Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bioetika yang diampu oleh
Dr. Sunarno, M.Si dan Rully Rahadian, M.Si, Ph.D
Disusun oleh:
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah bioetika
dengan lancar tanpa ada hambatan apapun.
Keberhasilan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, terutama dosen pembimbing yang telah bersedia
membantu dan memberikan saran demi kesempurnaan makalah ini serta dorongan
dan semangat dari pihak-pihak yang tidak mampu disebutkan satu per satu.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami sangat terbuka dalam
menerima saran dan kritikan dari berbagai pihak demi kesempurnaan kami dalam
menyusun makalah. Semoga karya tulis ini dapat memberikan masukan positif
bagi masyakat dalam menyikapi rekayasa genetik prenatal dan dampaknya di
masa depan
Hormat kami,
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Bayi hasil cetakan gen generasi pertama yang lahir akan nampak sama,
dengan tujuan utama sebatas untuk menghilangkan kemungkinan penyakit genetis,
dengan demikian, pelarangan riset modifikasi gen justru bisa dianggap melanggar
hak asasi dan menyiksa mereka karena membiarkan mereka lahir dengan cacat
genetis (Knoepfler, 2015). Manusia tidak akan berhenti di sana. Berkat para
ilmuwan terdahulu, kita mengetahui bahwa gen mempengaruhi sifat kita dan
keturunan kita. Saat ini kita hampir melengkapi keseluruhan genom manusia,
indeks yang menunjukan detail gen yang mempengaruhi sifat tertentu seperti warna
mata, bentuk hidung, hingga tingkat kebotakan. Seperti memberikan daftar nama
target pada penembak jitu, dengan inilah CRISPR bisa menunjukkan kekuatan
sejatinya dalam mengubah manusia sekali untuk selamanya. Kita bisa mendesain
bayi kita sesuai cetak biru yang kita susun. Tentu saja kita masih ingat sains
mengguncang dunia dengan ide untuk kloning manusia setelah keberhasilan
kloning domba Dolly, meskipun sampai saat ini belum ada klaim terbukti untuk
manusia. Namun, sepertinya ide kloning manusia akan segera pudar. Untuk apa kita
mengkopi diri kita sendiri apabila kita bisa membuat versi lain diri kita yang jauh
lebih kuat, cepat, dan cerdas.
Semua ini membuat masa depan designer baby hasil teknologi CRISPR
terlihat sangat cerah. Tetapi, tentu saja penelitian yang melibatkan embrio
manusia segera memantik perdebatan etika dikalangan peneliti.
2.4 Bioetika Teknologi Modifikasi Gen Prenatal
Tim peneliti pimpinan Jiung Huang, yang pertama kali mengujikan Crispr
pada embrio manusia, menginjeksikan 86 embrio dan kemudian menunggu 48
jam, waktu yang cukup untuk CRISPR / sistem Cas9 dan molekul pengganti DNA
yang hilang untuk bertindak - dan untuk embrio untuk tumbuh menjadi sekitar
delapan sel. Dari 71 embrio yang selamat, 54 teruji secara genetik. Kemudian
terungkap bahwa hanya 28 gen yang berhasil disambung, dan hanya sebagian
kecil dari mereka yang mengandung materi genetik pengganti. Meskipun
menggunakan embrio non-viable, mereka menganggap penelitian mereka sebagai
peringatan bahwa teknologi ini masih sangat baru dan jelas tidak bisa lepas dari
kesalahan (Cryanoski, 2015). Perubahan gen pada para “Transhuman” akan
diwariskan, dan sangat mungkin untuk mengubah keseluruhan gene-pool manusia.
CRISPR mempunyai kemampuan “gene drive”, yang akan menggantikan gen
normal dengan gen mutan, membuat seluruh keturunan menjadi mutan (Maxmen,
2015). Seperti yang kita ketahui, sains sangat rentan dengan kesalahan kecil yang
tidak terdeteksi dan tiba-tiba menjadi masalah besar di kemudian hari. Mungkin
suatu penyakit genetis pada pasien bisa hilang, tapi bisa saja memmunculkan efek
samping lain. Mutasi merugikan yang muncul bisamenjadi bencana hingga tingkat
populasi dan menegasikan tujuan awal semua ini.
Masalah sosial baru juga akan muncul di era “manusia pabrikan”. Anggap
para ilmuan berhasil menciptakan designer baby tanpa cacat dan terapkan perilaku
yang sama di masa depan seperti saat ini. Akumulasi keinginan orang tua untuk
mendesain anak akan menjadi standar baru di masyarakat. Manusia sudah saling
mendiskriminasi untuk waktu yang lama, bayangkan apa yang akan terjadi pada
orang-orang yang tidak mampu membeli “mod gen” untuk mereka dan
keluarganya (Knoepfler, 2015). Dalam bidang psikologi anak, ini bisa digunakan
untuk menentukan terlebih dahulu apa bakat, keterampilan, kemampuan,
kebajikan, dan keburukan yang dimiliki anak, sehingga memaksa anak untuk
memiliki bakat tertentu dan bukan yang lain. Hal ini bisa menjadikan orang tua
seperti tirani yang menjadikan anaknya robot, mengabaikan “ethic of giftedness”
(Steinbock, 2008). Kita sudah beruntung memiliki umur harapan untuk hidup dan
melihat dua generasi penerus, tetapi dengan umur yang jauh lebih panjang dan
jumlah yang bertambah secara eksponensial, di mana kita akan menaruh mahkluk
hidup yang selain manusia? Bagaimana dengan konsumsi pangan dan kebutuhan
energi? Kemampuan rekayasa genetika adalah kekuatan, dan seperti frasa populer:
“Kekuatan cenderung di salah gunakan”. Bayangkan apabila pengetahuan ini
sampai ke orang seperti Hitler atau Kim Jong-Il, mereka dengan senang hati akan
langsung mengujikan ini ke manusia tanpa mempedulikan etika, dan menciptakan
tentara super hasil modifikasi genetis (Knoepfler, 2015). Jadi kita harus melarang
riset modifikasi gen? Salah besar. Ilmuan genetika yang seharusnya bekerja untuk
masyarakat bisa saja menjadi anak buah para diktator masa depan selama
mendapatkan uang. Sejauh ini teknologi ini masih berupa fiksi ilmiah, namun
apabila satu “designer baby” sudah dilahirkan, maka ini akan menjadi pintu yang
terbuka selamanya membawa perubahan.
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran