Anda di halaman 1dari 20

Membedah Islam Politik, Politik Islam,

Dan Khilâfah
M. KHOLID SYEIRAZI
Apakah Islam politik itu? Apa bedanya dengan politik Islam?

Umat muslim mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439 H/2017 M di
kompleks Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Jumat (1/12). Peringatan tersebut turut
dihadiri sejumlah ulama dan tokoh politik. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc/17.

Dalam leksikon politik Islam sering muncul istilah Islam politik. Apakah Islam politik itu?
Apa bedanya dengan politik Islam? Dari ideologi dan praktik sejarah, Islam politik
sekurang-kurangnya bertolak dan dikenali dari empat cara pandang.

Pertama, Islam adalah agama kâffah, agama sekaligus negara (‫)الدين والدولة‬, ibadah dan
politik. Kadar paling radikal meletakkan politik dan penegakan sistem politik sebagai
pokok dan rukun agama (‫)اصل من اصول الدين وركن من اركانها‬. Dengan paradigma ini, orang
Islam yang tidak berjuang menegakkan sistem politik Islam adalah kafir karena
mengabaikan pokok agama. Mereka harus diperangi, meski mengucapkan syahadat,
salat, puasa, zakat, dan haji.

Pandangan ini bisa disimak dari ceramah-ceramah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
tersiar di berbagai media. Ini berbeda dengan paradigma lain, yang saya ikuti, bahwa
politik itu penting untuk menunjang agama, tetapi bukan perkara pokok yang tetap (‫)ثابت‬
dan baku (‫ )جامد‬. Politik adalah perkara cabang yang berubah (‫ )متغيّر‬dan dinamis (‫)متطور‬.
ّ
Imam Syafi’i, misalnya, meletakkan politik sebagai cabang, bukan cabang akidah pula,
tetapi sekadar cabang syariah:

‫السياسة جزء من اجزاء الشريعة وفرع من فروعها‬

“Politik adalah bagian dari syariah dan salah satu cabang di antara cabang-cabangnya.”

Dalam perkara cabang, terbuka ruang ijtihad dan inovasi. Konsepsi ini bisa disebut
sebagai politik Islam, politik yang dipengaruhi nilai-nilai Islam. Karena Islam adalah
sumber inspirasi, penjelmaan politik Islam tidak baku, tunggal, dan monolitik. Berbagai
bentuk ekspresi politik Islam diakui, termasuk yang berwawasan kebangsaan.

Dengan paradigma ini, “ayat-ayat politik” dalam nash tidak dipahami


sebagai qath’î(imperatif kategoris) yang jelas dan pasti, tetapi dhannî (imperatif
hipotetis) yang kondisional dan fleksibel. Karena bukan perkara pokok yang qathi’î,
pilihan politik atau ijtihad politik tidak mempengaruhi status agama seseorang. Dalam
terang ini, haram menyebut ahlul qiblat sebagai kafir karena tidak setuju negara Islam
atau memilih pemimpin politik non-Muslim.

Perbedaan Islam politik dan politik Islam bisa ditarik dari sini. Islam politik menjadikan
tegaknya sistem politik Islam (‫ دولۃ اسالميۃ‬atau ‫ )خالفۃ اسالميۃ‬sebagai aspirasi dan tujuan
politik. Politik Islam, di seberang lain, menganggap politik penting dan nilai-nilai Islam
perlu diadaptasi sebagai inspirasi politik. Namun, politik adalah sarana (‫ )وسيلة‬karena
tujuan atau ‫ غاية‬sebenarnya adalah kehidupan adil, makmur, dan sejahtera ( ‫بلدة طيبة ورب‬
‫)غفور‬. Sarananya boleh negara-bangsa dan demokrasi.
Kedua, tujuan penegakan sistem politik Islam (‫ دولۃ اسالميۃ‬atau ‫ )خالفۃ اسالميۃ‬adalah
formalisasi syariat Islam dalam pengertian sempit yaitu penerapan hukum jinâyat Islam
(hudûd) seperti potong tangan, jilid, rajam, qishâs, ta’zîr, dan semacamnya. Di berbagai
tempat, syariat Islam telah dijalankan secara swadaya tanpa intervensi negara seperti
salat dan puasa.

Di Indonesia, negara memfasilitasi pelaksanaan syariat Islam lain seperti haji, zakat,
perkawinan, dan keuangan berbasis syariah. Namun, pelaksanaan syariat Islam
dianggap belum kâffah karena belum mengadopsi hukum pidana Islam. Orang Islam
yang berhenti berjuang menegakkan hudûd adalah pembela thâghût (‫)انصارالطاغوت‬
karena menerima selain hukum Allah. Mereka belum dihitung menegakkan syariat
Islam, meski rajin salat, selalu bayar zakat, tekun puasa, haji, dan menabung
perbankan syariah. Dalilnya paten (QS. al-Maidah/5: 44, 45, 47):

(‫ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم الكافرون )فأولئك هم الظالمون( )فأولئك هم الفاسقون‬

“Siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka itu
kafir, (maka mereka itu zalim), (maka mereka itu fasik).”

Penafsiran harfiah terhadap ayat ini akan membuat semua orang Islam ngeri dan
merasa bersalah karena hidup di dalam sistem sekuler. Muslim yang tidak berjuang
menegakkan hukum Islam seperti potong tangan dan rajam mendapat cap langsung
dari al-Qur’an sebagai kafir, zalim, dan fasik. Benarkah demikian?

Sewaktu sekolah setingkat Aliyah, saya belum menemukan jawaban tuntas kenapa
Indonesia tidak menerapkan hukum Islam dan bagaimana ayat ini harus dipahami.
Saya rasa ini juga tengah menimpa anak-anak muda zaman now, termasuk mahasiswa
cerdik pandai di kampus-kampus ternama, yang lantang berteriak Khilâfah dan syariat
Islam kâffah. Mereka terpapar pengajian-pengajian politis, mencela pemerintahan
sekuler, dan mengutuk para pembelanya.

Hasilnya, sejarah Islam politik dipenuhi oleh narasi pemberontakan terhadap sistem
sekuler. Di berbagai tempat, termasuk Indonesia, untuk bisa menerapkan hudûd,
mereka memanggul senjata, mengorbankan nyawa sendiri dan nyawa orang lain. Di
Mesir, jutaan nyawa melayang, hingga kini, akibat amandemen konstitusi tahun 2012
yang berupaya mengubah frase “negara didirikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah”
menjadi “negara didirikan berdasarkan hukum syariah.”

Frase pertama jelas berbeda dengan frase kedua. Hukum penjara selaras dengan
prinsip syariah karena hudûd pada dasarnya adalah batas tertinggi (al-hadd al-a’lâ)
untuk memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Ini tidak bisa diterima oleh mereka yang
memahami hudûd sebagai praktik harfiah penghukuman masa silam. Di Indonesia,
DI/TII memberontak karena tidak legowo Piagam Jakarta dihapuskan dan syariat Islam
batal diadopsi sebagai hukum positif negara.

Ketiga, selain menghendaki formalisasi Islam dan positivisasi syariah, Islam politik
menghendaki representasi dan nominasi pemimpin/politisi Muslim serta alokasi kue
ekonomi kepada umat Islam. Islam dalam “politik biting” (nominal politics) adalah
bentuk. Ukuran keberhasilannya adalah sejauhmana umat Islam mendominasi politik
dan pengusaha Muslim mendominasi ekonomi. Perkara politiknya berisi kebajikan
umum atau ekonominya berkeadilan adalah urusan lain.

Politik cacah ini, misalnya, menjelma dalam Pilkada DKI kemarin dalam slogan
#MuslimLebihBaik. Pidato Gubernur DKI terpilih soal pribumi menyiratkan pesan
serupa. Makna pribumi di situ tidak lain adalah pribumi Muslim yang bukan Tionghoa.
Golongan keturunan Arab dianggap pribumi karena Muslim. Penghayat kepercayaan
dan aliran kebatinan bukan maksud “saatnya pribumi menjadi tuan rumah” karena dia
bukan Muslim. Ini mirip dengan politik perkauman Malaysia di mana Islam bercampur
dengan kemelayuan.

Dibanding dua yang pertama, asumsi ketiga ini paling moderat. Mereka yang setuju
nominasi, representasi, dan afirmasi umat Islam dalam politik dan ekonomi belum tentu
setuju konsep Khilâfah dan adopsi syariah Islam sebagai hukum positif negara. Namun,
mereka yang setuju afirmasi politik Islam dapat “naik kelas” menjadi pendukung
positivisasi syariah dan Khilâfah.
Para pendukung Khilâfah, pada tingkat minimal, juga dapat bertemu dengan pendukung
afirmasi politik Islam. Kasus Pilkada Jakarta, misalnya, memperjumpakan berbagai
elemen itu dalam serangkaian drama kolosal yang disebut dengan Aksi 212. Di reuni
akbar 212 pekan lalu, bendera Khilâfah berkibar di tengah penguatan identitas politik
Islam.

Keempat, Islam politik cenderung mengaburkan agama dan politik. Praktik yang kerap
terjadi adalah Islam menjadi tameng dan alat perjuangan politik. Cara terselubung ini
efektif karena, siapa pun yang menentang mereka, akan dipukul sebagai melawan
Islam. Siapa tidak ngeri dituduh anti-Islam? Kasus Pilkada Jakarta adalah contoh
sempurna. Misi menjadikan gubernur Muslim adalah perjuangan politik. Alatnya adalah
khotbah di masjid dan mimbar-mimbar pengajian.

Apakah salah misi memenangkan gubernur Muslim? Sama sekali tidak! Yang salah
adalah caranya. Menuduh Muslim yang berbeda pilihan politik sebagai munafik dan
menolak menyalatkan jenazah Muslim pendukung Ahok merupakan contoh nyata politik
bersampul agama.

Jalan Keluar
Banyak umat Islam belum move on dan berdamai dengan kenyataan bahwa
sistem Khilâfah sudah tumbang pada 1924 dan peradaban modern terbentuk
dari nation-state. Nostalgia sejarah dan pemahaman harfiah terhadap teks-teks agama
(‫ )النصوص الدينية‬membuat umat Islam, di mana pun, gagap beradaptasi dengan sistem
politik modern ini. “Menjadi Muslim tidak akan paripurna dalam sistem sekuler nation-
state,” demikian proposisinya.

Berjuang menegakkan Khilâfah Islâm dianggap sebagai jalan keluar untuk ber-Islam
secara kâffah. Pandangan ini dipropagandakan di kajian dan ceramah-ceramah Islam,
merekrut anak-anak muda dan profesional. Tanpa rekonstruksi dan reinterpretasi
kontekstual teks-teks agama, umat Islam rentan subversif terhadap peradaban modern
berbasis nation-state.
ISIS, yang mengusung ideologi Khilâfah, sukses melumat sejumlah negara Arab dan
Afrika. HTI berjuang melawan pemerintahan Jokowi yang membubarkan mereka
dengan perang sengit di dunia maya. FPI mengusung agenda NKRI Bersyariah dan
terus mengecam pemerintah sebagai anti-Islam. Pengaruh pandangan FPI kian
meluas, terlihat dari survei sebuah lembaga yang menempatkan Habib Rizieq Shihab
sebagai salah seorang pendakwah Islam ternama.

Bagaimana kita mengatasi kebuntuan ini? Apakah Islam tidak mungkin berdamai
dengan nasionalisme? Terobosan luar biasa disumbang Nahdlatul Ulama pada 1983-
1984, dalam Munas dan Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur. NU menegaskan
NKRI berdasarkan Pancasila sah secara fikih. Bukan hanya sah, NU
menegaskan NKRI final dan aspirasi Islam harus diperjuangkan dalam kerangka NKRI.

Konsekuensi keabsahan NKRI adalah larangan memberontak (bughât) terhadap


pemerintahan yang sah sepanjang umat Islam tidak dihalangi melaksanakan ibadah,
kewajiban mematuhi produk hukum yang berlaku, dan perlakuan setara seluruh warga
negara tanpa diskriminasi SARA. Agama bukan basis diskriminasi dan segregasi. Idiom
Muslim dan kafir berlaku di ruang privat masing-masing agama, tidak berlaku di ranah
publik.

Konsekuensi lainnya, syariat Islam dijalankan di tingkat masyarakat tanpa formalisasi


melalui negara. Hukum Islam bersifat komplementer dan bisa diterima secara terbatas
melalui proses legislasi di DPR. Ayat “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah maka mereka itu kafir, zalim, fasik” tidak bisa dipersempit maknanya
sebagai hudûd karena substansi hukum Allah adalah keadilan dan amanah (QS. An-
Nisâ’/4: 58).

Sikap NU merupakan legacy luar biasa bagi jalinan sintesis Islam dan nasionalisme.
Dengan cara ini, Islam dan hukum Islam menjadi faktor integratif penunjang
pembangunan, bukan alternatif sistem politik dan hukum yang mengancam konsensus
kebangsaan (mu’âhadah wathaniyah). Ijtihad ini modal besar umat Islam Indonesia
berintegrasi dengan peradaban modern, bukan kekuatan alternatif isolasionis yang
berniat merobohkan negara-bangsa dan menggantikannya dengan formasi lain yang
tidak jelas bentuknya.
Khilafah Itu Institusi Politik, Bukan
Agama!
MUN'IM SIRRY

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Keluarga Besar Nahdlatul Ulama kota Bandung
berdemonstrasi menuntut pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bandung, Jawa
Barat, Kamis (13/4). Mereka selain menolak kegiatan yang akan diselenggarakan HTI pada
Sabtu (15/4) juga menolak gagasan khilafah yang diusung HTI. ANTARA FOTO/Agus
Bebeng/17
Hanya mereka yang tidak memahami al-Qur’an dan membaca sejarah Islam yang akan
menyangkal judul di atas. Sebelum membahas dua sumber tersebut (al-Qur’an dan
sejarah Islam), perlu ditegaskan bahwa kegandrungan sebagian masyarakat Muslim di
Indonesia terhadap sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan Islam merupakan
fenomena baru.

Sejak awal, bahkan sebelum kemerdekaan, ide khilafah itu sama sekali tidak menjadi
pertimbangan kaum Muslim. Dua tahun setelah Khilafah Usmaniyah dibubarkan pada
1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan Jeddah, yang juga dihadari oleh
peserta dari Indonesia.

Seperti dituturkan oleh Prof. Hamka, salah seorang peserta kongres tersebut adalah
bapaknya sendiri. “Peserta dari Indonesia sama sekali tidak antusias dengan sistem
khilafah,” tulis Hamka dalam memoar mengenang orang tuanya, Ajahku: Riwajat Hidup
Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Peserta lain adalah Mohammad Natsir, seorang tokoh utama partai Islam Masyumi.
Dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia (1969), Natsir juga menyinggung
keikutsertaannya dalam kongres khilafah, tapi dia tidak tertarik. Ia lebih memilih ide
Negara Islam, ketimbang khilafah.

Konsep Negara Islam yang ada dalam pikiran Natsir bukan teokrasi ala khilafah. Ia
meyakini betul bahwa Negara Islam itu tidak bertentangan dengan demokrasi.
Makanya, dia mengatakan Negara Islam bukan teokrasi dan juga bukan sekuler,
melainkan “Negara Demokrasi Islam”.

Artinya, sejak awal kelahiran Republik ini, sistem khilafah memang bukan alternatif.
Baru belakangan kaum Muslim di Indonesia dibodohi dengan propaganda bahwa
khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Selain tidak sesuai al-Qur’an, propaganda
itu bersifat ahistoris.

Khalifah dalam al-Qur’an dan Tafsir Awal

Kata “khilafah” berasal dari akar kata yang sama dengan “khalifah”, yakni “kh-l-f”.
Dalam literatur politik Islam klasik, pemerintahan khilafah dipimpin oleh seorang
khalifah. Namun, kalau dirujuk ke al-Qur’an, kata “khalifah” itu tidak punya konotasi
politik.

Dalam kisah penciptaan Adam yang disebutkan dalam surat al-Baqarah (2), terdapat
dialog antara Tuhan dan malaikat terkait penciptaan seorang khalifah. Ketika Allah
berfirman kepada malaikat, “Saya akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi.”
Respons malaikat, “Akankah Engkau menciptakan di atas bumi seorang yang akan
melakukan kerusakan?” (QS 2:30).

Jelas sekali bahwa al-Qur’an tidak menggunakan istilah “khalifah” dalam pengertian
pemimpin politik. Menarik disimak bagaimana kata “khalifah” dipahami dalam tradisi
tafsir awal.
Prof. Wadad al-Qadi dari Universitas Chicago, AS, melakukan studi mendalam tentang
penafsiran khalifah di kalangan mufasir Muslim awal, terutama zaman pra-Tabari (w.
310/922). Kenapa literatur tafsir yang dipilih adalah karya-karya sebelum zaman
Tabari? Sebab, Tabari itu hidup cukup belakangan dalam rentang waktu penggunaan
kata “khalifah” yang berkonotasi sebagai pemimpin politik. Dalam sumber-sumber yang
dapat dipercaya, kata “khalifah” disematkan kepada pemimpin politik itu baru terjadi
pada zaman dinasti Umayyah, sebagaimana akan didiskusikan di bagian akhir tulisan
ini.

Maka, fokus kajian Prof. Qadi ialah tafsir-tafsir yang ditulis atau diproduksi pada zaman
Umayyah, yang berkuasa antara tahun 661-750. Kesimpulan Qadi sangat menarik:
betapa penggunaan kata “khalifah” sebagai pemimpin politik juga terdeteksi dalam
sebagian tafsir yang diproduksi pada akhir pemerintahan Umayyah dan awal
pemerintahan Abbasiyah. Sementara dalam tafsir-tafsir yang lebih awal, khalifah
dimaknai tanpa konotasi politik apa pun.

Akar kata “kh-l-f” bisa bermakna “menggantikan”, “orang yang datang setelah yang
lain”. Para mufasir kebingungan juga bagaimana memahami kata “khalifah Allah”:
menggantikan Allah? Tapi, pertanyaan yang lebih subtil ialah: Kenapa manusia begitu
mulia sehingga dijadikan “khalifah” di atas bumi?

Terkait pertanyaan itu, dua alternatif jawaban diajukan, yang berkorespondensi dengan
kronologi penggunaan istilah “khalifah” secara politik. Dalam tafsir yang ditulis pada
awal masa Umayyah ketika khalifah belum digunakan sebagai gelar pemimpin politik,
alasan yang diajukan adalah karena manusia punya kemampuan untuk mengelola atau
mengembangkan sumber alam. Para paruh akhir zaman Umayyah, manusia disebut
khalifah karena kemampuannya untuk memimpin.

Khilafah sebagai Institusi Politik

Dari penelusuran penafsiran “khalifah” dalam literatur tafsir awal tampak adanya
pergeseran dalam pemaknaan kata “khalifah”. Ini juga bukti nyata bahwa tafsir
kontekstual itu tak terhindarkan karena tak ada pemahaman yang lahir di ruang hampa.
Tapi ini persoalan lain yang akan saya diskusikan dalam tulisan lain. Cukup dikatakan
di sini, praktik politik juga mempengaruhi corak penafsiran al-Qur’an.

Dalam buku-buku sejarah Islam, kata “khalifah” itu disematkan kepada pemimpin politik
pasca wafatnya Nabi Muhammad. Empat khalifah pertama disebut “khulafa’ rasyidun”,
para khalifah yang baik. Tapi sesungguhnya kita tidak punya bukti dokumenter yang
ditulis sezaman dengan khulafa’ rasyidun yang menunjukkan bahwa mereka memang
disebut khalifah pada zamannya. Tampaknya penyebutan mereka
sebagai khulafa’(bentuk jamak dari “khalifah”) lebih merupakan proyeksi ke belakang
yang dilakukan oleh para penulis Muslim ketika di zaman itu pemimpin politik sudah
disebut khalifah.

Sebagaimana kita tahu, kitab-kitab yang menyebut Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
sebagai khulafa’ itu ditulis pada zaman Abbasiyah. Barangkali Abdulmalik bin Marwan,
pemimpin kelima dari dinasti Umayyah, yang pertama mengklaim sebagai khalifah. Ini
terbukti dari mata uang koin yang dikeluarkan oleh Abdulmalik. Khalifah Umayyah ini
melakukan reformasi mata uang dan mencetak koin dalam beberapa versi, dari yang
semula mengadopsi mata uang Persia hingga akhirnya mengeluarkan koin dengan
gambar dirinya dengan tulisan di bagian pinggir: khalifah Allah.

Sebelumnya, para pemimpin kaum Muslim itu disebut “amirul mu’minin” (pemimpin
kaum beriman). Apa yang dilakukan Abdulmalik itu tidak mengagetkan dan sejalan
dengan proyek “Islamisasi” dan “Arabisasi” yang gencar dilakukan di zamannya.
Kontribusi khalifah Abdulmalik bagi formasi Islam sebagaimana kita saksikan sekarang
sangat besar. Kata “khalifah” dan “khilafah” pun menjadi kosa kata politik yang
terwariskan hingga saat ini.

Namun demikian, khilafah Umayyah justru dianggap tidak cukup Islami oleh dinasti
yang menggulingkannya, khilafah Abbasiyah. Revolusi Abbasiyah melibatkan beragam
intrik politik yang kotor, manipulasi, dan pembodohan massal yang mungkin tak ada
bandingannya dalam sejarah. Dan juga pertumpahan darah.
Tapi alih-alih mengembalikan khilafah ke jalur yang diajarkan oleh empat khalifah
pertama, para pemimpin Abbasiyah justru mengadopsi sistem pemerintahan dari
Sasanid Persia. Misalnya, dalam struktur pemerintahan diperkenalkan jabatan
Wazarah, yang mungkin selevel dengan kantor Perdana Menteri. Para teoritisi politik
Muslim sepakat, sistem Wizarah itu baru muncul pada zaman Abbasiyah, dan dipinjam
dari Persia. Maka, penulis teori politik Islam seperti al-Mawardi atau Abu Ya’la mencoba
merumuskan tugas-tugas “wazir” terkait urusan tata kelola negara supaya tidak
berbenturan dengan otoritas khalifah.

Pengadopsian model pemerintahan Persia juga tidak mengagetkan karena banyak


penasihat khalifah berasal dari birokrat Persia, seperti Ibnu Muqaffa atau Nizam al-
Mulk. Dan pengadopsian itu wajar saja karena khilafah memang institusi politik dan
bukan agama.

Bukan saja sistem khilafah tidak termasuk rukun Islam dan rukun iman, juga tidak
ditemukan dalam al-Qur’an atau praktik Nabi. Sejarah juga membuktikan bahwa
khilafah itu produk politik (dan sudah terbukti gagal). Jadi, tolong jangan identikkan
khilafah dengan Islam!
Berhentilah Mengeksploitasi
Agama Dengan Jadikan Mekkah
Sebagai Panggung Politik
Konon, di masa lalu beberapa orang yang dianggap sakti kabarnya dapat
bepergian ke Mekkah tanpa alat transportasi. Kini kota suci itu jadi tak hanya
digunakan sebagai situs aktivitas religi. Opini Rahadian Rundjan.

Dari sekian banyak kota di dunia ini mungkin tidak ada yang nuansa religinya begitu
menyeluruh, dan juga sebegitu tertutup dari dunia luar, dibanding Mekkah.
Kota dengan Kabah sebagai pusat spiritualitas sekitar 1,8 milyar umat Islam tersebut sudah
berabad-abad menjadi dambaan orang-orang Islam untuk melakukan ritual haji juga
umrah.
Tidak hanya itu, setidaknya semenjak geliat pendidikan dan ekonomi modern kian
berkembang, Mekkah ikut bertransformasi tidak hanya murni sebagai tempat orang-orang
Islammemperteguh hakikat keislaman mereka, namun juga panggung ambisi-ambisi
duniawi.

Penulis: Rahadian Rundjan


Hal tersebut terlihat mencolok di Indonesia, sebuah negara modern dengan jumlah
populasi Muslim terbesar (200 juta jiwa) dan di antara seperempat sampai setengahnya
mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam
terbesar di dunia. Maka tak heran melihat narasi sejarah, budaya, dan isu-isu kontemporer
di Indonesia sedikit banyak kerap menjadikan nilai-nilai dan simbol-simbol Islam sebagai
acuan dalam berbagai segi kehidupan manusianya.
Salah satunya adalah politik, yang cenderung berakhir tercemar, dan saling mencemari, jika
disangkut pautkan dengan hal-ihwal keagamaan.
Lihat saja Indonesia sepanjang tahun 2018, yang disebut-sebut sebagai tahun pemanasan
politik untuk menyambut pemilihan presiden pada 2019.
Mekkah kerap hadir di media tidak lagi sekedar dalam konteks penyelenggaraan haji atau
umrah, namun juga berbingkai politik. Habib Rizieq, pentolan Front Pembela Islam
(FPI), yang bermukim di Mekkahuntuk menghindari proses hukumnya didaulat sebagai
sosok wajib kunjung, dengan nuansa politik yang kental, bagi para pejabat dan calon
pejabat baik oleh kubu oposisi, dan seperti diberitakan belakangan ini, oleh kubu petahana.
Alasannya: karena Mekkah itu pusat dunia Islam, dan pertunjukkan kesalehan penting bagi
elektabilitas politik di tanah air. Sejarah telah membuktikan bahwa Mekkah memang tidak
hanya menjadi panggung bagi orang-orang Indonesia untuk berserah diri kepada Tuhan,
namun juga panggung aspirasi politik yang terlalu sering memicu kontroversi daripada
kontribusi positif.

KERETA SAUDI BERKECE PATAN TINGGI, MUDAHK AN JEMAAH HAJI

Mampir di Jeddah
Kereta cepat Haramain mulai beroperasi untuk umum pada pertengahan tahun 2018. Kereta ini
menghubungkan Kota Mekah dan Medinah dengan melewati beberapa titik pemberhentian, di
antaranya di Jeddah dan King Abdullah Economic City di Rabigh.

1234567

Mengeksploitasi Cap Kesalehan


Corak politik sudah terlihat ketika nama Mekkah mulai terdengar di Nusantara seiring
kehadiran Islam. Antropolog Martin van Bruinessen dalam tulisannya mengungkapkan
bagaimana raja-raja Banten dan Mataram begitu terpesona oleh Mekkah sebagai pusat
kosmis.
Keduanya mengirim utusan-utusannya ke sana tidak hanya untuk memperdalam Islam
namun juga memburu pengakuan politik.
Sesungguhnya, Mekkah tidak memiliki lembaga untuk urusan tersebut. Namun, ketika
utusan-utusan tersebut kembali, masing-masing pada 1638 dan 1641, kedua raja merasa
sudah mendapat legitimasi untuk menanggalkan gelar lokal dan memakai gelar Sultan.
Di Jawa, gagasan Mekkah dan hal-hal supranatural pun berbaur sebagai instrumen kuasa.
Banyak tercatat kisah-kisah bagaimana sebuah tokoh atau tempat dapat dengan ajaib
terhubung dengan Mekkah, misalnya Sultan Agung yang kabarnya dapat bepergian dengan
sekejap ke Mekkah untuk melakukan sembayang Jum'at dan bagaimana pemakaman raja-
raja Jawa (Imogiri) dibangun dan ditaburi dengan tanah dari makam Nabi Muhammad.
Sulit untuk membuktikan kebenaran dari kisah-kisah tersebut, namun ia berperan besar
dalam menciptakan citra Sultan Agung sebagai pemimpin yang saleh.


MASJID TERMEGAH DI D UNIA

Masjidil Haram di Mekah


Ini adalah masjid terbesar di dunia dengan luas 350 ribu meter persegi. Masjid tujuan utama ibadah
haji ini dibangun pada abad ke-16 dan memiliki sembilan menara. Dari waktu ke waktu, masjid ini
terus diperluas. Masjid al Haram kini bisa menampung hingga satu juta orang.

123456789

Ibadah haji juga sejatinya rawan dieksploitasi secara politis, sebagaimana sejarah
memperlihatkan. Gelar "haji” diformalisasikan sedemikian rupa sehingga lebih terlihat
sebagai titel sosial-politik.
Mungkin tokoh pertama yang memperkenalkan hal tersebut adalah Abu Nashar Abdul
Qahar, raja Banten yang berkuasa di penghujung abad ke-17. Ia menunaikan ibadah
haji dua kali dan mengabadikan pencapaian itu dengan memerintahkan pengikut-
pengikutnya memanggilnya dengan nama "Sultan Haji”.
Pesona Mekkah sama sekali tidak luntur bagi generasi tokoh-tokoh politik Indonesia
seterusnya, baik bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pemimpin-pemimpin besar
macam Sukarno dan Suharto. Ritual ibadah mereka ke Mekkah, yang diabadikan dengan
foto dan diperlihatkan di koran-koran seakan-akan meneguhkan kharisma kesalehan
mereka di mata rakyat jelata. Tentu, itu juga dipergunakan sebagai instrumen stabilitas
politik.
Tak ada bedanya di masa sekarang. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, dan kelompok-
kelompok pendukungnya memanfaatkan Mekkah demi kepentingan masing-masing.
Misalnya saja selama masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 lalu,
diberitakan bagaimana beberapa calon kepala daerah umrah ke Mekkah sekaligus sowan
kepada Habib Rizieq baik secara pribadi ataupun melalui perantaraan partai. Kunjungan-
kunjungan tersebut, yang utamanya dilakukan oleh calon-calon kepala daerah usungan
partai-partai oposisi, bernilai politis bagi kelompok oposisi yang kerap menyerang
kelompok petahana dengan isu-isu fundamentalisme Islam.
Jelasnya, kharisma Habib Rizieq sebagai tokoh yang paling mengganggu petahana adalah
ladang emas untuk mengangkat elektabilitas calon-calonnya. Pasangan calon gubernur
Sudrajat-Syaikhu (Jawa Barat) dan Sudirman Said (Jawa Tengah) adalah contohnya. Meski
akhirnya kalah, namun banyak pengamat menyebut kunjungan mereka ke Mekkah menjadi
alasan besarnya perolehan suara mereka, yang di luar dugaan cukup mengejutkan.
Tak ayal, semenyebalkan apapun seorang Rizieq Shihab, ia harus diakui begitu berpengaruh
dalam perpolitikan nasional. Terlebih kala ia menetap di Mekkah yang semakin
menebalkan figur kesalehan keislamannya.
Tokoh-tokoh pemimpin oposisi seperti Prabowo dan Amien Rais tak ketinggalan
ikut berkunjung ke Mekkah, menemui Rizieq Shihab. Sulit mengatakan bahwa hal tersebut
adalah sebuah silaturahmi semata ketika publik semakin paham akan permainan simbol-
simbol politik tingkat tinggi. Lantas, apakah isu pertemuan calon wakil presiden Ma'ruf
Amin dengan Habib Rizieq di Mekkah bulan Agustus lalu, yang walau tidak kesampaian
namun cukup menggegerkan publik, dapat ditafsirkan sebagai kode ajakan membelot dari
kubu petahana kepada Rizieq Shihab dan massa fundamentalis di belakangnya?
Jika hal itu kesampaian, maka saya rasa sejumlah besar pendukung Jokowi yang moderat-
progresif akan segera mencabut dukungannya.
Rizieq Shihab memang telah mengutarakan bahwa tidak akan ada tendensi kolaborasi
politik terhadap kubu Jokowi selepas pulangnya Ma'ruf Amin dari Mekkah, namun
mengingat begitu cairnya politik di Indonesia, rasanya kita semua patut khawatir akan
kemungkinan terburuk di masa depan.


KHADIJAH, FEMINIS IS LAM PERTAMA

Pebisnis sukses dan terhormat


Ayah Khadijah merupakan saudagar sukses dari suku Quraisy yang bermukim di Mekah. Dalam
masyarakat yang didominasi kaum pria, Khadijah mewarisi keterampilan, integritas, dan keluhuran
ayahnya. Ia mengambil alih bisnis tersebut dan berdagang, mulai dari mebel, tembikar dan sutra --
melalui pusat-pusat perdagangan utama pada saat itu, dari Mekah ke Syria dan Yaman.

123456

Berhenti Mengeksploitasi Agama


Hal paling suci pun akan tercemar jika dilakukan dengan niatan yang buruk. Saya pribadi
tidak bersimpati terhadap gerakan tagar #2019GantiPresiden yang viral di media sosial,
mempertunjukkan aspirasi politiknya dengan memamerkan baju dan spanduk mereka di
tengah-tengah ritual haji; sebuah hal yang salah tempat, tidak tepat sasaran, dan begitu
norak.
Sekali lagi, terbukti bahwa nilai-nilai sakral Mekkah sebagai kota suci sudah kian tergerus.
Azas manfaat Mekkah sebagai pusat spiritualitas kalah dengan ambisi ekspresi politik,
setidaknya bagi oknum-oknum tersebut.
Pertanyaannya, kapan kita mampu untuk memberikan batasan yang jelas antara agama dan
politik?
Rasanya sangat tak elok, bahkan memuakkan, ketika melihat simbol-simbol kesalehan
diperjualbelikan secara gamblang, bahkan serampangan, oleh elite-elite politik demi
meningkatkan pamor mereka. Atau mungkin, apakah ini juga faktor mentalitas kolektif
masyarakat Indonesia yang senang menimbang-nimbang nilai seseorang dari
kesalehannya? Keduanya sama-sama buruk, dan jika hal tersebut tidak segera diubah,
niscaya Indonesia akan kian terjerumus menuju masa kegelapan.
Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai