Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Indonesia adalah negara yang beraneka ragam suku bangsa, Keragaman budaya atau
“cultural diversity” yang ada di negara kita adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya, akan tetapi satuhal yang harus kita fahami bahwa dengan keberagaman itu
maka akan banyak sistem hukum yang beralaku di indonesia untuk mengatur kehidupan
manusia terutamanya dalam hal pewarisan, di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku
secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Namun pada makalah ini
hanya akan di uraikan hukum waris adat dan hukum waris islam saja.
Hukum waris adat menurut Hazairin bahwa hukum adat adalah endapan kesusilaan
dalam masyarakat, yaitu kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenaranya telah
mendapat pengakuan umum dalam masyarakat, yang di buktikan dengan kepatuhannya
terhadap kaidah tersebut 1.
Hukum waris islam atau biasa di kenal dengan istilah mawaris adalah bentuk jamak
dari “mirats” yang artinya “harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia”.
Sedangkan menurut istilah ialah: “Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak
menerima warisan,orang-orang yang tidak berhak menerimanya,bagian masing-masing
ahli waris dan cara pembagiannya”. Sedangkan menurut Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam
bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan
pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah : “Ilmu yang dengan dia
dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat
mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris
dalam islam serta cara pengambilannya“.
Tapi banyak perbedaan dalam kedua hukum waris ini baik dalam pembagian harta,
siapa yang berhak menerima waris dan siapa yang tidak, dengan memperhatikan pula pola
budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan
Maka makalah ini di susun untuk menjadi perbandingan atau menjawab pertayaan-
pertayaan terssebut

1
Suriyaman Mustari Pide Hukum Adat Dahulu,kini dan Akan Datang (Jakarta: Pranamedia group,2014) h 6
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Defenisi Hukum waris adat ?

1.2.2 Defenisi Hukum Waris islam ?

1.2.3 Perbandingan Hukum Waris adat Dan Hukum waris islam ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Waris Menurut Hukum Adat

Hukum waris adat merupakan hukum yang memuat gari-garis ketentuan tentang system
dan asas-asas hokum waris, harta warisan, pewaris, ahli waris, serta cara harta warisan itu
dialihkan penguasaannya dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Ahli waris adalah
istilah yang menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan dari si pewaris. Cara
pengalihannya adalah proses penerusan harta warissan dari pewaris kepada ahli waris, baik
sebelum atau sesudah meninggal dunia.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan beberapa pendapat diantaranya :

1. Soepomo dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang Hukum Adat menjelaska, bahwa
hokum adat waris adalah memuat peraturan-peraturan yang memgatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia kepada keturunanny. 2

menurut Soepomo menjelaskan, bahwa hokum waris adat yaitu: 3

a. Proses tersebut tisak menjadi “akuut” (mendadak) oleh sebab orang tua

meninggal dunia;

b. Meninggalnya bapak atau ibu, adalah suatu peristiwa penting bagi proses

pewarisan, akan tetapi tetap sesungguhnya tidak memengaruhi secara

radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan

benda tersebut.

2. Ter Haar menjelaskan, hukum adat waris meliputi aturan hokum yang bersangkutan
dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan
pengoperan kekayaan materiel dan imatriel dari suatu generasi kepada generasi berikutnya

2
Soepomo, Bab tentang Hukum Adat, (T.Tp.: Pradnya Paramita, 1983), h.67.
3
Ibid,h.67
3. Hilaman Hadikusumo, hokum waris adat adalah hokum waris adat yang mebuat garis-
garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hokum waris, tentang harta warisan, pewaris dan
warisan serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya. 4

Pada umumnya, proses pengalihan atau pengoperannya sendiri sudah dapat dimulai semasa
pewaris si pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan
terus sehingga keturunannya itu masing-masing mejadi keluarga-keluarga baru yang bersiri
sendiri yang kelak pada akhirnya akan mendapat giliran juga untukmeneruskan proses tersebut
kepada generasi (keturunannya) yang berikutnya juga. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh
sebab orang tua meninggal dunia, bahwa memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu
peristiwa yang benting bagi proses pewarisan, akan tetapi sesungguhnya tidak memengaruhi
secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.35

Pada dasarnya proses pewarisan atau pengopersan oleh pewarisan melalui harta peninggalan
itu senditi dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Proses penerusan harta peninggalan pada pewaris masih hidup disebut “penghibahan”.
Hibah yang diberikan kepada seseorang hubungannya darah dalam huku adat waris
diperhitungkan pada waktu pebagian warisan (pewarisan-Soepomo), 36Toescheiding-Ter
Haar).37

2. Proses penerusan atau pengoperasn harta kekayaan pada waktu sesudah pemiliknya
meninggal dunia yang disebut dengan “warisan” (hibah wasiat-Soepomo),38 (wekasan atau
welingan-Jawa), (vereven Ter Haar)39, dan (warisan-Wirjono Prodjodikoro)40

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli hokum adat, maka hokum waris adat itu merupakan
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tata cara penerusan dan pengoperan harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, cara penerusan dan pengoperan
harta itu dapat dimulai si pewaris (orang yang mempunyai harta kekayaan) masih hidup atau
setelah si pewaris meninggal dunia.

4
Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),h.36.
2.2 Pengertian Hukum Waris Menurut Hukum Waris islam

Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikkan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing.5

Dari definisi di atas, ada beberapa aspek dalam hukum kewarisan.

Pertama, adalah tentang pemindahan hak pemilikan harta warisan pewaris. Peralihan hakmilik
pewaris kepada para ahli warisnya berlaku secara ijbari. Salah satu asas yang sangat prinsipil
dalam Hukum Kewarisan Islam adalah asas ijbari. Asas ini mengandung arti bahwa peralihan
harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau kehendak para ahli warisnya.
Dengan demikian, begitu seseorang dinyatakan meninggal dunia secara hukum, maka pada saat
itu juga hukum menganggap harta warisan pewaris terbuka dan beralih menjadi hak milik para
ahli warisnya, karena itu dalam sunnah dianjurkan sangat oleh Rasulullah saw untuk
menyegerakan pembagian harta warisan pewaris sehingga para ahli waris dapat menguasai
harta benda yang menjadi miliknya dengan segera.

Kedua, adalah mengenai siapa-siapa yang termasuk ahli waris. Hukum Kewarisan juga
menentukan tentang siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-
masing. Ketentuan semacam ini dijumpai dalam penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai perubahan
kedua. Yang bunyinya: “Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing
ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris”.

Ketiga, adalah menyangkut masalah bagian perolehan masing-masing ahli waris. Di dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa [4] :11, 12 dan ayat 176 ditegaskan beberapa kelompok ahli waris yang
memperoleh saham ½, 1/3, ¼, 1/6 dan 1/8 bagian, kelompok ahli waris ini lazim dikenal dengan
istilah ahli waris “dzawil furudh”, yaitu ahli waris yang telah ditentukan besaran bagiannya
secara tega didalam nash. Selain daripada itu, ada pula kelompok ahli waris yang tidak

5
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.
disebutkan bagian perolehannya secara pasti di dalam nash, tetapi kedudukannya dalam
mewaris adalah mengambil sisa bagi harta warisan pewaris, kelompok ini dikenal pula dengan
istilah ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang mengambil sisa bagian harta warisan.
Kelompok ahli waris ashabah memperoleh bagian lebih besar daripada ahli waris yang lain
atau bahkan mungkin isa tidak mendapat bagian sama sekali karena harta warisan telah habis
dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

b.Pewaris

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan. 6

c.Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunya hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.7

d.Harta Peninggalan

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. 8

e.Harta Warisan/Tirkah

Harta warisan/tirkah adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz mayat), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.9

3.1 Perbandingan Hukum Waris adat Dan Hukum waris islam

3.1.1 . Ahli waris menurut hukum adat

Dalam hukum adat anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang
terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris,
sebab anggota keluarga lain tidak menjadi ahli waris apabilah si peninggal warisan memiliki

6
Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam
7
Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam
8
Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam
9
Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam
anak. Jadi dengan adanya anak-anak maka kemungkinan lain, anggota keluarga dari
sepeninggal warisan untuk menjadi ahli waris menjadi tertutup.10

Tetapi yang harus kita pahami bersama juga bahwa ada hubungan kekeluargaan bersifat
susunan unilateral yakni matriarchaat dan patriartchaat. Di daerah minangkabau misalnya yang
masyaratakat menganut sifat susunan kekerabatab matriarchaat, apabila yang wafat itu seorang
suami, maka anak-anaknya bukan merupakan ahli waris dari harta pencariannya, sebab anak-
anak itu meruupakan warga anggota famili ibunya, sedangkan bapaknya tidak, bapaknya
merupakan warga familinya sendiri.oleh karena itu maka harta pencahariannya tidak di warisi
oleh anak-anaknya tetapi warisi oleh saudara-saudara sekandungnya.

Mungkin sekali pada saat ini ketentuan adat waris seperti ini sudah beruba terutama di kalangan
keluarga-keluarga minangkabau yang merantau diluar daerah aslinya. Tetapi juga di daerah
minangkabau aslinya dalam perkembangan zaman tampak sangat jelas adanya geseran yang
makin lama makin memberikan kedudukan yang penting bagi somah di dalam masyarakat,
sehingga ikatan hubungan kekeluargaan suami-istri lambat laun menjadi lebih penting dan
lebih erat daripada ikatan hubungan kekarabatan family.dan lebih eratnya ikatan hubungan
somah (suami-istri-anak) ini. Maka kemungkinan anak-anak manjadi ahli waris dari bapaknya
menggantikan saudara-saudara sekandung bapaknya kiranya tidak dapat ditahan lagi.

Selain daripada adanyan perkembangan pergeseran yang menguntukan kedudukan hukum


anak,maka sementara ini dalam praktik seorang bapak yang mempunyai harta pencarian yang
agak banyak sudah mengoreksi sendiri hukum adat warisnya dengan sebelum meninggal sudah
mengibakan brang-barang dari harta pencarianya ke pada anak-anaknya.

Di daerah lampung dan tapanuli yang masyarakatnya menganut sifat susunan kekeluargaan
patriarchaat, seorang gadis yang sudah kawin secara jujuran dan oleh karenanya setelah
perkawinan masuk kerabat suaminya dan dilepaskan dari kerabatnya sendiri,bukan merupakan
ahli waris dari orangtuanya yang meninggal dunia. Tetapi sekarang pada umumnya dilakukan
penghibahan kepada orang tuanya sebagai koreksi terhadap hukum adat waris yang berlaku di
daerah itu11

10
Laksanto utomo, Hukum Adat ( Jakarta : Rajagrafindo Persada 2016 ) h 109
11
Laksanto utomo, Hukum Adat ( Jakarta : Rajagrafindo Persada 2016 ) h 111
Di pulau bali yang hubungan kekerabatanyjuga bersifat patriarchaat hanya anak lelaki yang
tertua mewarisi seluruh harta peninggalan,tetapi dengan kewajiban memelihara adik-adiknya
serta mengawinkan mereka. 12

3.1.2 Ahli waris menurut hukum islam

Ahli Waris Dalam Islam.

1)Ashab al-Furud; yaitu golongan ahli waris yang haknya tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
atau 1/8.1913

2) Asabah; yaitu golongan ahli waris yang bagiannya tidak tertentu, tetapi mendapatkan
sisa dari ashab al-furud, atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashab al-furud. Asabah ada
dua macam:

a) Asabah Nasabiah, yaitu asabah karena nasab20

(1) Asabah bi al-Nafsi, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada ahli waris tidak tercampuri wanita,
mempunyai empat arah:

(a) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki dan keturunannya, mulai cucu, cicit dan
seterusnya.

(b) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya.

(c) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara laki-laki kandung dan seayah, serta anak laki-
laki keturunannya masimg-masing dan seterusnya.

(d) Arah paman, mencakup paman kandung maupun seayah, serta keturunan mereka dan
seterusnya.

(2) Asabah bi al-Ghair, hanya ada empat ahli waris dan semuanya wanita, yaitu:21

(a) Anak perempuan jika bersama dengan anak laki-laki.

(b) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki jika bersama cucu laki-laki keturunan anak laki-
laki.

12
Laksanto utomo, Hukum Adat ( Jakarta : Rajagrafindo Persada 2016 ) h 112
13
H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung: Refika Aditama, 2006),
(c) Saudara kandung perempuan jika bersama saudara kandung laki-laki.

(d) Saudara perempuan seayah jika bersama dengan saudara laki-lakinya.

(3) Asabah Ma’a al-Ghair, khusus bagi seorang atau lebih saudara perempuan kandung maupun
seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak
laki-laki yang tidak mempunyai saudara laki-laki.22

b) Asabah Sababiah, yaitu asabah karena sebab, dalam hal ini disebabkan karena
memerdekakan budak.23 Hal ini disebabkan adanya ikatan yang mengikat orang yang
memerdekakan dengan orang yang dimerdekakan (‘atiq), karena dikembalikan kepadanya
kemerdekaan dan kemanusiaan yang sempurna.24

3) Zawil Arham; yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk dalam golongan pertama dan
kedua.

Jika ahli waris tersebut ada semua, maka yang berhak mendapat warisan hanya suami/isteri,
ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.

3.1.3 Sistem pewarisan menurut hukum adat

Sistem Pewarisan Adat


Ada beberapa sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Sistem Keturunan
Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan dalam tiga corak:
- Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan.
- Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam
pewarisan.
- Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.
2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap
waris mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka
masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk
diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat,
tetangga ataupun orang lain. Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di kalangan
masyarakat adat Jawa dan Batak.
3. Sistem Pewarisan Kolektip
Sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya
dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan
pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau
mendapat hasi dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan
dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat
oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan
kerabat. Sistem kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga
di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.
4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesunggunhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-
bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga
atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang
dianut, yaitu:
a. Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, terutama
yang beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso
Kabupaten Jayapura Papua.
b. Mayorat perempuan, seperti berlaku di lingkungan masyarakat ada semendo di
Sumater Selatan.
Prof. BUS.HAR MUHAMMAD, S.H., “Adapun system mayorat membawa konsekwensi
bahwa anak laki-laki yang tertua menggantikan ayahnya tidak saja dalam hal material
menerima kepemilikan harta kekayaan, tetapi juga wajib memelihara, memberi nafkah,
menyekolakan. Mendidik saudara-saudaranya dan di dalam segala hal bertindak atas nama
ayahnya almarhum”14

14
Talib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung:PT.Alfabeta, 2015) hlm.264,265
3.1.4 Sistem pewarisan menurut hukum islam

Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum
kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan
pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya,
sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat
menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris
(pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan
demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan
haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh
ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:

“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah
kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat,
dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat
penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa
memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini,
yaitu:

1. hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing.

2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.

3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
unutk menjadi ahli waris.

4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:

1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban


pewaris maupun menagih piutang.

3. Menyelesaiakan wasiat pewaris.

4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan
kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan
(pasal 188 KHI).

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya
kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian
dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris
adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).

Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris
meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal
49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam dibidang:

1. Perkawinan.

2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

3. Wakaf dan sedekah.

Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak
perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan
sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari
15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

a. Anak laki-laki (al ibn).

b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .

c. Bapak (al ab).

d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).

e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).

f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).

g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).

h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).

i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).

j. Paman seibu sebapak.

k. Paman sebapak (al ammu liab).

l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).

m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).

n. Suami (az zauj).

o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang


hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:

a. Anak perempuan (al bint).

b. Cucu perempuan (bintul ibn).

c. Ibu (al um).

d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).

e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).

f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).

g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).

h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).

i. Isteri (az zaujah).

j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris
mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris
mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang
menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang
artinya:

“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai
anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.

Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian
apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang
artinya:

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:

1. Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki
– laki.

2. Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki.

3. Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka
pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan
mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang
artinya:

“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan”.

Bagian anak laki-laki adalah:

a. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai
ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka
ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut
(ashabah bin nafsih).

b. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli
waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak
perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat
11 dan 12 tersebut.

Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:

1. Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.

2. Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.

Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari
pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak
dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua
orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai
anak”.
Bagian Bapak adalah:

a. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak
mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.

b. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta
peninggalan dengan jalan ashabah.

c. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak
mengambil 2/3 bagian.

Sedangkan bagian nenek adalah:

a. Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu,
maka nenek mendapat bagian 1/6.

b. Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan
ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.

Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:

a. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah,
Abu Daud dan An Nasa’i.

b. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Bardah.

c. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama
Islam atau kafir.

d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).

Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik
nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua
ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun
perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub)
(Pasal 174 Ayat (2) KHI).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

3.3 PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai