Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sefalgia atau nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah kepala
dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala. Berdasarkan penyebabnya nyeri
kepala digolongkan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan struktur
atau sejenisnya.1,2
Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi atau
kelainan struktur atau sejenisnya, bersifat kronik progresif, meliputi kelainan non vaskuler.
Berdasarkan The International Classification of Headache Disorders tahun 2013, nyeri kepala
dibagi ke dalam tiga kategori menurut penyebabnya: nyeri kepala primer, nyeri kepala
sekunder dan neuralgia kranial.2
Sefalgia kronik adalah nyeri kepala yang terjadi lebih dari tiga bulan, yang mengalami
pertambahan dalam derajat berat, frekuensi, dan durasinya serta dapat disertai munculnya
defisit neurologis yang lain selain nyeri kepala. Sefalgia kronik bersifat progresif, berdenyut,
dan memberat terutama pada pagi hari, pada seluruh kepala terutama bagian depan dan dapat
bertambah nyeri saat mengejan atau batuk ataupun dengan perubahan posisi.3,4
Sefalgia dapat merupakan tanda dari proses penyakit tertentu baik ekstrakranial
maupun intrakranial. Tumor dan abses serebral merupakan contoh dari space occupying
lesion yang menimbulkan nyeri kepala oleh karena terjadinya kompresi jaringan otak
terhadap tengkorak sehingga meningkatkan tekanan intrakranial. Mual dengan atau tanpa
muntah dapat menyertai nyeri kepala yang disebabkan oleh migrain, glaukoma, space
occupying lesion,dan meningitis.5
Tumor intrakranial atau yang juga dikenal dengan tumor otak, ialah massa abnormal
dari jaringan di dalam kranium, dimana sel-sel tumbuh dan membelah dengan tidak dapat
dikendalikan oleh mekanisme yang mengontrol sel-sel normal.5,6 Terdapat lebih dari 150
jenis tumor intrakranial yang telah ditemukan, namun menurut asalnya, tumor intrakranial
atau tumor otak dikelompokan menjadi tumor primer dan tumor sekunder.5,7 Tumor otak
primer mencakup tumor yang berasal dari sel-sel otak, selaput otak (meninges), saraf, atau
kelenjar.5 Tumor otak sekunder merupakan tumor yang berasal dari tumor ganas jaringan
tubuh lain.7

1 | SOL (Space occupying lesion)


Berdasarkan lokasi tumor, terdapat dua jenis utama tumor intrakranial, yaitu tumor
supratentorial dan infratentorial.8 Tumor intrakranial termasuk dalam lesi desak ruang (space
occupied lession).9 Space occupied lession (SOL) ialah lesi fisik substansial, seperti
neoplasma, perdarahan, atau granuloma, yang menempati ruang.10 SOL Intrakranial
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta hematoma atau
malformasi vaskular yang terletak di dalam rongga tengkorak.11 SOL memberikan tanda dan
gejala akibat tekanan intrakranial, intracranial shift, atau herniasi otak, sehingga dapat
mengakibatkan‘brain death’.11,2 Tumor intrakranial menyebabkan timbulnya gangguan
neurologik progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak disebabkan oleh gangguan fokal
akibat tumor dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi
atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural.9 Perubahan
suplai darah akibat tekanan tumor menyebabkan nekrosis jaringan otak dan bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang merupakan manifestasi aktivitas listrik
abnormal yang dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke
jaringan otak.9,13 Beberapa tumor juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal.9
Peningkatan TIK dapat disebabkan oleh beberapa faktor: bertambahnya massa dalam
tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor, dan perubahan cairan serebrospinal.9
Pertumbuhan tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada tengkorak.13 Mekanisme
terbentuknya oedema pada kanker diduga karena selisih osmotik yang menyebabkan
penyerapan cairan otak. Menurut National Cancer Institute USA, berdasarkan data tahun
2006 s.d. 2010, jumlah kasus baru kanker otak dan sistem saraf lainnya adalah 6,5% per
100.000 pria dan wanita per tahun. Jumlah kematian diperkirakan 4,3% per 100.000 pria dan
wanita per tahun.10 Tumor metastasis ke otak terdapat pada sekitar satu dari empat pasien
dengan kanker, atau sekitar 150.000 orang per tahun.14

2 | SOL (Space occupying lesion)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
SOL (Space occupying lesion) dapat didefinisikan sebagai tumor yang jinak atau ganas
baik bersifat primer atau sekunder, dan juga sebagai massa inflamatorik maupun parasitic
yang berletak pada rongga cranium. SOL (Space occupying lesion) juga berupa hematoma,
berbagai jenis kista dan malformasi vaskuler.

2. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian terdapat 42 kasus SOL mempengaruhi rongga intrakranial dan
tulang belakang. 39 kasus berasal dari otak dan selaput-selaput otak dan 3 berasal dari lumbar
pinalis. Dari 39 kasus, 26 (67%) adalah akibat tumor dan 13(33%) adalah akibat infeksi,
terutama tuberculosis. Dari data tersebut terdapat 6 kasus astrocytoma dan 3 kasus
meningioma. Dalam kasus tersebut masing-masing terdapat 2 kasus lagi yakni, pilocytic
astrocytoma and medulloblastoma. Selain itu juga terdapat kasus pineal tumour,
craniopharyngioma, pituitary adenoma, vestibular schwannoma dan oligodendroglioma dan 6
kasus indeterminate . ada 3 kasus SOL yang mengenai spinal yakni arachnoiditis, subdural
abscess dan tuberculoma.

3. Etiologi
1. Riwayat trauma kepala
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput otak).
Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum diketahui
gejala klinis.
2. Faktor genetik
Tujuan susunan saraf pusat primer merupakan komponen besar dari beberapa gangguan
yang diturunkan sebagai kondisi autosomal, dominan termasuk sklerasis tuberose,
neurofibromatosis.
3. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik dan virus
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus menyebabkan
terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi hubungannya dengan tumor
pada manusia masih belum jelas.
4. Defisisensi imunologi dan congenital.

3 | SOL (Space occupying lesion)


4. Klasifikasi SOL (Space occupying lesion)
a. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak ruang (space
occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen
supertentorial maupun infratentorial.
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya didasari oleh
morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis.
Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan
histologis neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori :
1. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak infiltratif dan hanya
mendesak organ-organ sekitar. Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak
adanya metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara histologis,
menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang
rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa
adanya formasi baru.

2. Maligna (ganas)

Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa batas yang jelas,
tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif. Gangguan


neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat
tumor dan kenaikan intrakranial.14
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau
invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai
darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan
suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan
gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan
neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak.
Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal.14

4 | SOL (Space occupying lesion)


Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan
sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa
karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku.

Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan
peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan
serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus.14
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa apabila terjadi cepat


akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme kompensasi antara lain bekerja menurunkan
volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel, dan
mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan
herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis
tergeser ke inferior melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi
menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga.
Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh
suatu massa posterior.14

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan tampilan sitologinya
dan dalam perkembangan selanjutnya dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-
peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan
Cushing (1926) berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan
diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi
tumor, efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada

5 | SOL (Space occupying lesion)


klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di atas dan
menghubungkannya dengan prognosis.

Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang tersering.
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari lesi berbatas tegas
tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas
seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya adalah lesi
infiltratif berbatas samar yang menyebabkan parenkim membesar dan batas substansia
grisea/substansia alba kabur.11

Gambar 2.6 Astrositoma

Gambar 2.7 MRI Anaplastik Astrositoma

6 | SOL (Space occupying lesion)


Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa dan biasanya


terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan sitogenik yang sering terjadi pada
oligodendroglioma adalah hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan
lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma biasanya lunak dan
galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih tegas dibandingkan dengan astrositoma
infiltratif dan sering terjadi kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam.11

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit diperkirakan. Usia


pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan kontras dalam pemeriksaan radiografik,
aktivitas proliferatif, dan karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis.11

Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul di dalam salah stu
rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda spinalis. Ependimoma intrakranial paling
sering terjadi pada dua dekade pertama kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada
orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering timbul di ventrikel keempat, tempat
tumor ini mungkin menyumbat CSS dan menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan
intracranial.11

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari dinding ventrikel.
Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam rongga ventrikuler sebagai massa padat,
kadang-kadang dengan papilar yang jelas.11

Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma. Tumor intrakranial


sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Karena
lokasinya di dalam sistem ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang
subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).

7 | SOL (Space occupying lesion)


Gambar 2.7 Ependimoma

Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau neoplasma yang infiltratif
secara difuse. Potongan tumor dapat berupa masa yang lunak berwarna keabuan atau
kemerahan, daerah nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan
suatu daerah bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan.11

Gambar 2.7 Glioblastoma

Gambar 2.8 MRI Glioblastoma

8 | SOL (Space occupying lesion)


Meduloblastoma11
Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan bertumbuh sangat cepat.
Neoplasma ini sering ditemukan pada anak. Sekitar 20% neoplasma otak pada anak adalah
meduloblastoma.
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di infratentorial, di bagian posterior
vermis serebeli dan atap ventrikel ke empat. Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya
informasi genetik di bagian distal kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari regio yang
mengkode protein p53 pada sebagian besar pasien. Ini diduga bertanggung jawab terhadap
perubahan neoplastik dari sel-sel punca serebelum menjadi neoplasma.14
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata ditegakkan 1 – 5 bulan
setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan
tekanan tinggi intrakranial. Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan mengeluh
nyeri kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan terlihat anak berjalan seperti tersandung,
sering jatuh, melihat dobel, dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan
pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan papiledema atau paresis
nervus abdusens.14

Gambar 2.9 Gambaran Skematik Meduloblastoma

Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa massa dengan


konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk mirip dengan kembang kol. Tumor ini
cenderung berbentuk sesuai dengan kontur ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi
melalui foramen-foramen ke dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke dalam rongga
subarakhnoid. Tumor ini mendesak jaringan otak namun tidak menginvasinya.14

9 | SOL (Space occupying lesion)


Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial disertai gejala neurologis fokal. Tumor intraventrikel IV dapat menimbulkan
gejala nistagmus dan ataksia.

b. Hematoma Intrakranial11
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea
media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter
dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan
hematom epidural. Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis
otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologic.
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah
hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan
intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu
pupil ipsilateral melebar.

Gambar 2.10 Hematom Epidural

Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong kesisi lain

10 | SOL (Space occupying lesion)


Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena di
dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang
lama. Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan
dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek.
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama
sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik
bila timbul sesudah minggu ketiga.
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius
dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat
dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang
meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor.
Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Defisit neurologik progresif drisebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.11
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada
penderita hematom subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun,
setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya
tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan
dan tidak merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan
intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak.11
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda beberapa minggu,
bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat
dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam
7 sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan osmotik yang
menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma.

11 | SOL (Space occupying lesion)


Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut
akibat robekan membran atau pembuluh darah di sekelilinhnya sehingga meningkatkan
ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur
kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas. Hematoma
subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda perubahan yang paling khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya
perhatian dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih
tinggi.

Gambar 2.11 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang
berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambaran klinis suatu
proses desak ruang (space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap
sebagai neoplasma atau demensia.

Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai pengumpulan
cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi
karena robekan selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa
tanda fokal.

12 | SOL (Space occupying lesion)


5. Patofisiologi SOL (Space occupying lesion)
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu otak, cairan
serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu
foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari
serebelum. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space
occupying lesion (SOL).12
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus ventrikel lateral, tiga,
dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel,
terutama di kedua ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang disekresikan di
ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah
cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus
Sylvii ke dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga pintu
kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan
memasuki sisterna magna, yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di
bawah serebelum.12
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang mengelilingi seluruh otak
dan medula spinalis. Cairan serebrospinal kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan
mengalir ke dalam vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum.12

Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam


rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

13 | SOL (Space occupying lesion)


serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang
intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur
yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah
(sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intracranial.12
Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan konstan dengan
tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20
mmHg dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab
peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma kepala. Aneurisma
intrakranial yang pecah dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara
mendadak sehingga mencapai tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat
cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak
yang makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan.11

Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran
Struktur Tengah.

14 | SOL (Space occupying lesion)


6. Gejala Klinis SOL (Space occupying lesion)
a. Gejala Klinis Secara Umum
Peningkatan TIK
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap sebagai
karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, dua pertiga pasien dengan
lesi desak ruang memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya umumnya
dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial tergantung pada penyebab daripada
tingkat tekanan yang terjadi. Tak ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan
beratnya gejala.
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur dikepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah saraf dapat melakukan
kraniotomi major dalam anestesia lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat
ditindak tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah arteria meningeal
media beserta cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus venosus dan bridging veins, serta
dura didasar fossa kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi
membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus venosus serta cabang
utamanya dan memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh
peregangan atau penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori kranial
kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh spasme otot-otot
besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks
bila mekanisme nyeri bekerja.15
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik bangun pagi dengan
nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya
peningkatan tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi berbaring, peninggian PCO2
selama tidur karena depresi pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi
cairan serebrospinal.1

2. Muntah

Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua sebab dan merupakan
tampilan yang terlambat dan diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel keempat yang langsung
mengenai nukleus vagal. Setiap lesi hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial
akibat obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah menentukan

15 | SOL (Space occupying lesion)


mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian tekanan intrakranial biasanya
timbul setelah bangun, sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan
sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini jarang
merupakan gambaran yang menarik perhatian.15

3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau pembengkakan diskus optikus yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa
hari atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana
peningkatan tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi drainase vena
dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan pembengkakan pada diskus
optikus dan retina serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan
terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus.15

Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi
difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status mental,
kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)
menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus
temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat
besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan
gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital
lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum (Saanin,
2004, Bradley, 2000).

Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan :


1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat berakhir hingga
koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat menyebabkan ruang tengkorak yang
tertutup terdesak dan dapat pula menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak
sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena penimbunan
katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada
vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior lebih
cepat menimbulkan gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi.

16 | SOL (Space occupying lesion)


Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang berpusat di fosa
kranium posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan dapat meninggi dengan cepat.

Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan menjadi tiga,


yaitu :

a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral


Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa kranium medial dan
biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke
kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali
mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada
awalnya akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan gangguan
kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya
diansefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan dari terjepitnya nervus
okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap berkembangnya paralisis okulomotoris,
kesadaran akan menurun secara progresif.

b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak


Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial dan secara berangsur-
angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian rostral batang otak. Tanda bahwa suatu tumor
supratentorial mulai menggangu diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang
pertama-tama terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.

Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan menyebabkan :15
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi

Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan terjadi :


 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur

17 | SOL (Space occupying lesion)


 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak lagi bereaksi terhadap
sinar cahaya

c. Herniasi serebelum di foramen magnum


Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata. Gejala-gejala
gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan
gangguan pada medula oblongata, pons, ataupun mesensefalon akan terjadi.

d. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru
kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.

b. Gejala Klinis Secara Lokal


Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim, infark atau
edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase,
ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversible.

1. Tumor di lobus frontalis / kortikal


Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah dan papiludema akan
timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di bagian
otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum.
Akan terjadi kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan disajikan sebagai bahan
tertawaan, yang bermutu rendah.
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari tumor di bagian
posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat
menyebabkan refleks memegang dan anosmia.
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis post-
iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan
kejang. Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia
jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius.

18 | SOL (Space occupying lesion)


2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik sehingga menimbulkan
kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah
menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika
tumor bertumbuh di daerah falk serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai.

3. Tumor di lobus temporalis


Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang menonjol. Kecuali, bila
daerah unkus terkena, akan timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan
terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal ini
logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus temporalis
sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus
kortikospinal kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian,
disfungsi memori dan kejang parsial kompleks.15

4. Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik. Jika tumor sudah
menimbulkan destruksi strukturil, maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral
yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan
astereognosia dan ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan
timbul gejala yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan terhadap
rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic
radiation sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus parietalis yang
berdampingan dengan lobus temporalis dan lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi
keutuhan fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan menyebabkan agnosia
(hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta
apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada
gangguan sensorik dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal.
Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor atau kejang
sensoris.15

19 | SOL (Space occupying lesion)


5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang muncul biasanya adalah
sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen.
Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap
cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri.16

6. Tumor pada korpus kalosum


Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental, terutama menjadi cepat lupa
sehingga melupakan sakit kepala yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering
timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus
kalosum.15

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal


Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau
aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan
ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan
kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu16

8. Tumor Batang Otak15,16


Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus,
ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan
hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum.

9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering
ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.

7. Penegakan Diagnostik
Perubahan Tanda Vital
a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama pada anak-
anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin terjadi untuk mensuplai
darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang

20 | SOL (Space occupying lesion)


terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi
lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada batang otak
dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan diikuti dengan penurunan
level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada
batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat berkembang
dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat
sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan perubahan pada pola
pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun.
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu tubuh akan
tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul
akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang lebih lambat
dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan penekanan pada nervus
okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius
menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N.
okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa
ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua
pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan
cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil,bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan gerakan
bola mata

21 | SOL (Space occupying lesion)


b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus atau
atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi, reflek
patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

8. Pemeriksaan Penunjang
 Head CT-Scan
CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien
yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang mudah,
sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita
menggunakan CT-Scan dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor yang ada. CT-Scan
tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkkan jenis tumor apa, karena
setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda pad CT-Scan.
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa
massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan
oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan
atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya hiperdens. Beberapa
jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan
pemberian zat kontras. Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa
tumor yang kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium, maupun massa di
batang otak.
Pada subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens
(putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak
dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit didaerah bagian atas tentorium serebeli. Perdarahan subdural yang sedikit
(small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak
dengan menyesuaikan CT window width. Pegeseran garis tengah (middle shift) akan tampak
pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift
harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai adanya
edema serebral yang mendasarinya.
Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit
dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau

22 | SOL (Space occupying lesion)


MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah
trauma. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas
dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural
akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam
membedakannya dengan epidural hematoma.
Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras menjadi hipodens
dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan kepala telah ditemukan perdarahan subdural,
sangat penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan seperti
fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan subarakhnoid.
Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk dilakukannya biopsi.
Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan diagnostik maupun terapi.
 MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi tumor
yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium, batang otak dan di fossa
posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan, kistik, atau,
massa padat tumor intrakranial.
 Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan
kelainan dalam tubuh. kelainan sitemik biasanya jarang terjadi, walaupun terkadang pada
abses otak sedikit peningkatan leukosit.
 Foto Thoraks
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor dibagian tubuh lain, terutama paru
yang merupakan tempat tersering untuk terjadinya metastasis primer paru. Pada hematoma,
mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan
/edema), dan fragmen tulang.
 USG Abdomen
Dilakukan untuk mengetahui aakah ada tumor dibagian tubuh lain. Pada orang
dewasa. Tumor otak yang merupakan metastase dari tumor lain lebih sering daripada tumor
primer otak.

23 | SOL (Space occupying lesion)


 Biopsi
Untuk tumor otak, biopsi dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor tersebut,
sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe dan stadium tumor dan
menentukan pengobatan yang tepat seperti apakah akan dilakukan pengangkatan seluruh
tumor ataupun dilakukan radioterapi.
 Lumbal Pungsi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk beberpa jenis tumor otak tertentu. Dengan
mengambil cairan serebro spinal, diharapkan dapat diketahui jenis sel dari tumor otak
tersebut. Jika tekanan intrakranial terlalu tinggi, pemeriksaan ini kontraindikasi untuk
dilakukan.
 Analisa Gas Darah
 Angiography
Angiography tidak sealu dilakukan, tetapi pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk
beberapa jenis tumor. pemeriksaan ini membantu ahli bedah untuk mengetahui pembuluh
darah mana saja yang mensuplai area tumor, terutama apabila terlibat embuluh darah besar.
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama untuk tumor yang tumbuh ke bagian sangat
dalam dari otak.
9. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan. Ada
pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada kasus abses seperti
loculated abscess, pembesran abses walaupun sudah diberi antibiotik yang sesuai, ataupun
terjadi impending herniation. Sedangkan pada subdural hematoma, operasi dekompresi harus
segera dilakukan jika terdapat subdural hematoma akut dengan middle shift > 5 mm. Operasi
juga direkomendasikan pada subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih dari 1 cm.
2. Radioterapi
Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low grade glioma.
Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapi dari pembedahan parsia.
3. Kemoterapi

Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk oligodendroglioma dan
beberapa astrocytoma yang berat, kemoterapi hanya digunakan sebagai terapi tambahan.

24 | SOL (Space occupying lesion)


4. Antikolvusan
Mengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada pasien dengan gejala
klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami peningkatan tekanan intrakranial, yang salah
satu gejala klinis yang sering terjadi adalah kejang.
Phenytoin (300-400mg/kali) adalah yang paling umum digunakan. Selain itu dapat
juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari), phenobarbital (90- 150mg/hari) dan asam
valproat (750-1500mg/hari).
5. Antibiotik
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan salah
satu terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai
data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan
hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum. Carbapenem,
fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi harus
memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk
mencegah toksisitas.
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangi tekanan intrakranial.
Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah kortikosteroid yang
dipilh karena aktivitas mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari
16mg/hari, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang
dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.
7. Head up 30-45˚
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan membantu
mengurangi TIK.
8. Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi peningkatan TIK,
dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa gas darah untuk menghindari global
iskemia pada otak.
9. Diuretika Osmosis
Manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit untuk
membantu mengurangi peningakatan TIK dan dapat mencegah edema serebri.

25 | SOL (Space occupying lesion)


10. Komplikasi
1. Gangguan fungsi neurologis
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan tidur dan mood
4. Gangguan disfungsi seksual

26 | SOL (Space occupying lesion)


BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PRIBADI

NAMA : NY. R

JENIS KELAMIN : Perempuan

USIA : 78 tahun

SUKU/BANGSA : Gayo

AGAMA : Islam

ALAMAT : Kebayakan

STATUS : Menikah

PEKERJAAN : IRT

TGL. MASUK : 09/03/2019

ANAMNESA

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran

Telaah : Pasien datang ke RSUD Datu beru dibawa oleh keluarganya


dengan keluhan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran dialami pasien sejak 2 hari
SMRS. Penurunan kesadaran dialami pasien mendadak. Keluhan nyeri kepala hebat
disangkal, muntah yang menyembur disangkal. Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat
dengan keluhan sakit kepala berulang dan tidak sembuh dengan meminum obat sakit kepala,
setelah dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa dengan tumor otak. Riwayat kejang
disangkal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Diabetes Melitus, Hipertensi disangkal

Riwayat Penggunaan Obat : Pasien sering mengkonsumsi obat sakit kepala

ANAMNESA TRAKTUS

Traktus Sirkulatorius : Dalam batas normal

Traktus Respiratorius : Dalam batas normal

Traktus Digestivus : Dalam batas normal

27 | SOL (Space occupying lesion)


Traktus Urogenitalis : Dalam batas normal

Penyakit terdahulu dan : Diabetes melitus, riwayat trauma disangkal

Kecelakaan

Intoksikasi & Obat2an : obat sakit kepala

ANAMNESA KELUARGA

Faktor Herediter : Disangkal

Faktor Familier : Disangkal

Lain-lain : Disangkal

ANAMNESA SOSIAL

Kelahiran dan Pertumbuhan :

Imunisasi : Tidak dilakukan

Pendidikan : SD

Pekerjaan : IRT

Perkawinan dan Anak :

PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM

Tekanan Darah : 90/70 mmhg

Nadi : 120x/i

Frekuensi Nafas : 24x/i

Temperatur : 36,5

Kulit dan Selaput Lendir : Dalam batas normal

Kelenjar dan Getah Bening : tidak ada pembesaran KGB

Persendian : Dalam batas normal

28 | SOL (Space occupying lesion)


KEPALA DAN LEHER

Bentuk dan Posisi : Dalam batas normal

Pergerakan : Terbatas

Kelainan Panca Indera : Tidak dapat dinilai

Rongga Mulut dan Gigi : dalam batas normal

Kelenjar Parotis : dalam batas normal

Desah :

Dan Lain-lain : Dalam batas normal

RONGGA DADA DAN ABDOMEN

Rongga Dada Rongga Abdomen

Inspeksi : Dalam batas normal Dalam batas normal

Perkusi : Dalam batas normal Dalam batas normal

Palpasi : Dalam batas normal Dalam batas normal

Auskultasi : Dalam batas normal Dalam batas normal

GENITALIA

Toucher : Tidak dilakukan

STATUS NEUROLOGIS
SENSORIUM : Tidak dapat dilakukan

KRANIUM

Bentuk : Dalam batas normal

Fontanella : Dalam batas normal

Palpasi : Dalam batas normal

Perkusi : Dalam batas normal

Auskultasi :

Transiluminasi :

29 | SOL (Space occupying lesion)


PERANGSANGAN MENINGEAL

Kaku Kuduk : (-)

Tanda Kernig : (-)

Tanda Brudzinski I : (-)

Tanda Brudzinski II : (-)

Tanda Brudzinski III : (-)

Tanda Brudzinski IV : (-)

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKANIAL

Muntah : Disangkal

Sakit Kepala : (+)

Kejang : Disangkal

SARAF OTAK / NERVUS KRANIALIS


NERVUS I

Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra

Normosmia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Anosmia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Parosmia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hiposmia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kakosmia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

NERVUS II

30 | SOL (Space occupying lesion)


Oculi Dextra Oculi Sinistra

Visus : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapang Pandang

 Normal : Tidak dilakukan Tidak dilakukan


 Menyempit : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Hemianopsia : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Scotoma : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek Ancaman : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Fundus Okuli : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Warna : Tidak dilakukan Tidak dilakukan


 Batas : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Eskavasio : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Arteri : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Vena : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

NERVUS III, IV, VI

Oculi Dextra Oculi Sinistra

Gerakan Bola Mata : Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan

Nistagmus : Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan

Pupil

 Lebar : 3mm 3mm


 Bentuk : bulat bulat
 Reflek Cahaya Langsung : (+) (+)
 Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+) (+)
 Rima Palpebra : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Deviasi Konjugate : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
 Fenomena Doll’s Eye : (-) (-)
 Strabismus : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

31 | SOL (Space occupying lesion)


NERVUS V

Motorik

 Membuka dan Menutup Mata : Tidak dapat dinilai


 Palpasi Otot Masseter & Temporalis : Tidak dapat dinilai
 Kekuatan Gigitan : Tidak dapat dinilai
Sensorik

 Kulit : Tidak dapat dinilai


 Selaput Lendir : Tidak dapat dinilai
Reflek Kornea

 Langsung : (+)
 Tidak Langsung : (+)
Reflek Masseter : (-)

Reflek Bersin : (+)

NERVUS VII

Motorik

 Mimik : (+)
 Kerut Kening : (+)
 Menutup Mata : (+)
 Meniup Sekuatnya : Tidak dapat dinilai
 Memperlihatkan Gigi : (+)
 Tertawa : (-)
Sensorik

 Pengecapan 2/3 Depan Lidah : Tidak dapat dinilai


 Produksi Kelenjar Ludah : (+)
 Hiperakusis : Tidak dapat dinilai
 Reflex Stapedial : Tidak dapat dinilai

NERVUS VIII

Auditorius

 Pendengaran : Tidak dapat dinilai


 Test Rinne : Tidak dapat dinilai
 Test Webber : Tidak dapat dinilai
 Test Schwabach : Tidak dapat dinilai

32 | SOL (Space occupying lesion)


Vestibularis

 Nistagmus : Tidak dapat dinilai


 Reaksi Kalori : Tidak dilakukan
 Vertigo : Tidak dapat dinilai
 Tinnitus : Tidak dapat dinilai

NERVUS IX, X

Pallatum Mole : Atrofi (-)

Uvula : Berada ditengah

Disfagia : (+)

Disartria : Tidak dapat dinilai

Disfonia : Tidak dapat dinilai

Refleks Muntah : (+)

Pengecapan 1/3 Belakang Lidah : Tidak dapat dinilai

NERVUS XI

Mengangkat Bahu : Tidak dapat dinilai

Fungsi Otot Sternocleidomastoideus : Tidak dapat dinilai

NERVUS XII

Lidah

 Tremor : (-)
 Atrofi : (-)
 Fasikulasi : (-)
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : (-)

Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : (-)

33 | SOL (Space occupying lesion)


SISTEM MOTORIK

Trofi : (-)
Tonus Otot :
Kekuatan Otot : 222

Sikap ( Duduk – Berdiri – Berbaring ) : Berbaring

Gerakan Spontan Abnormal

 Tremor : Negatif
 Khorea : Negatif
 Ballismus : Negatif
 Mioklonus : Negatif
 Atetosis : Negatif
 Dystonia : Negatif
 Spasme : Negatif
 Tie : Negatif
 Dan Lain-lain : (-)

TES SENSIBILITAS

Eksteroseptif : Tidak dilakukan

Proprioseptif : Tidak dilakukan

Fungsi Kortikal Utk Sensibilitas

 Stereognosis : Tidak dilakukan


 Pengenalan Dua Titik : Tidak dilakukan
 Grafestesia : Tidak dilakukan

34 | SOL (Space occupying lesion)


REFLEKS

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

 Biceps : +1 +1
 Triceps : +1 +1
 Radioperiost : +1 +1
 APR : +1 +1
 KPR : +1 +1
 Strumple : +1 +1
Refleks Patologis

 Babinski : (-)
 Oppenheim : (-)
 Chaddock : (-)
 Gordon : (-)
 Schaefer : (-)
 Hoffman – Tromner : (-)
 Klonus Lutut : (-)
 Klonus Kaki : (-)
Refleks Primitif : (-)

KOORDINASI

Lenggang : (-)

Bicara : (-)

Menulis : (-)

Percobaan Apraksia : (-)

Mimik : (-)

Tes telunjuk – telunjuk: (-)

Tes telunjuk – hidung : (-)

Diadokhokinesia : (-)

Tes Tumit – Lutut : (-)

Tes Romberg : (-)

35 | SOL (Space occupying lesion)


VEGETATIF

Vasomotorik : Tidak dilakukan

Sudomotorik : Tidak dilakukan

Pilo – Erektor : Tidak dilakukan

Miksi : (+)

Defekasi : Tidak dilakukan

Potensi Libido : Tidak dilakukan

VERTEBRA

Bentuk

 Normal : (+)
 Scoliosis : (-)
 Hiperlordosis : (-)
Pergerakan

 Leher : Dbn
 Pingang : Dbn

TANDA PERANGSANGAN RADIKULER

Laseque : (-)

Cross Laseque : (-)

Tes Lhermitte : (-)

Tes Naffziger : (-)

GEJALA SEREBELLAR

Ataksia : (+)

Disartria : (+)

Tremor : (-)

Nystagmus : (-)

36 | SOL (Space occupying lesion)


Fenomena Rebound : (+)

Vertigo : (-)

Dan Lain-Lain : (-)

GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL

Tremor : (-)

Rigiditas : (-)

Bradykinesia : (-)

Dan Lain-Lain : (-)

FUNGSI LUHUR

Kesadaran Kualitatif : Apatis

Ingatan Baru : tidak dilakukan

Ingatan Lama : tidak dilakukan

Orientasi

 Diri : tidak dilakukan


 Tempat :tidak dilakukan
 Waktu : tidak dilakukan
 Situasi : tidak dilakukan
Intelegensia : tidak dilakukan

Daya Pertimbangan : tidak dilakukan

Reaksi Emosi : tidak dilakukan

Afasia

 Ekspresif : (-)
 Represif : (-)
Apraksia : (-)

Agnosia

 Agnosia Visual : (-)


 Agnosia Jari-jari : (-)

37 | SOL (Space occupying lesion)


 Akalkulia : (-)
 Disorientasi Kanan-kiri : (-)
KESIMPULAN PEMERIKSAAN :

DIAGNOSA
DIAGNOSA FUNGSIONAL : Penurunan kesadaran

DIAGNOSA ETIOLOGIK : Massa intracerebral

DIAGNOSA ANATOMIK : Massa intracerebral dextra

DIAGNOSA KERJA : Space occupaying lesion

PENATALAKSANAAN :

- Head elevasi 30o


- IVFD assering 20 tpm
- Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam
- Inj dexamethasone 1a// 6j
- Inj mecobalamin 500mg/ 6j
- Inj ranitidne 1a/ 6j

38 | SOL (Space occupying lesion)


FOLLOW UP HARIAN PASIEN

Tanggal Penjalanan Penyakit Tindakan/Terapi

16/03/2019 S/ penurunan kesadaran - Head elevasi 30o


- IVFD assering 20 tpm
(H-2) O/ Kesadaran: Apatis - Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam
KU : sedang - Inj dexamethasone 1a// 6j
(OH-2)
TD : 151/113 mmHg - Inj mecobalamin 500mg/ 6j
HR : 81x/menit - Inj ranitidne 1a/ 6j
RR : 19x/menit
Temperatur: 36,8°C

A/ SOL

17/03/2019 S/ Penurunan kesadaran


- Head elevasi 30o
(OH-3) O/ Kesadaran: Apatis - IVFD assering 20 tpm
KU : sedang - Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam
TD : 110/80 mmHg - Inj dexamethasone 1a// 6j
HR : 77x/menit - Inj mecobalamin 500mg/ 6j
RR : 18x/menit - Inj ranitidne 1a/ 6j
Temperatur: 36,7°C

A/ SOL

18/03/2019 S/ nyeri kepala berkurang (+), sulit


membuka mata kanan, sulit
(OH-4) melihat ke kanan, bicara cadel dan - Head elevasi 30o
sengau, demam - IVFD assering 20 tpm
- Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam
O/ Kesadaran: Apatis - Inj dexamethasone 1a// 6j
KU : sedang - Inj mecobalamin 500mg/ 6j
TD : 120/80 mmHg - Inj ranitidne 1a/ 6j
HR : 77x/menit - Paracetamol 3 x 500mg
RR : 18x/menit
Temperatur: 37,4°C

A/ SOL
19/03/2019 S/Penurunan kesadaran , - Head elevasi 30o
- IVFD assering 20 tpm
(OH-5) O/ Kesadaran: Apatis - Inj. Citicolin 500 mg/12j
KU : sedang 250mg/12j
TD : 120/80 mmHg - Inj dexamethasone 1a/6j8j
HR : 75x/menit - Inj mecobalamin 500mg/ 6j
RR : 18x/menit - Inj ranitidne 1a/ 6j

39 | SOL (Space occupying lesion)


Temperatur: 37,0°C - Paracetamol 3 x 500mg

A/ SOL

20/03/2019 S/ Penurunan kesadaran - Head elevasi 30o


- IVFD assering 20 tpm
(OH-6) O/ Kesadaran: Apatis - Inj. Citicolin 250mg/12j
KU : sedang - Inj dexamethasone1a/8j12j
TD : 160/80 mmHg - Inj mecobalamin 500mg/
HR : 82x/menit 6j 8j
RR : 19x/menit - Inj ranitidne 1a/ 6j
Temperatur: 36,7°C - Paracetamol 3 x 500mg 
AFF
A/ SOL - Amlodipin 5 mg 1x1tab

40 | SOL (Space occupying lesion)


BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's principles of
neurology. Edisi ke-8. New York: McGrawHill; 2014.
2. Satyanegara. Ilmubedahsarafsatyanegara. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia; 2014.
hlm. 265.
3. Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Oxford handbook of clinical
medicine. Edisi ke-9. United States: Oxford University Press; 2014. hlm. 460.
4. American Association of Neurological Surgeons (AANS). Brain Tumors. Rolling
meadows: AANS; 2018.
5. Dorland WAN. KamusKedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran EGC;2015.
6. University of Pittsburgh.Types of Brain Tumors. Pittsburg: University of
Pittsburg;2014.
7. Harsono. Buku ajar neurologiklinis. Djogjakarta: Perimpunanddokterspesialissaraf
Indonesia dengan Gadjah mada university press; 2015.
8. Ejaz M, Saeed A, Naseer A, Chaudrhy, Qureshi G.R, 2005. Intra-cranial Space
Occupying Lesions A Morphological Analysis. Department of Pathology,
Postgraduate Medical Institute, Lahore – Pakistan. Biomedica Vol. 21
9. Lo BM, Talavera F, Arnold JF, Brenner BE, Hooker EA, Huff JS. Brain Neoplasms
[Internet]. New York: Medsape; 2015 [disitasi 2 Oktober 2018]. Tersediadari:
http://emedicine.medscape.com/article/7 79664-overview#a6
10. Soomro, Bashir A.; Khalid, Sameen; and Alvi, Shafaq (2014) "Analytic study of
clinical presentation of intracranial space-occupying lesions in adult
patients,"Pakistan Journal of Neurological Sciences (PJNS): Vol. 9 :Iss. 3 , Article 2.
11. Lombardo MC. 2006. CederaSistem Saraf Pusat. Dalam: Price SA, Wilson LM, eds.
Patofisiologi: KonsepKlinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta.
PenerbitBukuKedokteran EGC.
12. Cross SS. Underwood’s pathology: A clinical approach. Edisi ke-6. China:
Elsevier;2013.
13. Sharif. S. Intracranial Space Occupaying Lesions. 2014. Neurosurgery of Liaquat
National Hospital and Medical College. Pakistan.

41 | SOL (Space occupying lesion)


14. Dogar T, Imran AA, Hasan M, Jaffar R, Bajwa R, Qureshi ID. Space occupying
lesions of central nervous system: A radiological and histopathological correlation.
Biomedica. 2015; 31(1): 1520.
15. Ningrum, F.Y., 2013. Space Occupaying Lesion ( SOL). Available from:
http://www.scribd.com/doc/123949291/referat-SOL [Last accessed 7th December
2014].

42 | SOL (Space occupying lesion)

Anda mungkin juga menyukai