Anda di halaman 1dari 7

The Mahuzes

Marga Mahuze vs Industri Kelapa Sawit


J. Rian Rimpasa (522016092)
Martiana Nur N. (522016093)
Veny Miko N. (662016002)
Laurentia Nindya S.P (662016003)
Paulina Ade C. (662016006)
Yefta Rizky D. E (662016007)
Kristia Anggraeni (662016008)
Felicia Sintana (662016009)
Elsa Septyana (662016010)
Yuni Naomi Y. (662016011)

Abstrak— Merauke adalah daerah yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Investasi mulai
masuk di Merauke pada tahun 2007. Pada saat itu pula, muncul satu per satu konflik perebutan
tanah warga dengan perusahaan. Salah satu marga di Suku Malind, Distrik Muting yaitu Marga
Mahuze mengalami perseteruan untuk mempertahankan tanah mereka. Masyarakat marga Mahuze
sebagai tuan tanah, menolak perampasan tanah oleh perusahaan. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk menghentikan perusahaan kelapa sawit. Pada tahun 2010 dicanangkan program MIFEE
(Merauke Integrated Food and Energy Estate). Presiden Jokowi pada tahun 2015 memutuskan untuk
menggarap 1,2 juta hektare sawah di Merauke dalam 3 tahun. Padahal, banyak sekali permasalahan
lingkungan yang muncul akibat didirikannya perusahaan-perusahaan, dan juga konflik perebutan
tanah antara masyarakat Merauke dengan perusahaan.

Kata kunci— perampasan, perusahaan, marga Mahuze.

I. PENDAHULUAN

Merauke adalah kabupaten yang terletak di daerah paling timur Indonesia. Kabupaten dengan luas
daerah sekitar 4,4 juta hektare ini sekitar 95,3% daerahnya berupa hutan. Masyarakat Merauke banyak
melakukan aktivitas seperti berburu, dan memangkur (memanen) sagu untuk kebutuhan sehari-hari. Bagi
mereka, hutan adalah “rahim ibu”, yang artinya hutan sendiri menyediakan semua kebutuhan warga
Merauke untuk kelangsungan hidup mereka. Rahim ibu-lah yang memberikan kehidupan.

Ada beragam suku di daerah Merauke, salah satunya adalah Suku Malind. Di dalam Suku Malind
ini, terdapat beberapa marga, salah satunya adalah Marga Mahuze. Kebiasaan adat Suku Malind, setiap
Marga memiliki batas tanahnya sendiri. Suku Malind adalah kaum pemburu dan peramu. Mereka tidak
terbiasa dengan kegiatan bercocok tanam dan beternak. Ada satu perusahaan bernama PT. Agriprima Cipta
Persada (PT ACP) yang hendak membeli 200.000 hektare tanah di wilayah tanah Marga Mahuze untuk
dijadikan industri kelapa sawit. Marga Mahuze menolak menjual tanah ulayatnya, sebagai bukti penolakan
mereka memasang tandasasi sebagai larangan. Namun perusahaan dalam kasus ini PT Agriprima Cipta
Persada (ACP) mencabut tanda tersebut.

Sekitar tahun 2010 masuklah program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
Program inilah yang membawa perubahan besar di Merauke. Namun dalam kenyataannya, program ini
hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah. Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi
perkebunan besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Dalam empat tahun terakhir disekitar
kampung Muting lima perusahaan sudah membabat hutan adat suku Malind untuk perkebunan kelapa sawit
raksasa. Dampak perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan masyarakat Mahuze (salah satu marga suku
Malind). Bahkan, air sungai Bian yang dulu bersih, sudah tidak layak minum.

Kemudian pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali
rencana awal untuk konversi lebih dari 1 juta hektare hutan dan savanna menjadi sawah, sedangkan menurut
Irawan seorang petugas pengairan, sebagian besar air di tanah yang datar di daerah Muting adalah air hujan,
sehingga sumber air disana hanya berasal dari air hujan. Jika pemerintah ingin mencanangkan 1,2 juta
hektare sawah, maka harus disediakan bendungan besar sebagai sumber pengairan sawah. Program
pemerintah ini memunculkan banyak konflik sosial,

Selanjutnya akan dibahas bagaimana usaha marga Mahuze dalam memperjuangkan hak mereka
sebagai pemilik hutan adat agar tanah seluas 200.000 hektare tidak dijadikan industri kelapa sawit. Dalam
pembahasan ini, bisa dibayangkan bagaimana dengan 1,2 juta hektare lahan yang akan dijadikan sawah.

II. PEMBAHASAN

A. Bermulanya konflik
Bermula pada tanggal 25 September 2007, ada sebuah pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati John
Gruba Gebze. Setelah pertemuan tersebut selesai, mulailah masuk investasi di Merauke. Beberapa tahun
sebelum proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dicanangkan, terdapat sebuah
perusahaan bernama PT. Agriprima Cipta Persada (PT. ACP) hendak mengontrak tanah seluas 200.000
hektare di wilayah tanah Marga Mahuze, Suku Malind, Merauke. Dengan adanya kegiatan perusahaan
tersebut akibatnya wilayah seluas tersebut di atas akan habis dirambah dan dijadikan perkebunan kelapa
sawit. Masyarakat sebagai tuan tanah tidak setuju dengan kontrak PT. ACP. Hal itu dikarenakan
masyarakat Marga Mahuze Suku Malind menganggap bahwa hutan adalah “rahim ibu”. Masyarakat
mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan mereka, karena hutan adalah tempat mereka berburu
untuk mencari makan, memanfaatkan kayu untuk membangun rumah, memangkur sagu untuk makan,
dan juga berburu hewan untuk dijual. Selain itu, hutan juga menyimpan air sehingga sungai di sekitar
tetap hidup dan banyak ikan-ikan bisa dijadikan bahan makanan. Adat marga Mahuze menyebutkan
bahwa jika tidak menghabiskan apa saja yang diambil dari hutan itu maka berlaku hukum rimba, yaitu
hukuman mati.

Masyarakat marga Mahuze menolak keras adanya proyek kelapa sawit, karena mereka memikirkan
masa depan anak cucu mereka. Ketika hutan sudah habis, anak cucu mereka tidak bisa semuanya bekerja
di perkebunan sawit, tidak bisa memanfaatkan sagu untuk dimakan, berburu hewan untuk dijual, dan lain
sebagainya. Kontrak yang dijanjikan oleh PT. ACP adalah selama 35 tahun tanah disewa, dengan
presentase bagi hasil 80:20, dimana 80% untuk perusahaan dan 20% untuk tuan tanah. Masyarakat marga
Mahuze menolak itu, karena mereka tidak ingin dijadikan buruh, dan lebih-lebih, mereka tidak ingin
hutan mereka habis.

Sebagian besar masyarakat Marga Mahuze bersikeras untuk tidak menyetujui adanya perambahan
hutan adat di wilayah mereka. Bertentangan dengan hal tersebut, PT. ACP telah mengantongi ijin sampai
tingkat provinsi. Ketika PT ACP hendak membuka lahan didaerah yang telah disetujui oleh pihak
pemerintah, ada penolakan dari masyarakat dari Marga Mahuze. Ternyata, dalam proses perijinan
PT.ACP ada beberapa masyarakat Marga Mahuze yang ikut menyetujui keluarnya ijin operasi tersebut.
Nampaknya dicurigai beberapa masyarakat tersebut mendapatkan “amplop” dari PT. ACP untuk mau
mengeluarkan ijin operasi.

Setelah ijin operasi PT. ACP keluar, mulailah PT. ACP mengerahkan pekerja-pekerjanya untuk
mengerjakan lahan, dimulai dengan penebangan pohon, lalu meratakan tanah. Sementara itu, masyarakat
marga Mahuze mengadakan Rapat Mahuze Besar untuk berdiskusi, mencari tahu siapa salah satu dari
mereka yang mengeluarkan atau meng’iya’kan ijin operasi PT. ACP. Suasana semakin memanas ketika
menjelang malam hari, namun akhirnya diputuskan untuk semua Marga Mahuze menolak tanah ulayat
mereka dijual kepada siapapun.
Setelah dicapai kesepakatan antarmasyarakat marga Mahuze, beberapa tokoh masyarakat
mendatangi lokasi hutan yang telah digarap oleh PT. ACP. Beberapa masyarakat mengusir pekerja
proyek untuk keluar dari hutan mereka. Kemudian masyarakat marga Mahuze mendirikan tanda larangan
yang bertuliskan “Hentikan Intimidasi Perampasan Tanah Kami”. Namun ternyata kegiatan pengerjaan
lahan oleh PT. ACP tetap berlanjut. Warga transmigran yang berada di Merauke saat itu dipekerjakan
oleh PT. ACP untuk menebangi pohon-pohon di lahan yang sudah menjadi “milik” PT. ACP.

B. Upaya penyelesaian konflik


Pihak PT. ACP tetap saja menebangi pohon-pohon di tanah marga Mahuze, sehingga masyarakat
marga Mahuze geram dan mendatangi pihak perusahaan untuk mengadakan perundingan. Pada
pertemuan 22 Juni 2015 itu terungkap sebuah praktik penguasaan tanah tanpa persetujuan seluruh
anggota marga. Hasil dari pertemuan tersebut menyebutkan bahwa ada satu orang anggota masyarakat
marga Mahuze yang terlibat dalam proses pengeluaran ijin operasi PT. ACP. Satu orang tersebut,
menuliskan beberapa tokoh masyarakat marga Mahuze, yang dianggap ikut setuju dengan adanya proyek
PT. ACP. Padahal, tokoh-tokoh masyarakat yang namanya dituliskan itu, tidak tahu bahwa nama mereka
tertulis pada berkas persetujuan. Kemudian terungkap bahwa satu orang tersebut, dibawa ke Jakarta
untuk menandatangani berkas persetujuan. Akhirnya semua warga marga Mahuze menandatangani surat
pernyataan penolakan perampasan tanah.

Setelah ada surat pernyataan penolakan perampasan tanah, tanda peringatan yang dipasang oleh
masyarakat marga Mahuze kembali dilepas oleh pihak PT. ACP. Tanda peringatan tersebut dilepas dan
dibuang. Masyarakat menjadi geram, dan merasa diintimidasi oleh perusahaan. Sejak awal keluarnya ijin
operasi, masyarakat tidak tahu, hingga PT. ACP mulai menggarap lahan, masyarakat tidak mendapat
perhatian dari perusahaan.

Masyarakat marga Mahuze kembali berupaya menyelesaikan permasalahan. Kali ini dilakukan
dengan cara tradisional. Beberapa tokoh masyarakat melakukan upacara adat untuk memanggil nenek
moyang mereka, lalu mengubur kepala babi di Hutan Suci. Sambil memanjatkan doa-doa, masyarakat
berharap nenek moyang mereka ikut hadir dan membantu mengatasi konflik perampasan tanah ini.
Masyarakat marga Mahuze percaya, ketika ritual mengubur kepala babi sudah dilakukan, maka tidak bisa
diganggu gugat lagi.
Pada Juli 2015, masyarakat Mahuze melaporkan PT. ACP atas kasus penyerobotan tanah dan
perusakan hutan adat. Namun, Polsek Muting (Merauke) yang sudah menerima laporan tersebut, tidak
membuat berita acara pengaduan perkara.

C. Keterkaitan dengan Pancasila


Masyarakat Marga Mahuze telah memperjuangkan hak mereka sebagai tuan tanah. Bahkan, usaha
mereka tidak direspon oleh Polsek Muting ketika mereka melaporkan PT. ACP. Hal ini sangat jelas
bertentangan dengan sila kedua, ketiga, dan kelima pada Pancasila. Yang pada sila kedua berbunyi
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti bahwa
kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati
nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Manusia diberlakukan sesuai harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya, hak, dan kewajiban asasinya. Namun,
nilai tersebut bertentangan dengan keadaan masyarakat Mahuze dimana hak-hak mereka tidak dihargai,
seperti; hak mereka dalam mempertahankan adat istiadat ditanah mereka dengan tujuan kelak anak cucu
mereka nantinya bisa menikmati hasil tanah adat tersebut. Kenyataannya, dengan sangat mudah PT. ACP
melakukan perambahan tanah meskipun Marga Mahuze sudah memasang sasi(patok) sebagai batas
wilayah milik Marga Mahuze.

Sila ketiga Pancasila berbunyi “Persatuan Indonesia”. Pada kasus The Mahuzes ini sangat jelas
terjadi perpecahan antarmasyarakat Marga Mahuze. Telah dijelaskan bahwa ada satu anggota masyarakat
yang menerima suap dari PT. ACP untuk menyetujui ijin operasi perusahaan tersebut. Akibatnya,
masyarakat marga Mahuze saling tuduh menuduh dan sempat terpecah belah karena adanya suap
tersebut. Selain itu, sebagai sesama warga negara Indonesia, persatuan antara masyarakat marga Mahuze
dengan PT.ACP pun terbelah. Karena masyarakat merasa diintimidasi oleh perusahaan, hingga terjadi
perseteruan antara masyarakat dengan PT. ACP.

Pada sila kelima berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sangat jelas bahwa
masyarakat Marga Mahuze tidak diperlakukan dengan adil. Bahkan kepolisian yang seharusnya melayani
masyarakat, justru tidak merespon baik masalah ini, padahal sudah jelas bahwa semua orang memiliki
hak yang sama di depan hukum. Sampai sekarang pun konflik ini belum menemukan titik terang yang
berarti bahwa bangsa kita telah kehilangan pancasila sebagai jiwa dan ideologi bangsa.
III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Secara umum, pada konflik sumber daya alam lebih menguntungkan pihak perusahaan/investor
daripada penduduk asli.
Hal ini sangat jelas karena pemerintah sendiri menerima kenyataan bahwa investasi dalam
negeri itu menguntungkan. Namun, pemerintah kurang memperhatikan kepada penduduk asli daerah
tersebut yang benar-benar bergantung pada sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Secara
umum, hanya ditegaskan bahwa ada bagi hasil antara perusahaan dengan penduduk setempat.
Padahal, penduduk setempat jauh berpikir ke depan bahwa masa depan anak cucu mereka tidak
hanya bergantung dari penghasilan sebagai buruh perusahaan.

2. Nilai keadilan sering dikesampingkan demi mengikuti arus globalisasi.

Sering sekali didengar bahwa dalam usaha memperjuangkan haknya, masyarakat tidak
diperlakukan dengan adil. Secara umum, dalam konflik sumber daya alam ketika masyarakat
memperjuangkan haknya untuk diperlakukan dengan adil justru tidak diperhatikan oleh aparat.
Adanya laporan ke pihak kepolisian setempat justru diabaikan begitu saja.

B. Saran
1. Ketika pemerintah mengikuti arus globalisasi, sebaiknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
Sebaiknya ketika pemerintah mencanangkan sebuah mega proyek, disesuaikan dengan sumber
daya manusia di Indonesia. Tidak hanya mencanangkan begitu saja, namun harus diperhatikan
bagaimana kebutuhan masyarakat daerah tersebut. Biasanya dalam perundingan, pemerintah hanya
memperhatikan wakil-wakil rakyat di daerah tersebut, seperti walikota, anggota DPRD, dsb.
Padahal, sebagai wakil-wakil rakyat cenderung melihat kondisi masyarakatnya secara umum saja.
Lebih baik terjun ke masyarakat dan bertanya langsung kepada masyarakat daerah setempat tentang
apa yang menjadi kebutuhan mereka, dan melakukan survei bagaimana kualitas sumber daya
manusia di daerah tersebut.
2. Pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat mampu mengelola
SDA di daerah masing-masing.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting. Sebaiknya pemerintah memfokuskan kepada
pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, diharapkan kualitas sumber
daya manusia di Indonesia semakin baik. Selain itu, diharapkan masyarakat Indonesia mampu
menjadi masyarakat yang berdaya cipta, mampu mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam
yang ada menjadi bernilai jual tinggi melalui ketrampilan mereka. Sehingga, masyarakat akan
mampu bergerak menjadi masyarakat penghasil barang-barang dengan nilai jual tinggi yang bisa
diekspor ke luar negeri.

Referensi

[1] The Mahuzes Movie : https://youtu.be/MSVTZSa4oSg . Dipublikasikan oleh Watchdoc Image pada 28
Agustus 2015.

[2] http://aceh.tribunnews.com/2016/10/05/aceh-darurat-konflik-sda diakses pada 21 Oktober 2017, 12.13


WIB.

[3] https://awasmifee.potager.org/?page_id=37&lang=id diakses pada 21 Oktober 2017, 12.14 WIB

Anda mungkin juga menyukai