tepat.
Selain itu, pasien dapat mengurangi risiko jatuh dengan berpartisipasi dalam
pendekatan beragam yang mencakup rehabilitasi dan modifikasi lingkungan.
Memburuknya status medis dapat dicegah dengan menyediakan manajemen
nyeri yang tepat dan, jika dibutuhkan, perangkat ortotik.
d. Imobilisasi
Tatalaksana :
- Pencegahan primer : Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsug
sepanjang kehidupan dan episodic. Sebagai suatu proses yang berlangsung
sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi system
musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodic
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat
tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.
Hambatan terhadap latihan : Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia
dalam latihan secara teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi
social yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah meninggal,
perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang
buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya transportasi dan kurangnya
dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman
untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
Pengembangan program latihan : Program latihan yang sukses sangat individual,
diseimbangkan, dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk
memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan
yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat
memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara
seksama, pengkajian tentang factor-faktor pengganggu berikut ini akan
membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:
Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama
dan setelah aktivitas diberikan)
Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan
khusus)
Kesulitan yang dirasakan
Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan
Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang
akan berhasil)
Keamanan : Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima
oleh klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan
klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras
sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
- Pencegahan Sekunder : Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari
imobilitas dapat dkurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan.
Keberhasilan intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai factor
yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan.
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan
komplikasi. Diagnosis keperawaqtan dihubungkan dengan poencegahan
sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
- Pencegahan tersier : Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi
lansia melibatkan upaya multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli
fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga
serta teman-teman.
Komplikasi :
- Trombosis : Imobilisasi lama menyebabkan sirkulasi yang tidak baik di vena.
Imobilisasi menyebabkan stasis yang mengakibatkan adanya hipoksia lokal
pada sel endotel. Hal ini menyebabkan terjadinya aktivasib faktor X dan
merangsang akumilasi leukosit dan trombosit sehingga memudahkan terjadinya
trombosis.
- Emboli paru : Emboli paru sebagian besar diakibatkan oleh trombosis vena
dalam. Penyebabnya adalah lepasnya trombus yang biasanya terdapat pada
tungkai bawah. Trombus yang lep-as akan mengalir mengikuti aliran darah
mencapai pembuluh darah paru dan menyebabkan sumbatan.
- Hipotensi postural
- Ulkus dekubitus : Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus dan dalam
jangka waktu lama pada kulit menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Lama
kelamaan akan terjadi trombus yang berujung pada iskemia kulit. Pada akhirnya
akan terbentuk luka akibat tekanan ini.
- Deep vein trombosis
- Pneumonia dan ISK
- Kelemahan otot
- Kontraktur otot dan sendi
- Osteoporosis
Prognosis : prognosis osteoporosis lebih baik apabila cepat didiagnosis dan
ditangani dengan tepat, bila tidak segera ditangani, bisa menyebabkan berbagai
komplikasi.
e. Sarkopenia
Tatalaksana : Tatalaksana utama untuk sarkopenia adalah olahraga, khususnya
latihan resistensi atau latihan kekuatan. Kegiatan-kegiatan ini meningkatkan
kekuatan dan daya tahan otot menggunakan beban atau band resistensi. Latihan
resistensi dapat membantu sistem neuromuskuler. Jumlah, intensitas, dan
frekuensi latihan resistensi yang tepat penting untuk mendapatkan manfaat
terbanyak dengan risiko cedera paling kecil. Pasien harus terapi dengan ahli
terapi fisik atau pelatih berpengalaman untuk mengembangkan rencana latihan.
Komplikasi :
- Imobilisasi
Prognosis : bila sarkopenia tidak ditangani dengan cepat, otot pasien akan makin
sulit pulih seperti normal dan pasien bisa imobilisasi
f. Ulkus decubitus
Tatalaksana
- Derajat 1 : Terjadi reaksi peradangan terbatas pada epidemis. Kulit
kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion
kemudian dipijat 2-3 kali/hari.
- Derajat 2 : Perawatan luka memperhatikan syarat-syarat aseptik dan
antiseptik.
Daerah ulkus digesek dengan es dan dihembuskan dengan udara hangat
bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal untuk
merangsang timbulnya jaringan muda/granulasi. Penggantian balut dan
pemberian salep jangan terlalu sering karena dapat merusak pertumbuhan
jaringan.
- Derajat 3 : Luka kotor dan bernanah dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir keluar. Balut
jangan terlalu tebal agar oksigenasi dan penguapan baik.Kelembaban luka
dijaga tetap basah, untuk mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Perlu
pemberian antibiotika sistemik.
- Derajat 4 : Perluasan ulkus sampai ke dasar tulang, sering disertai
jaringan nekrotik. Semua langkah diatas tetap dikerjakan jaringan nekrotik yang
akan menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi dibersihkan. Rawat bersama
bagian bedah jika diperlukan tindakan operatif untuk membersihkan luka dan
menutup jaringan.
Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain:
- Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
- Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan osteotitis.
- Septikemia
- Anemia
- Hipoalbuminemia
- Kematian
- Dll
Pencegahan
Elemen utama pencegahan ulkus dekubitus adalah promosi gerakan, penghindaran
tekanan (jenis pemosisian), pemindahan tekanan (interval pemosisian), dan
distribusi tekanan (pemosisian alat bantu). Langkah-langkah ini harus
dikoordinasikan dan sering diperiksa ulang sesuai dengan rencana pencegahan yang
dikembangkan secara individual. Langkah-langkah yang mempromosikan gerakan
meningkatkan gangguan mobilitas dan membantu mencegah komplikasi lebih
lanjut, seperti kontraktur; langkah-langkah semacam itu mulai dari mengaktifkan
perawatan keperawatan hingga perawatan dan rehabilitasi interdisipliner yang
kompleks. Posisi bergantian adalah sarana pengurangan tekanan dan harus
diterapkan pada basis individu, mis., Posisi terlentang yang dikombinasikan dengan
posisi miring 30 ° dan 135 ° pada sisi bergantian; anggota badan dan titik-titik
tekanan harus dijaga bebas dari tekanan. Perhatian khusus harus diberikan pada
instruksi dan keterlibatan pasien dan keluarganya, sehingga mereka juga dapat
mengambil tindakan untuk meminimalkan risiko ulkus dekubitus.
Prognosis
Penderita ulkus decubitus lebih sering meninggal karena penyakit
primernya yang diderita bersamaan dengan ulkus decubitus atau karena
komplikasi ulkus dekubitus.
Setiap tahun, sekitar 60.000 orang meninggal karena komplikasi ulkus
decubitus. Orang dengan ulkus decubitus memiliki risiko kematian 4,5 kali lebih
besar daripada orang dengan faktor risiko yang sama tetapi tanpa ulkus
decubitus. Komplikasi sekunder, bakteremia terkait luka, dapat meningkatkan
risiko kematian hingga 55%.
Faktor Resiko :
- Komorbiditas yang sudah ada sebelumnya seperti kanker, diabetes, obesitas.
- Malnutrisi
- Defisiensi hormon, seperti hypotiroidism, hypogonadism, hypoadrenalism
sehingga mengubah rangsangan terhadap sepsis.
- Usia tua
- Kondisi imunosupresi seperti AIDS, penyakit autoimun, penggunaan
immunodepresan
- Trauma berat atau luka bakar
Gejala klinis : Proses sepsis dicirikan dengan beberapa tanda dan gejala yang
mencakup:
- Demam atau hipotermi
- Leukositosis atau leucopenia
- Takikardi
- Takipnea
Gejala-gejala ini tidak dikenali dan ditangani secara cepat dan tepat,
dapat berlanjut menjadi sebuah runtuhan kejadian yang dapat mengakibatkan
cedera endovascular difus, thrombosis mikrovaskuler, iskemia organ dan
kematian.
- Tahap 1 - Sepsis: Gejala meliputi tubuh mengalami demam lebih dari 38,3°C
atau suhu tubuh kurang dari 35,5°C, denyut jantung di atas 90x/menit dengan
laju pernafasan di atas 20x/menit.
- Tahap 2 – Sepsis parah : gejala meliputi sulit bernafas, nyeri abdominal,
abnormalitas laju dan irama denyut jantung, berkurangnya volume urin, dan
perubahan mental pasien
- Tahap 3 – Syok sepsis : Saat sepsis tidak terkendali, pasien akan mengalami
syok. Gejala yang paling parah adalah penurunan tekanan darah yang parah.
Jika ini terjadi pada individu lansia, maka bisa sangat sulit bagi pekerja
perawatan medis untuk mengembalikan tekanan darah pasien ke normal.
b. Ulkus decubitus
Patofisiologi dan etiologi : Tekanan yang mengarah kepada iskemi dan nekrosis
merupakan penyebab paling umum ulkus decubitus.
Cedera akibat tekanan konstan yang cukup untuk merusak aliran darah
lokal ke jaringan lunak terjadi dalam waktu yang lama. Tekanan eksternal ini
harus lebih besar dari tekanan kapiler arteri (32 mm Hg) untuk mengganggu
aliran masuk dan lebih besar dari tekanan penutupan kapiler vena (8-12 mm Hg)
untuk menghambat kembalinya aliran untuk waktu yang lama.
Jaringan mampu menahan tekanan yang sangat besar untuk periode yang
singkat, tetapi paparan tekanan yang berkepanjangan sedikit di atas tekanan
pengisian kapiler menyebabkan terjadinya nekrosis dan ulserasi jaringan.
Dari berbagai jaringan yang berisiko mati karena tekanan, jaringan otot
rusak terlebih dahulu, sebelum kulit dan jaringan subkutan, mungkin karena
meningkatnya kebutuhan akan oksigen dan kebutuhan metabolisme yang lebih
tinggi. Kulit dapat menahan iskemia dari tekanan langsung hingga 12 jam. Pada
saat ulserasi hadir melalui tingkat kulit, kerusakan signifikan dari otot yang
mendasari mungkin sudah terjadi, membuat bentuk keseluruhan ulkus menjadi
kerucut terbalik.
Faktor Resiko
- Gangguan input sensorik : Ketidakmampuan untuk merasakan sakit atau
ketidaknyamanan dapat mengakibatkan seorang tidak menyadari adanya
tekanan dan kebutuhan untuk mengubah posisi tubuh.
- Usia diatas 65 tahun : dikarenakan berkurangnya lemak subkutan dan aliran
darah ke kapiler.
- Exposure pada iritan kulit : misalnya pada inkontinensia urin dan alvi
- Imobilitas : bisa mengakibatkan pasien tidak bisa memindahkan posisi tubuh
supaya tekanan berkurang
- Gangguan yang mengakibatkan perubahan pada aliran darah : misalnya DM dan
penyakit vaskular sehingga bisa meningkatkan kemungkinan rusaknya jaringan
- Nutrisi dan hidrasi buruk
Gejala klinis
Klasifikasi ulkus decubitus
- Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar.
Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.
- Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis.
Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
- Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau
nekrotik yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia
yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
- Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif,
nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya
kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi
4. Menjelaskan edukasi fase akhir geriatri
Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan baik pada
penyakit penyebab imobilisasi maupun masalah imobilisasi itu sendiri, sehingga
terjadinya komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan lebih kepada non farmakologis. (Ramic, et.al. 2017)
• Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan
jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total,
perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi
dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan
latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah untuk
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit.
Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur
anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi
roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk.
Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta
mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu
dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar
pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Apabila subyek mempunyai masalah malnutrisi perlu dilakukan intervensi gizi
dan selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi. Untuk
menjaga berat badan dalam batas-batas normal, seseorang harus berada dalam
keseimbangan energi, yaitu jumlah asupan kalori sama dengan kalori yang
dikeluarkan. Selain itu, asupan vitamin dan mineral harus terdapat dalam jumlah
cukup sesuai kebutuhan tubuh. Bila kandungan energi makanan yang
dikonsumsi lebih sedikit daripada energi yang keluar, maka cadangan tubuh
digunakan untuk mencukupi kekurangan energi yang terjadi, sehingga BB
menurun. Sebaliknya jika kita mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada
yang dibutuhkan tubuh, kelebihan hasil metabolismenya akan disimpan sebagai
cadangan energi terutama di jaringan adiposa dan BB akan meningkat. (Ramic,
et.al. 2017).
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok A10 selama tutorial berlangsung. Pada skenario
Nenek Sutinah datang dengan berbagai komplikasi penyakit dan berada pada fase akhir
geriatri. Penanganan kasus-kasus penyakit pada geriatri dalam mendiagnosa harus
mengetahui apakah hal tersebut adalah fisiologis ataupun patologis. Oleh karena itu dokter
dituntut untuk mampu mengenali dan membedakan gejala-gejala khas penyakit pada geriatri.
Selain itu pendekatan tatalaksana pada pasien geriatri juga berbeda. Pada pasien geriatri yang
harus diupayakan selain kesembuhan adalah memperbaiki kualitas hidup pasien, dalam hal
ini pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Selain itu yang harus
diperhatikan adalah pada pasien geriatri pemberian terapi harus dipertimbangkan karena
risiko terapi teratogenik pada multiterapi dan juga perubahan fisiologis pasien geriatri.
Pada skenario Nenek Sutinah sudah dalam keadaan titah baring dan juga menderita
penyakit pernapasan yang diduga sebagai pneumonia. Penanganan yang penting pada pasien
geriatri adalah mengatasi masalah medis utama dimana pada kasus ini adalah pneumonia.
Selanjutnya adalah melakukan penanganan komplikasi sekunder yang dialami dimana pada
kasus ini imobilisasi, stroke, hipertensi, patah panggul, dan malnutrisi. Sehingga diperlukan
rehabilitasi medik untuk memperbaiki fungsi tubuh dan juga mencegah komplikasi dan juga
rehabilitasi gizi untuk memperbaiki status gizi pasien. Setelah itu yang perlu dilakukan pada
terapi pasien geriatri adalah perbaikan fungsi tubuh dan juga adaptasi.
SARAN
Pada tutorial kali ini disajikan kasus pasien geriatri pada fase akhir sehingga mahasiswa
dituntut untuk lebih kritis dalam mempelajari kasus yang ada. Mahasiswa juga harus mampu
menghubungkan skenario dengan kasus yang ada dan lebih memahami cara mendiagnosis
hingga manajemen tatalaksana secara lengkap. Mahasiswa diharapkan lebih aktif lagi di
dalam diskusi dan mampu menyajikan informasi yang lengkap dan akurat. Oleh karena itu
diharapkan mahasiswa dapat mengumpulkan informasi yang relevan dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Curtis, J. R., & Safford, M. M. (2012). Management of osteoporosis among the elderly with
other chronic medical conditions. Drugs & aging, 29(7), 549–564.
doi:10.2165/11599620-000000000-00000
Kirman, Christian N. (2018). Pressure Injuries (Pressure Ulcers) and Wound Care.
https://emedicine.medscape.com/article/190115 diakses 9-4-2019.
Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG. (2008).
Management of immobilization and its complication for elderly. Jakarta. Acta Med
Indones. 2008 Oct;40(4):233-40.
Li, W., Ding, C., & Yin, S. (2015). Severe pneumonia in the elderly: a multivariate analysis
of risk factors. International journal of clinical and experimental medicine, 8(8),
12463–12475.
Nasa, Prashan. (2012). Severe Sepsis and Septic Shock in the Elderly: An Overview.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3956061/ diakses 9-4-2019.
Ramic, E., Selmanovic, S., Alibasic, E., Dzananovic, D., Dzafic, F., & Ramic, I. (2017). The
Frequency of Multifactorial Syndromes in Geriatrics of Tuzla Canton Population.
The Academy of Medical Sciences of Bosnia and Herzegovina Materia socio-
medica, 29(4), 268–271. doi:10.5455/msm.2017.29.268-271
Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the elderly: clinical features and risk factors. Aging
and Disease, 3(6), 465–71. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23251852
World Health Organization (2009). P elayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia
Anders, J., Heinemann, A., Leffmann, C., Leutenegger, M., Pröfener, F., von Renteln Kruse,
W. (2010). Decubitus ulcers: pathophysiology and primary prevention. Deutsches
Arzteblatt international, 107(21), 371–382. doi:10.3238/arztebl.2010.0371