Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TENTANG URTIKARIA

Di susun oleh :
AGNES ADELIA FEKARISTI
ASTRI SEPTIANA
CHRISNA WAHYU RAMADHAN
EKA YULIANI
HASRAF NOVALARIK HARLY

AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA WACANA METRO


TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Salawat dan salam
dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penulis bersyukur kepada Illahi Rabbi
Sang pemilik segala pengetahuan yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayahnya
sehingga makalah agen penyakit yang berjudul urtikaria(kaligata/biduran) ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.

Materi dalam makalah ini berisikan tentang segala penjelasan tentang penyakit
urtikaria/biduran/kaligata seperti, definisi urtikaria, faktor penyebabnya, klasifikasinya,
mekanisme, gejala yang terjadi, diagnosisnya, pengobatan serta pencegahannya.

Makalah ini merupakan salah satu bagian dari penilaian individu dalam proses
pembelajaran mahasiswa dan sebagai penilaian untuk nilai mid. Dengan dibuatnya makalah
ini, diharapkan agar mahasiswa dapat lebih memahami secara mendalam tentang hal – hal
yang berkaitan dengan penyakit urtikaria dan apa saja yang dikaji didalamnya.

Kami menyadari bahwa dalam makalah masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, kepada para pembaca, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini dapat menjadi
salah satu sumber pengetahuan bagi kita semua dan memberikan manfaat yang besar serta
kebaikan bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Metro, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. I

DAFTAR ISI ............................................................................................................ II

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1


B. TUJUAN........................................................................................................ 1
C. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFENISI URTIKARIA .............................................................................. 2


B. PENYEBAB URTIKARIA ........................................................................... 2
C. KLASIFIKASI URTIKARIA ....................................................................... 6
D. PATOGENESIS ............................................................................................ 7
E. MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... 7
F. DIAGNOSIS .................................................................................................. 8
G. PENGOBATAN
H. PENCEGAHAN

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. KRITIK DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit alergi dengan berbagai manifestasinya sering dijumpai di masyarakat.
Faktor penyebabnya seringkali sulit ditentukan walaupun dengan tes alergi sekalipun
karena sering terjadi reaksi silang. Salah satu manifestasi dari penyakit alergi berupa
urtikaria. Urtikaria merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang menifestasinya
berupa gatal-gatal dan bintik-bintik merah pada kulit yang pada umumnya disebabkan
oleh alergi. Namun, penyakit ini juag dapat disebabkan oleh krisis emosi atau karena
terkena panas atau dingin. Walaupun penyakit ini tidak berbahaya, keluhan gatal yang
terjadi sangat mengganggu. Pada bab selanjutnya kami akan menjelaskannya lebih lanjut.

A. LATAR BELAKANG
Latar belakang pembuatan makalah ini merupakan salah satu bahan
pembelajaran bagi mahasiswa kesehatan masyarakat agar dapat mengetahui apa
sebetulnya yang dimaksud dengan penyakit urtikaria, penyebab terjadinya penyakit
ini, bagaimana diagnosanya, dan cara pengobatannya. Ini sangat perlu diketahui oleh
mahasiswa kesehatan masyarakat pencegahannya di kalangan masyarakat.

B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai bahan penilaian individu
yang merupakan sarana pengganti nilai mid semester bagi mahasiswa kesehatan
masyarakat dan mahasiswa dapat mengetahui tentang penyakit
urtikaria/biduran/kaligata itu sendiri.

C. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah yang berjudul
urtikaria/biduran/kaligata ini adalah sebagai berikut:

1. Apa definisi dari penyakit urtikaria/biduran/kaligata?


2. Apa yang menyebabkan terjadinya penyakit ini?
3. Klasifikasi dari penyakit ini
4. Bagaimana mekanisme terjadinya?
5. Gejala-gejala apa saja yang terjadi?
6. Bagaimana mendiagnosisnya?
7. Bagaimana cara pengobatannya?
8. Apa yang dilakukan untuk mencegahnya?

1
BAB II
PEMBAHASAN
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Dapat terjadi secara
akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk penderita maupun dokter.
Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.

A. DEFINISI URTIKARIA/BIDURAN/KALIGATA
Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam sebab,
biasanya ditandai dengan edema (bengkak) setempat yang cepat timbul dan
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan
kulit serta disertai keluhan gatal, rasa tersengat atau tertusuk. catau kaligata.
Urtikaria termasuk penyakit alergi yang sering ditemukan pada praktek sehari-hari
selain asma, alergi obat, alergi makanan, dan dermatitis. Urtikaria dijumpai pada
kira-kira 10-20% dari populasi.

B. PENYEBAB
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya : obat, makanan,
gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik,
infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik dapat
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah
obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon,
dan diuretik. Adapula obat yang secara nonimunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium,
dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.

2
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut,
umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan
lain yang dicampurkan kedalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau
bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan
yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat,
tomat, arbei, babi, keju bawang, dan semangka; bahan yang icampurkan
seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin.
CHAMPION (1969) melaporkan +2% urtikaria kronik disebabkan sensitasi
terhadap makanan.

3. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat,
agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler
(tipe IV). Tetapi venom an toksin bakteri, biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya
menimbulkan urtikaria bentuk papular di sekitar tempat gigitan. Biasanya
sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, mingu atau bulan.

4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria

5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai
gangguan nafas.

3
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan
kimia misalnya insect repellent (penangki serangga), dan bahan kosmetik.
Keadaan ini disebabkan karena bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria. TUFT (1975) melaporkan urtikaria akibat
sefalosporin pada seorang apoteker, hal yang jarang terjadi; karena kontak
dengan antibiotik umumnya menimbulkan dermatitis kontak. Urtikaria
akibat kontak dengan klorida kobal, indikator warna pada tes provokasi
keringat, telah dilaporkan oleh SMITH (1975).

7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda yang dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar
ultraviolet, radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan,
pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, vibrasi
dan tekanan berulang-ulang contonya pijatan, keringat, pekerjaan berat,
demam dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi pada tempat-tempat yang
mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria setekah goresan dengan
benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena
ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.

8. Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri,
contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi, dan sinusitis. Masih merupakan
pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau oleh
sensatisasi. Infeksi virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus
Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada
urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus
subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai
penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang
juga Schistosoma.

4
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5%
penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan
memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria.
Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang
eritema meningkat.

10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan
angioedema, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal
dominan. Di antaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold
urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-
familial syndrome of urticaria deafness and amyloidosis, dan erythropoietic
protoporphyria.

11. Penyakit sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis
Duhring, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus
eritematosus sistemik dapat mengelami urtikaria. Beberapa penyakit
sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid,
hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam reumatik, dan artritis
reumatoid juvenilis.

5
C. KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronik.
Disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan
sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda,
umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering
pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui,
sedangkan urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada kecenderungan urtikaria lebih
sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya, yaitu
urtikaria papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air, dan
gurata bila ukurannya besar-besar.. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Menurut
luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, dibedakan menjadi urtikaria lokal,
generalisata dan angioedema. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan penyebab
urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal urtikaria imunologik,
nonimunologik, dan idiopatik sebagai berikut :
1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik :
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergi tipe I)
i. Pada atopi
ii. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen :
i. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
ii. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
iii. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi Alergi tipe IV (urtikaria kontak)
2. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator
(misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat
(misalnya aspirin, obat anti-inflamasi nn-steroid, golongan azodyes).
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau
sinar, dan bahan kolinergik.
3. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan
sebagai urtikaria idiopatik.
6
D. PATOGENESIS (MEKANISME TERJADINYA)
Mekanisme terjadinya urtikaria sangat penting untuk diketahui, karena hal ini
akan dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Urtikaria terjadi karena
vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi
transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga
secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin leh sel mast dan atau basofil.
Selain itu terjadi inhibisiproteinase oleh enzim proeolotik, misalnya kalikrin, tripsin,
plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast
atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik
mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting
pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat
amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik
berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik, misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh
saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui, langsung dapat
mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik, misalnya panas,
dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan, dapat langsung merangsang sel mast.
Beberapa keadaan , misalnya demam, panas, emosi, dan alkohol dapat merangsang
langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada
yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil
karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka
terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas
tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara
alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3aC5a) yang mampu merangsang
sel mast dan baofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan
dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks
imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan
kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik
menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
7
E. MANIFESTASI (GEJALA) KLINIS
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak
lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan
serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan
yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa dan subkutan, juga
beberapa alat dalam misalnya saluran serna dan nafas, disebut angioedema. Pada
keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak nafas,
serak, dan rinitis.
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria
akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar
pinggang, pada penderita ini dermografisme jelas terlihat.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320nm dan 400-
500nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria papular.
Hal ini harus dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria kronik
disebabkan faktor fisik, antara lain akibat dingin, panas, tekanan, dan penyinaran.
Umumnya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat dan biasanya umum
kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika
bervariasi dari beberapa mm sampai numular dan konfluen membentuk plakat.
Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare, munta-
muntah, dan nyeri kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria akibat obat
atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.

8
F. DIAGNOSIS

a. Pembantu Diagnosis
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah
ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan
penyebabnya, misalnya :
1. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin
perlu diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu
diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal
dapat dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan, dermatofit dan
kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu
diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis,
geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat
permulaan tidak tampak infiltrasi seluler dan pada tingkat lanjut terdapat
infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria
kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test)
10. Tes dengan air hangat.

9
b. Diagnosis Banding
1. Angioedema herediter Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang tidak disertai
urtikaria. Pada kelainan ini terdapat edema subkutan atau submukosa periodik
disertai rasa sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya mengenai
ekstremitas dan mukosa gastrointestinalis yang sembuh setelah 1 sampai 4 hari.
Pada keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa. Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2 yang menurun dan tidak adanya
inhibitor C1-esterase dalam serum.
2. Sengatan serangga multipel Pada sengatan serangga akan terlihat titik di tengah
bentol, yang merupakan bekas sengatan serangga.

G. PENGOBATAN
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila
mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak
mencoba mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan dan tidak
berkontak dengan penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-
reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antiistamin 1, AH1) dan reseptor H2
(AH2).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan
pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektifitas tersebut
acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam
perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat
terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin
nonklasik.

TABEL 1. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN


Antihistamin H1
Kelas/nama generik Nama Pabrik
1. etanolamin/difenhidramin
2. etilendiamin/tripelenamin
3. alkilamin/klofeniramid
4. piperazin/siklizin
10
5. fenotiazin/prometazin
6. Tambahan
a. hidroksizin hidrokloridb.
b. siproheptadin benadryl
c. pyribenzamine
d. chlortrimethon
e. marezine
f. phenergan
g. atarax
h. periactin
i. Antihistamin H2 cimetidin
Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit
setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama
kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Tetapi ada juga antihistamin yang waktu kerjanya
lebih lama yaitu meklizin dan klemastin.
Pemakaian di klinik hendaknya selalu mempertimbangkan cara kerja obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian,
serta efek samping obat dan interaksinya dengan obat lain.
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot
polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan
penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan
antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor alfa
adrenergik.
Antihistamin AH1 yang nonklasik contohnya : terfenadin, astemizol, loratadin,
dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak
dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam
waktu 4 jam (misalnya terfenadin), sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah
pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1
yang klasik, bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal
secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long
acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena
tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak memberi
efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat
penekanan pada SSP serta relatif nontoksik.
11
Akhir-akhir ini juga berkembang istilah antihistamin yang berkhasiat
berspektrum luas, yang dimaksud adalah selain berkhasiat sebagai antihistamin, juga
berkhasiat terhadap mediator lain umpamanya serotonin, contohnya hemoklorsiklizin.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergunakan
antihistamin grup lain. Hidroksizin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain
untuk mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria kolinergik. Pada urtikaria
karena dingin ternyata siproheptadin lebih efektif. Kadang-kadang golongan beta
adrenergik seperti epinefrin atau efedrin, kortikosteroid, serta tranquilizer, baik pula
untuk mengatasi urtikaria. Penyelidik lain mengemukakan pengeobatan dengan obat
beta adrenergik ternyata efektif untuk urtikaria yang kronik. Pemberian kortikosteroid
sistemik diperlukan pada urtikaria yang akut dan berat, tetapi tidak banyak manfaatnya
pada urtikaria kronik.
Pada tahun-tahun terakhir ini dikembangkan pengobatan yang baru, hasil
pengamatan membuktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai
reseptor H2. Hal ini apat menerangkan, mengapa antihistamin H1 tidak selalu berhasil
mengatasi urtikaria. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 masih dalam penelitian lebih
lanjut. Tetapi pada dermografisme yang kronik pengobatan kombinasi ternyata lebih
efektif daripada antihistamin H1 saja.
Pada edema angioneurotik kematian hampir 30% disebabkan oleh karena
obstruksi saluran nafas. Biasanya tidak responsif terhadap antihistamin, epinefrin,
maupun steroid. Pada gigitan serangga akut mungkin dapat diberikan infus dengan
plasma fresh frozen, yang obyektif tentu saja pemberian plasma yang mengandung C1
esterase inhibitor, C2, dan C4. Hal yang penting ialah segera dilakukan tindakan
mengatasi edema larins.
Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin dimaksudkan untuk
menekan aktifitas plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen-antibodi.
Preparat yang digunakan adalah ipsilon. Obat lain ialah trasilol, hasilnya 44%
memuaskan.
Pengobatan dengan cara desensitasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin,
dengan melakukan sensitisasi air pada suhu 10oC (1-2 menit) dua kali sehari selama 2-
3 minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga jamur, desensitasi mula-mula dengan
1alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan
sampai batas yang dapat ditolerir oleh penderita. Eliminasi diet dicobakan pada yang
sensitif terhadap makanan.Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara
simptomatik, misalnya anti-pruritus di dalam bedak atau bedak kocok.
12
H. PENCEGAHAN

Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.


1. Hindari alergen yang diketahui. Termasuk beberapa makanan dan penyedap
makanan, obat-obatan dan beberapa situasi seperti panas, dingin atau stress
emosional
2. Membuat catatan. Mencatat kapan dan dimana urtikaria terjadi dan apa yang kita
makan. Hal ini akan membantu anda dan dokter untuk mencari penyebab
urtikaria.
3. Hindari pengobatan yang dapat mencetuskan urtiakria seperti antibiotik
golongan penisilin, aspirin dan lainnya.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam sebab,
biasanya ditandai dengan edema (bengkak) setempat yang cepat timbul dan
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di
permukaan kulit serta disertai keluhan gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Penyebab urtikaria belum diketahui pasti penyebabnya, diduga di antaranya :
obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan,
kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit
sistemik.
Gejala penyakit ini bisa berupa: gatal-gatal, pembengkakan diatas permukaan
kulit yang berwarna kemerahan dengan batas pinggir yang jelas (timbul secara tiba-
tiba, memudar bila disentuh, jika digaruk akan timbul bilur-bilur yang baru), bilur-
bilur membesar lalu menyebar atau bergabung satu sama lain membentuk bilur
yang lebih besar, bentuknya berubah-ubah, hilang-timbul dalam beberapa menit
atau jam.
Pengobatannya yaitu, jika sifatnya ringan, tidak diperlukan pengobatan khusus
karena bisa menghilang dengan sendirinya. Jika sampai terjadi penyumbatan
tenggorokan dan kesulitan bernafas, maka segera dilakukan tindakan darurat. Untuk
mengurangi peradangan, gatal-gatal dan pembengkakan, diberikan antihistamin,
epinephrine, terbutalin, simetidin, kortikosteroid atau obat penenang. Sedang
pencegahannya yaitu hindari kontak dengan alergen penyebab kaligata.

B. RITIK DAN SARAN


Dalam pemberian tugas makalah seperti ini, sebaiknya dalam bentuk kelompok
bukan per-individu agar pengerjaannya lebih efektif dan efisien.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/01/09/biduran-giduan-urtikaria-bukan-
sekedar-alergi-makanan-biasa/

http://www.klikdokter.com/urtikaria/28

http://www.irwanashari.com/2009/04/urtikaria.html

http://medicastore.com/penyakit_subkategori/13/index.html

http://juwet.com/2010/04/informasi-dan-pengobatan-pada-urtikaria/

Anda mungkin juga menyukai